BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembuatan laporan keuangan harus didasari oleh standar akuntansi keuangan yang berlaku. Standar tersebut sangat diperlukan oleh pengguna laporan keuangan, namun ketika suatu perusahaan tidak terdapat suatu standar dalam pembuatan laporan keuangan, maka perusahaan tersebut dapat menyajikan laporan keuangan yang mereka miliki sesuai dengan apa yang diinginkan oleh perusahaan tersebut. Hal ini dapat menjadi masalah bagi para pengguna karena akan menyulitkan mereka untuk memahami laporan keuangan tersebut. Setiap negara memiliki peraturan standar keuangan yang berbeda-beda. Perbedaan ini mencakup perlakuan, metode, penyajian, dan pelaporan. Perbedaan yang ada di setiap negara akan menyulitkan bagi para pengguna laporan keuangan termasuk auditor dan investor dalam memahami laporan keuangan tersebut. Tentu saja dengan perbedaan ini akan menjadi masalah karena akan memiliki perbedaan pemahaman antar pengguna laporan keuangan. Sehingga agar memudahkan pemahaman laporan keuangan diperlukan suatu standar yang sama antar negara. Atas dasar permasalahan itu muncullah isu konvergensi standar akuntansi keuangan international yaitu International Financial Reporting Standard (IFRS). 1 2 Dampak perekonomian dari penerapan IFRS pada akhir-akhir ini semakin banyak disoroti dunia. Penerapan IFRS ini memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar, sebagai cara untuk memudahkan pemahaman atas laporan keuangan secara internasional, yang pemanfaatannya tidak hanya untuk para pelaku usaha yang bergerak dalam perusahaan go public namun manfaat yang diterima juga diperoleh untuk para pengguna jasa keuangan. Selain itu, penerapan standar ini dapat meningkatkan arus investasi global melalui transparansi (Wiyani, 2013). Pada tahun 2013, setelah melewati tahap demi tahap proses konvergensi di Indonesia tentu isu IFRS ini banyak menimbulkan efek positif maupun efek negatif terhadap kondisi perekonomian di Indonesia. Di tengah-tengah sifat pemerintah dan beberapa pihak yang sangat mendukung untuk segera mengadopsi IFRS di Indonesia ternyata masih banyak kendala-kendala yang harus dihadapi Indonesia selama proses konvergensi berlangsung, walaupun banyak juga manfaat yang ditimbulkan dari hasil proses konvergensi IFRS. Penerapan IFRS di Indonesia dilatarbelakangi oleh tuntutan global dunia usaha agar perusahaan-perusahaan mengingkatkan kualitas informasinya dari laporan keuangan yang disusun oleh perusahaan go public yang bertujuan agar terciptanya Good Corporate Governance (GCG). Konvergensi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dengan IFRS merupakan salah satu isu yang mendapat perhatian besar oleh pemerintah karena jika semua perusahaan Indonesia yang go public menyusun laporan keuangannya berdasarkan IFRS 3 maka hal ini akan membawa manfaat yang besar bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia karena akan banyak investor yang akan berinvestasi di Indonesia. Menurut Utami, dkk., (2012), beberapa tahun terakhir di Indonesia, pengungkapan dan transparansi dalam laporan keuangan perusahaan menjadi isu yang penting di Indonesia. Corporate governance merupakan tata kelola dalam perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan di dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan (Monks dan Minow dalam Wardhani, 2006). Isu terhadap pengungkapan dan transparansi dalam laporan keuangan di Indonesia, dimulai setelah Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan sejak tahun 1998. Banyak pihak yang menyebutkan permasalahan tersebut dikarenakan lemahnya corporate governance yang diterapkan dalam perusahaan di Indonesia. Beberapa kasus pelanggaran yang terjadi di Indonesia membuktikan bahwa masih adanya tindakan kecurangan yang disebabkan lemahnya pengawasan dalam transparansi dan kepatuhan terhadap pengungkapan wajib maupun sukarela, terutama pada laporan laba rugi. Kasus penyelewengan dana Bank Century yang pada awalnya mengalami keadaan tidak bisa membayar dana permintaan dari nasabah atau umumnya disebut sebagai kalah kliring hingga kini masih belum terselesaikan, serta kasus mark-up laporan keuangan PT Lippo, Tbk dan PT Kimia Farma, Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi (Boediono, 2005). PT Kimia Farma contohnya yang mengalami overstated, yaitu pada laba pada laporan keuangan yang dilaporkan sebesar Rp 132 miliar, 4 namun seharusnya adalah Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 miliar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan (Syahrul, 2002). Informasi yang tidak diungkapkan akan sangat merugikan stakeholders, selain kasus yang di atas terdapat juga kasus PT Petromine Energy Trading (anak perusahaan PT Bakrie & Brothers, Tbk) yang tidak mencantumkan pendapatan dari jasa penyediaan bahan bakar kepada AKR Corporindo senilai Rp 1,37 triliun, dengan menggunakan beban pokok pendapatan sebesar Rp 8,00 triliun. Akibat kasus ini, Bakrie & Brothers mendapatkan sanksi sebesar Rp 4,00 miliar dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Prayogi, 2011). Kasus yang terjadi di atas mengindikasikan pentingnya pengungkapan wajib dalam laporan keuangan. Pengungkapan wajib dalam laporan keuangan telah diatur dalam standar akuntansi internasional yaitu IFRS. Selain itu, pelanggaran yang terjadi di Indonesia dikarenakan masih lemahnya penerapan coporate governance. Lins dan Warnock dalam Utami, dkk., (2012) menyatakan bahwa terdapat dua mekanisme untuk menyamakan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer dalam rangka penerapan corporate governance, yaitu mekanisme internal dan mekanisme eksternal perusahaan. Mekanisme internal dalam penelitian ini diproksikan dengan kepemilikan manajerial, jumlah rapat dewan komisaris, jumlah rapat komite audit, proporsi dewan komisaris dan proporsi dewan komisaris independen, sedangkan untuk mekanisme eksternal diproksikan dengan kepemilikan institusional. 5 Menurut Darmawati (2004) corporate governance merupakan serangkaian mekanisme yang dapat melindungi pihak-pihak minoritas (outside investors/minority shareholders) dari ekspropriasi yang dilakukan oleh para manajer dan pemegang saham pengendali (insider) dengan penekanan pada mekanisme legal. Untuk itu corporate governance memengaruhi tingkat kepatuhan pengungkapan. Penelitian yang dilakukan Beasly dalam Wawo (2010) dalam menguji hubungan antara komposisi dewan komisaris dengan reliability informasi keuangan, menemukan bahwa komisaris dari luar mengurangi kemungkinan kecurangan laporan keuangan dan memengaruhi tingkat kepatuhan pengungkapan, dengan begitu semakin besar proporsi komisaris independen maka tingkat pengawasan manajerial akan semakin efektif sehingga perusahaan lebih banyak melakukan pengungkapan sukarela. Selain itu, corporate governance meliputi dewan komisaris dan komite audit sangat berperan mengendalikan kualitas pelaporan keuangan. Sesuai dengan Corporate Governance Guidelines (2007), dewan komisaris yang lebih sering mengadakan pertemuan tetap dan dapat dilakukan pertemuan tambahan sesuai dengan kebutuhan. Pertemuan rutin yang dilaksanakan dewan komisaris akan meningkatkan tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. Ukuran dewan komisaris sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Semakin banyak personel yang menjadi dewan komisaris, dapat berakibat pada makin buruknya kinerja yang dimiliki perusahaan (Yermack, 1996 dalam Sekaredi, 2011). Selain itu dampak independensi dewan komisaris 6 terhadap kinerja keuangan perusahaan masih menghasilkan beragam kesimpulan. Penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2010) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah dewan komisaris independen memiliki hubungan yang positif dengan arus kas pada total aktiva dan perputaran penjualan atau kinerja perusahaan. Sedangkan beberapa penelitian menyatakan berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan (Baysinger dan Turk, 1991 dalam Sekaredi, 2011). Buruk atau baiknya kinerja perusahaan maka akan berdampak pada pengungkapan wajib dan sukarela bagi perusahaan. Suatu perusahaan dapat dimiliki oleh manajerial maupun institusional. Penelitian yang dilakukan oleh Purwantini (2008) menyebutkan bahwa institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi dalam saham. Sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggung jawab untuk mengelola investasi perusahaan tersebut. Kepemilikan manajerial dan institusional dalam suatu perusahaan akan memengaruhi kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. Menurut Jansen dan Meckling (1976), hipotesis pemusatan kepentingan (convergence of interest hypothesis) menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan. Menurut Morck et al., (1988) bahwa terdapat hubungan non linier antara kepemilikan manajerial (insider ownership) dengan kinerja perusahaan. 7 Penelitian yang dilakukan Faizal (2004) menyatakan bahwa besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruance) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dan dengan biaya keagenan yang rendah pula. Konflik keagenan yang rendah dapat direfleksikan dari tingginya tingkat perputaran aktiva perusahaan dan akan menyebabkan kepatuhan perusahaan terhadap pengungkapan wajib atau sukarela. Keberadaan komite audit sebagai bagian dari good corporate governance diatur dalam Surat Keputusan Badan Pengelola dan Pengawas Pasar Modal Laporan Keuangan (BAPEPAM-LK) melalui Kep-29/PM/2004. Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya, komite audit dapat mengadakan rapat secara periodik sebagaimana ditetapkan oleh komite audit sendiri. DeZoort et al., (2002) dalam Sutaryo, dkk., (2010) menunjukkan bahwa frekuensi rapat yang lebih besar berhubungan dengan penurunan insiden masalah pelaporan keuangan dan peningkatan kualitas audit eksternal. Oleh karena itu rapat komite audit menjadi penting dalam menjalankan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya. Selain penerapan corporare governance, faktor lain yang memengaruhi tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS adalah ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan yang besar dianggap lebih banyak melakukan pengungkapan wajib daripada perusahaan kecil. Hal ini dikarenakan 8 perusahaan besar akan mengungkapkan pelaporan yang wajib untuk menjaga transparansi dan kepercayaan agar investor menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan, sehingga berdampak perusahaan tersebut melaporkan kondisinya lebih akurat (Nasution dan Setiawan, 2007 dalam Suryani, 2010). Fokus dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Menurut Hidayat (2006) perusahaan manufaktur selama ini mempunyai siklus produksi yang selalu hidup atau berjalan terus. Perusahaan produksi mempunyai nilai yang tersendiri di dalam memproduksi suatu produk dengan ketentuan dari setiap perusahaan. Perusahaan manufaktur merupakan suatu gabungan dari perusahaan-perusahaan produksi yang ada dan memiliki nilai bagus di dalam pangsa pasar. Penelitian ini dilatarbelakangi motivasi bahwa penelitian tentang tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS masih jarang dilakukan di Indonesia. Padahal IFRS sudah mulai di adopsi Indonesia sejak 2008 dan diimplementasikan seluruhnya sejak tahun 2012. Pada tahun 2008 hingga 2010 dimulai masa adopsi IFRS, dilanjutkan tahun 2011 masa persiapan akhir IFRS, dan tahun 2012 implementasi konvergensi IFRS. Berdasarkan latar belakang tersebut serta berbagai pendapat dari penelitian-penelitian terdahulu maka peneliti akan melakukan penelitian dengan judul GOVERNANCE “PENGARUH DAN UKURAN MEKANISME PERUSAHAAN CORPORATE TERHADAP 9 TINGKAT KEPATUHAN PENGUNGKAPAN WAJIB IFRS”. Penelitian ini merupakan replikasi dari Utami, dkk., (2012). Penelitian ini mempunyai perbedaan dengan penelitian sebelumnya yang terletak pada penambahan variabel independen proporsi dewan komisaris dan ukuran perusahaan yang diduga berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. Penelitian ini mengubah periode sampel dari tahun 2009-2010 menjadi tahun 2010-2012. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui apakah pengaruh mekanisme corporate governance dan ukuran perusahaan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib dalam konvergensi IFRS. B. Batasan Masalah Penelitian Batasan masalah pada pengaruh mekanisme corporate governance dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, jumlah rapat dewan komisaris, jumlah rapat komite audit, proporsi dewan komisaris dan proporsi dewan komisaris independen. C. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS? 2. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS? 10 3. Apakah jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS? 4. Apakah jumlah rapat komite audit berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS? 5. Apakah proporsi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS? 6. Apakah proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS? 7. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji dan memperoleh bukti empiris tentang: 1. Untuk menguji pengaruh positif kepemilikan manajerial terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. 2. Untuk menguji pengaruh positif kepemilikan institusional terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. 3. Untuk menguji pengaruh positif jumlah rapat dewan komisaris terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. 4. Untuk menguji pengaruh positif jumlah rapat komite audit terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. 11 5. Untuk menguji pengaruh positif proporsi dewan komisaris terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. 6. Untuk menguji pengaruh positif proporsi dewan komisaris independen terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. 7. Untuk menguji pengaruh positif ukuran perusahaan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dari berbagai bidang yang berkaitan. Berdasarkan dari tujuan diatas, maka dapat diperoleh manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Manfaat di bidang Teoritis a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan berupa pengembangan teori, terutama dalam bidang akuntansi keuangan. b) Menjadi tambahan literatur mengenai pengaruh mekanisme corporate governance dan ukuran perusahaan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. c) Menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dengan memberikan hasil penelitian mengenai pengaruh mekanisme corporate governance dan ukuran perusahaan terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. 12 2. Manfaat di bidang Praktik a) Bagi pihak perusahaan, penelitian ini dapat menjadi masukan sekaligus acuan untuk mencermati perilaku manajemen dalam pengungkapan laporan keuangan yang berkaitan dengan tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. b) Bagi pihak investor, penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi investor agar berhati-hati, khususnya dalam memberikan penilaian terhadap perusahaan sebelum investasi. c) Bagi pihak pemerintah, penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi mengenai penerapan konvergensi IFRS di Indonesia, khususnya dalam sektor manufaktur.