jurnal kependidikan - Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

advertisement
ISSN No. : 1412 – 2952
Tahun 3 Nomor 3 Juni 2007
JURNAL KEPENDIDIKAN
Mohammad Imam Farisi
: Struktur Kompetensi Ilmu Pengetahuan Sosial
Sekolah Dasar dan Pengorganisasian Pengalaman
Belajar Siswa
Mohammad Harijanto
: Implementasi Peran dan Fungsi Trilogi Pendidikan
Memasuki Era Globalisasi
Suparti
: Penerapan Pendekatan Pengalaman Bahasa dalam
Pembelajaran Baca-Tulis pada Kelas Awal di SD
Laboratorium IKIP Malang
Lukiyadi
: Efektivitas Sistem Belajar Jarak Jauh dalam
Penyelenggaraan Program Pendidikan Guru
Sekolah Dasar
Barokah Widuroyekti
: Pemanfaatan Cerita Anak Sebagai Alternatif
Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah
Dasar
S. Adi Suparto
: Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah:
Konsep dan Implikasinya Terhadap Peningkatan
Mutu Guru
Rahmad
: Kaidah Morfofonemik Bahasa Madura
1
SUSUNAN PENYUNTING JURNAL INTERAKSI
Penanggung Jawab
Dra. Sri harini (Dekan FKIP)
Ketua Penyunting
Drs. Moh. Harijanto, M.Pd.
Wakil Ketua Penyunting
Rahmad, S.Pd.
Penyunting Pelaksana
Dra. Yanti Linarsih
Moh. Romly, M.Pd.
Dra. Sri Widjajanti
Halifaturrahman, S.Pd.
Drs. Zainal Arifin
Penyunting Ahli
Drs. H. kutwa, M.Pd.
Drs. Abd. Roziq
Alamat Penyunting dan Tata Usaha:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Madura (UNIRA)
Pamekasan, Jl. Raya Panglegur Pamekasan, Telp. (0324) 322231, 325786.
Fax. (0324) 32418, E-mail:[email protected]
JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel yang
belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel diketik dengan
spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman.
Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Madura (UNIRA) Pamekasan
2
JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI
Tahun 3 Nomor 3 Juni 2007
Struktur Kompetensi Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Dasar
dan Pengorganisasian Pengalaman Belajar Siswa
Oleh : Mohammad Imam Farisi
4
Implementasi Peran dan Fungsi Trilogi Pendidikan Memasuki Era Globalisasi
Oleh : Mohammad Harijanto
20
Penerapan Pendekatan Pengalaman Bahasa dalam Pembelajaran
Baca-Tulis pada Kelas Awal di SD Laboratorium IKIP Malang
Oleh : Suparti
25
Efektivitas Sistem Belajar Jarak Jauh dalam Penyelenggaraan Program
Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh : Lukiyadi
33
Pemanfaatan Cerita Anak Sebagai Alternatif Bahan Pembelajaran Apresiasi
Sastra di Sekolah Dasar
Oleh : Barokah Widuroyekti
41
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah:
Konsep dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Mutu Guru
Oleh : S. Adi Suparto
51
Kaidah Morfofonemik Bahasa Madura
Oleh : Rahmad
69
JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI menerima sumbangan artikel yang
belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Artikel diketik dengan
spasi rangkap pada kertas kuarto, panjang antara 10-20 halaman.
3
STRUKTUR KOMPETENSI ILMU PENGETAHUAN SOSIAL SEKOLAH DASAR
DAN PENGORGANISASIAN
PENGALAMAN BELAJAR SISWA
Oleh:
Mohammad Imam Farisi*
Abstrak
Setiap mata pelajaran memiliki struktur kompetensi yang berbeda, bergantung pada
dasar pengembangannya. Kompetensi IPS-SD dikembangkan atas dasar pemikiran
bahwa IPS-SD merupakan pendidikan sosial dan pendidikan intelektual-keilmuan.
Secara struktural, kompetensi IPS-SD mencakup tiga dimensi pengembangan, yakni
kompetensi personal, kompetensi sosio-kultural, dan kompetensi intelektualkeilmuan. Ketiga struktur dasar kompetensi IPS-SD dapat diraih apabila pengalaman
belajar diorganisasi dalam sekuensi pembelajaran yang sistemik dan sistematis, serta
mengacu pada model-model pembelajaran.
Kata kunci: struktur, kompetensi, pengalaman belajar.
Pendahuluan
Sejak Indonesia merdeka, kurikulum SD telah mengalami perubahan
sebanyak delapan kali, yakni kuriku-lum
1947, 1950-an, 1964, 1968, 1975, 1984,
1994 dan suplemennya tahun 1999, dan
kurikulum 2004 yang juga dikenal sebagai
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
KBK-SD 2004 yang direncanakan untuk
mengganti-kan kurikulum 1994 ternyata
urung di-berlakukan lebih lanjut, sekalipun
sosialisasi dan ujicoba secara terbatas di
sekolah-sekolah telah dilakukan sejak lima
tahun lalu di hampir tiap provinsi.
Pembatalan
pemberlakuan KBK
2004 menurut penilaian Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP), karena
kurikulum 2004 lebih sarat dengan isi tanpa
standar kompetensi yang jelas. Sebagai
gantinya, pada tahun 2006 ini direncanakan
ada kurikulum baru, tetapi bukan KBK yang
disusun 2004, melainkan ”kuri-kulum baru”
yang disusun berdasarkan standar isi dan
standar
kompetensi
lulusan
yang
dirumuskan oleh BSNP dan disahkan oleh
Mendiknas (Kompas, 10 Februari 2006).
Kurikulum baru tersebut (sebut
saja kurikulum 2006) masih belum dapat
dipastikan namanya, apakah akan diberi
label ”Kurikulum 2006” atau ”KBK
2006”. Kalaupun atribut ”KBK” nanti
tidak secara eksplisit ditambahkan pada
kurikulum baru, tak dapat dipungkiri
bahwa ”kompetensi” tetap akan menjadi
kata kunci dalam paradigma reformasi
model kurikulum standar nasional.
Kepastian bahwa kurikulum baru tetap
”competency-based” bisa dirujuk pada
Permendiknas no. 22, 23, dan 24 tahun
2006 tentang Standar isi dan Standar
Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan
Dasar dan Menengah yang pada Mei 2006
lalu disahkan oleh Mendiknas.
Komitmen
untuk
melakukan
reformasi kurikulum berbasis kompe-tensi
bukan tanpa alasan. Tak bisa ditawar lagi,
bahwa dunia pendidikan harus mampu
meyakinkan
bahwa
SDM
yang
dihasilkannya
harus
mempunyai
kompetensi yang mampu bersaing dalam
era global. Oleh karenanya, programprogram pendidikan yang ditawarkan juga
harus
mampu
memberi
bukti
keterbentukan kemampuan/ kompetensi
*
Dosen FKIP Universitas Terbuka di UPBJJ-UT Surabaya. Doktor Kependidikan dalam bidang Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial.
4
yang dianggap relevan dengan era global.
Dengan berbasis kompetensi, kurikulum akan
menjadi terarah karena disusun dengan
langkah-langkah yang sistematis, sehingga jika
semuanya dikerjakan dengan benar dan
implementasinya dilakukan secara taat asas,
janji-janji yang terkemas dalam program
pendidikan akan dapat diwujudkan.
Disamping
itu,
dengan
dirumuskannya kompetensi secara jelas, pihakpihak yang berkepentingan akan dapat
memantau/menilai secara objek-tif tingkat
penguasaan kompetensi tersebut. Selanjutnya,
para pengguna lulusan akan mempunyai
gambaran yang jelas tentang kompetensi yang
dikuasai oleh pekerja yang direkrutnya
sehingga jika mereka ingin melakukan
pembinaan akan mempunyai dasar awal
(baseline) yang jelas. Namun perlu diingat
bahwa kurikulum berbasis kompetensi juga
bukan panacea, muji-zat atau resep yang dapat
memecahkan segala persoalan pendidikan
(Wardani, 2003).
Di dalam Permendiknas no. 22 tahun
2006 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa
”Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah yang selanjutnya disebut
Standar Isi mencakup lingkup materi minimal
dan tingkat kompetensi
minimal untuk
mencapai kompetensi lulusan minimal pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu”.
Berdasarkan pada rumusan standar isi dan
standar kompetensi lulusan itu pula,
dirumuskan cakupan kerangka dasar dan
struktur kurikulum yang merupakan pedoman
dalam penyusunan kurikulum pada tingkat
satuan pendidikan. Bahwa kurikulum tingkat
satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang nanti akan dikembangkan
oleh sekolah dan komite sekolah, juga harus
berpedoman pada standar kompetensi lulusan
dan standar isi serta panduan penyusunan
kurikulum yang masih dalam proses
penyusunan oleh BSNP.
Selanjutnya, di dalam Permen-diknas
no. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Permendiknas no. 22 dan 23 tahun 2006,
dinyatakan bahwa semua satuan pendidikan
dasar dan me-nengah harus sudah mulai
menerapkan kedua Permendiknas tadi paling
lambat tahun ajaran 2009/2010 (pasal 2, ayat 2).
Bagi satuan pendidikan dasar dan menengah
yang telah melaksanakan uji coba kurikulum
2004 secara menyeluruh dapat menerapkan
secara menyeluruh untuk semua tingkatan
kelasnya mulai tahun ajaran 2006/2007 (pasal 2,
ayat 3); dan untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah yang sama sekali belum per-nah
melaksanakan uji coba kurikulum 2004,
pelaksanaan kedua Permendiknas tadi secara
bertahap dalam waktu paling lama 3 tahun,
dengan tahapan: kelas 1 dan 4 (tahap I); kelas 1,
2, 4, dan 5 (tahap II); dan kelas 1 s.d VI (tahap
III) (pasal 2, ayat 4).
Untuk kepentingan pelaksana-an
ketiga Permendiknas tadi, dan agar sekolah
dan komite sekolah khususnya satuan SD
dapat mengembangkan kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang diharapkan, ada tiga
aspek pen-ting yang perlu dipahami: (1) dasar
pemikiran yang digunakan dalam menetapkan
kompetensi; (2) struktur kompetensi; (3)
pengorganisasian pengalaman belajar untuk
mencapai kompetensi yang ditetapkan.
Tulisan ini tidak akan menyoal tentang
pergantian atau perubahan kurikulum dari
waktu ke waktu, melainkan hanya akan
mendiskusikan ketiga aspek di atas, khususnya
pada matapelajaran Ilmu Pengetahuan So-sial.
Ketiga aspek pokok di atas menjadi penting
dan mendasar, karena tanpa pengertian yang
jelas tentang dasar pemikiran dan struktur
dasar kompetensi yang telah ditetapkan,
seideal
apapun
perubahan
kurikulum
dilakukan, tentu tidak akan banyak mengubah
realitas pendidikan seperti yang sudah
berlangsung selama ini.
Dasar Pengembangan Kompetensi IPS di
Amerika Serikat
Untuk mendapatkan perspektif yang
lebih luas, berikut akan dikaji dinamika
historis-epistemologis IPS (Social Studies) di
Amerika Serikat, sebagai salah satu ”centre of
excellenc-es” pengembangan IPS di dunia;
sekaligus menjadi rujukan utama—diakui atau
tidak—dalam pengembang-an kompetensi
IPS-SD di Indonesia.
Secara historis-epistemologis, istilah
“kompetensi” lahir sejalan dengan terjadinya
perubahan sosial-budaya dari masyarakat dan
budaya agraris ke masyarakat dan budaya
industri atau teknologi (Tuxworth, 1995).
Dalam masyarakat dan budaya industri atau
5
teknologi, manusia ibarat minyak, energi, dan
tenaga listrik, dan pikiran manusia ibarat
mesin komputer yang menjadi penggerak roda
industri (Lapp, et.al. 1975). Dalam perspektif
Lapp, pemaknaan dan penggunaan istilah
kompetensi waktu itu mengacu pada filsafat
pendidikan
”teknologikal-sme”
sebagai
paradigma unggul dalam masyarakat industri.
Akan tetapi, istilah kompetensi tidak harus
secara ekstrem ditempatkan dan didefinisikan
dalam
konteks
seperti
itu,
karena
sesungguhnya pemaknaan dan penggu-naan
sebuah konsep atau istilah selalu mengalami
rekonseptualisasi dan re-kontekstualisasi,
mengacu pada filsafat pendidikan yang
digunakan.
Khusus dalam dinamika historisepistemologis IPS, konsep dan model
pendidikan berbasis kompetensi bukan wacana
baru. Sejak IPS menjadi muatan kurikulum
persekolahan di Amerika Serikat pada akhir
abad 19, telah berorientasi pada pencapaian
standar kompetensi tertentu. Orientasi pada
pencapaian kompetensi tersebut, secara
konsisten
dipertahankan
sejak
awal
pertumbuhannya oleh Komisi IPS (Committee
on Social Studies= CSS) hingga sekarang oleh
National Council for the Social Studies
(NCSS) (Saxe, 1991; NCSS, 1994).
Dari hasil kajian terhadap dinamika
historis-epistemologis IPS di Amerika Serikat,
diketahui bahwa dasar pengembangan standar
kompeten si IPS adalah kompetensi dasar
kewarganegaraan (civic competen-cies) yang
mencakup tiga ranah substantif, yaitu:
pengetahuan
kewarga
negaraan
(civic
knowledge); nilai dan sikap kewarganegaraan
(civic disposi-tions); dan keterampilan
kewarganega-raan (civic skills) (Winataputra,
2001).
Dalam
perkembangannya,
kompetensi-kompetensi
dasar
kewarganegaraan dalam IPS bersifat dinamis. Pada
awal-awal pertumbuhannya (1850an – 1912),
dimensi “sosio-ekonomis” dan “sosio-kultural”
ke-warganegaraan
menjadi
mainstream.
Waktu itu,
IPS-SD diarahkan pada
pengembangan kompetensi “produkti-vitas
ekonomi” dan “pekerja kritis” dengan tujuan
pada pemben-tukan warganegara yang arif,
kritis, dan partisipatif (Hursch & Ross, 2000).
Pada periode 1913-1930an, dimensi
“sosio-kultural”
kewarganega-raan
atau
“socially oriented education” menjadi
mainstream. Waktu itu, IPS-SD diarahkan
pada pengembangan kompetensi “efisiensi
sosial”
dalam konteks pembentukan
“Community-civics”, yaitu kondisi kewarganegaraaan di dalam konteks komunitas-nya.
Maksudnya, bahwa siswa sebagai warganegara
yang baik adalah apabila memiliki “perasaan
sosial” (social feeling), “pikiran sosial” (social
thought), dan melakukan “tindakan sosial”
(social action). Atau warga-negara yang
berketetanggaan
(good
citizen
of
neighborhood) yang ditunjukkan melalui
keanggotaannya yang efisien di dalam
lingkungan masyarakat bertetangga, serta
melesta-rikan rasa keberanggotaan di dalam
komunitas dunia (Saxe, 1991).
Pada periode 1930an hingga awal
1970an,
dimensi
”intelektual-keilmuan“
kewarganegaraan menjadi mainstream. Waktu
itu, kompetensi dasar kewarganegaraan
bergeser ke arah pengembangan kompetensi
warga-negara sebagai intelektual dan ilmuwan. Pergeseran orientasi ini diawali dengan
lahirnya kesepakatan di dalam pertemuan
pertama NCSS tanggal 28-30 November 1935
(14 tahun setelah berdiri) bahwa “Social
Sciences as the Core of the Curriculum”
(Lybarger, 1991). Puncak evolusi pemikiran
intelektual-keilmuan dalam IPS-SD terjadi
pada tahun 1960an, ketika para ilmuwan dan
pendidik ber-ijima’ bahwa penguasaan disiplin
ilmu sebagai keniscayaan.
Dalam historiografi IPS, era 1960an
sering diklaim sebagai era “The New Social
Studies”, yang ditandai munculnya gerakan
pembaharuan di kalangan komunitas pakar dan
pengembang IPS untuk meningkatkan
efektivitas dan kualitas IPS, melalui
penguasaan kemampuan intelektual tingkat
tinggi, dengan menempatkan metode inkuiri
ilmiah dan pendekatan struktur disiplin ilmu
sebagai substansi bidang kajian kurikulum
IPS. Tujuan utama IPS adalah mempelajari
ilmu-ilmu sosial secara mendasar dan
komprehensif.
Pemikiran-pemikiran
dari
Bruner, Schwab, serta Peters & Hirst menjadi
dasar-dasar pemikiran teoretik dan filosofis
utama dari gerakan tersebut (Barr, Barth, &
Shermis, 1977).
6
Berbarengan dengan eforia gerakan
IPS-Baru dengan proyek-proyeknya yang
mengarah pada pengembangan dimensi
intelektual-keilmuan, muncul pula pemikiran
yang tak kalah gemanya, yaitu agar dimensi
psikologis dan sosial juga mendapatkan
penekanan dalam kompetensi IPS. Bahkan,
gerakan “menentang arus” ini justru
memberikan
kekuatan
tersendiri
bagi
terjadinya
pergeseran
orientasi
dalam
pemikiran IPS yang “scientific oriented”; atau
setidak-tidaknya bersi-fat gabungan, antara
dimensi psiko-logis-intelektual-sosial.
Gerakan yang dimaksudkan dipelopori
oleh projek-projek pengem-bangan kurikulum
IPS pimpinan Paul R. Hanna yang berhasil
mengembang-kan kurikulum pola “the
expanding of humans community”. Gagasan
awal kurikulum Hanna tersebut sudah dimulai
tahun 1930an dan dielaborasi lebih lanjut pada
tahun 1960an, justru ketika gerakan IPS
berada di puncak kejayaan “intelektualme’
(Lybarger, 1991:7). Di dalam konsep
kurikulum Hanna, siswa ditempatkan sebagai
“pusat lingkaran”, dan secara bertahap dan
konsisten meluas ke lingkaran ling-kunganlingkungan sosial dari yang terdekat (sekitar)
hingga terjauh (dunia). Secara konseptual,
gagasan kurikulum Hanna memiliki paralelitas
dengan pemikiran kurikulum CSS tahun 1913,
“a broader horizon curri-culum” (Saxe, 1991,
appendix).
Pada periode 1970—1990an, dimensi
”socio-kultural“ dan “intelek-tual-keilmuan”
kewarganegaraan
kem-bali
menjadi
mainstream. Akan tetapi, berbeda dengan
dimensi sosio-kultural dan intelektualkeilmuan pada periode-periode sebelumnya,
pada periode ini pengembangan dimensi sosiokultural
dan
intelektual-keilmuan
kewarganega-raan lebih diarahkan pada
“social action” atau “social participation”
berbasis penguasaan kemampuan berpikir atau
intelektual. Dalam dokumen NCSS “Social
Studies Curriculum Guidelines” tahun 1971,
dinyatakan bahwa “social participation is a
necessary and essential component of modernday social studies pro-grams” (Jarolimek,
1977:15). Bahwa IPS dikembangkan sebagai
program pendidikan yang “combine the best of
active
pupil
involvement
with
the
corresponding development of thinking
abilities”, dan bahwa “intellectual skill are
best developed in settings where they are used,
thus ensuring that gaining knowledge and
applying it will not be too far removed from
one other” (Jarolimek, 1977:12).
Melalui pengembangan kedua dimensi
kompetensi tersebut, IPS-SD diharapkan dapat
membantu
siswa
mengembangkan
kemampuan berpikir kritis-reflektif yang
berorientasi pada “masalah” dan “pemecahan
masalah” yang muncul di dalam kehidupan
masyarakat. Di sisi lain, IPS-SD juga
diharapkan dapat lebih berperan dalam proses
pembentukan dan pengembang-an ilmu
pengetahuan akademik yang transformatif
(making the social studies transformative)
(Banks, 1995).
Orientasi pada kompetensi dasar
sosio-kultural dan intelektual-keilmuan tadi,
tampaknya menjadi evolusi mutakhir dalam
pemikiran kurikulum IPS-SD, sehingga tetap
dipertahankan hingga awal tahun 2000 ini.
Akan tetapi, dalam hal orientasi kompetensi
intelektual-keilmuan, ter-dapat pergeseran
paradigmatik yang sangat mendasar. Apabila
pada periode-periode sebelumnya (1930 s.d
1970) lebih menekankan pada penguasaan
struktur keilmuan (scienti-fic structure of
discipline) yang telah dikembangkan oleh para
pakar
atau
ilmuwan,
pengembangan
kompetensi dasar intelektual-keilmuan sejak
tahun 1970an hingga dewasa ini lebih
diarahkan
pada
“kemampuan
siswa
membangun sendiri pengetahuan, nilai, sikap,
dan keterampilan dasar kewarga-negaraan”.
Pergeseran orientasi ini, sejalan
dengan penerimaan luas di kalangan pakar dan
pengembang
IPS
terhadap
paradigma
konstruktivisme. Ditegaskan NCSS di dalam
dokumen “Expecta-tions of Excellence:
Curriculum Standards for Social Studies”
(1994) bahwa “Program IPS adalah membantu
siswa membangun pengetahuan dasar dan
sikap-sikap yang berasal dari disiplin-disiplin
akademik sebagai cara-cara yang khas dalam
memandang realitas…”.
Komitmen terhadap pengem-bangan
kompetensi
kewarganegaraan
kembali
ditegaskan oleh NCSS pada tahun 2003 bahwa
IPS merupakan “... the integrated study of the
social sciences and humanities to promote
civic competence…to help young people
develop the ability to make informed and
7
reasoned decisions for the public good as
citizens of a culturally diverse, democratic
society in an interdependent world" (NCSS,
2003).
Dari kajian terhadap dinamika sosiohistoris-epistemologis IPS-SD di Amerika
Serikat di atas, jelas bahwa dasar pemikiran
utama pengembangan kompetensi IPS yang
secara konsisten dipertahankan sejak awal
pertumbuh-annya hingga dewasa ini adalah
“kompetensi dasar kewarganegaraan” (civics
competencies).
Karenanya,
pendidikan
kewarganegaraan di Amerika Serikat integral
di dalam IPS (Social Studies). Bagaimana
halnya dengan dinamika sosio-historisepistemologis IPS-SD di Indonesia, akan
didiskusikan pada bagian berikut.
Dasar Pengembangan Kompetensi IPS di
Indonesia
Berbeda dengan di Amerika Serikat,
melacak dinamika historis-epistemologis IPS
di Indonesia sangat sulit dilakukan. Sejumlah
faktor penyebabnya antara lain: (1) karyakarya intelektual-keilmuan dari para pakar dan
pengembang IPS di Indonesia lebih bersifat
individual dan juga terdokumentasikan dalam
kepus-takaan perorangan, tidak semuanya
dipublikasikan;
(2)
organi-sasi
yang
menghimpun para pakar dan pe-ngembang IPS
di Indonesia, yaitu Himpunan Sarjana
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia
(HISP IPSI) usianya masih relatif muda, baru
terbentuk pada tahun 1991 (Somantri, 1991);
(3) forum komunikasi dan seminar-seminar
IPS baik berskala nasional maupun lokal, lebih
ber-orientasi pada topik atau kajian fragmatiskontekstual daripada topik atau kajian
epistemologis ke-IPS-an; dan (4) karya
historiografi IPS di Indonesia hingga kini
belum pernah disusun.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka
upaya
melakukan
pelacakan
terhadap
dinamika historis-episte-mologis IPS di
Indonesia hanya bisa dilakukan dengan
mengkaji dinamika historis kurikulum IPS
persekolahan sejak tahun 1964 hingga 2006
(cf. Winataputra, 1991). Akan tetapi, karena
perubahan kurikulum selain didasarkan pada
hasil penilaian nasional pendidikan (national
assess-ment), juga didasarkan pada asumsi
teoretik dan filofosis tertentu (Soedijarto,
2004), maka dari dokumen kurikulum pun bisa
diidentifikasi dasar-dasar epistemologisnya.
Dari
hasil
kajian
terhadap
perkembangan kurikulum IPS-SD sejak tahun
1964 hingga sekarang, tampak bahwa dasar
pemikiran IPS di Indonesia tidak seluruhnya
dikembang-kan di dalam konteks pendidikan
kewarganegaraan (citizenship educat-ion),
dengan orientasi pokok pada pengembangan
kompetensi dasar kewarganegaraan (civic
competencies), melainkan juga dikembangkan
dalam konteks pendidikan sosial (social
education), dengan orientasi pokok pada
pengembangan kompetensi dasar sosial (social
competencies).
Pada awal pertama masuk di dalam
kurikulum persekolahan tahun 1964 hingga
tahun 1968, pengembang-an kompetensi IPS
terintegrasi
dengan
kompetensi
kewarganegaraan. Pada tahun 1964, IPS-SD
bernama Pendidik-an Kewargaan Negara,
dengan orien-tasi pada pengembangan
kompetensi “sosio-kutural”
dan “moral”
kewarga-negaraan, yakni kemampuan siswa
menjadi manusia susila yang cakap dan
demokratis serta bertanggung jawab. Pada
tahun 1968, IPS-SD bernama Pengetahuan
Masyarakat, dengan orientasi pengembangan
kompetensi tetap pada dimensi “sosio-kutural”
dan “moral” kewarganegaraan.
Label IPS sebagai nama kurikulum SD
mulai digunakan di dalam kurikulum 1975.
Sejak kurikulum tahun 1975 ini pula, unsur
pendidikan kewarganegaraan mulai dipisahkan
dari IPS dan dimasukkan ke dalam
matapelajaran tersendiri, yakni Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) (Depdikbud, 1975).
Posisi ini terus dipertahankan dalam
kurikulum 1984, 1986, 1994, KBK 2004
hingga kurikulum 2006.
Pada revisi kurikulum 2004, memang
pernah muncul gagasan untuk kembali
mengintegrasikan
dimensi
pendidikan
kewarganegaraan dalam kurikulum IPS-SD
dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan
dan Pengetahuan Sosial atau PKPS
(Depdiknas, 2003). Akan tetapi PP. no. 15
tahun 2005 tentang Standar Pendidikan
Nasional dan Permendiknas no. 22 dan 23
tahun 2006 menetapkan bahwa IPS dan PKn
merupakan dua matapelajaran yang berada di
8
dalam dua kelompok matapelejaranyang
terpisah dan sama-sama diajarkan di SD.
Hasil kajian di atas berbeda dengan
pandangan pakar pada umum-nya, seperti
Winataputra (2001) dan Kalidjernih (2005)
yang berpendapat bahwa “For primary level,
the curriculum for citizenship education is
integrated with social studies (pengetahuan
sosial)”. Seperti dikemukakan, integrasi IPS
dalam pendidikan kewarganegaraan hanya
terjadi pada dua kurikulum IPS-SD, yaitu
kurikulum 1964 dan 1968.
Di dalam kurikulum 1975, orientasi
pengembangan IPS diarahkan pada pencapaian
kompetensi “sosio-kultural”, yakni kesadaran
diri sebagai manusia yang harus mampu hidup
dalam lingkungan yang penuh dengan
hubungan fungsional dan timbal balik antara
dirinya dengan lingkungannya, dan mampu
memanfaatkan lingkungan bagi kehidupannya
sebagai manusia (Soetjipto, ed. 1980). Dalam
kurikulum 1986, orientasi pengembangan IPS
selain diarahkan pada pencapaian kompetensi
“sosio-kultural”,
juga
kom-petensi
“intelektual-keilmuan”, yakni kemampuan
mengembangkan cara berpikir kritis dan
kreatif dalam melihat hubungan manusia
dengan lingkungan hidupnya (Depdikbud,
1986).
Orientasi pada pencapaian kompetensi
“sosio-kultural” dan “inte-lektual-keilmuan”
ini tetap dipertahan-kan di dalam kurikulum
IPS-SD 1994. Bahwa IPS-SD adalah
mengembang-kan
pengetahuan
dan
keterampilan dasar yang berguna bagi diri
siswa dalam kehidupan sehari-hari. Kedua
kompetensi tadi, kembali dipertahan-kan di
dalam kurikulum IPS-SD tahun 2004 edisi
tahun 2001, tetapi dengan cakupan substantif
yang berbeda. Bahwa IPS-SD adalah
mengembang-kan pengetahuan, nilai dan
sikap, serta keterampilan sosial yang berguna
bagi dirinya, mengembangkan pemahaman
tentang pertumbuhan masyarakat Indo-nesia
masa lampau hingga kini sehingga siswa
bangga sebagai bangsa Indonesia (Depdiknas,
2001). Sedang-kan di dalam kurikulum IPSSD tahun 2004 edisi revisi tahun 2003,
dinyatakan bahwa IPS-SD adalah:
(1)
mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi,
geografi,
ekonomi,
sejarah,
dan
kewarganegaraan
melalui
pende-katan
pedagogis dan psikologis;
(2)
mengembangkan kemampuan ber-pikir kritis
dan kreatif, inkuiri, meme-cahkan masalah,
dan keterampilan sosial; (3) membangun
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai
sosial dan kemanusiaan; dan (4) meningkatkan
kemampuan
bekerja
sama
dan
berkompetisi
dalam
masyarakat
yang
majemuk, baik secara nasional maupun global.
Sedikit berbeda dengan orien-tasi pada
kurikulum sebelumnya, di dalam kurikulum
IPS-SD 2006, selain diarahkan pada
pencapaian kompetensi “sosio-kultural” dan
“intelektual-keilmuan”,
IPS-SD
juga
memasukkan kompetensi “personal”. Bahwa
IPS-SD adalah mengembangkan kemampuan
siswa untuk: (1) mengenal konsep-konsep
yang berkaitan dengan kehi-dupan masyarakat
dan lingkungannya; (2) berpikir logis dan
kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan
masalah, dan keterampilan dalam kehidupan
sosial; (3) memiliki komitmen dan kesadaran
terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan;
dan (4) memiliki kemampuan berkomunikasi,
bekerja-sama
dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal,
nasional, dan global (Permen-diknas no. 22,
2006).
Orientasi
pada
pengembangan
kompetensi sosio-kultural dan intelektualkeilmuan tersebut didasar-kan pada pemikiran
bahwa IPS-SD termasuk di dalam kelompok
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi yang bertujuan mengem-bangkan
logika, kemampuan berpikir dan analisis
peserta didik (Permen-diknas no. 23, 2006).
Dari kajian dinamika kuriku-lum IPSSD di atas, jelas bahwa kompetensinya
cenderung
dikembang-kan
berdasarkan
pemikiran bahwa IPS-SD di Indonesia
merupakan: (1)”pendidikan sosial” (social
educat-ion) yakni pendidikan yang diarahkan
untuk membantu siswa menjadi pribadi yang
memiliki berbagai sosial yang dibutuhkan di
dalam
kehidupan
bermasyarakat.
(2)”pendidikan
inte-lektual-keilmuan”
(scientific and intellectual education), yakni
pendidik-an yang diarahkan untuk membantu
siswa menjadi pribadi yang memiliki
kemampuan berpikir logis dan kritis, rasa
ingin tahu, inkuiri, dan meme-cahkan masalah
9
yang
muncul
bermasyarakat.
di
dalam
kehidupan
Perlu ditekankan, bahwa kompetensi
intelektual-keilmuan dalam IPS-SD tidak
dimaksudkan sebagai kemampuan untuk
menguasai struktur atau body of knowledge
disiplin keilmuan seperti dalam pemikiran
Bruner (1978). IPS-SD juga bukan sebagai
bentuk pengajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah
seperti dalam pemikiran Dimyati (1989), atau
penyederhanaan ilmu-ilmu sosial untuk tujuan
pendidikan seperti yang menjadi position
paper dari HISPIPSI. Kompetensi intelektualkeilmuan da-lam IPS-SD berkenaan dengan
kemampuan siswa memanfaatkan atau
menggunakan struktur atau body of knowledge
(substantif, sintaksis, dan normatif) disiplin
keilmuan di
dalam mengkritisi dan
memecahkan masalah yang muncul di dalam
kehidupan siswa di masyarakat. IPS-SD pada
dasarnya merupakan “delimiting the social
sciences for pedagogical use” atau IPS-SD
sebagai “a sepecific field to utilization of
social sciencies data as a force in the
improvement of human welfare” (CSS, dalam
Saxe, 1991: 17, 21-22). Karenanya, di dalam
Permen-diknas no. 22 tahun 2006 dinyatakan
bahwa ” IPS-SD mengkaji seperangkat
peristiwa, fakta, konsep, dan genera-lisasi
yang berkaitan dengan isu sosial”.
Struktur Kompetensi IPS-SD
Yang dimaksud dengan struk-tur
kompetensi IPS dalam tulisan ini adalah pola
organisasi kompetensi-kompetensi dalam
suatu jalinan atau relasi sistemik yang saling
berkaitan antara kompetensi yang satu dengan
kompetensi yang lain sebagai sebuah totalitas
atau kesatuan, yang terdapat di dalam standar
isi dan standar kompetensi lulusan SD.
Sebelumnya sudah dikemuka-kan,
bahwa pengembangan kompetensi di dalam
IPS-SD 2006 difokuskan tiga aspek
kompetensi,
yaitu
kompetensi
“sosiokultural”,
“intelektual-keilmu-an”,
dan
“personal” . Ketiga orientasi pengembangan
kompetensi tersebut tampaknya dimaksudkan
agar
IPS-SD
lebih
diarahkan
pada
pengembangan “kemampuan-kemampuan
dasar alamiah” (native capacities, natural
capabilities) siswa dalam upaya me-
ngembangkan jatidirinya sebagai makh luk
personal, sosio-kultural, dan intelektual
(Dewey,
1964).
Dengan
demikian,
kompetensi-kompetensi yang dirumuskan di
dalam
IPS-SD
benar-benar
bersifat
“mendasar” bagi setiap siswa dalam upaya
membentuk dan membangun sendiri struktur
pengetahuan/pengertian, kete-rampilan, nilai,
sikap, dan tindakannya baik dalam konteks
kehidupan pribadi, sosial, dan kultural; serta
menjadi bagian integral dalam setiap ikhtiar
siswa untuk membangun dan mengembangkan
identitas, karakter, atau jatidirinya sebagai
makhluk
personal,
sosiokultural
dan
intelektual.
Sejalan
dengan
orientasi
pengembangan pada ketiga kompetensi di atas,
maka secara struktural kompetensi IPS-SD
tersusun sebagai berikut:
Kompetensi Personal
Kompetensi
personal
adalah
kompetensi yang dikembangkan untuk
mambantu siswa mampu membentuk dan
mengembangkan kepribadiannya sebagai
makhluk personal atau individu dalam konteks
kehidupan keseharian personal, sosial dan
kultural. Dengan kata lain, pembentukan dan
pengem-bangan
kompetensi
personal
dimaksud-kan pada upaya mengenalkan dan
memahamkan siswa atas identitas dirinya, dan
membangun “kesadaran diri” (self awareness)
siswa pada dirinya sebagai makhluk pribadi
(homo persona) dengan segala keunikan dan
keutuhan pribadinya yang senantiasa akan
terus
berkembang
(Hasan,
1993;
Sumaatmadja, 2003; Wiriaatmadja, 2003).
Kompetensi
personal
ini
selama
perkembangan kurikulum IPS-SD 1964—1994
tampak terpinggirkan, tidak dinyatakan secara
eksplisit (Hasan, 2002).
Kompetensi
personal
yang
dikembangkan di dalam IPS-SD berdasarkan
standar isi dan standar kompetensi lulusan SD
adalah kemampuan memahami identitas diri
dalam
konteks
kehidupan
sosial
(Permendiknas no. 23, 2006). Kompetensi ini
dikembangkan pada diri siswa melalui
pembentukan kemampuan: mengidentifikasi
identitas diri; menceriterakan pengalaman
diri; menceritakan kembali peristiwa penting
10
yang dialami sendiri di lingkungan keluarga;
memelihara dokumen dan koleksi benda
berharga miliknya; menceritakan pengalamannya dalam melaksanakan peran dalam anggota
keluarga (Permendiknas no. 22, 2006).
Signifikansi kompetensi per-sonal
dalam IPS-SD, didukung oleh sejumlah hasil
penelitian empirik dan kepustakaan yang
ditinjau oleh Jantz & Klaweitter (1991);
Wyner & Farquhar (1991); dan Alleman &
Rosaen (1991). Dalam tinjauan tersebut,
disimpulkan bahwa kompetensi personal
dipandang sebagai “crucial component” dan
“dominant
purposes”
dalam
IPS-SD.
Kompetensi tersebut dipandang sebagai
pemberi dasar atau fondasi bagi siswa untuk
lebih mengetahui dan memahami dirinya dan
harga
dirinya,
sebagai
dasar
untuk
membedakan dirinya dengan orang lain, yang
dipandang esensial bagi kepentingan belajar
selanjutnya; dan menjadi dasar bagi IPS-SD
dalam mengembangkan kapa-bilitas mental
yang dipandang penting bagi siswa untuk
merealisasikan diri (Wyner & Farquhar, 1991;
Sumantri, 2002); sebagai pengorganisasi dan
penyaring terhadap apapun sikap dan reaksi
orang lain tentang dirinya (Martorella, 1985).
Kepemilikan kompetensi personal
juga
dipandang
mampu
memberikan
pengertian diri lebih baik, dari sisi pribadi
maupun orang lain di luar diri siswa
(NCSS:1989);
juga
dipandang
sangat
berpengaruh terhadap perilaku siswa dengan
bertindak sebagai “sistem penyaring” yang
melibatkan persepsi siswa dan konstruksi
realitas siswa; berkaitan secara positif dengan
kemampuan dan prestasi akademik siswa;
dengan sikap, perilaku, dan performansi siswa
di sekolah/kelas (Jantz & Klaweitter, 1991).
Kompetensi personal juga dipandang penting
bagi siswa agar mereka mampu bersikap dan
bertindak, baik di dalam kehidupan pribadi
maupun sosial, atas dasar suatu nilai tertentu
yang telah menjadi miliknya, menjadi panduan
dalam dirinya (Hasan, 1993); serta sebagai
motivator bagi siswa dalam pencapaian hasilhasil belajarnya, tidak hanya oleh akuntabiltas
dan sistem peringkat (Brophy & Alleman,
1996:45).
Kompetensi Sosio-Kultural
Kompetensi sosio-kultural ada-lah
kemampuan membentuk dan mengembangkan
karakter atau jatidiri siswa sebagai makhluk
sosial dan kultural, yakni karakter siswa yang
dicirikan oleh kesadaran dan pemahaman diri
terhadap arti penting dirinya sebagai makhluk
yang se-nantiasa ingin mencari kawan atau
sahabat, perlu bekerjasama, memba-ngun
relasi-relasi sosial di antara sesama manusia
guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan
personal, sosio-kulturalnya. Dengan kata lain,
kompetensi sosio-kultural ini berkaitan dengan
pembentukan
dan
pengembang-an
pengembangan
“kesadaran”
dan
“kepribadian” siswa sebagai makhluk sosiokultural. Dengan kepemilikan kompetensikompetensi sosial tersebut siswa SD sejak dini
diharapkan sudah terbentuk dan terbina
didalam dirinya bahwa mereka secara fitriah
adalah anggota masyarakat yang matang pada
saatnya
nanti.
Pembentukan
dan
pengembangan kompetensi-komptensi sosiokultural ini sesuai dengan tuntutan sosial pada
masa kini dan mendatang, termasuk tuntutan
di dalam masyarakat global (Saxe, 1991;
Stopsky & Lee, 1994).
Sejumlah kompetensi sosio-kultural
yang dikembangkan di dalam IPS-SD
berdasarkan standar isi dan standar kompetensi
lulusan SD adalah kemampuan:
 Memahami identitas keluarga, serta
mewujudkan sikap saling menghormati
dalam
kemaje-mukan
keluarga.
Kompetensi ini dikembangkan pada diri
siswa melalui pembentukan kemampuan:
mengidentifikasi
identitas
keluarga dan kerabat; men-ceriterakan
kasih sayang antar anggota keluarga;
dan menunjuk kan sikap hidup rukun
dalam kemajemukan keluarga.
 Mendeskripsikan kerja sama yang
terjadi di dalamnya. Kompetensi ini
dikembangkan pada diri siswa melalui
pem-bentukan kemampuan: memberi
contoh bentuk-bentuk kerjasama di
lingkungan tetangga; dan memahami
lingkungan
dan
melaksanakan
kerjasama di sekitar rumah dan sekolah.
 Menghargai peranan tokoh pejuang
dalam
mempersiapkan
dan
mempertahankan
kemerde-kaan
11
Indonesia.
Kompetensi
ini
dikembangkan pada diri siswa melalui
pembentukan
kemampu
an:
mendeskripsikan perjuangan para tokoh
pejuang pada masa
penjajahan
Belanda dan Jepang; menghargai jasa
dan peranan tokoh perjuangan dalam
mempersiapkan
kemerdekaan
Indonesia; menghargai jasa dan peranan
tokoh
dalam
memprok-lamasikan
kemerdekaan;
dan
menghargai
perjuangan
para
tokoh
dalam
mempertahankan
kemerdekaan
(Permendiknas no 22 dan 23 tahun
2006).
Kompetensi Intelektual-Keilmuan
Secara umum kompetensi intelektualkeilmuan diartikan sebagai kemampuan
berpikir atau bernalar yang didasarkan pada
adanya kesadaran atau keyakinan atas sesuatu
baik yang bersifat fisikal, sosial, kultural,
psikologis, dll. (inderawi atau tidak) yang
dipandang memiliki makna baik bagi dirinya
maupun orang lain (Dewey, 1910). Termasuk
dalam kompetensi intelektual-keilmuan dalam
pengertian ini adalah kemampuan berpikir
“standar” maupun “ilmiah”.
Berpikir standar adalah kemampuan
berpikir (thinking abilities), atau “cara-cara
berpikir” (ways of thinking) yang bersifat
“standar” bagi setiap manusia, tanpa harus
dikaitkan dengan cara-cara berpikir suatu
disiplin ilmu tertentu, melainkan lebih pada
upaya melatih dan membina siswa agar dapat
bermanfaat dalam memenuhi kebutuh-an
perkembangan hidup mereka, baik secara
psikologis, sosial dan budaya pada masa kini
dan mendatang (Hasan, 1993). Berpikir
ilmiah adalah kemampuan berpikir (thinking
abilities), atau “cara-cara berpikir” (ways of
thinking) berdasarkan pada kesadaran adanya
masalah yang perlu mendapatkan pemecahan
secara kritis-reflektif, objektif, daan dukungan
fakta yang mendukung dan teruji.
Secara
fitriyah,
kompetensi
intelektual-keilmuan merupakan satu-satunya
kemampuan yang hanya dinisbatkan kepada
manusia, tidak kepada makhluk lain. “Allah
has not created anything better than reason”.
Kompetensi
intelektual-keilmuan
juga
merupakan kekuatan terbesar manusia yang
memungkinkan mereka mampu berpikir dan
berbuat sehingga bisa melahirkan atau
menciptakan peradab-an tinggi seperti
sekarang ini (Somantri, 2001).
Adalah sunnatullah, bahwa pada diri
setiap manusia—termasuk siswa SD—terdapat
sejumlah dorongan dasar yang bersifat
intelektual-keilmuan, yaitu: (1) rasa ingin tahu
(sense of curiosity), (2) hasrat ingin
membuktikan secara nyata apa yang sedang
dan sudah dipelajari (sense of reality), (3)
dorongan untuk menemu-kan sendiri (sense of
dis-covery) (Sumaatmadja, 2003). Atas dasar
itu,
pembentukan
dan
pengembangan
kompetensi intelektual-keilmuan dalam IPSSD juga merupakan sebuah keniscayaan atas
fitrah diri siswa sebagai manusia.
Tujuan akhir pengembangan kedua
jenis kompetensi intelektual-keilmuan tersebut
adalah terbentuknya kemampuan siswa untuk
mengkon-struksi atau membangun (building/
construction) konsep-konsep dan gagasangagasan abstrak; maupun projek-projek nyata
(concreate pro-jects) dengan menyusun dan
menemu-kan kaitan antar unsur-unsur, atau
“mendekonstruksi”-nya
(deconstruct-ion)
menjadi unsur-unsur yang lebih kecil
berdasarkan
cara-cara
memper-oleh
pengetahuan yang bersifat “standar” atau
“ilmiah” bagi setiap siswa. Kedua kemampuan
tersebut dipandang sebagai kebutuhan dasar
kedua bagi setiap siswa di dalam memahami
dan memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi di dalam kehidupan masyarakat
(Saxe, 1994).
Sejumlah
kompetensi
dasar
intelektual-keilmuan yang terdapat di dalam
Permendiknas no 22 dan 23 tahun 2006
adalah:
 Mendeskripsikan kedudukan dan peran
anggota dalam keluarga, lingkungan
tetangga dan sekolah, serta kerja sama
yang terjadi di dalamnya. Kompetensi
ini dikembangkan pada diri siswa
melalui pembentukan kemampuan:
men-deskripsikan lingkungan rumah;
memahami peristiwa penting dalam
keluarga
secara
krono-logis;
mendeskripsikan kedu-dukan dan peran
anggota keluarga; memberi contoh
bentuk-bentuk kerjasama di lingkungan
12
tetangga; dan memahami lingkungan
dan melaksanakan kerjasama di sekitar
rumah dan sekolah; dan memahami
jenis pekerjaan dan penggunaan uang di
lingkungan keluarga, tetangga, dan
sekolah.
 Memahami sejarah, kenampak-an
alam, dan keragaman suku bangsa di
lingkungan
kabupa-ten/kota
dan
provinsi.
Kompe-tensi
ini
dikembangkan pada diri siswa melalui
pembentukan kemampuan: menghargai
berba-gai peninggalan dan tokoh
sejarah nasional, keragaman suku
bangsa serta kegiatan ekonomi di
Indonesia; mengenal sumber daya alam,
kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/ kota dan
provinsi; dan kemampuan menghargai
berba-gai peninggalan dan tokoh
sejarah yang berskala nasional pada
masa
Hindu-Budha
dan
Islam,
keragaman kenampakan alam dan suku
bangsa, serta kegiatan ekonomi di
Indonesia.
 Memahami perkembangan wilayah
Indonesia, keadaan sosial negara di
Asia Tenggara serta benua-benua.
Kompetensi ini dikembangkan pada diri
siswa
melalui
pembentukan
kemampuan:
mendeskripsikan
perkembangan
sistem adminis-trasi
wilayah Indonesia; mem-bandingkan
kenampakan alam dan keadaan sosial
negara-negara tetangga; dan mengidentifikasi benua-benua.
 Mengenal gejala (peristiwa) alam yang
terjadi di Indonesia dan negara
tetangga, serta dapat melakukan
tindakan dalam menghadapi bencana
alam. Kompetensi ini di-kembangkan
pada diri siswa melalui pembentukan
kemam-puan: mendeskripsikan gejala
(peristiwa) alam yang terjadi di
Indonesia dan negara tetangga; dan
mengenal
cara-cara
meng-hadapi
bencana alam.
 Memahami peranan Indonesia di era
global. Kompetensi ini dikembangkan
pada diri siswa melalui pembentukan
kemam-puan: menjelaskan peranan
Indonesia pada era global dan dampak
positif serta negatifnya terhadap
kehidupan bangsa Indonesia; dan
mengenal manfa-at ekspor dan impor di
Indonesia sebagai kegiatan ekonomi
antar bangsa (Permendiknas no 22 dan
23 tahun 2006)
Pengorganisasian Pengalaman Belajar
Integral dengan struktur kompetensi
IPS-SD di atas adalah pengorganisasian
pengalaman belajar. Artinya, untuk mencapai
ketiga struktur kompetensi IPS-SD tersebut,
guru dituntut untuk mampu merancang dan
mengorganisasikan “pengalaman-pengalaman
belajar bermakna” (meaningful learning
experiences) bagi siswa sesuai dengan sifat
dan karakteristik siswa, daerah, dan
kompetensi yang hendak dicapai dan
dikembangkan. Tanpa organisasi pengalaman
belajar bermakna seperti itu, dipastikan siswa
tidak akan mampu mencapai semua
kompetensi secara utuh.
Di dalam dokumen kurikulum IPS-SD
tahun 2004 dijelaskan, bahwa pengalaman
belajar--di dalam kurikulum 1994 disebut
uraian kegiatan--merupakan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa secara
berurutan (sekuensial) untuk mencapai
kompetensi tertentu. Penentu an urutan atau
rangkaian langkah pembelajaran sangat
penting artinya bagi materi-materi yang
memerlukan prasyarat tertentu. Pengalaman
belajar atau uraian kegiatan minimal mengandung dua unsur penciri yang mencer-minkan
pengelolaan pengalaman belajar siswa, yaitu:
kegiatan siswa dan materi (Depdiknas,
2003b).
Dokumen kurikulum IPS-SD tahun
2004 menekankan agar pengalaman belajar
dikembangkan
berdasarkan
pendekatan
pembelajaran yang bersifat spiral (mudah ke
sukar; konkret ke abstrak) dari Bruner (1978),
atau pendekatan “expanding commu-nities of
men” atau “the expanding of humans
community” dari Paul R. Hanna; atau
pendekatan “a broader horizon” dari CSS
(Saxe, 1991, appendix) yang menempatkan
siswa di “pusat lingkaran” (self-centric), dan
secara bertahap dan konsisten meluas ke
13
lingkaran lingkungan-lingkungan sosial dari
yang terdekat (sekitar) hingga terjauh (dunia).
Dasar
teoretik
dan
filosofis
pengemasan pengalaman belajar ini, menurut
Kliebard dan Akenson (Popke witz &
Maurice, 1991:34), dapat dilacak di dalam
“Herbart's system of philosophy”, yaitu sistem
filsafat yang asumsi-asumsi filosofisnya
berpusat pada “the analysis of experience”,
dan memandang bahwa “all mental
phenomena result from interaction of
elementary ideas” (Clark, 2000).
Formulasi pemikiran Herbart-ian
dirumuskan dalam “Teori Rekapitulasi
Kesadaran” (Recapitulati-on Theory of
Cognition), yang menempatkan kesadaran
pada “diri sendiri” sebagai “pusat sistem”,
kemudian meluas kepada kesadaran pada
dunia “di luar-diri” (Brassard, 2001:2).
Implikasinya adalah, bahwa pengorganisasian
pengalaman belajar “follows from building up
sequences of ideas important to the
individual”
(Clark,
2000).
Artinya,
pengalaman belajar harus dikembangkan
secara “sekuensial” dari konsep-konsep atau
gagasan-gagasan yang dipandang penting bagi
siswa dari yang bersifat “pengenalan diri siswa
sendiri” (self) meluas pada materi “pengenalan
dunia luar yang semakin meluas” (world),
terutama “dunia sosial” (social world).
2003; Wiriaatmadja, 2003). Karena itu pula,
benar pandangan Kliebard dan Akenson
bahwa dasar-dasar pemikiran pengemasan
pengalaman belajar IPS model Hanna (Bruner
dan CSS) tidak semata-mata diturunkan dari
ilmu-ilmu sosial, melainkan juga dipengaruhi
oleh konsepsi-konsepsi ilmiah dan predisposisi-predisposisi kultural dan institusi-onal,
serta menyatu dengan kebutuhan praktis
sekolah (Popkewitz & Maurice, 1991:34).
Lebih lanjut Kliebard dan Akenson
berpandangan, bahwa model pengemasan
pengalaman belajar Hanna—juga Bruner dan
CSS—di-dasarkan pada asumsi-asumsi epistemologis dari psikologi perkembangan anak,
bahwa semua perkembangan haruslah
mempunyai keseimbangan secara psikologis.
Berdasarkan asumsi tersebut, pengemasan
model peng-alaman belajar tersebut sangat
sesuai dengan minat dan pengalaman siswa,
tahapan perkembangan mental siswa, bisa
menciptakan kesatuan dan keterhubungan,
sejalan
dengan
pendi-dikan
kewarganegaraan; juga didasar-kan pada
keyakinan bahwa pola tersebut bisa
menggerakkan siswa belajar dari sesuatu yang
sederhana dan nyata menuju yang abstrak”.
Dengan kata lain, perspektif baru dalam
pengorganisasian pengalaman belajar IPS
model Hanna—juga Bruner dan CSS—telah
“dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial
dan kultural, maupun kemajuan teori-teori
ilmiah di dalam disiplin psikologi” (Akenson,
dalam Popkewitz & Maurice, 1991:34).
Bentuk-bentuk pengalaman belajar
bermakna
yang perlu dirancang dan
dikembangkan
guna
mencapai
ketiga
kompetensi IPS-SD di atas adalah sebagai
berikut (Depdiknas, 2003b; cf. Farisi, 2005):
Pengalaman Belajar Mental
Gambar 1: Teori Rekapitulasi Kesadaran
Manusia model Herbartian (Brassard, 2001:3).
Sistem filsafat Herbartian tersebut
diakui oleh pakar IPS sebagai “landasan
filsafat dalam gerakan IPS secara keseluruhan”
semenjak awal konseptualisasinya, baik di
Amerika maupun Indonesia (Saxe, 1991,
Hasan, 1993; Somantri, 2001; Sumaatmadja,
Pengalaman mental adalah bentuk
pengalaman belajar yang diperoleh melalui
pelibatan mental-psikologis siswa selama
pembelajaran. Termasuk pengalaman mental
adalah: (1) pengalaman kognitif dan metakognitif, yaitu pengalaman belajar berkaitan
dengan aspek jenis penge-tahuan (faktual,
konseptual, dan pro-sedural); bagaimana cara
mengetahui; cara membangun pengetahuan,
dan pengetahuan tentang apa yang di-ketahui,
termasuk strategi untuk mengetahui dan
14
kontrol terhadap pe-ngetahuan yang dimiliki.
Kebermakna-an pengalaman kognitif dan
meta-kognitif ini sangat bergantung pada
konteks
personal,
sosiokultural,
serta
karakteristik isi pengetahuan yang sudah
dimiliki siswa. (2) pengalaman logikamatematika, yaitu pengalaman belajar
berkenaan dengan pengalaman membangun
atau mengkonstruksi relasi-relasi antar objek
dalam bentuk simbol-simbol matematis. (3)
Penga-laman normatif/afektual, yaitu pengalaman belajar yang didapatkan siswa dari
hasil relasi dan interaksinya dengan satu atau
beberapa jenis nilai, sikap, etika, moral,
dan/atau keyakinan yang diperoleh dari peranperan sosial, kultural, dan keagamaan dan
bentuk-bentuk keadilan di dalam institusiinstitusi sosial, budaya, dan agama. Termasuk
pengalaman normatif/afek-tual yang diperoleh
siswa dari kehidupan sekolah.
Beberapa bentuk pengalaman mental
yang dapat diberikan kepada siswa antara lain
melalui membaca buku, mendengarkan
ceramah,
mende-ngarkan berita radio,
melakukan pere-nungan, menonton televisi
atau film. Pada pengalaman belajar melalui
pengalaman mental, biasanya siswa hanya
memperoleh informasi melalui indera dengar
dan lihat. Ditinjau dari tingkat perkembangan
anak, pengalam-an belajar melalui indera
dengar lebih sulit daripada melalui indera lihat
karena melalui indera dengar di-perlukan
kemampuan abstraksi dan konsentrasi penuh.
Pengalaman Belajar Fisikal
Pengalaman fisikal adalah bentuk
pengalaman belajar siswa yang diperoleh dari
hasil relasi-relasi dan interaksi-interaksi
dengan lingkungan fisik yang kemudian
digunakan untuk mengabstraksikan berbagai
sifat dari benda-benda fisikal.
Pengalaman belajar jenis ini dapat
diberikan melalui kegiatan pengamatan,
percobaan, penelitian, kunjungan, karya
wisata/study tour, pembuatan buku harian, dan
beberapa bentuk kegiatan praktis lainnya.
Lazimnya, siswa dapat memanfaatkan seluruh
inderanya ketika menggali informasi melalui
pengalaman fisik.
Pengalaman Belajar Sosial
Pengalaman sosial adalah ben-tuk
pengalaman belajar yang diperoleh siswa
melalui aktivitas relasi dan/atau interaksi
siswa dengan satu atau beberapa lingkungan
sosial-budaya yang berbeda.
Pengalaman belajar jenis ini dapat
diberikan melalui aktivitas wawancara dengan
tokoh, bermain peran, berdiskusi, bekerja
bakti, melakukan bazar, pameran, jual beli,
pengumpulan dana untuk bencana alam, atau
ikut arisan. Pengalaman belajar ini akan lebih
bermanfaat kalau masing-masing siswa diberi
peluang untuk berinteraksi satu sama lain:
bertanya,
menjawab,
berkomentar,
mempertanyakan
jawaban,
mendemonstrasikan, dan sebagainya.
Sejalan dengan prinsip keterpaduan
pembelajaran di SD, dan karakteristik
kompetensi IPS-SD, maka ketiga jenis
pengalaman belajar di atas juga harus
diberikan kepada siswa secara terpadu
(integrated leaning experiences). Selain itu,
mengingat belajar merupakan proses siswa
membangun gagasan/pemahaman sen-diri,
maka kegiatan pembelajaran hendaknya
mampu memberikan kesempatan seluasluasnya kepada siswa untuk berbuat, berpikir,
berinteraksi sendiri secara lancar dan
termotivasi tanpa hambatan guru.
Suasana belajar yang disedia-kan guru
hendaknya juga memberikan peluang kepada
siswa untuk melibat-kan mental secara aktif
melalui beragam kegiatan, seperti kegiatan
mengamati,
bertanya/mempertanyakan,
menjelaskan,
berkomentar,
mengaju-kan
hipotesis, mengumpulkan data, dan sejumlah
kegiatan mental lainnya. Guru hendaknya
tidak memberikan bantuan secara dini dan
hendaknya selalu menghargai usaha siswa
meskipun hasilnya belum sempurna.
Guru juga perlu mendorong siswa
supaya siswa berbuat/berpikir lebih baik,
misalnya melalui pengajuan pertanyaan
menantang yang ‘menggeli-tik’ sikap ingin
tahu dan sikap kreativitas siswa. Dengan cara
ini, guru selalu mengupayakan agar siswa
terlatih dan terbiasa menjadi pelajar sepanjang
hayat. Beberapa strategi dan metode
pengajaran perlu memprioritas-kan situasi
nyata. Kalau sulit menyediakan situasi nyata,
baru menyediakan alternatif di bawahnya
seperti situasi buatan, atau alat audio-visual,
atau alat visual, dan cara dengan pola audio
(ceramah baru dipilih setelah keempat cara ini
15
tidak mungkin
2003b):.
disediakan)
(Depdiknas,
Dari sudut pandang kekonkret-an
(non-verbal) dan keabstrakannya (verbal),
pengalaman
belajar
bermakna
dapat
dikembangkan dalam bentuk situasi nyata,
situasi buatan, dan situasi dengar dan lihat
(audio-visual), seperti dapat dilihat dari
kerucut pengalaman belajar menurut Edgar
Dale (Asmin, 2002) berikut:
sebagai bandingan, berikut adalah kerucut
pengalaman belajar yang terdapat di dalam
dokumen KBK (Depdiknas, 2003b).
Gambar 3: Kerucut Pengalaman Belajar dalam
KBK 2004
Sejumlah contoh jenis kegiatan belajar
yang dapat memberikan pengalaman belajar
yang bisa dipilih oleh guru antara lain:
menggubah syair lagu dan bernyanyi;
melakukan permainan; bermain peran; diskusi
(bertanya,
menjawab,
berkomentar,
mendengar
penjelasan,
menyanggah);
menggambar dan mengarang; menulis prosa,
puisi, pantun, gurindam; membaca bermakna;
menyimak untuk menangkap gagasan pokok;
dll. (selegkapnya periksa: Depdiknas, 2003b).
Hal penting yang juga perlu
diperhatikan
dalam
mengembangkan
pengalaman belajar adalah, bahwa semua
kebutuhan
pembelajaran
siswa
seperti
kegiatan, materi, bahan, media, dan sumber
belajar, harus diupayakan dan dikembangkan
sendiri oleh guru. Guru tidak selayaknya
menggantung-kan diri pada kegiatan, materi,
bahan, media, dan sumber belajar yang
diproduksi oleh pihak lain. Hal ini mengingat,
bahwa tidak semua kegiatan, materi, bahan,
media, dan sumber belajar tersebut relevan
dengan kebutuhan siswa dan pembelajaran di
masing-masing kelas/sekolah.
Berbeda dengan kurikulum 1994 di
mana input proses belajar-mengajar (PBM)
seperti alat, bahan, dan sumber belajar
dicantumkan dalam dokumen kurikulum 1994,
sedangkan di dalam KBK tidak dicantumkan
(Depdiknas, 2003b).
Hal ini
berarti
pengemasan pengalaman belajar di dalam
kurikulum berbasis kompetensi semakin
memberi peluang dan kewenangan luas kepada
guru untuk merencanakan, menentukan, dan
mengembangkan kegiatan, materi, bahan,
media, dan sumber belajar yang dibutuhkan di
dalam pembelajaran yang dikelola.
Setelah
pengalaman-pengalam-an
belajar dirancang, langkah selanjut-nya adalah
menentukan langkah-langkah pembelajaran,
yang memuat deskripsi atau uraian lengkap,
rinci, dan saling berkaitan secara utuh dari
setiap unsur aktivitas pembelajaran. Langkahlangkah pembelajaran tadi harus terarah pada
upaya
pemberian
pengalaman
belajar
bermakna bagi siswa; dan mengacu pada
pencapaian kompetensi yang diinginkan. Pada
tahapan ini tugas guru adalah meran-cang dan
mengembangkan kegiatan, materi, bahan,
media, dan sumber belajar yang akan
dibunakan ke dalam skenario pembelajaran
yang lengkap, rinci,
terstruktur dan
sekuensial, serta saling berkaitan secara utuh,
dari tahap awal, kegiatan inti, hingga kegiatan
akhir.
Unsur terpenting dalam sebuah
langkah-langkah
pembelajaran
adalah
keterkaitan dan kesatuan antara struktur dan
sekuensi (urutan langkah-langkah) dari
aktivitas siswa (students activities) dan
aktivitas guru (teacher activities). Yang
dimaksudkan dengan aktivitas siswa adalah
16
segala kegiatan yang siswa harapkan dan
butuhkan untuk dilakukan, apakah melalui
pengalaman
langsung
yang
bermakna,
simulasi,
demonstrasi,
pembelajaran
terbimbing, atau intraksi dengan bahan-bahan
tertulis, dalam upaya siswa untuk belajar,
berpraktik, menerapkan, menilai, atau caracara lain untuk merespon terhadap muatan
kurikulum (pengetahuan, keterampilan, nilai,
atau kecenderungan untuk bertindak) (Brophy
& Alleman, 1991). Semua aktivitas belajar
siswa tadi harus disesuaikan dengan
keragaman karakteristik individual siswa.
Aktivitas guru adalah segala bentuk
kegiatan guru yang dilakukan untuk
memfasilitasi segala kegiatan siswa bagi
tercapainya
tujuan
pembel-ajaran
atau
kompetensi dasar yang diharapkan. Oleh
karena antara kegiat-an siswa dan guru saling
berkaitan, maka adanya struktur dan sekuensi
aktivitas guru atau siswa, sangat penting
artinya agar tidak terjadi inkonsistensi dalam
pelaksanaan pembelajaran, atau terjadinya
duplikasi atau pengulangan aktivitas yang
tidak perlu dan tidak selayaknya terjadi.
Menyatu dengan aktivitas siswa dan
guru tadi adalah bagaimana guru dan siswa
secara bersama-sama memanfaatkan bahanbahan belajar, sumber-sumber belajar, dan
tugas-tugas belajar; bagaimana metode,
pendekatan, strategi, dan media/ teknologi
pembelajaran diterapkan selama pembelajaran
bagi terciptanya kondisi atau konteks
pembelajaran
yang
secara
psikologis
menyenangkan, membetahkan, menarik, tidak
menjemu kan, tidak membosankan; dan secara
sosio-kultural sangat aktif-partisipatif, dan
komunikatif.
Struktur dan sekuensi aktivitas guru
dan siswa yang akan dilakukan selama
pembelajaran, juga bagaimana pemanfaatan
bahan-bahan belajar, sumber-sumber belajar,
dan tugas-tugas belajar tersebut
harus
digambar-kan rinci dan jelas, tidak dibuat
dalam bentuk “pointer-pointer”. Unsur lain
yang juga perlu ada di dalam langkah-langkah
pembelajaran adalah pembagi-an alokasi
waktu belajar (time consumption) yang
dibutuhkan siswa untuk menyelesaikan semua
bahan dan tugas belajarnya, serta kompetensi
dasar yang ingin dicapai pada setiap penggal
pembelajaran.
Sangat diharapkan, agar penyu-sunan
langkah-langkah pembel-ajaran mengacu pada
“model pembelajaran” (model of teaching)
tertentu, sehingga jenis pengalaman belajar
bermakna yang akan diberikan kepada siswa,
dan kompetensi dasar yang diinginkan lebih
terstruktur, sistematis, terfokus dan bisa
dicapai lebih efektif. Model pembelajaran
adalah suatu analog konseptual tentang
pembelajar-an yang menyarankan bagaimana
sebuah proses pembelajaran selayak-nya
dilakukan. Model pembelajaran juga dapat
diartikan sebagai sebuah struktur konseptual
tentang pembelajar an yang dapat membantu
memberikan bimbing-an atau arahan kepada
guru di dalam mengelola dan mengembangkan
aktivi-tas pembelajaran agar tujuan yang
diharapkan dicapai efektif. Seperti pendekatan
pembelajaran, sebuah model pembelajaran
juga dikembang-kan atas dasar pertimbanganpertim-bangan filosofis, psikologis, sosial,
kultural tentang hakikat siswa, guru, materi,
bidang studi, juga ikhwal pembelajaran serta
tujuan atau hasil yang hendak dicapai.
Untuk keperluan ini, Joyce & Weil
(1986) menyediakan kepada kita sejumlah
altermatif model pembelajar-an yang bisa
digunakan untuk keperluan penyusunan
langkah-langkah pembelajaran. Secara garis
besar, model-model pembelajaran tersebut
diklasifikasi menjadi tiga rumpun, yaitu: (1)
pemrosesan informasi; (2) personal; (3) sosial;
dan (4) sistem perilaku. Setiap model
pembelajaran memiliki prosedur atau sintaks
pembelajaran tertentu. Akan tetapi pro-sedur
dari semua model pembelajaran dapat
diidentifikasi menjadi kegiatan awal hingga
akhir dan mengarah pada pencapaian tujuan
akhir pembelajaran. Prosedur pembelajaran
yang umum dikenal dan dilaksanakan di
Indonesia terdiri dari: (1) pra-KBM; (2)
kegiatan awal; (3) kegiatan inti; (4) kegiatan
akhir; dan (5) tindak lanjut.
Penutup
Pemahaman terhadap hakikat dan
struktur kompetensi IPS-SD merupakan aspek
penting agar refor-masi kurikulum berbasis
kompe-tensi mencapai sasaran yang dicitakan.
Agar kompetensi-kompetensi IPS-SD terse-but
terartikulasikan
pada
tingkat
praksis
pembelajaran di sekolah, maka pengalaman
17
belajar yang dikembang-kan juga berorientasi
dan berpijak pada kompetensi-kompetensi
yang ditetap-kan. Jika tidak, kebermaknaan
peng-alaman belajar mustahil diraih siswa, dan
konsep kurikulum berbasis kompetensi pun
akhirnya lebih banyak berfungsi sebagai
formalitas atau label yang tidak bermakna.
Pamekasan, 14 Agustus 2006
Daftar Rujukan
Alleman, J.E. & Rosaen, C.E. (1991). The
Cognitive, Social, Emoti-onal, and Moral
Development Characteristics of Students:
Ba-sic for Elementary and Middle School
Social Studies. Dalam James P. Shaver, (ed).
Handbook of Research on Social Studies
Teaching and Learning. New York:
McMillan Publishing Company. 109-120.
Arief Achmad MSP. (2004). Quo Vadis,
Pendidikan IPS di Indone-sia? Dalam
Pendidikan Network. (Versi elektronik).
Asmin. (2001). Konsep dan Metoda Pembelajaran
Untuk Orang De-wasa (Versi elektronik).
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 034.
25-32.
Banks, J.A. (1995). Transformative Challenges to
the Social Sciences Disciplines: Implications
for Social Studies Teaching and Learning.
Dalam Theory and Research in Social
Education, XXIII(1), 2-20.
Barr, R.D., Barth, J.L., & Shermis, S.S. (1977).
Defining the Social Studies. Virginia:
National Council for the Social Studies.
Brassard, L. (2001). “Recapitulation Theory of
Cognition”.
Tersedia
di:
http://www.webnow.com/ herbart. [29-102002]
Brameld, T. (1966). Philosophy of Education in
Cultural Perspect-ive. New York: Holt,
Rinehart and Winston, Inc.
Brophy. J. & Alleman, J. (1996). Powerful Social
Studies for Elementary Studies. Florida:
Harcourt Brace & Company.
Bruner, J.S. (1978). The Process of Education.
Cambrigde: Harvard University Press.
Clark, D. (2000). Herbart's System of Philosophy.
Tersedia
di:
http://www.nwlink.com/~donclark/hrd/histor
y/history.html. [29-10-2002]
Depdikbud. (1975). Buku Garis-garis Besar
Program Pengajaran Bidang Studi Ilmu
Pengetahuan Sosial.Jakarta.
Depdikbud. (1986). Kurikulum Sekolah Dasar:
Garis-garis Besar Prog-ram Pengajaran
Mata-pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. (1994). Kurikulum Sekolah Dasar:
Garis-garis Besar Prog-ram Pengajaran
Mata-pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas.
(2001).
Kurikulum
Berba-sis
Kompetensi: Kompetensi Dasar Mata
Pelajaran Ilmu Sosial untuk Sekolah Dasar.
Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pusat
Kurikulum Depdiknas.
Depdiknas.
(2003a).
Kurikulum
Berba-sis
Kompetensi: Standar Kompe-tensi Mata
Pelajaran Pengetahu-an Sosial SD & MI.
Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang
Depdiknas.
Depdiknas. (2003b). Pelayanan Profes-ional
Kurikulum 2004: Belajar Mengajar yang
Efektif . Jakarta: Puskur-Depdiknas.
Dewey, J. (1910). How We Think. tersedia di:
www.spartan.ac.
brocku.ca/~lward/dewey/dewey1910.html
[10 Juni 2002].
Dimyati, M. (1989). Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial
di Sekolah: Bagian Integral Sistem Ilmu
Pengetahu-an. Jakarta: Depdikas, Ditjen
Dikti, P2LPTK.
Farisi, M.I. (2005). Rekonstruksi Dasar-dasar
Pemikiran Pendi-dikan Ilmu Pengetahuan
Sosial berdasarkan Perspektif Konstruk
tivisme. Disertasi Doktor. Tidak diterbitkan.
PPS Universitas Pendidikan Indonesia.
Hasan, S.H. (1993). Tujuan Kurikulum Ilmu
Pengetahuan
Sosial
(IPS).
Jurnal
Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial (JPIS). edisi
perdana. 92-101.
Hasan, S.H. (1996). Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial.
(Buku Satu). Bandung: Jurusan Pendidikan
Sejarah FPIPS-IKIP.
Hursh, D.W. & Ross, E.W. (2000). Democratic
Social Education: Social Studies for Social
Change. dalam Hursh, D.W. & Ross, E.W.
(eds). Democratic Social Education: Social
Studies for Social Change. New York &
London: Falmer Press. 1-22.
Jantz, R.K. & Klaweitter, K. (1985). Early
Childhood/Elementary So-cial Studies: A
Review of Recent Research. Dalam Stanley,
W.B. (ed). Review of research in Social
Studies Eucation: 1976-1983. New York:
NCSS. 65-122.
Jarolimek, J. (1977). Social Studies in Elementary
School, (5th ed). New York: Mc Millan
Publish-ing Co, Ltd., Collier McMillan
Publisher Company.
Joyce, B. & Weil, M. (1986), Teaching, Santa
Monica, Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Kalidjernih, F.K. (2005). Post-Colonial Citizenship
Education: A Critical Study of the
Production and Reproduction of the
18
Indonesian Civic Ideal. Thesis Doctor of
Phylosophy, unpublished. University of
Tasmania.
KBK Tidak Jadi: Kurikulum Baru Disesuaikan
Standar Isi Kompetensi. (10 Februari 2006).
Dalam Kompas.
Lapp, D, et.al. (1975). Teaching and Learning:
Philosophical, Psycho logical, Curricular
Applications. New York: Macmillan
Publish-ing Co., Inc.
Lybarger, M.B (1991). The Historiography of
Social Studies: Retrospect, Circumspect, and
Prospect, dalam Shaver, J.P. (eds).
Handbook of Research on Social Studies
Teaching and Learning. New York:
Macmillan Publishing Company. 3-15.
Martorella, P.H. (1985). Elementary Social Studies:
Developing Ref-lective, Competent, and
Concern-ed Citizens. Boston, Toronto:
Little, Brown and Company.
NCSS. (1989). Charting A Course: Social Studies
for the 21st Century ( A Report of the Curriculum Task Force of the National
Commission on Social Studies in the
Schools. Washington: NCSS.
NCSS. (1994). Expectations of Excel-lence:
Curriculum Standards for Social Studies.
Washing-ton: NCSS.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasio-nal Nomor
22 Tahun 2006 ten-tang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Mene-ngah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasio-nal Nomor
23 Tahun 2006 ten-tang Standar Kompetensi
Lulus-an untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasi-onal Nomor
24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendi-dikan Dasar dan
Menengah
dan
Peraturan
Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidik-an Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah nomor 15 Tahun 2005
tentang Standar Pendidikan Nasional
Popkewitz, T.S. & Maurice, H.S. (1991). Social
Studies Education and Theory: Science,
Knowled-ge, and History. dalam Shaver, J.P.
(ed). Handbook of Research on Social
Studies Teaching and Learning. New York:
Macmillan Publishing Company. 27-40.
Saxe, D.W. (1991). Social Studies in Schools: A
History of The early Years. New York: State
University of New York Press.
Saxe, D.W. (1994). Social Studies for the
Elementary Teacher. Boston: Allyn and
Bacon.
Soetjipto, R. ed. (1980). Metodologi Ilmu
Pengetahuan Sosial. Jakarta: Depdikbud.
Somantri, N. (1991). “Jatidiri (Iden-titas) Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial-IKIP
dan Jurusan Pendidikan IPS FKIPUniversitas”. Makalah disampai-kan pada
Forum Komu-nikasi FPIPS-IKIP dan JPIPSFKIP-Universitas se Indonesia, Yogyakarta.
Somantri, N. (2001). Menggagas Pembaharuan
Pendidikan IPS. Dedi Supriadi & Rohmat
Mulyana (eds). Bandung: PPS-FPIPS UPI
dan PT. Remadja Rosda Karya.
Stopsky, F. & Lee, S.S. (1994). Social Studies in a
Global Society. Columbia: Delmar Publ. Inc.
Sumaatmadja, N. (2003). Pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial
pada Tingkat
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial. No.20 Tahun XI,
edisi Januari – Juni. 28-35.
Sumantri, M. (2002). Pengembangan Potensi
Siswa dengan Kurikulum Terpadu untuk
menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya.
Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar tetap
dalam bidang Ilmu Perencanaan Kurikulum
pada FIP-UPI. Bandung:UPI.
Tuxworth, E. (1995). Competence Based Education
and Training: Background and Origins.
dalam Burke, J. (ed). Competency-Based
Education and Training. London-New York:
The Palmer Press. 10-25
Wardani, I.G.A.K. (2003). Kurikulum Berbasis
Kompetensi:
Apa,
Me-ngapa,
dan
Bagaimana
Imple-mentasinya.
Jurnal
Pendidikan, Vol. 1 nomor 4. 1-10.
Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik
Pendi-dikan Demokrasi (Suatu Kajian
Konseptual dalam Konteks Pen-didikan
IPS). Disertasi Doktor, tidak diterbitkan,
PPS Universi-tas Pendidikan Indonesia.
Wiriaatmadja, R. (2003). Pembelajaran IPS di
Tingkat
Sekolah
Dasar.
Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial. No.20 Tahun XI,
edisi Januari – Juni. 22-27.
Wyner, N.B & Farquhar, E. (1991). Cognitive,
Emotional, and Social Development: Early
Childhood Social Studies. dalam James P.
Shaver (ed), Handbook of Re-search on
Social Studies Teach-ing and Learning, New
York: McMillan Publishing Company. 109120.
19
IMPLEMENTASI PERAN DAN FUNGSI TRILOGI PENDIDIKAN
MEMASUKI ERA GLOBALISASI *
Oleh:
Mohammad Harijanto **
Abstrak
Hembusan era globalisasi gemanya tidak hanya menerpa bidang ekonomi dan
informasi/telekomunikasi saja, tetapi menyentuh hampir semua tatanan
kehidupan umat manusia. Permasalahan dibidang pendidikan adalah apa peran
dan fungsi trilogi pendidikan dalam memasuki era globalisasi ini. Trilogi
pendidikan global berkaitan dengan hal berikut: (1) Demokratisasi, (2)
Modernisasi, dan (3) Adaptasi
Kata Kunci: implementasi, peran, fungsi, trilogi, pendidikan
Pendahuluan
Pendidikan berlandaskan ajaran
Islam dimulai sejak datangnya para
saudagar Gujarat India ke Nusantara pada
abad ke 13. Islam mula-mula berkembang di
kawasan pantai terbukti dari fakta sejarah
bahwa pusat penyebaran agama Islam
membentang mulai dari Banten, Cirebon,
Demak, hingga ke Gresik. Pendidikan
agama Islam di masa pra-kolonial dalam
bentuk pendidikan di surau atau langgar,
pendidikan di pesantren, dan pendidikan di
madrasah.
Di pesantren, para santri tinggal di
tempat pemondokan sederhana yang biasa
disebut pondok, dengan sifat khusus: (1)
pelajaran
bersifat
keagamaan,
(2)
Penghormatan yang tinggi kepada guru, (3)
Tidak ada gaji atau upah khusus untuk guru
karena motivasinya semata-mata karena
Allah, (4) Santri datang secara sukarela
untuk menuntut ilmu (Wahyudin, 2004:417).
*
**
Pendidikan di Indonesia dewasa ini
menciptakan sistem pendidikan yang
mantap, berorientasi pada pencapaian
tujuan pendidikan nasional, dan mampu
menjawab tantangan masa kini dan masa
depan pendidikan nasional dewasa ini
ditata dan dikembangkan dengan
memberikan prioritas pada wajib
belajar pendidikan sembilan tahun.
Pelaksanaan KBK, Pengadaan buku
pelajaran, dan Pembinaan mutu guru.
Hembusan era globalisasi gemanya
tak hanya menerpa bidang ekonomi dan
informasi/telekomunikasi
saja,
tetapi
menyentuh
hampir
semua
tatanan
kehidupan umat manusia. Esensinya
adalah bahwa kerjasama internasional
antar negara merupakan prasyarat dalam
menata kehidupan global yang lebih baik.
Globalisasi bukan berarti persaingan antar
bangsa dalam arti sempit, bukan pula
penindasan si kuat kepada si lemah
(hukum rimba), tetapi lebih merupakan
Disajikan dalam kegiatan seminar Pendidikan Bersama Bupati Pamekasan Tanggal 24 Desember 2005 di Kabupaten
Pamekasan
Dosen FKIP-UT di UPBJJ Surabaya
20
pranata baru antar bangsa yang berpijak pada
semangat kebersamaan guna kehidupan
masyarakat yang lebih baik. Di tengah
pesimisme konflik kepentingan antar bangsa di
beberapa bagian belahan dunia, ternyata
globalisasi menjanjikan nuansa baru bagi
kehidupan
yang
lebih
arif
dengan
berlandaskan
kebersamaan,
saling
menghormati, dan saling membutuhkan.
Konsekwensi logis adanya globalisasi di
bidang pendidikan menyangkut hal berikut:
1. Dalam globalisasi, sistem nilai dan filsafat
merupakan posisi kunci dalam garapan
pendidikan nasional. Semua negara
menempatkan sistem nilai dan etika sebagai
landasan
utama
dalam
merancang
kurikulum nasionalnya.
2. Globalisasi menurut adanya angkatan kerja
yang berkualifikasi dan berpendidikan
(skilled educated employees). Dalam
masyarakat informasi, lapangan kerja
terutama dialamatkan pada mereka yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang berlatar pendidikan yang memadai.
Sebaliknya,
mereka
yang
miskin
keterampilan dan tuna pendidikan, akan
berderet mengisi barisan pengengguran
atau sebagai kelompok pekerja dengan gaji
yang sangat minim.
3. Kerja sama pendidikan mutlak diperlukan.
Kerja sama internasional di bidang
pendidikan adalah sisi lain daripada
konsekuensi globalisasi. Bantuan dana,
pengiriman tenaga ahli, ataupun pemberian
beasiswa dan pengiriman siswa tugas
belajar keluar negeri merupakan salah satu
bentuk kerja sama internasional di bidang
pendidikan.
Menurut Syamsudin, A. (2002:1.3)
manusia diciptakan Tuhan dengan
segenap potensi yang akan menjadi
modal dasar bagi perkembangannya.
Perkembangan pendidikan dilihat dari
dimensi inovasi: (1) Muncul dari
pihak
bawah
(desentralisasi).
Pandangan ini menyatakan bahwa
agar pembaharuan itu terlaksana
dengan penuh makna, dan tumbuh
mengakar di masyarakat luas,
sebaiknya ide pembaharuan muncul
dari pihak bawah (change from the
grass roots), (2) Muncul dari pihak
atas atau pusat sebagai penentu
kebijakan (sentralisasi). Pandangan
ini menyatakan bahwa tanpa ada restu
atau keputusan kebijaksanaan dari
pihak atas atau pusat maka orangorang yang ada di bawah dan daerah
akan merasa ragu-ragu atau kurang
merasa terdorong untuk ikut serta
menyebarkan dan melaksanakan
pembaharuan. dan (3) Muncul sedikit
demi sedikit, aspek demi aspek tetapi
terus menerus dari waktu ke waktu
(Wahyudin, D:2004:8.7).
Dalam bidang pendidikan menurut
Robinson Situmorang, dkk (2005:2.3)
misalnya
keadaan
saat
ini
menunjukkan lambatnya para lulusan
menerima ijazah dari perguruan
tempat mereka belajar.
Dari
harapan
dan
kenyataan
sebagaimana diuraikan di atas maka
permasalahan yang muncul adalah
apa peran dan fungsi trilogi
pendidikan dalam memasuki era
globalisasi ini ?
Implementasi Trilogi Pendidikan
Memasuki Era Globalisasi Abad 21
Ihwal globalisasi di bidang pendidikan
ini sebenarnya telah dirintis semenjak dua
dasawarsa yang lalu oleh badan dunia PBB.
Lewat “trilogi pendidikan global” misalnya,
badan dunia PBB di bidang pengembangan
telah mencanangkan tiga kebutuhan mendesak
bagi pendidikan global, terutama bagi negara
berkembang, yaitu:
1. Demokratisasi pendidikan
2. Modernisasi
pendidikan
menghormati identitas budaya
dengan
3. Adaptasi pendidikan dengan tuntutan
pekerjaan produktif searah dengan
kebutuhan lapangan kerja (Supriadi,
2004:2.21)
Di bidang demokratisasi pendidikan,
peran dan fungsinya tercuat nilai hakiki
tentang pendidikan itu sendiri bahwa melalui
pendidikan yang ditempuh dimaksudkan untuk
mendidik masyarakat dalam hal berikut:
a. Menuju kemandirian,
21
b. Menuju ke suatu wujud pemerataan untuk
memperoleh pendidikan seluas-luasnya.
1. Peralihan dari masyarakat industri kepada
masyarakat informasi
c. Pendidikan adalah universal dan hak
semua orang atau lazim juga disebut
sebagai education is universal and for all.
2. Peralihan dari teknologi yang dipaksakan
kepada teknologi tinggi dan sentuhan
tinggi
Ketiga hal di atas sesuai dengan prinsip
penyelenggaraan
pendidikan
dimana
pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak deskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai
keagamaan,
nilai
kultur,
dan
kemajemukan bangsa (UURI Nomor 20,
2003:76).
3. Peralihan dari ekonomi nasional menuju
ekonomi dunia
Dalam hal modernisasi pendidikan,
peran dan fungsinya mencakup antara lain
keragaman alternatif dalam pelayanan
pendidikan dan proses belajar-mengajar.
Beberapa bentuk modernisasi pendidikan
antara lain:
7. Dari demokrasi perwakilan
demokrasi partisipatoris
a. Pendidikan jarak jauh,
b. Pendidikan dengan multimedia,
c. Cara belajar tuntas, atau dengan
pendekatan non konvensional lainnya
dalam bidang pendidikan. Semuanya itu
bermuara sama ke arah globalisasi
pendidikan, serta pemerataan perolehan
pendidikan untuk semua orang tanpa
rintangan atau hambatan baik secara
geografis, psikis, fisik, finansial maupun
halangan yang sifatnya dukungan kultural.
Adaptasi pendidikan merupakan hakikat
usaha ke arah menjembatani kesenjangan
antara angkatan kerja yang dihasilkan lembaga
pendidikan dengan lapangan kerja yang
tersedia. Peran dan fungsi menyangkut hal
berikut:
a.
Kesenjangan ini bisa bersifat kesenjangan
okupasional,
b.
Kesenjangan akademik, ataupun mungkin
kesenjangan kultural/ budaya, karena
masyarakat belum siap secara kultur
dalam mengantisipasi gejolak perkembangan yang ada.
Antisipasi
garapan
pendidikan
menghadapi kehidupan abad ke 21 berkaitan
dengan prediksi menghadapi kehidupan abad
mendatang. John Naisbitt (dalam Wahyudin,
2004:2.22) menyebut perubahan masa depan
dengan sepuluh arah yaitu:
4. Peralihan dari perencanaan jangka pendek
menuju perencanaan jangka panjang
5. Dari sentralisasi menuju desentralisasi
6. Dari bantuan institusional menuju ke
bantuan individual
menuju
8. Peralihan dari hierarki-hierarki menuju
kepada penjaringan (network)
9. Peralihan dari utara menuju ke selatan,
dan
10. Peralihan dari satu pilihan kepada pilihan
majemuk.
Dalam konteks nasional, antisipasi
garapan pendidikan nasional menghadapi
kehidupan abad mendatang, secara yuridis
formal telah tersurat pada Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah
satu kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah
bahwa sistem pendidikan nasional menjamin
pemerataan
kesempatan
pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan
sesuai
tuntutan
perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga
perlu dilakukan pembaharuan pendidikan
secara terencana dan berkesinambungan
(UURI Nomor 20, 2003:70). Sebagai
perbandingan dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1989 tercantum bahwa Pendidikan
nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan pengembangan manusia Indonesia
seutuhnya.
Dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan
sebagaimana terdapat pada pasal 2 dinyatakan
bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan
pada pasal 3 dinyatakan bahwa pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta
22
peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. (UURI Nomor 20, 2003:76)
Bila bangsa ingin berkualitas setara
dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia,
maka latar pendidikan warganya harus
meningkat, minimal lulusan SLTP atau
sederajat. Dengan demikian, meningkatnya
mutu sumber daya manusia secara nasional,
bagaimanapun juga akan membawa bangsa
kita ke arah kehidupan yang lebih baik.
Menurut Tisno Hadi Subroto (2005:1.8)
Pendidikan
yang
efektif
memberikan
kemudahan untuk terciptanya kesempatan
yang kaya untuk melihat dan membangun
kaitan-kaitan konseptual.
Ada beberapa gagasan yang mungkin
dapat dipertimbangkan dalam menyiapkan
garapan pendidikan nasional, khususnya dalam
antisipasi menghadapi kehidupan abad 21
mendatang
sebagaimana
dikemukakan
Iskandar Alisyahbana (dalam Wahyudin, D,
2004:223):
1. Pendidikan bukan hanya berurusan dengan
transmisi pengetahuan dan keterampilan,
tetapi juga dengan preferensi lain. Itu
berarti bahwa pendidikan berhubungan
erat dengan nilai-nilai, dan sebagian nilainilai itu adalah berkenaan dengan
nasionalisme
2. Negara kita adalah negara kepulauan.
Secara potensial, sumber-sumber kita ada
di darat dan di perairan. Kita bertanggung
jawab untuk melindungi sumber alam
tersebut serta memanfaatkannya sebaikbaiknya untuk kemaslahatan bangsa. Ini
berarti kita perlu cukup banyak orang
berlatih untuk pemanfaatan sumbersumber tersebut
3. Di masa depan mungkin sekali ada
perubahan dan fluktuasi yang berarti
dalam penyebaran penduduk. Oleh sebab
itu,
perlu
dikembangkan
sistem
pendidikan yang cukup luwes yang
mampu secara cepat menyesuaikan diri
dengan perubahan tersebut
4. Di masa depan perlu memberi peranan
yang seluas-luasnya kepada kaum wanita
untuk mendapat kesempatan dalam
pendidikan
5. Tuntutan belajar seumur hidup (life long
education) tampaknya harus mendapat
perhatian yang lebih memadai di masa
mendatang
6. Pentingnya media elektronik dalam
menyebarluaskan pendidikan, termasuk
pengembangan sistem belajar jarak jauh
dan
pemanfaatan
komputer
untuk
pendidikan
7. Publikasi
dan
penelitian
serta
pengembangan pendidikan merupakan hal
yang sangat mendasar bagi setiap
masyarakat yang ingin maju.
Kesimpulan
Dari uraian di
disimpulkan bahwa;
atas
maka
dapat
1. Tuntutan belajar seumur hidup (life long
education) tampaknya harus mendapat
perhatian yang lebih memadai di masa
mendatang
2. Pendidikan di Indonesia saat ini dari
sentralisasi menuju desentralisasi Muncul
dari
pihak bawah (desentralisasi)
pendidikan itu terlaksana dengan penuh
makna, dan tumbuh mengakar di
masyarakat luas, ide pembaharuan
pendidikan muncul dari pihak bawah
(change from the grass roots)
3. Trilogi pendidikan yang mendesak bagi
pendidikan global, terutama bagi negara
berkembang, yaitu: (1) Demokratisasi
pendidikan, (2) Modernisasi pendidikan
dengan menghormati identitas budaya,
dan (3) Adaptasi pendidikan dengan
tuntutan pekerjaan produktif searah
dengan kebutuhan lapangan kerja
DAFTAR RUJUKAN
Fiske, Edward B. 1998. Arah Pembangunan
Desentralisasi Pengajaran Politik dan
Konsesnsus. Jakarta: Gramedia.
Hannaway, D. dan Reynold (ed). 1994.
Decentralization and School
23
Improvement: Can We Fulfill the Promise
? San Fransisco: Jossey Bass Publisers.
Nasution, N. 2000. Strategi Belajar Mengajar.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Jakarta:Universitas Terbuka.
Nasution, N. 2000. Psikologi Pengajaran.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Jakarta:Universitas Terbuka.
Robinson Situmorang, dkk. 2005. Desain
Pembelajaran. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi. Jakarta:Universitas
Terbuka.
Suciati, dkk. 2002. Belajar dan Pembelajaran
2. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Syamsudin, A. 2002. Profesi Keguruan 2,
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Tisno Hadi Subroto. 2005. Pembelajaran
Terpadu. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Udin Saripudin S Winataputra. 2005.
Strategi Belajar Mengajar.
Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Jakarta:Universitas
Terbuka.
Undang-Undang Republik Indonesia. 2003.
Bandung:Citra Umbara
Wahyudin, D. 2002. Pengantar Pendidikan.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Jakarta: Universitas Terbuka.
Winkel, W.S. 1989. Psikologi Pengajaran.
Jakarta:Bina Aksara.
24
PENERAPAN PENDEKATAN PENGALAMAN BAHASA
DALAM PEMBELAJARAN BACA-TULIS PADA KELAS AWAL
DI SD LABORATORIUM IKIP MALANG
oleh Suparti*)
Abstrak: Baca-tulis menjadi penekanan pembelajaran di SD. Penelitian
ini mengkaji pembelajaran baca-tulis di kelas awal berdasarkan
pendekatan pengalaman bahasa (PPB) yakni membiasakan para siswa
untuk selalu membaca dan menuliskan pengalamannya. Masalah umum
penelitian ini yakni bagaimanakah guru menerapkan PPB dalam
pembelajaran baca-tulis pada kelas awal di SD LABORATORIUM IKIP
MALANG. Tujuan penelitian ini yakni mendapatkan deskripsi tentang
(1) teknik penyajian materi baca-tulis berdasarkan PPB, (2) bentuk
interaksi guru siswa dalam pembelajaran baca-tulis berdasarkan PPB, (3)
jenis penilaian yang diterapkan, (4) hambatan-hambatan yang ditemui
dan upaya mengatasinya, dan (5) minat siswa. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa untuk mengembangkan kemampuan baca-tulis,
guru menerapkan PPB dalam pelaksanaan pembelajarannya. Teknik
pembelajaran yang diterapkan adalah teknik ceramah, tanya jawab,
diskusi, dan penugasan. Interaksi yang dibangun guru yakni interaksi
searah, dua arah, dan multi arah. Dua cara penlaian dilakukan guru yakni
penilaian proses dan penilaian hasil. Hambatan yang ditemui guru yakni
kurangnya waktu ntuk mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa. Guru
tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap
tulisan siswa. Upaya yang dilakukan guru untuk mengatasi hambatan
tersebut yakni melakukan pemeriksaan terus-menerus setiap ada
kesempatan dan pada saat istirahat. Dengan PPB, siswa memiliki minat
yang tinggi untuk belajar baca-tulis.
Kata-kata kunci: pendekatan pengalaman bahasa, baca-tulis, kelas
awal.
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia pada
umumnya masih berada dalam proses
transisi dari budaya lisan ke budaya
tulisan. Kecenderungan masyarakat
untuk lebih banyak berbahasa lisan
daripada berbahasa tulis masih sering
ditemui dalam memanfaatkan waktu
luangnya. Disebutkan oleh Baradja
(2000) bahwa kebiasaan baca-tulis
belum berkembang dengan baik pada
masyarakat. Padahal, kebiasaan bacatulis sangat menunjang pemerolehan
informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK).
Baca-tulis memiliki peranan
penting dalam kehidupan. Membaca
merupakan sarana bagi manusia untuk
mengembangkan
jiwanya.
Jika
seseorang terampil dan suka membaca
maka ia memiliki kesempatan untuk
mengenal dan memahami dunianya
dengan lebih cermat dan teliti.
Kecermatan dan ketelitianini akan
mengembangkan jiwa secara lebih baik.
Mengingat pentingnya peranan
baca-tulis dalam kehidupan, suda
selayaknya baca-tulis dikembagkan
dalam pembelajaran mulai sekolah dasar
(SD) sampai perguruan tinggi (PT).
*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya
25
Pembelajaran baca-tulis permulaan (MMP) di
kelas I SD diarahkan agar siswa memiliki
kegemaran dan keterampilan baca-tulis untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
memanfaatkannya dalam kehidupan seharihari (Depdikbud, 1995). Yang hendaknya
diperhatikan
adalah
bagaimanakah
menyediakan fasilitas pembelajaran baca-tulis
bagi pembelajar pemula agar mereka memiliki
kegemaran/minat
untuk
mengikuti
pembelajaran dengan rasa senang dan tidak
tertekan.
Pembelajaran
baca-tulis
dapat
diciptakan dengan melibatkan siswa sebanyakbanyaknya untuk mengungkapkan pengalaman
bahasa mereka. Dikatakan oleh Jalongo (1992)
bahwa penggunaan pengalaman bahasa siswa
akan membangkitkan kesadaran pribadi yang
positif. Melalui pengalaman bahasanya, siswa
dapat mengawali kegiatan menulisnya dengan
rasa senang. Mereka menulis apa yang
dirasakan dan dipikirkannya kemudian mereka
membaca
apa
yang
dirasakan
dan
dipikirkannya. Hal itu menguatkan pendapat
Ellis,
dkk.
(1989)
bahwa
skemata
(pengetahuan awal) siswa sangat baik untuk
bekal pembelajaran membaca dan menulis.
Pendekatan pengalaman bahasa (PPB)
merupakan suatu pendekatan dalam belajar
bahasa dengan didasarkan pada beberapa
kerangka teori. Kerangka teori yang digunakan
sebagai acuan ialah teori belajar bahasa yang
dikemukakan oleh Goodman (1996) bahwa
belajar bahasa akan berlangsung dengan
mudah jika bersifat nyata, relevan, bermakna,
dan kontekstual. Hal itu sejalan dengan teori
pengalaman bahasa yang dikemukakan oleh
Allen (1976). Pembelajaran dilaksanakan
dengan mengajak para siswa untuk
menceritakan pengalamannya, menuliskan
ceritanya, dan membaca yang ditulisnya.
Kajian Pustaka
Hakikat Pendekatan Pengalaman Bahasa
Pendekatan Pengalaman Bahasa (PPB)
merupakan pendekatan dalam pembelajaran
bahasa utamanya pada baca-tulis. PPB
berpedoman pada penggunaan pengalaman
bahasa siswa-siswa sebagai bahan belajar.
Dinyatakan oleh Combs (1996) bahwa
pembelajaran bahasa merupakan suatu
keutuhan dan kepaduan,
keterampilan
membaca dipadukan dengan keterampilan
menyimak, berbicara, dan menulis. Dalam
pembelajaran
berdasarkan
PPB,
guru
membelajarkan membaca kepada siswa
melalui
karangan-karangan
yang
dikembangkan oleh seorang siswa atau
sekelompok siswa atau secara klasikal dengan
bimbingan guru.
Belajar bahasa pada hakikatnya adalah
belajar berkomunikasi (Depdikbud, 1995).
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa
hendaknya
diarahkan
untuk
tujuan
komunikasi.
Sejalan
dengan
tujuan
pembelajaran bahasa tersebut, dikemukakan
Combs (1996) bahwa PPB menekankan pada
komunikasi, bahan belajar yang dikembangkan
dalam cerita merupakan pengalaman bahasa
siswa. Pada kelas awal, ketika para siswa
belum lancar baca-tulis, guru dapat membantu
mereka untuk menuliskan kalimat-kalimat
yang diucapkan oleh siswa. Oleh karena itu,
belajar membaca hendaknya selalu didahului
oleh kegiatan menyimak dan berbicara.
Melalui berbicara dan menyimak siswa dapat
menguasai bahasa yang ada di lingkungannya.
Kegiatan
berbahasa
termasuk
membaca ditentukan oleh faktor-faktor di
antaranya persepsi, latar pengalaman, berpikir,
belajar, asosiasi (Jalongo, 1992). Oleh karena
itu pengalaman berbahasa siswa akan
menentukan kegiatan pembelajaran bahasa.
Pengalaman berbahasa lisan siswa yang baik
akan merupakan bekal dalam pembelajaran
bahasa tulis.
Dalam PPB, baca-tulis dikonsepsikan
sebagai suatu proses yang dimulai sejak kecil.
Kemampuan baca-tulis dibangun melalui
keterampilan pemahaman secara lisan,
*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya
26
kepekaan terhadap lingkungan, dan kesadaran
metalinguistik (Jalongo, 1992).
Landasan Teori
PPB merupakan pendekatan alamiah
yang berpangkal dari wawasan whole
language dan teori pengalaman bahasa
(Jalongo, 1992; Spodek, 1993). Whole
language merupakan suatu pandangan tentang
hakekat proses belajar bahasa
yang
dikembangkan dari berbagai wawasan dan
hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu dan
dikembangkan dari pengalaman praktis para
guru (Syafi'ie, 1995). Tesis-tesis yang
mendasari pandangan whole language
bersumber dari teori belajar bahasa, teori ilmu
bahasa, dan teori pembelajaran bahasa.
Teori Belajar Bahasa
Beberapa tesis yang bersumber dari
teori belajar bahasa yang mendasari whole
language sebagai berikut.
(1) Belajar bahasa akan berlangsung dengan
mudah bagi siswa apabila belajar bahasa itu
bersifat menyeluruh, nyata, relevan, bermakna,
fungsional,
disajikan
dalam
konteks
pemakaian yang sesungguhnya, dan siswa
menggunakannya. (2) Pemakaian bahasa
bersifat individual dan sosial. Pemakaian
bahasa didorong dari dalam diri anak sendiri
oleh adanya kebutuhan untuk berkomunikasi,
disusun, dan diekspresikan sesuai dengan
norma-norma dalam kehidupan masyarakat.
(3) Siswa belajar melalui bahasa dan belajar
tentang bahasa yang semuanya berlangsung
secara simultan dalam konteks pemakaian
bahasa secaralisan dan tulis yang bersifat
otentik dalam peristiwa komunikasi. (4)
Belajar bahasa adalah belajar membangun
makna
sesuai
dengan
konteks.
(5)
Perkembangan bahasa adalah suatu proses
pembentukan kemampuan personal-sosial yan
bersifat holistik (Goodman, 1986; Spodek,
1994; Syafi'ie, 1995).
Pada dasarnya dalam sebuah teori
belajar bahasa terdapat tiga prinsip yakni
prinsip komunikasi, prinsip tugas, dan prinsip
kebermaknaan (Richards
and Rodger,
1986:71). Prinsip komunikasi mengacu pada
kegiatan yang memungkinkan terjadinya
komunikasi yang dapat meningkatkan proses
belajar mengajar. Prinsip tugas mengacu pada
kegiatan
pemakaian
bahasa
untuk
melaksanakan tugas yang bermakna yang
dapat meningkatkan proses belajar mengajar.
Prinsip kebermaknaan mengisyaratkan bahwa
bahasa yang bermakna dapat meningkatkan
proses belajar mengajar. Implikasi dari ketiga
prinsip tersebut adalah kegiatan belajar harus
diseleksi dengan mengutamakan keterlibatan
siswa dalam kegiatan pemakaian bahasa yang
otentik dan bermakna bukan sekedar melatih
pola-pola tertentu yang bersifat mekanis.
Proses belajar bahasa dapat diperoleh
secara alamiah/ informal dan formal. Proses
belajar secara alamiah/ informal diperoleh
melalui
komunikasi
sehari-hari
atau
komunikasi yang sebenarnya. Proses belajar
secara formal diperoleh di lingkungan sekolah
melalui
belajar.
Pembelajaran
dalam
lingkungan
formal
pada
umumnya
mengutamakan penguasaan kode-kode formal
atau bentuk bahasa, sedangkan dalam
lingkungan alamiah mengutamakan isi pesan
komunikasi (Burt dan Dulay, 1981:178).
Belajar bahasa seyogyanya berlangsung secara
alamiah. Oleh karena itu dalam lingkungan
formal, pembelajaran hendaknya diutamakan
daripada pengajaran. Mengajarkan bahasa
pada hakikatnya adalah menciptakan kondisi
yang bersifat kondusif yang memungkinkan
terjadinya proses belajar bahasa para siswa
(Syafi'ie, 1996). Pusat kegiatan belajar
mengajar adalah siswa karena siswalah yang
belajar. Pembelajaran yang sesuai adalah
pengelolaan cara belajar siswa aktif. Guru
berperan sebagai sumber informasi dan
fasilitator
yang bertugas
menciptakan
kemudahan-kemudahan bagi para siswa untuk
menggunakan
bahasa
dalam
fungsi
komunikasi.
Belajar bahasa termasuk di dalamnya
baca-tulis akan lebih mudah dan berlangsung
dengan baik apabila dipelajari dalam konteks
yang alamiah (Goodman, 1986). Pembelajaran
hendaknya mengoptimalkan siswa untuk
berperan aktif dalam kegiatan belajar (Joni,
1991). Aplikasi dalam pembelajaran bacatulis, yaitu siswa diberi kesempatan untuk
baca-tulis dengan tujuan nyata, mengaitkan
pengalaman dalam pembelajarannya.
Teori Ilmu Bahasa
Beberapa tesis yang bersumber dari
ilmu bahasa adalah sebagai berikut. (1) Bahasa
adalah suatu sistem lambang makna dalam
masyarakat. Baik dalam bentuk lisan maupun
tulis pada hakikatnya bahasa adalah suatu
*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya
27
sistem lambang yang kompleks yang
digunakan oleh masyarakat bahasa yang
bersangkutan. (2) Pemakaian bahasa bersifat
individual dan sosial. Bersifat individual,
artinya bahasa dipakai oleh individu untuk
menyatakan
gagasan,
mengungkapkan
perasaan, menyampaikan informasi, dan
melalui bahasa individu dapat menerima pesan
komunikasi. Bersifat sosial, artinya pemakaian
bahasa selalu dalam konteks komunikasi yang
terjadi di masyarakat. (3) Bahasa adalah suatu
sistem yang terdiri atas subsistem yang saling
berhubungan dan merupakan suatu kesatuan.
(4) Pemakaian bahasa bersifat prediktif,
digunakan dalam wujudnya yang menyeluruh.
Artinya, dalam memakai bahasa (pemahaman
dan penggunaan) kita dapat menggunakan
unsur-unsur kebahasaan yang sesuai untuk
memperkirakan bentuk atau makna yang akan
diperoleh dari suatu teks (Goodman, 1986;
Syafi'ie, 1995).
Teori Pembelajaran Bahasa
Pandangan-pandangan dasar tentang
belajar-mengajar adalah sebagai berikut. (1)
Belajar lebih ditekankan daripada mengajar.
Mengajar bahasa pada hakikatnya adalah
menciptakan kondisi yang bersifat kondusif
yang memungkinkan terjadinya proses belajar
bahasa di kalangan siswa. Pusat kegiatan
belajar mengajar adalah siswa, karena
siswalah yang belajar. Pengelolaan belajar
didasarkan pada pengelolaan belajar siswa
aktif. Guru bahasa tidak hanya sebagai sumber
informasi, lebih daripada itu, guru bahasa
berperan sebagai fasilitator yang mampu
menciptakan kemudahan-kemudahan yang
menunjang proses belajar bagi para siswa. (2)
Para siswa diharapkan belajar baca-tulis
demikian mereka belajar wicara. Ini terjadi
secara gradual (pelan tapi meningkat), alamiah
tanpa banyak pengarahan secara langsung, dan
lebih banyak didorong daripada dikoreksi. (3)
Para siswa baca-tulis setiap hari. Mereka tidak
ditugasi membaca bacaan yang artifisial, atau
menulis sesuatu yang tidak mempunyai tujuan
yang nyata. (4) Membaca, menulis, berbicara,
dan menyimak tidak dipandang sebagai
komponen keterampilan berbahasa yang
terpisah-pisah dan diajarkan sendiri-sendiri
(Goodman, 1986; Syafi'ie, 1995)
Teori Pengalaman Bahasa
Teori pengalaman bahasa, pada
awalnya, memegang konsep bahwa belajar
membaca merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan proses perkembangan
bahasa (Oka, 1983, Rubin, 1993). Membaca
tak dapat dipisahkan dari kegiatan menyimak,
berbicara, dan menulis. Oleh karena itu belajar
membaca dikaitkan dengan belajar berbicara,
menyimak, dan menulis dengan penekanan
pada pengembangan kemampuan berpikir dan
kemampuan pengungkapan bahasa. Allen
mengemukakan asumsi yang mendasari teori
pengalaman bahasa yakni "apa yang dapat
saya pikirkan, dapat saya bicarakan. Apa yang
dapat saya katakan dapat saya tuliskan atau
orang lain tulis untuk saya. Apa yang dapat
saya tulis dapat pula saya baca. Saya dapat
membaca apa yang saya tulis atau orang lain
tulis untuk saya" (Allen, dalam Smith, 1980).
Asumsi itu berpangkal pada pandangan bahwa
membaca merupakan pengalaman bahasa,
yaitu proses perkembangan menterjemahkan
pengalaman ke dalam bahasa lisan dan bahasa
tulis (Oka, 1983). Berdasarkan teori
pengalaman bahasa, PPB mencakup semua
kemampuan bahasa dan menekankan pada
dasar komunikasi secara keseluruhan (Olson,
1992; Combs, 1996). Latar belakang
pengalaman siswa ketika datang di sekolah
meru pakan titik awal pembelajaran formal
dalam
belajar
baca-tulis.
Pengalaman
berbahasa siswa akan merupakan respon yang
baik dari stimulus yang diberikan oleh guru
(Jalongo, 1992). Belajar merupakan hasil
serentetan stimulan dan respon dan proses
belajar akan dipengaruhi oleh frekuensi
pengontrolan (Gredler,1991).
Karakteristik
dan
Prosedur
Pembelajaran PPB
Pada hakikatnya pembelajaran bahasa
diarahkan untuk meningkatkan kompetensi
komunikatif yakni kemampuan siswa dalam
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baik
secara lisan maupun tertulis (Depdikbud,
1993:21). Aspek-aspek yang tercakup dalam
pembelajaran bahasa ialah menyimak,
membaca, berbicara, dan menulis. Keempat
aspek tersebut dikembangkan bersama-sama
sejak kelas I SD dan penekanan pada
kemampuan baca-tulis. Pembelajaran akan
lebih mudah bagi siswa jika belajar bahasa itu
bersifat nyata, relevan, kontekstual, dan
bermakna (Goodman, 1984).
Pembelajaran baca-tulis dengan PPB
menekankan
pada
komunikasi
serta
*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya
28
menggabungkan
kegiatan
menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Anak-anak
berpikir, berbicara, menuliskan, kemudian
membacanya. Bahasa dan pemikiran mereka
digunakan sebagai dasar untuk belajar bacatulis. Materi baca-tulis adalah hal-hal yang
mereka alami dan mereka ketahui serta ada di
sekitar mereka (Combs, 1996). PPB mengacu
langsung pada pengalaman dan bahasa siswa
(Dixon & Nessel, 1983, Smith, 1985).
Belajar membaca dengan PPB
didasarkan pada asumsi bahwa minat,
pengalaman, dan pengetahuan tentang nilai
pribadi akan menciptakan motivasi dalam
belajar membaca. Membaca akan lebih mudah
dan menyenangkan jika bahasa yang
digunakan sesuai dengan bahasa pembaca
(Nessel & Jones dalam Combs, 1996:216).
Karena materi belajar berasal dari mereka
maka variasi-variasi kegiatan belajar akan
lebih menarik untuk diajarkan, berguna, dan
tepat sasaran.
Langkah pembelajaran baca-tulis
dengan PPB meliputi kegiatan: (1) penjajakan,
(2)
pembahasan,
(3)
penulisan,
(4)
penyempurnaan, dan (5) pemanfaatan (Olson,
1992; Sujana, dalam Muchlisoh, 1993; Dixon
& Nessel 1983). Berikut ini dipaparkan lima
tahapan pembelajaran baca-tulis dengan PPB.
(1) Penjajakan
Sebelum pelajaran (kegiatan inti
pembelajaran) dimulai, guru menjajaki latar
belakang pengetahuan dan pengalaman bahasa
siswa. Guru mengidentifikasi kebutuhan dan
minat mereka. Guru memotivasi mereka untuk
berpikir dan berbicara. Hal itu dapat dilakukan
dengan menunjukkan gambar, melalui
pengalaman langsung, atau melalui penjelasan
verbal, serta bertanya jawab.
(2) Pembahasan
Murid
bersama-sama
guru
mendikusikan pengalaman mereka. Guru
mengarahkan para siswa untuk berinteraksi.
Apabila murid kesulitan mengungkapkan hal
yang mereka pikirkan, guru memancing
dengan
pertanyaan-pertanyaan.
Guru
membimbing siswa dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan penuntun. Pembahasan
dapat dilakukan secara kelompok atau klasikal
dengan bimbingan guru.
(3) Penulisan
Menuliskan
pengalaman
sendiri
merupakan hal yang sangat menyenangkan.
Jika siswa belum dapat menulis, guru dapat
menuliskan kata dan kalimat yang dituturkan
oleh para siswa. Guru mengarahkan agar
kalimat-kalimat yang dibuat oleh siswa dapat
tersusun menjadi suatu cerita. Penulisan dapat
dilakukan secara klasikal, dalam kelompok
kecil, atau individual. Hal itu terutama
bertujuan untuk menjadikan baca-tulis sebagai
keterampilan yang bermakna dan mudah
dimengerti
oleh
siswa.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Jalongo (1992) bahwa
pengalaman dan pengetahuan siswa berbahasa
akan membangkitkan kesadaran pribadi yang
positif.
(4) Penyempurnaan
Ketika menuliskan kata dan kalimat di
papan tulis, guru tidak mengubah bahasa siswa
meskipun terdapat kesalahan. Para siswa
diberi kesempatan untuk membaca bacaan
yang telah dibuat bersama-sama. Pembetulan
dilakukan pada tahap penyempurnaan ini.
Guru bersama siswa menyempurnakan bahasa
dan struktur kalimat yang kurang tepat.
(5) Pemanfaatan
Menghasilkan
suatu
tulisan
merupakan kebanggaan tesendiri bagi para
siswa terutama bagi siswa yang belum lancar
baca-tulis.
Pembelajaran
baca-tulis
berdasarkan pengalaman bahasa mereka akan
lebih menarik (Jalongo, 1992). Bacaan yang
telah disempurnakan dapat digunakan untuk
melatihkan keterampilan baca-tulis. Misalnya
membaca dengan lafal dan intonasi yang
benar, membaca kelompok kata, membaca
kalimat, membaca paragraf, serta menambah
kosakata siswa melalui pencarian sinonim atau
antonim. Kelas akan mempunyai banyak
bacaan apabila penulisan dilakukan secara
berkelompok
atau
individual.
Untuk
melatihkan keterampilan membaca, guru dapat
memilih cerita sebagai bahan pembelajaran
membaca sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai pada saat itu.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan
kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan penerapan PPB dalam
pembelajaran baca-tulis yang dilaksanakan
oleh guru kelas I SD LABORATORIUM IKIP
MALANG. Rancangan penelitian ini disebut
*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya
29
juga studi kasus kualitatif-deskriptif. Yang
menjadi subjek penelitian ini adalah guru dan
siswa kelas Ia SD LABORATORIUM IKIP
MALANG. Masalah umum dalam penelitian
ini adalah bagaimanakah guru menerapkan
PPB dalam pembelajaran baca-tulis pada kelas
awal di SD LABORATORIUM IKIP
MALANG. Tujuan penelitian ini yakni
mendapatkan deskripsi tentang (1) teknik
penyajian materi baca-tulis melalui PPB, (2)
bentuk
interaksi
guru
siswa
dalam
pembelajaran menulis melalui PPB, (3) jenis
penilaian yang diterapkan, (4) hambatanhambatan
yang
ditemui
dan
upaya
mengatasinya, dan (5) minat siswa.
Data penelitian diambil dari sumber
data berupa perilaku guru dan siswa dalam
pembelajaran baca-tulis yang terwadahi dalam
pelajaran Bahasa Indonesia. Sumber data
perilaku guru dan siswa diperoleh dengan cara
mengamati dan mencatat perilaku dalam
pembelajaran, serta merekam cakapan yang
terjadi dalam pembelajaran baca-tulis di kelas.
Dalam hal ini peneliti melibatkan diri sebagai
pengamat.
Data pelaksanaan dan penilaian
dikumpulkan dengan menggunakan teknik
pengamatan,
catatan
penelitian,
dan
wawancara. Data hambatan dan upaya
pemecahannya, serta minat siswa dikumpulkan
dengan teknik pengamatan dan wawancara.
Peneliti berlaku sebagai instrumen
utama dalam penelitian. Untuk mendapatkan
data yang absah, peneliti menggunakan alat
perekam, angket, daftar wawancara, catatan
penelitian. Dalam penelitian ini, alat perekam
yang digunakan adalah alat perekam suara
(tape recorder).
Data-data yang diperoleh dianalisis
secara induktif dan berkesinambungan. Model
yang digunakan adalah Model Miles dan
Huberman (1993). Untuk menganalisis data
digunakan pedoman penganalisisan. Pedoman
penganalisisan disusun berdasarkan teori
pengajaran pendekatan pengalaman bahasa
yang bersumber dari pendekatan whole
language. Kegiatan analisis data diawali
dengan mengidentifikasi korpus data yang
sesuai dengan rambu-rambu penerapan PPB.
Kemudian
data-data
yang
sesuai
dideskripsikan berdasarkan indikator dan
deskriptornya. Selanjutnya ditentukan kategori
penerapan PPB pada setiap komponen yang
diteliti. Kegiatan akhir adalah menyimpulkan
hasil analisis data. Alur kegiatan analisis data
dipaparkan pada bagan 1.
PENGUMPULAN DATA
Pengamatan, Perekaman, Wawancara
REDUKSI DATA
(1) Mentranskripsi dan memilih data
(2) Memberi kode, antara lain:
TEK : Penyajian Pembelajaran Menulis
PEN : Penilaian Pembelajaran Menulis
(3) Menyusun data
PAPARAN DATA
(1) Penyajian Pembelajaran Menulis
(2) Penilaian Pembelajaran Menulis
VERIFIKASI
Penyajian, penilaian Pembelajaran menulis
Cukup
belum cukup
PENARIKAN SIMPULAN AKHIR
Penyajian, penilaian Pembelajaran menulis
Bagan 1 Alur kegiatan analisis data
(modifikasi dari Miles dan Huberman
1993:22)
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan data yang terkumpul
diperoleh hasil sebagai berikut. KBM
dirancang oleh guru telah menerapkan PPB
dengan baik. Siswa dilibatkan secara aktif
dalam setiap kegiatan pembelajaran. Guru
berperan sebagai pengarah, pembimbing, dan
fasilitator belajar. Penjelasan diberikan oleh
guru untuk menguatkan dan memantapkan
kegiatan baca-tulis siswa. Pemilihan Media
dan Sumber Belajar (MSB) belum menerapkan
PPB dengan baik dan sempurna. MSB utama
yang dipilih oleh guru berupa buku teks. Isi
buku teks yang diambil sebagai bahan belajar
berupa bacaan dan gambar-gambar. Majalah
anak-anak (Bobo) dipilih hanya sebagai bahan
*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya
30
pengayaan. Isi majalah yang dimanfaatkan
berupa kalimat-kalimat.
Dalam pelaksanaan, guru menerapkan
PPB pada Teknik Penyajian Materi (TPM)
dengan
sangat
baik.
Guru
banyak
menggunakan teknik tanya jawab. Guru
melibatkan siswa dengan memberikan
kesempatan untuk menggunakan bahasa
melalui tanya jawab. Guru berperan sebagai
fasilitator belajar. Teknik ceramah digunakan
oleh guru pada kegiatan awal sebagai
pengarahan dan pada bagian akhir sebagai
penguatan/pemantapan terhadap kegiatan yang
telah dilakukan. Teknik diskusi tidak
digunakan dalam pembelajaran baca-tulis pada
kelas awal ini. Pola/bentuk interaksi dalam
kelas telah menerapkan PPB dengan baik.
Interaksi yang lebih banyak diterapkan adalah
interaksi dua arah yakni interaksi guru-siswa
dan siswa-guru. Interaksi searah dan multi
arah tidak sering terjadi. Dalam kegiatan
interaksi,
guru
berperan
sebagai
kokomunikator dalam pembelajaran.
Dalam
penilaian,
guru
telah
menerapkan PPB dengan baik. Terdapat dua
macam penilaian yakni penilaian proses dan
penilaian hasil belajar. Penilaian proses
berbentuk pertanyaan dan tugas-tugas.
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui
kemajuan belajar baca-tulis para siswa. Pada
setiap kali tatap muka, siswa ditugasi untuk
menuliskan pengalaman dan membacakannya.
Siswa dilatih untuk menemukan sendiri
kesalahannya melalui pembacaan kembali
tulisannya.
Dalam
penyelenggaraan
pembelajaran baca-tulis ini, terdapat hambatan yang
ditemui oleh guru yakni waktu dan media
belajar. Guru merasa kekurangan waktu untuk
membuat perencanaan mengajar tertulis dan
waktu untuk mengoreksi tulisan siswa. Untuk
mengatasi hambatan berupa waktu ini, guru
menyikapi
dengan
cara
mempelajari
kurikulum, buku teks, dan membuat persiapan
ringkas. Persiapan secara rinci dibuat pada saat
sekolah libur. Berkaitan dengan koreksi tulisan
siswa, guru melakukannya pada saat-saat
istirahat dan setelah para siswa pulang dari
sekolah usai jam terakhir (intra maupun ekstra
kurikuler). Berkaitan dengan hambatan berupa
media, guru mengatasinya dengan cara
memanfaatkan gambar-gambar yang ada pada
buku teks, membuat gambar di papan tulis,
memanfaatkan gambar-gambar yang ada pada
majalah kelas dan sekolah. Minat para siswa
dalam belajar baca-tulis sangat bagus. Mereka
membaca dan menuliskan pengalaman mereka
dengan suka cita. Mereka tidak merasa
tertekan untuk melakukannya.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan disimpulkan sebagai berikut.
Perencanaan mengajar berdasarkan PPB
dibuat
oleh
guru
agar
pelaksanaan
pembelajaran dapat berlangsung dengan
lancar. Pelaksanaan pembelajaran membaca
dan menulis diupayakan oleh guru dengan
memanfaatkan pengalaman bahasa siswa.
Pembelajaran berdasarkan pengalaman
bahasa (PPB) diterapkan oleh guru dengan
menggunakan metode tanya jawab dan
diskusi. Metode ceramah hanya digunakan
untuk memberikan arahan bagi siswa tentang
apa yang harus mereka lakukan. Metode tanya
jawab dan diskusi sebagai kegiatan utama
dilakukan untuk memancing siswa agar
menggunakan pengalaman bahasa yang
dimilikinya dalam kegiatan membaca dan
menulis. Guru mengupayakan pembelajaran
berlangsung dalam interaksi belajar dua arah
dan multi arah. Situasi pembelajaran
diupayakan oleh guru secara alamiah agar
siswa tidak merasa tertekan sehingga mereka
dapat mengungkapkan pengalaman bahasanya
secara lancar. Kendala yang dihadapi guru
berkaitan dengan waktu dan media belajar.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut
diajukan beberapa saran. Pertama, sebelum
menyajikan materi membaca-menulis guru
hendaknya menyusun perencanaan pengajaran
yang mengutamakan pengalaman bahasa siswa
sebagai bekal untuk guru hendaknya membuat
persiapan mengajar tertulis atau tidak tertulis
secara rinci dengan mengutamakan pada
pengalaman bahasa siswa. Tujuan, kegiatan
belajar, media dan sumber belajar, serta
penilaian yang direncanakan hendaknya
didasarkan pada PPB. Media dan sumber
belajar yang dipilih hendaknya bukan hanya
dari buku teks tetapi dari berbagai sumber.
Kedua,
hendaknya
guru
menerapkan
perencanaan mengajar berdasarkan PPB dalam
kegiatan belajar-mengajar di kelas. Guru
menempatkan perannya sebagai pembimbing,
pengarah, dan inovator sekaligus sebagai
pemberi kemudahan siswa belajar baca-tulis.
*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya
31
Guru hendaknya memberikan fasilitas belajar
dengan memberi kemudahan kepada siswa
untuk mengungkapkan pengalaman bahasa
mereka serta menciptakan situasi yang bebas
tanpa tekanan.
Rujukan
Allen, van R. 1976. The Language Experience
Approach to Reading Instruction.
Boston: Ginn and Company.
Baradja, M.F. 2000. Sekilas Mengenai
Penelitian Kelas. Makalah Disajikan
dalam Kuliah Perdana Mahasiswa PPS
UM 6 September 2000.
Combs, M. 1996. Develoing Competent
Reader and Writers in the Primary
Grades. Englewood Cliff: Prentice
Hall, Inc.
Depdikbud.
1995.
Kurikulum
Pendidikan Dasar: Landasan,
Program, dan Pengembangan.
Jakarta: Depdikbud.
Dixon, Carol N. and Nessel, Denise.
1983.
Language
Experience
Approach to Reading and
Writing: Language-Experience
Reading for Second Language
Learners. Englewood Cliffs:
Prentice Hall.
Ellis, Arthur, Joan Pennau, Timothy Standal,
Mary Kay Rummel. 1989. Elementary
Language Arts Instruction. Englewood Cliffs:
Prentice Hall.
Goodman, Kenneth. 1986. What’s Whole in
Whole
Language?.
Ontario:
Scholastic.
Gredler. 1991. Belajar dan Pembelajaran.
Jalongo, Mary Renck. 1992. Early Childhood
Language Arts. Boston: Allyn and
Bacon.
Joni, T. Raka. 1983. Cara Belajar Siswa Aktif,
Wawasan
Kependidikan,
dan
Pembaharuan
Pendidikan
Guru.
Malang: IKIP Malang.
Miles, Matthew B. dan Huberman, A.
Michael. 1993. Qualitative Data
Analysis: A Sourcebook of New
Methods. London: Sage Publications,
Inc.
Richards, Jack C. and Rodgers, Theodore S.
1986. Approaches and Methods in
Language Teaching: A Description
and Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.
Syafi’ie, 1996. Prinsip-prinsip Pengajaran
Bahasa Indonesia di SD Berdasarkan
Kurikulum 1994. Makalah disajikan
dalam Seminar Pengajaran Bahasa
Indonesia di
SD Berdasarkan
Kurikulum 1994, 13 Januari 1996.
PPS IKIP MALANG.
Muchlisoh. 1993. Perkembangan Anak.
Jakarta: Depdikbud
*) Penulis adalah staf edukatif di FKIP UT UPBJJ Surabaya
32
EFEKTIVITAS SISTEM BELAJAR JARAK JAUH DALAM PENYELENGGARAAN
PROGRAM PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR*
Oleh:
Lukiyadi**
Abstrak
Penelitian evaluasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas Sistem Belajar
Jarak Jauh (SBJJ) pada Program D-II Pendidikan Guru Sekolah Dasar (DII-PGSD)
dilihat dari aspek: (1) efektivitas pengelolaan program; (2) efektivitas pengelolaan
tutorial; dan (3) prestasi belajar mahasiswa mencakup: tingkat kelulusan mata kuliah
per semester, Indeks Prestasi Semester (IPS), Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), dan
kelulusan akhir program. Penelitian dilakukan pada program DII-PGSD Universitas
Terbuka dengan sampel terdiri dari empat orang pengelola pokjar yang dipilih
berdasarkan teknik “proportional stratified-cluster-area random sampling” dan dan
106 orang mahasiswa yang dipilih berdasarkan teknik “proportional area random
sampling”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) efektivitas pengelolaan program
DII-PGSD termasuk kategori baik; (2) efektivitas pengelolaan tutorial termasuk
kategori sedang; (3) prestasi belajar mahasissa bervariasi, namun secara keseluruhan
belum memuaskan.
Kata kunci: efektivitas, sistem belajar jarak jauh, Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD).
A. Pendahuluan
Dalam rangka peningkatan kualitas
manusia
dan
masyarakat
Indonesia,
pendidikan memiliki posisi dan peran yang
sangat mendasar dan strategis dalam
kerangka pembangunan nasional yang
berorientasi pada manusia (Depdikbud,
1996). Agar pendidikan dapat menjalankan
peran dalam kerangka pembangunan nasional
tersebut, upaya peningkatan kualitas guru
Sekolah Dasar (SD) merupakan suatu
keniscayaan. Program Pendidikan Guru
Sekolah Dasar Setara D.II Universitas
Terbuka (DII-PGSD) melalui Sistem Belajar
Jarak Jauh (SBJJ), merupakan salah satu
program pemerintah yang sudah dijalankan
sejak tahun 1990-1991 (UT, 1992).
profesionalisme para guru pada jenjang
pendidikan dasar, khususnya SD sejalan
dengan akselerasi perkembangan ilmu
pengetahuan
dan teknologi,
tuntutan
pembangunan nasional, dan globalisasi (UT,
1992).
Di sisi lain, hasil observasi dan
pengalaman
mengelola
DII-PGSD
menunjukan realitas, bahwa umumnya
mahasiswa belum bisa belajar mandiri. Ada
kecenderungan bahwa mahasiswa datang ke
tempat tutorial hanya untuk mendengarkan
penjelasan atau ceramah dari tutor.
Sementara proses tutorialnya sendiri masih
cenderung menggunakan sistem pengajaran
konvensional.
Jarang sekali mahasiswa
belajar secara mandiri sesuai harapan yang
diinginkan sesuai dengan konsep SBJJ.
Dasar penyelenggaraan DII-PGSD
adalah
untuk
meningkatkan
kualitas
akademik dan
*
diturunkan dari sebagian Tesis Penulis pada Program Magister Pendidikan dalam bidang Pendidikan Luar
Sekolah (PLS).
**
Dosen FKIP-UT dan Alumni UNIRA
33
Masalah penelitian adalah: (1)
bagaimanakah efektivitas SBJJ dalam aspek
pengelolaan
program
DII-PGSD?
(2)
bagaimana efektivitas SBJJ dalam aspek
pengelolaan
tutorial
DII-PGSD?
(3)
bagaimana efektivitas SBJJ dilihat dari
prestasi belajar mahasiswa DII-PGSD yang
mencakup: tingkat kelulusan matakuliah per
semester; Indeks Prestasi Semester (IPS);
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK); dan tingkat
kelulusan akhir program?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
penelitian
adalah
mendeskripsikan: (1) efektivitas SBJJ dalam
pengelolaan
program
DII-PGSD;
(2)
efektivitas SBJJ dalam pengelolaan tutorial
DII-PGSD; dan (3) efektivitas SBJJ dilihat
dari hasil belajar mahasiswa DII-PGSD yang
mencakup: tingkat kelulusan matakuliah per
semester, IPS, IPK, dan kelulusan akhir
program.
Secara teoretik, hasil penelitian
evaluasi ini bermanfaat bagi rekonseptualisasi
pemikiran teoretik tentang SBJJJ pada
penyelenggaraan DII-PGSD. Secara praktis,
hasil
penelitian
evaluasi
ini
dapat
dimanfaatkan oleh pelaksana program sebagai
sumbangan
pemikiran
dalam
upaya
meningkatkan efektivitas SBJJ pada program
penyetaraan DII-PGSD Universitas Terbuka,
khususnya dalam pengelolaan program dan
tutorial yang lebih kondusif dan kontributif
terhadap keberhasilan studi mahasiswa. Hasil
penelitian evaluasi ini juga dapat dimanfaatkan
oleh mahasiswa agar lebih memahami
karakteristik SBJJ guna lebih meningkatkan
prestasi akademiknya.
C. Tinjauan Pustaka
Dalam berbagai kepustakaan, terdapat
sejumlah istilah yang digunakan secara
berganti pakai untuk sistem belajar jarak jauh
(SBJJ), antara lain: pendidikan terbuka (open
education), sekolah terbuka (open school),
belajar terbuka (open learning), pendidikan
korespondensi (correspondence education),
sekolah
korespondensi
(correspondence
school), belajar jarak jauh (distance learning),
belajar
korespondensi
(correspondence
learning) dan pendidikan udara (education of
the air) dan lain-lain (Atwi Suparman,
1992:4). Terminologi-terminologi di atas,
kadang-kadang membuat orang awan semakin
bingung, orang awam hanya mengerti bahwa
pendidikan jarak jauh, adalah pendidikan
tanpa pengajar, yang hanya menggunakan
diktat, buku, melalui siaran televisi/siaran
radio, kegiatan siswanya hanya membaca,
menonton televisi/ mendengarkan siaran radio.
Dengan sudut pandang masingmasing, beberapa ahli mencoba memberikan
penjelasan tentang pengertian pendidikan jarak
jauh (PJJ) dilihat dari berbagai aspeknya. Dari
aspek proses pembelajarannya, Steiner (tt:1)
misalnya, mengemukakan bahwa, ”distance
education is instructional delivery that does
not constrain the student to be physically
present in the same location as the instructor.
Historically, distance education meant
correspondence study. Today, audio, video,
and computer technologies are more common
delivery modes”. Bahwa PJJ adalah suatu
modus pembelajaran yang tidak membatasi
siswa secara fisik berada di tempat yang sama
dengan instruktur. Secara historis, pendidikan
jarak jauh berarti suatu pembelajaran melalui
korespondensi, audio, video, dan teknologi
komputer menjadi model pembelajaran yang
lebih umum.
Wedemeyer (Haryono, 2001) juga
berpendapat bahwa PJJ dicirikan oleh aspekaspek: (1) siswa/peserta didik belajar terpisah
dari guru/instruktur; (2) isi pelajaran
disampaikan melalui tulisan atau media
lainnya; (3) pembelajaran dilaksanakan
dengan pendekatan individual dan proses
belajar terjadi melalui kegiatan siswa/peserta
didik; (4) belajar dapat dilakukan ditempat
yang dianggap sesuai untuk siswa/peserta
didik dilingkungannya sendiri; dan (5)
siswa/peserta didik bertanggung jawab atas
kemajuan belajarnya, dan mempunyai
kebebasan dalam menentukan kapan akan
mulai dan akan berhenti belajar, serta
kebebasan dalam menentukan kecepatan
belajarnya. Pendapat senada dikemukakan
oleh Keegan (1991), bahwa PJJ memiliki
karakteristik antara lain: (1) ada keterpisahan
yang mendekati permanen antara tenaga
pengajar (guru atau dosen) dari peserta ajar
(siswa atau mahasiswa) selama program
pendidikan; (2) ada keterpisahan yang
34
mendekati permanen antara seorang peserta
ajar (siswa atau mahasiswa) dari peserta ajar
lain selama program pendidikan; (3) ada suatu
institusi
yang
mengelola
program
pendidikannya; (4) pemanfaatan sarana
komunikasi baik mekanis maupun elektronis
untuk menyampaikan bahan ajar; (5)
penyediaan sarana komunikasi dua arah
sehingga peserta ajar dapat mengambil inisiatif
dialog dan mengambil manfaatnya.
kepada
pemilihan
program-program
pendidikan,
manajemen,
pelayanan
mahasiswa, anggaran dan teknik evaluasi
program. Berkaitan dengan hal tersebut di
atas, PJJ diselenggarakan dengan maksud
untuk memberikan kesempatan kepada
khalayak (masyarakat) yang karena alasanalasan tertentu tidak dapat mengikuti
pendidikan formal (biasa) yang bersifat
konvensional.
Dari uraian karakteristik PJJ di atas,
disimpulkan bahwa keterpisahan kegiatan
pengajaran dari kegiatan belajar adalah ciri
khas dari PJJ. Identifikasi ciri khas PJJ ini
sejalan dengan pendapat Moore (1996) bahwa
PJJ adalah sekumpulan metoda pengajaran di
mana aktivitas pengajaran dilaksanakan secara
terpisah dari aktivitas belajar. Pemisah kedua
kegiatan tersebut dapat berupa jarak fisik,
misalnya karena peserta ajar bertempat tinggal
jauh dari lokasi institusi pendidikan. Pemisah
dapat pula berupa jarak non-fisik yaitu
keadaan yang memaksa seseorang yang tempat
tinggalnya dekat dari lokasi institusi
pendidikan namun tidak dapat mengikuti
kegiatan pembelajaran di institusi tersebut.
Keadaan seperti ini terjadi misalnya karena
pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
D. Metode Penelitian
Berdasarkan berbagai pendapat di atas,
pendidikan jarak jauh adalah bentuk studi
untuk semua tingkatan yang mendapatkan
supervisi
dari
tutor
seperti
halnya
pembelajaran biasa, serta tetap memberikan
keuntungan pada siswa dengan perencanaan
bimbingan
melalui
tutorial.
Dengan
pendidikan jarak jauh juga dapat memperluas
kesempatan belajar untuk mentransformasi
keahlian mengajar, membantu memperluas
kesempatan belajar diluar ruang kelas dan
kampus, sehingga memungkinkan terjadinya
patungan keahlian mengajar secara lebih luas
dibandingkan dengan apa yang didapat oleh
guru dari sekolah manapun. Pembelajaran
jarak jauh memungkinkan orang-orang yang
ingin belajar, untuk belajar dimana saja
mereka berada tanpa memandang umur,
pekerjaan atau jarak dari pusat belajar.
Dalam sistem pendidikan jarak jauh
terdapat beberapa subsistem penting seperti
pengembangan bahan ajar, tutorial dan ujian.
Hal lain yang diarahkan pada peningkatan
mutu, pendidikan jarak jauh biasanya terarah
Penelitian ini merupakan penelitian
evaluasi (evaluation research) (McMillan, &
Schumacher, 2001) terhadap efektivitas SBJJ
dalam penyelenggaraan program PGSD UT
dilihat dari aspek: efektivitas pengelolaan
program; (2) efektivitas pengelolaan tutorial;
dan (3) prestasi belajar mahasiswa mencakup:
tingkat kelulusan mata kuliah per semester,
Indeks Prestasi Semester (IPS), Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK), dan kelulusan akhir program.
Sampel penelitian terdiri dari empat
orang pengelola pokjar yang dipilih
berdasarkan “proportional stratified-clusterarea random sampling”, dan 106 orang
mahasiswa DII-PGSD tahun akademik
1999/2000 s.d 2002/2003, yang ditentukan
dengan teknik “proportional area random
sampling”.
Penelitian dilakukan selama tiga bulan
(Februari s.d April 2003), dan data
dikumpulkan dengan metode angket dan
dokumentasi. Data selanjutnya dianalisis
menggunakan metode analisis deskriptif
persentase.
E. Hasil dan Pembahasan
1. Efektivitas Pengelolaan Program
Pengelolaan
program DII-PGSD
“sangat baik”, karena dari delapan komponen
pengelolaan program yang dikaji, tujuh
komponen dipandang “sangat jelas”, dan
hanya satu komponen yang oleh para
pengelola pokjar dipandang “kurang jelas”.
Komponen-komponen pengelolaan program
yang dipandang “sangat jelas” berkenaan
dengan: (1) pedoman struktur organisasi
penyelenggaraan
dilingku-ngan
program
penyetaraan DII-PGSD yang telah ditentukan
oleh pusat; (2) kebijakan pengelolaan untuk
pengelola program; (3) kebijakan pengelolaan
35
untuk penanggung jawab pelaksana; (4)
kebijakan pebgelolaan untuk pengelola
administrasi proyek; (5) kebijakan pengelolaan
untuk penanggung jawab program studi; (6)
kebijakan pengelolaan untuk unit pelaksana
program; dan (7) struktur organisasi di tingkat
pokjar (Kabupaten/Kota/Kecamatan). Satu
komponen pengelolaan program
yang
dipandang “kurang jelas”, berkenaan dengan
“pembagian tugas pengelolaan program DIIPGSD yang telah ditentukan oleh pusat”.
Kekurangjelasan pembagian tugas pengelolaan
program terjadi pada tingkat penanggung
jawab program, penanggung jawab pelaksana,
pengelola administrasi proyek, pengelola
program studi, dan pengelola unit pelaksana
program, diduga sebagai akibat dari
sentralisasi kebijakan pengelolaan program di
tingkat pusat.
Temuan di atas sejalan dengan hasil
studi Musa, Sulistiorini, & Imawati (1993),
Nurhasanah (1992), Wasono (1980), dan
Kasroen (1992) yang menemukan bahwa
sentralisasi kebijakan pengelolaan layanan
registrasi, bahan belajar, dan ujian di UT
Pusat,
menyebabkan
lamanya
proses
penyelesaian registrasi, pengiriman bahan ajar,
dan ketersediaan dan penyelesaian TM dan
LJTM dan pengirimannya, yang akhirnya
dapat berakibat pada tidak diperolehnya
kontribusi nilai dari TM. Terjadinya
kesalahan-kealahan dalam pengisian formulir
juga dapat berimplikasi pada keterlambatan
pengiriman naskah tugas mandiri dan lembar
jawaban tugas mandiri serta bukti registrasi
kepada mahasiswa. Bagi UT Pusat pun,
sentralisasi kebijakan layanan registrasi, bahan
ajar, dan ujian sudah mencapai titik jenuh.
Seperti dilaporkan oleh Mulyadijaya (1993)
bahwa menjelang akan dilaksanakan ujian,
surat-surat dan pesanan bahan belajar lewat
surat maupun pelayanan langsung meningkat,
sehingga memerlukan perhatian lebih. Bahkan
kadang-kadang perlu tenaga tambahan.
Ketahanan kerja ekstra dituntut akibat
timbulnya kekeliruan yang cukup pahit yakni
kesalahan-kesalahan rakit ataupun salah kirim.
Yang sangat dikhawatirkan adalah timbulnya
frustasi berkepanjangan dari mahasiswa
karena lenyapnya kesempatan ikut ujian yang
disebabkan pesanan bahan belajarnya terpaksa
tidak diterima tepat waktu.
2. Efektivitas Pengelolaan Tutorial
Pengelolaan tutorial program DIIPGSD secara keseluruhan dapat dikatakan
“sedang”, karena dari sebelas komponen
pengelolaan tutorial DII-PGSD yang dikaji,
hanya tiga komponen yang dipandang “baik”;
delapan komponen dipandang “sedang”; dan
satu
komponen
dipandang
“kurang”.
Komponen-komponen pengelolaan tutorial
yang dipandang “baik” adalah: (1) kepatuhan
mahasiswa terhadap tata tertib tutorial; (2)
keberadaan kelompok belajar mahasiswa
untuk memecahkan permasalahan; dan (3)
sosialisasi tata tertib tutorial bagi para
mahasiswa. Sedangkan komponen-komponen
pengelolaan tutorial yang dipandang “sedang”
adalah: (1) kelayakan kondisi ruangan yang
digunakan untuk tutorial; (2) kedekatan lokasi
tempat tutorial dengan tempat tinggal
mahasiswa; (3) partisipasi aktif mahasiswa
dalam kelas tutorial; (4) komunikasi antara
tutor dan mahasiswa dalam tutorial; (5)
ketepatan waktu penerimaan modul oleh
mahasiswa; (6) ketepatan waktu kehadiran
mahasiswa dalam tutorial; (7) hubungan kerja
antara tutor, mahasiswa, dan pengelola.
Komponen
pengelolaan
tutorial
yang
dipandang “kurang” adalah “ketersediaan dan
kelayakan alat penerangan di dalam kelas
tutorial”.
Dari hasil angket terbuka untuk para
pengelola pokjar, juga diperoleh temuan masih
lemahnya aspek-aspek pengelolaan tutorial,
antara lain disebabkan oleh faktor-faktor: (1)
kurangnya rasa percaya diri dan kemampuan
mahasiswa dalam membagi waktu belajar; (2)
kurangnya komunikasi antara tutor dengan
pengelola pokjar yang cukup menghambat
kelancaran
pelaksanaan
tutorial;
(3)
keterlambatan bahan ajar (modul) yang
dipandang sangat mempengaruhi pengelolaan
pembelajaran pada umumnya; (4) kurangnya
partisipasi mahasiswa dalam proses tutorial.
Para mahasiswa tidak membawa permasalahan
yang akan dibahas di dalam tutorial, mereka
hanya datang, duduk, dan mendengarkan
penjelasan tutor (kurang memahami belajar
mandiri), dan (5) berbagai tugas dan tanggung
jawab yang diemban oleh pengelola pokjar
kadang-kadang
berbenturan
waktunya,
sehingga kadang-kadang pula menjadi kendala
dalam pengelolaan tutorial.
36
Dari sejumlah hasil penelitian, ada
tiga aspek penting dalam pengelolaan tutorial
yang dipandang kurang kondusif bagi
terciptanya tutorial yang efektif, yakni: tingkat
partisipasi aktif mahasiswa; komunikasi tutormahasiswa dalam tutorial; dan ketersediaan
modul. Dari aspek tingkat partisipasi
mahasiswa, sejumlah penyebabnya antara lain:
(a) lemahnya kultur belajar dan pembelajaran
mahasiswa (Zuhairi, 1995; Kadarko, 2000;
Abdurrahman, dkk 1999; Darmayanti, 2001;
Puspitasari,
2003);
(b)
ketidaksiapan
mahasiswa mengikuti tutorial (Abdurrahman,
dkk 1999; Farisi, 1996; Teguh, 2004; Sunaryo,
2005; Elison, 1990; Harsasi, 1993); (c) sikap
dan persepsi Tutor yang tidak sejalan dengan
konsep tutorial ideal (Teguh & Nazret, 2004;
Tim, 1999a; 1999b; Teguh, 2004). Dari aspek
ketersediaan modul, faktor yang paling krusial
adalah ketidaktepatan waktu penerimaan
modul oleh mahasiswa (Farisi, 1996; Sunaryo,
2005; Nawawi, 1993), dan kondisi modul
ditengarai tidak sepenuhnya mendukung
kemandirian belajar mahasiswa (Pannen,
dalam Tim, 1999c).
3. Prestasi Belajar Mahasiswa
Penelitian
evaluasi
terhadap
efektivitas SBJJ dalam penyelenggaraan DIIPGSD dikaji dari aspek pencapaian prestasi
belajar mahasiswa, mencakup indikator tingkat
kelulusan mata kuliah per semester, IPS, IPK,
dan kelulusan akhir program), menunjukkan
hasil yang sangat variatif, dan belum
sepenuhnya efektif.
Prestasi belajar mahasiswa DII-PGSD
bervariasi untuk masing-masing aspeknya
(tingkat kelulusan mata kuliah per semester,
IPS, IPK, dan kelulusan akhir program).
Dilihat dari tingkat kelulusan setiap
matakuliah per semester “tinggi”, dengan
tingkat kelulusan rerata 84.78% atau rerata
15.22% yang tidak lulus. Mata kuliah yang
tingkat kelulusannya di atas 70% sebanyak 19
(86.4%) mata kuliah dari total 22 mata kuliah
yang ditempuh selama lima semester.
IPS dalam lima semester, setiap
semesternya “rendah” (1.89--2.6) dengan
rerata 2.25 per semesternya. Interval IPS
mahasiswa juga umumnya (57.1%) berada
pada interval 2.00 – 2.75. Selain itu, IPS setiap
semesternya terjadi “penurunan” dari semester
I--III, yakni sebesar 0.22 pada semester I--II;
sebesar 0.1 pada semester II–III. Akan tetapi
pada semester-semester selanjutnya terjadi
“kenaikan” yakni sebesar 0.69 pada semester
III–IV, dan sebesar 0.02 pada semester IV–V.
IPK mahasiswa secara umum berada
pada kategori “cukup” (68.9%), hanya 1.9%
yang berkategori “memuaskan”. Akan tetapi,
IPS dalam kategori “gagal” juga masih cukup
besar yakni 29.2% atau sebanyak 31 orang.
Tingkat kelulusan akhir program mahasiswa
secara kuantitatif “sedang”, dengan persentase
sebesar 70.8%. Akan tetapi, secara “kualitatif”
“belum memuaskan”, karena 68.9% IPK yang
dicapai berada pada rentangan 2.00–2.74 atau
”cukup”. Jumlah mahasiswa “gagal” atau
“tidak lulus” dengan perolehan IPK pada
kisaran 0.00--1.99 sebanyak 29.2%.
Penelitian ini menemukan sejumlah
korelat masih belum optimalnya pencapaian
prestasi belajar mahasiswa, di antaranya
adalah: (1) mata kuliah dengan tingkat
kelulusannya sangat rendah atau dibawah 70%
(tiga matakuliah), tampaknya disebabkan
karena ketiga mata kuliah tersebut tidak
mensyaratkan praktik/praktikum, sehingga
nilai akhir mahasiswa hanya diperoleh dari
nilai Tugas Mandiri (maks. 15%), dan UAS
(65%), sementara kontribusi dari nilai praktik
praktik/praktikum sebesar 15%--20% tidak
diperoleh. (2) terjadinya kenaikan atau
penurunan perolehan IPS pada setiap semester
dari total lima semester, tampaknya
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: besar
kecilnya beban SKS yang ditempuh
mahasiswa per semester; ada tidaknya
matakuliah berpraktik/ berpraktikum pada
setiap semesternya.
Sejumlah studi lain tentang belum
maksimalnya prestasi belajar mahasiswa DIIPGSD, juga menemukan sejumlah korelat,
antara lain:
rendahnya
kualitas dan
keterbacaan modul (Rumanta, 1991; Julaeha,
dkk. dalam Tim, 1999b; Nuzia, 1990),
rendahnya motivasi Belajar (Nawawi, 1993),
kasus-kasus ujian--kesalahan dalam pengisian
Lembar Jawaban Ujian (Mulyadijaya, 1993),
dan belum efektifnya tutorial sebagai bentuk
bantuan belajar mahasiswa dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan belajar mandiri.
Sungguhpun demikian,
fenomena
rendahnya hasil belajar mahasiswa DII-PGSD
dengan SBJJJ tampaknya bersifat mendunia,
37
seperti dilaporkan dalam ikhtisar penelitian
Belawati (1997) dari hasil-hasil penelitian
Irish, Woodley dan parlett, dan Roberts, yang
menunjukkan bahwa tingkat kelulusan
mahasiswa jarak jauh di berbagai negara
seperti: Inggris, Amerika, Kanada, Jerman,
dan Norwegia berkisar antara 5%--60% dari
total mahasiswa. Statistik UT sendiri
menunjukkan bahwa tingkat kelulusan
mahasiswa reguler yang mendaftar pada tahun
1984-1992 hanya sekitar 5%. Hasil penelitian
Julaeha dan Pratmoko (Tim, 1999b) juga
melaporkan bahwa mayoritas mahasiswa
reguler UT antara tahun 1994-1997 hanya
memperoleh nilai dengan “batas minimal”
yaitu C, dengan tingkat kelulusan total per
matakuliah hanya 23%. Artinya, bahwa bila
seorang mahasiswa mengikuti ujian sebanyak
lima mata kuliah, maka hanya satu mata kuliah
saja yang berhasil memperoleh nilai > C.
Sungguhpun demikian, untuk menilai tingkat
efektivitas DII-PGSD dari aspek hasil belajar
dalam SBJJ sulit dilakukan, dan tidak bisa
hanya dengan melihat satu aspek hasil belajar
saja. Kesulitan untuk menentukan standar
efektivitas hasil PJJ juga ditemukan di dalam
Konferensi International Council for Distance
Education (ICDE) ke 17 yang diadakan di
Inggris pada tahun 1995 (Kesuma, et.al. 1995).
Selain itu, menilai efektivitas penyelenggaraan
PTJJ seperti yang diberlakukan pada
pendidikan konvensional (pendidikan tatap
muka) juga tidak “fair”, mengingat
karakteristik sistem pengelolaan keduanya
berbeda.
dan pengelola. Ketiga, prestasi belajar
mahasiswa DII-PGSD dengan sistem SBJJ
“cukup bervariasi” dan secara keseluruhan
“belum memuaskan”. Tingkat kelulusan
mahasiswa setiap matakuliah menunjukkan
hasil “tinggi”. Akan tetapi, tingkat kelulusan
semua per semesternya rendah; perolehan IPS
dan IPK sebanyak 50-70% berada pada
interval 2.00 – 2.74. Tingkat kelulusan
program,
secara
kuantitatif
memang
menunjukkan hasil “tinggi”, akan tetapi secara
“kualitatif” “belum memuaskan”, karena
68.9% IPK yang dicapai berada pada
rentangan 2.00–2.74/cukup.
F. Kesimpulan dan Saran
Kedua, pengelolaan tutorial perlu
lebih ditingkatkan melalui: penyiapan kondisi
ruang tutorial yang lebih layak; memilih lokasi
tempat tutorial yang berdekatan atau dapat
dijangkau dari tempat tinggal mahasiswa;
lebih
mempartisipasiaktifkan
mahasiswa
dalam kelas tutorial dengan menerapkan
model-model tutorial yang aktif-partisipatif;
meningkatkan komunikasi dua arah antara
tutor dan mahasiswa dalam tutorial;
pengiriman modul tepat waktu kepada
mahasiswa; memantau ketepatan waktu
kehadiran mahasiswa dalam tutorial; dan
meningkatkan pola-pola hubungan kerja antara
tutor, mahasiswa, dan pengelola yang lebih
baik.
Penelitian menyimpulkan bahwa:
pertama, pengelolaan program DII-PGSD
melalui SBJJ “sangat efektif”. Akan tetapi
sentralisasi pengelolaan tugas oleh UT-Pusat
telah menyebabkan munculnya berbagai kasus
registrasi, bahan ajar, dan ujian, yang
merugikan mahasiswa. Kedua, pengelolaan
tutorial DII-PGSD masuk kategori “sedang”,
dilihat dari kelayakan kondisi ruangan yang
digunakan untuk tutorial; kedekatan lokasi
tempat tutorial dengan tempat tinggal
mahasiswa; partisipasi aktif mahasiswa dalam
kelas tutorial; komunikasi antara tutor dan
mahasiswa dalam tutorial; ketepatan waktu
penerimaan modul oleh mahasiswa; ketepatan
waktu kehadiran mahasiswa dalam tutorial;
dan hubungan kerja antara tutor, mahasiswa,
Berdasarkan
disarankan:
temuan
di
atas
Pertama, sentralitas
pengelolaan
tugas di tingkat pusat yang telah menyebabkan
munculnya berbagai kasus registrasi, bahan
ajar, dan ujian, yang merugikan mahasiswa
perlu dikurangi melalui pemberdayaan dan
revitalisasi peran dan fungsi UPBJJ dan Pusatpusat Layanan Mahasiswa sebagai unit
pelayanan teknis administratif mahasiswa.
Selain itu juga perlu disusun Juknis dan Juklak
tentang pelaksanaan kebijakan DII-PGSD
secara lebih rinci dan operasional untuk setiap
gugus pelaksana, baik bagi pengelola program,
pelaksana,
pengelola
administrasi,
penanggungjawab prodi, dan pengelola UPP.
Hal ini dipandang penting, agar setiap
pelaksana program bisa menjalankan fungsi
pengelolaan sesuai dengan tanggungjawabnya
masing-masing.
Ketiga, untuk lebih meningkatkan
hasil belajar mahasiswa, perlu dilakukan kaji
38
ulang terhadap aspek: jumlah beban belajar
(SKS)
per
semester,
dengan
mempertimbangkan kesiapan, kemampuan,
dan kesempatan belajar mahasiswa dalam
aktivitas belajar mandirinya; dan aspek sistem
penilaian yang berlaku dengan memberikan
nilai kontribusi pada kegiatan/tugas tutorial.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, et.al. (1999). Model-model
tutorial. Bahan ajar program akreditasi
tutor Universitas terbuka (PAT-UT).
PAU-PAI Universitas Terbuka. 31-78.
Belawati, T. (1997). Cara mengukur dropout
di Universitas Terbuka. Komunika,
No.15/Tahun IV. hal. 6-11.
Darmayanti, T. (2001). Self-directed learning
readiness scale: Adaptasi Instrumen
Penelitian Belajar Mandiri. (Versi
elektronik),
Jurnal
Pendidikan
Terbuka dan Jarak Jauh. 2(2). 1-4.
usaha untuk mencari pola pendekatan
belajar yang efektif dalam menempuh
studi di Universitas Terbuka. Tesis
master tidak diterbitkan, Fakultas
Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Jakarta.
Kasroen, A. (1992). Studi penjajagan tentang
kasus-kasus pesanan bahan belajar
lewat surat ke distribusi UT pusat
menjelang masa akhir registrasi.
Abstrak laporan penelitian. Jakarta:
Puslitga-UT.
Keegan, D.(1991). Foundations of distance
education.
2nd
ed.
London:
Routledge.
Kesuma, R. et.al. (1995). Upaya meningkatkan
kualitas pendidikan jarak jauh. dalam
Komunika, No.12/Tahun II. 12-16.
Moore, M.G. & Kearsley, G. (1996). Distance
education: A system view. California:
Wadsworth.
Elison, (1990). Pengaruh kebiasaan belajar,
sikap dan kemampuan dasar terhadap
prestasi
belajar
mahasiswa
Universitas Terbuka di lingkungan
UPBJJ-UT Palangkaraya. Abstrak
laporan penelitian. Jakarta: PuslitgaUT.
Mulyadijaya. I.S. (1993). Studi terhadap
tingkat kesalahan mahasiswa dalam
mengisi lembar jawab ujian (LJU)
sistem komputer di Universitas
Terbuka. Abstrak laporan penelitian.
Jakarta: Puslitga-UT.
Farisi, M. Imam. (2001), Masalah-masalah
belajar mandiri pada mahasiswa
PPD-II GSD Universitas Terbuka,
Laporan penelitian tidak diterbitkan.
Jakarta: Lemlit-Universitas Terbuka.
Musa, I., Sulistiorini, & Imawati, L. (1993).
Efektifitas
penyelenggaraan
dan
tingkat manfaat ekonomi program
penyetaraan D-II PGSD. Abstrak
laporan penelitian. Jakarta: PuslitgaUT.
Haryono, A. (2001). Belajar mandiri: Konsep
dan penerapannya dalam system
pendidikan dan pelatihan terbuka/jarak
jauh. Dalam Jurnal Pendidikan dan
Terbuka dan Jarak Jauh. Vol. 2.
Number 2. 15-23.
McMillan, J.H. & Schumacher, H. (2001).
Research in education: A conceptual
introduction. fifth edition. New York:
Addison Wesley Longman, Inc.
Harsasi, (1993). Hubungan minat membaca
dengan prestasi belajar mahasiswa
penyetaraan DII guru SD semester V
di kabupaten sragen. Abstrak laporan
penelitian. Jakarta: Puslitga-UT.
Kadarko, W. (2000). Belajar mandiri dalam
konteks pendidikan jarak jauh: Suatu
Nawawi. H. et.al. (1993). Studi perbandingan
mengenai motivasi dan prestasi
belajar mahasiswa PGSD setara D II
proyek dan program swadana dengan
cara belajar jarak jauh. Abstrak
laporan penelitian. Jakarta: PuslitgaUT.
Nurhasanah. (1992). Peranan UPBJJ dalam
mengurangi kasus registrasi dan ujian
39
mahasiswa.
Abstrak
laporan
penelitian. Jakarta: Puslitga-UT.
Nuzia, W.Z. (1990). Kesesuaian antara GBPP
dengan modul matakuliah IPS-I
program D-II penyetaraan guru SD di
FKIP UT. Abstrak laporan penelitian.
Jakarta: Puslitga-UT.
mandiri
serta
bukti
registrasi
mahasiswa UT melalui kantor pos
masa registrasi 89.2. Abstrak laporan
penelitian. Jakarta: Puslitga-UT.
Zuhairi. A. (1995). “Pendidikan tinggi massa,
pendidikan jarak jauh dan pendidikan
terbuka”. Dalam Komunika, Nomor
12,
Tahun
11.
6-11.
Rumanta, M. (1991). Readibility materi pokok
pendidikan ilmu pengetahuan alam I
edisi pertama program penyetaraan
DII guru SD di FKIP Universitas
Terbuka. Abstrak laporan penelitian.
Jakarta: Puslitga-UT.
Suparman, A. (1991), SBJJ, materi pendukung
penataran tutor PGSD, Jakarta: Ditjen.
Dikti, Universitas Terbuka,
UT. (1992). Katalog program penyetaraan DII guru sekolah dasar (edisi kedua)..
Jakarta:
Depdikbud,
Universitas
Terbuka.
UT. (1998). Katalog Universitas Terbuka
1998
(Edisi
Kedua).
Jakarta:
Depdikbud, Universitas Terbuka.
Rumanta, M. (1991). Readibility materi pokok
pendidikan ilmu pengetahuan alam I
edisi pertama program penyetaraan
DII guru SD di FKIP Universitas
Terbuka. Abstrak laporan penelitian.
Jakarta: Puslitga-UT.
Sunaryo, P.V.M. (2005). Strategi belajar
mahasiswa PPD-II PGSD Universitas
Terbuka. (Versi elektronik), Jurnal
Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh.
6(1). 4-8.
Steiner (tt). What is distance education.
Diambil pada tanggal 10 Maret 2006,
dari http://www.dlrn.org/ library/
dl/whatis.html..
Teguh & Narzet, Y. (2004). Sikap tutor PGSD
Universitas Terbuka terhadap program
tutorial. (Versi elektronik), Jurnal
Pendidikan, 5(2), 89-100.
Wasono, N.E. (1980). Evaluasi pendirian
UPPT kabupaten: Pengkajian tentang
pemrosesan pengiriman naskah tugas
mandiri dan lembar jawaban tugas
40
PEMANFAATAN CERITA ANAK SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN
PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SEKOLAH DASAR
Barokah Widuroyekti
Abstrak: Pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar (SD) memerlukan bahan
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa SD. Bahan pembelajaran
apresiasi sastra selain harus memperhatikan perkembangan anak juga harus
mempertimbangkan unsur-unsur dalam karya sastra itu sendiri, yang meliputi aspek
bentuk dan aspek isi. Pemilihan bahan pembelajaraan apresiasi sastra di SD dapat
dilakukan dengan memanfaatkan cerita anak dalam media massa anak maupun bukubuku cerita anak. Pemanfaatan cerita anak sebagai bahan pembelajaran apresiasi
sastra di SD tercermin dari strategi pembelajaran yang dirancang guru, yakni dalam
pemilihan jenis kegiatan pembelajaran dan penyusunan langkah-langkah kegiatan
belajar-mengajar.
Kata-kata kunci: cerita anak, bahan pembelajaran apresiasi sastra, sekolah dasar
Pendahuluan
Pemikiran terhadap pengemba-ngan
bahan pembelajaran apresiasi sastra di SD
perlu mendapat perhatian tersendiri.
Pengembangan
bahan
pembelajaran
apresaisi sastra selain harus memperhatikan
perkembangan
anak
juga
harus
mempertimbangkan unsur-unsur sastra itu
sendiri.
Peran guru dalam memilih dan
mengembangkan bahan pembelajaran sastra
sangat penting. Dalam hal ini guru menjadi
perancang bahan sekaligus pengalaman
belajar anak.
Bahan pembelajaran yang dipilih
perlu mempertimbangkan kebutuhan dan
perkembangan anak serta sesuai dengan
situasi dan kondisi. Untuk itu, guru dapat
mengembangkan bahan sendiri maupun
memanfaatkan bahan yang telah tersedia di
lingkungan.
Pemilihan bahan pembelajaran
sastra dengan memanfaatkan karya sastra
dapat dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik sastra anak disesuaikan dengan
kurikulum yang berlaku.
Selama ini, guru masih sering
mengalami kesulitan dalam memilih dan
mengembangkan
bahan
pembelajaran
apresiasi sastra. Pemilihan bahan sering
hanya bersumber dari buku paket maupun
buku-buku dari penerbit komersial.
Kondisi demikian disebabkan oleh
berbagai faktor, misalnya, kurangnya
kreativitas guru, kurangnya pengetahuan
guru tentang karya sastra, kurangnya
pemahaman
guru
tentang
aspek
perkembangan anak, dan sebagainya.
Seiring
dengan
semakin
menjamurnya media massa anak-anak,
peluang guru untuk memanfaatkan teks
sastra di media massa tersebut semakin
besar. Namun demikian, hal ini perlu
dibarengi dengan kemauan dan kemampuan
untuk memilih teks sastra yang cocok untuk
dijadikan sebagai bahan pembelajaran
apresiasi sastra di SD.
Dalam rangka pemilihan bahan
apresiasi sastra di SD, artikel ini akan
mengupas berbagai hal menyangkut
pembelajaran apresiasi sastra di SD dan
pemanfaatan sastra anak dalam majalah
anak
sebagai
alternative
bahan
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah
dasar.
41
Hakikat
Pembelajaran
Apresiasi
Sastra di Sekolah Dasar
Apresiasi sastra adalah suatu
proses penghayatan yang kreatif. Dalam
kegiatan apresiasi ada beberapa aspek
kejiwaan yang terlibat, seperti: aspek
kognitif, emosional, evaluatif, etis, serta
imajinatif.
Oleh
karena
apresiasi
menyangkut unsur-unsur subjektif maka
pengajaran apresiasi sastra hendaknya
tidak dipandang sebagai pengajaran teori,
melainkan harus mengaitkan teori dengan
praktik dalam suatu keutuhan yang
terpadu.
Meskipun demikian, pengajaran
sastra di Indonesia masih dikungkung
oleh wawasan tradisional yang tercampur
dengan
wawasan
New
Criticism
(Aminuddin, dalam Jabrohim, 1994:128).
Wawasan tradisional ditandai oleh
penyikapan karya sastra sebagai dunia
adicita yang mengandung keluhuran dan
nilai maha dalam. Adapun pengaruh
wawasan New Crticicism tampak pada
adanya pemilahan unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Dalam hal ini, karya sastra
disikapi sebagai objek yang memiliki
substansinya sendiri. Akibatnya bahan
pengajaran sastra memberi
kesan
dipotong-potong tanpa memperhatikan
kebermaknaan hubungan yang satu
dengan yang lain.
Pembelajaran apresiasi sastra di
SD disajikan dalam lingkup pembelajaran
bahasa
Indonesia.
Lebih
khusus,
pembelajaran apresiasi sastra dimasukkan
dalam katagori keterampilan membaca.
Dalam konteks pembelajaran bahasa
Indonesia, keterampilan membaca yang
dilatihkan
meliputi
keterampilan
membaca permulaan dan keterampilan
membaca pemahaman. Keterampilan
membaca pemahaman dipilah dalam
beberapa
pilahan,
yang
menurut
taksonomi yang diadaptasi dari Smith
(dalam Rubin, 1993:195) meliputi empat
katagori keterampilan pemahaman, yakni:
(1) pemahaman literal, (2) pemahaman
interpretative, (3) pemahaman kritis, dan
(4) pemahaman kreatif.
Fungsi pengajaran apresiasi sastra
adalah: (a) melatih keempat keterampilan
berbahasa
(mendengar,
berbicara,
membaca, menulis); (b) menambah
pengetahuan tentang pengalaman hidup
manusia:
adapt
istiadat,
agama,
kebudayaan;
(c)
membantu
mengembangkan
kepribadian;
(d)
membantu pembentukan watak; (e)
memberi kenyamanan, keamanan, dan
kepuasan melalui kehidupan manusia
dalam fiksi; (f) meluaskan dimensi
kehidupan
dengan
pengalamanpengalaman baru hingga dapat melarikan
diri sejenak dari kehidupan yang
sebenarnya (Wardani dalam Ahmadi,
1990:87).
Gambaran tentang pengajaran
apresiasi sastra di sekolah dasar dapat
diuraikan melalui beberapa komponen
yang terlibat, antara lain: (1) tujuan
pembelajaran
sastra;
(2)
bahan
pembelajaran sastra.
Tujuan Pembelajaran Apresiasi Sastra
Tujuan pembelajaran apresiasi
sastra adalah membina agar anak
memiliki kesanggupan untuk memahami,
menikmati, dan menghargai suatu cipta
sastra (Jabrohim, 1994:144). Pembinaan
sastra dalam pengajaran sastra merupakan
usaha mendekatkan anak dengan sastra,
menumbuhkan rasa peka dan rasa cinta
anak kepada sastra sebagai cipta seni.
Diharapkan pengajaran sastra dapat
membantu menumbuhkan keseimbangan
antara perkembangan berbagai aspek
kejiwaan anak sehingga terbentuk suatu
kebulatan pribadi yang utuh.
Tujuan pembelajaran apresiasi
sastra sebagaimana tercantum dalam
kurikulum 2004 adalah siswa mampu
42
menikmati dan memanfaatkan karya
sastra
untuk
mengembangkan
kepribadian,
memperluas
wawasan
kehidupan,
serta
meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
perkembangan
psikologis
anak
hendaknya diperhatikan karena tahaptahap ini sangat besar pengaruhnya
terhadap minat anak terhadap banyak hal
termasuk karya sastra.
Bahan Pengajaran Apresiasi Sastra
Bahan pengajaran apresiasi sastra
termasuk dalam ruang lingkup standar
kompetensi mata pelajaran bahasa
Indonesia, aspek membaca, yakni
apresiasi dan ekspresi sastra melalui
kegiatan membaca hasil sastra berupa
dongeng, cerita anak-anak, cerita rakyat,
cerita binatang, puisi anak, syair lagu,
pantun, dan drama anak. Pembelajaran
apresiasi sastra harus disesuaikan dengan
kompetensi-kompetensi yang terdapat
pada setiap aspek. Pemilihan bahan ajar
untuk kompetensi-kompetensi tersebut
dicari pada sumber-sumber yang relevan.
Pemilihan bahan pembelajaran
apresiasi
sastra
hendaknya
mempertimbangkan: (a) usia dan tingkat
pengetahuan peserta ajar; (b) jumlah
peserta ajar tiap kelas; (c) waktu yang
dipakai untuk menyajikan satu scenario
program satuan pelajaran; (d) bahan ajar
mudah didapat.
Bahan pengajaran apresiasi sastra
dibedakan ke dalam: bahan apresiasi
sastra tidak langsung dan apresiasi
langsung. Apresiasi tidak langsung
mengacu pada pengajaran teori dan
sejarah yang berfungsi untuk menunjang
bahan yang kedua, yakni siswa secara
langsung dihadapkan pada karya sastra
(Nurgiyantoro dalam Jabrohim, 1994:53).
Pembelajaran
sastra
haruslah
diorientasikan
kepada
pemahaman
pembaca karya sastra, bukan pada
keterampilan menghafal teori sastra.
Keterampilan proses komunikatif yang
diharapkan hadir dari hasil pemahaman
membaca karya sastra yaitu kemampuan
merekonstruksi bangun sastra secara
faktual, yang berwujud pengalamanpengalaman hidup yang berharga. Oleh
karena itu, bahan ajar yang berupa karya
sastra harus terjadi secara utuh.
Pemilihan bahan pengajaran
sastra perlu mempertimbangkan aspekaspek berikut: (1) bahasa; (2) kematangan
jiwa (psikologi); (3) latar belakang
kebudayaan para siswa. Karya sastra
sebagai bahan pengajaran hendaknya
dipilih sesuai dengan tingkat penguasaan
bahasa siswa. Selain itu, tahap-tahap
Pemilihan buku-buku bacaan
untuk anak menuntut pengetahuan
tentang perkembangan anak. Buku-buku
bacaan
yang
dipilih
haruslah
memperhitungkan
perkembangan
kognitif, perkembangan bahasa, dan
konsep moralitas, serta dimensi sosial
tempat
mereka
belajar
dan
berinteraksi(Cullinan, 1989:12).
Cerita Anak
Cerita anak merupakan salah satu
jenis sastra anak. Batasan tentang sastra
anak antara lain dikemukakan oleh
Sujiman (1984), yang menyatakan bahwa
cerita anak adalah kisahan nyata ataupun
rekaan yang berbentuk prosa maupun
puisi yang tujuannya memberikan
informasi
dan menghibur kepada
pembacanya (anak). Definisi yang lebih
luas dikemukakan oleh Kurt Frans dan
Bernhard (1986), yang menyebut dengan
istilah literer anak-anak, yakni semua teks
yang disusun oleh orang dewasa atau
anak-anak yang dapat diterima oleh anakanak dan ditujukan bagi anak-anak.
Sarumpaet (1988), menyatakan bahwa
bacaan anak-anak adalah bacaan yang
ditulis oleh orang dewasa untuk anakanak dan pembacaannya dibimbing oleh
orang dewasa.
Cerita
anak
memiliki
karakteristik
khusus
yang
membedakannya dengan cerita orang
dewasa. Karekteristik cerita anak
43
mencakup dua sudut tinjauan, yakni dari
segi bentuk dan segi isi. Sebagai salah
satu bentuk karya sastra, cerita anak
memiliki aspek isi, yakni tentang
pengalaman hidup manusia sedangkan
aspek bentuk adalah segi-segi yang
menyangkut cara penyampaian, yakni
cara sastrawan memanfaatkan bahasa
yang indah untuk mewadahi isi (Semi,
1988).
jenis cerita, topik, tema, amanat, dan
amanat.
Pengkajian terhadap unsur bentuk
dan isi cerita anak ini penting sebagai
pedoman dalam pemilihan bahan
pengajaran apresiasi sastra yang baik dan
bermutu. Dalam hal ini, tidak setiap
cerpen dapat dijadikan sebagai bahan
pengajaran
di
sekolah.
Perlu
dipertimbangkan
nilai-nilai
yang
terkandung dalam karya sastra. Nilai
sebuah karya sastra tidak hanya
ditentukan oleh isi tetapi merupakan hasil
tinjauan tentang isi dan struktur
(Asandhimitra,
1992:4).
Untuk
mengetahui bermutu atau tidaknya suatu
karya sastra dapat ditelusuri melalui
bentuk ungkapan yang indah, isi
ungkapan, bahasa ungkapan, dan nilai
ekspresinya (Suhendar dan Pien Supinah,
1993:14). Sarwadi menyatakan bahwa
ada
berbagai
hal
yang
perlu,
dipertimbangkan dalam pemilihan cerita
sebagai bahan pembelajaran, antara lain
segi estetik, segi psikologis, segi
ideology, dan segi pedagogis (dalam
Jabrohim, 1994:173).
Cerita anak sebagai bahan
pembelajaran apresiasi sastra haruslah
memiliki alur yang tidak berbelit-belit
sehingga mudah dipahami oleh anak.
Cerita yang dipilih hendaknya memiliki
alur yang jelas, artinya tahapan-tahapan
peristiwa dalam aspek lakuan maupun
percakapan diperlihatkan dengan jelas
berdasarkan hukum sebab akibat.
Karakteristik Cerita Anak sebagai
Bahan Pembelajaran
Demikian juga, penggambaran
latar dalam cerita anak haruslah jelas,
misalnya, latar tempat digambarkan
dengan menampilkan tempat-tempat yang
sudah dikenali oleh anak, misalnya
lingkungan sekolah, rumah, pasar, dapat
juga penggambaran yang lebih spesifik,
seperti benda-benda. Penggambaran latar
waktu juga harus jelas sesuai dengan
karakteristik anak yang masih berada
pada masa realistis dan kekinian.
Sastra di Sekolah Dasar
Cerita anak merupakan salah satu
genre sastra, yang memiliki karakteristik
yang membedakannya dengan cerita
untuk orang dewasa. Karakteristik cerita
anak meliputi segi bentuk dan segi isi
cerita. Segi bentuk meliputi aspek:
struktur formal, bahasa, dan format cerita,
sedangkan aspek isi cerita mencakup:
Karakteristik Segi Bentuk Cerita
Sebagai fenomena sastra, cerita
anak dapat ditinjau dari unsur-unsur
pembangun cerita dari segi bentuk
meliputi: alur, tokoh dan penokohan,
latar, pusat pengisahan, dan bahasa., serta
format cerita.
Jalan cerita yang dipilih perlu
mempertimbangkan
aspek
kemenarikannya, misalnya cerita yang
penuh ketegangan. Gaya penceritaan yang
bersifat langsung, yakni permasalahan
yang dikemukakan dibuat sesingkat
mungkin dan langsung menampilkan
masalah yang mendasar, misalnya tentang
kebenaran dan ketidakbenaran, kebaikan
dan keburukan, dan sebagainya.
Tokoh dan penokohan dalam
cerita anak hendaknya digambarkan
secara jelas dan langsung, misalnya tokoh
si kancil adalah binatang yang pintar dan
mempunyai banyak akal. Tokoh dapat
juga
digambarkan
dengan
cara
penggambaran dari segi fisik.
anak
Pusat pengisahan dalam cerita
hendaknya disesuaikan dengan
44
karakteritik anak adalah pengisahan yang
berpusat pada tokoh, yakni dengan cara
memberikan keleluasaan pada tokoh
untuk bertutur.
Bahasa yang digunakan dalam
cerita anak haruslah mudah dipahami oleh
anak, yakni bahasa yang sesuai dengan
tingkat perkembangan dan tingkat
penguasaan bahasa anak. Termasuk
dalam aspek bahasa ini adalah cara
penulisan yang dipakai pengarang, ciriciri karya sastra pada waktu penulisan
karya tersebut, dan kelompok pembaca
yang ingin dijangkau pengarang.
Penggunaan bahasa dalam cerita
anak perlu memperhatikan hal-hal
berikut: (1) kalimat yang digunakan
pendek-pendek dan sederhana dengan
struktur yang jelas; (2) kata-kata kias
dapat digunakan agar bacaan dapat
dimengerti, kata-kata kias tersebut
berfungsi sebagai penutup celah antara
bahasa sehari-hari (percakapan) dan
bahasa tulis yang digunakan dalam
bacaan anak; (3) penggunaan gramatikal
untuk memperkaya perbendaharaan kata
anak dengan mengenalkan kosakata baru
sesuai dengan tingkat perkembangan
sehingga
kemampuan
mereka
berkembang secara alami (Rahayu,
1993:43).
Karakteristik Segi Isi Cerita
Cerita anak memiliki tema yang
dapat digolongkan ke dalam: cerita
detektif,
petualangan/pengembaraan,
kepahlawanan, fiksi sejarah, fiksi ilmiah,
cerita keluarga, cerita binatang, cerita
misteri, dan lain-lain (Dermawan,
1985:25).
Topik cerita dalam cerita anak
merupakan realitas kehidupan sehari-hari
yang dapat mengembangkan daya
imajinasi anak secara wajar. Penyajian
topik
cerita
dilakukan
dengan
mempertimbangkan kepadatan ide cerita.
Cerita yang topiknya terlalu padat ide
dapat mengganggu pembaca dalam
menikmati bacaannya.
Cerita anak memuat tema dan
amanat sebagai ide yang mendasari suatu
cerita, sebagai pangkal tolak yang
digunakan oleh pengarang dalam
memaparkan cerita. Dalam hal ini, tema
adalah pandangan hidup atau perasaan
tertentu mengenai kehidupan atau
rangkaian nilai-nilai yang membentuk
gagasan utama dalam suatu karya sastra
(Broks dkk dalam Tarigan, 1995:125).
Tema dalam cerita anak berbeda
dengan tema dalam cerita orang dewasa.
Yang membedakan bacaan sastra anak
dengan bacaan sastra orang dewasa
adalah
adanya
pantangan
dalam
menampilkan
tema
dan
amanat
(Sarumpaet, 1988). Bahwa tidak semua
tema dalam kehidupan ini dapat diangkat
dalam bacaan sastra anak-anak. Tema
dalam cerita anak lazimnya adalah
tentang kemanusiaan, kepahlawanan,
cinta dan kemiskinan, yang disesuaikan
dengan alam pikiran anak. Selain itu,
tema-tema yang mengajarkan tentang
sikap-sikap
yang
benar
terhadap
kejahatan,
kekerasan
dana
ketidaktoleransian, dan tema-tema yang
mendorong anak menjadi warga negara
yang lembut, toleransi, dan baik (Ellis,
1973).
Karakteristik yang juga penting
dalam cerita anak adalah aspek imajinasi.
Dalam cerita fiksi penulis tidak
memusatkan perhatian pada apa-apa yang
terjadi secara aktual atau yang benarbenar terjadi tetapi justru memusatkan
perhatian sepenuhnya pada apa-apa yang
dapat terjadi (tetapi belum tentu terjadi)
(Tarigan, 1991:122). Tugas penulis fiksi
untuk membuat para tokoh imajinatif
dalam karyanya itu menjadi hidup.
Unsur imajinasi atau kefiksian
adalah sifat rekaan atau khayalan yang
tertuang dalam teks cerita. Dalam teks
cerita dapat ditemukan ciri-ciri penanda
yang menunjukkan apakah sebuah karya
termasuk fiksi atau nonfiksi, yang disebut
indikasi-indikasi
fiksional.
Indikasi
fiksional dapat dibedakan menjadi dua,
45
yakni indikasi yang terdapat di dalam teks
dan indikasi yang berada di luar teks.
Indikasi di dalam teks meliputi indikasi
formal dan indikasi referensial.
Indikasi formal adalah indikasi
yang dapat dikenali melalui system tanda
yang digunakan dalam teks, baik yang
berbentuk bahasa maupun nonbahasa,
bias bersifat konvensional maupun
nonkonvensional. Tanda yang bersifat
konvensional adalah tanda yang lazim
dipakai dalam suatu cerita, misalnya pada
cerita dongeng diawali dengan kalimat
“Pada suatu hari …” atau “Di sebuah
desa …”. Sedangkan sistem tanda yang
nonkonvensional adalah indikasi yang
bersifat orisinal dan tidak lazim.
Indikaksi lain yang digunakan
dalam fiksi adalah indikasi referensial,
yakni indikasi yang berkaitan dengan
penggunaan nama diri, ketidakmungkinan
ruang, kelompok peristiwaan, dan
indikasi naratif. Indikasi ini dapat
dikenali dari unsur-unsur atau tanda-tanda
teks yang acuan atau referennya fiktif.
Kelompok peristiwaan adalah peristiwaperistiwa yang hanya ada pada ceritacerita tertentu, misalnya peristiwa
petualangan hanya akan diterima oleh
jenis cerita petualangan. Sedangkan
indikasi naratif menunjukkan bahwa yang
diceritakan adalah cerita atau hal yang
diketahui. Indikasi ini dapat ditemukan
dalam cerita yang berbentuk “dia-an”,
atau pencerita sebagai orang ketiga.
Dalam bentuk penceritaan yang demikian,
apabila pencerita menyampaikan hal-hal
yang tidak diketahui pembaca maka jelas
bahwa cerita tersebut bersifat fiksional.
Pemanfaatan Cerita Anak sebagai
Bahan Pembelajaran Apresiasi Sastra
di Sekolah Dasar
Wawasan New Criticism yang memilah
karya sastra dalam unsur intrinsik dan
ekstrinsik telah mengasingkan karya
sastra dari dunia apresiasi pembacanya.
Oleh karena itu, orientasi teoretis dalam
pembelajaran sastra perlu diubah. Karya
sastra bukan lagi disikapi sebagai struktur
otonom tetapi disikapi sebagai gejala
yang ada dalam hubungan timbal balik,
yakni karya sastra pembaca.
Berkaitan dengan perubahan
orientasi
teoretis
tersebut,
dalam
pembelajaran sastra tugas guru bukan lagi
menjelaskan apa itu karya sastra secara
terpotong-potong
tetapi
lebih
menekankan pada penjelasan tentang
“bagaimana cara memahami karya
sastra”. Untuk itu, dalam pembelajaran
apresiasi sastra, selain perlu disediakan
bahan bacaan berupa karya sastra, guru
juga harus memahami prosedur kegiatan
yang akan ditempuh dalam proses
pemahaman karya sastra. Selanjutnya,
prosedur
pemahaman
tersebut
diaktualisasikan dan dijabarkan dalam
langkah-langkah
kegiatan
belajarmengajar.
Strategi pembelajaran apresiasi
sastra
perlu
diorientasikan
pada
Pendekatan Interaksi Dinamis (PID)
(Aminuddin, 1997). Dengan pendekatan
ini, pembelajaran apresiasi sastra bukan
mengutamakan pada pemahaman yang
bersifat hafalan maupun hasil melainkan
pada (a) penghayatan karya sastra secara
langsung, (b) pembuahan pengalaman
keindahan melalui penghayatan karya
sastra secara langsung secara personal, (c)
pengembangan
daya
imajinasi,
kemampuan berpikir kritis dan kreatif,
serta (d) penghubungan pengalaman dan
pengetahuan dalam mengapresiasi karya
sastra dengan pengalaman pribadi
maupun konteks kehidupan secara aktual.
Berorientasi
pada
wawasan
tersebut, pembelajaran apresiasi sastra
pada tahap awal perlu memusatkan
perhatian pada upaya mengembangkan
daya imajinasi, daya berpikir secara kritis
maupun kreatif.
Berikut ini dikemukakan contoh
pemanfaatan cerita anak sebagai bahan
apresiasi sastra di kelas 6 SD, dengan
mengandaikan
komponen-komponen
pembelajaran sebagai berikut.
46
Kompetensi Dasar: Membaca Intensif.
Hasil Belajar: Membaca Intensif Teks
Narasi.
Indikator: (a) memberi judul teks
dengan kata-kata sendiri, (b)
mencatat
ide
pokok
tiap
paragraph,
(c)
mengajukan
pertanyaan tentang isi bacaan,
(d) menuliskan rincian isi teks.
Materi Pokok: Teks Narasi/200-250
kata (Depdiknas, 2004).
Judul teks narasi yang akan dijadikan
sebagai
bahan bacaan,
misalnya
“Terpasung”
Dengan
mengandaikan
komponen-komponen
pembelajaran
tersebut, dapat dirancang garis besar
prosedur pembelajaran apresiasi sastra
dengan memanfaatkan cerita anak sebagai
berikut.
(1) Guru membagikan teks cerita (berupa
foto copy teks cerita anak, yang
diambilkan dari majalah anak) dan
meminta siswa membaca dalam hati
teks cerita tersebut. Siswa membaca
teks cerita selama lebih kurang 20
menit. Dalam kegiatan awal ini, guru
mengarahkan
siswa
untuk
mengidentifikasi isi cerita yang
secara faktual ada dalam teks.
Kegiatan ini dapat dipandu dengan
pertanyaan-pertanyaan yang telah
disiapkan oleh guru. Misalnya:
Bagaimana cerita itu dimulai?
Pelukisan latarnya bagaimana? Siapa
tokoh utamanya? Bagaimana keadaan
tokoh-tokohnya pada waktu itu?
Mereka
sedang
berbuat
apa?
Peristiwa itu terjadi pada masyarakat
modern atau tradisional? Apa
alasannya? Siapakah Puti itu?
Bagaimana
orang
tuanya
memperlakukannya? Mengapa ia
dipasung? Pertanyaan-pertanyaan ini
bersifat literal, yang digunakan untuk
membantu pemahaman makna teks.
(2) Setelah pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat informatif itu terjawab,
selanjutnya siswa diminta untuk
membuat ringkasan cerita atau
menceritakan kembali isi cerita secara
lisan. Lewat kegiatan ini, siswa
belajar menyusun kalimat secara
tertulis maupun lisan. Meskipun
demikian, yang menjadi fokus utama
pada dasarnya adalah pengembangan
daya imajinasi siswa.
(3) Bertolak dari penceritaan kembali isi
cerita, guru mengajukan pertanyaanpertanyaan yang sifatnya meminta
tanggapan siswa terhadap cerita.
Guru dapat mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dapat memancing
reaksi emosional siswa, seperti
berikut.

Bagaimana perasaanmu setelah
kamu membaca cerita tersebut?

Bagaimana menurutmu
orang tua Puti itu?
sikap
Kemungkinan
jawaban
yang
diinginkan adalah reaksi yang bersifat
personal. Misalnya, anak akan
mengatakan “saya merasa takut
seperti apa yang dirasakan oleh Puti
dalam cerita itu” atau siswa akan
mengatakan “saya suka melakukan
petualangan sebagaimana dilakukan
oleh empat sekawan dalam cerita
“Suatu Hari di Bulan Puasa”.
Respon-respon emosional semacam
ini mengindikasikan bahwa siswa
berinteraksi dengan cerita. Interaksi
pembaca dengan cerita ini sangat
penting, sebab “without emotional
interaction young people are not
likely to go on to develop a broad
range of responses” (Ellis dkk,
1989:57).
(4)
Langkah
selanjutnya,
guru
mengajukan pertanyaan-pertanyaan
untuk didiskusikan. Siswa dibagi
dalam kelompok-kelompok kecil,
beranggota sekitar 5—6 orang.Guru
memberi
pertanyaan-pertanyaan
47
terbuka (open questions), (guru
membagikan lembar pertanyaan yang
telah disiapkan kepada setiap
kelompok
atau
menuliskan
pertanyaan di papan tulis, atau bisa
juga guru mendiktekan). Pertanyaanpertanyaan
sebaiknya
telah
dipersiapkan oleh guru sebelumnya.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka tidak
menuntut satu jawaban yang benar
melainkan mengungkap berbagai
kemungkinan jawaban. Pertanyaanpertanyaan
tersebut
meliputi
pertanyaan interpretatif, kritis, dan
evaluatif. Misalnya:

Bagaimanakah karakter tokoh ….
dalam cerita ……?

Apakah kamu menyukai karakter
tokoh ….. sebagai temanmu?

Apakah tokoh ….. melakukan
sesuatu yang ingin kamu
lakukan? Apakah dia melakukan
sesuatu yang tidak ingin kamu
lakukan?

Apakah kamu pernah menjumpai
seseorang seperti …… dan …….?
Deskripsikan!

Apakah ada perubahan karakter
dari pelaku ketika cerita itu
berlangsung?
Bagaimana
perubahan itu terjadi? Apa yang
menyebabkan perubahan itu?

Adakah kejadian penting dalam
cerita itu?

Adakah suatu kejadian dalam
cerita yang itu kamu inginkan
terjadi padamu?

Menurutmu apa yang ingin
diceritakan oleh pengarang
kepada kita?

Bagaimana
kamu
akan
mendeskripsikan
cerita
ini
kepada temanmu?

Apa yang akan kamu katakan
jika
seseorang menanyakan
apakah kamu menyukai cerita
itu?

Apakah arti dari ……. (simbol
atau bahasa figuratif)?
Pertanyaan-pertanyaan
terbuka
seperti itu dapat memicu berpikir
siswa tentang tema, motivasi perilaku
tokoh cerita, makna dari kejadiankejadian, dan bagaimana gagasan
pengarang berhubungan
dengan
kehidupan mereka dan kehidupan
orang-orang yang dikenalnya.
(5) Setelah mendiskusikan pertanyaan
dalam kelompok, guru memimpin
diskusi kelas. Setiap kelompok diberi
kesempatan untuk membacakan atau
menceritakan tanggapan mereka
terhadap cerita dengan panduan
pertanyaan guru. Dalam kegiatan ini,
siswa belajar mereproduksi kembali
pemahaman dan pengalamannya
terkait dengan cerita yang baru
dibaca. Meskipun demikian kegiatan
ini
fokus
utamanya
adalah
terbangunnya pengalaman keindahan
melalui penghayatan cerita secara
personal. Sebab itu, dalam kegiatan
ini siswa diberi kebebasan untuk
menafsirkan isi karya sastra sesuai
dengan
dunia
pengalamannya.
Seyogyanya dihindari guru memaknai
karya sastra dari perspektif guru.
Seandainya
terjadi
perbedaan
penafsiran tentang makna cerita
antara guru dan siswa atau antara
siswa yang satu dengan yang lain
haruslah disikapi sebagai sesuatu
yang wajar.
Selain itu, pada kegiatan ini, guru
menghubungkan
pengalaman dan
pengetahuan dalam mengapresiasi
karya sastra dengan pengalaman
pribadi siswa maupun dengan konteks
kehidupan yang dialami siswa seharihari.
(6)
Pada akhir pembelajaran, guru
memberikan tugas-tugas praktis
48



untuk dikerjakan di rumah sebagai
tugas lanjutan. Contoh tugas-tugas
dikemukakan sebagai berikut.
Aminuddin. 1987. Pengantar
Membuat
diagram
tokoh-tokoh
pelaku cerita, di mana dan bagaimana
keadaannya.
Ahmadi, M. 1990. Strategi Belajar-
Membuat gambar-gambar setiap
kejadian dalam cerita, misalnya, yang
menggambarkan
tempat-tempat
terjadinya peristiwa.
Membuat diagram tentang alur atau
plot yang menunjukkan beberapa
peristiwa penting yang terjadi dalam
cerita.
Penutup
Pembelajaran apresiasi sastra di
sekolah merupakan pembelajaran yang
perlu mendapat perhatian tersendiri,
khususnya oleh para praktisi pendidikan,
dalam hal ini guru. Hal ini penting
mengingat pembelajaran sastra bukan
hanya melatihkan keterampilan berbahasa
dan apresiasi, lebih jauh pembelajaran
sastra membentuk dan mengembangkan
moral siswa serta mengajarkan nilai-nilai
kehidupan sebagai bekal menghadapi
tantangan hidup di masa datang.
Untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut, bahan pembelajaran apresiasi
sastra perlu dipilih atau dikembangkan
secara hati-hati sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa, baik dari segi
kemampuan
intelektual,
bahasa,
emosional, sosial, maupun moral.
Guru dapat memanfaatkan cerita
anak yang terdapat dalam media massa
anak atau buku-buku cerita anak sebagai
bahan pembelajaran apresiasi sastra.
Pemanfaatan cerita anak dapat dilakukan
dengan
merancang
program
pembelajaran,
dengan menggunakan
strategi pembelajaran yang lebih memberi
kebebasan
kepada
siswa
untuk
berinteraksi
dengan sastra
secara
langsung, serta memberikan tanggapan
secara personal terhadap cerita.
Referensi
Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar
Baru
Mengajar
Keterampilan
Berbahasa dan Apresiasi Sastra.
Malang: YA3
Asandhimitra. 1992. Pengayaan
Bidang Studi Bahasa Indonesia
(Kesusasteraan). Jakarta: Proyek
Pembinaan Tenaga Kependidikan
Pendidikan Tinggi, Dirjen Tinggi.
Cullinan, B. E. 1989. Literature and
the Child. Second Edition. New
York:
Harcourt
Brace
Jovanovich, Publishers.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004.
Standar
Kompetensi
Mata
Pelajaran Kelas 1 s.d. 6 Sekolah
Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah.
Jakarta: Depdiknas.
Dermawan, T. 1995. Buku Bacaan
Inpres SD sebagai Bahan
Pengajaran Apresiasi Sastra di
Sekolah
Dasar.
Malang:
Lembaga
Penelitian
IKIP
Malang.
Ellis A., Pennau J., Standal T.,
Rummel M. K. 1989. Elementary
Language Arts Instruction. New
Jersey: Prentice Hall.
Jabrohim (ed). 1994. Pengajaran
Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajaran dengan FPBS IKIP
Muhammadiyah Yogyakarta.
Rubin D. 1993. A Practical Approach
to Teaching Reading. Boston:
Allyn and Bacon.
Sarumpaet, R. K. 1976. Bacaan Anakanak:
Suatu
Penyelidikan
Pendahuluan mengenai Hakikat,
Sifat, dan Minat Anak pada
Bacaannya. Jakarta: Pustaka
Jaya.
49
Semi,
M. A.1988. Anatomi Sastra.
Padang: Angkasa Raya.
Suhendar, M. E. dan Supinah, P.
1993. Pendekatn Teori Sejarah
dan Apresiasi Sastra Indonesia.
Bandung: Pionir Jaya.
Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Tarigan, H. G. 1991. Prinsip-prinsip
Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Sujiman, P. 1984. Memahami
50
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH:
KONSEP DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PENINGKATAN MUTU GURU
S. Adi Suparto*
Abstrak
School resources are necessary but not sufficient condition to improve student
achievement. We need to realize that school as a frontline unit of formal education
with different students potency that need various educational services and different
environmental condition to one another, hence school have to be dynamic and
creative in executing its role to strive the education quality improvement. This can
only be done when school is given the opportunity to arrange and manage itself,
based on its environmental condition and protégé requirement. This opinion have
pushed the new approach existence, that the future, of educational quality
improvement management must be based on the school as the front liner in
educational activities. This approach is known as the School Based Quality
Management or in nuance that has more development character, it’s called School
Based Quality Improvement. This program is oriented towards increasing the
quality of education through the School Based Management approach, which is
based on three main components; developing open and transparent education
management, developing a curriculum based on active and effective learning
methods with local nuances, and developing community participation in
management by building a sense of ownership in the schools.
Keywords: education, management, school, quality.
A. PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan pendidikan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah
rendahnya mutu pendidikan pada setiap
jenjang dan satuan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar dan menengah. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk meningkatkan
mutu pendidikan nasional, misalnya
pengembangan kurikulum nasional dan
lokal, peningkatan kompetensi guru melalui
pelatihan, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana
dan prasarana pendidikan, dan peningkatan
mutu manajemen sekolah.
Namun demikian, berbagai indikator
mutu pendidikan belum menunjukan
peningkatan yang berarti. Sebagian
sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan
*
peningkatan mutu pendidikan yang cukup
menggembirakan,
namun
sebagian
lainnya masih memprihatinkan.
Dari berbagai pengamatan dan
analisis, setidaknynya ada tiga faktor
yang menyebabkan mutu pendidikan
tidak menagalami peningkatan secara
marata.
Faktor pertama, kebijakan dan
penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan education
function atau input-output analisys yang
tidak dilaksanakan secara konsekuen.
Pendekatan ini melihat bahwa lembaga
pendidikan berfungsi sebagai pusat
produksi yang apabila dipenuhi semua
Dosen FKIP UT UPBJJ Surabaya. Magister Kependidikan dalam bidang Manajemen Pendidikan.
51
input (masukan) yang diperlukan dalam
kegiatan produksi tersebut, maka lembaga
ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Pendekatan ini menganggap
bahwa apabila input seperti pelatihan
guru, pengadaan buku dan alat pelajaran,
dan perbaikan sarana serta prasarana
pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu
pendidikan (output) secara otomatis akan
terjadi.
Dalam
kenyataan,
mutu
pendidikan yang diharapkan tidak terjadi.
Karena selama ini dalam menerapkan
pendekatan
educational
production
function terlalu memusatkan pada input
pendidikan dan kurang memperhatikan
pada proses pendidikan. Padahal, proses
pendidikan sangat menentukan output
pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaran
pendidikan nasional dilakukan secara
birokratik-sentralistik
sehingga
menempatkan
sekolah
sebagai
penyelenggaraan
pendidikan
sangat
tergantung pada keputusan
birokrasi
yang mempunyai jalur yang sangat
panjang dan kadang-kadang kebijakan
yang dikeluarkan tidak sesuai dengan
kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih
merupakan
subordinasi
birokrasi
diatasnya sehingga mereka kehilangan
kemandirian,
keluwesan,
motivasi,
kreativitas/inisiatif
untuk
mengembangkan
dan
memajukan
lembaganya termasuk peningkatan mutu
pendidikan sebagai salah satu tujuan
pendidikan nasional.
Faktor ketiga, peranserta warga
sekolah khususnya guru dan pranserta
masyarakat khususnya orang tua siswa
dalam
penyelenggaraan
pendidikan
selama ini sangat minim. Partisipasi guru
dalam pengambilan keputusan sering
diabaikan, pada hal terjadi atau tidaknya
perubahan di sekolah sangat tergantung
pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun
jika guru tidak berubah, maka tidak akan
terjadi perubahan di sekolah tersebut.
Partisipasi masyarakat selama ini pada
umumnya sebatas pada dukungan dana,
sedang dukungan-dukungan lain seperti
pemikiran, moral dan barang/jasa kurang
diperhatikan.
Akuntabilitas
sekolah
terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah
tidak
mempunyai
beban
untuk
mempertanggung
jawabkan
hasil
pelaksnanaan
pendidikan
kepada
masyarakat, khususnya orang tua siswa,
sebagai salah satu unsur utama yang
berkepentingan
dengan
pendidikan
(stakeholdir).
Berdasarkan
kenyataankenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu
dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah
satunya adalah melakukan reorientasi
penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari
manajemen peningkatan mutu berbasis
pusat menuju manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah.
B. MANAJEMEN
PENINGKATAN
MUTU PENDIDIKAN
1. Konsep tentang Mutu Pendidikan
Secara umum, mutu adalah
gambaran dan karakteristik menyeluruh
dari barang atau jasa yang menunjukkan
kemampuannya
dalam
memuaskan
kebutuhan yang diharapkan atau yang
tersirat. Dalam konteks pendidikan
pengertian mutu mencakup input, proses,
dan output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala
sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya proses.
Sesuatu
yang
dimaksud
berupa
sumberdaya dan perangkat lunak serta
harapan-harapan sebagai pemandu bagi
berlangsunnya proses. Input sumber daya
meliputi sumberdaya manusia (kepala
sekolah, guru termasuk guru BP,
karyawan, siswa) dan sumberdaya
selebihnya (peralatan, perlengkapan,
uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak
meliputi struktur organisasi sekolah,
peraturan perundang-undangan, deskripsi
tugas, rencana, program, dsb. Input
harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan,
dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai
oleh sekolah. Kesiapan input sangat
52
diperlukan agar proses dapat berlangsung
dengan baik. Oleh karena itu, tinggi
rendahnya mutu input dapat diukur dari
tingkat kesiapan input. Makin tinggi
tingkat kesiapan input, makin tinggi pula
mutu input tersebut.
Proses pendidikan merupakan
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang
lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap
berlangsungnya proses disebut input
sedangkan sesuatu dari hasil proses
disebut output. Dalam pendidikan
bersekala mikro (ditingkat sekolah),
proses yang dimaksud adalah proses
pengambilan keputusan, proses yang
dimaksud adalah proses pengembilan
keputusan,
proses
pengelolaan
kelembagaan,
proses
pengelolaan
program, proses belajar mengajar, dan
proses monitoring dan evaluasi, dengan
catatan bahwa proses belajar memiliki
tingkat kepentingan tertinggi dibanding
dengan proses- proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi
apabila
pengkoordinasian
dan
penyerasian serta pemaduan input sekolah
(guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan
dsb)
dilakukan
secara
harmonis,
sehingganya mampu menciptakan situasi
pembelajaran
yang
menyenangkan
(enjoyable learning), mampu mendorong
motivasi dan minat belajar, dan benarbenar mampu memberdayakan peserta
didik. Kata memberdaykan mengandung
arti bahwa peserta didik tidak sekadar
menguasai pengetahuan yang diajarkan
oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan
tersebut juga telah menjadi muatan nurani
peserta didik, dihayati, diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari dan lebih penting
lagi peserta didik tersebut mampu belajar
secara
terus
menerus
(mampu
mengembangkan dirinya).
Output pendidikan merupakan
kinerja sekolah. Kinerja sekolah yakni
prestasi sekolah yang dihasilkan dari
proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah
dapat
diukur
dari
kualitasnya,
efektivitasnya,
produktivitasnya,
efesiendinya,
inovasinya,
kualitas
kehidupan kerjanya dan moral kerjanya.
Khusus yang berkaitan dengan mutu
output sekolah, dapat dijelaskan bahwa
output
sekolah
dikatakan
berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi
sekolah, khusunya prestasi belajar siswa,
menunjukkan pencapaian yang tinggi
dalam: (1) prestasi akademik, berupa
nilai ulangan umum EBTA, EBTANAS,
karya ilmiah, lomba akademik, dan (2)
prestasi non-akademik, seperti misalnya
IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga,
kesnian, keterampilan kejujuran, dan
kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya.
Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak
tahapan
kegiatan
yang
saling
berhubungan (proses) seperti misalnya
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengawasan.
2.
Pola Baru Manajemen Pendidikan
Masa Depan
Bukti-bukti empirik lemahnya
pola lama manajemen pendidikan
nasional dan digulirkannya otonomi
daerah, telah mendorong dilakukannya
penyesuaikan diri dari pola lama
manjemen pendidikan menuju pola baru
manajemen pendidikan masa depan yang
lebih bernuangsa otonomi dan yang lebih
demokratis. Tabel I. berikut menunjukkan
dimensi-dimensi
perubahan
pola
manajemen, dari yang lama menuju yang
baru.
Tabel 1
Dimensi-dimensi Perubahan Pola
Manajemen Pendidikan
POLA
MENUJ
LAMA
U
Subordinasi
===
Pengambilan ===
keputusan
terpusat
Ruang gerak ===
kaku
Pendekatan
===
birokratik
POLA BARU
Otonomi
Pengambilan
keputusan
partisipasif
Ruang gerak
luwes
Pendekatan
profesional
53
Sentralistik
Diatur
Overegulasi
Mengontrol
Mengarahka
n
Menghindari
resiko
Gunakan
uang
semuanya
Individual
yang cerdas
Informasi
terpribadi
Pendelegasia
n
Organisasi
herakis
===
===
===
===
===
Disentralistik
Motivasi
Deregulasi
Mempengaruhi
Memfasilitasi
===
Mengelola
resiko
Gunakan uang
seefesien
===
===
===
===
===
Teamwork
yang cerdas
Informasi
terbagi
Pemberdayaan
Organisasi
datar
Berikut dijelaskan secara singkat
Tabel 1. Pada pola lama, tugas dan fungsi
sekolah lebih pada melaksanakan
program dari pada mengambil inisiatif
merumuskan dan melaksanakan program
peningkatan mutu yang dibuat sendiri
oleh sekolah. Sedang pada Pola Baru,
sekolah memiliki wewenang lebih besar
dalam
pengelolan
lembaganya,
pengambilan keputusan dilakukan secara
partisipasif dab partisipasi masyarakt
makin besar, sekolah lebih luwes dalam
mengelola
lembaganya,
pendekatan
profesionalisme lebih diutamakan dari
pada pendekatan birokrasi, pengelolaan
sekolah lebih desentralistik, perubahan
sekolah didorong oleh motivasi diri
sekolah dari pada diatur dari luar sekolah,
regulasi pendidikan lebih sederhana
peranan pusat bergesr dari mengontrol
menjadi
mempengaruhi
dan
dari
mengarahkan ke memfasilitasi, dari
menghindari resiko menjadi mengolah
resiko, pengunaan uang lebih efesien
karena sisa anggaran tahun ini dapat
digunakan untuk anggaran tahun depan
(Effesiensi-based
budgeting),
lebih
mengutamakan teamwork, informasi
terbagi ke semua warga sekolah, lebih
mengutamakan
pemberdayaan,
dan
struktur organisasi lebih datar sehingga
lebih efesien.
Dengan otonomi yang lebih
besar,
maka
sekolah
memiliki
kewenangan yang lebih besar dalam
mengelola sekolahnya, sehingga sekolah
lebih mandiri. Dengan kemandiriannya,
sekolah
lebih
berdaya
dalam
mengembangkan program-program yang
tentu saja, lebih berdaya dalam
mengembangkan dalam mengembangkan
program-program yang, tentu saja, lebih
sesuai dengan kebutuhan dan potensi
yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/
keluwesan-keluwesannya, sekolah akan
lebih lincah dalam mengelola dan
memanfaatkan
sumberdaya
sekolah
secara optimal. Demikian juga dengan
partisipasi/ pelibatan warga sekolah dan
masyarakat secara langsung dalam
penyelenggaraan sekolah, maka rasa
memiliki mereka terhadap selolah dapat
ditingkatkan. Peningkatan rasa memiliki
ini akan menyebabkan peningkatan rasa
tanggung jawab, dan peningkatan rasa
tanggung jawab akan meningkatkan
dedikasi warga sekolah dan masyarakat
terhadap sekolah. Inilah esensi partisipasi
warga sekolah dan masyarakat dalam
pendidikan. Baik peningkatan otonomi
sekolah,
fleksibelitas
pengelolaan
sumberdaya sekolah maupun partisipasi
warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaran
sekolah
tersebut
kesemuanya
ditujukan
untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan kebijakan pendidikan nasional
dan peraturan peundang-undangan yang
berlaku.
C. MANAJEMEN PENDIDIKAN
BERBASIS SEKOLAH (MPMBS)
1. Konsep Dasar MPMBS
Secara
umum,
manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah
(MPMBS) dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada sekolah, dan
mendorong partisipasi secara langsung
54
warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan) dan masyarakat
(orang tua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Catatan : MPMBS tidak
dibenarkan menyimpang dari peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku). Dengan
demikian,
esensi
MPMBS = otonomi + fleksibelitas +
partisipasi untuk mencapai sasaran mutu
sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai
kewenangan/kemadirianm,
yaitu
kemandirian dalam mengatur dan
mengurus
dirinya
sendiri,
dan
merdeka/tidak tergantung. Kemandirian
dalam
program
dan
pendanaan
merupakan tolok ukur utama kemadirian
sekolah. Pada gilirannya, kemandirian
yang berlangsung secara terus menerus
akan menjamin kelangsungan hidup dan
perkembangan sekolah (sustainabilitas).
Istilah otonomi juga sama dengan istilah
“swa”, misalnya swasembada, swadana,
swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi
sekolah adalah kewenangan sekolah
untuk
mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
warga sekolah sesuai dengan peraturan
sendiri beradasarkan aspirasi warga
sekolah sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan pendidikan nasional
yang berlaku. Tentu saja kemandirian
yang dimaksud harus didukung oleh
sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan
mengambil keputusan yang terbaik,
kemampuan
berdemokrasi/menghargai
perbedaan
pendapat,
kemampuan
memobilisasi sumberdaya, kemampuan
memilih cara pelaksanaan yang terbaik,
kemampuan berkomunikasi dengan cara
yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan
adaptif dan antisipatif, kemampuan
bersinergi dan berkolaborasi, dan
kemampuan
sendiri.
memenuhi
kebutuhan
Fleksibilitas dapat
diartikan
sebagai keluwesan-keluwesan
yang
diberikan
kepada
sekolah
untuk
mengelola,
memanfaatkan
dan
memberdayakan sumberdaya sekolah
seoptimal mungkin untuk meningkatkan
mutu sekolah, maka sekolah akan lebih
lincah dan tidak harus menunggu arahan
dari
atasan
untuk
mengelola,
memanfaatkan dan memberdayakan
sumberdaya. Dengan cara ini, sekolah
akan lebih responsif dan lebih cepat
dalam menanggapi segala tantangan yang
dihadapi. Namun demikian, keluwesankeluwesan yang dimaksud harus tetap
dalam koridor kebijakan dan peraturan
perundang- undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang
dimaksud adalah penciptaan lingkungan
yang terbuka dan demokratik, dimana
warga sekolah (guru, siswa, karyawan)
dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh
masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb)
didorong untuk terlibat secara langsung
dalam penyelenggaraan pendidikan,
mulai dari pengambilan keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan
yang diharapkan dapat meningkatkan
mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh
keyakinan
bahwa
jika
seseorang
dilibatkan
(berpartisipasi)
dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka yang
bersangkutan akan mempunyai “rasa
memiliki” terhadap sekolah, sehingga
yang bersangkutan juga akan bertanggung
jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk
mencapai tujuan sekolah. Singkatnya
makin besar tingkat partisipasi, makin
besar pula rasa memiliki; makin besar
rasa memilik, makin bsar pula rasa
tanggung jawab; dan makin besar
rasatanggung jawab, makin besar pula
dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga
sekolah dalam penyelenggaraan sekolah
harus mempertimbangka keahlian, batas
kewenangan, dan relevansinya dengan
tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi
55
warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan sekolah akan mampu
menciptakan keterbukaan, kerjasama
yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi
pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud
adalah keterbukaan dalam program dan
keuangan. Kerjasama yang dimaksud
adalah adanya sikap dan perbuatan
lahiriyah kebersamaan /kolektif untuk
meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama
sekolah yang baik ditunjukan oleh
hubungan antar warga sekolah yang erat,
hubungan sekolah dan masyarakat erat,
dan adanya kesadaran bersama bahwa
output sekolah merupakan hasil kolektif
teamwork yang kuat dan cerdas.
Akuntabilitas sekolah adalah pertanggung
jawaban
sekolah
kepada
warga
sekolahnya, masyarakat dan pemerintah
melalui pelaporan dan pertemuan yang
dilakukan secara terbuka. Sedangkan
demokrasi pendidikan adalah kebebasan
yang terlembagakan melalui musyawarah
dan
mufakat
dengan
menghargai
perbedaan , hak azazi manusia serta
kewajiban
dalam
rangka
untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian di atas, maka
sekolah
memiliki
kewengan
(kemandirian)
lebih
besar
dalam
mengelola
sekolahnya
(menetapkan
sasaran peningkatan mutu, menyusun
rencana peningkatan mutu, melaksanakan
rencana
peningkatan
mutu,
dan
melakukan
evaluasi
pelaksanaan
peningkatan mutu), memiliki fleksibelitas
pengelolaan sumberdaya sekolah, dan
memiliki partisipasi yang lebih besar dari
kelompok yang berkepentingan dengan
sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal
ini, maka sekolah akan merupakan unit
utama pengelolaan proses pendidikan,
sedang unit-unit diatasnya (Dinas
pendidikan Kabupaten/ Kota, Dinas
Pendidikan Propinsi, dan Departemen
Pendidikan Nasional) akan merupakan
unit pendukung dan pelayanan sekolah
dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau
berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut;
tingkat
kemandirian
tinggi/tingkat
ketergantungan rendah; bersifat adaptif
dan ansipatif/proaktif sekaligus; memiliki
jiwa kewirausahaan tinngi (ulet, inovatif,
gigih, berani mengambil resiko, dan
sebagainya; bertanggung jawab terhadap
kinerja sekolah; memiliki kontrol yang
kuat terhadap kondisi kerja; komitmen
yang tinggi pada dirinya; dan prestasi
merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia
sekolah yang berdaya, pada umumnya,
memiliki ciri-ciri pekerjaan adalah
miliknya, dia bertanggung jawab,
pekerjaan memiliki kontribusi, dia tahu
posisinya dimana, dia memiliki kontrol
terhadap pekerjaan, dan pekerjaannya
merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang
dapat
memandirikan/memberdayakan
warga sekolah adalah; pemberian
kewenangan, pemberian tanggung jawab,
pekerjaan yang bermakna, pemecahan
masalah sekolah secara “teamwork”,
variasi tugas, hasil kerja yang terukur,
kemampuan untuk mengukur kinerja
sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar,
ada
pujian,
menghargai
ide-ide,
mengetahui bahwa dia adalah bagian
penting dari sekolah, kontrol yang luwes,
dukungan, komunikasi yang efektif,
umpan balik bagus, sumberdaya yang
dibutuhkan ada, dan warga sekolah
diberlakukan sebagai manusia ciptaanNya yang memiliki martabat tertinggi.
MPMBS merupakan bagian dari
manajemen bebasis sekolah (MBS). Jika
MBS bertujuan untuk meningkatkan
semua kinerja sekolah (efektivitas,
kualitas/mutu,
efesiensi,
inovasi,
relevansi, dan pemeratan serta akses
pendidikan), maka MPMBS lebih
difokuskan pada peningkatan mutu. Hal
ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu
pendidikan nasional kita saat ini sangat
memprihatinkan sehingga memerlukan
perhatian. Hal ini didasari oleh kenyataan
56
bahwa mutu pendidikan nasional kita saat
ini sangat
memperhatinkan sehingga
memerlukan perhatian yang lebih serius.
Itulah
sebabnya
MPMBS
lebih
ditekankan dari pada MBS untuk saat ini.
Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi
MBS.
transparansi dan demokrasi yang
sehat.
8.
Sekolah dapat bertanggung jawab
tentang mutu pendidikan masingmasing kepada pemerintah, orang
tua peserta didik, dan masyarakat
pada umumnya, sehingga dia akan
berupaya semaksimal
mungkin
untuk melaksanakan dan mencapai
sasaran mutu pendidikan yang telah
direncanakan.
9.
Sekolah dapat melakukan persaingan
yang sehat dengan sekolah-sekolah
lain untuk
meningkatkan mutu
pendidikan melalui upaya-upaya
inovatif dengan dukungan orang tua
peserta didik, masyarakat, dan
pemerintah daerah setempat, dan
MPMBS diterapkan karena beberapa
alasan berikut :
1.
2.
Dengan pemberian otonomi yang
lebih besar kepada sekolah, maka
sekolah akan lebih inisiatif/kreatif
dalam meningkatkan mutu sekolah.
Dengan pemberian fleksibelitas/
keluesan-keluesan yang lebih besar
kepada sekolah untuk mengelola
sumberdayanya, maka sekolah akan
lebih luwes dan lincah dalam
mengadakan dan memanfaatkan
sumberdaya sekolah secara optimal
untuk meningkatkan mutu sekolah.
3.
Sekolah lebih mengetahui kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman
bagi
dirinya
sehingga
dapat
mengoptimalkan
pemanfaatan
sumberdaya yang tersedia untuk
memajukan sekolahnya.
4.
Sekolah lebih mengetahui kebutuhan
lembaganya.
Khususnya
input
pendidikan
yang
akan
dikembangkan dan didayagunakan
dalam proses pendidikan sesuai
dengan tingkat perkembangan dan
kebutuhan peserta didik.
5.
Pengambilan
keputusan
yang
dilakukan oleh sekolah lebih cocok
untuk memenuhi kebutuhan sekolah
karena pihak sekolahlah yang paling
tahu apa yang terbaik bagi
sekolahnya.
6.
Penggunaan sumberdaya pendidikan
lebih efisien dan efektif bilamana
dikontrol oleh masyarakat setempat.
7.
Keterlibatan semua warga sekolah
dan masyarakat dalam pengambilan
keputusan sekolah menciptakan
10. Sekolah dapat secara cepat merespon
aspirasi masyarakat dan lingkungan
yang berubah dengan cepat.
MPMBS
bertujuan
untuk
memandirikan atau memberdayakan
sekolah melalui pemberian kewenangan
(otonomi) kepada sekolah, pemberian
fleksibilitas yang lebih besar kepada
sekolah untuk mengelola sumberdaya
sekolah, dan mendorong partisipasi
warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Lebih
rinci, MPMBS bertujuan untuk:
1. Meningkatkan
mutu
pendidikan
melalui peningkatan kemandirian,
fleksibelitas,
partisipasi,
keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas,
sustainbilitas, dan inisiatif sekolah
dalam mengelola, memanfaatkan, dan
memberdayakan sumberdaya yang
tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga
sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui
pengambilan keputusan bersama.
3. Meningkatkan
tanggung
jawab
sekolah
kepada
orang
tua,
masyarakat, dan pemerintah tentang
mutu sekolahnya, dan
57
4. Meningkatkan kompetisi yang sehat
antar
sekolah
tentang
mutu
pendidikan yang akan dicapai.
INPUT
PROSES
OUTPUT
2. Karakteristik MPMBS
MPMBS memiliki karakteristik
yang perlu dipahami oleh sekolah yang
akan menerapkannya. Dengan kata lain,
jika sekolah ingin sukses dalam
menerapkan MPMBS, maka sejumlah
karakteristik MPMBS berikut perlu
dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS
tidak
dapat
dipisahkan
dengan
karakteristik
sekolah efektif. Jika
MPMBS merupakan wadah/kerangka,
maka sekolah efektif merupakan isinya.
Oleh karena itu, karakteristik MPMBS
berikut memuat secara inklusif elemenelemen
sekolah
efektif,
yang
dikategorikan menjadi input, proses dan
output.
Dalam menguraikan karakteristik
MPMBS, pendekatan sistem yaitu inputproses-output
digunakan
untuk
memandunya. Hal ini didasari oleh
pengertian bahwa sekolah merupakan
sebuah sistem, sehingga penguraian
karakteristik MPMBS (yang juga
karakteristik
sekolah
efektif)
mendasarkan kepada input, proses, dan
output. Selanjutnya, uraian berikut
dimulai dari output dan diakhiri input,
mengingat output memiliki tingkat
kepentingan tertinggi, sedang proses
memiliki tingkat kepentingan tertinggi,
sedangkan proses memiliki tingkat
kepentingan satu tingkat lebih rendah dari
output, dan input memiliki tingkat lebih
rendah dari output.
PERENCANAAN
& EVALUASI
KURIKULUM
KETENAGAAN
FASILITAS
KEUANGAN
PRESTASI
> PROSES
>
SISWA
BELAJAR
MENGAJAR
KESISWAAN
HUBUNGAN
SEKOLAHMASYARAKAT
IKLIM
SEKOLAH
a. Input Pendidikan
Pertama, memiliki kebijakan,
tujuan dan sasaran mutu yang jelas.
Secara formal, sekolah menyatakan
dengan jelas tentang keseluruhan
kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu.
Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu
tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah.
Kebijakan, tujuan dan sasaran mutu
tersebut disosialisasikan kepada semua
warga sekolah, sehingga tertanam
pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga
sampai pada kepemilikan karakter mutu
oleh warga sekolah.
Kedua, sumber daya tersedia dan
siap. Sumberdaya merupakan input
penting
yang
diperlukan
untuk
58
berlangsungnya proses pendidikan di
sekolah. Tanpa sumberdaya yang
memadai, proses pendidikan di sekolah
tidak akan berlangsung secara memadai,
dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak
akan tercapai. Sumberdaya dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu
sumberdaya manusia dan sumberdaya
selebihnya (uang peralatan, perlengkapan,
bahan, dsb) dengan penegasan bahwa
sumberdaya selebihnya tidak mempunyai
arti apapun bagi perwujudan sasaran
sekolah,
tanpa
campur
tangan
sumberdaya manusia.
Secara umum, sekolah yang
menerapkan MPMBS harus memiliki
tingkat kesiapan sumberdaya yang
memadai untuk menjalanlan proses
pendidikan. Artinya, segala sumberdaya
yang diperlukan untuk menjalankan
proses pendidikan harus tersedia dan
dalam keadaan siap. Ini bukan berarti
bahwa sumberdaya yang ada harus mahal,
akan tetapi sekolah yang bersangkutan
dapat
memanfaatkan
keberadaan
sumberdaya yang ada dilingkungan
sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala
sekolah yang mampu memobilisasi
sumberdaya yang ada disekitarnya.
Ketiga, staf yang kompeten dan
berdedikasi tinggi. Meskipun pada butir
(b) telah disinggung tentang ketersedian
dan kesiapan sumberdaya manusia (staf),
namun pada butir ini perlu ditekankan
lagi karena staf merupakan jiwa sekolah.
Sekolah yang efektif pada umumnya
memiliki staf yang mampu (kompoten)
dan
berdedikasi
tinggi
terhadap
sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu,
bagi sekolah yang ingin efektifitasnya
tinggi, maka kepemilikan staf yang
kompeten
dan
berdedikasi
tinggi
merupakan keharusan.
Keempat.
memiliki
harapan
prestasi yang tinggi. Sekolah yang
menerapkan
MPMBS
mempunyai
dorongan dan harapan yang tinggi untuk
meningkatkan prestasi peserta didik dan
sekolahnya. Kepala sekolah memiliki
komitmen dan motivasi yang kuat untuk
meningkatkan mutu sekolah secara
optimal. Guru memiliki komitmen dan
harapan yang tinggi bahwa anak didiknya
dapat mencapai tingkat yang maksimal,
walaupun dengan segala keterbatasan
sumberdaya pendidikan yang ada
disekolah. Sedang peserta didik juga
mempunyai motivasi untuk selalu
meningkatkan diri untuk berprestasi
sesuai
dengan
bakat
dan
kemampuaannya. Harapan tinggi dari
ketiga unsur sekolah ini merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan sekolah
selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih
baik dari keadaan sebelumnya.
Kelima, fokus pada pelanggan
(khususnya siswa). Pelanggan, terutama
siswa, harus merupakan fokus dari semua
kegiatan sekolah. Artinya, semua input
dan proses yang dikerahkan di sekolah
tertuju utamanya untuk meningkatkan
mutu dan kepuasan peserta didik.
Konsekuensi logis dari ini semua adalah
bahwa penyiapan input dan proses belajar
mengajar harus benar-benar mewujudkan
sosok utuh mutu dan kepuasan yang
diharapkan dari siswa.
Keenam.
input
manajemen.
Sekolah yang menerapkan MPMBS
memiliki input manajemen yang memadai
untuk menjalankan roda sekolah. Kepala
sekolah dalam mengatur dan mengurus
sekolahnya menggunakan sejumlah input
manajemen. Kelengkapan dan kejelasan
input manajemen akan membantu kepala
sekolah mengelola sekolanya dengan
efektif. Input manajemen yang dimaksud
meliputi; tugas yang jelas, rencana yang
rinci dan sitematis, program yang
mendukung bagi pelaksanaan rencana,
ketentuan-ketentuan (aturan main) yang
jelas sebagai panutan bagi warga
sekolahnya untuk bertindak, dan adanya
sistem pengendalian mutu yang efektif
dan efisien untuk meyakinkan agar
sasaran yang telah disepakati dapat
dicapai.
59
b. Proses Pendidikan
Sekolah yang efektif pada
umumnya
memiliki
sejumlah
karakteristik proses sebagai berikut:
Pertama.
Proses
belajar
mengajar yang efektivitasnya tinggi.
Sekolah yang menerapkan MPMBS
memiliki efektivitas proses belajar
mengajar (PBM) yang tinggi. Ini
ditujukkan oleh sifat PBM yang
menekankan pada pemberdayaan peserta
didik PBM bukan sekadar memorisasi
dan recall, bukan sekadar penekanan
pada penguasaan pengetahuan tentang
apa yang diajarkan (logos) akan tetapi
lebih menekankan pada internalisasi
tentang apa yang diajarkan sehingga
tertanam dan berfungsi sebagai muatan
nurani dan hayati (ethos) serta
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari
oleh peserta didik (pathos). PBM yang
efektif juga lebih menekankan pada
belajar mengetahui (learning to know),
belajar bekerja (learning to do), belajar
hidup bersama (learning to live together),
dan belajar menjadi diri sendiri (learnig
to be)
Kedua. Kepemimpinan sekolah
yang kuat.
Pada
sekolah
yang
menerapkan MPMBS, kepala sekolah
memiliki peran yang kuat dalam
mengkoordinasikan, menggerakkan, dan
menyerasikan
semua
sumberdaya
pendidikan yang tersdia. Kepemimpinan
Kepala Sekolah merupakan salah satu
faktor yang dapat mendorong sekolah
untuk dapat mewujudkan visi, misi,
tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui
program-program yang dilaksanakan
secara terencana dan bertahap. Oleh
karena itu, kepala sekolah dituntut
memiliki kemampuan manajemen dan
kepemimipinan yang tangguh agar
mampu mengambil keputusan dan
inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan
mutu sekolah. Secara umum, kepala
sekolah tangguh memiliki kemampuan
memobilisasi
sumberdaya
sekolah,
terutama sumberdaya manusia, untuk
mencapai tujuan sekolah.
Ketiga. Lingkungan sekolah yang
aman dan tertib. Sekolah memiliki
lingkungan (iklim) belajar yang aman,
tertib, dan nyaman sehingga proses
belajar mengajar dapat berlangsung
dengan nyaman (enjoyable learning).
Karena itu, sekolah yang efektif selalu
menciptakan iklim sekolah yang aman,
nyaman tertib melalui (pengupayaan
faktor-faktor yang dapat menumbuhkan
iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan
kepala sekolah sangat penting sekali.
Keempat. Pegelolaan tenaga
kependidikan yang efektif. Tenaga
kependidikan, terutama guru, merupakan
jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah
merupakan wadah. Sekolah yang
menerapkan MPMBS menyadari tentang
hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan
tenaga
kependidikan,
mulai
dari
kebutuhan, perencanaan, pengembangan,
evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga
sampai pada imbal jasa, merupakan
garapan penting bagi seorang kepala
sekolah.
Terlebih-lebih
pada
pengembangan tenaga kependidikan, ini
harus dilakukan secara terus-menerus
mengingat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sedemikian pesat.
Pendeknya tenaga kependidikan yang
diperlukan untuk menyukseskan MPMBS
adalah tenaga kependidikan yang
mempunyai komitmen tinggi, selalu
mampu dan sanggup menjalankan
tugasnya dengan baik.
Kelima. Sekolah memiliki budaya
mutu. Budaya mutu tertanam di sanubari
semua warga sekolah, sehingga setiap
perilaku
selalu
didasari
oleh
profesionalisme. Budaya mutu memiliki
elemen-elemen sebagai berikut ;
(a)
informasi kualitas harus digunakan untuk
perbaikan,
bukan
untuk
mengadili/mengontrol
orang;
(b)
kewenangan harus sebatas tanggung
jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan
(rewards) atau sanksi (punishment); (d)
60
kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi,
harus merupakan basis untuk kerjsama;
(e) warga sekolah merasa aman terhadap
pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan
(fairness) harus ditanamkan; (g) imbal
jasa harus sepadan dengan nilai
pekerjaan; dan (h) warga sekolah merasa
memiliki sekolah.
Keenam.
Sekolah
memiliki
“teamwork” yang kompak, cerdas, dan
dinamis.
Kebersaman
(teamwork)
merupakan karateristik yang dituntut oleh
MPMBS, karena output pendidikan
merupakan hasil kolektif warga sekolah,
bukan hasil individual. Karena itu budaya
kerjasama antar fungsi dalam sekolah,
antar individu dalam sekolah, harus
merupakan kebiasaan hidup sehari-hari
warga sekolah.
Ketjuh.
Sekolah
memiliki
kewenangan (kemandirian). Sekolah
memiliki kewenangan untuk melakukan
yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga
dituntut untuk memiliki kemampuan dan
kesanggupan kerja yang tidak selalu
menggantungkan pada atasan. Untuk
menjadi mandiri, sekolah harus memiliki
sumberdaya
yang
cukup
untuk
menjalankan tugasnya.
Kedelapan. Partisipasi yang
tinggi dari warga dan masyarakat.
Sekolah yang menerapkan MPMBS
memiliki karakteristik bahwa partisipasi
warga
sekolah
dan
masyarakat
merupakan bagian kehidupannya. Hal ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa makin
tinggi tingkat prestasi, makin besar rasa
memiliki; makin besar rasa-memiliki,
makin besar pula rasa tanggung jawab;
dan makin besar rasa tanggung jawab,
makin besar pula tingkat dedikasinya.
Kesembilan. Sekolah memiliki
keterbukaan (transparansi) manajemen.
Keterbukaan/transparansi
dalam
pengelolan
sekolah
merupakan
karakteristik sekolah yang menerapkan
MPMBS, Keterbukaan/transparansi ini
ditunjukan
dalam
pengambilan
keputusan, perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan, penggunaan uang, dan sebagai
alat kontrol.
Kesepuluh. Sekolah memiliki
kemauan untuk berubah (psikologis dan
fisik). Perubahan harus merupakan
sesuatu yang menyenangkan bagi semua
warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan
merupakan musuh sekolah. Tentu saja
yang dimaksud
perubahan adalah
peningkatan, baik bersifat fisik maupun
psikologis. Artinya, setiap dilakukan
perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik
dari sebelumnya (ada peningkatan)
terutama mutu peserta didik.
Kesebelas. sekolah melakukan
evaluasi
dan
perbaikan
secara
berkelanjutan. Evaluasi belajar secara
teratur bukan hanya ditujukan untuk
mengetahui tingkat daya serap dan
kemampuan peserta didik, tetapi yang
terpenting
adalah
bagaimana
memanfaatkan hasil evaluasi belajar
tersebut
untuk
memperbaiki
dan
meyempurnakan proses belajar mengajar
di sekolah. Oleh karena itu, fungsi
evaluasi menjadi sangat penting dalam
rangka meningkatkan mutu peserta didik
dan mutu sekolah secara keseluruhan dan
secara terus-menerus merupakan kebiasan
warga sekolah. Tiada hari tanpa
perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang
baku sebagai acuan bagi perbaikan harus
ada. Sistem mutu yang dimaksud harus
mencakup struktur organisasi, tanggung
jawab, prosedur, proses dan sumberdaya
untuk menerapkan manajemen mutu.
Keduabelas. Sekolah responsi
dan antisipatif terhadap kebutuhan.
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap
berbagai aspirasi yang muncul bagi
peningkatan mutu. Karena itu, sekolah
selalu
membaca
lingkungan
dan
menanggapinya secara cepat dan tepat.
Bahkan, sekolah tidak hanya mampu
menyesuaikan
terhadap
perubahan/
tuntutan, akan tetapi juga mampu
mengantisipasi hal-hal yang mungkin
bakal terjadi. Menjemput bola, adalah
61
padanan kata yang tepat bagi istilah
antisipatif.
Ketigabelas. Memiliki komunikasi
yang baik. Sekolah yang efektif
umumnya memiliki komunikasi yang
baik terutama antar warga sekolah, dan
juga
sekolah-masyarakat
sehingga
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
masing-masing warga sekolah dapat
diketahui. Dengan cara ini, maka
keterpaduan semua kegiatan sekolah
dapat diupayakan untuk mencapai tujuan
dan sasaran sekolah yang telah di patok.
Selain itu komunikasi yang baik juga
akan membentuk teamwork yang kuat,
kompak dan cerdas, sehingga berbagai
kegitan sekolah dapat dilakukan secara
merata oleh warga sekolah.
Keempatbelas. Sekolah memiliki
akuntabilitas.
Akuntabilitas
adalah
bentuk pertanggung jawaban yang harus
dilakukan sekolah terhadap keberhasilan
program yang telah dilaksanakan.
Akuntabilitas ini berbentuk
laporan
prestsi yang dicapaikan dan dilaporkan
kepada pemerintah, orang tua siswa, dan
masyarakat. Berdasarkan laporan hasil
program ini, pemerintah dapat menilai
apakah program MPMBS telah mencapai
tujuan yang dukehendaki atau tidak. Jika
berhasil,
maka
pemerintah
perlu
membersihkan maka pemerintah perlu
memberikan penghargaan kepada sekolah
yang bersangkutan, sehingga menjadi
faktor
pendorong
untuk
terus
meningkatkan kinerjanya di masa yang
akan datang. Sebaliknya jika program
tidak berhasil, maka pemerintah perlu
memberikan teguran sebagai hukuman
atas kinerjanya yang dianggap tidak
memenuhi syarat. Demikian pula, para
orang tua siswa dan anggota masyarakat
dapat memberikan penilaian apakah
program ini dapat meningkatkan prestasi
anak-anaknya secara individual dan
kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika
berhasil, maka orang tua peserta didik
perlu
memberikan
semangat
dan
dorongan untuk peningkatan program
yang akan datang. Jika kurang berhasil,
maka orang tua siswa dan masyarakat
berhak meminta pertanggungjawaban dan
penjelasan sekolah atas kegagalan
program
MPMBS
yang
telah
dilakukan.Dengan cara ini, maka sekolah
tidak
akan
main-main
dalam
melaksanakan program pada tahun-tahun
yang akan datang.
Kelimabelas. Sekolah memiliki
kemampuan manajemen sustainabilitas.
Sekolah yang efektif juga memiliki
kemampuan untuk menjaga kelangsungan
hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam
program
maupun
pendanaannya.
Sustainabilitas program dapat dilihat dari
keberlanjutan program-program yang
telah dirintis sebelumnya dan bahkan
berkembang menjadi program-program
baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Sustainabilitas pendanan dapat ditunjukan
oleh
kemampuan
sekolah
dalam
mempertahankan besarnya dana yang
dimiliki dan bahkan makin besar
jumlahnya.
Sekolah
memiliki
kemampuan menggali sumberdana dari
masyarakat, dan tidak sepenuhnya
menggantungkan subsidi dari pemerintah
bagi sekolah-sekolah negeri.
c. Output Pendidikan
Sekolah harus memiliki output
yang diharapkan. Output sekolah adalah
prestasi sekolah yang dihasilkan oleh
proses pembelajaran dan manajemen di
sekolah. Pada umumnya, output dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output
berupa prestasi akademik (academic,
achivement) dan ouput berupa prestasi
non-akademik
(non-academic
achivement). Output prestasi akademi
misanya, NEM, lomba karya ilmiah
remaja,
lomba
(Bahasa
Inggris,
Matematika, Fisika), cara-cara berfikir
(kritis, kreatif/divergen, nalar, rasional,
induktif, deduktf, dan ilmiah). Output
non-akademik, misalnya keingintahuan
yang tinggi, harga diri kejujuran,
kerjasama yang baik, rasa kasih sayang
yang tinggi terhadap sesama, solidaritas
62
yang tinggi, toleransi, kedipsiplinan,
kerajinan prestasi oleh raga, kesenian, dan
kepramukaan.
2. Fungsi-fungsi yang Didesentralisasikan
ke Sekolah Berdasarkan Konsep
MPMBS.
Secara
umum,
pergeseran
dimensi pendidikan dari manajemen
berbasis pusat menjadi manajemen
berbasis sekolah telah diuraikan pada
Butir A. Secara lebih spesifik,
pertanyaannya adalah: “Fungsi-fungsi
apa
sajakah
yang
perlu
didesentralisasikan ke sekolah?” Pada
dasarnya Undang-undang Nomor 22
tentang Pemerintah Daerah (Otonomi
Daerah) tahun 1999 beserta sejumlah
Peraturan Pemerintah (PP) sebagai
pedoman pelaksanan terutama PP. No. 25
tahun
2000
tentang
kewenangan
Pemerintah,
Propinsi
dan
Kabupaten/Kota, harus digunakan sebagai
referensi/patokan.
Dengan demikian, pendesentralisasian fungsi-fungsi pendidikan tidak
akan merubah peraturan perundangundangan yang ada. Namun demikian,
sampai saat ini belum ada resep yang
pasti tentang hal ini, karena seperti kita
ketahui, otonomi pendidikan sedang
bergulir dan sedang mencari formatnya,
sehingga secara peraturan perundangundangan (legal aspect) belum dimiliki,
tugas dan fungsi sekolah dalam era
otonomi saat ini. Sementara. Menunggu
“legal aspect” yang akan diberlakukan
kelak, fungsi-fungsi sekolah yang semula
dikerjakan oleh Pemerintah Pusat/Dinas
Pendidikan Propinsi/Dinas Pendidikan
Kota/Kabupaten, sebagian dari fungsi
dapat dilakukan oleh sekolah secara
professional. Artinya, suatu fungsi tidak
dapat dilimpahkan sepenuhnya ke
sekolah, sebagian masih merupakan porsi
kewenangan Pemerintah Pusat, sebagian
porsi kewenangan Dinas Propinsi,
sebagian porsi
kewenangan Dinas
Kabupaten/Kota, dan sebagian porsi
lainnya yang dilimpahkan ke sekolah.
Adapun fungsi-fungsi yang sebagian
porsinya dapat digarap oleh sekolah
dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1)
proses belajar menagajar, (2) perencanaan
dan evaluasi program sekolah, (3)
pengelolaan kurikulum, (4) pengelolaan
ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan
perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan,
(7) pelayanan siswa, (8) hubungan
sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan
iklim sekolah.
a. Pengelolaan Proses belajar Mengajar
Proses
belajar
merupakan
kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi
kebebasan memilih strategi, metode dan
teknik-teknik
pembelajaran
dan
pengajaran yang paling efektif, sesuai
dengan karakteristik siswa, karakteristik
guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang
tersedia di sekolah. Secara umum,
strategi/metode/teknik pembelajaran dan
pengajaran yang berpusat pada siwa
(student
centered)
lebih
mampu
memberdayakan pembelajaran yang
menekankan pada keaktifan belajar siswa,
bukan pada keaktifan mengajar guru.
Oleh karena itu cara-cara belajar siswa
aktif seperti misalnya active learning,
cooperative learning, dan quantum
learning perlu diterapkan.
b. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk
melakukan perencanaan sesuai dengan
kebutuhannya
(school-based
plan).
Kebutuhan yang dimaksud misalnya,
kebutuhan untuk meningkatkan mutu
sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus
melakukan analisis kebutuhan mutu dan
berdasarkan hasil analisis kebutuhan
mutu inilah kemudian sekolah membuat
rencana peningkatan mutu.
Sekolah diberi wewenang untuk
melakukan evaluasi, khususnya evaluasi
yang dilakukan secara internal. Evalusi
internal dilakukan oleh warga sekolah
untuk memantau proses pelaksanaan dan
untuk mengevaluasi hasil programprogram yang telah dilaksanakan.
63
Evaluasi semacam ini sering disebut
evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur
dan transparan agar benar-benar dapat
mengungkap informasi yang sebenarnya.
c. Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat adalah kurikulum
standar yang berlaku secara nasionl.
Padahal kondisi sekolah pada umumnya
sangat beragam. Oleh karena itu, dalam
implementasinya,
sekolah
dapat
mengembangkan
(memperdalam,
memper-kaya, dan memodifikasi), namun
tidak boleh mengurangi isi kurikulum
yang berlaku secara nasional. Sekolah
dibolehkan memperdalam kurikulum,
artinya, apa yang diajarkan boleh
dipertajam
dengan
aplikasi
yang
bervariasi. Sekolah juga dibolehkan
memperkaya apa yang diajarkan, artinya
apa yang diajarkan boleh diperluas dari
yang harus, dan seharusnya, dan yang
dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah
dibolehkan memodifikasi kurikulum,
artinya apa yang diajarkan boleh
dikembangkan agar lebih kontekstual dan
selaras dengan karakteristik peserta didik.
Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan
untuk
mengembangkan
kurikulum
muatan lokal.
d. Pengelolaan Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan, mulai
dari analisis kebutuhan, perencanan,
rekrutmen, pengembangan, hadiah dan
sangsi
(reward
and
punishment),
hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja
tenaga kerja sekolah (guru, tenaga
administrasi,
laboran,
dsb)
dapat
dilakukan oleh sekolah kecuali yang
menyangkut pengupahan/imbal jasa dan
rekrutmen guru pegawai negeri, yang
sampai saat ini masih ditangani oleh
birokrasi diatasnya.
e. Pengelolan Fasilitas (Peralatan dan
Perlengkapan)
Pengelolaan
fasilitas
sudah
seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai
dari pengadan, pemeliharaan dan
perbaikan, hingga sampai pengembangan.
Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa
sekolah
yang
paling
mengetahui
kebutuhan fasilitas, baik kecukupan,
kesesuaian, maupun kemutakhirannya,
terutama fasilitas yang sangat erat
kaitannya secara langsung dengan proses
belajar mengajar.
f.
Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama
pengelokasian/penggunaan uang sudah
sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal
ini juga didasari oleh kenyataan bahwa
sekolahlah yang paling memahami
kebutuhannya sehingga desentralisasi
pengalokasian/penggunaan uang sudah
seharusnya dilimpihkan ke sekolah.
Sekolah juga harus diberi kebebasan
untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang
mendatangkan penghasilan” (income
generating activities), sehingga sumber
keuangan tidak semata-mata tergantung
pada pemerintah.
g. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari
peneriman siswa baru, pengembangan/
pembinaan/ pembimbingan, penempatan
untuk melanjutkan sekolah atau untuk
memasuki dunia kerja, hingga sampai
pada pengurusan alumni, sebenarnya dari
dahulu
memang
sudah
didesentralisasikan. Karene itu, yang
diperlukan adalah peningkatan intensitas
dan ekstensitasnya.
h. Hubungan Sekolah Masyarakat
Esensi
hubungan
sekolahmasyarakat adalah untuk meningkatkan
keterlibatan, kepedulian, kepemilikan,
dan dukungan dari masyarakat terutama
dukungan moral dan finasial. Dalam arti
yang sebenarnya hubungan sekolahmasyarakat
dari
dahulu
sudah
didesentralisasikan. Oleh karena itu,
sekali lagi, yang dibutuhkan adalah
peningkatan intensitas dan ekstesitas
hubungan sekolah-masyarakat.
64
i. Pengelolaan Iklim Sekolah
Iklim sekolah (fisik dan non fidik)
yang kondusif-akademik merupakan
prasyarat bagi terselenggaranya proses
belajar
mengajar
yang
efektif.
Lingkungan sekolah yang aman dan
tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi
yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan
sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang
terpusat pada siswa (student-centered
activities) adalah contoh-contoh iklim
sekolah yang dapat menumbuhkan
semangat belajar siswa. Iklim sekolah
sudah merupakan kewengan sekolah,
sehingga yang diperlukan adalah upayaupaya yang lebih intensif dan ekstentif.
3. Prakondisi Implementasi MPMBS
Bagi sekolah yang akan menerapkan
MPMBS perlu menyiapkan persyaratan
berikut. Persyaratan berikut bukan
dimaksudkan untuk menghambat sekolah
yang tidak memenuhinya. Namun
persyaratan berikut lebih merupakan
petunjuk penyiapan bagi sekolah-sekolah
yang akan menerapkan MPMBS. Jika
suatu sekolah hanya memenuhi sebagian
persyaratan, maka sekolah tersebut tetap
bisa menerapkan MPMBS sambil
melengkapi
persyaratan
berikut.
Persyaratan berikut bukan harga mati,
akan tetapi lebih merupakan petunjuk
yang masih terbuka untuk dimodifikasi,
dikurangi atau ditambah sesuai dengan
karakteristik sekolah dan masyarakat
sekitarnya.
Adapun
persyaratanpersyaratan yang dimaksud adalah:
1.
Kapasitas
kelembagaan
yang
memadai
untuk
menerapkan
MPMBS,
seperti
misalnya
manajemen sekolah yang memadai,
kesiapan sumberdaya manusia dan
umberdaya
selebihnya
(dana,
peralatan, perlengkapan, bahan, dsb)
2. Budaya
yang
kondusif
bagi
penyelenggaraan MPMBS, yaitu
penghargaan terhadap perbedaan
pendapat, menjunjung tinggi hak
asasi manusia, musyawarah-mufakat
dapat
dilaksanakan,
demokrasi
pendidikan dapat disadarkan akan
pentingnya
pendidikan,
dan
masyarakat dapat digerakkan untuk
mendukung MPMBS.
3. Sekolah
memiliki
kemampuan
membuat kebijakan, rencana, dan
program
sekolah
untuk
menyelenggarakan MPMBS.
4. Sekolah memiliki sistem untuk
mempromosikan
akuntabilitas
sekolah terhadap publik, sehingga
sekolah akan merupakan bagian dari
masyarakat dan bukannya sekolah
berada dimasyarkat.
5. Dukungan pemerintah pusat dan
daerah yang ditunjukan oleh
pemberian
pengarahan
dan
pembimbingan, baik dalam bentuk
pedoman pelaksanaan, petunjuk
pelaksanan dan lain-lain yang
diperlukan
untuk
kelancaran
penyelenggaraan MPMBS.
D. PENINGKATAN MUTU TENAGA
PENDIDIK
1. Standar Mutu Tenaga Pendidik
Seperti yang tertuang dalam
Higher Education Long-Term Strategy
(HELTS)
2003-2010,
tentang
pembangunan masyarakat masa depan
yang mampu menghargai keberagaman
sebagai
perekat
integrasi
bangsa
merupakan salah satu sasaran utama
program pendidikan tinggi, di samping
peningkatan daya saing bangsa, melalui
peletakan landasan bagi pembentukan
sumber daya manusia (SDM) yang
tangguh, yang mampu bersaing baik di
tingkat regional, nasional, maupun global.
Untuk mencapai sasaran tersebut,
salah satu upaya yang sangat mendesak
dilakukan adalah peningkatan mutu guru
melalui profesionalisasi jabatan guru,
yang memungkinkan guru mampu
memberikan layanan ahli sesuai dengan
profesinya, dan karena itulah, maka guru
layak mendapat penghargaan yang lebih
65
baik. Sehubungan dengan upaya ini
diperlukan perangkat undang-undang
sebagai rujukan dasar dan tentu saja
lembaga penyelenggara yang memiliki
kapasitas pendukung yang memadai. Dari
sisi perundangan, sudah ada PP No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan
Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen.
Dengan diberlakukannya PP No.
19 Tahun 2005 tentang Standar
Pendidikan Nasional dan UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
tersebut, kualifikasi minimal guru SD
ditetapkan sekurang-kurangnya lulusan
sarjana (S1) atau D-IV, dan telah
mendapat Sertifikat Pendidik sebagai
guru SD melalui pendidikan profesi. PP
No. 19/2005 dan UU No. 14/2005
berupaya menjadikan jabatan guru
sebagai jabatan profesional dan sekaligus
meningkatkan citra guru adalah dengan
diadakannya pendidikan profesi yang
memungkinkan
guru
menguasai
kompetensi utuh sehingga berpeluang
memberikan layanan ahli yang andal yang
diharapkan mampu menyumbang kepada
peningkatan
kualitas
pendidikan.
Kepemilikan kompetensi yang tercermin
dalam kemampuan memberikan layanan
ahli
ini
akan
ditandai
dengan
pemerolehan
Sertifikat
Pendidik
yang
selanjutnya akan diikuti oleh penghargaan
berupa tunjangan profesi. Ketentuan ini
berlaku bagi semua guru, termasuk bagi
guru sekolah dasar (SD). Menurut PP No.
19/2005, pasal 29, ayat (2), seorang guru
SD/MI minimal harus mempunyai
kualifikasi akademik sarjana (S1) atau DIV, serta sertifikat profesi untuk guru
SD/MI.
Sebagaimana lazim dipahami di
kalangan pendidikan guru, Sosok Utuh
Kompetensi Profesional Guru, dalam hal
ini guru SD, terdiri atas kemampuan:
a. mengenal secara mendalam peserta
didik SD yang hendak dilayani,
b. menguasai bidang ilmu sumber bahan
ajaran lima mata pelajaran di SD, baik
dari segi: (i) substansi dan metodologi
bidang ilmu (disciplinary content
knowledge), maupun (ii) pengemasan
bidang ilmu menjadi bahan ajar dalam
kurikulum SD (pedagogical content
knowledge)
c. menyelenggarakan pembelajaran yang
mendidik
yang mencakup:
(i)
perancangan program pembelajaran
berdasarkan serentetan keputusan
situasional, (ii) implementasi program
pembelajaran termasuk penyesuaian
sambil jalan (mid-course adjustments)
berdasarkan on-going transactional
decisions berhubung dengan reaksi
unik (ideosyncratic response) dari
peserta didik terhadap tindakan guru,
(iii) meng-ases proses dan hasil
pembelajaran, (iv) menggunakan hasil
asesmen terhadap proses dan hasil
pembelajaran dalam rangka perbaikan
pengelolaan pembelajaran secara
berkelanjutan, kesemuanya itu dengan
selalu merujuk kepada ketercapaian
tujuan utuh pendidikan sebagai
Rujukan
Normatif,
dan
(v)mengembangkan
kemampuan
professional secara berkelanjutan.
2. Upaya Peningkatan Mutu Tenaga
Kependidikan
Program
Pendidikan
yang
Terdesentralisasi memiliki tiga bagian:
1. Meningkatkan mutu pendidikan
melalui kapasitas manajemen dan
tata layanan yang lebih baik
2. Meningkatkan mutu proses belajar
mengajar
3. Meningkatkan mutu pendidikan
menengah pertama dan pendidikan
luar sekolah bagi remaja yang
berfokus pada pendidikan kecakapan
hidup
Bagian Proses Belajar Mengajar
bekerjasama
dengan
Departemen
Pendidikan Nasional dan Departemen
66
Agama,
pemerintah
provinsi
dan
kabupaten/kota, serta mitra dari sektor
publik dan swasta untuk mengembangkan
sebuah sistem yang lebih lengkap dalam
pengembangan kapasitas guru secara
profesional.
Sistem
ini
akan
meningkatkan kemampuan pendidik dan
kepala sekolah untuk menggagas,
memfasilitasi,
dan
menggalakkan
peningkatan pencapaian sekolah di
tingkat lokal. Caranya adalah dengan:
a. Memperkuat Pelatihan Guru
Bagian Proses Belajar Mengajar
memberi kesempatan kepada pejabat
pemerintah daerah dan pemangku
kepentingan pendidikan untuk turut serta
dalam sistem dan strategi pemberian
program pelatihan guru yang efektif
menuju pengajaran terdesentralisasi.
Bagian ini bekerja dalam struktur
organisasi sekolah yang sudah ada dan
dikenal sebagai sebuah gugus. Setiap
gugus terdiri dari enam sampai sepuluh
sekolah. Pendekatan melalui gugus
digunakan
untuk
mengatur
dan
melaksanakan kegiatan pelatihan. Gugusgugus dipilih untuk menjadi pusat
melaksanakan tugas dan kegiatan Proses
Belajar Mengajar. Kepala sekolah, guru,
dan
anggota
masyarakat
akan
mendapatkan kesempatan di dalam gugus
untuk benar-benar terlibat dalam kegiatan
dan memperkuat peran mereka masingmasing melalui keterlibatan dalam
pembelajaran aktif.
Model pelatihan guru dalam
jabatan yang terdesentralisasi didukung
dengan paket pelatihan yang disusun oleh
mitra universitas di setiap propinsi, serta
didukung oleh guru-guru, kepala sekolah,
pejabat pemerintah daerah, dan mitra
universitas di luar negeri. Melalui
kerjasama dengan mitra lokal dan
pemangku
kepentingan
pendidikan
setempat,
bagian
ini
mampu
mengidentifikasi dan menjawab secara
tepat kebutuhan tenaga pendidik sekolah
dasar. Bagian Proses Belajar Mengajar
juga bekerja sama dengan Universitas
Terbuka (UT) untuk menyiapkan UT agar
mampu menjawab kebutuhan pelatihan
profesional yang beragam di lingkungan
pendidikan yang semakin lama semakin
terdesentralisasi.
Bagian Proses Belajar Mengajar
juga mengembangkan pusat sumber
belajar
guna
mendukung
dan
memfasilitasi berbagai kegiatan di setiap
gugus sekolah. Pusat sumber belajar
gugus akan digunakan oleh berbagai
pemangku
kepentingan
pendidikan
sebagai
tempat
pertemuan
untuk
mendiskusikan
materi
pelatihan,
bagaimana penerapan dan inovasinya di
kelas, serta mengembangkan materi
proses belajar mengajar serta mengakses
sumberdaya pembelajaran secara online.
b. Peningkatan Lingkungan Belajar
Bagian Proses Belajar Mengajar
dari program Pendidikan Dasar yang
Terdesentralisasi mendukung kegiatankegiatan bagi peningkatan lingkungan
belajar. Taman Kanak-kanak (TK) dan
Sekolah Dasar (SD) akan diperlengkapi
dengan audio dalam sistem pengajaran
sedang dan ditambah dengan tenaga
terlatih dan materi pengajaran yang
bermutu. Sebuah sistem perpustakaan
sekolah yang menggunakan pusat sumber
belajar gugus sedang dibentuk untuk
menyediakan dan menyampaikan materi
bacaan (bukan buku) yang bermutu
tinggi.
Teknologi
Informasi
dan
Komunikasi
diarahkan
untuk
menginformasikan dan mempromosikan
perubahan di sekolah, masyarakat dan
kabupaten/kota. Teknologi Informasi dan
Komunikasi juga menyediakan media
pembelajaran dalam gugus sekolah dan
kelas-kelas, sekaligus berfungsi sebagai
referensi bagi kepala sekolah dan guruguru guna mendukung dan menggalakkan
proses belajar
mengajar.
Bagian
Proses
Belajar
Mengajar
berusaha
mendapatkan
sumberdaya tambahan untuk kegiatan-
67
kegiatan proyek melalui kerjasama
publik-swasta. Cara ini adalah sebuah
bentuk inovatif dalam pengusaha,
perusahaan multinasional dan domestik,
lembaga swadaya masyarakat, serta
institusi-institusi pendidikan.
DAFTAR RUJUKAN
Amir, Muhammad. 2006. Raising the
Quality of Education with Radio
MBS:
Encouraging
Student
Creativity and Innovation. South
Sulawesi: Celebes Journal
Brodjonegoro, Satryo Sumantri. 2006.
Rambu-rambu Pemyelengggaraan
Pendidikan Profesional Guru
Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat
Ketenagaan Direktorat Pendidikan
Tinggi.
Rose, Leslie. 2006. Prakarsa Pendidikan
untuk Indonesia dari President
Bush. Jakarta: U.S Agency for
International Development.
Satrio, Panji. 2006. Cetak Guru Teknologi
Informasi. Jakarta: Suara Merdeka.
Suryadarma, Daniel; Rogers, Halsey F.
2005. Penentu Kinerja Murid
Sekolah Dasar di Indonesia:
Peranan Guru dan Sekolah.
Jakarta: Smeru Research Institute.
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah: Sebuah
pendekatan
baru
dalam
pengelolaan
sekolah
untuk
peningkatan
mutu.
Jakarta:
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Pendidikan Menengah
Umum.
68
KAIDAH MORFOFONEMIK
DALAM BAHASA MADURA
oleh: Rahmad *)
Abstrak: Bahasa Madura tergolong bahasa Melanesia yaitu bahasa-bahasa yang
ada di kepulauan Nusantara dan serumpun dengan bahasa Melayu. Bahasa
Melanesia dari segi tipologinya tergolong bahasa aglutinatif, yaitu bahasa yang
pembentukan kata-katanya melalui penempelan bentuk terikat (imbuhan) ke
bentuk bebas (bentuk dasar) melalui afiksasi. Pada proses afiksasi ini terjadi
perubahan fonem pada morfem-morfem yang berproses, yang kemudian
membentuk kaidah morfofonemik. Afiksasi dalam
bahasa Madura
menimbulkan perubahan fonem baik pada awal kata maupun di akhir kata dasar,
sebagai akibatnya terjadilah bentuk baru, atau disebut juga diglonatif. Perubahan
yang timbul misalnya, /kakan/ menjadi /ŋakan/, pada peristiwa ini fonem /k/
menjadi /ŋ/ atau [ng] sebagai akibat dari asimilasi {N-}. Secara teoritik kaidah
morfofonemik bahasa Madura terdiri dari kaidah perubahan fonem dan kaidah
penambahan fonem. Secara emprik kaidah Mortofonemik bahasa Madura yang
ditemukan dalam penelitian ini ada empat kaidah, yaitu (1) perubahan fonem
awal bentuk dasar menjadi /m/, /n/, /ng/, dan /ny/ secara homorgan pada
prefiksasi, (2) perubahan fonem akhir bentuk dasar /k/, /p/, /t/ menjadi /gh/,
/bh/, /dh/ secara homorgan pada sufiksasi, (3) pemunculan fonem /nga / pada
awal kata yang mirip dengan prefiksasi dan fonem /ne/ di belakang kata yang
mirip dengan sufiksasi dan (4) dan penambahan fonem /y/, /w/, dan / ‘ /
(glotal stop) pada pertemuan dua vokal.
Kata-Kata Kunci : morfem, fonem, dan morfofonemik.
Pendahuluan
Masyarakat sebagai pemakai bahasa,
selalu tumbuh dan berkembang. Seiring
dengan hal itu bahasa pun ikut berkembang
seperti
sesuatu
yang
hidup.
Dalam
perkembangannya
bahasa
mengalami
perubahan-perubahan. Ada yang bertambah
dan sangat mungkin ada yang mengalami
penghilangan
karena
ditinggal
oleh
pemakainya.
Bahasa Madura merupakan salah satu
bahasa daerah di Indonesia yang oleh
pemerintah tetap dibina, dipelihara,
dan
dikembangkan. Pembinaan dan pengembangan
bahasa daerah tidak saja bertujuan untuk
menjaga kelestarian bahasa-bahasa daerah,
tetapi juga bermanfaat bagi pembinaan,
pengembangan dan pembakuan bahasa
Indonesia. Pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
tidak dapat dipisahkan dari pembinaan dan
pengembangan bahasa-bahasa daerah karena
kedua-duanya mempunyai hubungan timbal
balik yang erat (M.H. Pratista, 1984: 1).
Pembinaan dan pengembangan bahasa
daerah tidak hanya
diarahkan pada
pemantapan sebagai alat komunikasi dan
interaksi sosial. Namun diharapkan pula secara
ideal bahasa-bahasa tersebut tumbuh dan
berkembang menjadi bahasa ilmu pengetahuan
dan kebudayaan yang tinggi (Oka, 1974: 13).
Bahasa Madura dalam perkembangan
tidak jauh berbeda dengan Bahasa Indonesia.
Para peneliti banyak mengadakan penelitian
dan sarasehan dalam perkembangan dan
pertumbuhan bahasa Madura. Dalam bahasa
Madura ada ejaan Balai Pustaka (BP) Propinsi
Jawa Timur, juga mengenal ejaan yang
disempurnakan (EYD) mulai dari tahun 1973
sampai
ejaan Bahasa
Madura
yang
69
disempurnakan (EYD) yang terakhir yaitu
tahun 2004.
Buku pedoman umum ejaan bahasa
Madura yang disempurnakan berisi kaidahkaidah umum ejaan bahasa Madura yang
diselaraskan dengan ejaan bahasa Indonesia
dengan mempertimbangkan kekhasan yang
terdapat di dalam bahasa Madura. Tujuan
dibentuk atau dikeluarkannya pedoman umum
ejaan-ejaan bahasa Madura yang
disempurnakan yaitu diharapkan masyarakat
pemakai bahasa Madura menggunakannya dan
memasyarakatkan penggunaannya sehingga
tidak terjadi kesalahan ejaan, terutama dalam
pelafalan. Salah satu hal penting terkait
dengan pelafalan bahasa Madura adalah
pengucapan kata-kata yang mengalami
perimbuhan. Pada kata-kata tersebut terjadi
perubahan fonem atau ucapan secara
sistematis. Perubahan ucapan (fonem) yang
terjadi pada kata-kata berimbuhan terjadi
sebagai akibat adanya kaidah morfofonemik.
Hal ini lazim terjadi pada bahasa-bahasa
Melanesia yang tergolong pada tipologi bahasa
aglutinatif, yaitu bahasa yang sebagian besar
besar pembentukan kata-katanya terjadi
dengan cara menempelkan bentuk terikat
(imbuhan) ke bentuk bebas (kata dasar).
Dalam studi liguistik, morfofonemik
lazim diartikan sebagai perubahan bunyi
fonem akibat adanya kaidah morfologi (Chaer,
2003: 35). Ramlan, (2001: 83) mengatakan
bahwa morfofonemik mempelajari perubahanperubahan fonem yang timbul sebagai akibat
pertemuan morfem. Dalam bahasa Madura
misalnya morfem {N-} bergabung dengan
morfem {pokol}, maka /p/ pada {pokol}
menjadi /m/ terjadilah kata /mokol/. Demikian
juga peritsiwa bahasa tersebut dapat terjadi
pada kata-kata yang lain.
Kajian terhadap kaidah Morfofonemik
Bahasa Madura merupakan suatu bentuk
penelitian
kualitatif.
Penelitian
ini
dimaksudkan untuk mendapatkan dan
memberikan paparan secara deskriptif,
bagaimana kaidah Morfofonemik yang terjadi
dalam bahasa Madura.
Morfofonemik mempelajari perubahanperubahan fonem yang timbul sebagai akibat
pertemuan morfem dengan morfem lain
(Ramlan, 2001: 83). Berdasarkan pendapat
tersebut maka Kridalaksana (1994: 183)
mengemukakan bahwa kaidah morfofonemik
adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena
pertemuan morfem dengan morfem lain.
Kaidah morfofonemik dalam bahasa
Madura hanya terjadi dalam pertemuan
realisasi morfem dasar (morfem) dengan
realisasi afiks (morfem), baik prefiks, sufiks,
infiks, maupun konfiks seperti yang terjadi
dalam Bulletin Konkonan, Pakem Maddhu,
dan hasil wawancara dari warga Pamekasan
yang kemudian ditransfer ke data tulis.
Menurut
Ramlan
(2001:
23)
morfofonemik
mempelajari
perubahanperubahan fonem yang timbul sebagai akibat
pertemuan morfem dengan morfem lain.
Akibat pertemuan morfem tersebut dapat
dijumpai peristiwa morfofonemik seperti: 1)
perubahan fonem, 2) penghilangan fonem, dan
3) kaidah penambahan fonem.
Kaidah morfofonemik adalah peristiwa
fonologis yang terjadi karena pertemuan
morfem dengan morfem (Kridalaksana, 1994:
183).
Menurut Harimurti Kridalaksana (1994:
184 – 201) kaidah morfofonemik dibagi
menjadi dua bagian, yaitu; 1) Kaidah
morfofonemik yang otomatis terdiri dari; (a)
kaidah pemunculan fonem, (b) kaidah
pengekalan fonem, (c) kaidah pemunculan dan
pengekalan fonem, (d) kaidah perubahan dan
pergeseran posisi fonem, (e) kaidah peluluhan
fonem. 2) Kaidah morfofonemik yang tidak
otomatis terdiri dari; (a) kaidah pemunculan
fonem secara histories, (b) kaidah pemunculan
fonem berdasarkan pola bahasa asing, (c)
kaidah variasi fonem bahasa sumber.
Mengingat luasnya masalah yang
terdapat dalam penelitian ini, maka perlu
adanya batasan masalah. Batasan tersebut pada
kaidah Morfofonemik sebagai berikut: (1)
kaidah perubahan fonem, dan (2) kaidah
penambahan fonem.
Begitu juga data yang sangat luas, perlu
dilakukan pembatasan. Data yang dimaksud
adalah: (1) data tertulis yaitu: (a) Buletin
Konkonan yang terdiri dari edisi, 33 tahun
1993, 35 tahun 1994 yang dibatasi pada careta
kona, cerpen, babad songennep, (b) Buletin
Pakem Maddhu terdiri dari edisi pertama, edisi
kedua dibatasi pada tor-ator, fokus berta,
merté sastra madhura, (2) data lisan yang
diperoleh dan hasil wawancara bahasa Madura
dari warga Pamekasan.
70
Berdasarkan uraian di atas maka
masalah yang hendak dijawab adalah
Bagaimanakah Kaidah Morfofonemik Bahasa
Madura?
Pembahasan Teoritik
Morfofonemik lazim diartikan sebagai
perubahan bunyi fonem akibat adanya proses
morfologi (Chaer, 2003: 35)
Menurut Ramlan (2001: 83) kaidah
morfofonemik adalah perubahan-perubahan
fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan
morfem dengan morfem lain. Hal senada juga
dikemukakan oleh Kridalaksana (1994:183)
bahwa kaidah morfofonemik adalah peristiwa
fonologis yang terjadi karena pertemuan
morfem dengan morfem.
Dari kedua
definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa kaidah morfofonemik
adalah penggabungan morfem dengan morfem
yang
mengakibatkan
terjadinya
gejala
fonologis (perubahan fonem) secara teratur
pada morfem yang bergabung.
Perubahan-perubahan
fonem
yang
timbul sebagai akibat pertemuan-pertemuan
morfem dengan morfem lain sehingga berubah
bunyi yang lain sebagai akibat dari bunyi yang
ada di lingkungannya, sehingga bunyi itu
menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang
sama dengan bunyi yang mempengaruhinya,
peristiwa berubahnya bunyi tersebut, disebut
asimilasi. Asimilasi terdiri dari dua macam
yaitu; fonetis dan fonemis. Sedangkan yang
dimaksud asimilasi fonetis ialah sebuah
Kaidah yang tidak menyebabkan berubahnya
identitas sebuah fonem, dan asimilasi fonemis
adalah Kaidah asimilasi yang menyebabkan
berubahnya identitas fonem menjadi fonem
lain (Chaer, 2003: 132).
Kehomorganan menurut
Verhaar
(2004: 55) berpendapat homorgan adalah
bunyi dengan memepergunakan alat-alat
bicara yang sama, dan dengan tempat
artikulasi yang sama. Kehomorganan terdiri
dari, homorgan penuh dan homorgan sebagian.
Dalam hal pengaruh-mempengaruhi
bunyi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu akibat
dari pengaruh-mempengaruhi bunyi itu yang
disebut Kaidah asimilasi, dan dari tempat
artikulasi yang mana bunyi itu mempengaruhi
disebut artikulasi penyerta. Kaidah asimilasi
menurut arahnya terdiri dari, asimilasi
progresif dan regresif (Marsono, 2006: 108)
dan artikulasi penyerta terdiri dari: labialisasi,
refloksi/faringalisasi, palatalisasi, velarisasi,
dan glotalisasi (Marsono, 2006: 109-110).
Dari uraian di atas dapat digambarkan
Kaidah morfofonemik bahasa Madura, yaitu
fonem /k/ berubah menjadi /gh/ karena
berasimilasi dengan bunyi yang ada di
lingkungannya. Asimilasi tersebut dinamakan
asimilasi fonemis yang homorgan dan bersifat
regresif. Dikatakan asimilasi fonemis karena
/k/ berubah identitas, yaitu fonem /gh/ misal,
ekolaghâ. Dan disebut homorgan penuh
karena menggunakan alat ucap dan tempat
artikulasi yang sama. Konsonan /k/ merupakan
konsonan hambat velar bersuara dan konsonan
/gh/ merupakan konsonan hambat velar tak
bersuara. Kedua fonem tersebut dinamakan
asimilasi konsonan homorgan penuh karena
tidak ada perbedaan selain penggunaan pita
suara. Tapi untuk perubahan konsonan /p/
menjadi /m/ disebut kehomorganan sebagian
karena /p/ merupakan konsonan hambat
bilabial, yang menggunakan daerah artikulasi
yang berbeda dengan /m/. Dan disebut
asimilasi bersifat regresif
karena arah
perubahannya ke belakang, missal fonem /k/
mendapat morfem sufiks {-â} atau karena
peggunaan vokal /ə/, maka fonem /k/ akan
berubah menjadi /gh/.
Pembahasan Empirik
1. Kaidah Perubahan Fonem
a. Perubahan fonem akibat asimilasi
morfem {N - }
1) Apabila bentuk dasar berawal konsonan / k,
g, gh, h, l /, asimilasi tersebut menghasilkan
/ ng /, sebagai berikut.
Fonem / k, g, gh / merupakan konsonan
hambat velar tak bersuara (/k/), tak bersuara
(/g, gh/) yang dihasilkan dengan menempelkan
belakang lidah pada langit-langit lunak, udara
dihambat dan kemudian dilepaskan, dan untuk
fonem /gh/ dibentuk cara yang yang sama
dengan pembentukan /g/, tetapi pada waktu
suara dikeluarkan dari mulut lebih cepat.
Fonem /h/ merupakan konsonan frikatif glottal
bersuara yang dihasilkan dengan melewatkan
arus udara di antara pita suara yang
menyempit sehingga menimbulkan bunyi
desis, tanpa dihambat di tempat lain. Fonem /l/
merupakan konsonan lateral alveleobar
bersuara
yang
dihasilkan
dengan
menempelkan daun lidah pada gusi dan udara
71
dikeluakan melewati samping lidah, sementara
itu pita suara dalam keadaan bergetar.
Sedangkan fonem /ng/ merupakan konsonan
nasal
velar
yang
dihasilkan
dengan
menempelkan ujung lidah pada langit-langit
lunak dan udara kemudian dilepas melalui
hidung.
Berubahnya fonem /k/ menjadi /ng/ karena
morfem {N-} berasimilasi dengan fonem /k/.
Fonem /k/ pada awal kata kakan diluluhkan
dan disenyawakan dengan bunyi nasal [ng]
dari prefiks {N-} tersebut, seperti tampak pada
rumus
Rumus = /N-/ + /k..../ → /ng  ...../
= /N - / + /kakan/ → /ngakan/
2)
Apabila bentuk dasar berawal konsonan
/t, t, d, d, dh, dh/, asimilasi tersebut
menghasilkan /n/, sebagai berikut.
Fonem /t, t, d, d, dh, dh/ merupakan
konsonan dental alveolar, yang termasuk
konsonan alveolar /t, d/ yang dihasilkan /
dilafalkan dengan ujung lidah ditempelkan
pada gusi, udara dari paru-paru sebelum
dilepaskan. Sedangkan bunyi dental terdiri
dari /t, d, dh, dh/ yang dilafalkan dengan
menempelkan ujung atau daun lidah pada
bagian belakang gigi atas, sehingga terciptalah
bunyi dental bukan alveolar. Dan untuk
konsonan nasal pada lafal /n/ dilafalkan
dengan cara menempelkan ujung lidah pada
gusi untuk menghambat udara dari paru-paru,
udara itu kemudian dikeluarkan lewat hidung.
Berubahnya fonem /t/ alveolar menjadi
/n/ karena proses asimilasi dar morfem {N-}
dengan fonem /t/. fonem /t/ pada awal kata
tojjhu diluluhkan dan disenyawakan dengan
bunyi nasal /n/ dari morfem prefiks {N-}
tersebut seperti tampak pada rumus sebagai
berikut.
Rumus = /N-/ + /t..../ → /n  ...../
= /N - / + / tojjhu + → /nojjhu/
3) Apabila bentuk dasar berawal konsonan /p,
b, bh, f, w/, asimilasi tersebut
menghasilkan /m/, sebagai berikut.
Fonem /p, b, bh, f, w/ merupakan
konsonan hambat bibial tak bersuara /p/,
bersuara /b, bh/ yang dilafalkan dengan bibir
atas dan bibir bawah terkatup rapat sehingga
udara dari paru-paru tertahan untuk sementara
waktu sebelum katupan itu dilepaskan. Fonem
/f/ merupakan konsonan frikatif labiodental
bawah yang dihasilkan dengan bbibir bawah
didekatkan pada bagian bawah gigi atas
sehingga udara dari paru-paru dapat melewati
lubang yang sempit antara gigi dan bibir dan
menimbulkan bunyi desis. Fonem /w/
merupakan konsonan semivokal bilabial
bersuara
yang
dihasilkan
dengan
mendekatkan kedua bibir tanpa menghilangi
udara yang dihembuskan dari paru-paru.
Sedangkan fonem /m/ merupakan konsonan
bilabial bersuara yang dihasilkan dengan
kedua bibir dikatupkan, kemudian udara
dilepas melalui rongga hidung.
Berubahnya fonem /p/ menjadi /m/
karena {N-} berasimilasi dengan fonem /p/.
Fonem /p/ pada awal kata parèksa diluluhkan
dan disenyawakan dengan bunyi nasal /m/ dari
morfem prefiks {N-} tersebut seperti tampak
pada rumus sebagai berikut.
Rumus = /N-/ + /p..../ → /m  ...../
= /N - / + / parèksa / → /marèksa/
4) Apabila bentuk dasar berawal konsonan /c,
s, j, jh/, asimilasi tersebut menghasilkan
/ny/.
Fonem /c, j, jh/ merupakan konsonan
afrikat palatal tak bersuara /c/, bersuara /j, jh/
yang
dilafalkan
dengan
daun
lidah
ditempelkan pada langit-langit keras dan
kemudian dilepas secara perlahan sehingga
udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi
desis, sementara itu pita suara dalam keadaan
tidak bergetar untuk fonem /c/, untuk fonem /j,
jh/ pita suara bergetar. Fonem /jh/ dibentuk
dengan cara pembentukan /j/, tetapi ketika
suara dihembuskan lebih cepat konsonan
frikatif diveolar /s/ dihasilakan dengan
menempelkan ujung lidah pada gusi atas
sambil melepaskan udara lewat samping lidah
sehingga menimbulkan bunyi desis. Konsonan
nasal
palatal
/ny/
dibentuk
dengan
menemplekan depan lidah pada langit-langit
keras untuk menahan udara dari paru-paru
kemudian udara dilepaskan melalui hidung
sehingga menghasilkan bunyi sengau.
Berubahnya fonem /c/ menjadi /ny/
karena {N-} berasimilasi dengan fonem /c/.
Fonem /c/ pada awal kata capcap diluluhkan
dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ny/
72
dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti
tampak pada rumus sebagai berikut
Rumus = /N-/ + /c..../ → /ny  ...../
= /N - / + / capcap / → /nyapcap /
5) Apabila bentuk dasar berawal vokal /a, i, e,
è, u, o/, asimilasi tersebut menghasilkan
/ng/
Fonem /i/ adalah vokal tinggi – depan
dengan kedua bibir agak terentang kesamping
diucapkan dengan meningikan lidah depan
setinggi
mungkin
tanpa
menyebabkan
terjadinya konsonan geseran. Fonem /a/
merupakan vokal rendah – tengah yang
diucapkan dengan bagiah tengah lidah agak
merata dan mulut agak melebar. Fonem /e, è/
adalah vokal sedang – depan yang dibuat
dengan daun lidah dinaikan, tetapi agak rendah
dari fonem /i/ sehingga bentuk mulut menjadi
netral, artinya tidak terentang atau tidak
membundar.
Fonem /u/ merupakan vokal
tinggi – belakang diucapkan dengan menaikan
pangkal lidah setinggi mungkin kemudian
bentuk mulut tertutup bulat. Fonem /o/ adalah
vokal sedang – belakang yang dibuat dengan
menaikan pangkal lidah, tetapi agak rendah
dari fonem /e, è/ kemudian bentuk mulut
tertutup bulat tapi tak sebulat fonem /u/. fonem
/ng/ merupakan konsonan nasal velar yang
dibentuk menempelkan belakang lidah pada
langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas
melalui hidung.
Proses munculnya bunyi /ng/ karena
proses asimilasi morfem {N-} dengan fonem
/a/. Fonem /a/ pada awal kata ako dikekalkan
dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ng/
dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti
tampak pada rumus sebagai berikut.
Rumus = /N-/ + /a..../ → /nga...../
= /N - / + / ako + a / → /ngakoa /
b Perubahan fonem akibat asimilasi fonemis
morfem sufiks
1) Konsonan tak bersuara menjadi bersuara
Konsonan tak bersuara /k, p, t/ pada
akhir bentuk dasar akan berubah menjadi
konsonan bersuara aspira /gh, bh, dh/ karena
karena berasimilasi dengan vokal /ə/ . Dan
perubahan /a/ menjadi /â/ pada sufiks /-a, -an, ana, -aghi, -na / jika begrabung dengan
konsonan bersuara tapi bukan nasal.. Asimilasi
tersebut dinamakan asimilasi progresif, yaitu
terjadi apabila arah pengaruh itu ke depan.
Proses perubahannya, ialah konsonan bersuara
itu mempengaruhi fonem /a/ hingga menjadi
/â/ pada morfem sufiiks.
Faktor perubahan fonem /k, p, t/
menjadi /gh, bh, dh/ karena penggunaan vokal
/ə/ dalam bahasa Madura dilambangkan /â/.
Fonem /â/ merupakan vokal sedang – tengah
yang diucapkan dengan bagian tengah lidah
agak dinaikkan. Jadi karena proses bunyi [â]
tersebut maka fonem /k, p, t/ pada akhir kata
dasar mendapat akhiran /â/( dalam pelafalan )
jika dilafalkan secara otomatis fonem /k, p, t/
berubah menjadi /gh, bh, dh/. Perubahan /k, p,
t/ menjadi /gh, bh, dh/ merupakan hasil
asimilasi yang homorgan penuh.
2) Konsonan tak bersuara menjadi bersuara
akibat morfem {-na}
Proses penggabungan morfem {-na}
dengan konsonan /k, p, t/ terjadi perangkapan
dan peluluhan, yaitu jika bentuk dasar
bergabung dengan morfem {-na} maka fonem
/n/ pada morfem {-na} diluluhkan kemudian
diikuti perangkapan konsonan pada akhir kata
dasar itu, misal pada akhir kata dasar itu /k,
p,t/ mendapat morfem {-na} maka ditulis /kk,
pp, tt/. Dan karena pengaruh fonem /â/ maka
fonem /kk, pp, tt/ menjadi /ggh, bbh, ddh/.
Proses
pembentukan
babatekna,
karepna, muridna berubah menjadi babatekka,
kareppa, moretta karena mendapat sufiks –na,
jadi fonem /n/ pada sufiks -na menjadi fonem
akhir darik kata dasar itu sehingga ditulis
rangkap pada akhir kata dasar itu.
Proses pembentukan fonem rangkap
pada akhir kata /k, p, t/ menjadi /kk, pp, tt/
karena penggunaan vokal /a/ bukan /â/ yang
digunakan sebagian orang Madura), jadi
fonem /a/ tidak dapat mengubah fonem /kk,
pp, tt/ menjadi /ggh, bbh, ddh/, karena fonem
/a/ adalah vokal rendah-tengah yang dihasilkan
dengan bagian tengah lidah agak merata dan
mulut terbuka lebar, jadi karena fonem /a/
dihasilkan seperti itu maka secara otomatis
hanya terjadi perangkapan /kk, pp, tt/.
Rumus: bâbâtek + na → bâbâtekna →
bâbâtekka → bâbâtegghâ
73
2. Proses Penambahan Fonem
a. Penambahan fonem /y/
Penambahan fonem /y/ terjadi pada
bentuk dasar dengan /e, è/ atau /i/ yang
mendapat morfem sufiks {-a, -an, -ana, aghi,
dan bentuk dasar yang berawal /a/ yang
mendapat prefiks {e-/è-}
Proses penambahan fonem /y/, karena /i/
bergabung dengan fonem /â/ pada sufiks.
Vokal /i/ termasuk vokal tinggi-depan,
sedangkan vokal /â/ merupakan vokal sedangtengah. Jika fonem /i/ dilafalkan kemudian
diteruskan ke fonem /â/ tanpa adanya
pemberhentian diartikulasi, maka ditengahtengah kedua fonem itu menghasilkan bunyi
[y]. alasan lain terjadinya bunyi [y] karena
dalam pembentukan bunyi [y] dimulai dengan
pembentukan bunyi /i/ yang merupakan vokal
tinggi, sehingga bila ditinggikan sedikit saja
maka jarak antara lidah dan langit-langit akan
begitu sempit kemudian udara pada jalan
sempit itu bergetar, itulah proses terjadinya
bunyi [y]. maka ketika fonem /i/ dilafalkan
dengan bentuk bibir terentang kesamping
kemudian bentuk bibir berubah netral untuk
menghasilkan bunyi [â] secara tidak langsung
akibat
perubahan
bentuk
bibir
itu
menghasilkan bunyi [y].
Contoh:
nyarè + a
----- [nyarèya]
ènyarè + aghi
----- [ènyarèyaghi]
ècampolè + aghi ----- [ècampolèyaghi]
b. Penambahan fonem /w/
Terjadi pada kata dasar yang berakhir
vokal /o/ atau /u/ yang mendapat morfem
sufiks {-a, -an, -ana, -aghi, -e/i}.
Proses penambahan fonem /w/ pada
pelafalan, karena fonem /u/ berganbung
dengan fonem /a/ pada sufiks. Vokal /u/
merupakan vokal tinggi belakang, sedangkan
vokal /a/ merupakan vokal rendah tengah.
Proses penambahan fonem /w/ diantara fonem
/u/ dan /a/, jika fonem /u/ dilafalkan tanpa ada
hambatan pada artikulasi atau diteruskan ke
fonem /a/ maka akan menghasilkan fonem /w/.
alasan lain penambahan fonem /w/ diantara
fonem /u/ dan /a/, karena bunyi [w] berawal
dari bunyi [u] maksudnya, vokal /u/ adalah
vokal bundar, berarti bibir-bibir berbentuk
bundar, apabila kedua bibir itu lebih saling
didekatkan lagi, maka saluran diantaranya
menjadi begitu sempit sehingga udara diantara
mulai bergetar, dan hasilnya ialah fonem /w/,
maka ketika fonem /u/ dilafalkan dengan
bentuk bibir bundar kemudian bentuk bibir
berubah terbuka lebar untuk menghasilkan
bunyi [a] maka secara tidak langsung akibat
perubahan bentuk bibir itu menghasilkan
bunyi [w].
Contoh:
karato + anna
emoso + aghi
naro + ana
ngako + a
pasèmo + an
--------------------------
[karato wanna]
[emosowaghi]
[narowana]
[ngakowa]
[pasèmowan]
c. Penambahan bunyi glotal /?/
Penambahan fonem /?/ terjadi pada
bentuk dasar yang berawal dengan vokal /a, o/
yang mendapat prefiks ma-, sa-, ka-, ta-, pa-,
dan bentuk dan yang berakhir dengan vokal /a/
yang mendapat sufiks –a, -an, -ana, -aghi serta
penggabungan vokal sama baik berupa dalam
kata dasar, prefiks maupun sufiks.
Bunyi hamzah atau glotal /?/ dihasilkan
dengan cara menutupnya pita-pita suara secara
tiba-tiba. Di dalam pembentukan bunyi vokal,
pita-pita suara tertutup terlebih dahulu
sebelum vokal itu berbunyi, dalam fonetiknya
di dilambangkan [?a, ?i, ?u, ?e, ?o].
Penambahan bunyi hamzah itu terjadi karana
penggabungan vokal dengan vokal baik berupa
sufiks, prefiks, maupun kata dasar itu sendiri.
Proses penmabahan bunyi hamzah antara
vokal dengan vokal, karena pertama diucapkan
dengan menekan seluruh panjangnya pita
suara dan langit-langit lunak beserta anak
tekaknya ke atas sehingga arus udara
terhambat untuk beberapa saat. Dengan
merapatnya sepasang pita suara maka glotis
dalam keadaan tertutup rapat, kemudian vokal
kedua dilafalkan maka secara tiba-tiba kedua
pita selaput udara terjadilah bunyi hamzah.
Contoh:
ngara + a
------ [ngara?a]
aghuna + aghi ------ [aghuna?aghi]
emamfaat +aghi ------ [emamfaat?aghi]
ngobâsa + anna ------ [ngobâsa?anna]
èbhidâ + aghi ------ [èbhidâ?aghi]
74
3. Proses asimilasi yang tidak homorgan
akibat { N- }
1) Fonem /f/ frikatif-labiodental tidak
homorgan dengan fonem
/m/ nasalbilabial,
berasimlasi
karena
/f/
dibilabialisasi nasal yaitu mentupnya
bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat
sementara waktu kemudian dilepas,
sehingga
[f]
diluluhkan
dan
disenyawakan dengan [m], proses ini
terjadi pemunculan /m/ karena tidak
homorgan. Seperti contoh di bawah ini :
/ N- + faham + e /  / mahame /
2) Fonem /s/ frikatif-alveolar tidak
homorgan dengan fonem /ny/ nasalpalatal,
berasimlasi
karena
/s/
dipalatalisasi nasal yaitu menempelnya
depan lidah pada langit-langit keras
sehingga
[s]
diluluhkan
dan
disenyawakan dengan [ny]. Proses ini
terjadi karena / ny / tidak homorgan.
Seperti contoh di bawah ini :
/ N- + sassa /  / nyassa /
3) Fonem /h/
frikatif-glotal tidak
homorgan dengan fonem /ng/ nasalbilabial,
berasimlasi
karena
/h/
divelarisasi nasal yaitu pengangkatan
pangkal lidah pada langit-langit lunak
sehingga [f] diluluhkan dan disenyawakan
dengan [ng]. proses ini terjadi karena / ng
/ tidak homorgan. Seperti contoh di
bawah ini :
/ N- + haram + aghi /  / ngaramaghi /
4) Fonem
/l/
lateral-alveolar
tidak
homorgan dengan fonem /ng/ nasalvelar, berasimlasi karena /l/ divelarisasinasal yaitu menempelnya depan lidah
pada langit-langit keras sehingga [l]
dikekalkan dan disenyawakan dengan
[ng], serta terjadi penambahan fonem / a
/ pada / ng / menjadi / nga /. Proses ini
terjadi pemunculan / nga / karena tidak
homorgan. Seperti contoh di bawah ini :
/ N- + lantor /  / ngalantor /
5) Vocal / a, i, u, e, o / tidak homorgan
dengan fonem
/ ng / nasal-velar,
berasimlasi karena, vocal divelarisasi
nasal yaitu pengangkatan pangkal lidah
pada langit-langit lunak sehingga vocal
dikekalkan dan disenyawakan dengan [
ng ]. Proses ini pemunculan terjadi
karena / ng / tidak homorgan. Seperti
contoh di bawah ini :
/ N- + ara /  / ngara /
4. Faktor Yang Berpengaruh
Faktor berubahnya /k, p, t, s/ menjadi
/gh, bh, dh, sâ/ di akhir kata dasar, karena
factor pemakaian vokal /ə/ ( dalam bahasa
madura dulambangkan /â/ ) yang merupakan
vocal sedang-tengah, jadi karena pemakaian
vocal tersebut fonem /k, p, t, s/ pada akhir kata
dasar bila di ikuti fonemn
/â/ ( dalam
pelafalan ) akan menjadi /gh, bh, dh, sâ/
karena langsung mengikuti bunyi [â] yang
digunakan sebagian orang Madura. Sepeti
contoh di bawah ini :
- ekolak
+a

ekolaka

ekolaghâ
- ekotep + a  ekotepa  ekotebhâ
- epettat + a  epettata  epttadhâ
- apes + na  apesna  apessa  apessâ
Faktor tidak berubahnya fonem /k, p, t,
s/ menjadi /gh, bh, dh, sâ/ dikarenakan
sebagian orang Madura menggunakan vocal
/a/ jadi vocal tersebut tidak mempangaruhi
fonem /k, p, t, s/, dan langsung mengikuti
vocal /a/ jika fonem di akhir kata dasar /k, p, t,
s/ dilafalakan. Seperti contoh di bawah ini :
- ekolak + a  ekolaka
- ekotep + a  ekotepa
- epettat + a  epettata
- apes + na  apesna  apessa
Faktor tidak berubahnya fonem /k, p,
t/ menjadi /gh, bh, dh/ dikarenakan sebagian
orang Madura menggunakan vocal /i/ dari
alumorf /-e/ pada akhiran ( sufiks ), karena
vokal /i/ merupakan vokal tinggi-depan jadi
vocal tersebut mempangaruhi fonem /k, p, t/
menjadi /gh, bh, dh/ dan langsung mengikuti
vocal /i/. Dan vokal /e/ tdak dapat mengubah
/k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ karena vokal /e/
merupakan vokal sedang-depan. Seperti
contoh di bawah ini :
- ngolok + i  ngolghi
- ngadep + i  ngadebhi
- ngolat + i  ngoladhi
contoh /e/ tidak dapat berasimilasi :
- ngolok + e  ngoloke
75
- ngadep + e
- ngolat + e
 ngadepe
 ngolate
Di samping dijumpai gejala perubahan
fonem seperti yang telah terungkap, dalam
bahasa Madura juga dijumpai serupa sufiks
baru yaitu, {-ne} yang bermakna: perintah,
misalnya:
- ako
+ ne  akoné  akui
- kobâsa + ne  kobâsané  kuasai
- bâdâ + ne  bâdâné  penuhi
- tampa + ne  tampane  terimalah
Gejala serupa terjadi pada kata berikut
menyatakan makna sudah, misalnya:
- tekka  / N- + tekka + ne /  nekkane
 ‘sudah mencukupi/memenuhi’
Penutup
Seperti halnya bahasa nusantara lainnya,
dalam bahasa Madura dijumpai kaidah
morfofonemik yang meliputi (1) perubahan
fonem awal bentuk dasar menjadi /m/, /n/,
/ng/, dan /ny/ secara homorgan pada
prefiksasi, (2) perubahan fonem akhir bentuk
dasar /k/, /p/, /t/ menjadi /gh/, /bh/, /dh/ secara
homorgan pada sufiksasi, (3) pemunculan
fonem /nga / pada awal kata yang mirip
dengan prefiksasi dan fonem /ne/ di belakang
kata yang mirip dengan sufiksasi dan (4) dan
penambahan fonem /y/, /w/, dan / ‘ / (glotal
stop) pada pertemuan dua vokal.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: PT. Asdi
Mahasiswa.
Chaer, Abdul. 2003. Tata Bahasa Baku
Bahasa
Indonesia.
Jakarta:
Rineka Cipta.
____________. 2003. Linguistik Umum.
Rineka Cipta : Jakarta
Depdikbud. 2007. Kamus Bahasa MaduraMadura-Indonesia. Tim penyusun
Pakem Maddhu. Pamekasan.
_________. 2004. Pedoman Ejaan Bahasa
Madura Yang Disempurnakan.
Surabaya : Balai Pustaka.
Hadi, Sutrisno, 1987. Metodologi Resarch.
Andi Offect : Yogyakarta.
Kridalaksana,
Harimurti.
1994.
Pembentukan
Kata
Dalam
Bahasa Indonesia. Jakarta : PT.
Gramadia Pustaka Utama.
Marsono. 2006. Fonetik, Gadjah Mada
University Press : Yogyakarta.
Moleong, Lexi. J. 2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Oka, I Gusti Ngorah. 1989. Tata Bahasa
Acuan Bahasa Madura. Jakarta:
Depdikbud.
_________. 1974. Probelematika Bahasa
dan Pengajaran Bahasa Madura.
Surabaya : Usaha Nasional.
Pratista, Mudiman Haksa, 1984. Sistem
Perulangan Bahasa Madura,
Jakarta : Dekdikbud.
Ramlan, 2001. Morfologi, Yogyakarta :
CV. Karyono
Sugiarto, 2003. Teknik Sampling. Jakarta :
PT.Gramedia Pustaka Utama.
Surakhmad, Winarno, 1998. Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar Metode
Teknik. Bandung : Tarsito.
Sedarmayanti,
2002.
Metodologi
Penelitian. Bandung : Mandar
Maju
Verhaar, J.W.M. 2004, Asas-Asas
Linguistik Umum. Gajah Mada
University Press : Yogyakarta.
76
Download