Minggu IX BAB IX KEBIJAKAN MENGENAI KOMUNITAS

advertisement
Minggu IX
BAB IX
KEBIJAKAN MENGENAI KOMUNITAS TERPINGGIRKAN/TRADISIONAL1
A. PENDAHULUAN
Melalui artikel ini, saya ingin mengeksplorasi implikasi dari kompleksitas keruangan ini
dalam pengelolaan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil, yaitu dialektika antara praktek-praktek
keruangan di kawasan pantai dan regulasi-regulasi berkaitan antara lain dengan desentralisasi dan
otonomi pemerintahan kabupaten di Indonesia. Untuk itu pertama akan saya kutip-kutipkan dari
berbagai sumber yang mengungkapkan rekaan arti dan masalah sumberdaya pantai dan pulaupulau kecil, sehingga kita dapat memperoleh pengertian bagaimana pertautan antara mistifikasi
pantai, laut dan pulau-pulau kecil, yang dilantunkan baik oleh negara, agen-agen internasional,
pemodal, organisasi-organisasi non-pemerintah dan para warga komunitas tepian laut, dengan
praktek-praktek di atasnya. Pantai, laut dan pulau-pulau kecil adalah tempat yang mengalami
mistifikasi dan menjadi ruang yang kompleks. Perlu dicatat di sini bahwa mistifikasi yang
dilantunkan oleh masing- masing pihak tidak selalu mudah dipisahkan satu dari yang lain,
meskipun itu tidak berarti bahwa pengertian mereka identik. Kutipan pertama dari leaflet
keluaran kerjasama Bappenas dengan agen pembangunan internasional Amerika Serikat
(USAID). Kutipan ini menggambarkan kondisi yang dijadi-jadikan acuan umum untuk
menekankan pentingnya undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berikutnya akan saya sampaikan peraturan/perundangan dan soal otonomi yang berkaitan dengan
praktek komersial pengelolaan pantai dan laut. Berkaitan dengan ini akan dilampirkan
sumbangan kasus reformasi industri ikan hias dari warga desa Les, Buleleng, Bali Utara yang
ditulis oleh Ruwindriyanto. Lalu perubahan-perubahan akibat isu otonomi daerah akan diulas dan
akhirnya contoh-contoh praktek pengelolaan sumberdaya pantai, laut dan pulau kecil oleh rakyat
ditampilkan sebagai lian atau imbangan tanding atas versi arus besar.
Relevansi
topik
bahasan
mengenai
kebijakan
mengenai
komunitas
terpinggirkan/tradisional ini merupakan lanjutan dari topic bahasan sebelumnya yang
memperbincangkan tentang budaya-budaya tempatan terutama komunitas lokal yang
terpinggirkan oleh kuasa Negara.
B. PENYAJIAN
1
Topic bahasan untuk minggu kesembilan mata kuliah pengantar antropologi ini menggunakan referensi dari tulisan
PM Laksono.2003. “Komplikasi Kebijakan Managemen Wilayah Pantai dan Pulau-Pulau Kecil”. artikel ini
disampaikan dalam konferensi Intenasional mengenai Desentralisasi dan Dampaknya pada ekonomi dan masyarakat
tempatan, Pusat Studi Asia Pasifik dan Jurusan Antropologi. Universitas Leiden di Yogyakarta 15-17 Mei 2003.
Barangkali khas ilmu antropologi, mungkin juga umumnya ilmu humaniora, paradigma
ilmu ini terus bergeser dan simpang siur. Barangkali satu-satunya yang cukup luas disepakati
adalah proses pengembangan pengetahuannya saja, yaitu melalui kerja lapangan yang
panjang, hidup dengan orang lain, untuk memahami masyarakat dan budaya lain.
Antropologi memiliki obsesi memahami lian yaitu orang yang berbeda dari dirinya sendiri
untuk mengenali dirinya sendiri secara lebih tajam. Mengenai siapa lian
dan apa itu
kebudayaan, nyaris setiap antropologi memiliki pengertian sendiri. Prof. Koentjaraningrat
(alm.), sang guru besar antropologi Indonesia, misalnya menggunakan konsep kebudayaan
yang “meliputi” keseluruhan sistem nilai dan gagasan, sistem tingkah laku dan hasil tingkah
laku manusia. Berdasar konsep itulah beliau “memetakan” manusia dan kebudayaan di
Indonesia dalam sistem file etnografis mirip kumpulan etnografi GP Murdock dalam Human
Relations Area Files (HRAF). Lebih dari itu beliau telah mencoba dengan rinci merujukkan
pembangunan dengan sistem nilai yang ada dalam masyarakat. Kemudian ada Clifford
Geertz yang secara sederhana dapat kita pahami sebagai jejaring makna yang dirajut sendiri
oleh manusia, sehingga bersifat publik. Dalam karier Geertz, lian itu adalah orang Jawa,
Bali, dan Marokko. Secara lebih sederhana lagi saya sering menerangkan kepada para
mahasiswa, bahwa kebudayaan itu adalah semua saja yang kita tahu sama tahu (TST). Jadi
belajar antropologi itu seperti latihan mata untuk melihat apa yang tidak nampak (dalam diri
sendiri) dari penampakan orang lain (etnik).
Tentu aktualisasi kebudayaan dalam hidup sehari-hari amat sangat beraneka ragam dan
luas sekali bidangnya, serta tidak dapat direduksi hanya ke dalam sistem nilai. Dalam hidup
sehari-hari orang beradu siasat untuk mencapai kepentingannya. Oleh karena itu dalam
antropologi pun ada banyak sekali pengkhususan. Sudah jamak pula di kalangan antropologi,
para antropolog itu berwacana dengan membuka pengalaman etnografisnya dalam
masyarakat tertentu yang terkadang tidak seorangpun pernah mendengarnya. Karya
antropologi tentu saja kemudian bermuatan politik.
Kini para antropolog biasanya setuju bahwa obyek dan subyek yang dipelajarinya terus
bergeser, sementara pengalaman pribadi para penelitinya atau orang yang mempelajarinya
juga terus bergeser sesuai dengan posisi historisnya. Oleh karena itu saya menyarankan untuk
menempatkan hasil kerja antropologi, yaitu etnografi, sebagai pengetahuan reflektif dan
apresiatif, yaitu pada penemuan eksistensi manusia sendiri. Oleh karena itu pengetahuan
etnografik itu bermuatan unsur apresiasi, empati afektif dan kognitif sesuai dengan
pengalaman hidup. Beretnografi itu seperti usaha untuk merekonstruksikan gadjah yang tidak
nampak dari jejak kaki yang ditinggalkan dalam pikiran kita. Antropologi pertama-tama
harus bersejarah karena berurusan dengan pengalaman hidup yang bergerak ke depan dan
pemahaman ke belakang atas pengalaman itu. Selanjutnya antropologi berurusan dengan
kritik pasca positifistik atas realisme empirik, yang menghindari teori-teori korespondensi
sederhana dari kebenaran dan pengetahuan yang menyebabkan “fakta” menjadi urusan yang
rentan (Geertz 1995: 167-168)
Jika penampakan (fakta komunitas lokal/etnik) lian itu begitu rentan, lalu apa yang dapat
dibicarakan dan dilakukan untuk merujukkan lembaga-lembaga demokrasi dengan fakta itu?
Aktivitas: Diskusi
Tugas: Mahasiswa diminta untuk membaca materi dan membuat pertanyaan kritis atas
pembacaannya serta terlibat aktif dalam diskusi di kelas.
C. PENUTUP
 Tes formatif dan kunci tes formatif: mahasiswa diminta untuk membaca setiap materi
sesuai topik bahasan setiap minggunya dan membuat pertanyaan kritis dari hasil
membaca materi tersebut dan memberikan contoh yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari.
 Petunjuk penilaian dan umpan balik:
Kriteria pertanyaan bernilai A: pertanyaan kritis yang merupakan hasil dari review materi
serta memiliki bobot untuk berpikir secara reflektif terkait
dengan isu sosial.
Kriteria pertanyaan bernilai B: pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam
materi.
Kriteria pertanyaan bernilai C: hanya menyuguhkan review tanpa membuat pertanyaan
kritis.
 Tindak lanjut: akumulasi nilai
Download