Modul Pendidikan Agama Katolik [TM5].

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
PENDIDIKAN AGAMA
KATOLIK
MORAL AWAL HIDUP MANUSIA
Fakultas
Program Studi
MKCU
PSIKOLOGI
Tatap Muka
Reguler
Kode MK
Disusun Oleh
05
MK900022
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
Abstract
Kompetensi
Bab ini membahas tentang
pengertian moral, menghormati
kehidupan, pandangan gereja
katolik tentang awal kehidupan,
teknologi kontrasepsi, teknologi
reproduksi,
solusi
yang
ditawarkan dan aborsi serta
pemasalahannya.
Mahasiswa dapat mengerti,
memahami pandangan moral
gereja katolik terhadap awal
hidup
manusia
sehingga
mereka dapat menghormatnya
dalam kehidupan-nya seharihari yang tidak bisa dipisahkan
dari kemajuan teknologi.
2
MATERI
BAB IV
MORAL AWAL HIDUP MANUSIA
1.
PENGERTIAN MORAL
lstilah moral, moralitas berasal dari kata bahasa Latin "mos" (tunggal), "mores"
(jamak) dan kata sifat "moralis". Bentuk jamak "mores" berarti: kebiasaan, kelakuan,
kesusilaan. Kata sifat "moralis" berarti susila. Filsafat moral merupakan filsafat praktis, yang
mempelajari perbuatan manusia sebagai manusia dari segi baik buruknya ditinjau dari
hubungannya dengan tujuan hidup manusia yang terakhir. Maka moral adalah objek filsafat
moral. lstilah lainnya dengan arti yang sama adalah: etika, "ethiek" dalam bahasa Belanda,
"ethics" dalam bahasa lnggris. Istilah etika itu berasal dari kata bahasa Yunani "ethos" (Etos)
yang berarti" kebiasaan, kelakuan. Kalau kita berbicara mengenai moral atau "ethos"
seseorang atau sekelompok orang, maka yang dimaksud adalah bukan hanya apa yang
biasa dilakukan orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi
pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai
apa yang patut dan apa tidak patut untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan atau perilaku
orang pada umumnya, tidak selalu adalah tanda, adalah manifestasi keyakinan atau
pandangan hidup orang. Dalam filsafat moral atau dalam etika kita membedakan antara:
a.
Perbuatan insani "actus humanus": ialah perbuatan-perbuatan yang dilakukan
orang dengan sadar, dengan tahu betul-betul apa yang dilakukan, dengan
kesengajaan kehendaknya. Perbuatan-perbuatan semacam ini merupakan formal
objek filsafat moral atau etika.
b.
Perbuatan manusia "actus hominis": ialah perbuatan-perbuatan yang
dilakukan tidak dengan penuh kesadaran atau kesengajaan. Umpamanya perbuatanperbuatan manusia dalam keadaan tidur, dalam keadaan mabuk, dalam keadaan
jatuh pingsan. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan diluar kontrol manusia sebagai
subjek pelaku. Perbuatan-perbuatan semacam ini ada diluar perhatian filsafat moral.
Dari sudut pandang teologis, pelayanan atau perbuatan moral terkait erat dengan
pengalaman dan keyakinan akan Tuhan. Tuhan adalah pusat tertinggi, titik acuan bagi
apa yang benar dan salah secara moral, sumber dan tujuan dari semua usaha moral.
Keyakinan dasar tentang hidup moral ini sering diulangi oleh Paus Yohanes Paulus II
pada bab pertama Veritatis Splendor (1993). Ketika merefleksikan makna jawaban Yesus
2012
2
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3
atas pertanyaan pemuda kaya, "Guru, perbuatan baik apakah yang harus saya lakukan
untuk memperoleh hidup abadi?" (Mat 19:16), Yohanes Paulus II menegaskan: Menanyakan
apa yang baik, sebetulnya pada akhirnya berarti berpaling kepada Tuhan, kepenuhan
kebaikan. Yesus menun-jukkan bahwa pertanyaan pemuda itu sungguh sebuah pertanyaan
rohani, dan bahwa kebaikan itulah yang menarik dan pada waktu yang sama mengharuskan
manusia mempunyai sumbernya pada Tuhan, dan sesungguhnya adalah Tuhan sendiri.
Tuhan sendiri layak untuk dicintai "dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa, dan
dengan segenap pikiran" (Mat 22:37). Dia adalah sumber kebahagiaan manusia. Yesus
membawa kembali pertanyaan tentang tindakan-tindakan yang baik secara moral kepada
dasar-dasar religiusnya, kepada pengakuan akan Tuhan, yang adalah kebaikan, kepenuhan hidup,
tujuan akhir tindakan manusia, dan kebahagiaan sempurna.
Tanggung jawab moral dalam perbuatan atau pelayanan sebagai "manusia profesional"
tidak hanya dibenarkan oleh pengakuan social dan aturan-aturan tingkah laku umum
yang dipatuhi oleh masyarakat yang berakal budi. Walaupun pengakuan social dan aturanaturan tadi merupakan cara-cara yang sah untuk membenarkan moralitas, tapi toh dianggap
belum memadai. Dari kaca mata teologis, Tuhanlah yang membenarkan dan mengesahkan
moralitas. Akibatnya, tanggung jawab moral dalam pelayanan profesional tidak hanya
ditujukan kepada diri kita atau kepada orang lain. Tanggung jawab moral itu pada akhirnya
tertuju pada Tuhan.
2.
HORMAT UNTUK KEHIDUPAN
Sejak awal dalam sejarahnya, manusia sangat menghargai dan menghormati
kehidupan. Kebanyakan agama dan budaya selalu berusaha untuk melindungi kehidupan
manusia. Perjanji-an Baru lebih radikal lagi menuntut hormat terhadap kehidupan ketimbang
Perjanjian Lama. Harus dibangun sikap hormat dan kasih akan kehidupan. Dalam Matius
5:21-22 "Kamu telah mendengar yang difirmankan nenek moyang kita: jangan membunuh;
siapa membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah
terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus
dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam
neraka yang menyala-nyala."
Sebagai citra Allah, manusia dipanggil untuk memelihara dan mengembangkan
kehidupan di dunia ini agar nanti dapat menikmati kebahagiaan abadi bersama Allah di
surga. Allah adalah asal mula dan sumber kehidupan, maka orang yang berpegang teguh
2012
3
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
4
pada Sabda Allah, akan memperoleh kehidupan juga. Yoh 3:16 "Karena begitu besar kasih
Allah akan dunia ini, sehingga la telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap
orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."
Hormat untuk kehidupan merupakan suatu norma moral yang sangat aktual bagi
zaman kita. Norma ini berlaku untuk semua manusia, tapi secara khusus untuk orang
beragama yang mengakui Tuhan sebagai Pencipta. Bagi orang beragama, memelihara
kehidupan berarti mengemban tugas yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Apa yang
menjadi dasar moral bagi kewajiban menghormati kehidupan manusia?
Dasarnya adalah keyakinan bahwa kehidupan manusia mempunyai martabat khusus
yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain. Keyakinan ini berakar kuat dalam peradaban
dunia. Kita harus menghormati kehidupan manusia bukan karena kualitasnya atau
manfaatnya, melainkan karena martabatnya. Kualitas kehidupan manusia sering berbeda,
tapi martabatnya selalu sama. Orang yang secara fisik atau mental cacat berat mempunyai
kualitas kehidupan rendah, namun tetap memiliki martabat sebagai manusia. Pada akhir
kehidupan sering kali hampir tidak ada kualitas lagi. Pasien yang menderita demensia berat
sudah tidak mengenal orang lain (termasuk keluarganya) dan kadang-kadang malah tidak
tahu lagi tentang identitasnya sendiri. Pasien yang mengalami koma tetap atau persistent
vegetative state juga mempunyai kualitas kehidupan yang minim sekali. Namun, walaupun
kehidupannya hanya terdiri atas menerima nutrisi dan hidrasi saja, pasien ini pun tetap
mempunyai martabat sebagai manusia dan karena itu sebenarnya tidak pantas discbut
"vegetatif".
Hak atas kehidupan merupakan salah satu hak yang paling mendasar bagi setiap
manusia. Karena itu kewajiban untuk menghormati kehidupan rnanusia berlaku bagi setiap
orang: yang beragama maupun yang tidak beragama. Tapi di sini pun ada nuansa khusus
untuk orang beragama: manusia diciptakan dan dimaksudkan secara istimewa oleh Tuhan,
bahkan menurut tradisi Yahudi-Kristiani manusia diciptakan menurut gambar dan citra Allah
sendiri (Kitab Kejadian 1:26). Menghormati kehidupan manusia sebagai norma moral sangat
penting untuk setiap individu maupun untuk masyarakat.
Namun, dewasa ini kehidupan semakin terancam akan bahaya kerusakan dan
kematian terlebih oleh perbuatan manusia sendiri. Zaman modern yang ditandai oleh
kemajuan ilmu pengetahuan, tak dapat disangkal sumbangan ilmu kedokteran bagi
peningkatan kesehatan dan hidup manusia luar biasa dan sangat mengagumkan. Namun di
sisi lain, dalam kemajuan itu membonceng juga kecenderungan negatif, di antaranya
masalah Abortus dan Euthanasia.
2012
4
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
5
3.
AWAL KEHIDUPAN
Hidup selayaknya dilihat sebagai anugerah Tuhan yang amat berharga. Karena itu
kita terpanggil untuk memelihara dan melindungi kehidupan sejauh mungkin. Pemeliharaan
kehidupan juga merupakan salah satu bentuk rasa syukur atas anugerah tersebut. Kecuali
itu, kita juga yakin bahwa kehidupan manusia mempunyai martabat yang lebih tinggi dari
makhluk ciptaan lainnya. Maka manusia, dalam keadaan mana pun, harus kita hargai sesuai
dengan martabatnya yang luhur itu.
Dewasa ini ada beberapa pendapat yang berbeda tentang saat yang tepat mulainya
hidup seorang manusia. Di antara pendapat-pendapat itu, ada 3 pendapat yang mempunyai
argumentasi kuat, sehingga cukup sulit kita tentukan manakah pendapat yang paling sesuai
dengan kebenaran.
Pendapat pertama menyatakan bahwa hidup seorang manusia sudah dimulai sejak
terbentuknya sel pertama hasil pertemuan sperma suami dan sel telur istri.
Pendapat kedua menyatakan bahwa hidup seorang manusia barulah mulai sekitar 11
hari setelah pembuahan, yakni ketika mulai muncul indivi-dualitas yang jelas, ketika
kumpulan sel-sel itu tidak mungkin lagi terpisah menjadi beberapa anak kembar.
Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa hidup khas manusia barulah muncul
ketika embrio berusia sekitar 20 sampal 40 hari, yakni bila embrio itu sudah berhasil
membentuk otak dalam dirinya.
Pendapat pertama memberi beberapa alasan yang cukup kuat. Alasan pertama
adalah kenyataan bahwa sel pertama hasil pembuahan itu sungguh sudah hidup, mampu
berkembang dengan kekuatan sendiri, yakni dengan membelah diri secara terus-menerus,
sambil berjalan menuju rahim ibu-nya. Alasan kedua: sel yang hidup itu sudah dapat
dikatakan manusia karena memuat jumlah kromosom yang biasa termuat dalam sel-sel
manusia yang normal, yakni 46 kromosom, yang terdiri dari 44 kromosom otosom pembawa
watak dan 2 kromosom penentu jenis kelamin. Jumlah kromosom itu merupakan hasil
penjumlahan 23 kromosom yang termuat pada sel telur ibu dan 23 kromosom yang termuat
dalam sperma ayah, masing-masing terdiri dari 22 kromosom otosom pembawa watak dan 1
kromosom penentu jenis kelamin. Jadi, sel pertama itu pun rupanya sudah punya jenis
kelamin yang tetap, entah laki-laki (bila memuat kromosom seks XY), entah perempuan (bila
memuat kromosom seks XX).
Pendapat kadua menyampaikan kritik atas pandangan di atas. Ditunjukkan bahwa sel
pertama itu masih mudah mati secara spontan (rupanya sampai 50% akan mati secara
2012
5
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
6
spontan sebelum berusia satu minggu). Apakah masuk akal bahwa Tuhan menciptakan
manusia yang toh dalam waktu satu minggu sudah akan mati secara spontan seperti itu?
Kritik lainnya menyangkut individualitas manusia. Manusia berciri individual, artinya: unik, tak
terbagikan menjadi dua atau tiga manusia. Padahal, sel pertama itu masih dapat
berkembang menjadi beberapa kelompok sel, yang kemudian menjadi beberapa janin
kembar (yang disebut kembar satu telur). Kalau sel pertama itu sudah manusia, bagaimana
mungkin dalam perkembangan selanjutnya ia dapat berubah menjadi beberapa manusia
kembar? Maka para ahli berpendapat bahwa sel-sel pertama itu barulah layak disebut
manusia setelah mencapai taraf individualitas yang tetap, sehingga tak dapat pecah lagi
menjadi beberapa janin kembar. Menurut para ahli itu, individualitas itu terjadi sekitar 11 hari
setelah pembuahan, yakni ketika embrio yang terdiri dari beberapa sel itu sudah mulai
menempel pada rahim ibunya.
Pendapat ketiga mau mengundur awal hidup seorang manusia lebih lambat lagi,
yakni ketika embrio sudah mulai memiliki otak dalam clirinya. Alasan pertama lebih bercorak
filosofis, yakni bahwa manusia berbeda dari makhluk ciptaan lainnya karena kemampuan
mental dan spiritualnya. Padahal kemampuan mental dan spiritual manusia itu hanya ada bila
ia memiliki otak. Jadi, sel-sel manusia baru dapat disebut manusia bila ia sudah punya otak.
Alasan kedua diambil dari data medis, yakni bahwa janin yang tidak berhasil membentuk otak
dalam dirinya ternyata akan mati dengan sendirinya. Hal itu ditafsirkan sebagai kehendak
Tuhan sendiri: Tuhan tidak menghendaki bahwa ada manusia yang tidak punya otak. Maka
janin yang tak berotak akan gugur secara spontan.
Tidak mudahlah menentukan manakah pendapat yang paling benar di antara ketiga
pendapat di atas, sebab masing-masing pendapat mempunyai argumentasi yang masuk akal
dan kuat. Kita mem butuhkan data-data yang lebih meyakinkan lagi sebelum dapat
memastikan pandangan yang benar tentang saat mulainya hidup seorang manusia.
Dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut Gereja Katolik menyampaikan
pandangannya dalam Deklarasi mengenai Aborsi oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman (1974),
“Dengan pembuahan sel telur sudah dimulai hidup yang bukan lagi bagian dari hidup ayah
atau ibunya, melainkan adalah hidup manusia baru, dengan pertumbuhannya sendiri.”
Namun tidak semua sependapat bahwa hidup yang bertumbuh itu harus dilindungi dengan
cara yang sama, mulai dari tahap pertama perkembangannya. Tetapi Gereja menuntut,
supaya hidup manusia dilindungi seluas-luasnya sejak saat pembuahan, justru karena tidak
mungkin ditetapkan dengan tegas kapan mulailah hidup pribadi manusia. “Kehidupan
manusia sejak saat pembuahan adalah suci” (KWI).
2012
6
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
7
Dalam KGK 2270 Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut
sejak saat pembuahannya. Sudah sejak saat pertama keberadaannya, satu makluk manusia
harus dihargai karena ia mempunyai hak-hak pribadi, di antaranya hak atas kehidupan dari
makluk yang tidak bersalah yang tidak dapat diganggu gugat.
4.
TEKNOLOGI KONTRASEPSI DAN TEKNOLOGI REPRODUKSI
4.1.
TEKNOLOGI KONTRASEPSI
Kontrasepsi adalah suatu tindakan mencegah terjadinya pembuahan (konsepsi). Alat
kontrasepsi bisa mengacaukan siklus dan masa reproduksi pada wanita dan pria. Ada
beberapa cara mencegah terjadinya pembuahan, antara lain:
Pertama dengan memakai kontrasepsi. Ada kontrasepsi mekanik seperti kondom
(pria), alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR atau IUD), diafragma atau kap seviks yang
dipasang dalam vagina, Spermisida (jelly, krim dan pasta atau tablet berbusa) yang dipasang
dalam vagina saat senggama. Ada juga alat kontrasepsi hormonal seperti pil, suntikan, dan
susuk. Kontrasepsi hormonal menggunakan hormon dari progesteron sampai kombinasi
estrogen dan progesteron. Alat kontrasepsi berupa pil sangat berbahaya bagi kesehatan
wanita yang mempunyai tekanan darah tinggi, gangguan sirkulasi darah, varises, dan
pendarahan melalui vagina. Efek dari kontrasepsi hormonal yang berkomponen estrogen
adalah mudah tersinggung dan tegang, berat badan bertambah, menimbulkan nyeri kepala,
perdarahan
banyak
saat
menstruasi.
Sedangkan
yang
berkomponen
progesteron
mengakibatkan payudara tegang, menstruasi berkurang, kaki dan tangan sering kram, dan
liang senggama kering.
Kedua, coitus interuptus (sanggama terputus). Menurut Pastor CB Kusmaryanto, SCJ
tindakan ini bisa disebut metode kontrasepsi. Sebab saat melakukan persetubuhan sperma
dibuang keluar bukan di dalam vagina. Akibatnya, tidak terjadi pembuahan.
Ketiga, mengakhiri kesuburan pada wanita dan pria. Pada wanita dilakukan dengan
mengikat atau memotong sel telur (tubektomi). Sedangkan pada pria, dilakukan dengan
memotong saluran mani yang terdapat pada kantung pelir (vasektomi).
Ada beberapa alasan pemakaian alat-alat kontrasepsi.
Pertama, alasan ekonomis. Hal ini tampak dalam tujuan program Keluarga Berencana
di Indonesia. Ada beberapa tujuan program KB antara lain: (1) untuk menghindari kelahiran
yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval di antara
kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga; (2) untuk membentuk keluarga
kecil sesuai dengan kekutan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan
2012
7
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
8
kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya; (3) untuk memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak,
keluarga dan bangsa; (4) untuk mengurangi ledakan penduduk demi menaikkan taraf hidup
rakyat dan bangsa.
Kedua, alasan psikologis dan etis. Terutama pada saat pacaran. Hamil diluar nikah
adalah aib dan melanggar norma kesusilaan. Ketiga, alasan kesehatan terutama untuk
menghindari penularan penyakit kelamin dan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Keempat, alasan gaya hidup.
Ada yang tidak mau hamil karena setelah melahirkan yang bersangkutan merasa tidak cantik
lagi, tubuhnya melar, tidak seksi. Kelima, alasan kerja. Ada perusahaan swasta tertentu yang
mensyaratkan karyawannya untuk tidak menikah sebelum habis masa kontrak kerja.
Konsekuensinya, kalau yang bersangkutan hamil maka ia kehilangan pekerjaannya. Ada juga
karyawan yang tidak mau punya anak karena mengganggu dia untuk bekerja.
4.2.
PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP TEKNOLOGI KONTRASEPSI
Dalam Humanae Vitae
(HV) sebagaimana diungkap oleh Charles E. Curran,
pemakaian metode kontrasepsi merupakan tindakan yang haram (illicit). Ensiklik Humanae
Vitae melarang segala macam bentuk kontrasepsi. Argumen pokoknya ialah bahwa setiap
persetubuhan harus tetap terbuka kepada adanya kehidupan baru. Ajaran HV ini
berdasarkan pada kehendak Allah yang menghendaki supaya makna hubungan seksual
yang menyatukan (unitif), relasional (saling menyerahkan diri) dan terbuka pada keturunan
(prokreatif) tidak dipisahkan. Manusia dari inisiatifnya sendiri tidak bisa memisahkan ketiga
makna hubungan seksual itu sebab hukum itu sudah terlukis di dalam diri setiap pria dan
wanita. Ketiga sifat hubungan seksual itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena
hubungan seksual adalah bahasa tubuh untuk mengungkapkan cinta kasih antara suami istri.
Cinta suami istri itu bukan hanya cinta badan dan juga bukan hanya cinta rohani, tetapi cinta
manusia seutuhnya (total) yang melibatkan diri manusia di mana jiwa membadan dan badan
menjiwa dalam kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Kontrasepsi dengan sengaja
memisahkan makna hubungan seksual yang unitif, relasional dan prokreatif. Ensiklik
Humanae Vitae menegaskan bahwa pengendalian kelahiran dengan alasan untuk mengatur
jarak kelahiran merupakan tidakan yang tidak dapat diterima.
Pastor DR. CB. Kusmaryanto, SCJ mengutip HV yang menyatakan: “Penghentian
langsung proses generatif yang sudah dimulai dan lebih-lebih aborsi yang secara langsung
dikehendaki dan dijalankan, juga jika untuk alasan terapi, benar-benar tidak bisa digolongkan
2012
8
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
9
sebagai alat yang sah untuk mengatur kelahiran. Demikian pula sterilisasi langsung
(pengakhiri kesuburan), baik sementara atau permanen, baik terhadap laki-laki atau
perempuan. Demikan pula setiap perbuatan baik sebelum atau dalam pelaksanaan
hubungan seksual atau dalam perkembangan konsekuensi naturalnya, yang menjadikan
prokreasi tidak mungkin, entah sebagai tujuan maupun caranya tidak bisa diklaim sebagai
cara yang sah.”
Mencegah terjadinya kelahiran anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan
ajaran moral Katolik. Gereja berpegang teguh pada prinsip bahwa persetubuhan
(consumatum) antara suami-istri yang sah pada dirinya sendiri terbuka untuk kelahiran anak.
Kontrasepsi merupakan tindakan sengaja menghalangi keterbukaan suami-istri untuk
kelahiran anak. Oleh karena itulah, kontrasepsi melanggar prinsip perkawinan Katolik.
Penegasan semacam ini tampak dalam pernyataan Donum Vitae: “Contraception deliberately
deprives the conjugal act of its openness to procreation and in this way brings about a
voluntary dissociation of the ends of marriage. Homologous artificial fertilization, in seeking a
procreation which is not the fruit of a specific act of conjugal union, objectively effects an
analogous separation between the goods and the meanings of marriage.”
Pada saat bertemunya sperma dan sel telur pada saat itulah awal kehidupan. Oleh
karena itu, sejak konsepsi kehidupan manusia sudah harus dihormati. Setiap manusia adalah
citra Ilahi (Kej 1: 27). Kelahiran manusia melibatkan tindakan kreatif Allah (the creative action
of God). Itu sebabnya, kehidupan manusia kudus adanya. Allah adalah Tuhan kehidupan.
Oleh karena itu, manusia bukanlah tuan atas dirinya. Prokreasi manusia mengandaikan
kolabroasi suami-istri yang bertanggung jawab terhadap kepenuhan cinta Allah. “Human
procreation requires on the part of the spouses responsible collaboration with the fruitful love
of God; the gift of human life must be actualized in marriage through the specific and
exclusive acts of husband and wife, in accordance with the laws inscribed in their persons
and in their union.”
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa persatuan seksual yang menurut
kodratnya mengungkapkan penyerahan diri secara timbal balik seutuhnya antara suami-istri
itu dikaburkan dengan alat kontrasepsi dan menjadikannya isyarat yang secara obyektif
ambivalen. Artinya tidak menyerahkan diri seutuhnya. Tindakan itu tidak hanya membawa
pada penolakan positif untuk terbuka bagi kehidupan, tetapi juga pada pemalsuan kebenaran
inti cinta kasih suami-istri, yang diarahkan kepada penyerahan diri seutuhnya. Perbedaan
antropologis dan moral antara kontrasepsi dan pemanfatan irama siklus, menyangkut dua
paham pribadi manusia dan seksualitas manusiawi yang tidak dapat diselaraskan.”
2012
9
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
10
4.3.
TEKNOLOGI REPRODUKSI
Teknologi reproduksi adalah ilmu tentang perkembangbiakan yang menggunakan
peralatan serta prosedur tertentu untuk menghasilkan suatu keturunan. Ada beberapa
teknologi reproduki, antara lain:
Pertama, In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET). Teknologi IVF
membuahkan kehidupan baru dalam sebuah cawan kaca. Anak-anak yang dibuahkan
melalui teknologi ini lebih dikenal sebagai bayi tabung. Cara membuahi bayi tabung sangat
teknis. Beberapa telur diambil dari ovarium perempuan setelah ia meminum obat-obatan
fertilitas yang mengakibatkan matangnya banyak telur dalam waktu bersamaan. Sperma
diambil dari laki-laki, bisa melalui masturbasi atau dengan cara lain. Telur dan sperma
tersebut disatukan dalam sebuah cawan kaca. Di sinilah terjadi pembuahan dan kehidupan
baru dibiarkan berkembang selama beberapa hari. Dalam IVF, anak dibuahkan melalui suatu
proses teknis, dengan tunduk pada kontrol kualitas (quality control) dan apabila anak tersebut
cacat bisa saja dibinasakan. Artinya, anak-anak dibuahkan dalam “rahim laboratorium” bukan
dalam rahim ibu. Cara lain yang sangat terkenal adalah ET. Dalam proses ET, embrio-embrio
ditransfer ke dalam rahim ibu dengan harapan bahwa salah satu akan bertahan hidup dan
berkembang hingga saat persalinan.
Kedua, teknik inseminasi buatan atau “artificial insemination/AI”. Dalam teknik ini,
sperma disuntikkan ke dalam atau ke dekat leher rahim sang wanita. Artinya, seorang wanita
tanpa berhubungan badan dengan pria bisa mengandung dan melahirkan. Dengan semakin
majunya teknologi reproduksi, orang sudah bisa membekukan lalu menyimpan sperma
tersebut ke dalam larutan Nitrogen cair. Teknik inilah yang kemudian melahirkan cryobank
alias bank sperma. Dengan adanya bank sperma ini banyak hal memang bisa tertolong.
Pasangan suami-isteri yang dulunya mandul kini tak perlu khawatir lagi. Begitu juga sang istri
yang telah “ditinggal” mati suaminya, masih bisa memperoleh anak, kalau mau. Ambil saja
“stock” sperma sang suami tersebut di bank sperma. Akan tetapi kita mesti sadari bahwa
kecanggihan teknologi semacam ini tidak serta-merta diperbolehkan oleh Gereja Katolik
karena bertentangan dengan prinsip moralitas. Sudah bisa dibayangkan, anak lahir bukan
lagi dalam rahim manusia tetapi dalam rahim laboratorium!
Ketiga, Teknologi Kloning. “Cloning” berasal dari bahasa Yunani, “klon” berarti
“cangkokan”. Dengan teknik ini, yang diperlukan bukan lagi sperma tetapi cukup sel somatik
(badan) saja. Caranya? Inti sebuah “telur” diangkat lalu diganti dengan inti sel somatik
(badan) yang mengandung semua kode genetika organisme dari mana ia diambil. Boleh jadi
2012
10
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
11
organisme (individu) yang dipilih justru bukan manusia. Pada kloning manusia, telur wanita
diambil terlebih dahulu sebelum kloning dilakukan. Kemudian, inti telur wanita dihancurkan
dengan zat kimia atau laser dan kemudian “dibuahi” dengan inti sel somatik (badan). Telur
yang telah dibuahi itu lalu dicangkokkan kembali ke dalam rahim sehingga berkembang
seperti pembuahan biasa. Jika berhasil, hasil kloning persis sama dengan individu atau
organisme yang diambil sel somatiknya itu.
Ada beberapa alasan pengembangan dan penggunaan teknologi reproduksi.
Pertama, untuk mendapatkan keturunan terutama bagi pasutri yang mandul. Kedua, untuk
mendapatkan keturunan yang super cerdas atau sesuai keinginan orangtua atau agar
keinginan orangtua memilih genetik anak-anak yang akan mereka lahirkan terpenuhi. Ketiga,
untuk memperpanjang hidup manusia. Keempat, untuk mendapatkan anak walaupun secara
alami sudah menopause. Apakah alasan-alasan ini diterima Gereja Katolik? Marilah kita lihat
berikut ini.
4.4.
PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP TEKNOLOGI REPRODUKSI
4.4.1. Fertilisasi Artifisial: fertilisasi in vitro, transfer embrio, dan inseminasi buatan
Gereja menegaskan bahwa pemakaian metode fertilisasi in vitro atau In Vitro
Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET) serta inseminasi buatan untuk mengatasi
ketidaksuburan merupakan tindakan amoral! Bahkan Donum Vitae menyatakan dengan
keras: “It is immoral to produce human embryos destined to be exploited as disposable
“biological material”.” Mengapa fertilisasi in vitro amoral? Ada beberapa alasan.
Pertama, alasan moral dan hukum perkawinan. Pemakaian teknologi IVF dan ET
jelas menjadikan manusia sebagai objek teknologi biologis semata. Instruksi Dignitas
Personae
menegaskan
kembali
pengajaran
Evangelium
Vitae
yang
menyatakan:
“Penggunaan embrio manusia dan janin sebagai objek eksperimen merupakan kejahatan
terhadap martabat mereka sebagai manusia yang berhak atas penghargaan yang sama
sebagai anak lahir hanya sekali, sama seperti setiap orang.”
Teknik-teknik IVF memberi peluang untuk melakukan manipulasi biologis dan genetik
pada embrio manusia, seperti upaya untuk melakukan fertilisasi antara manusia dan hewan.
Bahkan bisa saja embrio manusia dikandung dalam rahim hewan. Teknik-teknik ini
bertentangan dengan martabat manusia yang secara alami dilahirkan dalam perkawinan dan
dari pernikahan (born within marriage and from marriage). Bahkan teknik semacam ini
potensial
untuk
meremehkan
ketubuhan
manusia
(“…disdain
human
bodiliness”).
Seharusnya kita mengangkat martabat ketubuhan manusia itu seperti Yesus yang telah
2012
11
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
12
memungkinkan kita menjadi anak-anak Allah bahkan mengambil bagian dari kodrat Ilahi
(Yoh. 1: 12; 2 Pet 1: 4).
Di dalam metode IVF sering dipakai teknik pembekuan embrio untuk meningkatkan
keberhasilan IVF. Tindakan membekukan embrio bisa dianggap sebagai tindakan yang
menggunakan embrio sebagai tujuan terapeutik atau kegiatan penelitian. Oleh karena itu
tindakan ini harus ditolak. Pembekuan embrio, bahkan ketika dilakukan untuk melestarikan
kehidupan embrio merupakan pelanggaran terhadap rasa hormat kepada manusia. Sebab
embrio-embrio itu menghadapi risiko yang serius dari kematian atau membahayakan
integritas fisik mereka. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada personal
kehidupan yang memiliki hak untuk hidup. Dalam proses IVF (dan ET) embrio-embrio itu
dengan sengaja dipisahkan dari kasih dan proses kehamilan seorang ibu dan menempatkan
mereka dalam situasi yang penuh manipulasi. Proses IVF sangat potensial untuk merusak
embrio secara terencana dan sengaja.
Teknik IVF dan ET menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai sarana
terjadinya kehamilah. Tidak dapat diterima oleh Gereja tindakan apapun yang memisahkan
proses prokreasi dari konteks pribadi yang integral dari tindakan suami-istri (hubungan
seksual). Prokreasi adalah tindakan personal suami istri yang tidak dapat digantikan. Lebih
jauh, Dignitas Personae menyatakan: “Gereja mengakui keabsahan keinginan orangtua
untuk memiliki anak dan memahami penderitaan pasangan-pasangan yang mengalami
ketidaksuburan. Namun, keinginan memiliki anak tidak bisa dijadikan alasan untuk
membenarkan “produksi” anak (seperti metode pembuahan buatan yang terpisah dari
persetubuhan). Begitu juga keinginan untuk tidak memiliki anak tidak bisa dijadikan alasan
untuk membenarkan tindakan meninggalkan atau menghancurkan seorang anak (embrio
atau janin).”
Teknik IVF bukan membantu tindakan kasih suami istri untuk mencapai tujuannya
yang alami. Kehidupan baru tidak dibuahkan melalui tindakan kasih antara suami istri
melainkan melalui prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para ahli biomedis. Suami dan
istri hanya sekadar sebagai sumber “bahan baku” telur dan sperma, yang kemudian
dimanipulasi oleh seorang ahli sehingga menyebabkan sperma membuahi telur. Dalam
metode IVF bisa juga digunakan telur dan sperma dari pendonor. Dengan kata lain, ayah dan
ibu genetik dari anak bisa saja orang lain dari luar perkawinan. Hal ini bertentangan dengan
Hukum Gereja yang menyatakan bahwa perkawinan itu eksklusif. Bahkan hal ini dapat
menimbulkan masalah psikologis bagi anak. Terutama jika ia tahu bahwa orangtua
biologisnya tidak jelas.
2012
12
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
13
Hal yang sangat fatal adalah jika kelak anak-anak yang lahir itu sudah dewasa bisa
saja mereka saling menikahi saudara sendiri. Sebab mereka tidak tahu bahwa sperma atau
sel telur yang membuahkan hidup mereka berasal dari pendonor yang sama. Sedangkan di
dalam Hukum Gereja dinyatakan secara tegas bahwa perkawinan sedarah tidak pernah
diperbolehkan. Hal ini adalah sesuai hukum Ilahi dan tidak ada dispensasi atasnya. Artinya,
seseorang yang memakai metode IVF dengan memakai sperma dan telur pendonor telah
dengan sengaja menjerumuskan anak-anak tersebut untuk melanggar hukum gereja itu
sendiri. Inilah tindakan tragis!
Kedua, alasan medis (kesehatan). Biasanya identitas pendonor telur dan sperma
tidak diketahui oleh si anak. Akibatnya anak tidak mengetahui silsilahnya sendiri. Hal ini
membuat anak kurang pengetahuan akan masalah kesehatan atau kecenderungan
kesehatan turunan yang diwariskan oleh ayah-ibunya.
Ketiga, alasan antropologi. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada
kehidupan manusia secara pribadi yang memiliki status antropologis dan perlu diperlakukan
sebagai pribadi manusia. Dari argumen ajaran Gereja ini, proses IVF dan TE (Transfer
Embrio)
yang
cenderung
memanipulasi,
mengeksploitasi,
mengobjekkan
dan
menghancurkan embrio adalah tindakan yang salah!
Sebenarnya Gereja Katolik sangat bijak dalam menanggapi kecanggihan teknologi
reproduksi. Di dalam dokumen Donum Vitae (Anugrah Hidup) mengajarkan bahwa jika suatu
intervensi medis diberikan demi menolong atau membantu tindakan kasih suami isteri agar
membuahkan kehamilan secara alami, maka intervensi itu dapat diterima secara moral. Akan
tetapi, jika intervensi medis menggantikan tindakan kasih suami isteri untuk membuahkan
kehidupan, maka intervensi macam itu adalah amoral.
4.4.2.Teknologi kloning
Gereja menolak teknologi kloning. Ada beberapa alasan antara lain: (1) teknik kloning
aseksual. (2) Memproduksi anak dengan cara mengkopinya. Hal ini tidak memperlakukan
anak sebagai pribadi yang unik melainkan sebagai kelanjutan dari suatu pribadi lain. (3) Anak
bukan dilahirkan melainkan dibuat/diproduksi. Anak bukan lagi rencana dan ciptaan Allah
(“made in God”) melainkan rencana dan buatan manusia (“made in man”). Secara
antropologis, martabat manusia direndahkan menjadi sama dengan barang. (4) Teknik ini
semakin menegaskan dominasi manusia atas manusia (“domination of man over man”). (5)
Teknik kloning potensial untuk mengekploitasi dan menghancurkan embrio. (6) Metode ini
seolah-olah untuk memberi solusi kepada pasangan sejenis. Seperti kita ketahui bahwa
2012
13
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
14
sebagian mereka yang homoseksual mengatakan bahwa kloning akan merupakan suatu cara
sempurna untuk mendapatkan anak, sebab mereka tidak harus menikahi seorang lain dari
lawan jenis. Hal ini akan sungguh tidak adil bagi si anak, merenggutnya dari seorang ayah
dan ibu alami.
Sebagian lainnya berkeinginan untuk mengkloning diri mereka sendiri, sebab
beranggapan bahwa diri mereka begitu cerdas dan hebat sehingga seorang anak dengan
sifat-sifat yang mereka miliki akan menjadi suatu anugerah besar bagi masyarakat. Hal ini
merupakan suatu tindakan yang sama sekali egois, yang akan juga merenggut anak dari
seorang ayah dan seorang ibu. Dalam mengantisipasi bahwa suatu hari kelak kloning
manusia mungkin akan diupayakan, Donum Vitae mengatakan, “Juga percobaan dan
hipotesa yang bermaksud membuahkan manusia tanpa kaitan dengan seksualitas melalui
apa yang disebut `pembelahan anak kembar’, kloning atau parthenogenese harus dipandang
bertentangan dengan hukum moral, karena bertentangan dengan martabat prokreasi insani
dan sanggama.”
Menurut John M. Haas, yang paling mengerikan dari semua itu, sebagian peneliti
hendak mempergunakan kloning untuk membuat manusia semata-mata demi eksperimen
dan pembinasaan. Mereka bermaksud menyediakan suplai jaringan-jaringan tubuh yang
sesuai secara genetik untuk menangani berbagai macam penyakit, dengan cara membuat
embrio-embrio manusia dari sel tubuh pasien, kemudian memanipulasi embrio-embrio yang
berkembang ini demi suplai “spare part” mereka. Sebagian bahkan berbicara mengenai
mengembangkan kloning-kloning manusia yang secara genetik “tanpa kepala” atau “tanpa
otak” sebagai gudang organ tubuh; mereka beragumentasi bahwa makhluk-makhluk yang
demikian dapat dieksploitasi demi kebutuhan organ-organ tubuh sebab makhluk-makhluk itu
tidak memiliki status sebagai “pribadi”.
5.
SOLUSI YANG DITAWARKAN GEREJA
5.1.
Bagi Pemakai Kontrasepsi
Metode untuk mengatur kelahiran anak yang dianjurkan oleh Gereja katolik bagi
umat adalah metode pengaturan Kelahiran Alamiah tanpa memakai alat-alat kontrasepsi atau
juga disebut pantang berkala. Dalam metode pengaturan kelahiran secara alamiah ini yang
biasa disebut KBA (Kelaurga Berencana Alami) kita hanya mempergunakan apa yang sudah
ada dan disediakan oleh alam serta tidak memerlukan alat atau sarana tertentu untuk
mengubah mekanisme atau kodrat tubuh manusia. Secara singkat metode ini mengajarkan
kalau ingin mempunyai anak, maka mengadakan hubungan suami-istri pada masa subur,
2012
14
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
15
sedangkan kalau tidak ingin punya anak, maka jangan berhubungan seksual pada masa
subur itu. Dalam metode ini sangat penting untuk mengetahui masa subur perempuan,
khususnya saat ovulasi, baik untuk mendapatkan anak atau bila tidak ingin punya anak.
Ada beberapa cara untuk mengetahui masa subur itu, misalnya cara kalender, lendir
kesuburan (mucus) dan suhu basal. Hanya hubungan seks yang dilakukan pada masa subur
yang akan menghasilkan anak. Sedangkan hubungan seks yang dilakukan pada masa tidak
subur, tidak akan menghasilkan anak. Mengapa tidak menghasilkan anak? Karena tidak ada
ovum yang matang yang siap dibuahi. Ovum hanya hidup 24 jam saja sesudah ovulasi. Oleh
karena tidak ada ovum yang matang maka tidak akan ada konsepsi (pembuahan). Maka
pengaturan kelahiran alamiah (KBA) itu bukan kontrasepsi karena KBA itu tidak meniadakan
konsepsi (= yang seharusnya ada menjadi tidak ada). KBA disetujui oleh Gereja bukan
karena pertama-tama oleh karena tidak memakai alat/obat-obatan akan tetapi karena KBA itu
bukan kontrasepsi. Kita bisa membandingkan dengan coitus interuptus (sanggama terputus),
meskipun tidak memakai alat, coitus interuptus tetap merupakan kontrasepsi dan tidak
disetujui oleh Allah (bdk. Kejadian 38:8-10). Mengapa kontrasepsi? Karena dalam hubungan
seks yang dilakukan pada masa subur dan melakukan coitus interuptus seharusnya terjadi
pembuahan akan tetapi karena spermanya dibuang keluar maka tidak terjadi pembuahan.
5.2.
Bagi Pengguna Teknologi Reproduksi
Umat Katolik dipanggil untuk dengan rendah hati menghidupi ajaran Gereja bahwa
yang diperbolehkan dalam proses reproduski adalah pemeriksaan prenatal (sebelum lahir)
untuk (1) menentukan jenis kelamin anak (2) mengetahui penyakit bayi sehingga bisa diobati.
Hal inipun bukan semata-mata untuk menjadikan manusia sebagai objek. Akan tetapi,
Donum Vitae menegaskan bahwa jika hasil diagnosis menyatakan bahwa anak itu sakit tidak
moralis jika berujung pada aborsi. Artinya, Donum Vitae menyerukan agar tenologi diagnosa
prenatal tidak dipakai untuk tujuan aborsi dan pengguguran.
Umat Katolik dipanggil untuk rendah hati mengakui ajaran Gereja untuk mengatasi
ketidaksuburan. Gereja menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang diperbolehkan secara
moral dalam mengatasi ketidaksuburan. Pertama, operasi dapat dilakukan untuk mengatasi
penyumbatan tuba dalam sistem reproduksi laki-laki atau perempuan, yang menghalangi
terjadinya pembuahan. Obat-obatan fertilitas juga dapat dipergunakan, dengan peringatan
bahwa kehamilan kembar banyak dapat membahayakan ibu dan bayi-bayinya. Ada pula
banyak cara mengenali ritme reproduksi alami demi memperpesar kemungkinan terjadinya
kehamilan. Institut Paus Paulus VI di Creighton University di Omaha, Nebraska telah berhasil
2012
15
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
16
gemilang
dalam
membantu
pasangan-pasangan mengatasi ketidaksuburan
dengan
mempergunakan metode-metode alami. Paus Yohanes II mengajarkan bahwa intervensi
yang diperbolehkan secara moral adalah intervensi untuk penyembuhan dari berbagai
penyakit yang berasal dari kerusakan kromosom tanpa merusak integritas individu.
Sebagian besar teolog menganggap prosedur yang dikenal sebagai LTOT (Lower
Tubal Ovum Transfer), secara moral diperkenankan. LTOT menyangkut memindahkan telur
istri melewati penyumbatan dalam tuba fallopi (= saluran telur) sehingga tindakan perkawinan
dapat menghasilkan kehamilan. Suatu metode lain, yang secara moral lebih kontroversial,
disebut GIFT (Gamete Intra-Fallopian Transfer). GIFT menyangkut mendapatkan sperma
suami dari tindakan perkawinan dan mengambil sebuah telur dari ovarium isteri. Telur dan
sperma ditempatkan dalam suatu tabung kecil dengan dipisahkan oleh suatu gelembung
udara. Isi tabung kemudian disuntikkan ke dalam tuba fallopi isteri dengan harapan akan
terjadi pembuahan. Sebagian teolog menganggap ini sebagai pengganti tindakan
perkawinan, dan karenanya amoral. Sebagian teolog lainnya menganggap GIFT sebagai
suatu cara dalam membantu tindakan perkawinan, dan karenanya diperkenankan. Karena
otoritas mengajar Gereja – Paus dan para uskup – belum memberikan penilaian perihal
GIFT, maka pasangan-pasangan Katolik bebas untuk memilih ataupun menolaknya sesuai
dengan bimbingan hati nurani masing-masing. Tetapi apabila di kemudian hari otoritas
mengajar Gereja menilai prosedur ini sebagai amoral, GIFT hendaknya tidak lagi
dipergunakan.
6.
MEMAHAMI ABORSI
Berbicara tentang aborsi selalu menuai pro-kontra. Namun dalam menghadapi
masalah aborsi Gereja Katolik selalu konsisten pada pendiriannya. Dari abad ke abad Gereja
Katolik tidak pernah menerima perbuatan aborsi. Sebelum mendalami lebih jauh mengapa
Gereja Katolik menolak aborsi, ada baiknya kita pahami arti kata aborsi.
6.1.
Pengertian Aborsi
Aborsi berasal dari bahasa Latin “Aborsio” yang berarti pengeluaran hasil konsepsi
sebelum waktunya sehingga janin meninggal. Konsepsi adalah pertemuan antara sel sperma
dan sel telur. Di bawah ini, ada beberapa pengertian aborsi dari beberapa pihak:
6.1.1. Secara Umum.
Secara umum aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur
pada janin yang belum bisa hidup di luar kandungan. Uterus adalah rahim atau kandungan
tempat janin berdiam sebelum kelahirannya. Arti harafiah prematur adalah sebelum
2012
16
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
17
waktunya. Jadi, prematur dalam arti ini adalah pengeluaran janin sebelum waktunya.
Sedangkan janin adalah hasil konsepsi.
6.1.2. Secara Medis
Secara medis aborsi adalah pengeluaran janin dari kandungan sebelum berumur 24
minggu dan mengakibatkan kematian. Kalau pengeluaran janin sesudah 24 minggu disebut
pembunuhan bayi (infanticide). Pengeluaran janin sebelum 24 minggu disebut aborsi karena
menurut perhitungan medis hasil konsepsi dibawah 24 minggu belum masuk dalam hitungan
sebagai bayi atau manusia. Sedangkan sesudah 24 minggu disebut pembunuhan karena
sudah masuk dalam kategori bayi atau manusia.
6.1.3. Secara Moral Katolik dan Hukum
Dari segi moral dan hukum aborsi adalah pengeluaran janin sejak adanya konsepsi
pertama (sejak pertemuan sel sperma dengan sel telur) sampai dengan kelahirannya dan
mengakibatkan kematian. Gereja dalam memandang hasil konsepsi tetap tegas bahwa sejak
pertemuan sel sperma dan sel telur di situ sudah ada seorang manusia baru.
6.2.
Macam-macam Aborsi
Ada bermacam-macam aborsi yang perlu dilihat karena ada aborsi yang masuk
dalam kategori kasus khusus di mana aborsi yang dilakukan bukan atas kehendak sendiri
melainkan demi mengatasi suatu masalah.
6.2.1. Aborsi yang Disengaja (Procured Aborsion)
Aborsi yang disengaja adalah pembunuhan yang diarahkan langsung pada janin
yakni antara saat pembuahan sampai kelahirannya dengan cara apapun. Prosesnya
dilakukan dengan sengaja. Aborsi dengan cara ini dilarang keras oleh Gereja karena
tindakan yang semena-mena terhadap sesama yang lemah tak berdaya. Proses aborsi jenis
ini biasanya dilakukan dengan cara minum obat-obatan medis atau dukun yang ahli dalam
hal itu.
6.2.2. Aborsi Terapeutik
Aborsi terapeutik adalah pembunuhan yang dilakukan demi menyelamatkan nyawa
atau kesehatan seorang wanita hamil. Aborsi terapeutik juga, terkadang dilakukan sesudah
pemerkosaan. Aborsi dengan cara ini dalam Gereja Katolik dimasukkan dalam kategori
kasus khusus, walaupun di sana-sini masih ada pro-kontra. Aborsi terapeutik dibagi dalam
dua cara:
Aborsi terapeutik langsung adalah pembunuhan yang tindakan medisnya ditujukan
langsung untuk membunuh janin tersebut.
2012
17
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
18
Aborsi terapeutik tidak langsung adalah pembunuhan yang tindakan medisnya tidak
ditujukan langsung pada janin tetapi pada bagian lain. Misalnya, pengangkatan rahim.
Karena rahim diangkat maka otomatis janin yang berada dalam rahim akan mati.
6.2.3. Aborsi Eugenik
Aborsi eugenik adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap janin yang cacat atau
jenis kelamin janinnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Aborsi jenis ini pun masuk
dalam kategori kasus khusus. Tetapi kalau aborsi karena bayi tidak sesuai dengan keinginan
ditolak oleh Gereja. Gereja hanya menerima kalau bayi dalam kandungan cacat tetapi
dengan catatan perhitungan medis menunjukkan masalah itu.
6.2.4. Keguguran (Miscariage)
Keguguran adalah aborsi yang terjadi secara alami (terjadi tanpa campur tangan
manusia). Aborsi ini tidak bertentangan dengan ajaran Gereja karena terjadinya secara alami
tanpa campur tangan manusia. Manusia hanya menerimanya dengan pasrah.
6.3.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Aborsi
Aborsi yang dilakukan biasanya karena suatu alasan tertentu yang kadang mendesak
dan harus dilakukan. Tetapi ada juga yang melakukan aborsi karena faktor-faktor yang tidak
masuk akal. Di bawah ini diketengahkan faktor-faktor penyebab seorang ibu melakukan
aborsi.
6.3.1. Ekonomi.
Faktor ekonomi terkadang memicu terjadinya aborsi. Kesejahteraan anak dan
pendidikan yang layak menimbulkan pikiran lebih baik ia tidak lahir daripada lahir dan
menderita seumur hidup. Pikiran di atas tidak dibenarkan oleh Gereja, karena aborsi secara
sengaja merupakan penghancuran manusia yang tak bersalah dan tindakan semena-mena.
6.3.2. Banyaknya Anak
Banyaknya anak juga menjadi pemicu terjadinya aborsi. Aborsi dilakukan karena
kurangnya ekonomi atau tidak mampu mendidiknya nanti. Melihat masalah ini, Gereja
dengan berpedoman pada Kitab Suci mengatakan bahwa kehidupan perkawinan adalah
sesuatu yang suci karena daya cipta Allah langsung berkarya di dalamnya. Dengan
demikian, mengadakan kehidupan baru adalah perbuatan yang kudus. Mencampuri bidang
itu apalagi merintanginya adalah melawan kekudusan tersebut. Mengenai jumlah anak
haruslah ditentukan bersama oleh suami dan istri berdasarkan suara hatinya. Tetapi suara
hati harus tetap berpedoman pada kehendak Allah yang disampaikan oleh kewenangan
2012
18
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
19
Gereja. Suami-istri melukiskan persatuan Kristus dengan Gereja-Nya yang penuh cinta kasih
dengan membuahkan kehidupan baru.
6.3.3. Paksaan
Aborsi selain dilakukan oleh ibu sering kali oleh orang lain. Yang pertama bersalah
ialah ayahnya, jika secara eksplisit mendesak istrinya untuk melakukan aborsi. Tidak hanya
ayahnya tetapi terkadang dari lingkungan keluarga atau lebih luas lagi dari teman-temannya.
Paksaan-paksaan tersebut terkadang membuat seorang ibu tertekan sehingga terpaksa
menyetujui aborsi. Atau seorang ibu ditekan secara langsung sehingga mau tidak mau ia
harus melakukan aborsi. Di sini tanggung jawab moral terletak pada mereka yang langsung
atau tidak langsung memaksanya untuk melakukan aborsi.
6.3.4. Keselamatan Ibu
Kasus yang paling dramatis ialah terjadinya konflik frontal antara nyawa ibu dan
bayinya. Apabila secara objektif dalam perhitungan medis menunjukkan bahwa kalau
melanjutkan kehamilan bisa mematikan baik ibu maupun bayinya. Menghadapi kasus seperti
ini Gereja melalui para moralis Katolik umumnya menyetujui kasus tersebut dengan prinsip
satu di antara mereka harus diselamatkan. Tetapi di sini bukanlah masalah lebih memilih
ibunya daripada bayinya, atau lebih memilih bayinya daripada ibunya melainkan sebuah
pilihan di antara hidup yang dapat diselamatkan dan hidup yang tidak dapat diselamatkan.
6.3.5. Kesehatan Ibu (Aborsi Terapeutik)
Aborsi jenis ini dilakukan untuk mengobati penyakit ibunya. Misalnya, ibunya
mengandung tetapi ia mengidap penyakit jantung. Kalau kehamilannya diteruskan sampai
dengan kelahirannya akan sangat berbahaya bagi ibunya. Maka, keputusan yang diambil
ialah aborsi. Memang, sering dikatakan bahwa aborsi jenis ini adalah terapeutik tetapi
sebenarnya tidak tepat istilah itu, karena tidak dibuat dalam rangka penyembuhan penyakit.
Dengan kata lain, aborsi dilakukan tetapi penyakit jantungnya tidak tersembuhkan.
6.4.Pandangan Gereja Katolik Mengenai Aborsi
Untuk mengerti mengapa Gereja Katolik menolak Aborsi dibawah ini diketengahkan
dasar yang menunjukkan alasan Gereja Katolik menolak aborsi. Berdasarkan alasan dari
berbagai dokumen dan ajaran para pemimpin tertinggi Gereja serta Kitab Suci sebagai dasar
utama kehidupan umat Kristiani, Gereja dengan tegas menolak aborsi. Karena berdasarkan
sumber di atas manusia adalah hasil ciptaan Allah menurut Gambar dan rupa-Nya. Maka,
manusia sejak awal adalah kudus.
6.4.1. Kitab Suci
2012
19
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
20
Kitab Suci perjanjian Lama dengan keras melarang orang melakukan pembunuhan
“Jangan membunuh” (Kel. 20:13; Ul. 5:17). Ini berarti kehidupan sangat dihormati dan perlu
dijaga agar tidak mengalami kematian baik secara alami maupun campur tangan pihak lain.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tidak disebutkan secara langsung kata “aborsi”. Kita hanya
melihat teks-teks Kitab suci yang sering digunakan sebagai dasar argumen bila berbicara
soal aborsi.
Pembunuhan janin adalah pembunuhan manusia yang adalah Gambar Allah sendiri.
Dalam rahim ibu Allah berdiam. Ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci, “
Sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej. 9:6b). Maka, barang
siapa melakukan tindakan yang merugikan orang lain terutama aborsi adalah melawan
hukum Allah dan dari padanya akan dituntut nyawa juga. Hidup manusia itu keramat dan
tidak dapat diganggu gugat. Hanya Dia yang boleh mengambil.
Perjanjian baru pun tidak berbicara secara langsung mengenai aborsi. Larangan
melakukan aborsi adalah konsekuensi langsung dari permenungan akan harkat dan martabat
manusia yang selalu diperjuangkan Yesus dalam ajaran-Nya dan yang telah diwartakan oleh
para murid-Nya. Dapat kita lihat dalam Kitab Suci bahwa kehamilan tidak pernah menjadi
sebuah masalah atau beban. Ini terlihat pada Injil Lukas 1: 46 “Jiwaku memuliakan Tuhan”.
Anak selalu dimengerti sebagai anugerah dari pencipta kehidupan yakni Allah sendiri. Ketika
mulai ada kehidupan dalam rahim ibu, di sanalah terletak karya penciptaan Allah. Maka,
keluarga selalu bahagia atas kehamilan dan kelahiran anak. Manusia mempunyai
keistimewaan karena berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah dalam prokreasi yakni,
melangsungkan kehamilan dan kelahiran anak. Manusia adalah “pembantu” Allah dalam
menciptakan manusia baru. Maka, penghentian paksa atas kehamilan (aborsi) bukan hanya
berarti berbuat kekejaman terhadap sesama ciptaan tetapi juga merusak karya ciptaan Allah
seperti dikatakan oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: “Yang
daripadanya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup” (1Kor. 8:6).
6.4.2. Dokumen Konsili Vatikan II: Gaudium Et Spes
Dalam Gaudium Et spes ditegaskan bahwa dalam situasi apapun aborsi adalah
kejahatan yang mengerikan. Apalagi pembunuhan bermotif banyaknya anak, ekonomi dan
ketidakharmonisan keluarga. Pembunuhan anak melanggar hukum ilahi. Sebab Allah, Tuhan
kehidupan telah mempercayakan kepada manusia tugas luhur memelihara kehidupan.
Dengan demikian suami istri harus hormat terhadap kehidupan manusia melampaui hal-hal
yang pada derajat-derajat kehidupan yang lebih rendah. Maka, sejak pembuahan kehidupan
2012
20
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
21
harus dilindungi dengan perawatan yang baik karena anak adalah ciptaan Allah menurut
gambar-Nya.
6.4.3. Kitab Hukum Kanonik 1983
“Barang
siapa
melakukan
pengguguran
kandungan
dan
berhasil,
terkena
ekskomunikasi yang bersifat otomatis” (Kan. 1398). Artinya, hukuman otomatis menimpa
siapa saja yang bersalah karena aborsi. Ekskomunikasi juga kena pada semua pihak yang
terlibat dalam kasus tersebut. Dengan sanksi ini Gereja mau menjelaskan bahwa aborsi
adalah salah satu dari kejahatan yang terberat dan paling berbahaya. Sedangkan
ekskomunikasi bertujuan menyadarkan orang agar mengerti betapa berat dosa tertentu dan
dengan demikian mendukung penyesalan dan tobat yang sesuai.
Pandangan kitab hukum kanonik tentang aborsi juga tetap berdasar pada Kitab Suci,
walaupun Kitab Suci tidak secara eksplisit berbicara tentang aborsi dan tidak mematok
larangan langsung dan spesifik. Kitab Suci berangkat dari perintah Allah, “Jangan
membunuh” sebab manusia sejak dari rahim ibunya milik Allah (bdk. Yer 1:5). Manusia sejak
awalnya adalah sakral. Kitab hukum kanonik melihat bahwa perintah ini merupakan perintah
Allah, “Jangan membunuh”, diterapkan pada kehidupan yang belum lahir (janin). Maka,
perbuatan aborsi akan terkena sanksi yuridis, ekskomunikasi yang bersifat otomatis.
6.4.4. Paus Paulus VI: Humanae vitae
Dalam ensikliknya yang promulgasikan pada tanggal 25 Juli 1968 beliau menghimbau
keluarga-keluarga agar tetap menghormati hasil prokreasi seturut kehendak Allah.
Penghentikan proses generatif, terutama pengguguran yang disengaja harus ditolak. Aborsi
tidak boleh dipergunakan sebagai alat untuk mengkontrol kelahiran. Tugas melanjutkan
keturunan merupakan tugas yang paling berat namun juga merupakan sumber kegembiraan
besar seperti yang dialami oleh Elisabet yang di sebut mandul. Ia bersyukur dan memuji
Tuhan ketika mengetahui bahwa ia hamil pada masa tuanya. Kegembiraan ini tentunya ada
karena ada kerinduan sebelumya.
6.4.5. Paus Yohanes Paulus II: Evangelium Vitae
Dalam ensikliknya yang promulgasikan pada tanggal 25 Maret 1995, ia menjelaskan
bahwa perbuatan yang paling jahat adalah aborsi karena melanggar kehidupan. Ia
menjelaskan bahwa segala kejahatan yang dapat dilaksanakan manusia melawan kehidupan
terutama aborsi. Tetapi dewasa ini banyak orang mulai meredupkan penilaian beratnya
kejahatan itu. Kesadaran moral mulai menipis sehingga banyak orang tidak mampu
membedakan antara baik dan buruk. Hak asasi atas manusiapun mulai dipertaruhkan.
Mengingat keadaan yang serius ini maka, diperlukan keberanian untuk menetapkan
2012
21
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
22
kebenaran sehingga keluarga-keluarga Katolik tidak jatuh pada sikap kompromis dengan
memakai sebutan sebenarnya. Menangani masalah ini Paus mengutip teguran Nabi Yesaya:
“Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang
mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan” (Yes. 5:20).
6.5.
Kasus-kasus Khusus Aborsi
Beberapa kasus khusus aborsi perlu dibahas untuk mengklarifikasi sehingga tidak
membingungkan.
6.5.1.
Aborsi dengan Indikasi Medis.
Yang disebut aborsi dengan indikasi medis adalah aborsi yang dilakukan oleh karena
adanya tanda atau keadaan yang menunjukkan atau menggambarkan bahwa pelangsungan
kehamilan akan menyebabkan kerusakan serius pada kesehatan ibu yang tidak bisa
dipulihkan atau bahkan menyebabkan kematian ibu.
Maka, penilaian moral terhadap kasus ini adalah kita tidak boleh menghukum orang
yang tidak bersalah karena apa yang dilakukannya bukan berdasarkan kemauannya tetapi
demi keselamatannya. Jadi, Gereja Katolik melihat bahwa aborsi dengan cara demikian tidak
melanggarkan moral. Tetapi tetap ditegaskan bahwa Gereja tetap tidak mengizinkan aborsi.
Kasus diatas diperbolehkan sejauh tidak ada jalan lain.
6.5.2. Konflik Antara Nyawa Ibu dan Bayinya
Kasus yang paling dramatis adalah kasus di mana terjadi konflik frontal antara nyawa
ibu dan bayinya. Apabila secara obyektif dalam perhitungan medis dinyatakan bahwa terjadi
suatu keadaan di mana melanjutkan kehamilan bisa mematikan baik ibu maupun bayinya.
Menghadapi keadaan seperti di atas yang perlu dipilih adalah apa yang paling mungkin
diselamatkan. Kalau yang paling mungkin diselamatkan adalah ibunya maka ibunya harus
diselamatkan; bila bayinya yang paling mungkin maka dia yang diselamatkan. Daripada
kedua-duanya mati, maka lebih baik memilih satu di antaranya.
Tetapi ini bukan berarti bahwa hidup ibunya lebih berarti daripada bayinya, melainkan
kita berhadapan dengan situasi di mana hanya ada dua pilihan: membiarkan keduanya mati
atau menyelamatkan nyawa ibunya. Maka, pilihan menyelamatkan ibunya adalah pilihan
yang paling baik. Melihat kasus seperti itu, moralis katolik seperti Bernard Haring
mengatakan bahwa, “Di sini bukanlah masalah lebih memilih ibunya daripada bayinya atau
lebih memilih bayinya daripada ibunya, tetapi sebuah pilihan di antara hidup yang dapat
diselamatkan dan hidup yang tidak dapat diselamatkan”.
7.
2012
PENUTUP
22
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
23
Proses pembuahan seharusnya alami dalam hubungan pasangan suami istri
(pasutri). Proses pembuahan bersifat kudus dan Ilahi. Tindakan kreatif Allah (the creative
action of God) dan bukan tindakan kreatif manusia (the creative action of man) yang
menentukan proses terjadinya pembuahan. Munculnya manusia di dunia ini bukan hanya
melalui proses hukum biologis tetapi berhubungan dengan kehendak Allah. Allahlah yang
menjadi Tuhan atas manusia dan bukan manusia yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Itu
sebabnya Gereja Katolik menegaskan bahwa tidak ada ahli biologis dan dokter yang berhak
menentukan asal muasal dan takdir manusia berdasarkan kompetensi yang mereka miliki.
Pria dan wanita dipanggil untuk mengaktualisasikan nilai-nilai fundamental cinta dan hidup
dalam seksualitas dan prokreasi. Allah yang adalah kasih dan hidup telah mengukir dalam
diri pria dan wanita panggilan khusus untuk saling berbagi dalam misteri persekutuan
personal dan karya-Nya sebagai Pencipta dan Bapa.
Mencegah dan mengintervensi terjadinya pembuahan menjadi permasalahan moral
dalam Gereja Katolik. Alasannya sangat masuk akal, sangat teologis-biblis dan spiritualis.
Tindakan mencegah prokreasi dan memanipulasi pembuahan dan siklus reproduksi adalah
tindakan yang contra naturam. Tindakan semacam ini telah mereduksi manusia sebagai
objek teknologi biologis dan medis semata. Apa yang secara teknis mungkin, bukanlah
alasan untuk secara moral diterima begitu saja. Gereja Katolik meyakini bahwa makhluk
dalam rahim haruslah buah dari kasih orang tua. Anak harus dikandung dalam rahim ibu
bukan dalam rahim laboratorium. Anak dilahirkan bukan dibuat! Ia tak boleh diingini atau
dikandung sebagai hasil intervensi teknik-teknik biologis atau medis. Mencermati analisisanalisis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Gereja menolak teknologi yang (1)
mencegah terjadinya prokreasi; (2) pembuahan tanpa persetubuhan; (3) penghancuran
embrio dan pengobjekan manusia.
Gereja Katolik sangat kuat mempertahankan pandangannya bahwa aborsi harus
dilarang karena berkaitan dengan hak asasi manusia. Manusia mempunyai hak asasi karena
ia adalah manusia ciptaan Allah. Ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Hak asasi itu
datang dari kodratnya sebagai manusia dan menyatu lekat dengan martabatnya sebagai
manusia. Hak itu tidak dapat diberi atau diambil oleh orang lain atau institusi lain, melainkan
melekat dengan dirinya sebagai manusia. Sejak manusia ada hak itu melekat padanya dan
akan hilang bersama perginya manusia dari dunia ini (meninggal). Bagi seorang manusia,
hidup adalah nilai fundamental untuk dapat merealisasikan nilai-nilai lainnya. Maka, hak
untuk hidup menjadi syarat utama dan mendasar ketika berbicara mengenai hak asasi
manusia. Manusia diciptakan menurut gambar Allah. Dalam Kitab suci dikisahkan bahwa
2012
23
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
24
Allah melarang melakukan pembunuhan terhadap sesama. Berdasarkan kenyataan di atas
Gereja menganjurkan agar pewartaan akan luhurnya pribadi manusia harus terus diwartakan
karena manusia adalah luhur.
Daftar Pustaka
1.
2012
Al. Purwo Hadiwardoyo MSF, Dr., Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta, 1992.
24
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
25
2.
Bertens, K, Etika Biomedis, Kanisius, Yogyakarta, 2011.
3.
Gunawan Setiardja, A., Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
4.
Richard M. Gula, S.S., Etika Pastoral, Kanisius, Kanisius, Jakarta, 2009.
5.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik 1983, Jakarta: KWI, 2006.
6.
Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Nusa
Indah, Arnoldus Ende, 2007.
7.
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi, KanisiusObor, Yogyakarta, 1996.
8.
Jacobus Tarigan, Pr, Religiositas Agama dan Gereja Katolik, PT Grasindo, Jakarta,
2007.
9.
http://postinus.wordpress.com/2010/10/05/tanggapan-gereja-katolik-terhadap-teknologikontrasepsi-dan-teknologi-reproduksi/
10.
http://andosipayung.wordpress.com/2013/12/28/mengapa-gereja-katolik-melarangaborsi/
11.---------, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1991.
2015
Pendidikan Agama Katolik
24 Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H.
2012
25
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
26
2012
26
Pendidikan Agama Islam
Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download