Diagnosis dan Tata Laksana Tuli Mendadak

advertisement
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi IDI – 4 SKP
Diagnosis dan Tata Laksana Tuli Mendadak
Stevani Novita, Natalia Yuwono
RSUD Landak, Ngabang, Kalimantan Barat, Indonesia
ABSTRAK
Tuli mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan otologi yang memerlukan penanganan segera. Tuli mendadak didefinisikan
sebagai sensasi subjektif hilangnya pendengaran pada satu atau kedua telinga, umumnya unilateral, berlangsung cepat dalam periode 72 jam
atau kurang, dengan kehilangan pendengaran lebih dari 30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi audiometri berturut-turut. Etiopatogenesis
tuli mendadak tidak diketahui, lebih dari 90% kasus bersifat idiopatik dan diduga berhubungan dengan vaskuler, infeksi virus, kerusakan
membran intrakoklea, dan kelainan imunologi. Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, tes penala, dan pemeriksaan audiometri penting untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan derajat ketulian. Standar pengobatan yang umum dipakai adalah terapi kortikosteroid sistemik.
Kata kunci: tuli mendadak, diagnosis, tata laksana, kortikosteroid
ABSTRACT
Sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) is an otologic event that needs urgent treatment. It is defined as a subjective sensation of hearing
impairment in one or both ears, almost exclusively unilateral, rapid onset, occuring within 72 hours, with greater than 30 dB of hearing loss in at
least 3 consecutive audiometric frequencies. The etiopathogenesis is unknown, up to 90% of cases is idiopathic and is presumptively attributed
to vascular, viral, intracochlear membrane rupture and immune-mediated disorders. History of illness, physical examination, tuning fork tests,
and audiometric evaluation are essential in establishing diagnosis and grading of hearing impairment. The current standard treatment is
systemic corticosteroid therapy. Stevani Novita, Natalia Yuwono. Diagnosis and Treatment of Sudden Sensorineural Hearing Loss.
Key words: sudden sensorineural hearing loss, diagnosis, treatment, corticosteroid
PENDAHULUAN
Tuli mendadak atau sudden sensorineural
hearing loss (SSNHL) merupakan pengalaman
yang menakutkan, menyebabkan pasien
segera mengunjungi dokter. Di Amerika
Serikat, kejadian tuli mendadak ditemukan
pada 5-20 tiap 100.000 orang per tahun
dengan 4000 kasus baru tiap tahunnya.1
Distribusi laki-laki dan perempuan hampir
sama. Tuli mendadak dapat ditemukan
pada semua kelompok usia, umumnya pada
rentang usia 40-50 tahun, dengan puncak
insidensi pada dekade keenam.2-4
Tuli mendadak merupakan salah satu
kasus kegawatdaruratan yang memerlukan
penanganan segera,5 walaupun beberapa
kepustakaan menyatakan bahwa tuli
mendadak dapat pulih spontan; angka
pemulihan pasien yang tidak mendapat
pengobatan adalah 28-65%, sebagian besar
dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.5
Masalah yang umum ditemukan pada kasus
Alamat korespondensi
820
tuli mendadak adalah keterlambatan diagnosis,
sehingga pengobatan tertunda yang akhirnya
menyebabkan kehilangan pendengaran
permanent.6 Oleh sebab itu, penting untuk
mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak
dini agar dapat menunjang pemulihan fungsi
pendengaran dan meningkatkan kualitas
hidup pasien.1,2
DEFINISI
Tuli mendadak atau sudden sensorineural
hearing loss (SSNHL) didefinisikan sebagai
bentuk
sensasi
subjektif
kehilangan
pendengaran sensorineural pada satu atau
kedua telinga yang berlangsung secara
cepat dalam periode 72 jam, dengan kriteria
audiometri berupa penurunan pendengaran
≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi
berturut-turut, yang menunjukkan adanya
abnormalitas pada koklea, saraf auditorik, atau
pusat persepsi dan pengolahan impuls pada
korteks auditorik di otak. Jika penyebab tuli
mendadak tidak dapat diidentifikasi setelah
pemeriksaan yang adekuat, disebut idiopathic
sudden sensorineural hearing loss (ISSNHL).1,7
Keparahan tuli mendadak berdasarkan derajat
penurunan pendengaran, menurut WHO,
terbagi atas beberapa tingkatan sebagaimana
tersaji dalam tabel berikut.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyebab tuli mendadak masih belum
diketahui secara jelas; banyak teori dugaan
penyebab yang dikemukakan oleh para
ahli. Sebuah data memperkirakan 1%
kasus tuli mendadak disebabkan oleh
kelainan retrokoklea yang berhubungan
dengan vestibular schwannoma, penyakit
demielinisasi, atau stroke, 10-15% kasus
lainnya disebabkan oleh penyakit Meniere,
trauma, penyakit autoimun, sifilis, penyakit
Lyme, atau fistula perilimfe.6 Dalam praktik,
85-90% kasus tuli mendadak bersifat idiopatik
yang etiopatogenesisnya tidak diketahui
pasti.1,5,6 Dalam sebuah systematic review,
email: [email protected]
CDK-210/ vol. 40 no. 11, th. 2013
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Tabel 1 Derajat penurunan pendengaran menurut klasifikasi WHO8
diuraikan beberapa kemungkinan penyebab
tuli mendadak, yaitu idiopatik (71%), penyakit
infeksi (12,8%), penyakit telinga (4,7%), trauma
(4,2%), vaskular dan hematologik (2,8%),
neoplasma (2,3%), serta penyebab lainnya
(2,2%).9
Ada empat teori utama yang mencoba
menjelaskan penyebab tuli mendadak, yakni
infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan
membran
intrakoklea,
dan
kelainan
imunologi.3,5
• Infeksi virus
Meskipun sampai saat ini masih belum
ditemukan bukti kuat, infeksi virus dianggap
sebagai salah satu penyebab tuli mendadak.3
Sebuah studi oleh Wilson (1986) menunjukkan
adanya hubungan antara infeksi virus dengan
kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini,
ditemukan tingkat serokonversi untuk virus
herpes secara signifikan lebih tinggi pada
populasi pasien tuli mendadak. Pada studi
lain, dilakukan pemeriksaan histopatologi
tulang temporal dan ditemukan kerusakan
pada koklea yang konsisten dengan infeksi
virus.3 Terdapat pula temuan lain, seperti
hilangnya sel rambut dan sel penyokong,
atrofi membran tektoria, atrofi stria vaskularis,
dan hilangnya sel neuron, yang berhubungan
dengan mumps virus, maternal rubella, dan
virus campak.3,10
• Kelainan vaskular
Iskemia koklea merupakan penyebab utama
tuli mendadak.10 Koklea memperoleh asupan
darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva
interna. Pembuluh darah ini merupakan
end artery yang tidak memiliki vaskularisasi
kolateral, sehingga jika terganggu dapat
CDK-210/ vol. 40 no. 11, th. 2013
mengakibatkan kerusakan koklea.3 Kelainan
yang menyebabkan iskemia koklea atau oklusi
pembuluh darah—seperti trombosis atau
embolus, vasopasme, atau berkurangnya aliran
darah—dapat mengakibatkan degenerasi
luas sel ganglion stria vaskularis dan ligamen
spiralis yang diikuti pembentukan jaringan
ikat dan penulangan.3,10
• Kerusakan membran intrakoklea
Terdapat membran tipis yang memisahkan
telinga dalam dari telinga tengah dan ada
membran halus yang memisahkan ruang
perilimfe dengan endolimfe dalam koklea.
Robekan salah satu atau kedua membran
tersebut secara teoretis dapat menyebabkan
tuli sensorineural. Kebocoran cairan perilimfe
ke dalam telinga tengah melalui tingkap
bundar dan tingkap lonjong didalilkan sebagai
penyebab ketulian dengan membentuk
hidrops endolimfe relatif atau menyebabkan
robeknya membran intrakoklea. Robekan
membran
intrakoklea
memungkinkan
terjadinya percampuran perilimfe dan
endolimfe sehingga mengubah potensial
endokoklea. Teori ini diakui oleh Simmons,
Goodhill, dan Harris, dengan pembuktian
histologi yang didokumentasikan oleh
Gussen.3
• Kelainan imunologi
Tuli sensorineural yang disebabkan oleh
proses autoimun diperkenalkan oleh
McCabe pada tahun 1979.3 Pada kondisi ini,
ditemukan adanya kehilangan pendengaran
progresif. Adanya aktivitas imun pada koklea
mendukung konsep teori ini. Gangguan
pendengaran pada sindrom Cogan, SLE, dan
kelainan reumatik autoimun lainnya telah
lama diketahui.3 Sebagai pendukung lain
teori ini, terdapat sebuah studi prospektif
pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan
beberapa kelainan yang berkaitan dengan
sistem imun (multiple immune-mediated
disorders).3,11
GEJALA KLINIS
Keluhan pasien pada umumnya berupa
hilangnya pendengaran pada satu sisi
telinga saat bangun tidur.4 Sebagian besar
kasus bersifat unilateral, hanya 1-2% kasus
bilateral.3 Kejadian hilangnya pendengaran
dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur
hilang secara stabil atau terjadi secara cepat
dan progresif. Kehilangan pendengaran bisa
bersifat fluktuatif, tetapi sebagian besar bersifat
stabil. Tuli mendadak ini sering disertai dengan
keluhan sensasi penuh pada telinga dengan
atau tanpa tinitus; terkadang didahului oleh
timbulnya tinitus.4 Selain itu, pada 28-57%
pasien dapat ditemukan gangguan vestibular,
seperti vertigo atau disequilibrium.6
DIAGNOSIS
Menurut AAO-HNS (American Academy
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery)
guideline, langkah pertama diagnosis
tuli mendadak adalah membedakan tuli
sensorineural dan tuli konduktif melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala,
pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Ketulian atau hearing loss
diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli
sensorineural, atau campuran. Tuli konduktif
disebabkan oleh abnormalitas telinga luar,
membran timpani, rongga udara telinga
tengah, atau tulang pendengaran, struktur
yang menghantarkan gelombang suara
ke koklea. Sementara itu, tuli sensorineural
disebabkan oleh adanya abnormalitas
koklea, saraf auditorik, dan struktur lain yang
mengolah impuls neural ke korteks auditorik
di otak.
Tuli konduktif dan tuli sensorineural
memerlukan penanganan yang sangat
berbeda. Sebagai contoh, tuli konduktif yang
terjadi akibat impaksi serumen dapat ditangani
dengan evakuasi serumen, lain halnya dengan
penanganan pada tuli sensorineural yang
lebih kompleks karena penyebabnya sering
tidak diketahui.1,10
Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses
terjadinya ketulian (berlangsung tiba-tiba,
progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau
821
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
apakah suara didengar lebih keras di satu
telinga atau sama di keduanya. Pada tuli
konduktif, suara akan terdengar lebih keras
pada telinga yang sakit, sebaliknya pada tuli
sensorineural suara akan terdengar lebih keras
pada telinga yang sehat.6 Menurut AAO-HNS
guideline, tes penala dapat digunakan untuk
konfirmasi temuan audiometri.1 Tes penala
berupa tes Weber dan tes Rinne dilakukan
dengan alat bantu garpu tala 256 Hz atau 512
Hz juga melihat ada tidaknya lateralisasi ke
salah satu sisi telinga.1,6 (Gambar 1)
Pemeriksaan audiometri lengkap, termasuk
audiometri nada murni, audiometri tutur
(speech audiometry)
dan
audiometri
impedans (timpanometri dan pemeriksaan
refleks akustik), merupakan pemeriksaan yang
wajib dilakukan dalam mendiagnosis tuli
mendadak.1,4,6 Hal ini sesuai dengan salah satu
kriteria definisi tuli mendadak menurut NIDCD
2003, yakni terdapat penurunan pendengaran
≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3
frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan
audiometri.1,7
Gambar 1 Tes Weber dan tes Rinne1,6
stabil), persepsi subjektif pasien mengenai
derajat ketulian, serta sifat ketulian (unilateral
atau bilateral). Selain itu, ditanyakan juga gejala
yang menyertai seperti sensasi penuh pada
telinga, tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia,
otorea, nyeri kepala, keluhan neurologis, dan
keluhan sistemik lainnya. Riwayat trauma,
konsumsi obat-obat ototoksik, operasi dan
penyakit sebelumnya, pekerjaan dan pajanan
terhadap kebisingan, serta faktor predisposisi
lain yang penting juga perlu ditanyakan.1,4,10
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi
saluran telinga dan membran timpani
untuk membedakan tuli konduktif dan tuli
sensorineural. Penyebab tuli konduktif berupa
impaksi serumen, otitis media, benda asing,
perforasi membran timpani, otitis eksterna
yang menyebabkan edema saluran telinga,
822
otosklerosis, trauma, dan kolesteatoma.
Sebagian besar kondisi ini dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan otoskopi. Di lain pihak,
pemeriksaan otoskopi pada pasien tuli
sensorineural hampir selalu mendapatkan
hasil normal. Pemeriksaan fisik umum dan
pemeriksaan neurologis juga dilakukan,
terutama pada pasien dengan tuli mendadak
bilateral, tuli mendadak dengan episode
rekuren, dan tuli mendadak dengan defisit
neurologis fokal, untuk mencari kelainan serta
penyakit penyerta lainnya.1,4,6
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan
hum test dan tes penala untuk membantu
klinisi membedakan tuli konduktif dan tuli
sensorineural sebelum dilakukan pemeriksaan
audiometri. Pada hum test, pasien diminta
bersenandung dan kemudian memberitahu
Pemeriksaan audiometri diperlukan untuk
membuktikan ketulian dan menentukan
derajat penurunan pendengaran. Hantaran
tulang dan hantaran udara dalam audiometri
nada murni membantu menentukan jenis
ketulian, baik tuli konduktif, tuli sensorineural,
maupun tuli campuran (Gambar 2).
Audiometri tutur dapat digunakan untuk
memverifikasi hasil audiometri nada murni.
Timpanometri dan pemeriksaan refleks akustik
juga dapat membedakan tuli konduktif dan
tuli sensorineural serta memberikan petunjuk
tambahan untuk etiologi. Timpanometri
dapat membantu dalam mengeksklusi
kemungkinan adanya komponen konduktif
pada pasien dengan penurunan pendengaran
sangat berat.4
Pemeriksaan
laboratorium
dilakukan
berdasarkan keluhan dan riwayat pasien
serta kemungkinan etiologi. Pemeriksaan
laboratorium rutin tidak spesifik tidak
direkomendasikan sebab jarang terbukti
membantu menentukan etiologi tuli
mendadak.1,3,4 (Tabel 2)
Pemeriksaan auditory brainstem response
(ABR)
dapat
memberikan
informasi
tambahan mengenai sistem auditorik.
Pemeriksaan ABR ini berguna mengevaluasi
CDK-210/ vol. 40 no. 11, th. 2013
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
logam, dan klaustrofobia, yang menjadi
kontraindikasi pemeriksaan MRI, dapat
dilakukan alternatif lain berupa pemeriksaan
tomografi komputer (CT Scan), pemeriksaan
ABR, atau keduanya1,6; kedua pemeriksaan
ini memiliki sensitivitas lebih rendah
dibandingkan MRI dalam mendeteksi kelainan
retrokoklea.6
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding tuli mendadak adalah
seperti pada Tabel 3.
PENATALAKSANAAN
Kortikosteroid sistemik
Berbagai
penelitian
penggunaan
kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah
dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium
yang menunjukkan adanya cascade inflamasi
kematian sel pada pasien tuli mendadak, yang
dimodifikasi oleh terapi steroid.1 Kortikosteroid
yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik
oral, intravena, dan/atau intratimpani,
meliputi prednison, metilprednisolon, dan
deksametason.1 Kortikosteroid diperkirakan
memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan
dalam meningkatkan aliran darah koklea.5
Gambar 2 Audiogram standar yang memperlihatkan tuli sensorineural telinga kiri6
Tabel 2 Pemeriksaan laboratorium pada tuli mendadak3
kemungkinan etiologi retrokoklea dan dapat
digunakan untuk menetapkan ambang
batas pendengaran pada pasien yang sulit
diperiksa, seperti anak-anak, orang tua, dan
malingerers.1,3,4 Pemeriksaan ABR memiliki
sensitivitas tinggi dalam mendeteksi lesi
retrokoklea,4 tetapi terbatas hanya untuk
mendeteksi vestibular schwannoma yang
berukuran lebih dari 1 cm. Sensitivitas ABR
untuk mendeteksi vestibular schwannoma
ukuran kecil sekitar 8-42%1; saat ini menurun
CDK-210/ vol. 40 no. 11, th. 2013
bila dibandingkan dengan akurasi diagnostik
pencitraan resonansi magnetik (MRI).1,4
Pemeriksaan MRI merupakan baku emas
diagnosis
vestibular
schwannoma.1,12
Pemeriksaan MRI dengan Gadolinium dinilai
memiliki sensitivitas tinggi dan digunakan
untuk
menyingkirkan
kemungkinan
abnormalitas retrokoklea, seperti neoplasma,
stroke, atau penyakit demielinisasi.1,6 Pada
pasien dengan alat pacu jantung, implan
Dewasa ini, standar pengobatan tuli mendadak
adalah dengan tapering off kortikosteroid oral.
Sebuah studi RCT (randomized controlled trial)
membandingkan terapi steroid oral dengan
plasebo pada 67 pasien, menunjukkan hasil
perbaikan lebih signifikan pada kelompok
pasien dengan terapi steroid oral dibandingkan
kelompok pasien dengan plasebo (61% vs.
32%, p <0,05).2,6
Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis
terapi prednison oral yang direkomendasikan
adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan
dosis maksimum 60 mg/hari selama 1014 hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg
setara dengan metilprednisolon 48 mg
dan deksametason 10 mg.1 Sebuah data
yang representatif menggunakan regimen
pengobatan dengan dosis maksimum selama
4 hari diikuti tapering off 10 mg setiap dua
hari.1,6
Efek samping prednison meliputi insomnia,
dizziness, kenaikan berat badan, berkeringat,
gastritis, perubahan mood, fotosensitif,
dan hiperglikemia. Efek samping lain yang
cukup berat, tetapi jarang ditemukan, yakni
pankreatitis, perdarahan, hipertensi, katarak,
823
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
miopati, infeksi oportunistik, osteoporosis,
dan osteonekrosis.1 Oleh sebab itu, untuk
meminimalkan risiko, pasien dengan kondisi
medis sistemik, seperti insulin-dependent
diabetes mellitus (IDDM), diabetes tidak
terkontrol, hipertensi labil, tuberkulosis, dan
ulkus peptikum tidak disarankan diberi terapi
kortikosteroid sistemik.1
Kortikosteroid intratimpani
Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi
kortikosteroid intratimpani sebagai pengganti
terapi kortikosteroid sistemik atau “salvage
therapy” pada pasien yang tidak mengalami
perbaikan dengan kortikosteroid sistemik.1,6
Terapi kortikosteroid intratimpani dapat
menjadi alternatif untuk pasien diabetes
yang tidak bisa mengonsumsi kortikosteroid
sistemik.1,13 Steroid diberikan dengan
sebuah jarum melalui membran timpani
atau ditempatkan di telinga tengah melalui
tabung timpanostomi atau miringotomi yang
kemudian diserap dan menyebar melalui
membran tingkap bundar ke telinga dalam.1
Gambar 3 Penanganan tuli mendadak6
Keuntungan terapi kortikosteroid intratimpani
adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi
langsung pada jaringan target (perilimfe)
dengan efek samping sistemik minimal.1,5,6
Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang
mempublikasikan dan mendemonstrasikan
kadar steroid yang tinggi di telinga dalam
setelah aplikasi terapi steroid intratimpani.1
Sebuah studi mengenai terapi kombinasi
kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan
kortikosteroid intratimpani menunjukkan
hasil perbaikan fungsi pendengaran secara
signifikan.15 Namun, studi lainnya tidak
menghasilkan
perbedaan
pemulihan
pendengaran antara terapi kombinasi
kortikosteroid oral dan intratimpani dengan
terapi kortikosteroid oral saja.16
Tabel 3 Diagnosis banding tuli mendadak3,4
Steroid intratimpani yang biasa diberikan
adalah deksametason atau metilprednisolon.
Konsentrasi
kortikosteroid
yang
digunakan bervariasi, sebagian besar studi
menganjurkan deksametason 10-24 mg/mL
dan metilprednisolon 30 mg/mL atau lebih.
Efek samping terapi intratimpani yang harus
diantisipasi adalah efek lokal, seperti otalgia,
dizziness, vertigo, perforasi membran timpani,
atau infeksi (otitis media).1,2
Terapi oksigen hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik telah diterapkan
824
CDK-210/ vol. 40 no. 11, th. 2013
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Tabel 4 Guideline umum terapi kortikosteroid untuk tuli mendadaka,1
Tabel 5 Kriteria definisi perbaikan pendengaran21
sebagai terapi tambahan dalam kasus tuli
mendadak. Terapi ini memberikan oksigen
100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA
(atmosphere absolute).1 Terapi ini bertujuan
untuk meningkatkan oksigenasi koklea
dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat
menghantarkan oksigen dengan tekanan
parsial yang lebih tinggi ke jaringan,
terutama koklea yang sangat peka terhadap
keadaan iskemik.1,14 Terapi oksigen hiperbarik
diperkirakan memiliki efek yang kompleks
pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan
hemodinamik, peningkatkan respons normal
pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta
mengurangi hipoksia dan edema.1
Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen
hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2
minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis
tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan
respons lebih baik dibandingkan pasien yang
lebih tua (usia bervariasi antara 50-60 tahun).1
Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam
terapi oksigen hiperbarik ini adalah manfaat
CDK-210/ vol. 40 no. 11, th. 2013
dan risiko efek samping. Terapi ini memiliki efek
samping berupa kerusakan pada telinga, sinus,
dan paru akibat perubahan tekanan, miopia
yang memburuk sementara, klaustrofobia,
dan keracunan oksigen.1 Dalam sebuah studi
terhadap 80 pasien yang menjalani terapi
oksigen hiperbarik, 5 pasien (6,25%) mengalami
barotrauma pada telinga atau sinus.1,14
Terapi farmakologi lainnya
Guideline AAO-HNS tidak merekomendasikan
penggunaan sejumlah obat, seperti antivirus,
trombolitik, vasodilator, substansi vasoaktif,
atau antioksidan, secara rutin pada pasien tuli
mendadak untuk menghindari pengobatan
yang tidak perlu, efek samping pengobatan,
dan alasan biaya. Selain itu, belum ada
bukti keberhasilan terapi dengan obat-obat
tersebut.1
Salah satu penyebab tuli mendadak adalah
inflamasi oleh infeksi virus. Mekanisme
inflamasi berupa invasi virus secara langsung
pada koklea atau saraf koklea, reaktivasi virus
laten dalam ganglion spirale, dan infeksi
yang dimediasi imun. Secara teoretis, inisiasi
pemberian antivirus disinyalir dapat membantu
pemulihan fungsi pendengaran. Beberapa
percobaan yang telah dilakukan masih belum
mengungkap adanya manfaat penambahan
terapi antivirus.1 Conlin dan Parnes melakukan
systematic review dan meta-analisis terhadap
empat studi RCT (randomized controlled trial)
yang membandingkan terapi antivirus dan
steroid dengan plasebo dan steroid, tidak satu
pun yang melaporkan hasil signifikan secara
statistik.17,18 Selain itu, penggunaan antivirus
memiliki efek samping berupa mual, muntah,
fotosensitif, serta (jarang) perubahan status
mental, dizziness, dan kejang.1
Selain infeksi virus, penyebab tuli mendadak
lainnya adalah iskemia koklea akibat kelainan
vaskular, seperti perdarahan, emboli, dan
vasospasme. Agen vasoaktif, trombolitik,
vasodilator, atau antioksidan telah dicoba
untuk meningkatkan aliran darah koklea,
tetapi belum ada bukti keberhasilan terapi.
Prostaglandin E1 telah menunjukkan manfaat
sebagai vasodilator dan penghambat agregasi
trombosit. Naftidrofuril juga dapat menjadi
vasodilator dengan efek antagonis terhadap
serotonin dan tromboksan A2. Ekstrak Ginkgo
biloba yang mengandung flavones dan
terpenes dapat mencegah perkembangan
radikal bebas dan berperan sebagai vasodilator.
Pentoksifilin menghambat agregasi trombosit
dan meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan
leukosit sehingga memperbaiki viskositas
darah, terutama pembuluh kapiler. Dekstran
dapat memperbaiki mikrosirkulasi karena
memiliki efek antitrombotik. HES (hydroxyethyl
starch) mengurangi hematokrit dan agregasi
platelet. Klinisi harus waspada akan risiko efek
samping berupa reaksi alergi, perdarahan,
hipotensi, aritmia, kejang, dan interaksi obat.1
PROGNOSIS
Prognosis tuli mendadak tergantung pada
beberapa faktor, yaitu usia, derajat gangguan
pendengaran, metode pengobatan yang
digunakan, saat memulai pengobatan,
ada tidaknya gejala vestibular, dan faktor
predisposisi
lainnya.10,19,20 Usia
lanjut,
gangguan pendengaran sangat berat, dan
adanya gejala vestibular subjektif dikaitkan
dengan rendahnya tingkat kesembuhan.19
Usia lanjut, hipertensi, diabetes, dan
hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi
mikrovaskuler di koklea, yang merupakan
faktor prognosis buruk.19 Saat mulai
825
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
pengobatan lebih dini (dalam 7 hari pertama)
berhubungan dengan prognosis baik bagi
pemulihan fungsi pendengaran.20 Derajat
gangguan pendengaran awal memengaruhi
potensi pemulihan pendengaran.19 Vertigo
dapat digunakan sebagai indikator tingkat
keparahan lesi dan berkaitan dengan
prognosis yang buruk.19,20 Namun, 28-65%
pasien tuli mendadak yang tidak diobati dapat
mengalami pemulihan spontan.5
Pasien tuli mendadak disarankan melakukan
pemeriksaan audiometri ulang dalam waktu
6 bulan setelah diagnosis, untuk menentukan
keberhasilan terapi.1 Filipo dkk menggunakan
klasifikasi yang dibuat oleh Furuhashi untuk
evaluasi perbaikan pendengaran pada tuli
mendadak, terdiri atas pemulihan total,
pemulihan bermakna, pemulihan minimal,
dan tidak ada pemulihan.21 (Tabel 4) Pasien tuli
mendadak yang telah mendapat pengobatan,
namun ketulian tetap bersifat permanen dan
menimbulkan kecacatan, membutuhkan
rehabilitasi auditorik.1
SIMPULAN
Keluhan tuli mendadak merupakan suatu
pengalaman yang menakutkan, menyebabkan
pasien segera mengunjungi dokter. Tuli
mendadak adalah salah satu kegawatdaruratan
otologi yang memerlukan penanganan segera
agar tidak menimbulkan ketulian permanen.
Tuli mendadak merupakan sensasi subjektif
hilangnya pendengaran yang berlangsung
cepat dalam periode 72 jam, umumnya
unilateral dengan kriteria audiometri berupa
penurunan pendengaran lebih dari 30 dB
minimal pada 3 frekuensi berturut-turut.
Sebagian besar kasus penyebabnya idiopatik.
Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, tes
penala, dan pemeriksaan audiometri sangat
diperlukan untuk membantu diagnosis
dan menentukan derajat ketulian. Metode
penanganan tuli mendadak bervariasi, namun
standar pengobatan yang umumnya dipakai
adalah terapi kortikosteroid, baik oral maupun
intratimpani di samping terapi oksigen
hiperbarik dan terapi farmakologis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs DM, et al. Clinical practice guideline sudden hearing loss: Recommendations of the American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;146:S1.
2.
Rauch SD, Halpin CF, Antonelli PJ, Babu S, Carey JP, Gantz BJ, et al. Oral vs intratympanic corticosteroid therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing loss: A randomized trial. JAMA.
2011;305(20):2071-9.
3.
Bailey BJ, Johnson JT. Head and neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
4.
Cummings CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins KT, et al. Cummings otolaryngology head and neck surgery. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005.
5.
Arslan N, Oguz H, Demirci M, Safak MA, Islam A, Kaytez SK, et al. Combined intratympanic and systemic use of steroids for idiopathic sudden sensorineural hearing loss. Otol Neurotol.
2011;32:393-7.
6.
Rauch SD. Clinical practice: Idiopathic sudden sensorineural hearing loss. N Engl J Med. 2008;359:833-40.
7.
National Institute of Deafness and Communication Disorders. Sudden Deafness. 2003. http://www.nidcd.nih.gov/health/hearing/Pages/sudden.aspx. [cited 2013 Apr 01]
8.
World Health Organization. WHO Grades of Hearing Impairment in Global Burden of Hearing Loss in the Year 2000 [Internet]. 2000 [cited 2013 Apr 08]. Available from: http://www.who.
int/healthinfo/statistics/bod_hearingloss.pdf.
9.
Chau JK, Lin JR, Atashband S, Irvine RA, Westerberg BD. Systematic review of the evidence for the etiology of adult sudden sensorineural hearing loss. Laryngoscope. 2010; 120(5):101121.
10. Bashiruddin J, Soetirto I. Tuli mendadak. In: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
11. Toubi E, Ben-David J, Kessel A, Hallas K, Sabo E, Luntz M. Immune-mediated disorders associated with idiopathic sudden sensorineural hearing loss. Ann Otol Rhinol Laryngol.
2004;113(6):445-9.
12. Fortnum H, O’Neill C, Taylor R, Lenthall R, Nikopoulos T, Lightfoot G, et al. The role of magnetic resonance imaging in the identification of suspected acoustic neuroma: A systematic review
of clinical and cost effectiveness and natural history. Health Technol Assess. 2009;13(18):iii-iv, ix-xi,1-154.
13. Han CS, Park JR, Boo SH, Jo JM, Park KW, Lee WJ, et al. Clinical efficacy of initial intratympanic steroid treatment on sudden sensorineural hearing loss with diabetes. Otolaryngol Head Neck
Surg. 2009;141(5):572-8.
14. Korpinar S, Alkan Z, Yigit O, Gor AP, Toklu AS, Cakir B, et al. Factors influencing the outcome of idiopathic sudden sensorineural hearing loss treated with hyperbaric oxygen therapy. Eur
Arch Otorhinolaryngol. 2011;268(1):41-7.
15. Battaglia A, Burchette R, Cueva R. Combination therapy (intratympanic dexamethasone + high-dose prednisone taper) for the treatment of idiopathic sudden sensorineural hearing loss.
Otol Neurotol. 2008;29(4):453-60.
16. Ahn JH, Yoo MH, Yoon TH, Chung JW. Can Intratympanic dexamethasone added to systemic steroids improve hearing outcome in patients with sudden deafness? Laryngoscope.
2008;118(2):279-82.
17. Conlin AE, Parnes LS. Treatment of sudden sensorineural hearing loss, I: A systematic review. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2007; 133(6):573-81.
18. Conlin AE, Parnes LS. Treatment of sudden sensorineural hearing loss, II: A meta-analysis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;133(6):582-6.
19. Harada H, Kato T. Prognosis for sudden sensorineural hearing loss: A retrospective study using logistical regression analysis. Int Tinnitus J. 2005;11(2):115-8.
20. Enache R, Sarafoleanu I. Prognostic factors in sudden hearing loss. J Med Life. 2008;1(3):343-7.
21. Filipo R, Attanasio G, Russo FY, Viccaro M, Mancini P, Covelli E. Intratympanic steroid therapy in moderate sudden hearing loss: A randomized, triple-blind, placebo-controlled trial. Laryngoscope. 2013;123(3):774-8.
826
CDK-210/ vol. 40 no. 11, th. 2013
Download