BAB IV ANALISIS TAFSIR AL-T{ABARI> PADA AYAT JIHAD A. Pandangan al-T}abari tentang Makna Jihad Sebelum jauh melangkah ke ta’wil seputar kata “jiha>d” dan derivasinya, terlebih dahulu al-T}abari> menjelaskan definisi kata “jihad”. Menurutnya asal kata ini bermakna masyaqqah (kesulitan). Maka jihad dengan derivasi kata “ja>hada” berarti saling menyulitkan.1 Namun tidak setiap kata “jihad” yang terdapat pada ayat-ayat al-Qur‟an dikomentari secara mufrada>t oleh al-T}abari>. Ada beberapa ayat yang menyinggung kata “jihad” ia jelaskan makna mufrada>t nya, sedangkan pada ayat-ayat yang lain, ia hanya menjelaskan ta’wi>l ayat tersebut secara global. Meskipun demikian, dapat diidentifikasi bagaimana makna jihad pada ayat yang tidak dijelaskan secara detail maknanya, yakni dengan cara menganalisa munasa>bah antar ayat dan rangkaian keterangan al-T}abari> terhadap ayat-ayat tersebut. Dari penjelasan al-T}abari> terhadap makna mufrada>t jihad maupun ta’wil secara global pada ayat jihad, menunjukkan ragam dan variasi makna jihad dalam pandangan al-T}abari>. Secara umum makna-makna tersebut dapat dikelompokkan sebagaimana berikut: 1 Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz. IV, hal. 318 61 62 a. Al-Qita>l (Peperangan). Sebagaimana pada QS. al-Ankabu>t [29]: 69 ِ ِ ِ َّ ِِ )96( ني َ َّه ْم ُسبُلَنَا َوإِ َّن اللَّوَ لَ َم َع الْ ُم ْحسن َ ين َج ُ اى ُدوا فينَا لَنَ ْهديَن َ َوالذ Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik ”. Al-T}abari> menafsirkan kata “ja>hadu> fi> na> ” pada ayat ini dengan kata “qa>talu> fi> na> ” (berperang di jalan kami).2 Lebih jauh al-T}abari> menambahkan beberapa penjelasan, termasuk tentang objek peperangan tersebut adalah melawan mereka yang mengadakan kedustaan terhadap Allah (ha>’ula>i al-muftari>na ‘ala Allah kaz\iban) yang beliau tegaskan bahwa mereka ini adalah orang-orang kafir Quraish. Penegasan tentang melawan orang-orang kafir Quraish ini didasarkan pada muna>sabah ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya (67 dan 68) yang merupakan satu rangkaian yang masih mengisahkan perbuatan orang-orang kafir Quraish. Makna peperangan ini juga nampak pada penafsiran ayat-ayat berikut: 1. QS. al-Baqarah (2): 218 2. QS. ali ‘Imra>n (3): 142 3. QS. al-Nisa>’ (4): 95 2 Ibid., juz. XX, hal. 63 63 4. QS. al-Ma>idah (5): 35, 54 5. QS. al-Taubah (9): 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88 6. QS. al-Hajj (22): 78 7. QS. al-Ankabu>t (29): 6, 69 8. QS. Muhammad (47): 31 9. QS. al-Hujura>t (49): 15 10. QS. al-Tahri>m (66): 9 b. Menyampaikan hujjah Makna ini terdapat pada penafsiran QS. al-Furqa>n [25]: 51-52 ِ ) فَ َل تُ ِط ِع الْ َكافِ ِرين وج1ٔ( ولَو ِشْئ نا لَب عثْ نا ِف ُكل قَرية نَ ِذيرا اى ْد ُى ْم بِِو ِج َه ًادا َ ََ َ ْ َ ََ َ ً َْ )1ٕ( َكبِ ًريا Artinya: “ Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami utus seorang pemberi peringatan pada setiap negeri. Maka janganlah engkau taati (keinginan) orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar ”. Pada ayat ini, meskipun al-T}abari> tidak secara tegas men-ta’wi>l kata “wa ja>hid hum” dengan kalimat tertentu, tapi al-T}abari> memberikan tanggapan pada kata “bihi>” dengan ta’wi>l ‚bi ha>z\a al-Qur’a>n” (dengan alQur‟an ini).3 Sedangkan pada ayat ke-51, al-T}abari> mengomentarinya 3 Ibid., juz. XIX, hal. 281 64 dengan penjelasan yang panjang perihal diutusnya Nabi S.A.W. seorang diri untuk semua umat di seluruh negeri serta faktor pentingnya kesabaran dalam menghadapi mereka. Dengan memikul beban berat tersebut beliau akan mendapatkan kemuliaan yang dijanjikan oleh Allah S.W.T. Dengan demikian, jihad pada ayat ini juga dimaknai oleh al-T}abari> sebagai jihad untuk menyampaikan hujjah menggunakan dalil-dalil pasti dengan sungguh-sungguh dan penuh kesabaran sehingga akan membuat orang-orang kafir dari seluruh negeri mengerti dan mengakui kebenaran yang ada di dalam al-Qur‟an. Hal ini lebih tegas lagi oleh adanya penjelasan al-T}abari>, bahwa pengakuan orang-orang kafir terhadap kebenaran alQur‟an diwujudkan dengan pengamalan mereka secara suka rela ataupun paksa (t}au’an aw karhan). Implementasinya adalah bahwa jihad pada ayat ini bisa bermakna diplomasi agar mereka ikut secara suka rela ataupun pemaksaan dengan agresi. c. Bersungguh-sungguh (dengan segala upaya) Sebagaimana dalam QS. al-Ankabu>t [29]: 8 ِ ِ ِ َ َج ك بِِو ِع ْلم فَ َل َ َس ل َ اى َد َاك لتُ ْشرَك ب َما لَْي ُح ْسنًا َوإِ ْن ِْ صْي نَا اْلنْ َسا َن بَِوالِ َديْ ِو َّ َوَو )8( ل َم ْرِجعُ ُك ْم فَأُنَبئُ ُك ْم ِِبَا ُكْنتُ ْم تَ ْع َملُو َن ََّ ِتُ ِط ْع ُه َما إ Artinya: “ Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak 65 mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan ”. Al-T}abari> tidak secara tegas menyebutkan ta’wil dari kata jihad pada ayat diatas. Al-T}abari> hanya meriwayatkan dari Qata>dah mengenai asba>b al-nuzul ayat ini ketika Sa’d ibn Abi> Waqa>s} berhijrah, ibunya yang masih kafir bersumpah tidak akan masuk rumah sampai Sa’d ibn Abi Waqa>s} pulang. Lalu turunlah ayat tersebut agar ia patuh terhadap orang tuanya tapi tidak untuk mengikuti kemauan mereka supaya ia kembali kafir.4 Dengan demikian bisa difahami, pemaknaan terhadap kata jihad di sini adalah bersungguh-sungguh dengan segala upaya. Seperti apa yang dilakukan oleh ibu dari Sa’d ibn Abi> Waqa>s. Yang semakna dengan tafsir ayat diatas terdapat pada: 1. Al-Ma>’idah (5): 53 2. Al-An’a>m (6): 109 3. Al-Nah{l (16): 38 4. Al-Nu>r (24): 53 5. QS. Luqma>n (31): 15 6. Fa>t}ir (35): 42 7. QS. al-S}aff (61): 11 d. Keteguhan pada agama melawan penderitaan atau cobaan Seperti contoh pada penafsiran QS. al-Anfa>l (18) : 72 4 Ibid., juz. XX, hal. 12 66 ِ َّ ِ ِِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِِ ين آََوْوا َ اج ُروا َو َج َ ين آَ َمنُوا َوَى َ اى ُدوا بأ َْم َواِل ْم َوأَنْ ُفسه ْم ف َسب ِيل اللَّو َوالذ َ إ َّن الذ ض ُه ْم أ َْولِيَاءُ بَ ْعض َ ِص ُروا أُولَئ ُ ك بَ ْع َ ََون Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orangorang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi” Pada redaksi “wa ja>hadu>”, imam al-T}abari> menafsirkannya dengan kalimat “ba>laghu> fi> it’a>bi nufu>sihim wa ins}a>biha> fi> h}arb a’da>’ Allah min al- kuffa>r”5 (menekan keras penderitaan diri mereka dan teguh dalam menghadapi serangan musuh-musuh Allah, yakni orang-orang kafir). Tema pada ayat ini adalah menyoroti persatuan dua kelompok (fari>qata>n), yakni sekelompok muha>jiri>n yang rela meninggalkan keluarga, kerabat, harta benda dan kaum mereka serta perjuangan untuk menekan penderitaan yang mereka alami akibat tindakan penyiksaan dari orang-orang kafir Quraisy, dan sekelompok orang-orang ans}a>r yang melindungi dan menampung mereka. Yang semakna dengan penafsiran ayat tersebut juga bisa dilihat pada tafsir ayat-ayat berikut: 1. QS. al-Anfa>l (8): 74, 75 5 Ibid., juz. XIV, hal. 77 67 2. QS. al-Nah}l (16): 110 3. QS. al-Mumtah}anah (60): 1 e. Al-T}aq> ah (kesanggupan/ kemampuan) Penafsiran dengan makna ini terdapat pada QS. al-Taubah (9): 79 ِ َّ ِ َّ الَّ ِذين ي ْل ِمزو َن الْمطَّو ِعني ِمن الْمؤِمنِني ِف ين َل ََِي ُدو َن إَِّل ُج ْه َد ُى ْم َ ُْ َ َ ُ ُ َ َ َ الص َدقَات َوالذ )96( فَيَ ْس َخ ُرو َن ِمْن ُه ْم َس ِخَر اللَّوُ ِمْن ُه ْم َوَِلُ ْم َع َذاب أَلِيم Artinya: “(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orangorang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orangorang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” Al-T}abari> menjelaskan kata “juhdahum” dengan kalimat “t}a>qatuhum” (kesanggupan/ kemampuan mereka). Ayat ini menceritakan tentang sikap orang-orang munafik yang mencela sedekah dari orang-orang mukmin dengan perkataan mereka: “sedekah itu hanya riya‟ dan pamer” dan juga menghina orang-orang yang tidak mempunyai apapun untuk disedekahakan kecuali kemampuan materi (juhd) untuk hidup diri mereka sendiri, lalu orang-orang munafik itu mengatakan: “Allah tidak butuh sedekah mereka”.6 6 Ibid., juz. XIV, hal. 382 68 B. Relasi antara Jihad dan Qita>l Meskipun demikian tidak dapat ditolak bahwa jihad dalam al-Qur'an juga bisa berarti perang atau perjuangan dengan cara-cara kekerasan dan bersenjata, utamanya terhadap orang-orang kafir. Sebenarnya ada sejumlah kata dalam bahasa Arab yang paling spesifik untuk menunjuk arti perang, meski dengan nuansa yang berbeda. Antara lain qita>l, harb , siyar dan ghazwah. Begitu pula ditemukan sejumlah ayat al-Qur'an yang tentang perang terhadap orang-orang kafir dengan redaksi berbicara khusus menggunakan kata “qita>l”. Namun sebelum itu, perlu difahami bahwa hampir seluruh ayat-ayat perang diturunkan sesudah Nabi S.A.W. hijrah ke Madinah atau yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyyah. Melihat hal ini, pemaknaan jihad dengan perang tampaknya tidak lepas dari latar belakang sejarah perkembangan Islam sendiri. Ia muncul ketika Islam bergerak ke arena pergulatan politik dalam komunitas Muslim dan non-Muslim. Akan tetapi jihad perang pada masa Nabi di Madinah lebih dilakukan dalam kerangka membela diri dari agresi dan kekerasan. Dalam banyak ayat, perang bukanlah inisiatif Islam. Al-Qur'an melarang kaum Muslimin memerangi orang-orang yang tidak melakukan penyerangan atau pengusiran. Sebagaimana ayat pada QS. Al-Mumtah}anah} [60]: 9 ِ َّ ِ ِ ِ وى ْم ُ ين َلْ يُ َقاتلُوُك ْم ِف الدي ِن َوَلْ ُِيْ ِر ُجوُك ْم م ْن ديَا ِرُك ْم أَ ْن تَبَ ُّر َ َل يَْن َها ُك ُم اللَّوُ َع ِن الذ ِ َّ ِِ َِّ ين قَاتَلُوُك ْم ِف ُّ َوتُ ْق ِسطُوا إِلَْي ِه ْم إِ َّن اللَّوَ ُُِي َ ب الْ ُم ْقسط َ ) إَّنَا يَْن َها ُك ُم اللَّوُ َع ِن الذ8( ني 69 ِ ِ ِ ك َ ِاى ُروا َعلَى إِ ْخَراج ُك ْم أَ ْن تَ َولَّْوُى ْم َوَم ْن يَتَ َوَِّلُ ْم فَأُولَئ ْ الدي ِن َوأ َ ََخَر ُجوُك ْم م ْن ديَا ِرُك ْم َوظ )6( ُى ُم الظَّالِ ُمو َن Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain mengusirmu”. Pada ayat ini al-T}abari> menjelaskan secara detail beragam pendapat mengenai siapakah yang dimaksud dengan kata “al-laz\ina lam yuqa>tilu>kum fi al-di>n” (orang-orang yang tidak memerangimu). Kemudian dari pendapatpendapat tersebut, al-T}abari> cenderung mengambil sebuah pendapat bahwa yang dikehendaki adalah semua umat beragama secara umum, tidak ada halangan untuk berbuat baik terhadap mereka. Tidak ada takhsis} terhadap salah satu golongan non-Muslim pada ayat tersebut. Sehingga al-T}abari> menegaskan bahwa gagasan na>sikh mansu>kh yang menurut sebagian ulama‟ diterapkan untuk ayat ini, tidak mempengaruhi keumuman maknanya.7 Jihad-perang juga banyak disinggung pada persoalan na>sikh-mansu>kh. Ayat-ayat perdamaian yang menggambarkan Islam sebagai agama yang anti 7 Ibid., juz. XXIII, hal. 323 70 kekerasan maupun ayat tentang jihad dengan batas melawan kelompok tertentu sering disebut telah di mansu>kh dengan ayat-ayat pedang yang memerintahkan memerangi non-Muslim secara keseluruhan. Terkait dengan ini, al-T}abari> tidak setuju dengan beberapa komentarnya di beberapa ayat. Contoh QS. al-Baqarah [2]: 256 tentang tidak ada paksaan dalam agama. ِ ُالر ْش ُد ِمن الْغَي فَمن ي ْك ُفر بِالطَّاغ وت َويُ ْؤِم ْن بِاللَّ ِو فَ َق ِد ُّ ني َ َّ ََل إِ ْكَر َاه ِف الدي ِن قَ ْد تَب ْ َ َْ َ ِ ِ )ٕ19( ص َام َِلَا َواللَّوُ ََِسيع َعلِيم َ استَ ْم َس ْ َ ك بِالْعُْرَوة الْ ُوثْ َقى َل انْف Artinya: “ Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada T}a>ghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui ”. Al-T}abari ketika menafsirkan ayat ini mengakui adanya klaim sebagian ulama‟ yang berpendapat bahwa ayat ini telah di mansu>kh dengan ayat-ayat qita>l. Pendapat ini didasarkan pada suatu riwayat yang dikemukakan oleh Zaid ibn Asla>m bahwa Rasul S.A.W. selama 10 tahun tinggal di Mekkah tidak pernah memaksa seorangpun untuk memeluk Islam. Tapi orang-orang kafir justru memeranginya sehingga Rasul meminta izin untuk melawan mereka lalu dikabulkan oleh Allah. 71 Menurut al-T}abari> riwayat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk naskh. Sebab ayat ini ditujukan terhadap sekelompok tertentu, yakni Yahudi ataupun Majusi dan semua agama lain yang mau membayar jizyah.8 Tidak ada paksaan untuk mereka masuk ke dalam agama Islam. Sedangkan ayat yang berbicara peperangan ataupun beberapa kisah yang menceritakan Rasulullah memaksa suatu kaum untuk masuk Islam dan memerangi mereka yang enggan, adalah kasus yang sama sekali berbeda. Peperangan itu terjadi melawan para penyembah berhala dari masyarakat Quraish yang notabene selalu memusuhi Islam atau terhadap golongan orang-orang yang murtad.9 Mereka inilah yang diperangi oleh Nabi karena sikap permusuhan yang mereka tunjukkan, keengganan mereka untuk tunduk kepada pemerintahan dan kecenderungan mereka untuk melawan. Konsep nasikh-mansukh dijelaskan oleh al-T}abari> sebagaimana ia terangkan juga dalam kitabnya al-Lat}i>f min al-Baya>n an Us}u>l al-Ahka>m, bahwa naskh tidak terjadi kecuali meniadakan seluruh hukum yang di naskh (mansu>kh) dari segala aspek.10 Sehingga dalam na>sikh-mansu>kh tidak mungkin bisa dikompromikan keduanya. Jadi, selama masih bisa dikompromikan 8 Kata jizyah diambil dari kata jaza’ yang artinya imbalan. Jizyah adalah pajak kepala yang dibayarkan oleh penduduk dar al-Islam dari kalangan non-muslim kepada pemerintah Islam. Jizyah ini dimaksudkan sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah Islam dan konsekuensi dari perlindungan (rasa aman) yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka. Lihat: Al-Ma>wardi, al-Ahka>m al-Sult}aniyyah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), hal. 153 9 Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz VIII, hal. 415 10 Ibid., juz V, hal. 414 72 pemahaman antara beberapa nas}s} yang tampak berbenturan, maka itu bukan na>sikh mansu>kh. Hal yang sama juga diterapkan oleh al-T}abari> pada kasus ayat QS. alBaqarah [2]: 190 ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ )ٔ6ٓ( ين ُّ ين يُ َقاتِلُونَ ُك ْم َوَل تَ ْعتَ ُدوا إِ َّن اللَّوَ َل ُُِي َ ب الْ ُم ْعتَد َ َوقَاتلُوا ف َسب ِيل اللَّو الذ Artinya: “ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas ”. Dalam hal ini al-T}abari> menyebutkan dua pendapat tentang hukum ada dan tidaknya naskh ayat tersebut dengan ayat QS. al-Taubah [9]: 1-5 dengan disertai pula riwayat-riwayat untuk mendukung masing-masing pendapat tersebut.11 Namun pada akhir komentarnya, al-T}abari> lebih cenderung mendukung pada pendapat yang mengatakan bahwa ayat tersebut tidak di naskh. Menurutnya, klaim yang menyatakan adanya naskh masih bersifat “dimungkinkan” semata tanpa disertai dila>lah (petunjuk) yang jelas. Sehingga ayat ini bersifat muh}kamah} yang tidak bisa dibantah. Al-T}abari> kemudian menyimpulkan dengan mengatakan: “Dengan demikian, ta’wi>l dari ayat ini adalah perangilah -Wahai orang-orang mukmin- di jalan Allah. Jalan Allah adalah cara yang telah dijelaskan oleh Allah dan agama yang telah disyariatkan kepada hamba-hambanya. Allah mengatakan kepada mereka: Berperanglah 11 Ibid., juz III, hal. 561 73 dalam kepatuhan terhadap-Ku sesuai syari’at yang telah Aku buat untuk kalian dalam agama-Ku. Ajaklah orang-orang yang berpaling dari agama-Ku dengan ajakan tangan dan lisan sehingga mereka mau kembali patuh kepada-Ku atau jika mereka ahli kitab maka bersedia membayar jizyah dengan kerendahan. Allah Ta’ala memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang dalam status hukum perang, yakni peperangan orang-orang kafir, bukan untuk memerangi orang-orang yang tidak dalam status berperang, yakni perempuan dan anak-anak. Karena mereka ini adalah harta dan peliharaan yang didapat secara paksa jika mereka kalah.” C. Fitnah dalam konteks ayat Jihad Seorang tokoh liberal di tengah kelompok dan lingkungan Muslim garis keras di Mesir, bernama Mark A. Gabriel melalui bukunya Islam and Terorism (2002), secara lugas mengukuhkan terjadinya relasi antara Islam dan terorisme.12 Gabriel berpandangan bahwa motif utama dari jihad adalah untuk membasmi manusia yang tidak menerima Islam sebagai agamanya. Menurutnya praktik jihad di zaman Nabi adalah memerangi warga Kristen dan Yahudi ataupun orang-orang menyembah berhala. Diantara ayat yang menjadi legitimasi pemahamannya ini adalah QS. al-Baqarah [2]: 191-193 12 86-88 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Gramedia, 2014), hal. 74 ِ ِ واقْ ت لُوىم حي َش ُّد ِم َن الْ َقْت ِل َوَل َ َخَر ُجوُك ْم َوالْفْت نَةُ أ ُ وى ْم ِم ْن َحْي ُ َْ ْ ُ ُ َ ْثأ ْ وى ْم َوأ ُ َخ ِر ُج ُ ث ثَق ْفتُ ُم ِ ِِ ِ ِ ْ وى ْم ِعْن َد الْ َم ْس ِج ِد َ وى ْم َك َذل ُ ُاْلََرِام َح َّّت يُ َقاتلُوُك ْم فيو فَِإ ْن قَاتَلُوُك ْم فَاقْ تُل ُ ُتُ َقاتل ُك َجَزاء ِ ِ ِ ِ وى ْم َح َّّت َل تَ ُكو َن ُ ُٔ) َوقَاتل6ٕ( ٔ) فَِإن انْتَ َه ْوا فَِإ َّن اللَّوَ َغ ُفور َرحيم6ٔ( ين َ الْ َكاف ِر ِِ ِ ِ ِ فِْت نَة وي ُكو َن الد )ٔ6ٖ( ني َ ين للَّو فَِإن انْتَ َه ْوا فَ َل عُ ْد َوا َن إَِّل َعلَى الظَّالم ََ ُ Artinya: “ Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. Pandangan tekstual Gabriel terhadap ayat tersebut menjadi hal yang sangat mungkin dengan disebutnya kata “fitnah” pada ayat tersebut. Untuk itu diperlukan penjelasan yang komprehensif terhadap kata “fitnah” ini sehingga 75 akan memberikan gambaran yang utuh tentang bagaimana motif sesungguhnya dari peperangan yang diperintahkan oleh agama. Pada ayat ke-191 al-T}abari> menafsiri redaksi “wa al-fitnatu asyadd min al-qatl” dengan ta’wi>l “wa al-syirk bi Allah asyadd min al-qatl” (menyekutukan Allah lebih berbahaya dari pada pembunuhan). Penafsiran ini didasarkan pada riwayat-riwayat dari Qata>dah, al-Rabi>’, Muja>hid, dan alD}ah}h}a>k.13 Dilanjutkan dengan penafsiran pada ayat ke-192, al-T}abari> menjelaskan tentang orang-orang kafir –yang memerangi- akan mendapat pengampunan Allah jika mereka mau berhenti dari peperangan dan kekufuran terhadap Allah. Pada ayat ke-193, kata “fitnah” kembali disebut dan kata “syirk” ini sebagai ta’wi>l kata “fitnah” menjadi batas waktu yang menentukan diakhirinya sebuah peperangan. Dalam hal ini al-T}abari> mengatakan: “ Perangilah orang-orang musyrik yang memerangimu sampai tidak ada lagi syirik kepada Allah, tidak ada yang disembah selain-Nya, dan lenyap penyembahan berhala, sehingga ketaatan hanya kepada-Nya” Membaca dan memahami penafsian al-T}abari> di atas, yang menjadi perhatian di sini adalah merumuskan sebuah jawaban tentang benarkah perintah memerangi orang-orang musyrik berlaku sampai tidak ada kesyirikan lagi di atas bumi? Apakah motivasi perang ini memang untuk memberantas syirik dan politheisme sehingga hanya agama Islam sebagai satu-satunya agama yang terakhir berdiri? 13 Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz III, hal. 565 76 Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diurai satu persatu dari beberapa kata yang menjadi kata kunci dari persoalan tersebut. Kajian yang dianggaap perlu menjadi sorotan utama adalah kata: fitnah, syirk, dan al-di>n. Untuk kata “fitnah” ini sebagaimana telah disebutkan pada bab pertama perihal asal kata dan definsinya. “Fitnah” ini bukan seperti dalam pengertian istilah bahasa Indonesia yang diartikan sebagai tuduhan palsu. Fitnah menurut al-T{abari> makna asalnya adalah “al-Ibtila>’ wa al-Ikhtiba>r” (ujian dan cobaan). Sedangkan al-Alu>si> memberikan penjelasan yang sedikit berbeda, bahwa makna asalnya adalah mendekatkan emas ke api untuk mendapatkan kemurniannya14. Namun keduanya sepakat bahwa kata “fitnah” ini kemudian digunakan untuk menunjukkan makna pada semua sarana yang menjadi ujian. Lalu keduanya juga sepakat akan ta‟wilnya dalam ayat tersebut adalah “al- syirk” (syirik). Lalu perhatian selanjutnya fokus pada kata “al-syirk”. Untuk memahami apa yang dimaksud oleh al-T}abari> pada tafsir ayat tersebut, maka juga perlu membaca secara utuh beberapa komentar al-T}abari> yang masih berkaitan dengan kata tersebut. Perhatikan penafsiran ayat ke-191 tentang bahaya besar fitnah, dimana al-T}abari> mengatakan: “Ta’wi>l dari kala>m Allah tersebut adalah: ujian berat yang menimpa orang mukmin dalam memegang teguh agamanya hingga mengakibatkan orang mukmin kembali meninggalkan agama dan menjadi syirik lagi setelah memeluk Islam, hal itu lebih besar 14 Al-Alu>si>, Tafsir Ru>h al-Ma’a>ni>, hal. 160 77 bahayanya dari pada mereka terbunuh dalam keadaan memegang teguh agamanya”.15 Dari kalimat al-T}abari> tersebut dengan jelas bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud fitnah atau syirik pada ayat terkait adalah ujian berat yang menimpa orang mukmin sehingga bisa mengakibatkan ia meninggalkan agamanya karena tidak kuat menanggung ujian tersebut. Di sini al-T{abari> menyadari betul konteks sejarah yang terjadi pada awal perkembangan Islam dengan adanya penganiayaan, intimidasi, ancaman, serta pengusiran oleh orang-orang kafir musyrik terhadap orang-orang mukmin di Mekkah pada saat itu. Dengan demikian, pengertian syirik dari teks “fitnah” yang dimaksud pada ayat tersebut bukan syirik sebagai sebuah kepercayaan atau tradisi penyembahan berhala semata, tapi lebih kepada syirik ideologis dan sosiologis atau sebuah fakta sosial yang terjadi di kalangan masyarakat penyembah berhala di Mekkah dengan gerakan mereka yang selalu berupaya mengganggu kehidupan beragama bahkan menganiaya terhadap orang-orang mukmin. Fakta inilah sesungguhnya yang menjadi motivasi perang yang diperintahkan oleh agama, yakni memberantas syirik dalam arti semangat untuk membebaskan orang-orang mukmin dari penderitaan mereka akibat penganiayaan orangorang musyrik penyembah berhala. Maka kembali pada teks “fitnah” yang ditafsirkan sebagai syirik tersebut, menunjukkan bahwa kata “fitnah” adalah sebuah struktur teks yang untuk memproduksi maknanya tidak bisa dilepaskan dengan konteks- 15 Ibid., juz III, hal. 565 78 konteksnya. Konteks yang dimaksud di sini seperti yang disebut oleh Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dengan gagasan konteks sosio-kultural (al-siya>q al-saqafi al- ijtima>’i>) dan konteks eksternal (al-siya>q al-kha>riji>).16 Dengan kata lain, teks “fitnah” memiliki sebab-sebab yang melatarbelakangi suatu ayat turun dan berhadapan dengan audiens pada fase dakwah Islam di Mekkah. Pemilihan kata “fitnah” untuk menunjukkan makna syirik sosiologis atau gerakan syirik yang mengganggu kehidupan beragama orang-orang mukmin dapat pula dijumpai pada ayat yang lain, QS. al-Buru>j (85): 10 ِ َّ ِ ِ ِ ِِ اب َ ين فَتَ نُوا الْ ُم ْؤمن ُ َّم َوَِلُ ْم َع َذ ُ ني َوالْ ُم ْؤمنَات ُثَّ َلْ يَتُوبُوا فَلَ ُه ْم َع َذ َ إ َّن الذ َ اب َج َهن )ٔٓ( اْلَ ِر ِيق ْ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan lalu mereka tidak bertobat, maka mereka akan mendapat azab Jahanam dan mereka akan mendapat azab (neraka) yang membakar.” Imam al-T{abari dalam menafsirkan kalimat “fatanu> al-mu’mini>n wa al- mu’mina>t” dengan penjelasan “ibtalawu> al-mu’min>n wa al-mu’mina>t bi Allah bi ta’z\i>bihim wa ihra>qihim bi al-na>r” (memberikan cobaan pada orang-orang yang beriman kepada Allah dengan cara menyiksa mereka dan membakar mereka dengan api). Maka dari ayat ini semakin tegas adanya pengaruh konteks yang membentuk kata “fitnah”pada ayat-ayat perang. 16 129-130 Kurdi, dkk., Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hal. 79 Poin terakhir adalah kata “al-di>n” yang diambil dari redaksi “wa yakuna al-di>n li Alla>h” (dan agama hanya untuk Allah belaka). Kata ini juga menjadi polemik bagi para penganut tekstual karena sekilas membaca redaksi tersebut seakan memberikan gambaran perang yang tidak akan berhenti sampai tidak ada agama lagi di atas bumi selain Islam. Asumsi ini diperkuat dengan hadits yang dikutip oleh al-T}abari> dari riwayat Rabi>’:17 ِ ، ويؤتوا الزكاة، ويقيموا الصلة،الناس حّت يَقولوا ل إلو إل اهلل ّ ُ إن َ أمرت أن أقاتل فإذا فعلوا ذلك فقد َعصموا مين دماءىم وأمواِلم إل حبقها وحساهبم على اهلل “ Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan kalimat “La> Ila>ha Illa Alla>h”, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka sudah melakukan itu, maka mereka telah menjaga darah dan hartanya dari aku kecuali dengan haq. Sedangkan hisab mereka adalah urusan Allah ”. Tapi sekali lagi asumsi itu perlu dipertimbangkan dengan cara membaca seksama pada semua pernyataan al-T}abari> pada tafsir QS. al-Baqarah ayat 191-193 tersebut. Dalam hal ini penulis membuat beberapa poin sebagai kesimpulan: 1. al-T}abari> tidak sekalipun mengatakan kata “Islam” sebagai penjelasan kata “al-di>n”. Dengan demikian tidak bisa dijadikan dasar bahwa perang bertujuan untuk memaksakan agama Islam. Sebagai sebuah perbandingan 17 Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat: Al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ alShahi>h (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), juz I, hal. 11. Muslim Ibn Hajja>j, al-Ja>mi’ al-Shahi>h Muslim (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), juz I, hal. 38 80 untuk menelusuri makna kata ‚al-di>n‛ yang kaitannya dalam ekspansi jihad ini, bisa dilihat sebuah kasus Kha>lid ibn Wa>lid. Diceritakan suatu ketika Rasul menugaskan Kha>lid ibn Wa>lid bersama 350 orang pasukan ke pemukiman Juzaimah di Yalamlam guna mengajak mereka masuk Islam.18 Diriwayatkan bahwa ketika itu para penduduk setempat meletakkan senjata, dan mereka menyatakan kalimat “s}aba’na>” (kami keluar dari agama kami), namun mereka tidak menyatakan diri masuk agama Islam. Hal ini membuat Kha>lid memerintahkan pasukannya membunuh mereka. Pada saat itu sebagian pasukan ada yang mengikuti perintah Kha>lid, ada juga yang menolak. Abdullah ibn „Umar dan Abdurrahman ibn „Auf termasuk mereka yang menegur Kha>lid dan enggan membunuh para tawanan. Kemudian peristiwa tersebut disampaikan kepada Rasul S.A.W., beliau marah dan menengadah ke langit seraya mengatakan berulang kali: اللهم إن أبرأ إليك مما صنع خالد “Ya Alah, aku berlepas diri kepada-Mu dari perbuatan Kha>lid”19 Dari kisah ini menunjukkan bahwa agama Islam bukan satu-satunya pilihan untuk non-Muslim yang kalah berperang melawan orang-orang Islam. Maka kata “al-di>n” dalam ayat di atas juga tidak bisa serta merta diartikan dengan agama Islam. 18 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (Tangerang: Lentera Hati, 2014), hal. 937 19 Ibid.,hal. 937 81 2. Definisi “al-di>n” menurut al-T}abari> pada tema ini adalah: ibadah kepada Allah dan kepatuhan dalam perintah dan larangan.20 Dengan pengertian ini maka al-di>n (agama) adalah lawan kata dari atheisme (anti Tuhan) dan politheisme (kepercayaan terhadap banyak Tuhan). Definisi ini juga menjadikan kata ‚al-di>n‛ sebagai lafaz\ ‘a>m (kata dengan cakupan makna umum) yang berarti mencakup agama Nasrani dan Yahudi. Dan ini bisa juga diajukan data lain untuk memperkuat argumentasi. Sebagaimana diketahui dari surat-surat Nabi S.A.W. yang ditujukan kepada pembesar dan penguasa di persada bumi, bahwa Nabi S.A.W. mengajak orang-orang Nasrani dan Yahudi (Ahl al-Kita>b) untuk bersatu pedoman pada “Kalimat Allah Sawa>>’ Bayna na> Wa Bayna kum” (ketetapan yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian).21 Terlepas dari akidah mereka yang sudah jelas berbeda, ini memberikan penjelasan bahwa Nabi S.A.W. memberikan pengakuan terhadap Nasrani dan Yahudi sebagai agama yang juga beribadah kepada Allah S.W.T. 3. QS. al-Baqarah ayat 191-193 ini menurut al-T}abari> khusus berkenaan dengan perang melawan kafir musyrik Quraish. Meskipun redaksi ayat menunjukkan makna umum, namun ayat ini tidak dapat diartikan perang melawan semua umat beragama. Karena dengan menggunakan sebuah teori: keumuman redaksi ayat menentukan kandungan hukum bila tidak terjadi 20 21 Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz III, hal. 571 Yang dimaksud dengan ketetapan tersebut adalah tidak menyembah kecuali Allah, tidak mempersekutukan Dia dengan apapun dan tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Lihat: M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, hal.820-821 82 kontradiksi dengan keumuman dalil lain.22 Sedangkan bila memaknai secara umum untuk ayat ini akan membenturkan dengan ayat-ayat yang memerintahkan untuk berbuat baik terhadap non-Muslim yang tidak ada sikap permusuhan. 4. Perang melawan kafir Quraish itu harus diakhiri ketika orang-orang kafir Quraish menghentikan aksi kekerasan dan kekufuran mereka. Secara mantu>q dan mafhu>m23 hal tersebut menunjukkan bahwa antara melakukan tindak kekerasan dan kekufuran adalah satu realitas sosial masyarakat Quraish yang tidak bisa dipisahkan. Selama mereka menyembah berhalaberhala maka selama itu pula akan terus terjadi kekerasan terhadap orangorang mukmin. D. Kontekstualisasi makna jihad Dalam hermeneutika Gadamer, untuk menafsirkan teks, seseorang harus selalu berusaha memperbarui pra-pemahamannya. Hal ini berkaitan erat dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison” (fusion of horizons). Menurut teori ini, proses penafsiran seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan 22 23 Ka>mil Mu>sa>, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r Bairu>t al-Mahru>sah, tt.), hal. 92 Dalam teori ush}u>l fiqh, dila>lat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nas}s} atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal. Sedangkan dila>lat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nas}s} atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat. Lihat: Zakaria al-Ans}ori, Gha>yat alWus}u>l (Semarang: Toha Putera, tt.), hal. 36-38 83 cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca.24 Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran. Yang terpenting dalam jurang dan tradisi itu adalah dialekta atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini. Untuk itulah, selanjutnya perlu dikaji tema jihad dan hal-hal yang terkait dengannya, sebagai sebuah teks (baik ayat maupun tafsir) yang dibentuk oleh tradisi dan sosio historisnya, kemudian berpijak dari cakrawala horison pembaca, dari teks itu dihasilkan produk banyak makna yang relevan dengan masa kini. Sejak al-Qur‟an diturunkan dengan latar belakangnya yang sarat akan budaya hingga dalam perkembangannya, jihad sebagai perang juga mengalami perluasan makna yang semakin ekspansionis, ketika terjadi pembagian wilayah-wilayah kekuasaan politik, yang dalam teori politik Islam dikenal dengan wilayah Da>r al-Isla>m, yakni wilayah di mana kaum Muslim berkuasa dan hukum Islam diterapkan, dan Da>r al-H}arb, yakni wilayah di mana orang kafir dan musuh-musuh kaum Muslimin berada.25 Dalam teori politik Islam klasik, da>r al-Isla>m menunjuk pada kumpulan wilayah yang bersatu dalam suatu negara tunggal dan diperintah oleh satu kekuasaan dalam mana hukumhukum syari'ah diberlakukan. Ini menunjukkan pula pada konsep negara universal yang tidak mengenal batas-batas teritorial. Kriteria kewarganegaraan ditentukan berdasarkan agama. Orang-orang kafir dalam wilayah kekuasaan 24 Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hal. 36 25 Ayyu>b al-Kafawi, al-Kulliyya>t (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1998), hal. 710 84 politik Islam dipandang sebagai orang-orang asing atau warga negara kelas dua. Adalah menarik bahwa jihad dengan pemaknaan politik dan militeristik ini muncul dalam hampir di semua kitab-kitab hadits. Dominasi makna ini juga terdapat dalam kitab-kitab tafsir. Bahkan sebagian ahli tafsir klasik tampaknya telah terpengaruh oleh perspektif ini. Hal ini juga tampak pada pemikiran alT}abari> tentang konsep jihad yang termuat di dalam kitab tafsirnya. Meskipun al-T}abari> bisa dikategorikan sebagai orang yang moderat dalam pemikirannya, namun tetap ada celah untuk mengkritik komentar-komentarnya yang masih terkesan fundamental. Contoh kasus pada QS. al-Taubah [9]: 29 ِ َّ ِ ين َل يُ ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِو َوَل بِالْيَ ْوِم ْاْلَ ِخ ِر َوَل ُُيَرُمو َن َما َحَّرَم اللَّوُ َوَر ُسولُوُ َوَل َ قَاتلُوا الذ ِ َّ ِ ْ ي ِدينو َن ِدين ِ اْلِزيةَ عن يد وىم ص ِ اغ ُرو َن ُ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ ْ اب َح َّّت يُ ْعطُوا َ َين أُوتُوا الْكت َ اْلَق م َن الذ َ )ٕ6( Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” 85 Ayat ini memerintahkan berperang sampai orang-orang non-Muslim mau membayar jizyah secara “sigha>ran” (keadaan tunduk). Al-T}abari> cenderung menafsiri kata “sigha>ran” dengan kata “az\illa>’ muqahharu>n” (terhina sebagai orang-orang terpaksa).26 Ini memberikan sebuah gambaran keadaan kelompok non-Muslim yang berada pada wilayah Islam sebagai warga negara kelas dua dalam strata sosialnya. Bila dihadapkan dengan realitas dunia modern tentu ini menjadi kritik sosial. Untuk itu persoalan utamanya adalah pentingnya melihat konteks ayat tersebut ketika diturunkan dan memahami kenyataan sosio kultur dan politik pada masa al-T}abari> menulis tafsirnya. Pertama, ayat tersebut sebagaimana dijelaskan oleh al-T}abari> diturunkan agar Rasul S.A.W. memerangi orangorang Romawi Timur (perang Ta>bu>k). Namun al-T}abari> tidak menjelaskan bagaimana konteks awal terjadinya perintah perang tersebut. Dalam sejarah Islam, kronologis perang Ta>bu>k ini didahului oleh perang Mu‟tah yang terjadi satu tahun sebelumnya. Di antara beberapa faktor pemicunya adalah seorang utusan yang dikirim oleh Rasul kepada Syurahbil Ibn ‘Umair al-Aza>di> yang menjabat sebagai gubernur Bashra, saat itu dibunuh dan surat yang dibawanya dirobek-robek. Bashra yang saat itu menjadi bagian wilayah dari Romawi Timur kemudian menyiapkan pasukan bersama kerajaan Romawi Timur untuk menghadapi konsekuensinya.27 26 Al-T}aba>ry, Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz XIV, hal. 198 27 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, hal. 882 86 Apa yang dilakukan oleh suatu negara yang dihina oleh negara lain dan dibunuh utusannya seperti ini? Tentu saja akan memeranginya. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah dengan melakukan ekspansi militer untuk menyerang orang-orang Romawi pada perang Mu‟tah dan dilanjutkan dengan perang Tabuk satu tahun sesudahnya. Dengan demikian bisa difahami perintah perang (jihad) dari ayat di atas sebagai sebuah perintah untuk melakukan tindakan preventif oleh Rasullullah. Sehingga kehadiran kata jizyah dalam ayat tersebut menjadi hal yang bisa dimaklumi untuk pihak yang kalah akibat dari perang yang mereka kobarkan. Jizyah dalam hal ini adalah suatu bentuk sistem lama pra-Islam sebagai kontrak politik untuk hidup bersama antara negara yang mengalami kalah peperangan dengan pihak pemenang.28 Tentu saja bila sebelumnya tidak pernah ada konflik atau perlawanan dari mereka, apalagi sampai terjadi sebuah tragedi peperangan maka kelompok-kelompok non-Muslim ini bisa hidup dalam satu kesetaraan tanpa harus dikenakan jizyah. Kedua, memahami sosio kultur, budaya dan iklim politik pada masa hidup al-T}abari>. Beliau hidup pada abad ke-3 H atau ke-9 M pada zaman keemasan Islam di bawah kekasaan daulah Abbasiyah. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, hubungan antara Islam - Bizantium dalam keadaan bersitegang dengan rentetan peristiwa yang membuat dua belah pihak memanas. Dimulai pendudukan pulau Kreta oleh pemerintahan kha>lifah al- Makmu>n, dilanjutkan serangan armada Bizantium, kerusuhan di Nubia, hingga 28 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi al-Qur’an dan Hadis, hal. 207 87 perang besar di Asia Kecil mewarnai dinamika politik antara Islam dan Bizantium. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi sikap dan pandangan alT}abari> terhadap status non-Muslim di wilayah penaklukan Islam. Sangat dimaklumi bila kemudian al-T}abari> memilih kata “az\illa>‟” (orang-orang terhina) sebagai ta’wi>l kata “sigha>ran” sebagai konseksuensi atas pihak yang mengalami kekalahan. Dengan tidak melepaskan sejarah dan konteksnya tersebut, kemudian bisa diformulasikan sebuah konsep jihad modern. Disamping pentingnya memahami betul kondisi sosio kultur politik dan budaya pada saat ini. Pada masa sekarang, seluruh penduduk dunia telah terikat oleh perjanjian internasional, perjanjian bilateral, hubungan diplomatik, dan perbatasan antar negara yang terjaga dan terlindungi. Tidak aboleh ada suatu negara menerobos masuk ke wilayah negara lain. Karena bila sampai itu terjadi, dianggap sebagai sikap permusuhan terhadap negara tersebut serta bisa mendapatkan kecaman hingga sangsi dari PBB, baik sangsi ekonomi maupun militer. Namun realitas tersebut bukan berarti telah menutup pintu jihad sehingga tidak ada lagi peluang untuk melaksanakan jihad di era modern ini. Karena seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa makna jihad sebenarnya tidak hanya terbatas pada peperangan saja. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, hal demikian justru memunculkan banyak kesempatan untuk melakukan jihad dalam semua aspek. Setidaknya, ada dua macam jihad bagi umat Islam pada masa sekarang: 88 1. Jihad melawan penjajahan dan tindak kekerasan. Sebagaimana telah dijelaskan, motivasi utama jihad adalah memberantas “fitnah” di atas muka bumi. Menterjemahkan kata “fitnah” pada masa sekarang ini salah satunya tampak jelas pada praktek kolonialisme negara-negara maju yang menjadikan wilayah yang terjajah mengalami penderitaan sama seperti yang dialami oleh masyarakat Muslim pada 14 abad yang lalu. Kasus penjajahan Israel atas Palestina dengan rentetan peristiwa tindak kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel dari waktu ke waktu tentu saja tidak bisa dibiarkan. Atau seperti kasus penjajahan Amerika atas Irak dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah massal hingga akhirnya tuduhan itu tidak pernah terbukti. Kasus di Libya, Syria dan negara-negara berpenduduk Muslim yang mengalami intervensi politik dari negara lain adalah seruan jihad yang harus mendapat jawaban. Misi utama dari jihad ini adalah pembebasan suatu wilayah dari penjajahan ataupun sisa-sisanya yang masih mencengkeram pada sebagian tempat dari suatu negara, khususnya negara Muslim.29 Menurut Qardhawi, kewajiban jihad melawan penjajahan semacam ini dibebankan atas penduduk negeri yang terjajah, lalu tetangganya dan saudaranya serumpun-dalam contoh kasus di atas adalah menjadi tanggung jawab utama negara-negara Arab tentunya-, lalu umat Muslim seluruh dunia..30 29 Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad, Alih Bahasa Irfan Maulana Hakim dkk, hal.976 30 Ibid., hal.977 89 Jihad melawan penjajahan ini juga pernah dideklarasikan oleh KH. Hasyim Asyari. Konteksnya pada saat itu adalah Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan rupanya tidak disetujui sekutu yang dipimpin oleh Inggris untuk kembali ingin menjajah Indonesia. Para ulama merasa prihatin dengan terancamnya Republik Indonesia. Sehingga dua bulan setelah proklamasi, tanggal 22 Oktober, NU yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy‟ari menyerukan perlawanan melawan penjajah dengan mengeluarkan fatwa yang disebut Resolusi Jihad.31 Dalam resolusi jihad tersebut, NU menyebutkan hukum perlawanan terhadap penjajah adalah fard{u ‘ain yang menjadi kewajiban setiap Muslim dalam radius 94 KM. Ekspansi militer NICA juga disebut-sebut telah melakukan kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketrentaman umum. Pandangan ini selaras dengan teori fitnah yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sehingga resolusi jihad ini merupakan sebuah reaksi atas fitnah penjajahan dan harus diperangi dengan semangat jihad fi> sabi>l Alla>h. Disamping problem penjajahan, masalah penindasan dan tindak kekerasan atas nama agama juga sering terjadi belakangan ini. Gerakan garis keras transnasional menjadi biang kerok dari ancaman perpecahan umat Islam. Munculnya ideologi takfiri> 32 hingga aksi barbar dari jaringan terorisme al-Qaeda maupun ISIS di belahan dunia Islam sangat meresahkan 31 63-70 32 Abdul Mun’im Dz, Piagam Perjuangan Kebangsaan (Jakarta: Setjen PBNU, 2011), hal. Takfi>ri> adalah faham yang memaksakan kepercayaan dan agamanya dengan cara-cara kekerasan dan menuduh siapapun yang di luar fahamnya dengan cap kafir, murtad, dan lain-lain. Lihat: Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, hal. 33. Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), hal. 135-136 90 kehidupan antar dan intra umat beragama. Kekerasan terorisme dengan peledakan bom dan semacamnya memang sangat berbahaya, namun ideologi dengan kekerasan teologis, psikologis, kultural, dan intelektual – dengan tujuan untuk menghancurkan budaya dan mengendalikan negara lain- jauh lebih berbahaya.33 Inilah bentuk fitnah abad 21 yang harus diperangi umat Islam dengan semangat jihad untuk menciptkan iklim yang baik dalam kehidupan beragama, sebagaimana disebut dalam ayat perang QS. al-Baqarah (2): 193 dengan menggunakan kalimat “wa yaku>na al-di>n li Alla>h.” 2. Jihad Sipil (al-Jiha>d al-Madany). Melihat peradaban yang semakin maju, justru masyarakat saat ini merasakan hidup di zaman krisis. Tanda-tandanya dapat dilihat di manamana. Pertentangan global yang kuat dari ideologi-ideologi sosial yang tak sepaham, kebingungan spiritual yang dipicu oleh oleh ilmu pengetahuan modern, penjajahan ekonomi oleh kapitalis, pola hidup serba cepat dan kacau yang menyerang jiwa. Masyarakat diimpikan oleh kemakmuran namun justru menyeret mereka pada hutang yang menjerat. Bangsa ini berbicara tentang kemerdekaan tapi faktanya adalah kebebasan yang merusak moral. Ilmu pengetahuan menjadi berkah, tapi manusia dihadapkan pada kesenjangan sosial, krisis budaya, dan lain-lain. Melihat konteks yang demikian, ini menjadi ladang jihad umat Islam agar membangun masyarakat dan membenahi kehidupan mereka. Karena 33 Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, hal. 71 91 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa makna jihad tidak sebatas peperangan fisik. Al-T{abari> juga memaknainya dengan “bersungguhsungguh (dengan segala upaya) ” dan “menyampaikan hujjah”. Kedua makna ini dapat diaplikasikan di era modern dengan adanya jihad sipil (al- jiha>d al-madany) seperti gagasan Qardhawi. Yakni jihad untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, menangani problematikanya, menutupi tuntutan moral dan materinya, serta membangkitkannya dalam berbagai bidang sehingga meraih kedudukan terhormat. Hal ini mencakup beberapa bidang yang meliputi keilmuan, kebudayaan, sosial, ekonomi, pendidikan dan pengajaran, kesehatan, lingkungan dan bidang peradaban yang bersifat umum.34 Tugas jihad sipil ini antara lain mencurahkan segenap kemampuan (baz\l al-juhd) untuk mendidik, mengentaskan pengangguran, memberi pelatihan kerja, menyediakan tempat tinggal yang layak untuk tunawisma, memberikan pengobatan, dan memberikan berbagai kompetensi bagi setiap orang yang membutuhkannya. Jihad sipil ini mengharuskan adanya pembangunan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, tempat ibadah, juga mendirikan perbankan yang stabil, serta semua fasilitas untuk mengembangkan bakat dan pekerjaan. 3. Kesabaran dan teguh memegang prinsip agama Kehidupan modern yang teramat kompetitif telah pula merubah pola berfikir manusia. Kebutuhan yang besar dalam hidup berakibat pada 34 Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad, Alih Bahasa Irfan Maulana Hakim dkk, hal.148 92 perubahan mendasar pada etos kerja manusia. Manusia modern sangat dikenal dengan sikap pragmatis-materialistik serta punya etos kerja yang tinggi dimana untuk menghadapi budaya kompetitif masyarakatnya, sistem kerja mereka tidak mengenal batas dan kepuasan serta lepas dari hegemoni agama.35 Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik, maka manusia akan dengan mudah menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya. Jika hal ini terjadi, maka terjadilah kerusakan akhlak dalam segala bidang, baik ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Sehingga akan memunculkan manusia yang modern (maju) dalam ilmu dan pengetahuan namun mundur (mengalami penurunan) dalam hal moralitas.36 Kerasnya kondisi semacam ini menuntut setiap orang mukmin untuk tetap memegang teguh keimanan dan prinsip agamanya. Fenomena sosial masyarakat yang sedemikian pragmatis-materialistik adalah tantangan jihad seorang mukmin agar tidak ikut terseret arus menjadi manusia yang kosong akan nilai-nilai iman. Kontekstualisasi makna jihad ini sebagai manifestasi konteks jihad yang terjadi pada masa Nabi dalam menghadapi sebuah kondisi yang penuh tekanan orang-orang kafir Quraisy agar orang-orang mukmin meninggalkan agamanya dan kembali kufur. 35 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t.), hal. 292 36 Ibid., hal. 292