tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Mastitis Subklinis
Mastitis adalah peradangan jaringan internal ambing yang umum terjadi di
peternakan sapi perah di seluruh dunia. Mikroorganisme disebut sebagai faktor
utama penyebab kejadian mastitis. Mastitis dapat menyebabkan kerugian berupa
penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya untuk pengobatan, susu
yang terbuang akibat terapi antibiotik dan penyembuhan beberapa infeksi mastitis
yang sulit sehingga sapi diafkir lebih awal (Subronto 2003; Giguere et al. 2006).
Mastitis adalah penyakit multifaktorial dan sulit disembuhkan. Kausa
mastitis beragam yaitu bakteri, virus, dan cendawan. Mikroba dapat menjadi
kausa penyakit pada ambing melalui dua cara yaitu secara ascendens dari lubang
puting dan secara descendens melalui pembuluh darah (Sudarwanto 1987;
Sunartatie et al. 1990; Lukman et al. 2009).
Kejadian mastitis sering terjadi pada masa kering kandang dan biasanya
bersifat subklinis. Hal ini terjadi karena pada masa kering kandang, sel-sel alveol
sedang dirombak dan diganti, sehingga sel-sel epitel yang rusak digunakan oleh
mikroba untuk masuk sebelum sel epitel alveol yang baru terbentuk (Subronto
2003).
Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing
diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan
multiplikasi.
Pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi
peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat
disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi. Adanya filtrasi cairan ke
jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing.
Pada saat ini terjadi
diapedesis, sel-sel PMN dan makrofag keluar dari pembuluh darah menuju
jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri.
Secara garis besar, mastitis dibedakan menjadi dua, yaitu mastitis klinis dan
mastitis subklinis. Diagnosa mastitis klinis dapat dengan mudah ditentukan dari
gejala klinis, yaitu adanya pembengkakan atau kemerahan pada ambing.
Pemeriksaan fisik menunjukkan hewan mengalami kenaikan suhu tubuh, denyut
jantung dan laju pernapasan. Gejala tersebut dapat dideteksi dengan pemeriksaan
fisik, selain itu hewan penderita mengalami gejala sakit secara umum, misalnya
demam atau penurunan nafsu makan (Kelly 1986).
Berbeda dengan mastitis klinis, mastitis subklinis tidak menunjukkan gejala
klinis. Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF)
adalah mastitis yang ditandai peningkatan jumlah sel somatik lebih dari 400 000
sel/ml dan ditemukan bakteri patogen. Susu yang diambil berasal dari kuartir
dalam masa laktasi normal (Subronto 2003; Hogeveen 2005; Lukman et al .
2009).
Penurunan kuantitas dan kualitas susu jarang diamati oleh peternak
sedangkan penurunan kualitas susu hanya dapat diperiksa di laboratorium, oleh
karena itu diagnosa mastitis subklinis jarang dilakukan.
Kualitas susu yang
diperiksa melalui perubahan kimiawi pada susu, meliputi penurunan jumlah
kasein, total protein dan gula susu atau laktosa (Subronto 2003).
Diagnosa
mastitis subklinis dapat dilakukan dengan berbagai cara pengujian susu, misalnya
dengan uji katalase, California Mastitis Test, Whiteside Test, Aulendorfer Mastitis
Probe, Wisconsin Mastitis Test, uji mastitis dengan IPB-1 atau pengujian secara
langsung dengan menghitung jumlah sel somatik menggunakan metode Breed
(Lukman et al. 2009).
Kejadian mastitis subklinis di daerah Bogor dan Cipanas diperiksa dengan
metode Breed dan milkcheker. Sebanyak seratus sampel (49.3%) dari 203 sampel
kuartir dideteksi positif mastitis subklinis (Sudarwanto 1997). Penelitian Winata
(2011) menyatakan bahwa, sebanyak 69.76% sampel susu yang berasal dari
KUNAK, Bogor, teridentifikasi positif mastitis subklinis. Hal ini didapatkan dari
perhitungan jumlah sel somatik yang melebihi angka 400.000 sel/ml sampel susu
menggunakan metode Breed.
Streptococcus agalactiae
Streptococcus sp. berbentuk sesuai namanya yaitu bulat (coccus) dan
berbentuk rantai atau berpasangan. Semua spesiesnya merupakan bakteri non
motil dan tidak membentuk spora. Kelompok bakteri ini termasuk bakteri Gram
positif anaerob fakultatif, kebanyakan berkembang di udara tetapi beberapa
spesies Streptoccus membutuhkan CO2 untuk berkembang.
Semua spesies
Streptococcus tidak dapat mereduksi nitrat tetapi mampu memfermentasi glukosa
dengan produk utama adalah asam laktat, tidak pernah berupa gas.
Banyak
spesies merupakan anggota dari mikroflora normal pada membran mukosa dari
manusia ataupun hewan, dan beberapa bersifat patogen.
Streptococcus
digolongkan berdasarkan kombinasi sifatnya, antara lain sifat pertumbuhan
koloni, pola hemolisis pada agar darah (ά-hemolisis, β-hemolisis atau tanpa
hemolisis/ γ-hemolisis), susunan antigen pada dinding sel yang spesifik untuk
golongan tertentu dan reaksi-reaksi biokimia (Jawetz et al.1960; Jawetz 1986;
Black 2005; Songer & Post 2005).
Streptococcus agalactiae merupakan satu-satunya anggota grup B menurut
klasifikasi Lancefield (1867), yang diacu dalam Songer dan Post (2005) yang
membagi genus Streptococus dengan klasifikasi species spesifik karbohidrat pada
antigen dinding sel. Streptococcus agalactie terkenal sebagai penyebab mastitis
pada sapi. Pada hewan lain, seperti domba, kambing dan unta, bakteri ini juga
menyebabkan mastitis dan laminitis. Streptococcus agalactiae dapat ditemukan
pada vagina dan bagian orofaring manusia.
Pada manusia, bakteri ini dapat
menyebabkan meningitis. Streptococcus agalactiae juga merupakan bakteri yang
hanya sedikit berespon terhadap terapi antibiotik (Songer & Post 2005).
Bakteri ini secara khas menghasilkan hemolisin yang dapat menghemolisa
sel darah merah secara in vitro. Kelompok Streptococcus dapat menghemolisa
eritrosit dengan melepas hemoglobin secara sempurna termasuk dalam kelompok
β-hemolitik (Jawetz et al. 1960). Streptococcus agalactiae membentuk daerah
hemolisis yang hanya sedikit lebih besar dari koloninya (bergaris tengah 1-2 mm).
Streptococcus golongan B menghidrolisis natrium hipurat dan memberi respon
positif pada tes CAMP (Christie, Atkins, Munch-Peterson), oleh karena itulah
Streptococcus agalactiae biasa diidentifikasi dengan CAMP test (Songer & Post
2005). Strain Streptococcus agalactiae meningkatkan aktivitas hemolitik pada
Staphylococcal ß-toksin membentuk tanda seperti anak panah pada reaksi CAMP.
Staphylococcus yang umum digunakan adalah Staphylococcus aureus (Songer &
Post 2005).
Streptococcus agalactiae merupakan bakteri patogen penting yang
menyebabkan mastitis pada ambing sapi perah sebelum higiene pemerahan dan
penggunaan antibiotik yang tepat dijalankan.
Respon awal ambing terhadap
invasi Streptococcus agalactiae adalah pembuluh darah ambing mengeluarkan
neutrofil dan membentuk udema interstisium. Umumnya bakteri ini tidak hanya
menyerang satu puting saja (Carlton & Mc Gavin 1995).
Menurut Wahyuni et al. (2006), di wilayah Bogor, teridentifikasi 63%
kejadian mastitis subklinis disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Kejadian
yang tinggi ini terjadi karena Streptococcus agalactiae mempunyai kemampuan
adesi yang kuat pada reseptor spesifik sel inang.
Bakteri ini diwaspadai
keberadaannya dalam susu sapi karena merupakan bakteri yang tahan temperatur
tinggi, selain itu bakteri ini dapat memproduksi kapsul polisakarida untuk
mencegah fagositosis. Bakteri ini dapat mempengaruhi kesehatan manusia yang
meminum susu tercemar dan tidak diolah dengan baik.
Bahaya Streptococcus agalactiae terhadap Kesehatan Mayarakat
Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus adalah dua bakteri
utama penyebab mastitis (Songer & Post 2005; Wahyuni et al. 2006). Sampel
yang diambil dari kabupaten Bogor menunjukkan bahwa, sebanyak 35 (63.6%)
isolat Streptococcus agalactiae didapatkan dari 75 sampel positif mastitis
subklinis yang diperiksa (Wahyuni et al. 2006).
Utama et al. (2000) menyatakan bahwa sebagian besar isolat lapang
Streptococcus agalactiae yang diuji memiliki aktivitas hemaglutinasi pada
eritrosit sapi dan ayam, serta sebagian kecil pada eritrosit manusia.
Hal ini
menunjukkan bahwa Streptococcus agalactiae kemungkinan dapat menginfeksi
manusia secara sistemik.
Bakteri ini merupakan penyebab penting infeksi
postpartus dan infeksi neonatal pada manusia. Infeksi postpartus yang sering
terjadi adalah endometritis dan infeksi neonatus berupa pneumonia, sepsis dan
meningitis (Jawetz 1986; Songer & Post 2005; Lukman et al. 2009).
Streptococcus agalactiae juga dapat menyebabkan demam Scarlet atau
Scarlatina. Penyakit ini menyerang anak berusia 5-15 tahun dan dapat
menimbulkan komplikasi pada hati dan ginjal. Demam Scarlet dipicu oleh bakteri
Streptococcus
yang
mengeluarkan
eksotoksin.
menyebabkan demam (Songer & Post 2005).
Eksotoksin
inilah
yang
Pengobatan Mastitis Subklinis di Peternakan Sapi Perah
Antibiotik yang baik adalah antibiotik yang mudah larut dalam cairan tubuh,
memiliki toksisitas selektif, sulit terjadi resisten oleh mikroba, non alergenik,
stabil konsentrasinya baik sebelum digunakan maupun di dalam tubuh, tidak
mudah terjadi toksik, serta bekerja dalam waktu yang lama di dalam tubuh (Black
2005).
Mastitis merupakan penyebab umum penggunaan antibiotik di dalam
peternakan sapi perah sebagai terapi untuk mengontrol kejadian mastitis pada sapi
masa laktasi dan kering kandang. Mastitis lingkungan adalah mastitis yang
penyebabnya berasal dari lingkungan kandang misalnya feses. Feses mengandung
flora komensal usus terutama E. coli.
Penggunaan antibiotik spektrum luas
dilakukan untuk pengobatan mastitis yang disebabkan oleh E. coli.
Hal ini
disebabkan oleh strain E. coli penyebab mastitis tidak dapat dibedakan dengan
strain E. coli normal di usus dan tidak ada faktor virulensi yang sama antar kedua
bakteri tersebut yang dapat diidentifikasi. Penggunaan antibiotik spektrum luas
inilah yang menyebabkan terjadinya resistensi (White 2006).
Menurut Sunartatie et al. (1990), pengobatan mastitis di peternakan di
Bogor menggunakan preparat antibiotika, antara lain: Penisilin, Terramisin
(Oxytetrasiklin), Vet Oxy (Oxytetrasiklin), Gantamisin, Kaloxy (Oxytetrasiklin),
Propen
(Penisilin),
Pradipen
(Penisilin),
Neomastitar,
dan
Daimeton
(Sulfamonometoxine). Antibiotik-antibiotik tersebut sebagian besar sudah tidak
efektif terhadap bakteri lapang. Hal ini menyebabkan kegagalan pengobatan dan
peningkatan kasus mastitis subklinis di Kabupaten Bogor.
Antibiotik yang paling banyak digunakan di peternakan sapi perah adalah
antibiotik untuk pengobatan mastitis (Giguere et al. 2006). Di Amerika Serikat,
pengobatan antibiotik melalui intramamaria untuk mastitis dengan penyebab
Streptococcus agalactiae adalah dengan Amoksisilin, Penisilin dan Eritromisin.
Pengobatan dengan distribusi melalui saluran pencernaan dengan pemberian per
oral juga dapat digunakan selain pengobatan melalui intramamaria (Songer & Post
2005).
Kekurangan pemberian antibiotik secara intramamaria adalah dapat
menyebabkan masuknya cendawan karena pengobatan tidak aseptis, obat yang
terkontaminasi serta obat yang tidak tepat dosis atau jenisnya (Sudarwanto 1987).
Resistensi Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu jenis mikroba untuk
menghambat atau membunuh mikroba lainnya. Banyak antibiotik yang sekarang
ini dibuat semisintetik atau sintetik penuh.
Sifat antibotik berbeda-beda dan
digunakan dalam pengobatan sesuai dengan sifatnya, misalnya obat golongan
Penisilin G sangat aktif terhadap bakteri Gram positif sedangkan bakteri Gram
negatif tidak peka oleh Penisilin.
Menurut Lechtman dan Wistreich (1980), antibiotik pilihan untuk
Streptococcus agalactiae atau Streptococcus hemolytic adalah Penicilin yang
bekerja sebagai bakterisidal. Metode terbaik untuk mengetahui dan membedakan
keefektifan antibiotik terhadap mikroba adalah dengan membedakan konsentrasi
minimum yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Minimum
Inhibitory Concentration determination).
Resistensi antibiotik adalah tidak efektifnya penggunaan antibiotik yang
digunakan untuk bakteri jenis tertentu. Menurut Setyabudi (2007), secara garis
besar, mikroba dapat menjadi resisten terhadap suatu antibiotik melalui tiga
mekanisme, yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerja aktif dalam sel mikroba,
inaktivasi obat, dan mekanisme mikroba merubah ikatan (binding site).
Penyebaran resistensi pada mikroba dapat terjadi secara vertikal (diturunkan dari
generasi ke generasi) atau secara horizontal dari suatu sel donor. Resistensi
dipindahkan dengan empat cara, yaitu: mutasi, transduksi, transformasi, dan
konjugasi.
Diketahui ada beberapa mikroorganisme yang menggambarkan resistensi
terhadap antibiotik–antibiotik tertentu akibat mutasi, termasuk diantaranya adalah
Streptococcus agalactiae.
Kenyataan ini sangat penting dalam pengobatan
penyakit, karena antibiotik yang pada mulanya efektif untuk mengendalikan suatu
infeksi bakterial menjadi kurang atau tidak efektif lagi. Hal ini terjadi disebabkan
oleh munculnya mutan–mutan oleh bakteri yang bersangkutan (Pelczar & Chan
2007).
Mekanisme resistensi yang terjadi adalah mengubah DNA, merusak
dinding membran permeabel, mengganggu pembentukan enzim proteolitik, dan
mengubah enzim (Black 2005; Pelczar & Chan 2007).
Resistensi antibiotik yang terjadi pada kasus mastitis subklinis dapat
disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang sering, berlebihan, serta penggunaan
dalam jangka waktu lama. Penggunaan antibiotik pada mastitis dengan penyebab
bakteri yang sudah resisten menjadi tidak efektif, oleh karena itu untuk
pengobatan mastitis subklinis diperlukan jenis antibiotik yang baru atau dosis
yang digunakan lebih tinggi. Beberapa antibiotik yang diuji adalah Penisilin G,
Ampisilin, Enrofloksasin, Gentamisin, Siprofloksasin, Eritromisin, Kanamisin,
dan Tetrasiklin.
Penisilin G (Benzil Penisilin)
Bangun dasar bentuk antibiotik Penisilin adalah asam 6-aminopentasianat,
suatu dipeptida bisiklik dari sitein dan valin. Penisilin didapat dari alam, yakni
dari kultur Penicillium notatum dan P. chrysogenum. Penisilin G merupakan
antibiotik yang memiliki aktifitas terbaik terhadap bakteri Gram positif yang
sensitif. Kerja Penisilin G efektif terhadap bakteri yang sensitif, perkembangan
resistensi yang sedikit dan toksisitas yang minimum sehingga Penisilin G lebih
sering digunakan. Penisilin G memiliki kelemahan, yaitu tidak tahan terhadap
asam lambung, sehingga tidak cocok untuk penggunaan peroral (Mutschler 1991;
Istiantoro & Vincent 2007a; Setyabudi 2007).
Mekanisme kerja Penisilin adalah dengan mengikat protein kuman dengan
membentuk penicillin-binding protein, menghambat pembentukan dinding sel
bakteri dan mengaktivasi enzim proteolitik bakteri sehingga dinding sel bakteri
rusak.
Daerah kerjanya mencakup kokus Gram positif dan negatif, basil Gram
positif dan Spirochaeta.
Sejak Penisilin mulai digunakan, jenis mikroba yang sebelumnya sensitif
semakin lama menjadi kurang sensitif.
Resistensi Penisilin terjadi dengan
beberapa mekanisme yaitu dengan membentuk enzim beta laktamase, merubah
penicillin binding protein serta menginaktivasi enzim autolisin (Istiantoro &
Vincent 2007a).
Ampisilin
Senyawa ini merupakan turunan pertama 6-aminopenisilanat. Ampisilin
disebut juga sebagai Penisilin spektrum luas karena selain bekerja pada mikroba
yang sama dengan Penisilin G, Ampisilin juga aktif terhadap sejumlah bakteri
Gram negatif seperti E. coli.
Menurut Mutschler (1991), Ampisilin kurang
berkhasiat dibandingkan dengan Penisilin G terhadap bakteri Gram positif.
Ampisilin lebih stabil terhadap asam sehingga dapat diberikan secara oral. Laju
absorbsi Ampisilin relatif lambat sekitar dua kali lebih lama dibandingkan
Penisilin G yaitu 50% terabsorbsi pada waktu paruh plasma 1-2 jam (Mutschler
1991; Istiantoro & Vincent 2007a).
Eritromisin
Eritromisin didapatkan dari Streptomyces erythreus. Eritromisin termasuk
kelompok makrolida yang masih aktif dalam kondisi asam lambung. Kelompok
ini bekerja efektif pada bakteri Gram positif terutama yang telah resisten terhadap
Penisilin dan Tetrasiklin atau alergi terhadap Penisilin. Antara kelompok
makrolida dapat terjadi resistensi silang (Mutschler 1991; Istiantoro & Vincent
2007a).
Gentamisin
Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis
Mikromonospora. Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida.
Secara klinis, Gentamisin sangat berarti karena peranannya terhadap mikroba
Gram negatif.
Gentamisin digunakan pada infeksi oleh bakteri yang telah
resisten terhadap antibiotika lain (Istiantoro & Vincent 2007b).
Seperti
antibiotik golongan aminoglikosida lainnya, bakteri dapat menjadi resisten karena
kegagalan penetrasi ke dalam sel bakteri, rendahnya afinitas obat pada ribosom
atau inaktivasi obat oleh enzim yang dihasilkan bakteri (Mutschler 1991).
Kanamisin
Kanamisin didapat dari filtrat kultur Streptomyces kanamycetius. Antibiotik
ini merupakan antibiotik golongan aminoglikosida dengan mekanisme resistensi
yang sama dengan Gentamisin. Pemakaian pada oral hampir tidak ada yang
diabsorbsi sehingga mengurangi flora usus namun demikian pemberian
intramuskular baik digunakan karena cepat diabsorbsi. Toksisitas antibiotik ini
cukup tinggi sehingga saat ini sudah jarang digunakan dan hanya digunakan
topikal pada mata (Istiantoro & Vincent 2007b; Setyabudi 2007).
Tetrasiklin
Tetrasiklin termasuk antibiotik dengan spektrum luas yang diisolasi dari
berbagai jenis Streptomyces viridifaciens.
Tetrasiklin bekerja pada semua
mikroba yang peka terhadap Penisilin, berbagai jenis Gram negatif, Mikrospora,
Spirochaeta, Riketsia, Chlamidia dan Leptospira. Tetrasiklin terdistribusi dengan
merata di seluruh tubuh namun kurang baik menembus sawar otak. Spektrum
kerja yang luas antibiotik ini menyebabkan pemakaian yang sering dalam
pengobatan medik sehingga resistensi beberapa galur bakteri meningkat. Sama
dengan antibiotik spektrum luas lain, tetrasiklin per oral dapat mengganggu
keseimbangan flora normal dalam saluran cerna (Istiantoro & Vincent 2007a;
Setyabudi 2007).
Streptococcus β-hemolisis merupakan salah satu bakteri yang memiliki
tingkat resistensi tinggi terhadap tetrasiklin.
Mekanisme terjadinya resistensi
adalah dengan dibentuknya protein pompa yang dapat mengeluarkan obat dari
dalam sel bakteri. Protein ini dikode di dalam plasmid dan dipindahkan dari satu
bakteri ke bakteri lain melalui proses transduksi atau konjugasi (Istiantoro &
Vincent 2007a).
Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan obat golongan flouroquinolon yang sering
digunakan untuk pengobatan bakteri Gram positif. Golongan floroquinolon
mudah mengalami resistensi dengan mekanisme pembentukan protein binding
yang berbeda. Keefektifan Siprofloksasin dapat dipengaruhi pula oleh mekanisme
resistensi silang oleh anggota golongan quinolon atau fluroquinolon (Istiantoro &
Vincent 2007a).
Enrofloksasin
Enrofloksasin
juga
termasuk
antibiotik
golongan
fluroquinolon.
Enrofloksasin dapat digunakan per oral karena lebih tahan terhadap asam
lambung.
Mekanisme
resistensi
Enrofloksasin
sama
seperti
golongan
flouroquinolon dengan mengubah mekanisme ikatan protein kuman dengan obat
(Istiantoro & Vincent 2007a).
Download