BAB IV ANALISIS TAFSIR AL-T{A BARI> PADA AYAT JIHAD A

advertisement
BAB IV
ANALISIS TAFSIR AL-T{ABARI>
PADA AYAT JIHAD
A. Pandangan al-T}abari tentang Makna Jihad
Sebelum jauh melangkah ke ta’wil seputar kata “jiha>d” dan
derivasinya, terlebih dahulu al-T}abari> menjelaskan definisi kata “jihad”.
Menurutnya asal kata ini bermakna masyaqqah (kesulitan). Maka jihad dengan
derivasi kata “ja>hada” berarti saling menyulitkan.1
Namun tidak setiap kata “jihad” yang terdapat pada ayat-ayat al-Qur‟an
dikomentari secara mufrada>t oleh al-T}abari>. Ada beberapa ayat yang
menyinggung kata “jihad” ia jelaskan makna mufrada>t nya, sedangkan pada
ayat-ayat yang lain, ia hanya menjelaskan ta’wi>l ayat tersebut secara global.
Meskipun demikian, dapat diidentifikasi bagaimana makna jihad pada ayat
yang tidak dijelaskan secara detail maknanya, yakni dengan cara menganalisa
munasa>bah antar ayat dan rangkaian keterangan al-T}abari> terhadap ayat-ayat
tersebut.
Dari penjelasan al-T}abari> terhadap makna mufrada>t jihad maupun
ta’wil secara global pada ayat jihad, menunjukkan ragam dan variasi makna
jihad dalam pandangan al-T}abari>. Secara umum makna-makna tersebut dapat
dikelompokkan sebagaimana berikut:
1
Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz. IV, hal. 318
61
62
a. Al-Qita>l (Peperangan).
Sebagaimana pada QS. al-Ankabu>t [29]: 69
ِ
ِ
ِ َّ
ِِ
)96( ‫ني‬
َ ‫َّه ْم ُسبُلَنَا َوإِ َّن اللَّوَ لَ َم َع الْ ُم ْحسن‬
َ ‫ين َج‬
ُ ‫اى ُدوا فينَا لَنَ ْهديَن‬
َ ‫َوالذ‬
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik ”.
Al-T}abari> menafsirkan kata “ja>hadu> fi> na> ” pada ayat ini dengan kata
“qa>talu> fi> na> ” (berperang di jalan kami).2 Lebih jauh al-T}abari>
menambahkan beberapa penjelasan, termasuk tentang objek peperangan
tersebut adalah melawan mereka yang mengadakan kedustaan terhadap
Allah (ha>’ula>i al-muftari>na ‘ala Allah kaz\iban) yang beliau tegaskan bahwa
mereka ini adalah orang-orang kafir Quraish. Penegasan tentang melawan
orang-orang kafir Quraish ini didasarkan pada muna>sabah ayat tersebut
dengan ayat-ayat sebelumnya (67 dan 68) yang merupakan satu rangkaian
yang masih mengisahkan perbuatan orang-orang kafir Quraish.
Makna peperangan ini juga nampak pada penafsiran ayat-ayat
berikut:
1. QS. al-Baqarah (2): 218
2. QS. ali ‘Imra>n (3): 142
3. QS. al-Nisa>’ (4): 95
2
Ibid., juz. XX, hal. 63
63
4. QS. al-Ma>idah (5): 35, 54
5. QS. al-Taubah (9): 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88
6. QS. al-Hajj (22): 78
7.
QS. al-Ankabu>t (29): 6, 69
8. QS. Muhammad (47): 31
9. QS. al-Hujura>t (49): 15
10. QS. al-Tahri>m (66): 9
b. Menyampaikan hujjah
Makna ini terdapat pada penafsiran QS. al-Furqa>n [25]: 51-52
ِ ‫) فَ َل تُ ِط ِع الْ َكافِ ِرين وج‬1ٔ( ‫ولَو ِشْئ نا لَب عثْ نا ِف ُكل قَرية نَ ِذيرا‬
‫اى ْد ُى ْم بِِو ِج َه ًادا‬
َ ََ َ ْ َ
ََ َ
ً َْ
)1ٕ( ‫َكبِ ًريا‬
Artinya: “ Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami utus seorang
pemberi peringatan pada setiap negeri. Maka janganlah engkau
taati (keinginan) orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap
mereka dengannya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan
yang besar ”.
Pada ayat ini, meskipun al-T}abari> tidak secara tegas men-ta’wi>l kata
“wa ja>hid hum” dengan kalimat tertentu, tapi al-T}abari> memberikan
tanggapan pada kata “bihi>” dengan ta’wi>l ‚bi ha>z\a al-Qur’a>n” (dengan alQur‟an ini).3 Sedangkan pada ayat ke-51, al-T}abari> mengomentarinya
3
Ibid., juz. XIX, hal. 281
64
dengan penjelasan yang panjang perihal diutusnya Nabi S.A.W. seorang diri
untuk semua umat di seluruh negeri serta faktor pentingnya kesabaran dalam
menghadapi mereka. Dengan memikul beban berat tersebut beliau akan
mendapatkan kemuliaan yang dijanjikan oleh Allah S.W.T.
Dengan demikian, jihad pada ayat ini juga dimaknai oleh al-T}abari>
sebagai jihad untuk menyampaikan hujjah menggunakan dalil-dalil pasti
dengan sungguh-sungguh dan penuh kesabaran sehingga akan membuat
orang-orang kafir dari seluruh negeri mengerti dan mengakui kebenaran
yang ada di dalam al-Qur‟an. Hal ini lebih tegas lagi oleh adanya penjelasan
al-T}abari>, bahwa pengakuan orang-orang kafir terhadap kebenaran alQur‟an diwujudkan dengan pengamalan mereka secara suka rela ataupun
paksa (t}au’an aw karhan). Implementasinya adalah bahwa jihad pada ayat
ini bisa bermakna diplomasi agar mereka ikut secara suka rela ataupun
pemaksaan dengan agresi.
c. Bersungguh-sungguh (dengan segala upaya)
Sebagaimana dalam QS. al-Ankabu>t [29]: 8
ِ ِ ِ َ ‫َج‬
‫ك بِِو ِع ْلم فَ َل‬
َ َ‫س ل‬
َ ‫اى َد َاك لتُ ْشرَك ب َما لَْي‬
‫ُح ْسنًا َوإِ ْن‬
ِْ ‫صْي نَا‬
‫اْلنْ َسا َن بَِوالِ َديْ ِو‬
َّ ‫َوَو‬
)8( ‫ل َم ْرِجعُ ُك ْم فَأُنَبئُ ُك ْم ِِبَا ُكْنتُ ْم تَ ْع َملُو َن‬
ََّ ِ‫تُ ِط ْع ُه َما إ‬
Artinya: “ Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan
kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak
65
mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi
keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan ”.
Al-T}abari> tidak secara tegas menyebutkan ta’wil dari kata jihad
pada ayat diatas. Al-T}abari> hanya meriwayatkan dari Qata>dah mengenai
asba>b al-nuzul ayat ini ketika Sa’d ibn Abi> Waqa>s} berhijrah, ibunya yang
masih kafir bersumpah tidak akan masuk rumah sampai Sa’d ibn Abi Waqa>s}
pulang. Lalu turunlah ayat tersebut agar ia patuh terhadap orang tuanya tapi
tidak untuk mengikuti kemauan mereka supaya ia kembali kafir.4
Dengan demikian bisa difahami, pemaknaan terhadap kata jihad di
sini adalah bersungguh-sungguh dengan segala upaya. Seperti apa yang
dilakukan oleh ibu dari Sa’d ibn Abi> Waqa>s.
Yang semakna dengan tafsir ayat diatas terdapat pada:
1. Al-Ma>’idah (5): 53
2. Al-An’a>m (6): 109
3. Al-Nah{l (16): 38
4. Al-Nu>r (24): 53
5. QS. Luqma>n (31): 15
6. Fa>t}ir (35): 42
7. QS. al-S}aff (61): 11
d. Keteguhan pada agama melawan penderitaan atau cobaan
Seperti contoh pada penafsiran QS. al-Anfa>l (18) : 72
4
Ibid., juz. XX, hal. 12
66
ِ َّ ِ
ِِ ِ
ِ َّ ِ
ِ ِ ِِ
‫ين آََوْوا‬
َ ‫اج ُروا َو َج‬
َ ‫ين آَ َمنُوا َوَى‬
َ ‫اى ُدوا بأ َْم َواِل ْم َوأَنْ ُفسه ْم ف َسب ِيل اللَّو َوالذ‬
َ ‫إ َّن الذ‬
‫ض ُه ْم أ َْولِيَاءُ بَ ْعض‬
َ ِ‫ص ُروا أُولَئ‬
ُ ‫ك بَ ْع‬
َ َ‫َون‬
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orangorang yang memberikan tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling
melindungi”
Pada redaksi “wa ja>hadu>”, imam al-T}abari> menafsirkannya dengan
kalimat “ba>laghu> fi> it’a>bi nufu>sihim wa ins}a>biha> fi> h}arb a’da>’ Allah min al-
kuffa>r”5 (menekan keras penderitaan diri mereka dan teguh dalam
menghadapi serangan musuh-musuh Allah, yakni orang-orang kafir). Tema
pada ayat ini adalah menyoroti persatuan dua kelompok (fari>qata>n), yakni
sekelompok muha>jiri>n yang rela meninggalkan keluarga, kerabat, harta
benda dan kaum mereka serta perjuangan untuk menekan penderitaan yang
mereka alami akibat tindakan penyiksaan dari orang-orang kafir Quraisy,
dan sekelompok orang-orang ans}a>r yang melindungi dan menampung
mereka.
Yang semakna dengan penafsiran ayat tersebut juga bisa dilihat
pada tafsir ayat-ayat berikut:
1. QS. al-Anfa>l (8): 74, 75
5
Ibid., juz. XIV, hal. 77
67
2. QS. al-Nah}l (16): 110
3. QS. al-Mumtah}anah (60): 1
e. Al-T}aq> ah (kesanggupan/ kemampuan)
Penafsiran dengan makna ini terdapat pada QS. al-Taubah (9): 79
ِ َّ ِ َّ ‫الَّ ِذين ي ْل ِمزو َن الْمطَّو ِعني ِمن الْمؤِمنِني ِف‬
‫ين َل ََِي ُدو َن إَِّل ُج ْه َد ُى ْم‬
َ ُْ َ َ ُ ُ َ َ
َ ‫الص َدقَات َوالذ‬
)96( ‫فَيَ ْس َخ ُرو َن ِمْن ُه ْم َس ِخَر اللَّوُ ِمْن ُه ْم َوَِلُ ْم َع َذاب أَلِيم‬
Artinya: “(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orangorang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan
(mencela)
orang-orang
yang
tidak
memperoleh
(untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orangorang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas
penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.”
Al-T}abari>
menjelaskan
kata
“juhdahum”
dengan
kalimat
“t}a>qatuhum” (kesanggupan/ kemampuan mereka). Ayat ini menceritakan
tentang sikap orang-orang munafik yang mencela sedekah dari orang-orang
mukmin dengan perkataan mereka: “sedekah itu hanya riya‟ dan pamer” dan
juga menghina orang-orang yang tidak mempunyai apapun untuk
disedekahakan kecuali kemampuan materi (juhd) untuk hidup diri mereka
sendiri, lalu orang-orang munafik itu mengatakan: “Allah tidak butuh
sedekah mereka”.6
6
Ibid., juz. XIV, hal. 382
68
B. Relasi antara Jihad dan Qita>l
Meskipun demikian tidak dapat ditolak bahwa jihad dalam al-Qur'an
juga bisa berarti perang atau perjuangan dengan cara-cara kekerasan dan
bersenjata, utamanya terhadap orang-orang kafir. Sebenarnya ada sejumlah
kata dalam bahasa Arab yang paling spesifik untuk menunjuk arti perang,
meski dengan nuansa yang berbeda. Antara lain qita>l, harb , siyar dan
ghazwah. Begitu pula ditemukan sejumlah ayat al-Qur'an yang
tentang
perang
terhadap
orang-orang
kafir
dengan
redaksi
berbicara
khusus
menggunakan kata “qita>l”.
Namun sebelum itu, perlu difahami bahwa hampir seluruh ayat-ayat
perang diturunkan sesudah Nabi S.A.W. hijrah ke Madinah atau yang dikenal
dengan ayat-ayat Madaniyyah. Melihat hal ini, pemaknaan jihad dengan perang
tampaknya tidak lepas dari latar belakang sejarah perkembangan Islam sendiri.
Ia muncul ketika Islam bergerak ke arena pergulatan politik dalam komunitas
Muslim dan non-Muslim. Akan tetapi jihad perang pada masa Nabi di Madinah
lebih dilakukan dalam kerangka membela diri dari agresi dan kekerasan.
Dalam banyak ayat, perang bukanlah inisiatif Islam. Al-Qur'an melarang kaum
Muslimin memerangi orang-orang yang tidak melakukan penyerangan atau
pengusiran. Sebagaimana ayat pada QS. Al-Mumtah}anah} [60]: 9
ِ َّ
ِ ِ
ِ
‫وى ْم‬
ُ ‫ين َلْ يُ َقاتلُوُك ْم ِف الدي ِن َوَلْ ُِيْ ِر ُجوُك ْم م ْن ديَا ِرُك ْم أَ ْن تَبَ ُّر‬
َ ‫َل يَْن َها ُك ُم اللَّوُ َع ِن الذ‬
ِ َّ
ِِ
َِّ
‫ين قَاتَلُوُك ْم ِف‬
ُّ ‫َوتُ ْق ِسطُوا إِلَْي ِه ْم إِ َّن اللَّوَ ُُِي‬
َ ‫ب الْ ُم ْقسط‬
َ ‫) إَّنَا يَْن َها ُك ُم اللَّوُ َع ِن الذ‬8( ‫ني‬
69
ِ
ِ ِ
‫ك‬
َ ِ‫اى ُروا َعلَى إِ ْخَراج ُك ْم أَ ْن تَ َولَّْوُى ْم َوَم ْن يَتَ َوَِّلُ ْم فَأُولَئ‬
ْ ‫الدي ِن َوأ‬
َ َ‫َخَر ُجوُك ْم م ْن ديَا ِرُك ْم َوظ‬
)6( ‫ُى ُم الظَّالِ ُمو َن‬
Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan kawanmu orang-orang yang
memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu
dan membantu orang lain mengusirmu”.
Pada ayat ini al-T}abari> menjelaskan secara detail beragam pendapat
mengenai siapakah yang dimaksud dengan kata “al-laz\ina lam yuqa>tilu>kum fi
al-di>n” (orang-orang yang tidak memerangimu). Kemudian dari pendapatpendapat tersebut, al-T}abari> cenderung mengambil sebuah pendapat bahwa
yang dikehendaki adalah semua umat beragama secara umum, tidak ada
halangan untuk berbuat baik terhadap mereka. Tidak ada takhsis} terhadap salah
satu golongan non-Muslim pada ayat tersebut. Sehingga al-T}abari> menegaskan
bahwa gagasan na>sikh mansu>kh yang menurut sebagian ulama‟ diterapkan
untuk ayat ini, tidak mempengaruhi keumuman maknanya.7
Jihad-perang juga banyak disinggung pada persoalan na>sikh-mansu>kh.
Ayat-ayat perdamaian yang menggambarkan Islam sebagai agama yang anti
7
Ibid., juz. XXIII, hal. 323
70
kekerasan maupun ayat tentang jihad dengan batas melawan kelompok tertentu
sering disebut telah di mansu>kh dengan ayat-ayat pedang yang memerintahkan
memerangi non-Muslim secara keseluruhan. Terkait dengan ini, al-T}abari> tidak
setuju dengan beberapa komentarnya di beberapa ayat. Contoh QS. al-Baqarah
[2]: 256 tentang tidak ada paksaan dalam agama.
ِ ُ‫الر ْش ُد ِمن الْغَي فَمن ي ْك ُفر بِالطَّاغ‬
‫وت َويُ ْؤِم ْن بِاللَّ ِو فَ َق ِد‬
ُّ ‫ني‬
َ َّ َ‫َل إِ ْكَر َاه ِف الدي ِن قَ ْد تَب‬
ْ َ َْ
َ
ِ
ِ
)ٕ19( ‫ص َام َِلَا َواللَّوُ ََِسيع َعلِيم‬
َ ‫استَ ْم َس‬
ْ
َ ‫ك بِالْعُْرَوة الْ ُوثْ َقى َل انْف‬
Artinya: “ Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya
telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang
siapa ingkar kepada T}a>ghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang
sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui ”.
Al-T}abari ketika menafsirkan ayat ini mengakui adanya klaim sebagian
ulama‟ yang berpendapat bahwa ayat ini telah di mansu>kh dengan ayat-ayat
qita>l. Pendapat ini didasarkan pada suatu riwayat yang dikemukakan oleh Zaid
ibn Asla>m bahwa Rasul S.A.W. selama 10 tahun tinggal di Mekkah tidak
pernah memaksa seorangpun untuk memeluk Islam. Tapi orang-orang kafir
justru memeranginya sehingga Rasul meminta izin untuk melawan mereka lalu
dikabulkan oleh Allah.
71
Menurut al-T}abari> riwayat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk naskh.
Sebab ayat ini ditujukan terhadap sekelompok tertentu, yakni Yahudi ataupun
Majusi dan semua agama lain yang mau membayar jizyah.8 Tidak ada paksaan
untuk mereka masuk ke dalam agama Islam. Sedangkan ayat yang berbicara
peperangan ataupun beberapa kisah yang menceritakan Rasulullah memaksa
suatu kaum untuk masuk Islam dan memerangi mereka yang enggan, adalah
kasus yang sama sekali berbeda. Peperangan itu terjadi melawan para
penyembah berhala dari masyarakat Quraish yang notabene selalu memusuhi
Islam atau terhadap golongan orang-orang yang murtad.9 Mereka inilah yang
diperangi oleh Nabi karena sikap permusuhan yang mereka tunjukkan,
keengganan mereka untuk tunduk kepada pemerintahan dan kecenderungan
mereka untuk melawan.
Konsep nasikh-mansukh dijelaskan oleh al-T}abari> sebagaimana ia
terangkan juga dalam kitabnya al-Lat}i>f min al-Baya>n an Us}u>l al-Ahka>m,
bahwa naskh tidak terjadi kecuali meniadakan seluruh hukum yang di naskh
(mansu>kh) dari segala aspek.10 Sehingga dalam na>sikh-mansu>kh tidak mungkin
bisa dikompromikan keduanya. Jadi, selama masih bisa dikompromikan
8
Kata jizyah diambil dari kata jaza’ yang artinya imbalan. Jizyah adalah pajak kepala
yang dibayarkan oleh penduduk dar al-Islam dari kalangan non-muslim kepada pemerintah
Islam. Jizyah ini dimaksudkan sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah Islam dan
konsekuensi dari perlindungan (rasa aman) yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka. Lihat:
Al-Ma>wardi, al-Ahka>m al-Sult}aniyyah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), hal. 153
9
Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz VIII, hal. 415
10
Ibid., juz V, hal. 414
72
pemahaman antara beberapa nas}s} yang tampak berbenturan, maka itu bukan
na>sikh mansu>kh.
Hal yang sama juga diterapkan oleh al-T}abari> pada kasus ayat QS. alBaqarah [2]: 190
ِ
ِ َّ ِ ِ ِ ِ
)ٔ6ٓ( ‫ين‬
ُّ ‫ين يُ َقاتِلُونَ ُك ْم َوَل تَ ْعتَ ُدوا إِ َّن اللَّوَ َل ُُِي‬
َ ‫ب الْ ُم ْعتَد‬
َ ‫َوقَاتلُوا ف َسب ِيل اللَّو الذ‬
Artinya: “ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas ”.
Dalam hal ini al-T}abari> menyebutkan dua pendapat tentang hukum ada
dan tidaknya naskh ayat tersebut dengan ayat QS. al-Taubah [9]: 1-5 dengan
disertai pula riwayat-riwayat untuk mendukung masing-masing pendapat
tersebut.11 Namun pada akhir komentarnya, al-T}abari> lebih cenderung
mendukung pada pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak di
naskh. Menurutnya, klaim yang menyatakan adanya naskh masih bersifat
“dimungkinkan” semata tanpa disertai dila>lah (petunjuk) yang jelas. Sehingga
ayat ini bersifat muh}kamah} yang tidak bisa dibantah.
Al-T}abari> kemudian menyimpulkan dengan mengatakan:
“Dengan demikian, ta’wi>l dari ayat ini adalah perangilah -Wahai
orang-orang mukmin- di jalan Allah. Jalan Allah adalah cara yang
telah dijelaskan oleh Allah dan agama yang telah disyariatkan kepada
hamba-hambanya. Allah mengatakan kepada mereka: Berperanglah
11
Ibid., juz III, hal. 561
73
dalam kepatuhan terhadap-Ku sesuai syari’at yang telah Aku buat
untuk kalian dalam agama-Ku. Ajaklah orang-orang yang berpaling
dari agama-Ku dengan ajakan tangan dan lisan sehingga mereka mau
kembali patuh kepada-Ku atau jika mereka ahli kitab maka bersedia
membayar jizyah dengan kerendahan. Allah Ta’ala memerintahkan
untuk memerangi orang-orang yang dalam status hukum perang, yakni
peperangan orang-orang kafir, bukan untuk memerangi orang-orang
yang tidak dalam status berperang, yakni perempuan dan anak-anak.
Karena mereka ini adalah harta dan peliharaan yang didapat secara
paksa jika mereka kalah.”
C. Fitnah dalam konteks ayat Jihad
Seorang tokoh liberal di tengah kelompok dan lingkungan Muslim garis
keras di Mesir, bernama Mark A. Gabriel melalui bukunya Islam and Terorism
(2002), secara lugas mengukuhkan terjadinya relasi antara Islam dan
terorisme.12 Gabriel berpandangan bahwa motif utama dari jihad adalah untuk
membasmi manusia yang tidak menerima Islam sebagai agamanya.
Menurutnya praktik jihad di zaman Nabi adalah memerangi warga Kristen dan
Yahudi ataupun orang-orang menyembah berhala. Diantara ayat yang menjadi
legitimasi pemahamannya ini adalah QS. al-Baqarah [2]: 191-193
12
86-88
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Gramedia, 2014), hal.
74
ِ
ِ ‫واقْ ت لُوىم حي‬
‫َش ُّد ِم َن الْ َقْت ِل َوَل‬
َ ‫َخَر ُجوُك ْم َوالْفْت نَةُ أ‬
ُ ‫وى ْم ِم ْن َحْي‬
ُ َْ ْ ُ ُ َ
ْ‫ثأ‬
ْ ‫وى ْم َوأ‬
ُ ‫َخ ِر ُج‬
ُ ‫ث ثَق ْفتُ ُم‬
ِ
ِِ ِ
ِ
ْ ‫وى ْم ِعْن َد الْ َم ْس ِج ِد‬
َ ‫وى ْم َك َذل‬
ُ ُ‫اْلََرِام َح َّّت يُ َقاتلُوُك ْم فيو فَِإ ْن قَاتَلُوُك ْم فَاقْ تُل‬
ُ ُ‫تُ َقاتل‬
ُ‫ك َجَزاء‬
ِ
ِ
ِ
ِ
‫وى ْم َح َّّت َل تَ ُكو َن‬
ُ ُ‫ٔ) َوقَاتل‬6ٕ( ‫ٔ) فَِإن انْتَ َه ْوا فَِإ َّن اللَّوَ َغ ُفور َرحيم‬6ٔ( ‫ين‬
َ ‫الْ َكاف ِر‬
ِِ
ِ ِ ِ ‫فِْت نَة وي ُكو َن الد‬
)ٔ6ٖ( ‫ني‬
َ ‫ين للَّو فَِإن انْتَ َه ْوا فَ َل عُ ْد َوا َن إَِّل َعلَى الظَّالم‬
ََ
ُ
Artinya: “ Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah);
dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan
janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali
jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka
memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan
(sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”.
Pandangan tekstual Gabriel terhadap ayat tersebut menjadi hal yang
sangat mungkin dengan disebutnya kata “fitnah” pada ayat tersebut. Untuk itu
diperlukan penjelasan yang komprehensif terhadap kata “fitnah” ini sehingga
75
akan memberikan gambaran yang utuh tentang bagaimana motif sesungguhnya
dari peperangan yang diperintahkan oleh agama.
Pada ayat ke-191 al-T}abari> menafsiri redaksi “wa al-fitnatu asyadd min
al-qatl” dengan ta’wi>l “wa al-syirk bi Allah asyadd min al-qatl”
(menyekutukan Allah lebih berbahaya dari pada pembunuhan). Penafsiran ini
didasarkan pada riwayat-riwayat dari Qata>dah, al-Rabi>’, Muja>hid, dan alD}ah}h}a>k.13
Dilanjutkan dengan penafsiran pada ayat ke-192, al-T}abari> menjelaskan
tentang orang-orang kafir –yang memerangi- akan mendapat pengampunan
Allah jika mereka mau berhenti dari peperangan dan kekufuran terhadap Allah.
Pada ayat ke-193, kata “fitnah” kembali disebut dan kata “syirk” ini
sebagai ta’wi>l kata “fitnah” menjadi batas waktu yang menentukan diakhirinya
sebuah peperangan. Dalam hal ini al-T}abari> mengatakan:
“ Perangilah orang-orang musyrik yang memerangimu sampai tidak
ada lagi syirik kepada Allah, tidak ada yang disembah selain-Nya, dan
lenyap penyembahan berhala, sehingga ketaatan hanya kepada-Nya”
Membaca dan memahami penafsian al-T}abari> di atas, yang menjadi
perhatian di sini adalah merumuskan sebuah jawaban tentang benarkah
perintah memerangi orang-orang musyrik berlaku sampai tidak ada kesyirikan
lagi di atas bumi? Apakah motivasi perang ini memang untuk memberantas
syirik dan politheisme sehingga hanya agama Islam sebagai satu-satunya
agama yang terakhir berdiri?
13
Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz III, hal. 565
76
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diurai satu persatu dari
beberapa kata yang menjadi kata kunci dari persoalan tersebut. Kajian yang
dianggaap perlu menjadi sorotan utama adalah kata: fitnah, syirk, dan al-di>n.
Untuk kata “fitnah” ini sebagaimana telah disebutkan pada bab pertama
perihal asal kata dan definsinya. “Fitnah” ini bukan seperti dalam pengertian
istilah bahasa Indonesia yang diartikan sebagai tuduhan palsu. Fitnah menurut
al-T{abari> makna asalnya adalah “al-Ibtila>’ wa al-Ikhtiba>r” (ujian dan cobaan).
Sedangkan al-Alu>si> memberikan penjelasan yang sedikit berbeda, bahwa
makna asalnya adalah mendekatkan emas ke api untuk mendapatkan
kemurniannya14. Namun keduanya sepakat bahwa kata “fitnah” ini kemudian
digunakan untuk menunjukkan makna pada semua sarana yang menjadi ujian.
Lalu keduanya juga sepakat akan ta‟wilnya dalam ayat tersebut adalah “al-
syirk” (syirik).
Lalu perhatian selanjutnya fokus pada kata “al-syirk”. Untuk
memahami apa yang dimaksud oleh al-T}abari> pada tafsir ayat tersebut, maka
juga perlu membaca secara utuh beberapa komentar al-T}abari> yang masih
berkaitan dengan kata tersebut. Perhatikan penafsiran ayat ke-191 tentang
bahaya besar fitnah, dimana al-T}abari> mengatakan:
“Ta’wi>l dari kala>m Allah tersebut adalah: ujian berat yang menimpa
orang
mukmin
dalam
memegang
teguh
agamanya
hingga
mengakibatkan orang mukmin kembali meninggalkan agama dan
menjadi syirik lagi setelah memeluk Islam, hal itu lebih besar
14
Al-Alu>si>, Tafsir Ru>h al-Ma’a>ni>, hal. 160
77
bahayanya dari pada mereka terbunuh dalam keadaan memegang
teguh agamanya”.15
Dari kalimat al-T}abari> tersebut dengan jelas bisa disimpulkan bahwa
yang dimaksud fitnah atau syirik pada ayat terkait adalah ujian berat yang
menimpa orang mukmin sehingga bisa mengakibatkan ia meninggalkan
agamanya karena tidak kuat menanggung ujian tersebut. Di sini al-T{abari>
menyadari betul konteks sejarah yang terjadi pada awal perkembangan Islam
dengan adanya penganiayaan, intimidasi, ancaman, serta pengusiran oleh
orang-orang kafir musyrik terhadap orang-orang mukmin di Mekkah pada saat
itu. Dengan demikian, pengertian syirik dari teks “fitnah” yang dimaksud pada
ayat tersebut bukan syirik sebagai sebuah kepercayaan atau tradisi
penyembahan berhala semata, tapi lebih kepada syirik ideologis dan sosiologis
atau sebuah fakta sosial yang terjadi di kalangan masyarakat penyembah
berhala di Mekkah dengan gerakan mereka yang selalu berupaya mengganggu
kehidupan beragama bahkan menganiaya terhadap orang-orang mukmin. Fakta
inilah sesungguhnya yang menjadi motivasi perang yang diperintahkan oleh
agama, yakni memberantas syirik dalam arti semangat untuk membebaskan
orang-orang mukmin dari penderitaan mereka akibat penganiayaan orangorang musyrik penyembah berhala.
Maka kembali pada teks “fitnah” yang ditafsirkan sebagai syirik
tersebut, menunjukkan bahwa kata “fitnah” adalah sebuah struktur teks yang
untuk memproduksi maknanya tidak bisa dilepaskan dengan konteks-
15
Ibid., juz III, hal. 565
78
konteksnya. Konteks yang dimaksud di sini seperti yang disebut oleh Nas{r
H{a>mid Abu> Zayd dengan gagasan konteks sosio-kultural (al-siya>q al-saqafi al-
ijtima>’i>) dan konteks eksternal (al-siya>q al-kha>riji>).16 Dengan kata lain, teks
“fitnah” memiliki sebab-sebab yang melatarbelakangi suatu ayat turun dan
berhadapan dengan audiens pada fase dakwah Islam di Mekkah.
Pemilihan kata “fitnah” untuk menunjukkan makna syirik sosiologis
atau gerakan syirik yang mengganggu kehidupan beragama orang-orang
mukmin dapat pula dijumpai pada ayat yang lain, QS. al-Buru>j (85): 10
ِ َّ ِ
ِ ِ
ِِ
‫اب‬
َ ‫ين فَتَ نُوا الْ ُم ْؤمن‬
ُ ‫َّم َوَِلُ ْم َع َذ‬
ُ ‫ني َوالْ ُم ْؤمنَات ُثَّ َلْ يَتُوبُوا فَلَ ُه ْم َع َذ‬
َ ‫إ َّن الذ‬
َ ‫اب َج َهن‬
)ٔٓ( ‫اْلَ ِر ِيق‬
ْ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada
orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan lalu mereka
tidak bertobat, maka mereka akan mendapat azab Jahanam dan
mereka akan mendapat azab (neraka) yang membakar.”
Imam al-T{abari dalam menafsirkan kalimat “fatanu> al-mu’mini>n wa al-
mu’mina>t” dengan penjelasan “ibtalawu> al-mu’min>n wa al-mu’mina>t bi Allah
bi ta’z\i>bihim wa ihra>qihim bi al-na>r” (memberikan cobaan pada orang-orang
yang beriman kepada Allah dengan cara menyiksa mereka dan membakar
mereka dengan api). Maka dari ayat ini semakin tegas adanya pengaruh
konteks yang membentuk kata “fitnah”pada ayat-ayat perang.
16
129-130
Kurdi, dkk., Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hal.
79
Poin terakhir adalah kata “al-di>n” yang diambil dari redaksi “wa yakuna
al-di>n li Alla>h” (dan agama hanya untuk Allah belaka). Kata ini juga menjadi
polemik bagi para penganut tekstual karena sekilas membaca redaksi tersebut
seakan memberikan gambaran perang yang tidak akan berhenti sampai tidak
ada agama lagi di atas bumi selain Islam. Asumsi ini diperkuat dengan hadits
yang dikutip oleh al-T}abari> dari riwayat Rabi>’:17
ِ
،‫ ويؤتوا الزكاة‬،‫ ويقيموا الصلة‬،‫الناس حّت يَقولوا ل إلو إل اهلل‬
ّ
ُ ‫إن‬
َ ‫أمرت أن أقاتل‬
‫فإذا فعلوا ذلك فقد َعصموا مين دماءىم وأمواِلم إل حبقها وحساهبم على اهلل‬
“ Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka
mengucapkan kalimat “La> Ila>ha Illa Alla>h”, mendirikan shalat, menunaikan
zakat. Jika mereka sudah melakukan itu, maka mereka telah menjaga darah
dan hartanya dari aku kecuali dengan haq. Sedangkan hisab mereka adalah
urusan Allah ”.
Tapi sekali lagi asumsi itu perlu dipertimbangkan dengan cara
membaca seksama pada semua pernyataan al-T}abari> pada tafsir QS. al-Baqarah
ayat 191-193 tersebut. Dalam hal ini penulis membuat beberapa poin sebagai
kesimpulan:
1. al-T}abari> tidak sekalipun mengatakan kata “Islam” sebagai penjelasan kata
“al-di>n”. Dengan demikian tidak bisa dijadikan dasar bahwa perang
bertujuan untuk memaksakan agama Islam. Sebagai sebuah perbandingan
17
Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat: Al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ alShahi>h (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), juz I, hal. 11. Muslim Ibn Hajja>j, al-Ja>mi’ al-Shahi>h Muslim
(Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), juz I, hal. 38
80
untuk menelusuri makna kata ‚al-di>n‛ yang kaitannya dalam ekspansi jihad
ini, bisa dilihat sebuah kasus Kha>lid ibn Wa>lid. Diceritakan suatu ketika
Rasul menugaskan Kha>lid ibn Wa>lid bersama 350 orang pasukan ke
pemukiman Juzaimah di Yalamlam guna mengajak mereka masuk Islam.18
Diriwayatkan bahwa ketika itu para penduduk setempat meletakkan senjata,
dan mereka menyatakan kalimat “s}aba’na>” (kami keluar dari agama kami),
namun mereka tidak menyatakan diri masuk agama Islam. Hal ini membuat
Kha>lid memerintahkan pasukannya membunuh mereka. Pada saat itu
sebagian pasukan ada yang mengikuti perintah Kha>lid, ada juga yang
menolak. Abdullah ibn „Umar dan Abdurrahman ibn „Auf termasuk mereka
yang menegur Kha>lid dan enggan membunuh para tawanan. Kemudian
peristiwa tersebut disampaikan kepada Rasul S.A.W., beliau marah dan
menengadah ke langit seraya mengatakan berulang kali:
‫اللهم إن أبرأ إليك مما صنع خالد‬
“Ya Alah, aku berlepas diri kepada-Mu dari perbuatan Kha>lid”19
Dari kisah ini menunjukkan bahwa agama Islam bukan satu-satunya
pilihan untuk non-Muslim yang kalah berperang melawan orang-orang
Islam. Maka kata “al-di>n” dalam ayat di atas juga tidak bisa serta merta
diartikan dengan agama Islam.
18
M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (Tangerang: Lentera Hati,
2014), hal. 937
19
Ibid.,hal. 937
81
2. Definisi “al-di>n” menurut al-T}abari> pada tema ini adalah: ibadah kepada
Allah dan kepatuhan dalam perintah dan larangan.20 Dengan pengertian ini
maka al-di>n (agama) adalah lawan kata dari atheisme (anti Tuhan) dan
politheisme (kepercayaan terhadap banyak Tuhan). Definisi ini juga
menjadikan kata ‚al-di>n‛ sebagai lafaz\ ‘a>m (kata dengan cakupan makna
umum) yang berarti mencakup agama Nasrani dan Yahudi. Dan ini bisa juga
diajukan data lain untuk memperkuat argumentasi. Sebagaimana diketahui
dari surat-surat Nabi S.A.W. yang ditujukan kepada pembesar dan penguasa
di persada bumi, bahwa Nabi S.A.W. mengajak orang-orang Nasrani dan
Yahudi (Ahl al-Kita>b) untuk bersatu pedoman pada “Kalimat Allah Sawa>>’
Bayna na> Wa Bayna kum” (ketetapan yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kalian).21 Terlepas dari akidah mereka yang sudah jelas berbeda,
ini memberikan penjelasan bahwa Nabi S.A.W. memberikan pengakuan
terhadap Nasrani dan Yahudi sebagai agama yang juga beribadah kepada
Allah S.W.T.
3. QS. al-Baqarah ayat 191-193 ini menurut al-T}abari> khusus berkenaan
dengan perang melawan kafir musyrik Quraish. Meskipun redaksi ayat
menunjukkan makna umum, namun ayat ini tidak dapat diartikan perang
melawan semua umat beragama. Karena dengan menggunakan sebuah teori:
keumuman redaksi ayat menentukan kandungan hukum bila tidak terjadi
20
21
Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz III, hal. 571
Yang dimaksud dengan ketetapan tersebut adalah tidak menyembah kecuali Allah, tidak
mempersekutukan Dia dengan apapun dan tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain Allah. Lihat: M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, hal.820-821
82
kontradiksi dengan keumuman dalil lain.22 Sedangkan bila memaknai secara
umum untuk ayat ini akan membenturkan dengan ayat-ayat yang
memerintahkan untuk berbuat baik terhadap non-Muslim yang tidak ada
sikap permusuhan.
4. Perang melawan kafir Quraish itu harus diakhiri ketika orang-orang kafir
Quraish menghentikan aksi kekerasan dan kekufuran mereka. Secara
mantu>q dan mafhu>m23 hal tersebut menunjukkan bahwa antara melakukan
tindak kekerasan dan kekufuran adalah satu realitas sosial masyarakat
Quraish yang tidak bisa dipisahkan. Selama mereka menyembah berhalaberhala maka selama itu pula akan terus terjadi kekerasan terhadap orangorang mukmin.
D. Kontekstualisasi makna jihad
Dalam hermeneutika Gadamer, untuk menafsirkan teks, seseorang
harus selalu berusaha memperbarui pra-pemahamannya. Hal ini berkaitan erat
dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison” (fusion of horizons).
Menurut teori ini, proses penafsiran seseorang dipengaruhi oleh dua horison,
yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan
22
23
Ka>mil Mu>sa>, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r Bairu>t al-Mahru>sah, tt.), hal. 92
Dalam teori ush}u>l fiqh, dila>lat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nas}s} atas suatu
ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh
lafal. Sedangkan dila>lat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nas}s} atas suatu ketentuan hukum
yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat. Lihat: Zakaria al-Ans}ori, Gha>yat alWus}u>l (Semarang: Toha Putera, tt.), hal. 36-38
83
cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca.24 Kedua horison ini selalu
hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran. Yang terpenting dalam
jurang dan tradisi itu adalah dialekta atau dialog yang produktif antara masa
lalu dan masa kini. Untuk itulah, selanjutnya perlu dikaji tema jihad dan hal-hal
yang terkait dengannya, sebagai sebuah teks (baik ayat maupun tafsir) yang
dibentuk oleh tradisi dan sosio historisnya, kemudian berpijak dari cakrawala
horison pembaca, dari teks itu dihasilkan produk banyak makna yang relevan
dengan masa kini.
Sejak al-Qur‟an diturunkan dengan latar belakangnya yang sarat akan
budaya hingga dalam perkembangannya, jihad sebagai perang juga mengalami
perluasan makna yang semakin ekspansionis, ketika terjadi pembagian
wilayah-wilayah kekuasaan politik, yang dalam teori politik Islam dikenal
dengan wilayah Da>r al-Isla>m, yakni wilayah di mana kaum Muslim berkuasa
dan hukum Islam diterapkan, dan Da>r al-H}arb, yakni wilayah di mana orang
kafir dan musuh-musuh kaum Muslimin berada.25 Dalam teori politik Islam
klasik, da>r al-Isla>m menunjuk pada kumpulan wilayah yang bersatu dalam
suatu negara tunggal dan diperintah oleh satu kekuasaan dalam mana hukumhukum syari'ah diberlakukan. Ini menunjukkan pula pada konsep negara
universal yang tidak mengenal batas-batas teritorial. Kriteria kewarganegaraan
ditentukan berdasarkan agama. Orang-orang kafir dalam wilayah kekuasaan
24
Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2009), hal. 36
25
Ayyu>b al-Kafawi, al-Kulliyya>t (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1998), hal. 710
84
politik Islam dipandang sebagai orang-orang asing atau warga negara kelas
dua.
Adalah menarik bahwa jihad dengan pemaknaan politik dan militeristik
ini muncul dalam hampir di semua kitab-kitab hadits. Dominasi makna ini juga
terdapat dalam kitab-kitab tafsir. Bahkan sebagian ahli tafsir klasik tampaknya
telah terpengaruh oleh perspektif ini. Hal ini juga tampak pada pemikiran alT}abari> tentang konsep jihad yang termuat di dalam kitab tafsirnya. Meskipun
al-T}abari> bisa dikategorikan sebagai orang yang moderat dalam pemikirannya,
namun tetap ada celah untuk mengkritik komentar-komentarnya yang masih
terkesan fundamental. Contoh kasus pada QS. al-Taubah [9]: 29
ِ َّ ِ
‫ين َل يُ ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِو َوَل بِالْيَ ْوِم ْاْلَ ِخ ِر َوَل ُُيَرُمو َن َما َحَّرَم اللَّوُ َوَر ُسولُوُ َوَل‬
َ ‫قَاتلُوا الذ‬
ِ َّ ِ ْ ‫ي ِدينو َن ِدين‬
ِ ‫اْلِزيةَ عن يد وىم ص‬
ِ
‫اغ ُرو َن‬
ُ َ
َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ ْ ‫اب َح َّّت يُ ْعطُوا‬
َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬
َ ‫اْلَق م َن الذ‬
َ
)ٕ6(
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”
85
Ayat ini memerintahkan berperang sampai orang-orang non-Muslim
mau membayar jizyah secara “sigha>ran” (keadaan tunduk). Al-T}abari>
cenderung menafsiri kata “sigha>ran” dengan kata “az\illa>’ muqahharu>n”
(terhina sebagai orang-orang terpaksa).26 Ini memberikan sebuah gambaran
keadaan kelompok non-Muslim yang berada pada wilayah Islam sebagai warga
negara kelas dua dalam strata sosialnya. Bila dihadapkan dengan realitas dunia
modern tentu ini menjadi kritik sosial.
Untuk itu persoalan utamanya adalah pentingnya melihat konteks ayat
tersebut ketika diturunkan dan memahami kenyataan sosio kultur dan politik
pada masa al-T}abari> menulis tafsirnya. Pertama, ayat tersebut sebagaimana
dijelaskan oleh al-T}abari> diturunkan agar Rasul S.A.W. memerangi orangorang Romawi Timur (perang Ta>bu>k). Namun al-T}abari> tidak menjelaskan
bagaimana konteks awal terjadinya perintah perang tersebut.
Dalam sejarah Islam, kronologis perang Ta>bu>k ini didahului oleh
perang Mu‟tah yang terjadi satu tahun sebelumnya. Di antara beberapa faktor
pemicunya adalah seorang utusan yang dikirim oleh Rasul kepada Syurahbil
Ibn ‘Umair al-Aza>di> yang menjabat sebagai gubernur Bashra, saat itu dibunuh
dan surat yang dibawanya dirobek-robek. Bashra yang saat itu menjadi bagian
wilayah dari Romawi Timur kemudian menyiapkan pasukan bersama kerajaan
Romawi Timur untuk menghadapi konsekuensinya.27
26
Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz XIV, hal. 198
27
M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, hal. 882
86
Apa yang dilakukan oleh suatu negara yang dihina oleh negara lain dan
dibunuh utusannya seperti ini? Tentu saja akan memeranginya. Inilah yang
dilakukan oleh Rasulullah dengan melakukan ekspansi militer untuk
menyerang orang-orang Romawi pada perang Mu‟tah dan dilanjutkan dengan
perang Tabuk satu tahun sesudahnya. Dengan demikian bisa difahami perintah
perang (jihad) dari ayat di atas sebagai sebuah perintah untuk melakukan
tindakan preventif oleh Rasullullah. Sehingga kehadiran kata jizyah dalam ayat
tersebut menjadi hal yang bisa dimaklumi untuk pihak yang kalah akibat dari
perang yang mereka kobarkan.
Jizyah dalam hal ini adalah suatu bentuk sistem lama pra-Islam sebagai
kontrak politik untuk hidup bersama antara negara yang mengalami kalah
peperangan dengan pihak pemenang.28 Tentu saja bila sebelumnya tidak pernah
ada konflik atau perlawanan dari mereka, apalagi sampai terjadi sebuah tragedi
peperangan maka kelompok-kelompok non-Muslim ini bisa hidup dalam satu
kesetaraan tanpa harus dikenakan jizyah.
Kedua, memahami sosio kultur, budaya dan iklim politik pada masa
hidup al-T}abari>. Beliau hidup pada abad ke-3 H atau ke-9 M pada zaman
keemasan Islam di bawah kekasaan daulah Abbasiyah. Seperti dijelaskan pada
bab sebelumnya, hubungan antara Islam - Bizantium dalam keadaan
bersitegang dengan rentetan peristiwa yang membuat dua belah pihak
memanas. Dimulai pendudukan pulau Kreta oleh pemerintahan kha>lifah al-
Makmu>n, dilanjutkan serangan armada Bizantium, kerusuhan di Nubia, hingga
28
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi al-Qur’an dan Hadis, hal. 207
87
perang besar di Asia Kecil mewarnai dinamika politik antara Islam dan
Bizantium. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi sikap dan pandangan alT}abari> terhadap status non-Muslim di wilayah penaklukan Islam. Sangat
dimaklumi bila kemudian al-T}abari> memilih kata “az\illa>‟” (orang-orang
terhina) sebagai ta’wi>l kata “sigha>ran” sebagai konseksuensi atas pihak yang
mengalami kekalahan.
Dengan tidak melepaskan sejarah dan konteksnya tersebut, kemudian
bisa diformulasikan sebuah konsep jihad modern. Disamping pentingnya
memahami betul kondisi sosio kultur politik dan budaya pada saat ini. Pada
masa sekarang, seluruh penduduk dunia telah terikat oleh perjanjian
internasional, perjanjian bilateral, hubungan diplomatik, dan perbatasan antar
negara yang terjaga dan terlindungi. Tidak aboleh ada suatu negara menerobos
masuk ke wilayah negara lain. Karena bila sampai itu terjadi, dianggap sebagai
sikap permusuhan terhadap negara tersebut serta bisa mendapatkan kecaman
hingga sangsi dari PBB, baik sangsi ekonomi maupun militer.
Namun realitas tersebut bukan berarti telah menutup pintu jihad
sehingga tidak ada lagi peluang untuk melaksanakan jihad di era modern ini.
Karena seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa makna jihad sebenarnya
tidak hanya terbatas pada peperangan saja. Kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri, hal demikian justru memunculkan banyak kesempatan untuk
melakukan jihad dalam semua aspek. Setidaknya, ada dua macam jihad bagi
umat Islam pada masa sekarang:
88
1. Jihad melawan penjajahan dan tindak kekerasan.
Sebagaimana telah dijelaskan, motivasi utama jihad adalah
memberantas “fitnah” di atas muka bumi. Menterjemahkan kata “fitnah”
pada masa sekarang ini salah satunya tampak jelas pada praktek
kolonialisme negara-negara maju yang menjadikan wilayah yang terjajah
mengalami penderitaan sama seperti yang dialami oleh masyarakat Muslim
pada 14 abad yang lalu. Kasus penjajahan Israel atas Palestina dengan
rentetan peristiwa tindak kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel dari
waktu ke waktu tentu saja tidak bisa dibiarkan. Atau seperti kasus
penjajahan Amerika atas Irak dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah
massal hingga akhirnya tuduhan itu tidak pernah terbukti. Kasus di Libya,
Syria dan negara-negara berpenduduk Muslim yang mengalami intervensi
politik dari negara lain adalah seruan jihad yang harus mendapat jawaban.
Misi utama dari jihad ini adalah pembebasan suatu wilayah dari penjajahan
ataupun sisa-sisanya yang masih mencengkeram pada sebagian tempat dari
suatu negara, khususnya negara Muslim.29
Menurut Qardhawi, kewajiban jihad melawan penjajahan semacam
ini dibebankan atas penduduk negeri yang terjajah, lalu tetangganya dan
saudaranya serumpun-dalam contoh kasus di atas adalah menjadi tanggung
jawab utama negara-negara Arab tentunya-, lalu umat Muslim seluruh
dunia..30
29
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad, Alih Bahasa Irfan Maulana Hakim dkk, hal.976
30
Ibid., hal.977
89
Jihad melawan penjajahan ini juga pernah dideklarasikan oleh KH.
Hasyim Asyari. Konteksnya pada saat itu adalah Indonesia baru saja
memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan rupanya tidak
disetujui sekutu yang dipimpin oleh Inggris untuk kembali ingin menjajah
Indonesia. Para ulama merasa prihatin dengan terancamnya Republik
Indonesia. Sehingga dua bulan setelah proklamasi, tanggal 22 Oktober, NU
yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy‟ari menyerukan perlawanan melawan
penjajah dengan mengeluarkan fatwa yang disebut Resolusi Jihad.31
Dalam resolusi jihad tersebut, NU menyebutkan hukum perlawanan
terhadap penjajah adalah fard{u ‘ain yang menjadi kewajiban setiap Muslim
dalam radius 94 KM. Ekspansi militer NICA juga disebut-sebut telah
melakukan kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketrentaman umum.
Pandangan ini selaras dengan teori fitnah yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Sehingga resolusi jihad ini merupakan sebuah reaksi atas fitnah
penjajahan dan harus diperangi dengan semangat jihad fi> sabi>l Alla>h.
Disamping problem penjajahan, masalah penindasan dan tindak
kekerasan atas nama agama juga sering terjadi belakangan ini. Gerakan
garis keras transnasional menjadi biang kerok dari ancaman perpecahan
umat Islam. Munculnya ideologi takfiri>
32
hingga aksi barbar dari jaringan
terorisme al-Qaeda maupun ISIS di belahan dunia Islam sangat meresahkan
31
63-70
32
Abdul Mun’im Dz, Piagam Perjuangan Kebangsaan (Jakarta: Setjen PBNU, 2011), hal.
Takfi>ri> adalah faham yang memaksakan kepercayaan dan agamanya dengan cara-cara
kekerasan dan menuduh siapapun yang di luar fahamnya dengan cap kafir, murtad, dan lain-lain.
Lihat: Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, hal. 33. Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte
Salafi Wahabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), hal. 135-136
90
kehidupan antar dan intra umat beragama. Kekerasan terorisme dengan
peledakan bom dan semacamnya memang sangat berbahaya, namun
ideologi dengan kekerasan teologis, psikologis, kultural, dan intelektual –
dengan tujuan untuk menghancurkan budaya dan mengendalikan negara
lain- jauh lebih berbahaya.33 Inilah bentuk fitnah abad 21 yang harus
diperangi umat Islam dengan semangat jihad untuk menciptkan iklim yang
baik dalam kehidupan beragama, sebagaimana disebut dalam ayat perang
QS. al-Baqarah (2): 193 dengan menggunakan kalimat “wa yaku>na al-di>n li
Alla>h.”
2. Jihad Sipil (al-Jiha>d al-Madany).
Melihat peradaban yang semakin maju, justru masyarakat saat ini
merasakan hidup di zaman krisis. Tanda-tandanya dapat dilihat di manamana. Pertentangan global yang kuat dari ideologi-ideologi sosial yang tak
sepaham, kebingungan spiritual yang dipicu oleh oleh ilmu pengetahuan
modern, penjajahan ekonomi oleh kapitalis, pola hidup serba cepat dan
kacau yang menyerang jiwa. Masyarakat diimpikan oleh kemakmuran
namun justru menyeret mereka pada hutang yang menjerat. Bangsa ini
berbicara tentang kemerdekaan tapi faktanya adalah kebebasan yang
merusak moral. Ilmu pengetahuan menjadi berkah, tapi manusia dihadapkan
pada kesenjangan sosial, krisis budaya, dan lain-lain.
Melihat konteks yang demikian, ini menjadi ladang jihad umat Islam
agar membangun masyarakat dan membenahi kehidupan mereka. Karena
33
Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, hal. 71
91
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa makna jihad tidak sebatas
peperangan fisik. Al-T{abari> juga memaknainya dengan “bersungguhsungguh (dengan segala upaya) ” dan “menyampaikan hujjah”. Kedua
makna ini dapat diaplikasikan di era modern dengan adanya jihad sipil (al-
jiha>d al-madany) seperti gagasan Qardhawi. Yakni jihad untuk memenuhi
berbagai kebutuhan masyarakat, menangani problematikanya, menutupi
tuntutan moral dan materinya, serta membangkitkannya dalam berbagai
bidang sehingga meraih kedudukan terhormat. Hal ini mencakup beberapa
bidang yang meliputi keilmuan, kebudayaan, sosial, ekonomi, pendidikan
dan pengajaran, kesehatan, lingkungan dan bidang peradaban yang bersifat
umum.34
Tugas jihad sipil ini antara lain mencurahkan segenap kemampuan
(baz\l al-juhd) untuk mendidik, mengentaskan pengangguran, memberi
pelatihan kerja, menyediakan tempat tinggal yang layak untuk tunawisma,
memberikan pengobatan, dan memberikan berbagai kompetensi bagi setiap
orang yang membutuhkannya. Jihad sipil ini mengharuskan adanya
pembangunan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, tempat ibadah, juga
mendirikan
perbankan
yang
stabil,
serta
semua
fasilitas
untuk
mengembangkan bakat dan pekerjaan.
3. Kesabaran dan teguh memegang prinsip agama
Kehidupan modern yang teramat kompetitif telah pula merubah pola
berfikir manusia. Kebutuhan yang besar dalam hidup berakibat pada
34
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad, Alih Bahasa Irfan Maulana Hakim dkk, hal.148
92
perubahan mendasar pada etos kerja manusia. Manusia modern sangat
dikenal dengan sikap pragmatis-materialistik serta punya etos kerja yang
tinggi dimana untuk menghadapi budaya kompetitif masyarakatnya, sistem
kerja mereka tidak mengenal batas dan kepuasan serta lepas dari hegemoni
agama.35
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup
materialistik, maka manusia akan dengan mudah menggunakan prinsip
menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya. Jika hal ini terjadi,
maka terjadilah kerusakan akhlak dalam segala bidang, baik ekonomi,
sosial, politik, dan sebagainya. Sehingga akan memunculkan manusia yang
modern (maju) dalam ilmu dan pengetahuan namun mundur (mengalami
penurunan) dalam hal moralitas.36
Kerasnya kondisi semacam ini menuntut setiap orang mukmin untuk
tetap memegang teguh keimanan dan prinsip agamanya. Fenomena sosial
masyarakat yang sedemikian pragmatis-materialistik adalah tantangan jihad
seorang mukmin agar tidak ikut terseret arus menjadi manusia yang kosong
akan nilai-nilai iman. Kontekstualisasi makna jihad ini sebagai manifestasi
konteks jihad yang terjadi pada masa Nabi dalam menghadapi sebuah
kondisi yang penuh tekanan orang-orang kafir Quraisy agar orang-orang
mukmin meninggalkan agamanya dan kembali kufur.
35
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t.), hal. 292
36
Ibid., hal. 292
Download