20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hijab 1. Makna Hijab Seorang wanita muslimah hendaklah menutup diri (berhijab) dari pandangam laki-laki asing, yang bukan mahramnya. Sebab, hijab adalah salah satu sarana yang disyariatkan oleh Allah untuk menjaga diri agar tidak terjerumus dalam kekejian. Tidak ada kemaslahatan bagi si wanita atau masyarakat bilamana seorang wanita menanggalkan penjagaan tersebut. Terlebih, secara umum naluri seksual adalah naluri yang paling kuat. Sedangkan tabarruj dapat mengobarkan naluri tersebut dan mengurainya dari ikatan, serta meletakkan belenggu dan penghalang di hadapannya, sehingga dapat mempertumpul naluri tersebut. Atas dasar inilah , maka Islam menaruh perhatian khusus terkait masalah pakaian wanita. Oleh karena itu, Islam menjadikan pakaian tersebut sebagai sesuatu yang harus dan wajib bagi si wanita, yang tidak ada jalan lain untuk lari dari dirinya. Pakaian tersebut berfungsi untuk menjaga kaum laki-laki dan wanita secara keseluruhan. Di antara penyimpangan yang dilakukan oleh mayoritas kaum wanita adalah keluarnya mereka dengan membuka kerudung dan dan bersolek yang dapat 21 menimbulkan fitnah bagi kaum laki-laki. Padahal, seharusnya hal tersebut tidak b oleh terlihat. Sebab, pandangan adalah salah satu anak panah iblis. Diwajibkannya hijab bagi kaum wanita muslimah adalah untuk menjadi pembatas antara dirinya dan laki-laki asing bilamana si wanita terpaksa keluar rumah. Oleh sebab itu, Islam menetapkan sejumlah syariat dan adab untuk sesuatu yang darurat ini. Dengan terjaganya seorang wanita, sama artinya menjaga seluruh tatanan masyarakat. B. Definisi Jilbab Jalabib bentuk jamak dari kata jilbab. Yakni, kain yang digunakan untuk menutup tubuh dari atas ke bawah. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah pakaian yang lebih lebar dari khimar dan lebih kecil dari rida’, yang digunakan untuk menutup dada dan punggung seorang wanita. Ada yang mengatakan, yang dimaksud adalah kain izar (sarung). Ada yang menamainya al-milhafah (kain selimut). Terkait makna tersebut terdapat tujuh pendapat. Yang paling kuat adalah pakaian yang digunakan seorang wanita di atas bajunya yang menutupi seluruh tubuhnya yang dikenakan dari kepala hingga kakinya. Dari ciri-citi tersebut, dapat didefinisikan bahwa jilbab adalah pakaian yang longgar yang dikenakan diatas baju seorang wanita dan mampu menutupi tubuhnya dari kepala hingga kakinya. 22 Kalangan ahli tafsir mengatakan, “Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk memerintahkan istri-istri beliau yang mulia, Ummahatul Mukminin, memerintahkan kepada anak-anak perempuan beliau dan istri-istri kaum mukminin seluruhnya, apabila mereka keluar untuk memenuhi hajat mereka, maka hendaklah mereka menutupkan jilbab mereka ke tubuh mereka dan kepala mereka yang dikenakan di atas baju mereka, sehingga orang-orang fasik tidak menimpakan keburukan kepada mereka. Sebab, bila seorang wanita keluar rumah dengan menutupi tubuhnya secara sempurna, menjaga diri, dan mengenakan pakaian islami dengan cara yang telah disyariatkan diantara jilbab maka orangorang yang fasik dan buruk perangainya tidak akan berani mengganggunya dan tidak berkeinginan untuk menjamahnya. Berbeda dengan wanita-wanita bertabarruj dan tidak menutupi diri dengan syar’i, maka orang-orang fasik akan mengganggunya dan berharap untuk dapat menjamahnya. Firman Allah : . . . Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.’ (Al Ahzab [33]: 59), Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan perintah-Nya dan menyayangi para hamba-Nya. Sehingga dia mensyariatkan kepada mereka hal-hak yang mengandung kebaikan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. C. Hadis-hadis tentang Jilbab Dari Ummu Athiyah, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari raya IdulFitri maupun IdulAdha, baik para gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid maupun wanita-wanita 23 pingitan. Wanita-wanita yang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan (mendengarkan nasihat) dan dakwah kaum muslimin. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, salah satu dari kami ada yang tidak memiliki jilbab. ‘Beliau menjawab: ‘Kalau begitu hendaklah saudarinya meminjamka jilbabnya (agar dia keluar dengan jilbab)’.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim) Dari Ummu Salamah, ia berkata, “Ketika turun ayat: ‘ . . . Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka . . . ‘ (QS. Al-Ahzab [33]:59), maka wanita-wanita Ansar keluar rumah seolah-olah diatas kepala mereka ada burung gagak yang bertengger. Mereka mengenakan pakaian hitam.” (H.R Abu Dawud) Kain yang berada di atas kepala mereka yang mereka gunakan untuk jilbab disamakan dengan burung gagak, karena saking hitam warnanya. Demikian itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslimah dalam setiap kondisinya, yakni segera melaksanakan ketaatan kepada Allah dan melaksanakan perintahNya. D. Motivasi Setiap individu memiliki kondisi internal, dimana kondisi internal tersebut turut berperan dalam aktivitas dirinya sehari-hari. Salah satu dari kondisi internal tersebut adalah “motivasi”. Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang 24 menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Oleh karena itu, perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu mengandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Motivasi juga dapat dikatakan sebagai perbedaan antara dapat melaksanakan dan mau melaksanakan. Motivasi lebih dekat pada mau melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, motivasi dapat diartikan sebagai dorongan mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat. Motivasi dapat juga diartikan sebagai proses untuk mencoba mempengaruhi orang atau orang-orang yang dipimpinnya agar melakukan pekerjaaan yang diinginkan, sesuai dengan tujuan tertentu yang ditetapkan lebih dahulu. Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya tingkah laku tertentu. Motif dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu 1) motif biogenetis, yaitu motif-motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya, misalnya lapar, haus, kebutuhan akan kegiatan dan istirahat, mengambil napas, seksualitas, dan sebagainya; 2) motif sosio-genetis, yaitu motif- 25 motif yang berkembang berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang tersebut berada. Jadi, motif ini tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan setempat. Misalnya, keinginan mendengarkan musik, makan pecel, makan cokelat, dan lain-lain; 3) motif teologis, dalam motif ini manusia adalah sebagai makhluk yang berketuhanan, sehingga ada interaksi antara manusia dengan Tuhann-Nya, seperti ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk merealisasikan norma-norma sesuai agamanya. Motif adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu, demi mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha mengadakan perubahan tingkah lakui yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhannya. Berkaitan dengan pengertian motivasi, beberapa psikolog yang menyebut motivasi sebagai konstruk hipotetis yang digunakan untuk menjelaskan keinginan, arah, intensitas, dan keajegan perilaku yang diarahkan oleh tujuan. Dalam motivasi tercakup konsep-konsep, seperti kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan berafiliasi, kebiasaan, dan keingintahuan seseorang terhadap sesuatu. Penggolongan lain yang didasarkan atas terbentuknya motif, terdapat dua golongan, yaitu motif bawaan dan motif yang dipelajari. Motif pertama adalah motif bawaan sudah ada sejak dilahirkan dan tidak perlu dipelajari. Motif bawaan ini, misalnya makan, minum, dan seksual. Motif yang kedua adalah motif yang dipelajari yang timbul karena kedudukan atau jabatan. 26 Dari sudut sumber yang menimbulkannya, motiof dibedakan dua macam, yaitu motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik, timbulnya tidak memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri, yaitu sejalan atau sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan motif ekstrinsik timbul karena adanya rangsangan dari luar individu. E. Fungsi Fashion Dan Pakaian 1. Perlindungan Dalam The Language Of Clothes, Lurie melanjutkan penggunaan metafora pakaian sebagai bahasa dengan menyatakan “Kita mengenakan pakaian karena beberapa alasan seperti berbicara” , hal ini membuat hidup menjadi lebih mudah; untuk ‘menyatakan atau menyembunyikan’ identitas kita dan untk menarik perhatian seksual. Pakaian tampaknya menawarkan perlindungan dari cuaca dan pakaian yang melindungi bisa saja menjadi fashionable. Seperti halnya Lurie, kajian Rouse tentang alasan manusia mengenakan pakaian dalam Understanding Fashion (1989) mengacu pada perlindungan, kesopanan, dan daya tarik. Rouse juga memasukkan komunikasi sebagai salah satu fungsi utama pakaian. Kajian Rouse atas perlindungan ini diawali dengan hasil kajian ahli antropologi fungsionalis, Malinowski yang menyatakan bahwa segala sesuatu seperti rumah merupakan respon kultural terhadap budaya fisik dasar. 27 2. Kesopanan Dan Penyembunyian Hal-hal yang berkenaan dan berkaitan dengan kesopanan merupakan alasan utama untuk mengenakan pakaian. Argumen tentang kesopanan beredar di seputar ide bahwa bagian tubuh tertentu adalah tak senonoh atau memalukan dan hendaknya ditutupi dengan sehingga tak kelihatan. Baik Flugel maupun Rouse menempatkan asal-usul sikap seperti ini di dalam tradisi Judeo-Kristen. Flugel menyatakan bahwa penigkatan besar dalam kesopanan terjadi setelah keruntuhan peradaban YunaniRomawi. Peningkatan itu terjadi sebagai akibat dari pengaruh Kristianitas, yang menempatkan penekanan besar pada jiwa sebagai lawan dari tubuh. Rouse mengambil pendekatan yang agak berbeda, menghubungkan penggunaan pakaian pada pemahaman kisah Kitab Kejadian dalam Injil. Sebelum kejatuhannya, Adan dan Hawa “sama-sama telanjang ... dan mereka tak maliu” (Kitab Kejadian, 2 ayat 5. Yang dikutip dalam Rouse, 1989:8). Setelah Adam dan Hawa memakan buah dari Pohon Pengetahuan, “mata keduanya terbuka dan mereka tahu keduanya telanjang; dan memintal dedaunan dan menjadikannya sebagai bahan baju untuk mereka sendiri” (Rouse, 1989:8). Disini secara eksplisit jkasus bahwa pengetahuan kemanusiaan tentang ketelanjangan itu merupakan kondisi memalukan membaw pada pemakaian pakaian. 28 3. Ketidaksopanan Dan Daya Tarik Motivasi mengenakan pakaian adalah tepatnya ketidaksopanan dan ekshibionisme. Orang menegaskan bahwa tugas pakaian adalah untuk menarik perhatian pada tubuh dan bukan untuk mengalihkan atau menolak perhatian itu. Karena itu, tubuh menjadi lebih terbuka sesuai dengan argumen ketidaksopanan, dan bukannya disembunyikan atau disamarkan, seperti menurut argumen kesopanan. Mungkin menarik untuk dicatat bahwa argumen kesopanan menekankan bahwa gerak menuju kemanusiaan yang penuh atau tepat dipenuhi dengan mengenakan pakaian, sedangkan argumen yang berkaitan dengan ketidaksopanan menekankan pada gerak menuju status menyerupai binatang yang dipenuhi dengan mengenakan pakaian. Argumen-argumen yang menekankan ketidaksopanan cenderung menekankan sisi kebinatangan pemakainya. Misalnya, Rudofsky menjelaskan hal ini; dia mengaskan bahwa pakaian manusia dan bintang menunjukkan banyak kesamaan tujuan--seleksi seksual. Penyamaan manusia dengan binatang itu tak menjadi masalah bagi Rudofsky, bahkan hingga titik sat dia merasa gembira mengacukan pada benda-benda yang mebungkus binatang (bulu binatang, rambut, sayap) sebagai “pakaian”. Rupanya, perbedaannya hanya soal peran yang berbeda antara dunia binatang dan manusia. Dalam apa yang disebut Rudofsky sebagai “kerajaan binatang”, si jantan tampil dengan dandanan agungnya, dan itu digunakannya untuk memikat 29 pasangannya. Namun, pada masyarakat manusia, dia berpandangan bahwa wanitalah “yang melacak dan memikat pria dengan tampil menggoda”. Pakaian seperti halnya fashion dijelaskan dengan mengacu pada kebutuhan wanita menjaga pasangannya “secara terus menerus lewat pemikata berupa warna dan bentuk yang berubah-rubah”. Ini merupakan salah satu dari sedikit kesempatan untuk menunjukkan fashion, sebagai kebalikan dari busana atau pakaian, yang tersedia untuk dianalisis dari fungsinya. Rouse melaporkan usaha Laver untuk menjelaskan pakaian dalam artian ketidak sopanan atau memamerkan. Laver menggunakan apa yang disebutnya Prinsip Godaan, Prinsip Utilitas, dan Prinsip Hierarkis dalam upaya tersebut. Prinsip pertama dan terakhir dari prinsip-prinsip yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam bentuk memamerkan tercapai oleh busana pria dan wanita. Pakaian wanita, dinyatakannya, “diatur” oleh Prinsip Godaan dan pakaian pria “diatur” oleh Prinsip Hierarkis. Karena itu, pakaian wanita dimaksudkan, sepanjang sejarah dan prasejarah, untuk membuat pemakainya lebih menarik bagi lawan jenisnya karena pria memilih “pasangan hidup” berdasarkan daya tarik wanita. Namun, pakaian pria dimaksudkan untuk memamerkan dan “meningkatkan status sosial” karena wanita “untuk sebagian besar sejarah manusia” memilih pasangan hidupnya berdasarkan kemampuannya untuk “menjaga dan melindungi keluarga”. 30 Jadi, pakaian wanita menunjukkan daya tarik seksual wanita dan pakaian pria menunjukkan status sosial pria. 4. Ekspresi Individualistik Tak bisa disangkal bahwa pakaian dan fashion mungkin digunakan untuk meneguhkan, merefleksikan atau membangun suasana hati. Warna cerah atau kontras bisa saja merefleksikan hati yang gembira. Kontras yang linier, yang garis-garisnya berubah arah atau bersentuhan, mungkin juga digunakan untuk merefleksikan dinamisme internal. Seperti dinyatakan oleh Roach dan Eicher, “Jadi, setidaknya untuk orang Amerika, garis dan warna kontras bisa mengekspresikan suasana hati yang gembira pada orang lain dan juga meneguhkan suasana hati yang sama pada pemakainya. Mengenakan pakaian yang dipersepsi sebagai garis-garis atau warna-warna kesenangan dan kegembiraan mungkin digunakan dalam upaya untuk mengubah suasana hatinya. Hal ini terus didokumentasikan dengan baik seolah-olah hal itu kelihatannya membuat lebih banya orang jadi “kecanduan” pada perasaan yang diperolehnya saat mereka mengenakan sesuatu yang baru. Perasaan-perasaan itu bisa saja ditingkatkan atau diperkuat oleh keunikan atau kesenangan dalam menunjukkan penampilan yang berbeda pada dunia, dan tidaklah sukar untuk memahami daya tarik perasaan seperti itu pada orang-orang tertentu. Individu-individu pun mungkin memperoleh kesenangan estetis 31 baik dari “penciptaan pameran pribadi” maupun dari apresiasi dari orang lain, meski sifat-sifat estetis ini tak pelak lagi akan memberikan makna non estetis. Hal tersebut akan ditafsirkan atau digunakan untuk menunjukkan bahwa pakaian bukan sekadar menunjukkan estetika. Pakaian dan fashion adalah cara yang digunakan individu untuk membedakan dirinya sendiri sebagai individu dan menyatakan beberapa keunikannya. Pakaian yang langka, baik karena sudah sangat tua atau sangat baru, misalnya, mungkin digunakan untuk menciptakan dan mengekspresikan keunikan individu. Pakaian yang karena sangat tua atau sangat baru dan pakaian yang diproduksi massal, mungkin juga digunakan untuk menciptakan efek ini. Dengan memadukan butir-butir yang berbeda dan jenis-jenis yang berbeda, individu dan keunikan pakaian bisa menimbulkan efek. Cara yang digunakan untuk jenis-jenis yang berbeda dan dikombinasikan itu menghasilkan makna yang akan diperkenalkan dan dibahas secara mendalam sebagai “sintagmatis” dan “paradigmatis”. 5. Nilai Sosial atau Status Pakaian dan fashion sering digunakan untuk menunjukkan nilai sosial atau status, dan orang kerap membuat penilaian terhadap nilai sosial atau status orang lain berdasarkan apa yang dipakai orang tersebut. Status bisa merupakan hasil atau berkembang dari pelbagai sumber, dari jabatan, dari keluarga, dari jenis kelamin, gender, usia atau ras, misalnya. 32 Nilai sosial itu bisa tetap atau bisa juga diubah: nilai sosial yang berubah dinamakan “hasil usaha” (achieved). Jadi, status yang diduduki seseorang itu bisa kolektor, pejabat pemerintahan daerah, atau dosen. Status keluarga merupakan akibat dari menjadi anak atau ibu atau sepupu misalnya. Status seperti itu merupakan hasil dari usia seseorang yang mungkin diukur dengan apakah orang itu di bawah atau di ats 18 tahun di Inggris, atau apakaj seorang pensiunan misalnya. Begitu pula dengan status sebagai akibat dari jenis kelamin, ras, atau posisi keluarga seseorang tidak bisa diubah, cukup mudah diperoleh dan bersifat tetap alias “warisan”. Status perkawinan atau kedudukan lebih mudah diubah dan karena “hasil usaha”, setidaknya di kebanyakan negara Barat. Semua budaya memberi perhatian sangat besar untuk menandai dengan jelas perbedaan status ini. Budaya-budaya itu bahkan mungkin memberikan perhatian yang lebih besar pada orang-orang yang mengalami perubahan status. Kajian antropologis atas pakaian dan fashion, konsekuensinya, akan secara ekstrem menarik dalam mengkaji fenomena tersebut selain menjadi contoh bagi status yang sengaja disamarkan atau dibuat tak jelas. Iklan jeans Levis yang muncuk pertengahan 1990-an menampilkan seorang waria New York dilirik dengan penuh nafsu oleh seorang sopir taksi sampai dia memperlihatkan bekas cukuran janggutnya dan mulai mencukur janggutnya, memainkan status yang ambigu seperti itu. Semua budaya akan menggunakan pakaian, bila bukan fashion, untuk membedakan pria dari wanita yang 33 kebanyakan akan menggunakan pakaian untuk menandai keanggotaan dalam keluarga yang berbeda. Perubahan besar dalam status, seperti dari lajang jadi kawin, atau dari kawin jadi janda/duda, akan ditandai oleh semua budaya dan sering kali diikuti dengan perubahan yang makan biaya dan rumit dalam pakaian. Pada kebanyakan masyarakat Barat, transisi dri lajang menjadi kawin secara tipikal sang mempelai mengenakan pakaian warna putih, dan ditandai dengan sesuatu seperti bulan madu. Orang-orang di masyarakat yang sama, transisi dari kawin jadi janda secara tipikal si wanitanya mengenakan pakaian hitam dan ditandai dengan masa berkabung. Pelbagai UU antikemewahan (sumptuary law) diegakkan di seluruh dunia pada zaman yang berbeda, bisa dipandang sebagai contoh terkaitnya busana dengan status. Roach dan Eicher menunjuk satu ordonansi yang disahkan pada akhir abad keempat belas di Nurenberg yang menyatakan bahwa “tak seorang pun warga kota, tua atau muda, yang akan membiarkan rambutnya terberai; warga kota hendaklah menyisir rapi rambutnya, seperti yang dilakukan para orang tua”. Hal ini menarik lantaran status sosial diabaikan di sini; status yang terkait dengan usia dianngap tidak relevan. Keduanya pun menunjuk pada serangkaian hukum yang begitu rinci pada zaman Tokugawa di Jepang (1600-1867) yang secara khusus menegaskan bahwa setiap kelas sosial hendaknya membuat sandalnya masing-masing. Karena hal itu berkaitan dengan kemungkinan dan hasrat untuk beralih diantara kelas-kelas, 34 maka bisa dikatakan bahwa ini adalah contoh yang berkenaan dengan fashion, selain dengan pakaian dan busana. Penggunaan pakaian untuk menunjukkan status seperti usia bia kita lihat dari contoh penggunaan celana pendek dan panjang. Kini tak banyak lagi anak muda yang mengalami pengalaman berjuang untuk mendapatkan hak mengenakan celana panjang di sekolah tatkala ibunya yang merendahkan dan kekanak-kanakan. F. Definisi Peran Sosial Jenis status yang berbeda yang dikemukakan di atas, memandang kelas, jabatan, jenis kelamin dan seterusnya, semuanya diikuti atau dikitari sejumlah ekspektasi. Ekspektasi tersebut mendefinisikan atau mengekspresikan bagaimana individu-individu yang menempatin posisi status untuk berperilaku, dan mungkin diacuhkan sebagai peran. Jadi, peran sosial seseorang diproduksi oleh statusnya dan mengacu pada sejumlah cara yang di ekspektasikan dan dilakukannya. Misalnya, status sebagai istri diikuti dengan peran sebagai istri, dan status pejabat pemerintah daerah diikuti dengan peran pejabat pemerintah daerah. Pada semua masyarakat, para istri diharapkan berperilaku dengan cara tertentu dan bukan dalam cara yang lain. Dalam masyarakatnya, pejabat pemerintah daerah juga diharapkan berperilaku dalam cara tertentu dan bukan cara-cara lain. Pakaian dan fashion pun digunakan untuk menunjukkan atau mendefinisikan peran sosial yang dimiliki seseorang. Pakaian dan fashion itu 35 diambil sebagai tanda bagi orang tertentu dalam menjalankan peran tertentu pula sehingga diharapkan berperilaku dalam cara tertentu. Sudah dikemukakan bahwa pakaian yang berbeda, dan jenis pakaian yang berbeda, yang dikenakan oleh orang yang berbeda memungkinkan adanya interaksi sosial yang berlangsung mulus dibandingkan kebalikannya. Pakaian dan fashion yang dipakai dokter, perawat, pengunjung dan pasien di rumah sakit, misalnya, menunjukkan peran orang yang mengenakannya. Pengetahuan tentang peran seseorang diperlukan agar bisa berperilaku secara tepat terhadap mereka. Pengetahuan seperti ini bisa dipandang membantu untuk menghindari agar tak dipermalukan; sebagai pengunjung rumah sakit, orang sudah punya gagasan yang baik cara berperilaku terhadap dokter dan perilaku seperti apa yang diharapkan agar ditampilkan dokter. Film Hollywood Working Girl menunjukkan bagaimana fashion dan pakaian memberi sinyal peran sosial, dan juga bagaimana pakaian dan fashion itu digunakan untuk menyembunyikan posisi sosial. Sang sekretaris (Melannie Griffith) membuang baju murahan kelas pekerjanya (bersamaan dengan kekasihnya yang kelas pekerja dan bokek), dan secara harfiah menyembunyikan baju bosnya “si keledai kurus” yang buruk agar bisa kelihatan, dan di anggap serius, sebagai seorang wanita pebisnis (selain menari minat romantis yang serius dari pebisnis Harrison Ford). Dengan demikian, cara lain melihat relasi antara peran sosial dan fashion atau pakaian adalah melihat fashion dan pakaian ketika ia membuat ketimpangan dalam peran sosial itu tampak alamiah atau pantas. Misalnya, perbedaan pakaian diantara dokter dan perawat mungkin dipahami sebagai perbedaan kekuasaan dan status yang absah diantara keduanya sampai pada tingkat dipandang tepat bagi 36 dokter untuk menjadi patron dan hamba bagi perawat, dan perawat pun mengalami hinaan tanpa mengeluh. Perbedaan-perbedaan dalam status, dam perbedaan-perbedaan ekspektasi berkenaan dengan perilaku, dibuat kelihatan sebagai hal yang alamiah dan tepat manakal diberi bentuk konkret dalam pakaian dan fashion. Perbedaan dalam apa yang dipakai individu kelihatannya membenarkan perlakuan yang berbeda terhadap mereka. G. Nilai Ekonomi Atau Status Meski jelas terkait erat pada nilai sosial dan juga pada peran sosial, status ekonomi sedikit berbeda dari keduanya. Status ekonomi berkaitan dengan posisi di dalam suatu ekonomi. Fashion dan pakaian merefleksikan bentuk organisasi ekonomi tempat seseorang hidup disamping merefleksikan bentuk organisasi tempat seseorang hidup di samping merefleksikan statusnya di dalam ekonomi itu. Roach dan Eicher menunjukkan bahwa seragam polisi di dominasi biru gelap untuk menunjukkan jenis layanan yang bisa diharapkan dari mereka. Keduanya menunjukkan bahwa seragam perawat pun menunjukkan hal yang sama, yang memberikan petunjuk jenis layanan yang diharapkan dari orang yang mengenakan seragam itu. Di sini seragam memberi petunjuk nilai ekonomis atau status sejauh seragam itu menunjukkan layanan, sebagai kebalikan peran, yang diharapkan dari individu itu. Aspek pakaian dan fashion ini bisa saja digambarkan sebagai penandaan ekonomis, atau sisi kontraktual dandanan, sebagai kebalikan dari sisi sosial atau kultural. Dan, ini bisa ditemukan pada sejumlah tingkatan. 37 Melengkapi pemberian beberapa ide tentang jenis-jenis layanan yang diharapkan dari orang, pakaian menunjukka apa jenis pekerjaan orang itu. Fashion dan pakaian menunjukkan pada level manakah dalam ekonomi orang tersebut bergerak atau bekerja. Deskripsi masyhur tentang orang dan pekerjaannya sebagai pekerja kerah putih atau pekerja kerah baru menunjukkan apa pekrjaan orang tersebut. Kerah putih bermakna pekerjaan yang menuntut orang itu mengenakan jas atau ajs dengan kemeja dan dasi, atau pekerjaannya tak menuntut untuk menggunakan tangan. Kerah biru berarti pekerjaannya adalah manual. Penggunaan ungkapan “kerah pink”, untuk menunjukkan pekerja kerah putih itu adalah perempuan, kelihatannya tak semasyhur dua istilah lain. ini mungkin merupakan akibat dari kebingungan dengan penggunaan yang lain, dalam konteks serupa, dari kata “pink” yang menunjukkan yang dimaksud adalah homoeksualitas. Namun, putih dan biru, dalam konteks kerah, menunjukkan status ekonomi, para pekerja kerah putih itu umumnya dipersepsi lebih tinggi statusnya dibandingkan para pekerja kerah biru. Tentu saja, ini bisa jadi persepsi tersebut hanya dibuat oleh para pekerja kerah putih yang pekerjaannya adalah menuliskan hal tersebut. Roach adan Echer menunjukkan bahwa, di Amerika, busana wanita secara umum lebih ambigu dalam simbolisme peran kedudukannyadibandingkan dengan pria. Mereka menulis tentang sejumlah besar wanita yang secara eksklusif pembuat rumah disini. Mereka menegaskan bahwa hal ini sebagian disebabkan karena masyarakat industri mengaku pada kedudukan yang menghasilkan pendapatan dalam bentuk uang yang busana wanitanya ambigu. Dalam 38 masyarakat seperti itu tidak diakui pembuatan rumah sebagai kedudukan yang tepat, para wanita yang jadi pembuat rumah tidak dirumuskan atau dipersepsi dengan jelas statusnya dalam struktur ekonomi. Karena itu, disini tak ada benuk pakaian yang bisa “berhubungan” dengan status tersebut. Karena itu, busana dan fashion wanita untuk sebagian besar ambigu dihadapkan dengan kedudukan atau status ekonomi. Mereka menegaskan bahwa tradisi abad kesembilan belas pun sebagian bertanggung jawab atas ambiguitas ini. Ekspektasi abad kesembilan belas bahwa wanita hendaknya menunjukkan peran yang lebih dekoratif dan menuruti pameran yang lebih bersifat pribadi dibandingkan pria tetap dilakukan hingga abad kedua puluh. Ini berarti bahwa busana dan fashion wanita, sekalipun wanita itu bekerja bersama dengan pria dalam jabatan kerah putih, tetap saja cenderung untuk tidak menunjukkan status jabatan atau ekonomi wanita. Disana ada upaya-upaya “jabatan” untuk menunjukkan status jabatan wanita melalui sarana pakaian dan fashion, seperti yang diadopsi pada pergantian abad di Amerika sesuatu yang mendekati busana pekerja kerah putih pria. Namun, seperti dinyatakan oleh Roach dan Echer, ini mungkin kesenangan baru komparatif dari pekerjaan kerah putih untuk wanita yang berarti fashion dan pakaian belum termasuk ke dalamnya. H. Kondisi Magis-Religius Praktik-praktik magis dan religius bergantung pada unsur-unsur seperti status resmi yang baku atau anugerah Tuhan, dan dihargai tinggi dalam tradisinya 39 serta menjaga tatanan. Ajaran-ajaran dan praktik-praktik yang diganti dengan fashion bukanlah praktik-praktik magis atau religius. Jadi, baik dikenakan secara permanen maupun sevara berkala, busana dan pakaian bisa menunjukkan keanggotaan, atau afiliasi, pada kelompok atau jamaah kelompok agama tertentu. Busana dan pakaian pun menandakan status atau posisi di dalam kelompok atau jamaah tersebut, dan menunjukkan kekuatan atau kedalaman keyakinan atau tingkat partisipasi. Crawley mengutip swjumlah kasus busana yang dikenakan secara berkala untuk maksud-maksud religius atau magis. Dia menunjuk, misalnya, praktik Muslim hanya mengenakan ihram saat menunaikan ibadah haji atau berziarah di Makkah. Ihram terdiri atas dua helai pakaian tak berjahit, sehelai dililitkan di pinggang dan sehelai lagi disematkan di bahu. Dan dia mencatat praktik Zulu, yang dilaporkan pada 1857, yang meneteskan air mata sembari menginjak ladang dengan mengenakan mantel yang biasa dipakai raja. Pada fesetival panen, raja akan berdansa dengan mantelnya, yang terbuat dari rumput atau tumbuhan dan daun jagung. Diantara contoh-contoh busana keagamaan yang paling jelas dan sangat dikenal adalah busana kependetaan Katolik Roma dan Yahudi Hasidic. Poll paing rinci pembahasannya, menggambarkan kode-kode busana masing-masing dari keenam kelas yang membentuk Komunitas Hasidic di New York. Misalnya, Rebbes adalah kelas tertinggi dalam kelas sosial khusus ini; ini merupakan kelas yang paling religius serta ketaatan dan perilakunya sepenuhnya mengikuti agamanya. Sheine Yiden merupakan kelompok ketiga; kelompok ini dikenal secara profesional agama yang mengajarkan Talmud, serta menjalankan khitanan 40 dan penyembelihan kurban. Yiden adalah kelas terbawah dalam tatanan ini, perilaku dan ketaatannya tak begitu intensif dan sering. Masing-masing dari peringkat dan taraf ketaatannya memiliki kode busana yang berkaitan. Rebbes mengenakan semua tanda-tanda keagungannya, shich dan zocken (sepatu dan kaos kaki), shtreimel dan bekecher (topi bulu musang dan jubah sutra panjang), kapote (mantel panjang yang dipakai sebagai jas), biber hat (topi yang terbuat dari berang-berang) serta bord dan payes (jambang). Sheine Yiden tidak mengenakan shich dan zokcken atau Shtreimel dan Bekecher, melainkan mengenakan pakaian lain seperti Rebbes. Namun, Yiden hanya mengenakan pakaian kebesaran yang minimal, yakni baju double breast berwarna gelap yang dikancingkan dari kanan ke kiri. Jelaslah, pakaian yang dikenakan di sini digunakan untuk menunjukkan kekuatan dan kedalaman keyakinan religius dan ketaatan dalam sejumlah cara yang sangat rumit. Bentuk-bentuk busana yang berbeda menunjukkan pertamatama, dan sangat jelas, bahwa salah satunya adalah jenis Yahudi tertentu dari dan kedua, namun kurang jelas , pada level atau tingkat mana ketaatan yang dioraktikkan.