Minggu VI BAB VI APRESIASI HIDUP KOMUNITAS DAN BUDAYA

advertisement
Minggu VI
BAB VI
APRESIASI HIDUP KOMUNITAS DAN BUDAYA1
A. PENDAHULUAN
Barangkali khas ilmu antropologi, mungkin juga umumnya ilmu humaniora, paradigma
ilmu ini terus bergeser dan simpang siur. Barangkali satu-satunya yang cukup luas disepakati
adalah proses pengembangan pengetahuannya saja, yaitu melalui kerja lapangan yang panjang,
hidup dengan orang lain, untuk memahami masyarakat dan budaya lain. Antropologi memiliki
obsesi memahami lian yaitu orang yang berbeda dari dirinya sendiri untuk mengenali dirinya
sendiri secara lebih tajam. Mengenai siapa lian
dan apa itu kebudayaan, nyaris setiap
antropologi memiliki pengertian sendiri. Prof. Koentjaraningrat (alm.), sang guru besar
antropologi Indonesia, misalnya menggunakan konsep kebudayaan yang “meliputi” keseluruhan
sistem nilai dan gagasan, sistem tingkah laku dan hasil tingkah laku manusia. Berdasar konsep
itulah beliau “memetakan” manusia dan kebudayaan di Indonesia dalam sistem file etnografis
mirip kumpulan etnografi GP Murdock dalam Human Relations Area Files (HRAF). Lebih dari
itu beliau telah mencoba dengan rinci merujukkan pembangunan dengan sistem nilai yang ada
dalam masyarakat. Kemudian ada Clifford Geertz yang secara sederhana dapat kita pahami
sebagai jejaring makna yang dirajut sendiri oleh manusia, sehingga bersifat publik. Dalam karier
Geertz, lian itu adalah orang Jawa, Bali, dan Marokko. Secara lebih sederhana lagi saya sering
menerangkan kepada para mahasiswa, bahwa kebudayaan itu adalah semua saja yang kita tahu
sama tahu (TST). Jadi belajar antropologi itu seperti latihan mata untuk melihat apa yang tidak
nampak (dalam diri sendiri) dari penampakan orang lain (etnik).
Tentu aktualisasi kebudayaan dalam hidup sehari-hari amat sangat beraneka ragam dan
luas sekali bidangnya, serta tidak dapat direduksi hanya ke dalam sistem nilai. Dalam hidup
sehari-hari orang beradu siasat untuk mencapai kepentingannya. Oleh karena itu dalam
antropologi pun ada banyak sekali pengkhususan. Sudah jamak pula di kalangan antropologi,
para antropolog itu berwacana dengan membuka pengalaman etnografisnya dalam masyarakat
tertentu yang terkadang tidak seorangpun pernah mendengarnya. Karya antropologi tentu saja
kemudian bermuatan politik.
1
Topic bahasan untuk minggu keenam mata kuliah pengantar antropologi ini mengambil referensi dari tulisan PM.
Laksono. Rujukan Lembaga-lembaga Demokrasi Dalam Ranah Komunitas Lokal.
Kini para antropolog biasanya setuju bahwa obyek dan subyek yang dipelajarinya terus
bergeser, sementara pengalaman pribadi para penelitinya atau orang yang mempelajarinya juga
terus bergeser sesuai dengan posisi historisnya. Oleh karena itu saya menyarankan untuk
menempatkan hasil kerja antropologi, yaitu etnografi, sebagai pengetahuan reflektif dan
apresiatif, yaitu pada penemuan eksistensi manusia sendiri. Oleh karena itu pengetahuan
etnografik itu bermuatan unsur apresiasi, empati afektif dan kognitif sesuai dengan pengalaman
hidup. Beretnografi itu seperti usaha untuk merekonstruksikan gadjah yang tidak nampak dari
jejak kaki yang ditinggalkan dalam pikiran kita. Antropologi pertama-tama harus bersejarah
karena berurusan dengan pengalaman hidup yang bergerak ke depan dan pemahaman ke
belakang atas pengalaman itu. Selanjutnya antropologi berurusan dengan kritik pasca positifistik
atas realisme empirik, yang menghindari teori-teori korespondensi sederhana dari kebenaran dan
pengetahuan yang menyebabkan “fakta” menjadi urusan yang rentan (Geertz 1995: 167-168)
Jika penampakan (fakta komunitas lokal/etnik) lian itu begitu rentan, lalu apa yang dapat
dibicarakan dan dilakukan untuk merujukkan lembaga-lembaga demokrasi dengan fakta itu?
B. PENYAJIAN
Dari Sabang sampai Merauke, masyarakat Indonesia terbagi-bagi dalam begitu banyak
sukubangsa dengan sejarah yang beraneka ragam. Ada masyarakat petani yang bertradisi
kerajaan yang feodalistik dan kompleks serta ada masyarakat-masyarakat kesukuan yang masih
mengembara di hutan-hutan. Kemudian di kota-kota banyak orang hidup di kampung-kampung
marginal dengan kepadatan sosial dan spasial yang sangat tinggi tanpa layanan sosial dasar yang
memadai. Dimana-mana kita temukan komunitas tempatan yang kehilangan aksesnya terhadap
sumber-sumber hidup (tanah, hutan, air, dll).
Saya sependapat, bahwa masyarakat tempatan adalah komunitas yang bukan saja sangat
banyak jumlahnya tetapi sangat dinamis dan selalu berubah, bahkan juga tidak selalu terisolir.
Dinamik itu merupakan bagian dari hidup masyarakat setempat yang telah melampaui masa yang
panjang dengan perspektif yang tidak selalu tempatan. Di sini kita harus memahami budaya
masyarakat setempat pun pernah mengalami kontak dengan dunia luar, namun dalam proses itu
“warna” tempatan kuat bertahan karena masyarakat terutama para elitenya berhasil
mengidentifikasikan dirinya dalam proses itu. Mereka bahkan mampu mengapropriasi atau
mengambil alih budi bahasa “asing” justru untuk melestarikan ketidak setaraan sosial
tradisionalnya daripada ikut tersamaratakan oleh gelombang pengaruh budi bahasa dan gaya
hidup baru (Kaartinen 2000; Twikromo 2008). Akibatnya perubahan sosial selalu tertunda.
Seiring dengan proses itu terjadi degradasi peningkatan sumber-sumber ekonomi
setempat akibat eksploitasi yang berlebihan. Degradasi sumber-sumber setempat itu celakanya
selalu diiringi peningkatan konsumerisme yang digerakkan oleh pesona mode di sector
konsumtif dan bermuara pada krisis identitas dan disintegrasi sosial. Banyak orang saya lihat
justru menjadi sangat positifistik padahal sumber-sumber tempatan kita itu terbatas dan terkait
dengan tradisi sehingga tidak mungkin memuaskan pikiran macam itu. Terjadilah kemudian
kompetisi tidak seimbang antara operasi para pemodal dan masyarakat tempatan misalnya
pemegang HPH dan masyarakat setempat dalam pembalakan hutan. Kompetisi ini biasanya
bermuara dalam konflik yang merumit menuju konflik horizontal yang tentu saja melumatkan
kemampuan masyarakat untuk mengakses pasar (bebas) yang menjadi model impian ekonomi
para pemilik modal.
Pengaruh agama-agama universalis (Islam, Hindu, Budha dan Kristen) serta kolonialisme
yang bervariasi kemudian juga investasi dan eksploitasi modal global di berbagai daerah telah
menciptakan bukan hanya sekadar perbedaan tampilan konfigurasi antar masyarakat, tetapi di
sana-sini juga telah menghasilkan jarak dan hirarki antar komunitas yang berbeda-beda. Menurut
pola hubungan antara agama dan Negara saja, Abdulrahman Wahid (1996) misalnya
menunjukkan paling tidak ada empat pola. Pertama pola Aceh dimana hukum agama adalah
hukum Negara. Kedua adalah pola Minangkabau yang memberi tempat bagi artikulasi pendapat
dan individuasi sentral. Ketiga adalah model Goa/Malaka/Malaysia dimana agama dipakai
sebagai pembenar dari kesepakatan yang bertahap karena ada pencampur adukan Islam dengan
budaya/tradisi setempat. Pola keempat adalah model Jawa dimana Islam tidak pernah diterima
secara total oleh pusat kekuasaan. Di sini keraton tidak ikut campur dalam urusan agama. Pelaku
feodalisme bukan hanya dari lingkaran keraton tetapi juga ada pseudo feodal dari kalangan
agamawan.
Di luar keempat pola itu masih akan banyak lagi ditemui konfigurasi sosial budaya lain
yang berbeda-beda, sebagian lebih demokratis dan terbuka dibanding yang lainnya.
Tugas: Mahasiswa diminta untuk membaca materi dan membuat pertanyaan kritis atas
pembacaannya serta terlibat aktif dalam diskusi di kelas.
C. PENUTUP
 Tes formatif dan kunci tes formatif: mahasiswa diminta untuk membaca setiap materi
sesuai topik bahasan setiap minggunya dan membuat pertanyaan kritis dari hasil
membaca materi tersebut dan memberikan contoh yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari.
 Petunjuk penilaian dan umpan balik:
Kriteria pertanyaan bernilai A: pertanyaan kritis yang merupakan hasil dari review materi
serta memiliki bobot untuk berpikir secara reflektif terkait
dengan isu sosial.
Kriteria pertanyaan bernilai B: pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam
materi.
Kriteria pertanyaan bernilai C: hanya menyuguhkan review tanpa membuat pertanyaan
kritis.
 Tindak lanjut: akumulasi nilai
Download