35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Percobaan I: Uji kecernaan Se Hasil pengujian kecernaan Se dari dua sumber yang berbeda, yaitu sodium selenite dan selenometionin disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 12. Tabel 5. Nilai koefisien kecernaan (Nda) dan kadar Se di darah pada dua sumber Se yang berbeda Sumber Se Sodium selenite Selenometionin Nda (%) 60,36 + 0,55b 68,68 + 1,76a Kadar Se di darah (ppm) 0,99 1,64 *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Tabel 5 dan Lampiran 12 menunjukkan bahwa nilai koefisien kecernaan selenometionin (68,68+0,55%) lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite (60,36+1,76%). Hasil yang sama terlihat pada kadar Se di dalam darah yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan selenometionin (1,64 ppm) dan terendah pada penambahan sodium selenite (0,99 ppm). 4.2 Pembahasan Percobaan I: Uji kecernaan Se Informasi tentang kecernaan, penyerapan, dan bioavailability Se dari berbagai sumber telah didapatkan pada ikan Atlantik salmon, salmo salar (Bell & Cowey 1989), channel catfish, Ictalurus punctatus (Paripatananot & Lovel 1997), dan hybrid striped bass (Jaramillo et al. 2009). Meskipun nilai yang didapatkan berbeda antarspesies, pada umumnya menunjukkan bahwa selenometionin lebih baik dibandingkan dengan sumber Se yang lain. Pada percobaan ini, dengan menggunakan juvenil kerapu bebek sebagai hewan uji, terlihat bahwa penyerapan Se yang berasal dari selenometionin lebih baik dibandingkan dengan sodium selenite. Hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien kecernaan Se dan kadar Se di dalam darah yang lebih tinggi pada ikan yang diberi selenometionin dibandingkan dengan sodium selenite. Kadar Se yang tinggi di dalam darah menunjukkan bahwa tingkat penyerapannya lebih tinggi. 36 Penyerapan yang tinggi menggambarkan kemampuan selenometionin dalam memanfaatkan mekanisme transpor aktif yang tersedia pada asam amino metionin (Bell & Cowey 1989). Selanjutnya dikatakan bahwa selenometionin kemungkinan lebih mudah bergabung ke dalam plasma dibandingkan dengan sodium selenite karena selenometionin dapat dengan mudah mengganti metionin dalam sintesis protein. Burk (1976) juga melaporkan bahwa selenometionin mempunyai dua jalur metabolisme utama, yaitu metionin dan selenium sehingga memungkinkan dicerna dan diserap dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Se dari sumber lain. Hasil yang didapatkan pada percobaan ini sejalan dengan Bell dan Cowey (1989) yang melaporkan bahwa pada ikan salmon, kecernaan selenometionin lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite, selenosistein, dan tepung ikan. 4.3 Hasil Percobaan II: Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 4.3.1 Kinerja pertumbuhan Pemberian pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda selama 40 hari masa pemeliharaan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, retensi protein, dan retensi lemak juvenil kerapu bebek (Tabel 6 dan Lampiran 13). Secara umum, hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin memiliki kinerja pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian sodium selenite, dan dosis 4 mg Se/kg pakan dalam bentuk selenometionin adalah perlakuan terbaik. 37 Tabel 6. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), dan retensi lemak (RL) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Parameter Penambahan Se (mg/kg) TKH (%) LPH (%) KP (g) EP (%) a a b 0 86,11+4,82 1,18+0,16 47,60+5,63 46,46+5,68b 0,5 Selenite 2,78+4,81b 0,14+0,24b 17,91+0,71c 1,52+2,63c b b c 1 Selenite 2,78+4,81 0,2+0,35 16,60+2,87 1,88+3,25c 2 Selenite 0c 18,24+0,87c c c 4 Selenite 0 15,84+0,80 a a b 1 Se-Met 86,11+17,35 1,2+0,26 48,87+10,07 46,85+21,56b a 2 Se-Met 91,67+0,00 1,46+0,17a 57,1+5,67a 59,5+4,93ab 4 Se-Met 97,22+4,81a 1,5+0,23a 53,5+4,60ab 69,95+10,86a RP (%) RL (%) b 21,05+2,58b - - - - - - - - 19,74+3,48 b 18,58+3,85b 20,77+2,56 b 24,72+3,52ab 25,74+3,09a 31,2+9,75a 17,85+1,98 *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Hasil perhitungan kadar glikogen hati, glikogen otot dan rasio RNA/DNA disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar glikogen hati, glikogen otot, dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met Glikogen hati (mg/100 mL) 3,28+0,17a 3,35+1,81a 3,50+0,58a 3,82+1,83a Parameter Glikogen otot (mg/100 mL) 2,07+0,60b 3,10+1,13a 3,57+0,75a 3,89+0,64a RNA/DNA 1,03+0,10a 1,16+0,12a 1,27+0,37a 1,82+1,10a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Tabel 7 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, kadar glikogen hati dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin di pakan. Namun, nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan yang diberi pakan tanpa 38 penambahan Se. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh kadar glikogen otot, yaitu ikan yang diberi selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter. 4.3.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Aktivitas enzim GPx hati dan SOD hati disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Aktivitas enzim GPx hati dan SOD hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met Parameter GPx hati (mU/mg protein) 684,24+25,92a 675,41+384,02a 668,98+4,32a 644,22+4,77a SOD hati (unit) 47,37+3,53a 51,50+9,37a 48,59+5,26a 52,31+0,00a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Tabel 8 menunjukkan bahwa pada penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, nilai aktivitas GPx hati dan SOD hati juvenil kerapu bebek tidak berbeda dari ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Sementara itu, pada pemberian sodium selenite, tingkat kematian yang tinggi (Tabel 6) menyebabkan jumlah ikan tidak mencukupi untuk kebutuhan pengukuran parameter aktivitas GPx hati dan SOD hati. Aktivitas enzim GPx plasma, SOD plasma, dan rasio T3/T4 disajikan pada Gambar 4, 5, dan 6 berikut: Aktivitas GPx plasma (mU/mg protein) 39 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Penambahan Se (mg/kg) Aktivitas SOD plasma (unit) Gambar 4. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda 30 25 20 15 10 5 0 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 5. Aktivitas enzim SOD plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Rasio T3/T4 40 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 6. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Gambar 4, 5, dan 6 di atas, secara umum memperlihatkan pola yang relatif sama, yaitu pemberian selenometionin memberikan pengaruh yang lebih baik pada juvenil kerapu bebek dibandingkan dengan sodium selenite. Aktivitas enzim GPx plasma (Gambar 4) dan rasio T3/T4 (Gambar 6) terlihat semakin meningkat dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan yang bersumber dari selenometionin, dan nilai tertinggi didapatkan pada dosis 4 mg Se/kg pakan. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter. Aktivitas enzim SOD plasma seperti terlihat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa nilainya sama untuk semua tingkatan pemberian selenometionin (dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan) dan kelompok ikan tanpa penambahan Se. 4.3.3 Gambaran darah Pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda disajikan pada Tabel 9 dan 10. 41 Tabel 9. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite 1 Se-Met 2 Se-Met 4 Se-Met 6 TE (x 10 sel/mL) 0,96+0,06a 1,18+0,22a 1,15+0,45a 1,19+0,29a Parameter Hb (g %) 4,27+0,46a 4,37+0,45a 4,30+1,10a 4,33+0,79a Ht (%) 16,63+1,45a 19,50+6,92a 21,26+1,66a 19,80+2,28a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Tabel 9 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai total eritrosit tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 1 mg Se/kg pakan, 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Nilai kadar hemoglobin tertinggi didapatkan pada penambahan 1 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 4 mg Se/kg pakan, 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, nilai hematokrit tertinggi didapatkan pada penambahan 2 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 4 mg Se/kg pakan, 1 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Namun, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada ketiga parameter gambaran darah tersebut. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter. 42 Tabel 10. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Differensial leukosit Penambahan Se (mg/kg) Limfosit (%) Monosit (%) Neutrofil (%) 0 73,87+3,63a 15,76+2,80a 10,37+1,38a 0,5 Selenite 1 Selenite 2 Selenite 4 Selenite a a 1 Se-Met 71,95+6,61 17,16+2,66 10,90+3,97a 2 Se-Met 71,45+8,93a 16,74+7,47a 11,82+2,98a a a 4 Se-Met 70,97+2,44 17,53+1,95 11,50+4,38a IP (%) 15,67+2,31b 22,67+3,21a 22,33+4,93a 26,00+3,61a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Tabel 10 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil juvenil kerapu bebek tidak dipengaruhi oleh pakan uji, tetapi perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada nilai indeks fagositik. Indeks fagositik juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin. Penambahan 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dan berbeda nyata dari kelompok ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, pada ikan yang diberi sodium selenite, nilai keempat parameter tersebut tidak ada. Hal ini disebabkan oleh jumlah ikan yang tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran keempat parameter tersebut. 43 4.3.4. Retensi Se Retensi Se (%) Hasil perhitungan retensi Se disajikan pada Gambar 7. 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 a b b b Penambahan Se (mg/kg) Gambar 7. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Gambar 7 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai retensi Se juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin. Retensi Se tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan dengan nilai yang berbeda nyata dari perlakuan lain. Sementara itu, pada penambahan sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter retensi Se sehingga tidak memiliki nilai. Secara umum terlihat bahwa sumber Se terbaik adalah selenometionin dan perlakuan terbaik adalah penambahan 4 mg Se/kg pakan. 4.4 Pembahasan Percobaan II: Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik 4.4.1 Kinerja pertumbuhan Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, dengan variabel yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya, termasuk volume, bobot atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bisa berkaitan dengan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya dari tubuh; perubahan kandungan 44 kalori (energi) dari keseluruhan tubuh, atau dari komponen jaringannya (Weatherley & Gill 1987). Pada percobaan ini, kinerja pertumbuhan yang digambarkan melalui parameter-parameter seperti terlihat pada Tabel 6, secara umum menunjukkan bahwa penambahan Se dari sumber organik (selenometionin) lebih baik dibandingkan dengan Se anorganik (sodium selenite). Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai tingkat kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,5, 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, sedangkan kelompok ikan tanpa penambahan Se nilainya tidak berbeda dengan penambahan selenometionin. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek makin menurun dengan makin meningkatnya dosis sodium selenite. Kematian ikan mulai terlihat pada hari ke-9 sebanyak 1 ekor pada pemberian sodium selenite dosis 4 mg Se/kg pakan. Selanjutnya, kematian ikan terjadi setiap hari pada seluruh perlakuan penambahan sodium selenite sampai dengan akhir pemeliharaan (hari ke-40). Penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan yang telah menyebabkan kematian 97,22% pada akhir pemeliharaan diduga adalah dosis yang sudah menyebabkan keracunan. Tingginya tingkat kematian ikan pada pemberian sodium selenite disebabkan karena pada dosis berlebih, selenite dapat menjadi pro-oksidan (Sphallholz 1997; Stewart et al. 1999). Pro-oksidan adalah zat kimia yang dapat meningkatkan aktivitas proses oksidasi. Proses oksidasi menghasilkan radikal bebas, di antaranya superoksidasi (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (.OH), nitrik oksida (NO.), dan lain-lain. Radikal bebas adalah suatu molekul yang elektron yang terletak pada lapisan paling luar tidak mempunyai pasangan (Anonim 2010b). Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat mereka sangat reaktif. Reaktif artinya mereka mempunyai spesifisitas yang rendah sehingga mampu bereaksi dengan molekulmolekul yang berada di sekitarnya. Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat, dan DNA. Reaktif juga berarti mereka tidak bertahan lama dalam bentuk asli karena untuk mempertahankan kestabilan molekul, mereka 45 harus mengambil satu elektron dari molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Karena molekul-molekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen maka secara umum molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen species (ROS). Dalam keadaan normal, radikal bebas yang terbentuk dapat dinetralisir oleh antioksidan, tetapi bila kadar ROS yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Pada tahap ini, kelebihan radikal bebas dapat bereaksi dengan sel lipid, protein dan asam nukleat sehingga menyebabkan kerusakan lokal, bahkan dapat sampai terjadi disfungsi organ dan kematian pada organisme. Hal ini diperkuat oleh hasil pengujian histopatologi yang menunjukkan terjadinya kerusakan pada organ hati, ginjal, dan usus ikan pada pemberian sodium selenite mulai dari dosis 0,5–4 mg Se/kg pakan, seperti terlihat pada Gambar berikut: 46 3 4 2 2 1 3 1 8.a. Hati mengalami nekrosis secara ektenstif. (1) vakuolisasi sel epitel hati; (2) vena centralis mengalami dilatasi; dan (3) infiltrasi sel mononuklear. B1 2 8.b. Hati mengalami nekrosis hepatik. (1) portal tract; (2) vena centralis; (3) haemorrhagi; dan (4) nekrosis sel epitel hati. C2 3 1 1 2 3 4 8.c. Usus mengalami nekrosis saluran pencernaan. (1) villi mucosa; (2) villi mucosa mengalami nekrosis dan desquamasi; dan (3) tunika muscularis. D3 8.d. Ginjal mengalami nephritis haemorrhagika. (1) Glomerulus; (2) tubulus proximalis mengalami dilatasi; (3) infiltrasi sel mononuklear; dan (4) haemorrhagika interstitialis. E2 Gambar 8. Beberapa contoh organ juvenil kerapu bebek yang mengalami kerusakan. Keterangan: B adalah penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan, C adalah penambahan 1 mg Se/kg pakan, D adalah penambahan 2 mg Se/kg pakan, E adalah penambahan 4 mg Se/kg pakan, sedangkan 1, 2, dan 3 adalah ulangan Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat toksisitas Se dalam bentuk sodium selenite pada beberapa spesies ikan. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis sodium selenite yang menyebabkan keracunan pada ikan nilainya bervariasi di antara spesies. Penambahan sodium selenite dosis 3–5 mg Se/kg pakan dalam waktu yang lama (lebih dari 20 minggu) menyebabkan keracunan pada ikan 47 rainbow trout (Salmo gairdneri) (Hamilton 2004; Hilton et al. 1980). Peneliti lain melaporkan bahwa gejala toksisitas terlihat pada pemberian sodium selenite dosis 13 mg Se/kg pakan pada ikan rainbow trout, 15 mg Se/kg pakan pada channel catfish, 9,16 mg Se/kg pakan pada juvenil abalon, dan 13 dan 26 µg Se/g pakan pada ikan Chinook salmon (Hilton et al. 1980; Gatlin & Wilson 1984; Wang et al. 2012; Hamilton et al. 1986). Hasil yang berbeda terlihat pada penambahan Se dalam bentuk selenometionin yang menunjukkan kecenderungan tingkat kelangsungan hidup makin meningkat dengan makin meningkatnya penambahan dosis Se, meskipun secara statistik nilainya tidak berbeda nyata dari perlakuan tanpa penambahan Se. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum menyebabkan keracunan bagi juvenil kerapu bebek. Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh penambahan dosis Se dalam bentuk selenometionin disebabkan karena selenometionin mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. Burk (1976) melaporkan bahwa selenometionin mempunyai dua jalur metabolisme utama, yaitu metionin dan selenium sehingga memungkinkan dicerna dan diserap dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Se dari sumber lain. Hasil yang sama dengan percobaan ini didapatkan oleh Lin dan Shiau (2005), yaitu penambahan selenometionin dalam pakan juvenil kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) sampai dengan dosis 5 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup dengan nilai 95,83–100%. Tashjian et al. (2006) juga melaporkan bahwa pemberian Se dalam bentuk selenometionin dosis 0,4, 9,6, 20,5, 41,7, 89,8, dan 191,1 mg Se/kg pakan selama 8 minggu masa pemeliharaan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) dengan nilai rata-rata 99%. Laju pertumbuhan harian juvenil kerapu bebek, seperti terlihat pada Tabel 6 menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kelangsungan hidup, yaitu penambahan Se dalam bentuk selenometionin memberikan pertumbuhan yang 48 lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite. Hasil yang sama didapatkan pada channel catfish (Wang & Lovel 1997; Paripatananot & Lovel 1997). Meskipun demikian, penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan pada percobaan ini tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan harian. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan laju pertumbuhan harian juvenil kerapu bebek sehingga untuk meningkatkannya diperlukan peningkatan dosis selenometionin. Berdasarkan Tabel 6, nilai konsumsi pakan juvenil kerapu bebek pada pemberian selenometionin lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite. Pada penambahan selenometionin dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan menunjukkan konsumsi pakan tertinggi, disusul dosis 1 mg Se/kg pakan, dan tanpa penambahan Se. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa pada penambahan selenometionin sampai dengan dosis tertentu, konsumsi pakan ikan makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya dosis Se di pakan. Konsumsi pakan yang tinggi mengindikasikan ikan menyukai pakan yang diberikan sehingga peluang untuk dicerna dan diserap oleh ikan semakin besar. Hal ini yang mendukung efisiensi pakan dan retensi lemak (Tabel 6) yang merupakan parameter kinerja pertumbuhan nilainya lebih tinggi pada ikan yang diberi pakan bersuplemen selenometionin dosis 4 dan 2 mg Se/kg pakan dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada pemberian selenometionin, nilai efisiensi pakan dan retensi lemak tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan 4 dan 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 1 mg Se/kg pakan dan tanpa penambahan Se. Seperti halnya konsumsi pakan, nilai efisiensi pakan dan retensi lemak makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis Se di pakan. Hasil berbeda didapatkan oleh Jaramillo et al. (2009), yaitu penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada pertambahan bobot dan rasio efisiensi pakan juvenil hybrid striped bass. Pada percobaan ini, pemberian Se dalam bentuk selenometionin memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi protein juvenil kerapu 49 bebek. Nilai retensi protein tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 2 mg Se/kg pakan, 1 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Ketiga perlakuan yang disebutkan terakhir nilainya tidak berbeda nyata. Hasil ini memperlihatkan bahwa retensi protein juvenil kerapu bebek makin meningkat dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin di pakan sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan. Hal ini disebabkan sumber Se yang digunakan adalah selenometionin yang merupakan Se bentuk organik. Selenium organik mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan (Anonim 2010b). Dengan demikian, peningkatan dosis penambahan selenometionin sampai dosis tertentu dapat meningkatkan jumlah protein yang tersimpan. Nilai retensi protein yang didapatkan pada percobaan ini mendukung nilai kinerja pertumbuhan yang lain, yaitu konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi lemak yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Seperti penjelasan di awal, pertumbuhan organisme dapat pula diindikasikan oleh perubahan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya dari tubuh. Dengan demikian, peningkatan retensi protein ini memberi gambaran meningkatnya pertumbuhan ikan. Glikogen merupakan bentuk simpanan karbohidrat dalam hati dan otot. Berdasarkan Tabel 7, pada pemberian selenometionin, dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, kadar glikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat pula. Meskipun demikian, nilai glikogen hati tidak berbeda nyata antara ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan dan ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, glikogen otot pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Nilai glikogen otot pada ketiga dosis penambahan selenometionin tersebut tidak berbeda nyata. Peningkatan kadar glikogen otot juvenil kerapu bebek dengan pemberian selenometionin menunjukkan tingginya simpanan glukosa. Simpanan 50 glukosa ini sewaktu-waktu dapat digunakan kembali terutama ketika suplai karbohidrat dari luar berkurang. Selain itu, kerapu bebek merupakan ikan karnivor yang kurang mampu memanfaatkan karbohidrat dari pakan sebagai sumber energi sehingga simpanan glukosa di otot dan hati semakin penting artinya. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan pada akhir pemeliharaan tidak mencukupi untuk kebutuhan analisis glikogen hati dan otot. Pada penambahan sodium selenite dosis 0,5 dan 1 mg Se/kg pakan tingkat kematian mencapai 97,22%, sedangkan dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan tingkat kematian mencapai 100% pada akhir percobaan. Untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan nilai rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat, selain juga dapat menjadi indikator status nutrisi ikan (Rooker & Holt 1996). Tabel 7 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan Se di pakan. Meskipun demikian, nilainya tidak berbeda nyata antara pemberian selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Hasil ini sejalan dengan nilai laju pertumbuhan harian dan tingkat kelangsungan hidup (Tabel 6) dan kadar glikogen hati (Tabel 7). 4.4.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Peran biokimia Se masih menjadi tanda tanya sampai ditemukan bahwa Se menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (GPx) (Rotruck et al. 1973). Enzim ini mengkatalis reaksi-reaksi penting untuk konversi hidrogen peroksida dan lipid peroksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif. Nilai aktivitas enzim GPx dapat memberi gambaran status Se di dalam tubuh organisme. Fungsi penting lain Se adalah menjadi bagian dari Iodotironin Deiodinase (ID), suatu enzim yang berperan sebagai katalisator dalam pembentukan T3 (bentuk aktif hormon tiroid) dari T4 (Brown & Arthur 2001). Pada percobaan ini terlihat bahwa aktivitas enzim GPx hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg 51 Se/kg pakan nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan tanpa penambahan Se. Dengan kata lain, penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan aktivitas enzim GPx hati. Hasil yang sama diperlihatkan oleh aktivitas enzim superoksida dismustase (SOD) hati, meskipun ada kecenderungan nilainya makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin di pakan. SOD adalah enzim yang berperan dalam mereduksi superoksida (O2-) menjadi H2O2, sementara GPx mereduksi H2O2 menjadi H2O. Kedua enzim antioksidan tersebut bekerja dengan sistem umpan balik. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek seperti terlihat pada Gambar 4 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilainya mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya dosis penambahan Se di pakan, dan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan. Sebaliknya, pada penambahan sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter. Gambar 5 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, aktivitas enzim SOD plasma juvenil kerapu bebek nilainya sama, baik pada penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, maupun tanpa penambahan Se. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran SOD plasma sehingga nilainya tidak ada. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek makin meningkat dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, dan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan. Tingginya nilai rasio T3/T4 mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi ID yang merupakan salah satu selenoprotein adalah sebagai katalisator pembentukan T3 dari T4. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus dalam mengatur pertumbuhan. Secara umum, hasil ini sejalan dengan nilai efisiensi pakan, retensi lemak, dan retensi protein seperti terlihat pada Tabel 6. 52 4.4.3 Gambaran darah Pada percobaan ini parameter gambaran darah yang diamati meliputi total eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, differensial leukosit, dan indeks fagositik. Hasil pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek disajikan pada Tabel 9 dan 10. Pada Tabel 9 terlihat bahwa penambahan selenometionin tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek. Hasil yang sama diperlihatkan oleh jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil (Tabel 10). Sementara itu, indeks fagositik juvenil kerapu bebek dipengaruhi oleh pakan uji yang ditambahkan dengan selenometionin. Nilai indeks fagositik makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin di pakan. Indeks fagositik juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa penambahan selenometionin ke dalam pakan juvenil kerapu bebek sampai dengan dosis tertentu dapat meningkatkan respons imunitas ikan. Hal ini dimungkinkan karena indeks fagositik adalah nilai yang menunjukkan aktivitas fagositosis. Fagositosis adalah salah satu mekanisme pertahanan seluler ikan yang bersifat nonspesifik dan merupakan langkah awal untuk mekanisme respons imun berikutnya, yaitu terbentuknya respons spesifik (Alifuddin 1999). 4.4.4 Retensi Se Pada pemberian selenometionin, nilai retensi Se tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 2 mg Se/kg pakan, 1 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se (Gambar 7 dan Lampiran 19). Ketiga perlakuan yang disebutkan terakhir nilainya tidak berbeda nyata. Tingginya nilai retensi Se pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan mengindikasikan jumlah Se yang tersimpan dalam tubuh ikan lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lain. Selenium yang tersimpan tersebut dapat digunakan sewaktu-waktu, terutama ketika suplai Se dari pakan kurang. Di 53 dalam hati, Se akan diubah menjadi selenoprotein-selenoprotein yang memiliki fungsi spesifik diantaranya terkait dengan pertumbuhan dan kesehatan organisme. Hasil ini sejalan dengan beberapa parameter kinerja pertumbuhan, yaitu efisiensi pakan, retensi protein, dan retensi lemak (Tabel 6) yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Hasil berbeda didapatkan oleh Lorentzen et al. (1994) pada ikan Atlantik salmon, meskipun selenometionin yang diberikan menyebabkan retensi Se lebih tinggi dibandingkan dengan Se dari sumber lain, tetapi pertumbuhan ikan tidak berbeda diantara perlakuan. Demikian pula yang dilaporkan oleh Rider et al. (2009) pada ikan rainbow trout yang menunjukkan hasil yang sama. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa nilai retensi Se yang tinggi tidak selamanya diikuti oleh pertumbuhan yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan organisme dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya dari Se. 4.5 Hasil Percobaan III: Kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Hasil percobaan II menunjukkan bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan telah menyebabkan kematian juvenil kerapu bebek lebih dari 90% pada hari ke-33. Hasil yang sama juga didapatkan pada penambahan 1 mg Se/kg pakan, bahkan dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan menyebabkan kematian sampai 100% pada akhir pemeliharaan (hari ke-40). Berdasarkan hasil tersebut, pada percobaan III, dosis penggunaan sodium selenite diturunkan menjadi di bawah 0,5 mg Se/kg pakan, sehingga perlakuan yang diterapkan berada pada kisaran 0–0,4 mg Se/kg pakan. 4.5.1 Kinerja pertumbuhan Hasil perhitungan kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda selama 42 hari masa pemeliharaan, disajikan pada Tabel 11. 54 Tabel 11. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), dan rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Penambahan Se (mg/kg) Parameter 0 0,025 a 0,05 97,78+3,85 a 0,4 95,56+3,85a LPH (%) 2,13+0,07a 2,14+0,10a 2,30+0,14a 2,26+0,15a 2,08+0,25a 1,94+0,13a a a a a a 92,67+2,55a KP (g) 94,40+6,60 EP (%) 74,96+5,72a 76,43+4,98a 81,51+7,82a 80,19+5,83a 77,18+5,40a 67,15+6,49a RP (%) 26,13+2,90a 26,41+1,72a 28,82+4,22a 28,20+0,84a 24,97+0,72a 24,19+2,11a RL (%) 30,72+3,03b 32,30+2,27b 45,76+3,43a 27,25+7,49b 26,40+8,31b 24,38+1,61b b ab a a ab 1,71+0,01b RNA/DNA 1,71+0,05 1,78+0,02 1,83+0,01 100,77+3,86 100,00+0,00 a 95,56+3,85 102,00+4,97 100,00+0,00 0,2 a TKH (%) 94,60+4,16 100,00+0,00 0,1 a 1,82+0,05 92,90+11,00 1,77+0,00 *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Pada Tabel 11 dan Lampiran 20 terlihat bahwa pemberian sodium selenite dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi protein, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada retensi lemak dan rasio RNA/DNA. Nilai retensi lemak tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan bersuplemen 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,025, 0, 0,1, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada pemberian 0,4 mg Se/kg pakan. Kelima perlakuan yang disebutkan terakhir nilainya tidak berbeda nyata. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa rasio RNA/DNA tertinggi didapatkan pada pemberian 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh dosis penambahan 0,1, 0,025, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Hasil pengukuran kadar glikogen hati dan glikogen otot disajikan pada Gambar 9. 55 Glikogen hati, otot (mg/100 mL) 2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 0.025 0.05 0.1 0.2 0.4 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 9. Kadar glikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda. Keterangan: adalah glikogen hati, dan adalah glikogen otot Pada Gambar 9 terlihat bahwa kadar glikogen hati tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 0,025, 0, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan yang diberi sodium selenite dosis 0,4 mg Se/kg pakan, sedangkan kadar glikogen otot tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 0,2, 0,025, 0, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan. Berdasarkan hasil ini terlihat bahwa kadar glikogen hati dan glikogen otot cenderung meningkat dengan makin meningkatnya jumlah pemberian sodium selenite sampai dosis tertentu, kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Dosis optimal didapatkan pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan. 4.5.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Aktivitas enzim GPx plasma, GPx hati, dan rasio T3/T4 disajikan pada Gambar 10 dan 11. Aktivitas GPx plasma dan GPx hati (mU/mg protein) 56 1600 a 1400 1200 b b b b 1000 ab 800 600 a a a a a 0.05 0.1 0.2 a 400 200 0 0 0.025 0.4 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 10. Aktivitas enzim GPx plasma dan GPx hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda. Keterangan : adalah aktivitas GPx plasma, dan adalah aktivitas GPx hati 4.5 a a 4 b Rasio T3/T4 3.5 b 3 bc 2.5 2 c 1.5 1 0.5 0 0 0.025 0.05 0.1 0.2 0.4 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 11. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Pada Gambar 10 dan Lampiran 22 terlihat bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada aktivitas enzim GPx plasma tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada aktivitas enzim GPx hati. Aktivitas enzim GPx plasma tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu 57 bebek yang diberi sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan dosis 0,1, 0,2, 0,025, 0,4 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Gambar 10 juga menunjukkan bahwa aktivitas GPx plasma juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite sampai dengan dosis tertentu, dan kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Berdasarkan nilai aktivitas GPx plasma, dosis optimal didapatkan pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan. Sementara itu, aktivitas GPx hati juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan sampai dengan dosis penambahan 0,025 mg Se/kg pakan dan kemudian turun pada dosis penambahan yang lebih tinggi. Pada Gambar 11 dan Lampiran 23 terlihat bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada nilai rasio T3/T4. Rasio T3/T4 tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi sodium selenite dosis 0,05 dan 0,025 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 0, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan. Seperti halnya aktivitas GPx plasma, pola yang ditunjukkan oleh rasio T3/T4 ini adalah nilainya cenderung mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya jumlah penambahan sodium selenite sampai dengan dosis tertentu, dan kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa dosis optimal didapatkan pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. 4.5.3 Gambaran darah Pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda disajikan pada Tabel 12 dan 13. 58 Tabel 12. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4 6 TE (x 10 sel/mL) 0,90+0,02a 1,06+0,18a 1,34+0,28a 1,27+0,28a 1,31+0,28a 1,26+0,28a Parameter Hb (g %) 3,25+0,35a 3,90+0,71a 4,20+0,28a 3,90+0,14a 3,90+0,14a 3,90+0,14a Ht (%) 9,26+0,71a 12,66+5,03a 17,90+2,98a 14,74+1,48a 14,02+3,75a 12,82+3,98a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Tabel 13. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda Penambahan Se (mg/kg) 0 0,025 0,05 0,1 0,2 0,4 Differensial leukosit Limfosit (%) Monosit (%) Neutrofil (%) a a 74,82+8,68 14,79+5,36 10,39+4,06a a a 73,98+4,41 15,93+7,57 10,10+3,16a 72,82+7,56a 16,39+4,73a 10,79+2,89a 73,28+5,88a 16,30+4,43a 10,41+2,52a 74,61+5,39a 16,79+2,44a 8,60+4,24a a a 73,49+2,20 17,28+2,36 9,23+3,67a IP (%) 16,00+3,00a 18,33+3,51a 21,67+5,13a 19,67+2,52a 18,67+5,03a 15,33+5,13a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Pada Tabel 12 dan Lampiran 24 terlihat bahwa penambahan sodium selenite dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek. Ketiga parameter gambaran darah ini memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilainya makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite di pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan kemudian turun kembali pada dosis yang lebih tinggi. Pada Tabel 13 dan Lampiran 25 juga terlihat bahwa jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik juvenil kerapu bebek tidak dipengaruhi oleh pakan uji (P>0,05). Jumlah neutrofil dan indeks fagositik memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilainya semakin meningkat seiring dengan 59 makin meningkatnya penambahan sodium selenite di pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, kemudian menurun kembali pada dosis yang lebih tinggi lagi. 4.5.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ Hasil perhitungan retensi Se disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 26.1, sedangkan distribusi Se di beberapa organ disajikan pada Gambar 13. a 70 Retensi Se (%) a a 80 a a 60 a 50 40 30 20 10 0 0 0.025 0.05 0.1 0.2 0.4 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 12. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 4.5 Kadar Se (µg/100 g) 4 3.5 3 hati 2.5 usus 2 ginjal 1.5 otot 1 darah 0.5 0 0 0.025 0.05 0.1 0.2 0.4 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 13. Kadar Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 60 Pada Gambar 12 dan Lampiran 26.1 terlihat bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada retensi Se juvenil kerapu bebek. Retensi Se cenderung mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya jumlah penambahan sodium selenite di pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan kemudian menurun kembali pada dosis yang lebih tinggi. Gambar 13 menunjukkan bahwa kadar Se tertinggi pada semua organ yang diamati (hati, usus, ginjal, otot, dan darah) didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan terlihat bahwa hati adalah organ dengan kandungan Se tertinggi, diikuti oleh usus, otot, ginjal, dan terendah pada darah. Sebaliknya, pada kelompok ikan tanpa penambahan Se terlihat bahwa usus adalah organ dengan kandungan Se tertinggi, diikuti oleh darah, otot, hati, dan terendah pada ginjal. 4.5.5 Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan Uji perendaman di dalam air tawar dilakukan untuk menguji daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek setelah pemberian pakan yang mengandung Se. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Gambar 14 dan 15. 180 Glukosa darah (mg/dL) 160 140 0 120 0.025 100 0.05 80 0.1 60 0.2 40 0.4 20 0 awal air tawar 10' air laut 1 jam air laut 2 jam Gambar 14. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar 61 90 Kadar kortisol (ng/mL) 80 70 0 60 0.025 50 0.05 40 0.1 30 0.2 20 0.4 10 0 awal air tawar 10' air laut 1 jam air laut 2 jam Gambar 15. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar Pada Gambar 14 terlihat bahwa semua perlakuan mempunyai pola yang sama, yaitu kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek meningkat ketika dimasukkan ke dalam air tawar selama 10 menit, dan masih meningkat pada jam pertama di air laut. Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya mengalami penurunan menuju normal. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Hal ini dibuktikan dengan nilai glukosa darahnya yang lebih rendah ketika dimasukkan ke air tawar, pada satu jam di air laut, dan pada jam kedua di air laut, dibandingkan dengan perlakuan lain. Sebaliknya, ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se menunjukkan kadar glukosa darahnya tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain pada jam pertama dan kedua di air laut. Gambar 15 menunjukkan bahwa semua perlakuan memiliki pola yang sama, yaitu kadar kortisol juvenil kerapu bebek meningkat ketika dimasukkan ke air tawar, kemudian menurun pada jam pertama di air laut, dan menurun kembali menuju normal pada jam kedua. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Hal ini dibuktikan dengan nilai kortisol yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lain ketika ikan dimasukkan ke dalam air tawar, jam pertama ketika dikembalikan ke air laut, dan jam kedua di air laut. Sebaliknya, ikan yang 62 diberi pakan tanpa penambahan Se menunjukkan kadar kortisolnya tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. 4.6 Pembahasan percobaan III: Pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis berbeda 4.6.1 Kinerja pertumbuhan Kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek seperti terlihat pada Tabel 11 menunjukkan bahwa penambahan sodium selenite tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi protein. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan sodium selenite dalam pakan sampai dengan 0,4 mg Se/kg pakan tidak mempengaruhi kelima parameter pertumbuhan tersebut. Hasil yang sama didapatkan pada ikan nila tilapia (Kim et al. 2003), yaitu pertambahan bobot, rasio efisiensi pakan, dan kelangsungan hidup nyata tidak dipengaruhi oleh selenium dalam bentuk sodium selenite dosis 0,2–0,5 mg Se/kg pakan. Namun demikian, pada percobaan ini terlihat bahwa laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi protein juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite di pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan kemudian menurun kembali pada dosis yang lebih tinggi. Pada Tabel 11 tersebut juga terlihat bahwa penambahan sodium selenite dalam pakan juvenil kerapu bebek memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi lemak. Nilai retensi lemak tertinggi didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan dengan nilai 45,76+3,34%, diikuti secara berturut-turut oleh penambahan dosis 0,025 mg Se/kg, tanpa penambahan Se, 0,1 mg Se/kg, 0,2 mg Se/kg, dan 0,4 mg Se/kg pakan, dengan nilai kelima perlakuan tersebut tidak berbeda. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan merupakan perlakuan terbaik. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan adalah perubahan ukuran, yaitu variabel yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya, termasuk volume, bobot atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bisa berkaitan 63 dengan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya tubuh; perubahan kandungan kalori (energi) dari keseluruhan tubuh, atau dari komponen jaringannya (Weatherley & Gill 1987). Hasil perhitungan retensi lemak tersebut diperkuat oleh nilai rasio RNA/DNA (Tabel 11), yaitu pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan menunjukkan nilai tertinggi (1,83+0,01), dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 0,025, 0,2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Hasil ini sejalan dengan nilai retensi lemak yang merupakan salah satu parameter kinerja pertumbuhan. Rooker dan Holt (1996) menyatakan bahwa untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan nilai rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat, selain juga dapat menjadi indikator status nutrisi ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa parameter ini telah diuji pada beberapa spesies ikan dan krustasea. Hasil penelitian Kaligis (2010) pada post larva udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) pada salinitas rendah menunjukkan bahwa kadar protein pakan 45% dengan kadar kalsium 2% dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan optimal, terjadi peningkatan efisiensi pakan, retensi kalsium, dan laju pertumbuhan seiring dengan meningkatnya rasio RNA/DNA. Demikian pula dengan juvenil kerapu bebek, didapatkan bahwa dengan penambahan 100 ppm mineral Fe dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan terbaik, menunjukkan rasio RNA/DNA tertinggi (Setiawati 2010). Jika dikaitkan dengan hasil percobaan II yang menunjukkan bahwa pemberian sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan telah menyebabkan kematian yang tinggi pada juvenil kerapu bebek, pada percobaan ini penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi protein, maka terlihat bahwa selisih antara dosis sodium selenite yang masih dapat ditolerir dan yang telah menyebabkan keracunan adalah 0,1 mg Se/kg pakan. Dengan kata lain, selisihnya sangat tipis. Maier dan Knight (1994) menyatakan bahwa selenium adalah bahan yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit yang merupakan mineral penting tetapi 64 dapat menjadi racun dengan margin yang sempit dari toleransi dalam sistem biologi. Hasil pengukuran kadar glikogen hati dan glikogen otot, seperti terlihat pada Gambar 9, menunjukkan pola yang sama, yaitu nilainya semakin meningkat dengan makin meningkatnya pemberian sodium selenite sampai dengan dosis tertentu, kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Pada kedua parameter tersebut terlihat bahwa 0,05 mg Se/kg pakan adalah dosis optimal. Hal ini memperkuat nilai kinerja pertumbuhan (retensi lemak dan rasio RNA/DNA) tertinggi yang juga didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Glikogen merupakan cadangan glukosa yang tersimpan dalam tubuh yang sewaktu-waktu dapat digunakan, terutama jika terjadi kekurangan suplai karbohidrat dari luar. Kerapu bebek merupakan ikan karnivor yang kurang mampu memanfaatkan energi yang berasal dari karbohidrat pakan sehingga keberadaan cadangan glukosa dalam hati dan otot menjadi penting. 4.6.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Salah satu fungsi selenium adalah menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (GPx). GPx sendiri berfungsi sebagai enzim antioksidan yang berperan dalam konversi hidrogen peroksida dan asam lemak hidroperoksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif (Rotruck et al. 1973). Aktivitas enzim GPx telah lama digunakan sebagai penanda status Se dalam tubuh organisme. Gambar 10 menunjukkan bahwa aktivitas enzim GPx plasma tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan dengan nilai 1350,32+25,24 mU/mg protein, dan diikuti secara berturut-turut oleh pemberian 0,1, 0,2, 0,025, 0,4 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se dengan nilai 1052,89+42,06 mU/mg protein. Gambar 10 juga menunjukkan bahwa aktivitas GPx plasma juvenil kerapu bebek makin meningkat dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite dalam pakan sampai dengan dosis tertentu (0,05 mg Se/kg pakan), 65 kemudian menurun pada dosis yang lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan nilai retensi lemak dan rasio RNA/DNA yang merupakan salah satu parameter kinerja pertumbuhan (Tabel 11), maka dapat dikatakan bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan merupakan perlakuan terbaik. Penelitianpenelitian terdahulu juga menunjukkan pola yang relatif sama, yaitu penambahan jumlah sodium selenite ke dalam pakan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim GPx plasma ikan. Namun, aktivitas enzim GPx yang tinggi tidak selalu diikuti oleh pertumbuhan yang tinggi pula. Beberapa contoh yang dapat disebutkan di sini adalah ikan rainbow trout (Kucukbay et al. 2009), channel catfish (Wang & Lovell 1997), dan abalon (Wang et al. 2012). Pada rainbow trout (Oncorhynchus mykiss), aktivitas enzim GPx plasma makin meningkat dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, dan aktivitas tertinggi didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,3 mg Se/kg pakan. Namun, pertumbuhan ikan tidak berbeda antarperlakuan sampai dengan dosis 0,3 mg Se/kg pakan tersebut. Aktivitas enzim GPx plasma pada channel catfish (Ictalurus punctatus) mengikuti pola linear, yaitu penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan belum menunjukkan titik optimum, sementara pertumbuhan tertinggi didapatkan pada dosis 0,28 mg Se/kg pakan. Hasil yang sama ditunjukkan oleh juvenil abalon (Holiotis discus hannai Ino), yaitu aktivitas enzim GPx plasma makin meningkat sampai dengan dosis 9,16 mg Se/kg pakan, namun pertumbuhan tertinggi diperoleh pada pakan dengan dosis 1,55 mg Se/kg pakan. Hasil yang berbeda terlihat pada aktivitas enzim GPx hati (Gambar 10), yaitu penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas enzim GPx hati. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cotter et al. (2008) juga mendapatkan bahwa aktivitas GPx hati ikan hybrid striped bass tidak berbeda ketika diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,2 dan 0,4 mg Se/kg pakan. Namun, laju pertumbuhan spesifik nyata lebih tinggi pada dosis 0,2 mg Se/kg pakan dibandingkan dengan penambahan 0,4 mg Se/kg pakan. Rasio T3/T4 seperti terlihat pada Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai tertinggi didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan dengan nilai 4,11+0,11, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,1, 66 0,025, 0, 0,2, dan terendah pada penambahan 0,4 mg Se/kg pakan dengan nilai 1,82+0,17. Tingginya nilai rasio T3/T4 pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi ID yang merupakan salah satu selenoprotein adalah sebagai katalisator pembentukan T3 dari T4. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus dalam mengatur pertumbuhan. Kenyataan ini sejalan dengan nilai retensi lemak dan rasio RNA/DNA (Tabel 10), yaitu perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Terkait dengan nilai retensi lemak dan rasio RNA/DNA yang merupakan salah satu parameter kinerja pertumbuhan, maka rasio T3/T4 tersebut memperkuat hasil yang didapatkan pada percobaan ini. 4.6.3 Gambaran darah Hasil pengamatan gambaran darah disajikan pada Tabel 12 dan 13. Pada Tabel 12 terlihat bahwa nilai total eritrosit, kadar hemoglobin, dan persentase hematokrit juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite dalam pakan sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, kemudian menurun kembali pada dosis yang lebih tinggi. Respons yang terbentuk cenderung kuadratik dengan nilai maksimum pada titik 0,05 mg Se/kg pakan. Hasil dan respons yang cenderung sama diperlihatkan pula oleh jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (Tabel 13). Namun, hasil analisis statistik (Lampiran 24 dan 25) menunjukkan bahwa penambahan sodium selenite dalam pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada semua parameter gambaran darah yang diamati. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan respons imunitas ikan. 4.6.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ Hasil perhitungan retensi Se seperti terlihat pada Gambar 12 menunjukkan pola yang relatif sama dengan pengamatan gambaran darah, yaitu retensi Se 67 juvenil kerapu bebek cenderung mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya penambahan sodium selenite sampai dengan dosis 0,05 mg Se/kg pakan, kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Namun, hasil analisis statistik (Lampiran 26) menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan penambahan Se dalam bentuk sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi Se juvenil kerapu bebek. Berdasarkan distribusi Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek (Gambar 13 dan Lampiran 26.2) terlihat bahwa penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik, yaitu kadar Se pada semua organ (hati, usus, ginjal, otot, dan darah) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Organ hati misalnya, kadar Se tertinggi didapatkan pada perlakuan 0,05 mg Se/kg pakan dengan nilai 3,95 µg/100 g, diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 0,2 mg Se/kg pakan dengan nilai 2,55 µg/100 g, penambahan 0,1 mg Se/kg pakan dengan nilai 2,35 µg/100 g, penambahan 0,4 mg Se/kg pakan dengan nilai 1,95 µg/100 g, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se dengan nilai 0,36 µg/100 g. Pada semua organ, kecuali otot, terlihat bahwa penambahan Se dalam bentuk sodium selenite sampai dengan dosis 0,4 mg Se/kg pakan menyebabkan kadar Se di beberapa organ lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Distribusi Se di organ pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan menunjukkan bahwa hati merupakan organ dengan konsentrasi Se terbesar, disusul usus, otot, ginjal, dan terendah pada darah. Selenium yang tersimpan dalam organ-organ tersebut (terutama hati dan otot) akan menjadi cadangan apabila suplai Se dari pakan berkurang. Karena fungsi mineral Se sangat penting bagi tubuh maka dapat dipastikan bahwa keberadaan Se dalam organ sangat dibutuhkan. Hasil pengukuran yang menunjukkan bahwa kadar Se tertinggi pada semua organ ikan yang diamati didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan memperkuat nilai kinerja pertumbuhan (retensi lemak dan rasio RNA/DNA) dan rasio T3/T4 tertinggi juga didapatkan pada dosis yang sama. 68 4.6.5 Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan Hasil pengujian daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek dengan perendaman dalam air tawar disajikan pada Gambar 14 dan 15, serta Lampiran 27. Pada semua perlakuan seperti terlihat pada Gambar 14, tampak pola yang sama, yaitu kadar glukosa darah meningkat ketika dimasukkan ke dalam air tawar selama 10 menit tanpa aerasi, dan masih mengalami peningkatan pada jam pertama setelah ikan dimasukkan kembali ke dalam air laut, sedangkan pada jam kedua, nilai kadar glukosa darahnya sudah turun dan mendekati nilai awal. Berdasarkan gambar tersebut, perlakuan terbaik didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Kadar glukosa darah awal juvenil kerapu bebek pada perlakuan 0,05 mg Se/kg pakan ini adalah 66,67 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 76,53 mg/dL (naik 14,78%) ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan pada jam pertama di air laut, kadar glukosa darahnya meningkat menjadi 112,68 mg/dL (naik 69,01%). Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya sudah berada pada kondisi normal (62,02 mg/dL). Sementara itu, pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se, terlihat bahwa kadar glukosa darah awal ikan adalah 61,03 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 68,55 mg/dL (naik 12,32%) ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan meningkat kembali pada jam pertama di air laut menjadi 154,46 mg/dL (naik 153,08%). Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya menurun tetapi belum mencapai kondisi normal (93,05 mg/dL). Kondisi yang hampir sama dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se diperlihatkan oleh keempat perlakuan yang lain. Pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan terlihat bahwa kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek pada jam pertama di air laut nilainya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain, dan pada jam kedua nilainya sudah berada pada kondisi normal (awal). Kadar glukosa darah yang tinggi menunjukkan ikan mengalami stres. Sebaliknya, pada kelompok ikan tanpa penambahan Se, kadar glukosa darah pada jam pertama di air laut paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dan pada jam kedua belum menunjukkan tanda-tanda ke posisi normal (awal). Sebagai pembanding, dilakukan pula pengukuran kadar kortisol ikan seperti terlihat pada Gambar 15. Pada gambar tersebut, secara umum terlihat 69 bahwa semua perlakuan menunjukkan pola yang sama, yaitu kadar kortisol juvenil kerapu bebek mengalami peningkatan ketika dimasukkan ke dalam air tawar, kemudian menurun pada jam pertama di air laut, dan mendekati normal pada jam kedua di air laut. Berdasarkan kadar kortisol, seperti halnya glukosa darah, perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan. Pada perlakuan ini, kadar kortisol awal juvenil kerapu bebek adalah 8,76 ng/mL, kemudian meningkat menjadi 31,98 ng/mL (nilainya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain) ketika dimasukkan ke air tawar, dan mengalami penurunan pada jam pertama di air laut menjadi 14,38 ng/mL (nilainya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain). Pada jam kedua di air laut, kadar kortisol sudah mendekati normal (12,76 ng/mL). Kadar kortisol yang tinggi juga menunjukkan ikan mengalami stres. Gambar 15 dan Lampiran 27.2 juga menunjukkan bahwa ikan mengalami stres yang hebat ketika diberi pakan tanpa penambahan sodium selenite. Dari kedua hasil tersebut terlihat bahwa daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek dapat ditingkatkan dengan penambahan sodium selenite. 4.7 Hasil Percobaaan IV: Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan Hasil percobaan II menunjukkan bahwa Se organik (selenometionin) lebih baik dibandingkan dengan Se anorganik (sodium selenite), dan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Pada percobaan IV ini sumber Se yang digunakan adalah selenometionin dan perlakuan yang diterapkan adalah tanpa penambahan Se, penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan (Se optimal), dan penambahan selenometionin dosis 16 mg Se/kg pakan (Se berlebih). Pemeliharaan awal ikan dilakukan selama 42 hari. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan uji sesuai perlakuan. Setelah itu dilakukan uji transportasi (simulasi) selama 13 jam dan dilanjutkan dengan pemeliharaan lanjutan selama 20 hari. Pada minggu kedua pemeliharaan lanjutan, dilakukan uji perendaman di dalam air tawar. Keseluruhan hasil percobaan disajikan pada sub bab-sub bab selanjutnya. 70 4.7.1 Kinerja pertumbuhan Hasil perhitungan kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda selama 42 hari pemeliharaan awal dan 20 hari pemeliharaan lanjutan disajikan pada Tabel 14 dan 15, sedangkan rasio RNA/DNA disajikan pada Gambar 16. Tabel 14. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), dan efisiensi pakan (EP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada pemeliharaan awal Parameter TKH (%) LPH (%) KP (g) EP (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 a a 100,00+0,00 100,00+0,00 97,78+0,00a a a 2,01+0,10 2,11+0,17 2,02+0,26a 84,87+6,43a 91,67+5,76a 89,07+8,44a 73,04+4,19a 77,09+7,23a 72,64+10,78a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Tabel 14 dan Lampiran 28 menunjukkan bahwa pemberian selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan juvenil kerapu bebek selama 42 hari pemeliharaan awal. Tabel 15. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), konsumsi pakan (KP), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), dan retensi lemak (RL) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada pemeliharaan lanjutan Parameter TKH (%) LPH (%) KP (g) EP (%) RP (%) RL (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 a a 100,00+0,00 100,00+0,00 100,00+0,00a 1,03+0,27b 1,57+0,10a 1,56+0,08a a a 49,60+3,64 49,70+1,30 47,43+9,31a 40,43+10,67b 70,37+6,12a 65,46+10,18a 23,40+1,28a 23,82+2,77a 22,75+2,96a 24,08+1,64b 40,08+3,25a 29,17+2,59b *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) 71 Pada Tabel 15 dan Lampiran 28 terlihat bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada tingkat kelangsungan hidup, konsumsi pakan, dan retensi protein, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak juvenil kerapu bebek. Laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan menunjukkan pola yang sama, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. Retensi lemak memiliki pola yang berbeda, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 16 Rasio RNA/DNA mg Se/kg pakan dan kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. 2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 4 16 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 16. Rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Gambar 16 menunjukkan bahwa rasio RNA/DNA tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, diikuti oleh kelompok ikan tanpa penambahan Se, dan terendah pada pemberian 16 mg Se/kg pakan. 72 4.7.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Aktivitas enzim GPx hati dan SOD hati disajikan pada Tabel 16, sedangkan aktivitas GPx plasma dan rasio T3/T4 disajikan pada Gambar 17 dan 18. Tabel 16. Aktivitas enzim GPx plasma dan SOD hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Parameter 0 GPx hati (mU/mg protein) SOD hati (Unit) Penambahan Se (mg/kg) 4 435,69+11,37a 1,00+0,47a 447,09+22,93a 1,00+0,47a 16 361,74+6,82b 0,67+0,00a Aktivitas GPx plasma (mU/mg protein) *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) a 3500 3000 2500 2000 1500 b b 1000 500 0 0 4 16 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 17. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda 73 1.6 1.4 Rasio T3/T4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 4 16 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 18. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Pada Tabel 16 dan Lampiran 29 terlihat penambahan selenometionin dosis berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada aktivitas GPx hati, tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada aktivitas enzim SOD hati. Aktivitas enzim GPx hati tertinggi didapatkan pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se, dan terendah pada penambahan 16 mg Se/kg pakan. Sementara itu, aktivitas enzim SOD hati juvenil kerapu bebek menunjukkan kecenderungan menurun pada penambahan selenometionin dosis tinggi (16 mg Se/kg pakan). Gambar 17 dan Lampiran 29 menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek. Aktivitas GPx plasma tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, dan terendah pada pemberian 16 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Pada Gambar 18 terlihat bahwa rasio T3/T4 tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, diikuti oleh kelompok ikan tanpa penambahan Se, dan terendah pada pemberian 16 mg Se/kg pakan. 74 4.7.3 Gambaran darah Pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda disajikan pada Tabel 17 dan 18. Tabel 17. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Parameter TE (x 106 sel/mL) Hb (g %) Ht (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 a a 0,96+0,06 1,23+0,21 1,28+0,34a 4,33+0,42a 4,33+0,76a 4,00+0,20a a a 16,63+1,45 17,47+4,16 14,08+1,92a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Pada Tabel 17 dan Lampiran 31 terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek. Tabel 18. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda Differensial leukosit Limfosit (%) Monosit (%) Neutrofil (%) IP (%) Penambahan Se (mg/kg) 0 4 16 a a 74,82+8,68 70,97+2,44 73,19+11,44a 14,79+5,36a 17,53+1,95a 15,67+8,77a a a 10,39+4,06 11,50+4,38 11,14+2,76a 16,00+3,00b 26,00+3,61a 22,33+2,52a *)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) Tabel 18 dan Lampiran 31 menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil, tetapi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) pada indeks fagositik juvenil kerapu bebek. Indeks fagositik tertinggi didapatkan 75 pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. 4.7.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ Hasil perhitungan retensi Se disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 33.1, sedangkan distribusi Se di beberapa organ disajikan pada Gambar 20. a 76 a Retensi Se (%) 75 74 a 73 72 71 70 0 4 16 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 19. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda 5 Konsentrasi Se (µg/100 g) 4.5 4 3.5 3 hati 2.5 usus 2 ginjal 1.5 otot 1 darah 0.5 0 0 4 16 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 20. Kadar Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda 76 Pada Gambar 19 dan Lampiran 33 terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada retensi Se juvenil kerapu bebek. Retensi Se cenderung mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin pada pakan sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan, dan kemudian mengalami penurunan pada dosis yang lebih tinggi (16 mg Se/kg pakan). Gambar 20 menunjukkan bahwa 4 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Hal ini didasarkan pada kadar Se di semua organ yang diamati (hati, usus, ginjal, otot, dan darah) nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan ini terlihat bahwa hati adalah organ dengan kandungan Se tertinggi, dan diikuti secara berturut-turut oleh usus, ginjal, darah, dan terendah pada otot. Sementara itu, pada ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se terlihat bahwa usus merupakan organ dengan kadar Se tertinggi, dan diikuti secara berturut-turut oleh darah, otot, hati, dan terendah pada ginjal. 4.7.5 Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan Hasil pengujian daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek terhadap berbagai TKH (%) stressor disajikan pada Gambar 21–25. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 4 16 Penambahan Se (mg/kg) Gambar 21. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda sesaat setelah uji transportasi 77 140 Glukosa darah (mg/dL) 120 100 80 0 60 4 40 16 20 0 awal sesaat setelah transportasi hari ke-7 Gambar 22. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada saat awal, sesaat setelah transportasi dan hari ke-7 pascatransportasi 60 Kadar kortisol (ng/mL) 50 40 0 30 4 20 16 10 0 awal sesaat setelah transportasi hari ke-7 Gambar 23. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada saat awal, sesaat setelah transportasi, dan hari ke-7 pascatransportasi 78 140 Glukosa darah (mg/dL) 120 100 80 0 60 4 16 40 20 0 awal air tawar 10' air laut 1 jam air laut 2 jam Gambar 24. Kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar 80 Kadar kortisol (ng/mL) 70 60 50 0 40 4 30 16 20 10 0 awal air tawar 10' air laut 1 jam air laut 2 jam Gambar 25. Kadar kortisol juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda pada uji perendaman di air tawar Tingkat kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek sesaat setelah uji transportasi seperti terlihat pada Gambar 21 dan Lampiran 28.1 menunjukkan bahwa nilai tertinggi (100%) didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se (83,33%). Gambar 22 dan 23 79 memperlihatkan pola yang sama pada ketiga perlakuan, yaitu kadar glukosa darah dan kortisol meningkat sesaat setelah uji transportasi, dan kemudian menurun kembali menuju ke titik normal (awal) pada hari ke-7 pascatransportasi. Kedua gambar tersebut juga menunjukkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan karena kadar glukosa darah dan kortisol terendah didapatkan pada dosis ini. Sebaliknya, pada kelompok ikan tanpa penambahan Se, kadar glukosa darah dan kortisol nilainya paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada uji perendaman di air tawar terlihat pola yang sama pada ketiga perlakuan, yaitu kadar glukosa darah meningkat ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan mulai mengalami penurunan pada jam pertama di air laut, dan menuju ke titik awal pada jam kedua di air laut (Gambar 24). Hasil yang sama diperlihatkan oleh kadar kortisol ikan (Gambar 25). Berdasarkan Gambar 24 dan 25 tersebut terlihat bahwa perlakuan terbaik adalah pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan karena kadar glukosa darah dan kortisolnya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain. 4.8 Pembahasan Percobaan IV: Uji ketahanan tubuh terhadap berbagai stressor lingkungan 4.8.1 Kinerja pertumbuhan Pada 42 hari pemeliharaan awal, seperti terlihat pada Tabel 14 dan Lampiran 28, penambahan selenometionin dosis berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan juvenil kerapu bebek. Dengan kata lain, kinerja pertumbuhan ikan belum menunjukkan penurunan ketika diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 16 mg Se/kg pakan. Hal ini sejalan dengan temuan Tashjian et al. (2006) yang melaporkan bahwa penambahan selenometionin dosis 0,4–20,5 µg Se/g pakan belum menunjukkan penurunan pertumbuhan juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) selama 8 minggu masa pemeliharaan. Selanjutnya dikatakan bahwa penurunan pertumbuhan baru terlihat pada penambahan selenometionin dosis 41,7 µg Se/g. Hasil berbeda didapatkan pada channel catfish (Wang & Lovell 1997), hybrid 80 striped bass (Cotter et al. 2008), dan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) (Lin & Shiau 2005). Pada channel catfish, pertambahan bobot dan efisiensi pakan telah menunjukkan kecenderungan menurun pada penambahan selenometionin dosis 0,4 mg Se/kg pakan, sedangkan hybrid striped bass dan juvenil kerapu malabar masing-masing pada 0,4 dan 1 mg Se/kg pakan. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa setiap spesies ikan mempunyai respons berbeda terhadap penambahan selenometionin dalam pakan. Tabel 15 memperlihatkan kinerja pertumbuhan selama 20 hari pemeliharaan lanjutan. Pada tabel ini terlihat bahwa penambahan selenometionin dalam pakan dosis 0, 4, dan 16 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, konsumsi pakan, dan retensi protein, tetapi menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak. Laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan memiliki pola yang sama, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 dan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se, sedangkan retensi lemak tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan dan terendah pada penambahan 16 mg Se/kg pakan dan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Tingkat kelangsungan hidup yang mencapai 100% pada semua perlakuan dan tidak dipengaruhi oleh penambahan selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan (Tabel 15) menunjukkan bahwa dosis ini masih dapat ditolerir oleh juvenil kerapu bebek. Hal ini disebabkan karena selenometionin mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. Selain itu, selenometionin dapat disimpan dalam protein pool ketika metionin terbatas (Zhou et al. 2009). Burk (1976) melaporkan bahwa selenometionin mempunyai dua jalur metabolisme utama, yaitu metionin dan selenium sehingga memungkinkan dicerna dan diserap dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Se dari sumber lain. Beberapa peneliti sebelumnya juga mendapatkan hasil yang sejalan dengan percobaan ini. Cleveland et al. (1993) mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil bluegill (Lepomis macrochirus) yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin sampai 81 dengan dosis 25 mg Se/kg pakan. Demikian pula yang dilaporkan Tashjian et al. (2006) bahwa pemberian Se dalam bentuk selenometionin dosis 0,4, 9,6, 20,5, 41,7, 89,8, dan 191,1 mg Se/kg pakan selama 8 minggu masa pemeliharaan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) dengan nilai rata-rata 99%. Berbeda dari pemeliharaan awal, pada pemeliharaan lanjutan ini terlihat bahwa laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan juvenil kerapu bebek pada pemberian selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Pemeliharaan lanjutan yang diawali dengan uji transportasi pada awal pemeliharaan dan uji perendaman di air tawar pada minggu kedua diduga menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan tanpa penambahan Se dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kondisi stres dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologis, diantaranya metabolisme intermedier dan fungsi imun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin sampai dosis tertentu mampu mengurangi stres dan meningkatkan pertumbuhan ikan. Lebih lanjut tentang hal ini akan dijelaskan pada uji ketahanan tubuh ikan terhadap berbagai stressor. Rasio RNA/DNA, seperti terlihat pada Gambar 16 yang menunjukkan bahwa nilai tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan mendukung hasil percobaan lain, yaitu nilai kinerja pertumbuhan (laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak) (Tabel 15). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan nilai rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat (Rooker & Holt 1996). Hasil penelitian Kaligis (2010) pada post larva udang vaname (Litopenaeus vannamei, Boone) pada salinitas rendah menunjukkan bahwa kadar protein pakan 45% dengan kadar kalsium 2% dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan optimal, terjadi peningkatan efisiensi pakan, retensi kalsium, dan laju pertumbuhan seiring dengan meningkatnya rasio RNA/DNA. Demikian pula pada juvenil kerapu bebek, didapatkan bahwa dengan penambahan 100 ppm mineral Fe dalam pakan, yang juga merupakan perlakuan terbaik, menunjukkan rasio RNA/DNA tertinggi (Setiawati 2010). 82 4.8.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon Tabel 16 dan Lampiran 28 menunjukkan bahwa penambahan selenometionin dosis berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas enzim GPx hati, tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada aktivitas enzim SOD hati. Aktivitas enzim GPx hati tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, namun nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan tanpa penambahan Se, dan terendah pada penambahan 16 mg Se/kg pakan. Hal ini mengindikasikan bahwa 4 mg Se/kg pakan adalah dosis optimal. Sementara itu, SOD sebagai salah satu enzim antioksidan menunjukkan pola yang berbeda dari aktivitas GPx hati, yaitu penambahan selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan aktivitas enzim SOD juvenil kerapu bebek. Hal ini kemungkinan disebabkan SOD adalah enzim yang tidak terikat langsung dengan Se meskipun dalam kerjanya mempunyai keterkaitan dengan enzim GPx. SOD bereaksi dengan radikal bebas sebagai pereduksi superoksida untuk membentuk H2O2, sedangkan enzim GPx mereduksi H2O2 menjadi H2O. Masing-masing enzim tersebut bekerja dengan mekanisme umpan balik (Anonim 2010b). SOD sendiri terdapat dalam tiga bentuk, yaitu Cu-Zn SOD, Mn-SOD, dan Cu-SOD. Aktivitas enzim GPx plasma tertinggi didapatkan pada pemberian 4 mg Se/kg pakan diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. Penambahan 16 mg Se/kg pakan nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Hasil ini sejalan dengan nilai beberapa parameter kinerja pertumbuhan (Tabel 15). Dari hasil ini terlihat bahwa pada perlakuan terbaik (4 mg Se/kg pakan), aktivitas enzim GPx plasma, GPx hati, dan beberapa parameter kinerja pertumbuhan menunjukkan nilai tertinggi. Wang dan Lovell (1997) melaporkan bahwa pada channel catfish, pertambahan bobot dan efisiensi pakan tertinggi didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 0,4 mg Se/kg pakan, dan pada saat yang sama aktivitas enzim GPx plasma dan GPx hati menunjukkan nilai tertinggi pula. Hasil berbeda didapatkan oleh Lin dan Shiau (2005), yaitu pemberian selenometionin dosis 0,5 mg Se/kg pakan menunjukkan pertambahan bobot dan efisiensi pakan 83 tertinggi pada juvenil kerapu malabar, tetapi aktivitas enzim GPx hati tertinggi didapatkan pada penambahan 2 mg Se/kg atau lebih. Rasio T3/T4 yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan memperkuat hasil percobaan lain sebelumnya, yaitu kinerja pertumbuhan (Tabel 15), rasio RNA/DNA (Gambar 16), aktivitas enzim GPx hati (Tabel 16), dan aktivitas enzim GPx plasma (Gambar 17). Tingginya nilai rasio T3/T4 pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi ID yang merupakan salah satu selenoprotein adalah sebagai katalisator pembentukan T3 dari T4 (Brown & Arthur 2001). Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus mengatur pertumbuhan. Hormon tiroid memfasilitasi pelepasan hormon pertumbuhan (GH) dari sel-sel hipofisis, meningkatkan lipolisis, dan meningkatkan pengambilan pakan (Zairin 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa GH adalah hormon utama yang berperan pada proses pertumbuhan ikan. Hal inilah yang menyebabkan beberapa parameter kinerja pertumbuhan dan rasio RNA/DNA nilainya tinggi pada saat rasio T3/T4 tinggi. 4.8.3 Gambaran darah Pada Tabel 17 dan Lampiran 31 terlihat bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek. Demikian pula dengan jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil seperti terlihat pada Tabel 18 dan Lampiran 32, nilainya tidak berbeda nyata dari penambahan selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan. Hasil berbeda terlihat pada parameter indeks fagositik, yaitu nilai tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan, diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se. Indeks fagositik adalah nilai yang digunakan untuk mengetahui 84 aktivitas fagositosis oleh makrofag (Alifuddin 1999). Fagositosis sendiri adalah pertahanan nonspesifik yang merupakan langkah awal untuk mekanisme respons imunitas berikutnya, yakni terbentuknya respons spesifik. Berdasarkan nilai indeks fagositik yang didapatkan pada percobaan ini terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan mampu meningkatkan respons imun ikan. Brown dan Arthur (2001) menyatakan bahwa selenium adalah mineral penting bagi kesehatan dan merupakan komponen penting pada beberapa jalur metabolisme utama, termasuk metabolisme normal tiroid, sistem pertahanan antioksidan, dan fungsi imun, sedangkan Arthur et al. (2003) menyatakan bahwa Se mempengaruhi sistem imun alami maupun sistem imun yang didapat. 4.8.4 Retensi Se dan distribusi Se di beberapa organ Gambar 19 menunjukkan bahwa retensi Se juvenil kerapu bebek cenderung meningkat dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin di pakan sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan, lalu menurun pada dosis yang lebih tinggi (16 mg Se/kg pakan). Namun, hasil analisis statistik (Lampiran 33) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi Se. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan selenometionin ke dalam pakan sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan retensi Se juvenil kerapu bebek. Retensi Se menggambarkan jumlah Se yang tersimpan dalam tubuh. Selenium yang tersimpan tersebut dapat digunakan sewaktu-waktu, terutama ketika suplai Se dari pakan kurang. Di dalam hati, Se akan diubah menjadi selenoprotein-selenoprotein yang mempunyai fungsi spesifik, di antaranya terkait dengan pertumbuhan dan kesehatan organisme. Jika dikaitkan dengan nilai pertumbuhan yang didapatkan pada percobaan ini, terlihat bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak selalu diikuti oleh retensi Se yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan organisme dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya dari Se. Lorentzen et al. (1994) melaporkan bahwa meskipun selenometionin yang diberikan menyebabkan retensi Se lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, pertumbuhan ikan Atlantik salmon tidak menunjukkan perbedaan di antara perlakuan. Demikian pula Rider et al. (2009) yang mendapatkan hasil yang sama pada ikan rainbow trout. 85 Berdasarkan distribusi Se pada beberapa organ juvenil kerapu bebek (Gambar 20 dan Lampiran 33.2) terlihat bahwa penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan adalah perlakuan terbaik. Hal ini dibuktikan dengan kadar Se pada semua organ (hati, usus, ginjal, otot, dan darah) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Organ ginjal misalnya, kadar Se tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan dengan nilai 1,88 µg/100 g, diikuti oleh penambahan 16 mg Se/kg pakan dengan nilai 1,82 µg/100 g, dan terendah pada kelompok ikan tanpa penambahan Se dengan nilai 0,25 µg/100 g. Pada semua organ, kecuali usus dan otot, terlihat bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin sampai dengan dosis 16 mg Se/kg pakan menyebabkan kadar Se di beberapa organ lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Distribusi Se di organ pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan menunjukkan bahwa hati merupakan organ dengan konsentrasi selenium terbesar, disusul usus, ginjal, darah, dan terendah pada otot. Hasil ini sejalan dengan yang didapatkan oleh Wang dan Lovell (1997) pada channel catfish dan Lorentzen et al. (1994) pada Atlantik salmon, yaitu kadar Se di hati lebih tinggi daripada di otot ketika ikan diberi pakan dengan penambahan selenometionin. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Tashjian et al. (2006) pada juvenil white sturgeon, yaitu ginjal merupakan organ dengan konsentrasi Se tertinggi disusul hati, insang, usus, otot, dan terendah pada darah. Selenium yang tersimpan dalam organ-organ tersebut (terutama hati dan otot) akan menjadi cadangan apabila suplai Se dari pakan berkurang. Karena fungsi mineral Se sangat penting bagi tubuh maka dapat dipastikan bahwa keberadaan Se dalam organ sangat dibutuhkan. 4.8.5 Daya tahan tubuh ikan terhadap perubahan kondisi lingkungan Transportasi merupakan salah satu tahapan kegiatan budi daya perairan dalam rangka mendistribusikan organisme dari satu tempat ke tempat lain. Organisme yang didistribusikan dapat berupa benih maupun induk. Aktivitas ini dapat menyebabkan stres dan bahkan kematian jika tidak dilakukan dengan tepat. Pada percobaan ini, simulasi transportasi selama 13 jam digunakan untuk menguji 86 daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek. Tingkat kelangsungan hidup sesaat setelah uji transportasi disajikan pada Gambar 21 dan Lampiran 28. Berdasarkan gambar dan lampiran tersebut terlihat bahwa ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 4 dan 16 mg Se/kg pakan selama 42 hari, tingkat kelangsungan hidupnya lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan tanpa penambahan Se (83,33%). Pada kelompok ikan tanpa penambahan Se, jumlah ikan yang mati sebanyak 10 ekor dari 60 ekor yang ditransportasikan, sedangkan pada penambahan 4 dan 16 mg Se/kg pakan tidak seekor pun ikan yang mati. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin pada pakan dapat meningkatkan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek. Lin dan Shiau (2005) melaporkan bahwa penambahan Se organik (selenometionin) dalam pakan mengurangi stres oksidatif juvenil kerapu malabar. Kadar glukosa darah dan kortisol juvenil kerapu bebek pada uji transportasi disajikan pada Gambar 22, 23, dan Lampiran 34. Pada Gambar 22 dan Lampiran 34.1 terlihat bahwa kadar glukosa darah pada ketiga perlakuan menunjukkan pola yang sama, yaitu terjadi peningkatan sesaat setelah transportasi dan menurun kembali pada hari ke-7 pascatransportasi. Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Hasil pengukuran kadar glukosa darah awal juvenil kerapu bebek adalah 60,09 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 80,75 mg/dL (nilainya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain), dan kembali turun mendekati normal pada hari ke-7 pascatransportasi, yaitu 59,62 mg/dL (nilainya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain). Sebaliknya, pada kelompok ikan tanpa penambahan Se terlihat bahwa kadar glukosa darah ikan pada awalnya adalah 58,22 mg/dL kemudian meningkat menjadi 126,76 mg/dL (tertinggi dibandingkan perlakuan lain) sesaat setelah uji transportasi, dan pada hari ke-7 pascatransportasi nilainya belum mendekati normal (72,86 mg/dL). Pada Gambar 23 dan Lampiran 34.2 terlihat bahwa kadar kortisol pada ketiga perlakuan menunjukkan pola yang sama, yaitu terjadi peningkatan sesaat setelah uji transportasi dan menurun kembali pada hari ke-7 pascatransportasi. Seperti halnya kadar glukosa darah, pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se terlihat bahwa kadar kortisol ikan menunjukkan nilai tertinggi 87 sesaat setelah uji transportasi (51,47 ng/mL) dibandingkan dengan penambahan 16 mg Se/kg pakan (26,69 ng/mL) dan penambahan 4 mg Se/kg pakan (14,37 ng/mL). Hasil ini juga menunjukkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Tingkat kelangsungan hidup yang rendah sesaat setelah uji transportasi pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se sejalan dengan nilai kadar glukosa darah dan kortisol yang tinggi, yaitu merupakan indikasi ikan dalam kondisi stres hebat. Hasil pengujian daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek dengan perendaman di dalam air tawar disajikan pada Gambar 24, 25, dan Lampiran 35. Pada semua perlakuan, seperti terlihat pada Gambar 24 dan Lampiran 35.1, menunjukkan pola yang sama, yaitu kadar glukosa darah meningkat ketika dimasukkan ke dalam air tawar selama 10 menit, dan masih mengalami peningkatan pada jam pertama setelah ikan dikembalikan ke dalam air laut, sedangkan pada jam kedua, nilai kadar glukosa darahnya sudah turun dan mendekati nilai awal. Berdasarkan gambar tersebut, perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Kadar glukosa darah awal juvenil kerapu bebek pada penambahan 4 mg Se/kg pakan ini adalah 60,09 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 83,05 mg/dL ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan pada jam pertama di air laut kadar glukosa darahnya meningkat menjadi 79,81 mg/dL. Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya sudah berada pada kondisi normal (58,69 mg/dL). Pada kelompok tanpa penambahan Se, terlihat bahwa kadar glukosa darah awal ikan adalah 58,22 mg/dL, kemudian meningkat menjadi 96,62 mg/dL ketika dimasukkan ke dalam air tawar, dan meningkat kembali pada jam pertama di air laut menjadi 127,70 mg/dL. Pada jam kedua di air laut, kadar glukosa darahnya belum mencapai kondisi normal (97,65 mg/dL). Pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan terlihat bahwa kadar glukosa darah pada jam pertama di air laut nilainya lebih rendah dibandingkan dengan penambahan 16 mg Se/kg pakan dan tanpa penambahan Se, dan pada jam kedua nilainya sudah berada pada kondisi normal (awal). Kadar glukosa darah yang tinggi menunjukkan ikan mengalami stres. Sebaliknya, pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se, kadar glukosa darah pada 88 jam pertama di air laut paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dan pada jam kedua belum menunjukkan tanda-tanda ke posisi normal (awal). Pada percobaan ini dilakukan pula pengukuran kadar kortisol ikan dengan hasil seperti terlihat pada Gambar 25 dan Lampiran 35.2. Pada gambar dan lampiran tersebut terlihat bahwa semua perlakuan menunjukkan pola yang sama, yaitu kadar kortisol mengalami peningkatan ketika dimasukkan ke dalam air tawar, kemudian menurun pada jam pertama di air laut, dan mendekati normal pada jam kedua di air laut. Berdasarkan kadar kortisol, seperti halnya glukosa darah, perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Pada dosis ini, kadar kortisol awal juvenil kerapu bebek adalah 9,17 ng/mL, kemudian meningkat menjadi 33,09 ng/mL (nilainya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain) ketika dimasukkan ke air tawar, dan mengalami penurunan pada jam pertama di air laut menjadi 25,27 ng/mL (nilainya paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain). Pada jam kedua di air laut, kadar kortisol sudah mendekati normal (12,29 ng/mL). Kadar kortisol yang tinggi juga menunjukkan ikan mengalami stres. Gambar 25 dan Lampiran 35.2 juga menunjukkan bahwa ikan mengalami stres yang hebat ketika diberi pakan tanpa penambahan selenometionin. Dari keseluruhan hasil tersebut terlihat bahwa daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek dapat ditingkatkan dengan penambahan selenometionin. 4.9 Pembahasan umum Mineral, termasuk di dalamnya trace element, merupakan bahan-bahan anorganik yang mempunyai fungsi fisiologis penting bagi tubuh (Strain & Cashman 2002). Selenium adalah salah satu mikromineral esensial yang ditemukan menjadi bagian integral dari sejumlah enzim (selenoprotein). Terdapat lebih dari 30 selenoprotein yang telah diidentifikasi, tetapi belum semuanya diketahui fungsinya. Tiga di antaranya yang telah diketahui dengan jelas fungsinya adalah glutation peroksidase (GPx), iodotironin deiodinase (ID), dan tioredoksin reduktase (TR). Fungsi-fungsi tersebut menyebabkan Se menjadi penting bagi kesehatan dan merupakan komponen penting bagi beberapa jalur 89 metabolisme utama, termasuk metabolisme normal tiroid, sistem pertahanan antioksidan, dan fungsi imun. Kajian tentang kebutuhan mineral Se pada ikan saat ini masih terbatas pada jumlah minimum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Pada penelitian ini dilakukan kajian tentang kebutuhan mineral Se yang berasal dari dua sumber yang berbeda (anorganik dan organik), tingkat kecernaannya, dan dampak yang ditimbulkan jika diberikan dalam jumlah optimal maupun berlebih. Selain itu, dilihat pula distribusi Se di organ sebagai akumulasi dari pemberian Se dari pakan. Pengaruh pemberian mineral Se pada daya tahan tubuh ikan dilihat melalui uji transportasi (simulasi) dan uji perendaman di air tawar. Pemilihan kerapu bebek sebagai hewan uji didasarkan pada kenyataan tingginya harga ikan ini dalam kondisi hidup di pasaran, sementara di sisi lain, pertumbuhannya di karamba jaring apung sangat lambat dan mudah mengalami stres akibat perubahan kondisi lingkungan dan penanganan yang kurang baik. Salah satu kegiatan rutin yang dilakukan petani budi daya yang diduga menjadi pemicu stres adalah perendaman ikan di air tawar untuk menghilangkan atau mengurangi ektoparasit. Selain itu, dipercaya pula bahwa kegiatan ini dapat meningkatkan nafsu makan ikan. Mengingat salah satu fungsi Se adalah bagian integral dari sejumlah enzim (selenoprotein), diantaranya GPx yang berperan sebagai antioksidan dan ID yang berperan dalam metabolisme hormon tiroid, maka keberadaan Se dalam pakan diharapkan dapat mengurangi stres sehingga daya tahan tubuh ikan menjadi meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Se anorganik (sodium selenite) dosis 0,5-4 mg Se/kg pakan telah menyebabkan kerusakan pada beberapa organ dalam juvenil kerapu bebek (Gambar 8). Demikian pula tingkat kelangsungan hidup ikan cenderung mengalami penurunan dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, bahkan pada dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan tingkat kematian ikan mencapai 100% (Tabel 6). Di sisi lain, penambahan selenometionin yang makin meningkat sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan menyebabkan kelangsungan hidup ikan cenderung meningkat meskipun nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan tanpa penambahan Se (Tabel 6). Kenyataan ini memberi gambaran bahwa selenometionin adalah sumber Se terbaik. Nilai 90 koefisien kecernaan selenometionin yang lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite (Tabel 5) mendukung hasil yang didapatkan tersebut. Penggunaan sodium selenite dosis yang lebih rendah dari 0,5 mg Se/kg pakan (0-0,4 mg Se/kg pakan) terbukti meningkatkan kinerja pertumbuhan (retensi lemak dan rasio RNA/DNA) (Tabel 11), glikogen hati dan otot (Gambar 9), aktivitas GPx plasma (Gambar 10), dan rasio T3/T4 (Gambar 11), dengan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan. Tingkat kelangsungan hidup yang masih cukup tinggi dan tidak dipengaruhi oleh pakan uji (Tabel 11) memperlihatkan bahwa selisih antara dosis sodium selenite yang masih dapat ditolerir dan yang telah menyebabkan keracunan sangat kecil. Hasil pengukuran kadar Se di beberapa organ juga menunjukkan bahwa perlakuan terbaik didapatkan pada pemberian sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan, dan hati merupakan organ dengan kandungan Se terbesar (Gambar 13). Uji perendaman di air tawar menunjukkan tingkat stres terendah (kadar glukosa darah dan kortisol terendah) didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan (Gambar 14 dan 15). Secara umum terlihat bahwa penambahan Se dalam bentuk sodium selenite dosis 0,05 mg Se/kg pakan dapat menurunkan stres dan meningkatkan kinerja pertumbuhan juvenil kerapu bebek. Pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan, aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) ikan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini digambarkan oleh nilai rasio T3/T4 yang juga lebih tinggi. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus mengatur pertumbuhan. Hormon tiroid memfasilitasi pelepasan hormon pertumbuhan (GH). Hormon tiroid juga berinteraksi dengan hormon lain secara sinergistik dalam mengatur laju metabolisme. Ikan yang mengalami stres membutuhkan energi yang besar untuk mengimbangi kondisi tersebut. Energi tersebut dapat berasal dari proses glikogenolisis maupun glukoneogenesis. Kadar glukosa darah yang rendah menunjukkan bahwa energi tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh ikan dalam proses metabolismenya. Sementara itu, GH adalah hormon utama yang berperan pada proses pertumbuhan ikan. Hal inilah yang menyebabkan pada perlakuan ini, 91 kadar glukosa darah juvenil kerapu bebek lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lain ketika diberi stressor perendaman di air tawar. Sejalan dengan itu, beberapa nilai parameter kinerja pertumbuhan juga terlihat lebih tinggi pada penambahan 0,05 mg Se/kg pakan. Berdasarkan hasil percobaan II yang menunjukkan bahwa selenometionin lebih baik daripada sodium selenite, dan dosis 4 mg Se/kg pakan adalah dosis optimal, maka pada percobaan IV ini sumber Se yang digunakan adalah selenometionin. Informasi tentang kebutuhan dan dampak kelebihan dan kekurangan Se dalam bentuk sodium selenite telah didapatkan pada percobaan II dan III. Selain untuk menguji daya tahan tubuh ikan terhadap stressor lingkungan (transportasi dan perendaman di air tawar), tujuan lain percobaan ini adalah menguji dampak berlebihnya selenometionin di pakan. Perlakuan yang diujikan adalah tanpa penambahan Se, penambahan selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan (Se optimal), dan penambahan 16 mg Se/kg pakan (Se berlebih). Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan tidak dipengaruhi oleh pakan uji pada 42 hari pemeliharaan awal (Tabel 14). Tingkat kelangsungan hidup yang mencapai 97,78% pada pemberian selenometionin dosis 16 mg Se/kg pakan dan tidak berbeda dari perlakuan lain (Tabel 14), memberi gambaran bahwa dosis ini belum menunjukkan tanda-tanda keracunan pada ikan. Juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis berbeda selama 20 hari pemeliharaan lanjutan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan harian, efisiensi pakan, dan retensi lemak, tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup, konsumsi pakan, dan retensi protein (Tabel 15). Berbeda dari pemeliharaan awal, pada pemeliharaan lanjutan ini terlihat bahwa penambahan selenometionin menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan, dengan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 dan 16 mg Se/kg pakan. Pemeliharaan lanjutan yang diawali dengan uji transportasi dan dilanjutkan dengan uji perendaman di air tawar pada minggu kedua diduga menjadi penyebab menurunnya pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Kondisi stres pada organisme dapat mempengaruhi berbagai 92 proses fisiologis, di antaranya metabolisme intermedier dan fungsi imun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penambahan Se dalam bentuk selenometionin sampai dosis tertentu mampu mengurangi stres dan meningkatkan pertumbuhan ikan. Kenyataan ini didukung oleh nilai aktivitas enzim GPx plasma (Tabel 16), indeks fagositik (Tabel 18), dan kadar glukosa darah dan kortisol (Gambar 22–25) pada uji transportasi dan perendaman di air tawar, yang menunjukkan perlakuan terbaik didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan. Dari hasil ini terlihat bahwa pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan pertumbuhan juvenil kerapu bebek. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada dosis tertentu selenium dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan pertumbuhan juvenil kerapu bebek, serta mempercepat pemulihan pascastres. Selenium adalah mikromineral penting yang ditemukan menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (GPx). Enzim ini adalah salah satu antioksidan endogen. Sebagai antioksidan, GPx mempunyai kemiripan fungsi dengan vitamin E dalam hal mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas. Perbedaan keduanya adalah pada tempat dan prosesnya bekerja. Vitamin E dapat mereduksi radikal peroksil menjadi lipid yang teroksidasi, sedangkan GPx mengkonversi lipid teroksidasi tersebut menjadi lipid alkohol yang tidak berbahaya. Vitamin E juga dapat mencegah pembentukan anion superoksida (O2-), sementara superoksida yang terlanjur tebentuk yang kemudian menjadi hidrogen peroksida (H2O2) akan dikatalisis oleh GPx menjadi H2O. Dengan kata lain, vitamin E berfungsi untuk mencegah dan/atau mengurangi pembentukan peroksidaperoksida bebas, sedangkan GPx menguraikan peroksida yang terlanjur terbentuk menjadi zat yang tidak berbahaya. Pada penelitian ini terlihat bahwa penambahan Se ke dalam pakan meningkatkan aktivitas enzim GPx plasma dan hati juvenil kerapu bebek. Hal ini memberi gambaran bahwa GPx sebagai enzim antioksidan cukup tersedia untuk mencegah kerusakan sel yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sebagaimana diketahui bahwa radikal bebas dapat bersumber dari endogen maupun eksogen. Sumber endogen dapat berasal dari proses metabolisme yang tidak 100% efisien, terdapat sejumlah besar energi yang hilang berupa panas. Sebagian kecil dari 93 oksigen yang dikonsumsi oleh mitokondria tidak direduksi menjadi air, tetapi direduksi menjadi superoksida dan hidrogen peroksida. Keberadaan enzim GPx tersebut akan sangat penting untuk menjamin proses-proses fisiologis tubuh berjalan dengan normal dan ketahanan tubuh ikan menjadi meningkat. Selenoprotein (enzim yang mengandung Se) lain yang penting adalah 15-kda selenoprotein, yang teridentifikasi pada sel-sel T. Meskipun fungsi yang jelasnya belum diketahui, selenoprotein ini diduga terkait dengan imunitas ikan. Hal ini diperlihatkan oleh nilai indeks fagositik yang cenderung semakin meningkat seiring dengan makin meningkatnya aktivitas enzim GPx. Indeks fagositik adalah nilai yang menunjukkan aktivitas fagositosis. Fagositosis adalah salah satu mekanisme pertahanan seluler ikan yang bersifat nonspesifik dan merupakan langkah awal untuk mekanisme respons imun berikutnya, yaitu terbentuknya respons spesifik. Dengan demikian, Se dapat digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan. Fungsi penting lain mineral Se adalah peran sertanya dalam metabolisme hormon tiroid. Iodotironin deiodinase (ID) adalah suatu selenoprotein yang mengkatalisis produksi bentuk aktif hormon tiroid (3,5,3‟-triiodtironin, T3) dari tiroksin (T4). Pada penelitian ini terlihat bahwa pada dosis tertentu, penambahan Se meningkatkan nilai rasio T3/T4. Tingginya rasio T3/T4 mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) juga tinggi. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus mengatur pertumbuhan. Hormon tiroid memfasilitasi pelepasan hormon pertumbuhan (GH) dari sel-sel hipofisis, meningkatkan lipolisis, dan meningkatkan pengambilan pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa GH adalah hormon utama yang berperan pada proses pertumbuhan ikan. Ketika GH meningkat, hati merespons dengan memproduksi lebih banyak insulin like growth factor-1 (IGF-1). Salah satu fungsi IGF-1 adalah meningkatkan penyerapan glukosa oleh sel. Penggunaan glukosa sebagai sumber energi pada sel akan menghemat protein. Protein akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan tidak dipecah menjadi energi. Fungsi penting lain IGF-1 adalah meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel, serta memaksimalkan sintesis protein. Hal inilah yang memungkinkan nilai rasio 94 RNA/DNA dan retensi protein menjadi meningkat seiring dengan makin meningkatnya rasio T3/T4. Rasio RNA/DNA dan retensi protein yang merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengestimasi pertumbuhan memberi gambaran bahwa Se dapat ditambahkan ke dalam pakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa Se dapat berfungsi dalam mempercepat pemulihan pascastres. Pada uji stres yang dilakukan, baik stres akibat transportasi maupun perendaman di air tawar, terlihat bahwa ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se mempunyai kadar glukosa darah dan kortisol lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang diberi Se sesaat setelah uji stres. Ikan juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih kembali dibandingkan dengan yang diberi Se. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa ikan mengalami hiperglikemia, suatu kondisi yang menunjukkan tingginya kadar glukosa darah dalam waktu yang cukup lama, mirip dengan penderita diabetes militus pada manusia. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya produksi hormon insulin ataupun insulin tidak bekerja dengan normal. Hormon insulin dihasilkan oleh sel ß pulau Langerhans di pankreas sebagai respons terhadap hiperglikemia. Dalam kondisi normal, insulin cepat menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pemindahan glukosa ke dalam jaringan adiposa dan otot dengan merekrut pengangkut glukosa dari bagian sel ke membran plasma. Berkurangnya jumlah dan/atau aktivitas hormon insulin menyebabkan pemanfaatan glukosa sebagai sumber energi menjadi berkurang, sementara dalam kondisi stres, ikan membutuhkan energi yang cukup besar sebagai kompensasinya. Oleh karena itu, dibutuhkan energi dari sumber lain yang berasal dari hasil proses glikogenolisis maupun glukoneogenesis. Keadaan inilah yang menyebabkan kadar glikogen hati dan otot, serta beberapa parameter kinerja pertumbuhan ikan pada penelitian ini nilainya lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi Se pada saat pemeliharaan lanjutan. Hiperglikemia juga menyebabkan produksi radikal bebas berlebihan yang memicu terjadinya stres oksidatif sehingga daya tahan tubuh ikan menjadi menurun, yang ditandai oleh nilai indeks fagositik yang rendah. Sebaliknya, juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan Se pada dosis tertentu menunjukkan kadar glukosa darah dan kortisol nilainya lebih rendah 95 dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se, dan dalam waktu yang singkat (2 jam pascastres perendaman di air tawar) kadarnya sudah berada pada kondisi normal (awal). Dengan kata lain, ikan membutuhkan waktu yang cukup singkat untuk pemulihan pascastres. Penurunan kadar glukosa darah yang cepat menunjukkan bahwa pemanfaatan glukosa sebagai sumber energi menjadi lebih efektif dan efisien. Penggunaan glukosa sebagai sumber energi akan menghemat protein sehingga protein dapat digunakan untuk memaksimalkan pertumbuhan. Berdasarkan penjelasan ini terlihat bahwa Se memiliki kemiripan fungsi dengan hormon insulin dalam hal pengaturan glukosa darah, sehingga diduga Se ikut terlibat dalam metabolisme karbohidrat.