Masalah Perbankan Nasional

advertisement
Analisis Intermediasi Perbankan Nasional terhadap
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Nama Kelompok :
Hairus Zaman
100231100048
Arif Priya Santosa
120231100065
Aning Yuliana
120231100071
Desy Indria Rochmah
120231100072
Mahmudah Umroh
120231100080
Milla Fidiatiningsih
120231100081
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2014
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perbankan merupakan salah satu pilar perekonomian di Indonesia yang memegang
peranan penting. Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi khususnya dalam penyaluran
kredit berperan dalam menggerakkan roda perekonomian secara keseluruhan dan
memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Dimana pada level ekonomi makro bank merupakan
alat dalam menetapkan kebijakan moneter sedangkan pada level mikro ekonomi, bank
merupakan sumber utama pembiayaan bagi para pengusaha maupun individu (Konch, 2000).
Usaha Mikro Kecil dan Menengah menjadi pelaku ekonomi dalam skala mikro yang
membutuhkan kehadiran perbankan untuk mengembangkan sektornya melalui penyaluran
kredit. Permasalahan mendasar bagi pemberian kredit UMKM adalah adanya anggapan
bahwa UMKM dianggap tidak bankable, dengan kata lain tidak memenuhi syarat-syarat
untuk mendapatkan kredit perbankan. Di samping itu, untuk mengurangi risiko terjadinya
kredit macet ketersediaan objek jaminan pun sering tidak dimiliki oleh UMKM. Hal ini
mengakibatkan UMKM sangat sulit memperoleh akses kredit di perbankan.
Di sisi lain, Bank tidak berani mengambil risiko dalam menyalurkan kredit pada
UMKM karena dianggap berpotensi menjadi kredit macet, yang pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap tingkat kesehatan Bank. Gubernur Bank Indonesia Agus DW
Martowardojo mengungkapkan, peningkatan NPL saat ini terjadi pada kredit sektor UMKM
sehingga Bank Indonesia menekankan supaya angka NPL UMKM turun di bawah 3%,
dimana sekarang sudah berada diantara 3-4%.
Saat ini, tingkat suku bunga acuan BI Rate 7,5% namun kondisi suku bunga kredit
umumnya masih tinggi. Bulan ini, suku bunga kredit UMKM tetap bertahan dikisaran 20%
lebih per tahun. Bahkan, Kredit Usaha Rakyat (KUR) memasang suku bunga hingga
mencapai 22%-26% per tahun. Padahal dengan suku bunga kredit kurang dari 15% per tahun
dapat mendorong UMKM lebih survive untuk mendukung perekonomian nasional. Apalagi
tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada perdagangan bebas ASEAN. Jika perbankan tidak
menurunkan tingkat suku bunga kredit maka dapat mempengaruhi perkembangan UMKM.
Tingkat suku bunga kredit UMKM yang tinggi dapat menyebabkan harga jual produk yang
semakin tinggi. Pada akhirnya menambah daftar “lingkaran setan” yang menyebabkan
UMKM kalah bersaing di pasar internasional karena harga jual produk yang tinggi. Namun,
apabila tingkat suku bunga rendah, para deposan akan menarik dana depositonya karena lebih
memilih investasi yang memberikan yield lebih tinggi, seperti investasi ke pasar modal dan
obligasi. Hal itu dapat menyebabkan, perbankan Indonesia harus kehilangan pemilik dana
besar akibat menurunkan bunga deposito antara 1%-2% dari tingkat semula.
Permasalahan diatas menyebabkan timbulnya situasi yang tidak kondusif bagi dunia
usaha khususnya UMKM. Bank lebih banyak bergerak pada usaha yang fee based income
daripada menyalurkan kredit. Hal ini menyebabkan fungsi intermediasi perbankan tidak
berjalan sebagaimana mestinya dan perekonomian menjadi tidak signifikan, karena pelaku
usaha sebagai penggerak perekonomian tidak memiliki akses pada pembiayaan.
Rumusan Masalah :
1. Apakah kebijakan perbankan yang ada sudah mendukung fungsi intermediasi dalam
rangka pemberdayaan sektor UMKM?
2. Apa hambatan-hambatan yang dihadapi UMKM untuk memperoleh pembiayaan
melalui kredit perbankan?
3. Bagaimana langkah-langkah yang diperlukan untuk mendukung optimalisasi fungsi
intermediasi perbankan?
Tujuan :
1. Untuk mengetahui kebijakan perbankan dalam mendukung fungsi intermediasi dalam
rangka pemberdayaan sektor UMKM.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi UMKM dalam memperoleh
pembiayaan melalui kredit perbankan.
3. Untuk mengetahui langkah-langkah yang diperlukan dalam mendukung optimalisasi
fungsi intermediasi perbankan.
PEMBAHASAN
Perbankan mempunyai fungsi penting dalam pembangunan ekonomi, yakni sebagai
lembaga intermediasi atau perantara, dalam mempertemukan pihak-pihak yang memiliki
kelebihan dana dengan pihak-pihak yang membutuhkan dana. Fungsi ini diatur dalam Pasal 3
UU Perbankan, bahwa “Fungsi utama Bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk tabungan dan menyalurkannya dalam bentuk pinjaman (kredit)“. Fungsi
intermediasi perbankan merupakan urat nadi bagi perekonomian, mengingat para pelaku
usaha sebagai penggerak ekonomi memerlukan dana perbankan (kredit) untuk kegiatan
usahanya, tidak terkecuali sektor UMKM. Hal tersebut, menunjukkan adanya keterkaitan
antara sektor riil dengan perbankan.
1. Pengertian dan Unsur-Unsur Kredit
Ketika sumber dana bank telah terpenuhi maka kegiatan bank selanjutnya adalah
penyaluran dana. Bank dapat memberikan salah satu fasilitas keuangan yang
memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli
produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan yang disebut
dengan Kredit. Menurut UU Nomor 10 tahun 1998 setelah perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga. Jika seseorang menggunakan jasa kredit, maka ia akan dikenakan bunga tagihan.
Dalam melakukan penilaian kriteria-kriteria serta aspek penilaian tetap sama. Biasanya
kriteria penilaian yang umum harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah
yang benar-benar layak untuk diberikan, dilakukan dengan analisis 5C (Herli, 2013).
a. Character
Character merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari seseorang
yang akan diberikan kredit benar-benar harus dipercaya. Dalam hal ini bank
meyakini benar bahwa calon debiturnya memiliki reputasi baik, artinya selalu
menepati janji dan tidak terlibat hal-hal yang berkaitan dengan kriminalitas.
b. Capacity
Capacity adalah analisis untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam membayar
kredit. Bank harus mengetahui secara pasti atas kemampuan calon debitur dengan
melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu. Pendapatan yang selalu
meningkat diharapkan kelak mampu melakukan pembayaran kembali atas kreditnya.
Sedangkan bila diperkirakan tidak mampu, bank dapat menolak permohonan dari
calon debitur. Capacity sering juga disebut dengan nama Capability.
c. Capital
Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelola calon
debitur. Bank harus meneliti modal calon debitur selain besarnya juga strukturnya.
Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dapat dilihat dari laporan keuangan
(neraca dan laporan rugi laba) yang disajikan dengan melakukan pengukuran seperti
dari segi likuiditas dan solvabilitasnya, rentabilitas dan ukuran lainnya.
d. Condition
Pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang
dikaitkan dengan prospek usaha calon nasabah. Penilaian kondisi dan bidang usaha
yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga
kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.
e. Collateral
Collateral merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik
maupun yang nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan.
Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi sesuatu, maka
jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.
2. Kredit Bermasalah
Kredit menjadi sumber pendapatan dan keuntungan bank yang terbesar. Di
samping itu kredit juga merupakan jenis kegiatan penggunaan dana yang sering menjadi
penyebab utama bank menghadapi masalah besar. Karenanya, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa stabilitas usaha bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dalam
mengelola kredit. Usaha bank yang berhasil mengelola kreditnya akan berkembang,
sedangkan usaha bank yang selalu dihadapkan kredit bermasalah yang tidak terselesaikan
lambat laun akan mundur. Hal tersebut, disebabkan tidak semua nasabah yang telah
memperoleh kredit dari bank bisa mengembalikan kreditnya dengan lancar sesuai dengan
waktu dan perjanjian yang telah ditentukan. Kenyataannya masih banyak nasabah yang
tidak dapat mengembalikan kredit kepada pihak perbankan. Akibat nasabah tidak dapat
mengembalikan kredit yang dipinjamnya maka perjalanan kredit akan mengalami
kemacetan. Salah satu ketentuan yang mengatur tentang kredit bermasalah di bank adalah
ketentuan dari Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa Non Performing Loan’s (NPL)
tidak lebih dari 5% terhadap total debetnya. (Tanjung, 2009).
A. Kebijakan Perbankan yang Ada Sudah Mendukung Fungsi Intermediasi dalam Rangka
Pemberdayaan Sektor UMKM
Sektor UMKM dihadapkan pada kesulitan untuk mendapatkan kredit perbankan
karena dianggap tidak bankable, yaitu tidak memenuhi syarat untuk mendapat kredit
perbankan. Oleh karena itu kebijakani perbankan seharusnya diarahkan untuk
menggerakkan
kembali
sektor
riil.
Beberapa
kebijakan
perbankan
dalam
implementasinya belum sepenuhnya mendukung pemberdayaan sektor riil khususnya
UMKM .

Regulasi yang Mendukung Fungsi Intermediasi :
Berdasarkan Pasal 3 UU Perbankan, Bank mempunyai fungsi utama untuk
menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan baik berupa tabungan,
deposito, sertifikat deposito maupun bentuk-bentuk lainnya. Selanjutnya dana ini
disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Bank Indonesia menghimbau
Bank operasional menyalurkan kreditnya hingga 30 % dari total kredit yang
dikucurkan.

Regulasi yang Dianggap Tidak Mendukung Fungsi Intermediasi :
Regulasi perbankan yang ada saat ini belum secara optimal mendukung dan
memfasilitasi fungsi intermediary perbankan. Masih diperlukan deregulasi yang
terkait dengan fungsi intermediary, agar fungsi ini dapat berjalan dengan optimal
dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh sektor rill melalui pemberdayaan
UMKM. Pihak bank akan menilai feasibility dan bankability sebagai kriteria
utama pemberian kredit pada calon debitur. Belum efektifnya fungsi intermediasi
di dalam mendorong sektor riil dapat disebabkan oleh Bank tidak memiliki
keyakinan yang memadai terhadap ke dua aspek tersebut pada calon debitur. Di
samping karena prinsip kehati-hatian, pihak Bank dapat beragumentasi bahwa
“lebih baik kehilangan pendapatan (bunga) karena tidak memberikan kredit,
daripada memberikan kredit tetapi akan menghadapi potensi macet (kehilangan
pokok pinjaman ditambah pendapatan bunga). Hal ini relevan untuk sektor riil
yang dipersepsikan pihak perbankan sebagai sektor yang berisiko untuk dibiayai
sehingga dapat memunculkan fenomena credit banning untuk sektor riil tertentu.
B. Hambatan-Hambatan yang Dihadapi UMKM untuk Memperoleh Pembiayaan
Melalui Kredit Perbankan
1. Sejalan dengan penerapan prinsip prudential banking, pasal 8 UU Perbankan
mengatur bahwa analisis pemberian kredit merupakan persyaratan dalam pemberian
kredit. Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan menegaskan bahwa yang agunan
(collateral) yang wajib diminta pihak Bank adalah jaminan pokok, yaitu objek yang
dibiayai oleh kredit, sedangkan agunan tambahan tidak wajib, sepanjang Bank
memiliki keyakinan bahwa debitur beritikad baik dan mempunyai kemampuan
membayar. Dalam praktik, The 5 C’s analysis of credit khususnya collateral
merupakan salah satu yang diwajibkan dalam pemberian kredit, sehingga
menyebabkan UMKM dianggap tidak bankable.
2. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang menjadi program BUMN
belum diberdayakan secara optimal. Program ini masih membebankan UMKM
dengan bunga yang relatif memberatkan, sehingga UMKM memiliki akses yang
sangat sempit untuk medapatkan kredit. Celah inilah yang sekarang digunakan oleh
dana-dana asing, yang pada gilirannya menyebabkan UMKM sebagai basis ekonomi
justru dikuasai oleh modal asing.
C. Langkah-Langkah yang Diperlukan dalam Mendukung Optimalisasi Fungsi
Intermediasi Perbankan
1. Upaya UMKM agar memiliki akses pada kredit perbankan (Bankable).
Bankable adalah prasyarat yang dapat diterima bila ingin berbisnis dengan bank.
Seringkali UMKM dianggap tidak bankable karena tidak memenuhi prasyarat Bank.
Oleh karena itu UMKM secara internal harus membenahi diri untuk memenuhi
prasyarat tersebut.
2. Pemenuhan kriteria The 5 C’s agar Bankable
Prinsip 5 C’s merupakan implementasi prinsip kehati-hatian sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 8 UU Perbankan. Pemenuhan prinsip ini akan meningkatkan
kepercayaan Bank pada UMKM.
3. Pola Hubungan Bank dan Lembaga Keuangan Mikro
Memberdayakan usaha mikro melalui akses pembiayaan yang mudah dan tanpa
jaminan, karena memang permasalahan utama usaha mikro adalah permodalan.
Diantara usaha yang dilakukan negara untuk memperbesar dana ke usaha mikro
adalah dengan membangun pola hubungan antara bank dengan lembaga keuangan
mikro (LKM). LKM dipilih karena banyak sekali usaha mikro yang feasible secara
bisnis akan tetapi tidak bankable untuk proses pengajuan kredit ke lembaga
keuangan. LKM diyakini dapat menjembatani permasalahan akses usaha mikro
terhadap kredit yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha.
KESIMPULAN
1. Kebijakan perbankan yang ada belum sepenuhnya mendukung fungsi
intermediasi namun perbankan lebih banyak memilih fee based income
(menjadi agen penjual reksadana, menjadi wali amanat, jasa kustodian) dan
kebijakan tentang sistem pengawasan Bank Indonesia yang berbasis risiko
(risk based supervision), sehingga prinsip prudential banking ditafsirkan
terlalu berhati-hati khususnya dalam pemberian kredit.
2. Hambatan yang dihadapi UMKM untuk memperoleh kredit perbankan
adalah hambatan regulasi/kebijakan berupa tidak dipenuhinya persyaratan
pemberian kredit, antara lain ketersediaan agunan (collateral) sehingga
UMKM dianggap tidak bankable, di samping itu UMKM seringkali
mengabaikan persyaratan teknis seperti keberadaan SIUP, SITU dan
rekening koran.
3. Upaya yang diperlukan untuk optimalisasi fungsi intermediasi dapat berupa
upaya internal UMKM dengan mengupayakan UMKM menjadi bankable,
internal perbankan dengan menciptakan linkage antara Bank dengan
Lembaga Keuangan Mikro dalam menyalurkan kredit program seperti Kredit
Usaha Rakyat (KUR) mikro, dan eksternal melalui keikutsertaan pemerintah
dalam penyediaan modal melalui penyaluran dana dengan melibatkan fungsi
pemberdayaan lembaga penjamin kredit bagi UMKM.
4. Kredit macet atau NPL dapat diatasi dengan kerjasama antara pihak Bank
dan UMKM. Pihak Bank mencari penyebab UMKM yang tidak mampu
membayar kredit atau pinjaman. Jika penyebab UMKM tidak mampu
membayar karena usahanya bangkrut atau produknya tidak laku maka pihak
Bank dapat menganalisis penyebab kebangkrutan dan mencari peluang pasar
UMKM.
DAFTAR PUSTAKA
www.bi.go.id
www.neraca.co.id
www.wikipedia.com
Download