Sistem Keuangan Indonesia : Membaca Statistik Sistem Keuangan Indonesia Oleh: Subagyo Artikel ini ditulis sebagai bahan diskusi dalam Mata Kuliah Pasar Keuangan (Financial Markets). Dalam Statistik Sistem Keuangan Indonesia, yang secara bulanan diterbitkan oleh Bank Indonesia, pada edisi Bulan Pebruari 2017 memberikan gambaran mengenai kondisi Sistem Keuangan Indonesia yang sebagian indikator akan digambarkan dalam artikel ini. Namun dalam edisi publikasi tersebut, meskipun terbitan berkala bulan Pebruari 2017, data terakhir yang termaktub adalah data bulan Desember 2016. Dalam pengantar publikasi ini, dikatakan bahwa diterbitkannya Statistik Sistem Keuangan Indonesia ini dalam rangka mendukung tugas-tugas terkait dengan kebijakan Makroprudensial / Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Statistik Sistem Keuangan Indonesia merupakan kumpulan indikator yang mengambarkan perkembangan berbagai elemen ekonomi terkait sistem keuangan yang menjadi fokus kebijakan makroprudensial (stabilitas sistem keuangan) di Indonesia. Komposisi Aset Sektor Keuangan Dalam Statistik Sistem Keuangan Indonesia, dengan data bulan Desember 2016, Komposisi Aset Sektor Keuangan Indonesia tergambarkan dalam gambar sebagai berikut: Komposisi Aset Sektor Keuangan Perbankan Pers. Pembiayaan Modal Ventura Asuransi Dana Pensiun Lembaga Penjaminan 3% 6% 0% 0% 0% 8% 83% Sumber: Diolah dari Statistik Sistem Keuangan Indonesia Bulan Pebruari 2017, Bank Indonesia Dari gambar tersebut, aset industri Perbankan memiliki tingkat dominasi yang luar biasa tinggi, diikuti dengan industri Asuransi, Perusahaan Pembiayaan dan Dana Pensiun. Sedangkan industri keuangan lainnya memilki porsi kepemilikan aset yang relatif sangat kecil. Aset industri Asuransi yang menduduki posisi kedua, masih bernilai sepersepuluh jika dibandingkan dengan aset industri Perbankan. Dominannya aset industri Perbankan menjadikan sistem keuangan di Indonesia bertumpu dan begitu bergantung pada industri Perbankan. Hal ini membawa konsekuensi pada masih bergantungnya sumber pendanaan sebagai bagian dari kebijakan pendanaan (financing decision) pada sumber pendanaan perbankan dalam bentuk kredit. Demikian pula dari sisi alternatif investasi atau penempatan dana, industri Perbankan masih menjadi preferensi utama bagi sebagian besar masyarakat dan korporasi. Jika melihat data terkait dengan nilai Net Interest Margin (NIM), Bank Umum Konvensional memiliki nilai NIM yang relatif tinggi, yaitu 5,63%. Dengan nilai NIM sebesar itu, maka indikasi yang bisa ditangkap adalah industri Perbankan saat ini masih belum mampu memberikan tingkat bunga atas kredit yang kompetitif jika diperbandingkan dengan Perbankan di luar negari, yang rata-rata memiliki tingkat NIM relatif lebih rendah daripada Perbankan Indonesia. Atau dengan kalimat lain, pengguna dana Perbankan (debitur) menanggung biaya modal (cost of capital) yang relatif lebih tinggi daripada kompetitor mereka (pengguna dana) di luar negeri. Dengan nilai NIM yang relatif tinggi, itu pula yang menyebabkan investor asing menjadi tertarik untuk “bermain” dalam industri Perbankan di Indonesia. Kondisi dominasi aset industri Perbankan dibandingkan dengan industri keuangan lainnya perlu segara direduksi. Artinya industri keuangan lainnya perlu ditingkatkan peran ekonominya dalam sistem keuangan Indonesia. Dari sisi masyarakat masih diperlukan literasi keuangan (financial literacy) yang masif untuk mengenalkan industri keuangan lainnya (selain Perbankan) agar dominasi ini tidak semakin menjadi-jadi. Belum lagi, jika kita melihat struktur kepemilikan atas industri keuangan. Ada pengumpulan kepemilikan industri keuangan kepada beberapa pelaku ekonomi atau entitas bisnis tertentu. Bank sekaligus menjadi pemiliki perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan dan lain-lain. Penumpukan ini juga akan membawa konsekuensi risiko. Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat Jumlah Bank Umum, per Desember 2016 berjumlah 118 sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berjumlah 1637. Namun dengan jumlah tersebut Bank Umum menguasai 98% aset Perbankan, dan BPR hanya memiliki aset sebesar 2%. Kondisi ini terlihat pada gambar berikut: Jumlah Aset Bank Umum Bank Umum 0 Bank Umum Jumlah 118 Bank Perkreditan Rakyat 2000 Bank Perkreditan Rakyat 1637 2% 98% Sumber: Diolah dari Statistik Sistem Keuangan Indonesia Bulan Pebruari 2017, Bank Indonesia Apakah kondisi timpang seperti ini merupakan sebuah kewajaran dan konsekuensi atas kebebasan pasar ? Adalah wajar jika Bank Umum memiliki aset yang jauh lebih besar dibandingkan dengan BPR, namun saat jarak tersebut begitu timpang seperti diatas, maka itupun juga perlu segera dicarikan solusi. Agar BPR juga mampu bersaing dengan Bank Umum dalam level yang diperkenankan oleh UU Perbankan. Dalam Perbankan, jika persaingan antar mereka dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar yang berlaku, maka dikhawatirkan tekanan persaingan itu akan menjadikan Perbankan mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudential banking). BPR perlu dikuatkan dalam kegiatan Perbankan, biar tidak terpinggirkan oleh masif-nya Bank Umum dalam melakukan operasional sampai ke pelosok nusantara. Komposisi Kredit Perbankan Komposisi kredit Perbankan, posisi bulan Desember 2016, menunjukkan ketimpangan yang juga besar, yaitu Perbankan hanya mampu (baca: bersedia) menyalurkan kredit kepada UMKM hanya sebesar 19% dari keseluruhan kredit yang diberikan, sedangkan kepada Korporasi, Perbankan bersedia memberikan kredit sampai 81%. Padahal UMKM memiliki jumlah yang jauh lebih besar daripada korporasi besar. UMKM berjumlah sekitar 98% dari seluruh pelaku bisnis dengan penyerapan tenaga kerja yang juga jauh lebih besar jika dibandingkan dengan korporasi besar. Namun UMKM hanya mendapatkan kredit dan pembiayaan tidak lebih dari 19%. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut: Kredit Perbankan UMKM Korporasi 19% 81% Sumber: Diolah dari Statistik Sistem Keuangan Indonesia Bulan Pebruari 2017, Bank Indonesia Mengapa UMKM hanya mendapatkan 19% dari total kredit Perbankan ? Apakah UMKM relatif tidak membutuhkan tambahan pendanaan dalam bisnis-nya ? Apakah UMKM memiliki alternatif sumber pendanaan yang lebih variatif daripada korporasi besar ? Apakah UMKM memilki potensi risiko default yang lebih tinggi daripada korporasi besar ? Pertanyaan-pertanyaan ini, jika dibuat suatu suatu generalisasi, pastilah jawabnya adalah tidak!. UMKM memerlukan tambahan pendanaan untuk pengembangan usaha, mereka tidak banyak memiliki alternatif pendanaan yang tersedia, mereka-pun secara umum memiliki tingkat risiko default yang lebih kecil (ingat fenomena yang terjadi saat krisis 1997/98). Namun mengapa UMKM masih mendapatkan porsi pendanaan yang relaif kecil ? UMKM masih dihadapkan pada masalah klasik (yang entah kapan akan tuntas), yaitu masih dianggap sebagai non bankable entities. UMKM sebagain besar dihadapkan kendala ketidaktersediaan aset yang bisa dijadikan jaminan atas kredit, UMKM tidak memiliki legalitas usaha yang cukup kredibel bagi Perbankan, UMKM masih banyak pula yang tidak melakukan pembukuan, pencatatan apalagi memiliki laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi. Masalah ini mesti segera menemukan solusi. Jika tidak, maka UMKM tidak cukup memiliki kesempatan tumbuh yang cukup, karena kurangnya bahan bakar ekonomi (dana) dalam menangkap kesempatan atau peluang tersebut. Komposisi Penyaluran Dana Perbankan Dalam Statistik Sistem Keuangan tersebut, ternyata juga digambarkan bagaimana kebijakan investasi (investment decision) Perbankan. Secara umum, investasi Perbankan memiliki struktur seperti tergambar dalam gambar berikut: Komposisi Penyaluran Dana Perbankan Penempatan pada BI Penempatan pada Bank Lain Surat Berharga Kredit Lainnya 6% 11% 3% 13% 67% Sumber: Diolah dari Statistik Sistem Keuangan Indonesia Bulan Pebruari 2017, Bank Indonesia Sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) adalah hal yang sangat wajar jika Perbankan menempatkan dananya sebesar 67% untuk pemberian kredit. Meskipun angka 67% tersebut bisa diperdebatkan terkait dengan kewajarannya. Apakah 67% merupakan angka yang ideal, ataukah angka yang masih perlu ditingkatkan lagi untuk memenuhi fungsi sebagai lembaga perantara keuangan? Tentunya memang banyak faktor yang bisa mempengaruhi besaran jumlah penyaluran kredit Perbankan. Karena Perbankan juga harus berhati-hati dalam menempatkan dananya dalam bentuk kredit. Posisi kedua sebagai alternatif penempatan dana Perbankan adalah surat berharga. Perbankan banyak menempatkan dananya pada instrumen keuangan (financial instrument) yang diemisi oleh pemerintah. Kemungkinan ini sebagai strategi Perbankan untuk tetap menjaga likuiditas dan secara bersamaan ada potensi untuk memperoleh imbal hasil yang cukup. Hal ini sebagai penopang finansial sebelum dana tersebut dilemparkan dalam bentuk kredit. Sekali lagi yang menjadi masalah, bukanlah alternatif atas penempatan dana atau investasi yang dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan adalah prioritas dan jumlah atas penempatan dana tersebut. Maksudnya, prioritas yang utama bagi Perbankan adalah penempatan dana dalam bentuk kredit dalam jumlah (saat ideal) mesti mengalami peningkatan. Kinerja Pasar Modal Beberapa indikator untuk menilai kinerja pasar modal, tampak dalam gambar berikut: IHSG 5297 Kapitalisasi Pasar 5753613 Jumlah Emiten 537 PER 16,05 Sumber: Diolah dari Statistik Sistem Keuangan Indonesia Bulan Pebruari 2017, Bank Indonesia Di Bursa Efek Indonesia, saat ini memilki emiten berjumlah 537 perusahaan dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp. 5.7 Triliyun lebih. IHSG pada bulan Desember 2016 pada titik 5.297 dengan tingkat Price Earning Ratio (PER) sebesar 16.05x. Jumlah emiten memang perlu selalu ditingkatkan, dengan memberikan insentif berupa deregulasi peraturan yang memungkinkan perusahaan kecil dan menengah untuk bisa mengakses sumber permodalan melalui pasar modal. Tentunya peningkatan jumlah emiten ini perlu pula disertai dengan peningkatan jumlah investor dipasar modal, khususnya investor individual atau investor ritel. Dengan meningkatkan jumlah emiten dan jumlah investor, diharapkan pasar modal semakin kredibel. Dalam arti tidak mudah bagi kelompok investor melakukan gerakan price maker dengan perbuatan tertentu. Emiten dan investor yang meningkatkan akan meningkatkan kapitalisasi pasar modal, sehingga tidak mudah atau menutup peluang price maker oleh investor tertentu. Untuk itu, deregulasi bagi emiten baru serta peningkatkan perlindungan bagi investor kecil mutlak diperlukan, dan tidak kalah penting adalah memberikan literasi keuangan yang cukup bagi masyarakat. Saat melihat nilai PER sesungguhnya kita melihat kepantasan dari harga suatu saham. Dengan PER 16x itu bermakna bahwa saham tersebut dijual dengan harga 16x lebih besar daripada keuntungan per lembar saham/earning per share (EPS). Karena data dalam Statistik Sistem Keuangan tersebut adalah data umum atau rata-rata, maka pemaknaan dari PER tersebut adalah secara rata-rata, harga saham pada bulan Desember 2016 ditransaksikan dengan harga 16.05x lebih besar daripada EPSnya. Nilai EPS yang kecil merupakan insentif bagi investor untuk masuk ke pasar modal. Namun dalam analisa investasi tentunya tidak bisa dilakukan generalisasi terkait dengan nilai PER. Melihat PER masing-masing saham menjadi penting. Daftar Pustaka Bank Indonesia, Statistik Sistem Keuangan Indonesia, Bulanan, Pebruari 2017, diakses di www.bi.go.id pada tanggal 8 Maret 2017.