MODUL PERKULIAHAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK MORAL AWAL HIDUP MANUSIA Fakultas Program Studi MKCU PSIKOLOGI Tatap Muka Reguler Kode MK Disusun Oleh 05 MK900022 Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H. Abstract Kompetensi Bab ini membahas tentang pengertian moral, menghormati kehidupan, pandangan gereja katolik tentang awal kehidupan, teknologi kontrasepsi, teknologi reproduksi, solusi yang ditawarkan dan aborsi serta pemasalahannya. Mahasiswa dapat mengerti, memahami pandangan moral gereja katolik terhadap awal hidup manusia sehingga mereka dapat menghormatnya dalam kehidupan-nya seharihari yang tidak bisa dipisahkan dari kemajuan teknologi. 2 MATERI BAB IV MORAL AWAL HIDUP MANUSIA 1. PENGERTIAN MORAL lstilah moral, moralitas berasal dari kata bahasa Latin "mos" (tunggal), "mores" (jamak) dan kata sifat "moralis". Bentuk jamak "mores" berarti: kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Kata sifat "moralis" berarti susila. Filsafat moral merupakan filsafat praktis, yang mempelajari perbuatan manusia sebagai manusia dari segi baik buruknya ditinjau dari hubungannya dengan tujuan hidup manusia yang terakhir. Maka moral adalah objek filsafat moral. lstilah lainnya dengan arti yang sama adalah: etika, "ethiek" dalam bahasa Belanda, "ethics" dalam bahasa lnggris. Istilah etika itu berasal dari kata bahasa Yunani "ethos" (Etos) yang berarti" kebiasaan, kelakuan. Kalau kita berbicara mengenai moral atau "ethos" seseorang atau sekelompok orang, maka yang dimaksud adalah bukan hanya apa yang biasa dilakukan orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan apa tidak patut untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan atau perilaku orang pada umumnya, tidak selalu adalah tanda, adalah manifestasi keyakinan atau pandangan hidup orang. Dalam filsafat moral atau dalam etika kita membedakan antara: a. Perbuatan insani "actus humanus": ialah perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang dengan sadar, dengan tahu betul-betul apa yang dilakukan, dengan kesengajaan kehendaknya. Perbuatan-perbuatan semacam ini merupakan formal objek filsafat moral atau etika. b. Perbuatan manusia "actus hominis": ialah perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak dengan penuh kesadaran atau kesengajaan. Umpamanya perbuatanperbuatan manusia dalam keadaan tidur, dalam keadaan mabuk, dalam keadaan jatuh pingsan. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan diluar kontrol manusia sebagai subjek pelaku. Perbuatan-perbuatan semacam ini ada diluar perhatian filsafat moral. Dari sudut pandang teologis, pelayanan atau perbuatan moral terkait erat dengan pengalaman dan keyakinan akan Tuhan. Tuhan adalah pusat tertinggi, titik acuan bagi apa yang benar dan salah secara moral, sumber dan tujuan dari semua usaha moral. Keyakinan dasar tentang hidup moral ini sering diulangi oleh Paus Yohanes Paulus II pada bab pertama Veritatis Splendor (1993). Ketika merefleksikan makna jawaban Yesus 2012 2 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 3 atas pertanyaan pemuda kaya, "Guru, perbuatan baik apakah yang harus saya lakukan untuk memperoleh hidup abadi?" (Mat 19:16), Yohanes Paulus II menegaskan: Menanyakan apa yang baik, sebetulnya pada akhirnya berarti berpaling kepada Tuhan, kepenuhan kebaikan. Yesus menun-jukkan bahwa pertanyaan pemuda itu sungguh sebuah pertanyaan rohani, dan bahwa kebaikan itulah yang menarik dan pada waktu yang sama mengharuskan manusia mempunyai sumbernya pada Tuhan, dan sesungguhnya adalah Tuhan sendiri. Tuhan sendiri layak untuk dicintai "dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa, dan dengan segenap pikiran" (Mat 22:37). Dia adalah sumber kebahagiaan manusia. Yesus membawa kembali pertanyaan tentang tindakan-tindakan yang baik secara moral kepada dasar-dasar religiusnya, kepada pengakuan akan Tuhan, yang adalah kebaikan, kepenuhan hidup, tujuan akhir tindakan manusia, dan kebahagiaan sempurna. Tanggung jawab moral dalam perbuatan atau pelayanan sebagai "manusia profesional" tidak hanya dibenarkan oleh pengakuan social dan aturan-aturan tingkah laku umum yang dipatuhi oleh masyarakat yang berakal budi. Walaupun pengakuan social dan aturanaturan tadi merupakan cara-cara yang sah untuk membenarkan moralitas, tapi toh dianggap belum memadai. Dari kaca mata teologis, Tuhanlah yang membenarkan dan mengesahkan moralitas. Akibatnya, tanggung jawab moral dalam pelayanan profesional tidak hanya ditujukan kepada diri kita atau kepada orang lain. Tanggung jawab moral itu pada akhirnya tertuju pada Tuhan. 2. HORMAT UNTUK KEHIDUPAN Sejak awal dalam sejarahnya, manusia sangat menghargai dan menghormati kehidupan. Kebanyakan agama dan budaya selalu berusaha untuk melindungi kehidupan manusia. Perjanji-an Baru lebih radikal lagi menuntut hormat terhadap kehidupan ketimbang Perjanjian Lama. Harus dibangun sikap hormat dan kasih akan kehidupan. Dalam Matius 5:21-22 "Kamu telah mendengar yang difirmankan nenek moyang kita: jangan membunuh; siapa membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala." Sebagai citra Allah, manusia dipanggil untuk memelihara dan mengembangkan kehidupan di dunia ini agar nanti dapat menikmati kebahagiaan abadi bersama Allah di surga. Allah adalah asal mula dan sumber kehidupan, maka orang yang berpegang teguh 2012 3 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 4 pada Sabda Allah, akan memperoleh kehidupan juga. Yoh 3:16 "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga la telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Hormat untuk kehidupan merupakan suatu norma moral yang sangat aktual bagi zaman kita. Norma ini berlaku untuk semua manusia, tapi secara khusus untuk orang beragama yang mengakui Tuhan sebagai Pencipta. Bagi orang beragama, memelihara kehidupan berarti mengemban tugas yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Apa yang menjadi dasar moral bagi kewajiban menghormati kehidupan manusia? Dasarnya adalah keyakinan bahwa kehidupan manusia mempunyai martabat khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain. Keyakinan ini berakar kuat dalam peradaban dunia. Kita harus menghormati kehidupan manusia bukan karena kualitasnya atau manfaatnya, melainkan karena martabatnya. Kualitas kehidupan manusia sering berbeda, tapi martabatnya selalu sama. Orang yang secara fisik atau mental cacat berat mempunyai kualitas kehidupan rendah, namun tetap memiliki martabat sebagai manusia. Pada akhir kehidupan sering kali hampir tidak ada kualitas lagi. Pasien yang menderita demensia berat sudah tidak mengenal orang lain (termasuk keluarganya) dan kadang-kadang malah tidak tahu lagi tentang identitasnya sendiri. Pasien yang mengalami koma tetap atau persistent vegetative state juga mempunyai kualitas kehidupan yang minim sekali. Namun, walaupun kehidupannya hanya terdiri atas menerima nutrisi dan hidrasi saja, pasien ini pun tetap mempunyai martabat sebagai manusia dan karena itu sebenarnya tidak pantas discbut "vegetatif". Hak atas kehidupan merupakan salah satu hak yang paling mendasar bagi setiap manusia. Karena itu kewajiban untuk menghormati kehidupan rnanusia berlaku bagi setiap orang: yang beragama maupun yang tidak beragama. Tapi di sini pun ada nuansa khusus untuk orang beragama: manusia diciptakan dan dimaksudkan secara istimewa oleh Tuhan, bahkan menurut tradisi Yahudi-Kristiani manusia diciptakan menurut gambar dan citra Allah sendiri (Kitab Kejadian 1:26). Menghormati kehidupan manusia sebagai norma moral sangat penting untuk setiap individu maupun untuk masyarakat. Namun, dewasa ini kehidupan semakin terancam akan bahaya kerusakan dan kematian terlebih oleh perbuatan manusia sendiri. Zaman modern yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan, tak dapat disangkal sumbangan ilmu kedokteran bagi peningkatan kesehatan dan hidup manusia luar biasa dan sangat mengagumkan. Namun di sisi lain, dalam kemajuan itu membonceng juga kecenderungan negatif, di antaranya masalah Abortus dan Euthanasia. 2012 4 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 5 3. AWAL KEHIDUPAN Hidup selayaknya dilihat sebagai anugerah Tuhan yang amat berharga. Karena itu kita terpanggil untuk memelihara dan melindungi kehidupan sejauh mungkin. Pemeliharaan kehidupan juga merupakan salah satu bentuk rasa syukur atas anugerah tersebut. Kecuali itu, kita juga yakin bahwa kehidupan manusia mempunyai martabat yang lebih tinggi dari makhluk ciptaan lainnya. Maka manusia, dalam keadaan mana pun, harus kita hargai sesuai dengan martabatnya yang luhur itu. Dewasa ini ada beberapa pendapat yang berbeda tentang saat yang tepat mulainya hidup seorang manusia. Di antara pendapat-pendapat itu, ada 3 pendapat yang mempunyai argumentasi kuat, sehingga cukup sulit kita tentukan manakah pendapat yang paling sesuai dengan kebenaran. Pendapat pertama menyatakan bahwa hidup seorang manusia sudah dimulai sejak terbentuknya sel pertama hasil pertemuan sperma suami dan sel telur istri. Pendapat kedua menyatakan bahwa hidup seorang manusia barulah mulai sekitar 11 hari setelah pembuahan, yakni ketika mulai muncul indivi-dualitas yang jelas, ketika kumpulan sel-sel itu tidak mungkin lagi terpisah menjadi beberapa anak kembar. Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa hidup khas manusia barulah muncul ketika embrio berusia sekitar 20 sampal 40 hari, yakni bila embrio itu sudah berhasil membentuk otak dalam dirinya. Pendapat pertama memberi beberapa alasan yang cukup kuat. Alasan pertama adalah kenyataan bahwa sel pertama hasil pembuahan itu sungguh sudah hidup, mampu berkembang dengan kekuatan sendiri, yakni dengan membelah diri secara terus-menerus, sambil berjalan menuju rahim ibu-nya. Alasan kedua: sel yang hidup itu sudah dapat dikatakan manusia karena memuat jumlah kromosom yang biasa termuat dalam sel-sel manusia yang normal, yakni 46 kromosom, yang terdiri dari 44 kromosom otosom pembawa watak dan 2 kromosom penentu jenis kelamin. Jumlah kromosom itu merupakan hasil penjumlahan 23 kromosom yang termuat pada sel telur ibu dan 23 kromosom yang termuat dalam sperma ayah, masing-masing terdiri dari 22 kromosom otosom pembawa watak dan 1 kromosom penentu jenis kelamin. Jadi, sel pertama itu pun rupanya sudah punya jenis kelamin yang tetap, entah laki-laki (bila memuat kromosom seks XY), entah perempuan (bila memuat kromosom seks XX). Pendapat kadua menyampaikan kritik atas pandangan di atas. Ditunjukkan bahwa sel pertama itu masih mudah mati secara spontan (rupanya sampai 50% akan mati secara 2012 5 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 6 spontan sebelum berusia satu minggu). Apakah masuk akal bahwa Tuhan menciptakan manusia yang toh dalam waktu satu minggu sudah akan mati secara spontan seperti itu? Kritik lainnya menyangkut individualitas manusia. Manusia berciri individual, artinya: unik, tak terbagikan menjadi dua atau tiga manusia. Padahal, sel pertama itu masih dapat berkembang menjadi beberapa kelompok sel, yang kemudian menjadi beberapa janin kembar (yang disebut kembar satu telur). Kalau sel pertama itu sudah manusia, bagaimana mungkin dalam perkembangan selanjutnya ia dapat berubah menjadi beberapa manusia kembar? Maka para ahli berpendapat bahwa sel-sel pertama itu barulah layak disebut manusia setelah mencapai taraf individualitas yang tetap, sehingga tak dapat pecah lagi menjadi beberapa janin kembar. Menurut para ahli itu, individualitas itu terjadi sekitar 11 hari setelah pembuahan, yakni ketika embrio yang terdiri dari beberapa sel itu sudah mulai menempel pada rahim ibunya. Pendapat ketiga mau mengundur awal hidup seorang manusia lebih lambat lagi, yakni ketika embrio sudah mulai memiliki otak dalam clirinya. Alasan pertama lebih bercorak filosofis, yakni bahwa manusia berbeda dari makhluk ciptaan lainnya karena kemampuan mental dan spiritualnya. Padahal kemampuan mental dan spiritual manusia itu hanya ada bila ia memiliki otak. Jadi, sel-sel manusia baru dapat disebut manusia bila ia sudah punya otak. Alasan kedua diambil dari data medis, yakni bahwa janin yang tidak berhasil membentuk otak dalam dirinya ternyata akan mati dengan sendirinya. Hal itu ditafsirkan sebagai kehendak Tuhan sendiri: Tuhan tidak menghendaki bahwa ada manusia yang tidak punya otak. Maka janin yang tak berotak akan gugur secara spontan. Tidak mudahlah menentukan manakah pendapat yang paling benar di antara ketiga pendapat di atas, sebab masing-masing pendapat mempunyai argumentasi yang masuk akal dan kuat. Kita mem butuhkan data-data yang lebih meyakinkan lagi sebelum dapat memastikan pandangan yang benar tentang saat mulainya hidup seorang manusia. Dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut Gereja Katolik menyampaikan pandangannya dalam Deklarasi mengenai Aborsi oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman (1974), “Dengan pembuahan sel telur sudah dimulai hidup yang bukan lagi bagian dari hidup ayah atau ibunya, melainkan adalah hidup manusia baru, dengan pertumbuhannya sendiri.” Namun tidak semua sependapat bahwa hidup yang bertumbuh itu harus dilindungi dengan cara yang sama, mulai dari tahap pertama perkembangannya. Tetapi Gereja menuntut, supaya hidup manusia dilindungi seluas-luasnya sejak saat pembuahan, justru karena tidak mungkin ditetapkan dengan tegas kapan mulailah hidup pribadi manusia. “Kehidupan manusia sejak saat pembuahan adalah suci” (KWI). 2012 6 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 7 Dalam KGK 2270 Kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara absolut sejak saat pembuahannya. Sudah sejak saat pertama keberadaannya, satu makluk manusia harus dihargai karena ia mempunyai hak-hak pribadi, di antaranya hak atas kehidupan dari makluk yang tidak bersalah yang tidak dapat diganggu gugat. 4. TEKNOLOGI KONTRASEPSI DAN TEKNOLOGI REPRODUKSI 4.1. TEKNOLOGI KONTRASEPSI Kontrasepsi adalah suatu tindakan mencegah terjadinya pembuahan (konsepsi). Alat kontrasepsi bisa mengacaukan siklus dan masa reproduksi pada wanita dan pria. Ada beberapa cara mencegah terjadinya pembuahan, antara lain: Pertama dengan memakai kontrasepsi. Ada kontrasepsi mekanik seperti kondom (pria), alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR atau IUD), diafragma atau kap seviks yang dipasang dalam vagina, Spermisida (jelly, krim dan pasta atau tablet berbusa) yang dipasang dalam vagina saat senggama. Ada juga alat kontrasepsi hormonal seperti pil, suntikan, dan susuk. Kontrasepsi hormonal menggunakan hormon dari progesteron sampai kombinasi estrogen dan progesteron. Alat kontrasepsi berupa pil sangat berbahaya bagi kesehatan wanita yang mempunyai tekanan darah tinggi, gangguan sirkulasi darah, varises, dan pendarahan melalui vagina. Efek dari kontrasepsi hormonal yang berkomponen estrogen adalah mudah tersinggung dan tegang, berat badan bertambah, menimbulkan nyeri kepala, perdarahan banyak saat menstruasi. Sedangkan yang berkomponen progesteron mengakibatkan payudara tegang, menstruasi berkurang, kaki dan tangan sering kram, dan liang senggama kering. Kedua, coitus interuptus (sanggama terputus). Menurut Pastor CB Kusmaryanto, SCJ tindakan ini bisa disebut metode kontrasepsi. Sebab saat melakukan persetubuhan sperma dibuang keluar bukan di dalam vagina. Akibatnya, tidak terjadi pembuahan. Ketiga, mengakhiri kesuburan pada wanita dan pria. Pada wanita dilakukan dengan mengikat atau memotong sel telur (tubektomi). Sedangkan pada pria, dilakukan dengan memotong saluran mani yang terdapat pada kantung pelir (vasektomi). Ada beberapa alasan pemakaian alat-alat kontrasepsi. Pertama, alasan ekonomis. Hal ini tampak dalam tujuan program Keluarga Berencana di Indonesia. Ada beberapa tujuan program KB antara lain: (1) untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga; (2) untuk membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekutan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan 2012 7 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 8 kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya; (3) untuk memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa; (4) untuk mengurangi ledakan penduduk demi menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa. Kedua, alasan psikologis dan etis. Terutama pada saat pacaran. Hamil diluar nikah adalah aib dan melanggar norma kesusilaan. Ketiga, alasan kesehatan terutama untuk menghindari penularan penyakit kelamin dan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Keempat, alasan gaya hidup. Ada yang tidak mau hamil karena setelah melahirkan yang bersangkutan merasa tidak cantik lagi, tubuhnya melar, tidak seksi. Kelima, alasan kerja. Ada perusahaan swasta tertentu yang mensyaratkan karyawannya untuk tidak menikah sebelum habis masa kontrak kerja. Konsekuensinya, kalau yang bersangkutan hamil maka ia kehilangan pekerjaannya. Ada juga karyawan yang tidak mau punya anak karena mengganggu dia untuk bekerja. 4.2. PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP TEKNOLOGI KONTRASEPSI Dalam Humanae Vitae (HV) sebagaimana diungkap oleh Charles E. Curran, pemakaian metode kontrasepsi merupakan tindakan yang haram (illicit). Ensiklik Humanae Vitae melarang segala macam bentuk kontrasepsi. Argumen pokoknya ialah bahwa setiap persetubuhan harus tetap terbuka kepada adanya kehidupan baru. Ajaran HV ini berdasarkan pada kehendak Allah yang menghendaki supaya makna hubungan seksual yang menyatukan (unitif), relasional (saling menyerahkan diri) dan terbuka pada keturunan (prokreatif) tidak dipisahkan. Manusia dari inisiatifnya sendiri tidak bisa memisahkan ketiga makna hubungan seksual itu sebab hukum itu sudah terlukis di dalam diri setiap pria dan wanita. Ketiga sifat hubungan seksual itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena hubungan seksual adalah bahasa tubuh untuk mengungkapkan cinta kasih antara suami istri. Cinta suami istri itu bukan hanya cinta badan dan juga bukan hanya cinta rohani, tetapi cinta manusia seutuhnya (total) yang melibatkan diri manusia di mana jiwa membadan dan badan menjiwa dalam kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Kontrasepsi dengan sengaja memisahkan makna hubungan seksual yang unitif, relasional dan prokreatif. Ensiklik Humanae Vitae menegaskan bahwa pengendalian kelahiran dengan alasan untuk mengatur jarak kelahiran merupakan tidakan yang tidak dapat diterima. Pastor DR. CB. Kusmaryanto, SCJ mengutip HV yang menyatakan: “Penghentian langsung proses generatif yang sudah dimulai dan lebih-lebih aborsi yang secara langsung dikehendaki dan dijalankan, juga jika untuk alasan terapi, benar-benar tidak bisa digolongkan 2012 8 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 9 sebagai alat yang sah untuk mengatur kelahiran. Demikian pula sterilisasi langsung (pengakhiri kesuburan), baik sementara atau permanen, baik terhadap laki-laki atau perempuan. Demikan pula setiap perbuatan baik sebelum atau dalam pelaksanaan hubungan seksual atau dalam perkembangan konsekuensi naturalnya, yang menjadikan prokreasi tidak mungkin, entah sebagai tujuan maupun caranya tidak bisa diklaim sebagai cara yang sah.” Mencegah terjadinya kelahiran anak merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran moral Katolik. Gereja berpegang teguh pada prinsip bahwa persetubuhan (consumatum) antara suami-istri yang sah pada dirinya sendiri terbuka untuk kelahiran anak. Kontrasepsi merupakan tindakan sengaja menghalangi keterbukaan suami-istri untuk kelahiran anak. Oleh karena itulah, kontrasepsi melanggar prinsip perkawinan Katolik. Penegasan semacam ini tampak dalam pernyataan Donum Vitae: “Contraception deliberately deprives the conjugal act of its openness to procreation and in this way brings about a voluntary dissociation of the ends of marriage. Homologous artificial fertilization, in seeking a procreation which is not the fruit of a specific act of conjugal union, objectively effects an analogous separation between the goods and the meanings of marriage.” Pada saat bertemunya sperma dan sel telur pada saat itulah awal kehidupan. Oleh karena itu, sejak konsepsi kehidupan manusia sudah harus dihormati. Setiap manusia adalah citra Ilahi (Kej 1: 27). Kelahiran manusia melibatkan tindakan kreatif Allah (the creative action of God). Itu sebabnya, kehidupan manusia kudus adanya. Allah adalah Tuhan kehidupan. Oleh karena itu, manusia bukanlah tuan atas dirinya. Prokreasi manusia mengandaikan kolabroasi suami-istri yang bertanggung jawab terhadap kepenuhan cinta Allah. “Human procreation requires on the part of the spouses responsible collaboration with the fruitful love of God; the gift of human life must be actualized in marriage through the specific and exclusive acts of husband and wife, in accordance with the laws inscribed in their persons and in their union.” Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa persatuan seksual yang menurut kodratnya mengungkapkan penyerahan diri secara timbal balik seutuhnya antara suami-istri itu dikaburkan dengan alat kontrasepsi dan menjadikannya isyarat yang secara obyektif ambivalen. Artinya tidak menyerahkan diri seutuhnya. Tindakan itu tidak hanya membawa pada penolakan positif untuk terbuka bagi kehidupan, tetapi juga pada pemalsuan kebenaran inti cinta kasih suami-istri, yang diarahkan kepada penyerahan diri seutuhnya. Perbedaan antropologis dan moral antara kontrasepsi dan pemanfatan irama siklus, menyangkut dua paham pribadi manusia dan seksualitas manusiawi yang tidak dapat diselaraskan.” 2012 9 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 10 4.3. TEKNOLOGI REPRODUKSI Teknologi reproduksi adalah ilmu tentang perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta prosedur tertentu untuk menghasilkan suatu keturunan. Ada beberapa teknologi reproduki, antara lain: Pertama, In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET). Teknologi IVF membuahkan kehidupan baru dalam sebuah cawan kaca. Anak-anak yang dibuahkan melalui teknologi ini lebih dikenal sebagai bayi tabung. Cara membuahi bayi tabung sangat teknis. Beberapa telur diambil dari ovarium perempuan setelah ia meminum obat-obatan fertilitas yang mengakibatkan matangnya banyak telur dalam waktu bersamaan. Sperma diambil dari laki-laki, bisa melalui masturbasi atau dengan cara lain. Telur dan sperma tersebut disatukan dalam sebuah cawan kaca. Di sinilah terjadi pembuahan dan kehidupan baru dibiarkan berkembang selama beberapa hari. Dalam IVF, anak dibuahkan melalui suatu proses teknis, dengan tunduk pada kontrol kualitas (quality control) dan apabila anak tersebut cacat bisa saja dibinasakan. Artinya, anak-anak dibuahkan dalam “rahim laboratorium” bukan dalam rahim ibu. Cara lain yang sangat terkenal adalah ET. Dalam proses ET, embrio-embrio ditransfer ke dalam rahim ibu dengan harapan bahwa salah satu akan bertahan hidup dan berkembang hingga saat persalinan. Kedua, teknik inseminasi buatan atau “artificial insemination/AI”. Dalam teknik ini, sperma disuntikkan ke dalam atau ke dekat leher rahim sang wanita. Artinya, seorang wanita tanpa berhubungan badan dengan pria bisa mengandung dan melahirkan. Dengan semakin majunya teknologi reproduksi, orang sudah bisa membekukan lalu menyimpan sperma tersebut ke dalam larutan Nitrogen cair. Teknik inilah yang kemudian melahirkan cryobank alias bank sperma. Dengan adanya bank sperma ini banyak hal memang bisa tertolong. Pasangan suami-isteri yang dulunya mandul kini tak perlu khawatir lagi. Begitu juga sang istri yang telah “ditinggal” mati suaminya, masih bisa memperoleh anak, kalau mau. Ambil saja “stock” sperma sang suami tersebut di bank sperma. Akan tetapi kita mesti sadari bahwa kecanggihan teknologi semacam ini tidak serta-merta diperbolehkan oleh Gereja Katolik karena bertentangan dengan prinsip moralitas. Sudah bisa dibayangkan, anak lahir bukan lagi dalam rahim manusia tetapi dalam rahim laboratorium! Ketiga, Teknologi Kloning. “Cloning” berasal dari bahasa Yunani, “klon” berarti “cangkokan”. Dengan teknik ini, yang diperlukan bukan lagi sperma tetapi cukup sel somatik (badan) saja. Caranya? Inti sebuah “telur” diangkat lalu diganti dengan inti sel somatik (badan) yang mengandung semua kode genetika organisme dari mana ia diambil. Boleh jadi 2012 10 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 11 organisme (individu) yang dipilih justru bukan manusia. Pada kloning manusia, telur wanita diambil terlebih dahulu sebelum kloning dilakukan. Kemudian, inti telur wanita dihancurkan dengan zat kimia atau laser dan kemudian “dibuahi” dengan inti sel somatik (badan). Telur yang telah dibuahi itu lalu dicangkokkan kembali ke dalam rahim sehingga berkembang seperti pembuahan biasa. Jika berhasil, hasil kloning persis sama dengan individu atau organisme yang diambil sel somatiknya itu. Ada beberapa alasan pengembangan dan penggunaan teknologi reproduksi. Pertama, untuk mendapatkan keturunan terutama bagi pasutri yang mandul. Kedua, untuk mendapatkan keturunan yang super cerdas atau sesuai keinginan orangtua atau agar keinginan orangtua memilih genetik anak-anak yang akan mereka lahirkan terpenuhi. Ketiga, untuk memperpanjang hidup manusia. Keempat, untuk mendapatkan anak walaupun secara alami sudah menopause. Apakah alasan-alasan ini diterima Gereja Katolik? Marilah kita lihat berikut ini. 4.4. PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP TEKNOLOGI REPRODUKSI 4.4.1. Fertilisasi Artifisial: fertilisasi in vitro, transfer embrio, dan inseminasi buatan Gereja menegaskan bahwa pemakaian metode fertilisasi in vitro atau In Vitro Fertilization (IVF) dan Embryo Transfer (ET) serta inseminasi buatan untuk mengatasi ketidaksuburan merupakan tindakan amoral! Bahkan Donum Vitae menyatakan dengan keras: “It is immoral to produce human embryos destined to be exploited as disposable “biological material”.” Mengapa fertilisasi in vitro amoral? Ada beberapa alasan. Pertama, alasan moral dan hukum perkawinan. Pemakaian teknologi IVF dan ET jelas menjadikan manusia sebagai objek teknologi biologis semata. Instruksi Dignitas Personae menegaskan kembali pengajaran Evangelium Vitae yang menyatakan: “Penggunaan embrio manusia dan janin sebagai objek eksperimen merupakan kejahatan terhadap martabat mereka sebagai manusia yang berhak atas penghargaan yang sama sebagai anak lahir hanya sekali, sama seperti setiap orang.” Teknik-teknik IVF memberi peluang untuk melakukan manipulasi biologis dan genetik pada embrio manusia, seperti upaya untuk melakukan fertilisasi antara manusia dan hewan. Bahkan bisa saja embrio manusia dikandung dalam rahim hewan. Teknik-teknik ini bertentangan dengan martabat manusia yang secara alami dilahirkan dalam perkawinan dan dari pernikahan (born within marriage and from marriage). Bahkan teknik semacam ini potensial untuk meremehkan ketubuhan manusia (“…disdain human bodiliness”). Seharusnya kita mengangkat martabat ketubuhan manusia itu seperti Yesus yang telah 2012 11 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 12 memungkinkan kita menjadi anak-anak Allah bahkan mengambil bagian dari kodrat Ilahi (Yoh. 1: 12; 2 Pet 1: 4). Di dalam metode IVF sering dipakai teknik pembekuan embrio untuk meningkatkan keberhasilan IVF. Tindakan membekukan embrio bisa dianggap sebagai tindakan yang menggunakan embrio sebagai tujuan terapeutik atau kegiatan penelitian. Oleh karena itu tindakan ini harus ditolak. Pembekuan embrio, bahkan ketika dilakukan untuk melestarikan kehidupan embrio merupakan pelanggaran terhadap rasa hormat kepada manusia. Sebab embrio-embrio itu menghadapi risiko yang serius dari kematian atau membahayakan integritas fisik mereka. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada personal kehidupan yang memiliki hak untuk hidup. Dalam proses IVF (dan ET) embrio-embrio itu dengan sengaja dipisahkan dari kasih dan proses kehamilan seorang ibu dan menempatkan mereka dalam situasi yang penuh manipulasi. Proses IVF sangat potensial untuk merusak embrio secara terencana dan sengaja. Teknik IVF dan ET menghapuskan tindakan kasih perkawinan sebagai sarana terjadinya kehamilah. Tidak dapat diterima oleh Gereja tindakan apapun yang memisahkan proses prokreasi dari konteks pribadi yang integral dari tindakan suami-istri (hubungan seksual). Prokreasi adalah tindakan personal suami istri yang tidak dapat digantikan. Lebih jauh, Dignitas Personae menyatakan: “Gereja mengakui keabsahan keinginan orangtua untuk memiliki anak dan memahami penderitaan pasangan-pasangan yang mengalami ketidaksuburan. Namun, keinginan memiliki anak tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan “produksi” anak (seperti metode pembuahan buatan yang terpisah dari persetubuhan). Begitu juga keinginan untuk tidak memiliki anak tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan meninggalkan atau menghancurkan seorang anak (embrio atau janin).” Teknik IVF bukan membantu tindakan kasih suami istri untuk mencapai tujuannya yang alami. Kehidupan baru tidak dibuahkan melalui tindakan kasih antara suami istri melainkan melalui prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para ahli biomedis. Suami dan istri hanya sekadar sebagai sumber “bahan baku” telur dan sperma, yang kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli sehingga menyebabkan sperma membuahi telur. Dalam metode IVF bisa juga digunakan telur dan sperma dari pendonor. Dengan kata lain, ayah dan ibu genetik dari anak bisa saja orang lain dari luar perkawinan. Hal ini bertentangan dengan Hukum Gereja yang menyatakan bahwa perkawinan itu eksklusif. Bahkan hal ini dapat menimbulkan masalah psikologis bagi anak. Terutama jika ia tahu bahwa orangtua biologisnya tidak jelas. 2012 12 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 13 Hal yang sangat fatal adalah jika kelak anak-anak yang lahir itu sudah dewasa bisa saja mereka saling menikahi saudara sendiri. Sebab mereka tidak tahu bahwa sperma atau sel telur yang membuahkan hidup mereka berasal dari pendonor yang sama. Sedangkan di dalam Hukum Gereja dinyatakan secara tegas bahwa perkawinan sedarah tidak pernah diperbolehkan. Hal ini adalah sesuai hukum Ilahi dan tidak ada dispensasi atasnya. Artinya, seseorang yang memakai metode IVF dengan memakai sperma dan telur pendonor telah dengan sengaja menjerumuskan anak-anak tersebut untuk melanggar hukum gereja itu sendiri. Inilah tindakan tragis! Kedua, alasan medis (kesehatan). Biasanya identitas pendonor telur dan sperma tidak diketahui oleh si anak. Akibatnya anak tidak mengetahui silsilahnya sendiri. Hal ini membuat anak kurang pengetahuan akan masalah kesehatan atau kecenderungan kesehatan turunan yang diwariskan oleh ayah-ibunya. Ketiga, alasan antropologi. Gereja meyakini bahwa sejak konsepsi sudah ada kehidupan manusia secara pribadi yang memiliki status antropologis dan perlu diperlakukan sebagai pribadi manusia. Dari argumen ajaran Gereja ini, proses IVF dan TE (Transfer Embrio) yang cenderung memanipulasi, mengeksploitasi, mengobjekkan dan menghancurkan embrio adalah tindakan yang salah! Sebenarnya Gereja Katolik sangat bijak dalam menanggapi kecanggihan teknologi reproduksi. Di dalam dokumen Donum Vitae (Anugrah Hidup) mengajarkan bahwa jika suatu intervensi medis diberikan demi menolong atau membantu tindakan kasih suami isteri agar membuahkan kehamilan secara alami, maka intervensi itu dapat diterima secara moral. Akan tetapi, jika intervensi medis menggantikan tindakan kasih suami isteri untuk membuahkan kehidupan, maka intervensi macam itu adalah amoral. 4.4.2.Teknologi kloning Gereja menolak teknologi kloning. Ada beberapa alasan antara lain: (1) teknik kloning aseksual. (2) Memproduksi anak dengan cara mengkopinya. Hal ini tidak memperlakukan anak sebagai pribadi yang unik melainkan sebagai kelanjutan dari suatu pribadi lain. (3) Anak bukan dilahirkan melainkan dibuat/diproduksi. Anak bukan lagi rencana dan ciptaan Allah (“made in God”) melainkan rencana dan buatan manusia (“made in man”). Secara antropologis, martabat manusia direndahkan menjadi sama dengan barang. (4) Teknik ini semakin menegaskan dominasi manusia atas manusia (“domination of man over man”). (5) Teknik kloning potensial untuk mengekploitasi dan menghancurkan embrio. (6) Metode ini seolah-olah untuk memberi solusi kepada pasangan sejenis. Seperti kita ketahui bahwa 2012 13 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 14 sebagian mereka yang homoseksual mengatakan bahwa kloning akan merupakan suatu cara sempurna untuk mendapatkan anak, sebab mereka tidak harus menikahi seorang lain dari lawan jenis. Hal ini akan sungguh tidak adil bagi si anak, merenggutnya dari seorang ayah dan ibu alami. Sebagian lainnya berkeinginan untuk mengkloning diri mereka sendiri, sebab beranggapan bahwa diri mereka begitu cerdas dan hebat sehingga seorang anak dengan sifat-sifat yang mereka miliki akan menjadi suatu anugerah besar bagi masyarakat. Hal ini merupakan suatu tindakan yang sama sekali egois, yang akan juga merenggut anak dari seorang ayah dan seorang ibu. Dalam mengantisipasi bahwa suatu hari kelak kloning manusia mungkin akan diupayakan, Donum Vitae mengatakan, “Juga percobaan dan hipotesa yang bermaksud membuahkan manusia tanpa kaitan dengan seksualitas melalui apa yang disebut `pembelahan anak kembar’, kloning atau parthenogenese harus dipandang bertentangan dengan hukum moral, karena bertentangan dengan martabat prokreasi insani dan sanggama.” Menurut John M. Haas, yang paling mengerikan dari semua itu, sebagian peneliti hendak mempergunakan kloning untuk membuat manusia semata-mata demi eksperimen dan pembinasaan. Mereka bermaksud menyediakan suplai jaringan-jaringan tubuh yang sesuai secara genetik untuk menangani berbagai macam penyakit, dengan cara membuat embrio-embrio manusia dari sel tubuh pasien, kemudian memanipulasi embrio-embrio yang berkembang ini demi suplai “spare part” mereka. Sebagian bahkan berbicara mengenai mengembangkan kloning-kloning manusia yang secara genetik “tanpa kepala” atau “tanpa otak” sebagai gudang organ tubuh; mereka beragumentasi bahwa makhluk-makhluk yang demikian dapat dieksploitasi demi kebutuhan organ-organ tubuh sebab makhluk-makhluk itu tidak memiliki status sebagai “pribadi”. 5. SOLUSI YANG DITAWARKAN GEREJA 5.1. Bagi Pemakai Kontrasepsi Metode untuk mengatur kelahiran anak yang dianjurkan oleh Gereja katolik bagi umat adalah metode pengaturan Kelahiran Alamiah tanpa memakai alat-alat kontrasepsi atau juga disebut pantang berkala. Dalam metode pengaturan kelahiran secara alamiah ini yang biasa disebut KBA (Kelaurga Berencana Alami) kita hanya mempergunakan apa yang sudah ada dan disediakan oleh alam serta tidak memerlukan alat atau sarana tertentu untuk mengubah mekanisme atau kodrat tubuh manusia. Secara singkat metode ini mengajarkan kalau ingin mempunyai anak, maka mengadakan hubungan suami-istri pada masa subur, 2012 14 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 15 sedangkan kalau tidak ingin punya anak, maka jangan berhubungan seksual pada masa subur itu. Dalam metode ini sangat penting untuk mengetahui masa subur perempuan, khususnya saat ovulasi, baik untuk mendapatkan anak atau bila tidak ingin punya anak. Ada beberapa cara untuk mengetahui masa subur itu, misalnya cara kalender, lendir kesuburan (mucus) dan suhu basal. Hanya hubungan seks yang dilakukan pada masa subur yang akan menghasilkan anak. Sedangkan hubungan seks yang dilakukan pada masa tidak subur, tidak akan menghasilkan anak. Mengapa tidak menghasilkan anak? Karena tidak ada ovum yang matang yang siap dibuahi. Ovum hanya hidup 24 jam saja sesudah ovulasi. Oleh karena tidak ada ovum yang matang maka tidak akan ada konsepsi (pembuahan). Maka pengaturan kelahiran alamiah (KBA) itu bukan kontrasepsi karena KBA itu tidak meniadakan konsepsi (= yang seharusnya ada menjadi tidak ada). KBA disetujui oleh Gereja bukan karena pertama-tama oleh karena tidak memakai alat/obat-obatan akan tetapi karena KBA itu bukan kontrasepsi. Kita bisa membandingkan dengan coitus interuptus (sanggama terputus), meskipun tidak memakai alat, coitus interuptus tetap merupakan kontrasepsi dan tidak disetujui oleh Allah (bdk. Kejadian 38:8-10). Mengapa kontrasepsi? Karena dalam hubungan seks yang dilakukan pada masa subur dan melakukan coitus interuptus seharusnya terjadi pembuahan akan tetapi karena spermanya dibuang keluar maka tidak terjadi pembuahan. 5.2. Bagi Pengguna Teknologi Reproduksi Umat Katolik dipanggil untuk dengan rendah hati menghidupi ajaran Gereja bahwa yang diperbolehkan dalam proses reproduski adalah pemeriksaan prenatal (sebelum lahir) untuk (1) menentukan jenis kelamin anak (2) mengetahui penyakit bayi sehingga bisa diobati. Hal inipun bukan semata-mata untuk menjadikan manusia sebagai objek. Akan tetapi, Donum Vitae menegaskan bahwa jika hasil diagnosis menyatakan bahwa anak itu sakit tidak moralis jika berujung pada aborsi. Artinya, Donum Vitae menyerukan agar tenologi diagnosa prenatal tidak dipakai untuk tujuan aborsi dan pengguguran. Umat Katolik dipanggil untuk rendah hati mengakui ajaran Gereja untuk mengatasi ketidaksuburan. Gereja menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang diperbolehkan secara moral dalam mengatasi ketidaksuburan. Pertama, operasi dapat dilakukan untuk mengatasi penyumbatan tuba dalam sistem reproduksi laki-laki atau perempuan, yang menghalangi terjadinya pembuahan. Obat-obatan fertilitas juga dapat dipergunakan, dengan peringatan bahwa kehamilan kembar banyak dapat membahayakan ibu dan bayi-bayinya. Ada pula banyak cara mengenali ritme reproduksi alami demi memperpesar kemungkinan terjadinya kehamilan. Institut Paus Paulus VI di Creighton University di Omaha, Nebraska telah berhasil 2012 15 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 16 gemilang dalam membantu pasangan-pasangan mengatasi ketidaksuburan dengan mempergunakan metode-metode alami. Paus Yohanes II mengajarkan bahwa intervensi yang diperbolehkan secara moral adalah intervensi untuk penyembuhan dari berbagai penyakit yang berasal dari kerusakan kromosom tanpa merusak integritas individu. Sebagian besar teolog menganggap prosedur yang dikenal sebagai LTOT (Lower Tubal Ovum Transfer), secara moral diperkenankan. LTOT menyangkut memindahkan telur istri melewati penyumbatan dalam tuba fallopi (= saluran telur) sehingga tindakan perkawinan dapat menghasilkan kehamilan. Suatu metode lain, yang secara moral lebih kontroversial, disebut GIFT (Gamete Intra-Fallopian Transfer). GIFT menyangkut mendapatkan sperma suami dari tindakan perkawinan dan mengambil sebuah telur dari ovarium isteri. Telur dan sperma ditempatkan dalam suatu tabung kecil dengan dipisahkan oleh suatu gelembung udara. Isi tabung kemudian disuntikkan ke dalam tuba fallopi isteri dengan harapan akan terjadi pembuahan. Sebagian teolog menganggap ini sebagai pengganti tindakan perkawinan, dan karenanya amoral. Sebagian teolog lainnya menganggap GIFT sebagai suatu cara dalam membantu tindakan perkawinan, dan karenanya diperkenankan. Karena otoritas mengajar Gereja – Paus dan para uskup – belum memberikan penilaian perihal GIFT, maka pasangan-pasangan Katolik bebas untuk memilih ataupun menolaknya sesuai dengan bimbingan hati nurani masing-masing. Tetapi apabila di kemudian hari otoritas mengajar Gereja menilai prosedur ini sebagai amoral, GIFT hendaknya tidak lagi dipergunakan. 6. MEMAHAMI ABORSI Berbicara tentang aborsi selalu menuai pro-kontra. Namun dalam menghadapi masalah aborsi Gereja Katolik selalu konsisten pada pendiriannya. Dari abad ke abad Gereja Katolik tidak pernah menerima perbuatan aborsi. Sebelum mendalami lebih jauh mengapa Gereja Katolik menolak aborsi, ada baiknya kita pahami arti kata aborsi. 6.1. Pengertian Aborsi Aborsi berasal dari bahasa Latin “Aborsio” yang berarti pengeluaran hasil konsepsi sebelum waktunya sehingga janin meninggal. Konsepsi adalah pertemuan antara sel sperma dan sel telur. Di bawah ini, ada beberapa pengertian aborsi dari beberapa pihak: 6.1.1. Secara Umum. Secara umum aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada janin yang belum bisa hidup di luar kandungan. Uterus adalah rahim atau kandungan tempat janin berdiam sebelum kelahirannya. Arti harafiah prematur adalah sebelum 2012 16 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 17 waktunya. Jadi, prematur dalam arti ini adalah pengeluaran janin sebelum waktunya. Sedangkan janin adalah hasil konsepsi. 6.1.2. Secara Medis Secara medis aborsi adalah pengeluaran janin dari kandungan sebelum berumur 24 minggu dan mengakibatkan kematian. Kalau pengeluaran janin sesudah 24 minggu disebut pembunuhan bayi (infanticide). Pengeluaran janin sebelum 24 minggu disebut aborsi karena menurut perhitungan medis hasil konsepsi dibawah 24 minggu belum masuk dalam hitungan sebagai bayi atau manusia. Sedangkan sesudah 24 minggu disebut pembunuhan karena sudah masuk dalam kategori bayi atau manusia. 6.1.3. Secara Moral Katolik dan Hukum Dari segi moral dan hukum aborsi adalah pengeluaran janin sejak adanya konsepsi pertama (sejak pertemuan sel sperma dengan sel telur) sampai dengan kelahirannya dan mengakibatkan kematian. Gereja dalam memandang hasil konsepsi tetap tegas bahwa sejak pertemuan sel sperma dan sel telur di situ sudah ada seorang manusia baru. 6.2. Macam-macam Aborsi Ada bermacam-macam aborsi yang perlu dilihat karena ada aborsi yang masuk dalam kategori kasus khusus di mana aborsi yang dilakukan bukan atas kehendak sendiri melainkan demi mengatasi suatu masalah. 6.2.1. Aborsi yang Disengaja (Procured Aborsion) Aborsi yang disengaja adalah pembunuhan yang diarahkan langsung pada janin yakni antara saat pembuahan sampai kelahirannya dengan cara apapun. Prosesnya dilakukan dengan sengaja. Aborsi dengan cara ini dilarang keras oleh Gereja karena tindakan yang semena-mena terhadap sesama yang lemah tak berdaya. Proses aborsi jenis ini biasanya dilakukan dengan cara minum obat-obatan medis atau dukun yang ahli dalam hal itu. 6.2.2. Aborsi Terapeutik Aborsi terapeutik adalah pembunuhan yang dilakukan demi menyelamatkan nyawa atau kesehatan seorang wanita hamil. Aborsi terapeutik juga, terkadang dilakukan sesudah pemerkosaan. Aborsi dengan cara ini dalam Gereja Katolik dimasukkan dalam kategori kasus khusus, walaupun di sana-sini masih ada pro-kontra. Aborsi terapeutik dibagi dalam dua cara: Aborsi terapeutik langsung adalah pembunuhan yang tindakan medisnya ditujukan langsung untuk membunuh janin tersebut. 2012 17 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 18 Aborsi terapeutik tidak langsung adalah pembunuhan yang tindakan medisnya tidak ditujukan langsung pada janin tetapi pada bagian lain. Misalnya, pengangkatan rahim. Karena rahim diangkat maka otomatis janin yang berada dalam rahim akan mati. 6.2.3. Aborsi Eugenik Aborsi eugenik adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap janin yang cacat atau jenis kelamin janinnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Aborsi jenis ini pun masuk dalam kategori kasus khusus. Tetapi kalau aborsi karena bayi tidak sesuai dengan keinginan ditolak oleh Gereja. Gereja hanya menerima kalau bayi dalam kandungan cacat tetapi dengan catatan perhitungan medis menunjukkan masalah itu. 6.2.4. Keguguran (Miscariage) Keguguran adalah aborsi yang terjadi secara alami (terjadi tanpa campur tangan manusia). Aborsi ini tidak bertentangan dengan ajaran Gereja karena terjadinya secara alami tanpa campur tangan manusia. Manusia hanya menerimanya dengan pasrah. 6.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Aborsi Aborsi yang dilakukan biasanya karena suatu alasan tertentu yang kadang mendesak dan harus dilakukan. Tetapi ada juga yang melakukan aborsi karena faktor-faktor yang tidak masuk akal. Di bawah ini diketengahkan faktor-faktor penyebab seorang ibu melakukan aborsi. 6.3.1. Ekonomi. Faktor ekonomi terkadang memicu terjadinya aborsi. Kesejahteraan anak dan pendidikan yang layak menimbulkan pikiran lebih baik ia tidak lahir daripada lahir dan menderita seumur hidup. Pikiran di atas tidak dibenarkan oleh Gereja, karena aborsi secara sengaja merupakan penghancuran manusia yang tak bersalah dan tindakan semena-mena. 6.3.2. Banyaknya Anak Banyaknya anak juga menjadi pemicu terjadinya aborsi. Aborsi dilakukan karena kurangnya ekonomi atau tidak mampu mendidiknya nanti. Melihat masalah ini, Gereja dengan berpedoman pada Kitab Suci mengatakan bahwa kehidupan perkawinan adalah sesuatu yang suci karena daya cipta Allah langsung berkarya di dalamnya. Dengan demikian, mengadakan kehidupan baru adalah perbuatan yang kudus. Mencampuri bidang itu apalagi merintanginya adalah melawan kekudusan tersebut. Mengenai jumlah anak haruslah ditentukan bersama oleh suami dan istri berdasarkan suara hatinya. Tetapi suara hati harus tetap berpedoman pada kehendak Allah yang disampaikan oleh kewenangan 2012 18 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 19 Gereja. Suami-istri melukiskan persatuan Kristus dengan Gereja-Nya yang penuh cinta kasih dengan membuahkan kehidupan baru. 6.3.3. Paksaan Aborsi selain dilakukan oleh ibu sering kali oleh orang lain. Yang pertama bersalah ialah ayahnya, jika secara eksplisit mendesak istrinya untuk melakukan aborsi. Tidak hanya ayahnya tetapi terkadang dari lingkungan keluarga atau lebih luas lagi dari teman-temannya. Paksaan-paksaan tersebut terkadang membuat seorang ibu tertekan sehingga terpaksa menyetujui aborsi. Atau seorang ibu ditekan secara langsung sehingga mau tidak mau ia harus melakukan aborsi. Di sini tanggung jawab moral terletak pada mereka yang langsung atau tidak langsung memaksanya untuk melakukan aborsi. 6.3.4. Keselamatan Ibu Kasus yang paling dramatis ialah terjadinya konflik frontal antara nyawa ibu dan bayinya. Apabila secara objektif dalam perhitungan medis menunjukkan bahwa kalau melanjutkan kehamilan bisa mematikan baik ibu maupun bayinya. Menghadapi kasus seperti ini Gereja melalui para moralis Katolik umumnya menyetujui kasus tersebut dengan prinsip satu di antara mereka harus diselamatkan. Tetapi di sini bukanlah masalah lebih memilih ibunya daripada bayinya, atau lebih memilih bayinya daripada ibunya melainkan sebuah pilihan di antara hidup yang dapat diselamatkan dan hidup yang tidak dapat diselamatkan. 6.3.5. Kesehatan Ibu (Aborsi Terapeutik) Aborsi jenis ini dilakukan untuk mengobati penyakit ibunya. Misalnya, ibunya mengandung tetapi ia mengidap penyakit jantung. Kalau kehamilannya diteruskan sampai dengan kelahirannya akan sangat berbahaya bagi ibunya. Maka, keputusan yang diambil ialah aborsi. Memang, sering dikatakan bahwa aborsi jenis ini adalah terapeutik tetapi sebenarnya tidak tepat istilah itu, karena tidak dibuat dalam rangka penyembuhan penyakit. Dengan kata lain, aborsi dilakukan tetapi penyakit jantungnya tidak tersembuhkan. 6.4.Pandangan Gereja Katolik Mengenai Aborsi Untuk mengerti mengapa Gereja Katolik menolak Aborsi dibawah ini diketengahkan dasar yang menunjukkan alasan Gereja Katolik menolak aborsi. Berdasarkan alasan dari berbagai dokumen dan ajaran para pemimpin tertinggi Gereja serta Kitab Suci sebagai dasar utama kehidupan umat Kristiani, Gereja dengan tegas menolak aborsi. Karena berdasarkan sumber di atas manusia adalah hasil ciptaan Allah menurut Gambar dan rupa-Nya. Maka, manusia sejak awal adalah kudus. 6.4.1. Kitab Suci 2012 19 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 20 Kitab Suci perjanjian Lama dengan keras melarang orang melakukan pembunuhan “Jangan membunuh” (Kel. 20:13; Ul. 5:17). Ini berarti kehidupan sangat dihormati dan perlu dijaga agar tidak mengalami kematian baik secara alami maupun campur tangan pihak lain. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tidak disebutkan secara langsung kata “aborsi”. Kita hanya melihat teks-teks Kitab suci yang sering digunakan sebagai dasar argumen bila berbicara soal aborsi. Pembunuhan janin adalah pembunuhan manusia yang adalah Gambar Allah sendiri. Dalam rahim ibu Allah berdiam. Ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci, “ Sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej. 9:6b). Maka, barang siapa melakukan tindakan yang merugikan orang lain terutama aborsi adalah melawan hukum Allah dan dari padanya akan dituntut nyawa juga. Hidup manusia itu keramat dan tidak dapat diganggu gugat. Hanya Dia yang boleh mengambil. Perjanjian baru pun tidak berbicara secara langsung mengenai aborsi. Larangan melakukan aborsi adalah konsekuensi langsung dari permenungan akan harkat dan martabat manusia yang selalu diperjuangkan Yesus dalam ajaran-Nya dan yang telah diwartakan oleh para murid-Nya. Dapat kita lihat dalam Kitab Suci bahwa kehamilan tidak pernah menjadi sebuah masalah atau beban. Ini terlihat pada Injil Lukas 1: 46 “Jiwaku memuliakan Tuhan”. Anak selalu dimengerti sebagai anugerah dari pencipta kehidupan yakni Allah sendiri. Ketika mulai ada kehidupan dalam rahim ibu, di sanalah terletak karya penciptaan Allah. Maka, keluarga selalu bahagia atas kehamilan dan kelahiran anak. Manusia mempunyai keistimewaan karena berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah dalam prokreasi yakni, melangsungkan kehamilan dan kelahiran anak. Manusia adalah “pembantu” Allah dalam menciptakan manusia baru. Maka, penghentian paksa atas kehamilan (aborsi) bukan hanya berarti berbuat kekejaman terhadap sesama ciptaan tetapi juga merusak karya ciptaan Allah seperti dikatakan oleh rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: “Yang daripadanya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup” (1Kor. 8:6). 6.4.2. Dokumen Konsili Vatikan II: Gaudium Et Spes Dalam Gaudium Et spes ditegaskan bahwa dalam situasi apapun aborsi adalah kejahatan yang mengerikan. Apalagi pembunuhan bermotif banyaknya anak, ekonomi dan ketidakharmonisan keluarga. Pembunuhan anak melanggar hukum ilahi. Sebab Allah, Tuhan kehidupan telah mempercayakan kepada manusia tugas luhur memelihara kehidupan. Dengan demikian suami istri harus hormat terhadap kehidupan manusia melampaui hal-hal yang pada derajat-derajat kehidupan yang lebih rendah. Maka, sejak pembuahan kehidupan 2012 20 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 21 harus dilindungi dengan perawatan yang baik karena anak adalah ciptaan Allah menurut gambar-Nya. 6.4.3. Kitab Hukum Kanonik 1983 “Barang siapa melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena ekskomunikasi yang bersifat otomatis” (Kan. 1398). Artinya, hukuman otomatis menimpa siapa saja yang bersalah karena aborsi. Ekskomunikasi juga kena pada semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Dengan sanksi ini Gereja mau menjelaskan bahwa aborsi adalah salah satu dari kejahatan yang terberat dan paling berbahaya. Sedangkan ekskomunikasi bertujuan menyadarkan orang agar mengerti betapa berat dosa tertentu dan dengan demikian mendukung penyesalan dan tobat yang sesuai. Pandangan kitab hukum kanonik tentang aborsi juga tetap berdasar pada Kitab Suci, walaupun Kitab Suci tidak secara eksplisit berbicara tentang aborsi dan tidak mematok larangan langsung dan spesifik. Kitab Suci berangkat dari perintah Allah, “Jangan membunuh” sebab manusia sejak dari rahim ibunya milik Allah (bdk. Yer 1:5). Manusia sejak awalnya adalah sakral. Kitab hukum kanonik melihat bahwa perintah ini merupakan perintah Allah, “Jangan membunuh”, diterapkan pada kehidupan yang belum lahir (janin). Maka, perbuatan aborsi akan terkena sanksi yuridis, ekskomunikasi yang bersifat otomatis. 6.4.4. Paus Paulus VI: Humanae vitae Dalam ensikliknya yang promulgasikan pada tanggal 25 Juli 1968 beliau menghimbau keluarga-keluarga agar tetap menghormati hasil prokreasi seturut kehendak Allah. Penghentikan proses generatif, terutama pengguguran yang disengaja harus ditolak. Aborsi tidak boleh dipergunakan sebagai alat untuk mengkontrol kelahiran. Tugas melanjutkan keturunan merupakan tugas yang paling berat namun juga merupakan sumber kegembiraan besar seperti yang dialami oleh Elisabet yang di sebut mandul. Ia bersyukur dan memuji Tuhan ketika mengetahui bahwa ia hamil pada masa tuanya. Kegembiraan ini tentunya ada karena ada kerinduan sebelumya. 6.4.5. Paus Yohanes Paulus II: Evangelium Vitae Dalam ensikliknya yang promulgasikan pada tanggal 25 Maret 1995, ia menjelaskan bahwa perbuatan yang paling jahat adalah aborsi karena melanggar kehidupan. Ia menjelaskan bahwa segala kejahatan yang dapat dilaksanakan manusia melawan kehidupan terutama aborsi. Tetapi dewasa ini banyak orang mulai meredupkan penilaian beratnya kejahatan itu. Kesadaran moral mulai menipis sehingga banyak orang tidak mampu membedakan antara baik dan buruk. Hak asasi atas manusiapun mulai dipertaruhkan. Mengingat keadaan yang serius ini maka, diperlukan keberanian untuk menetapkan 2012 21 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 22 kebenaran sehingga keluarga-keluarga Katolik tidak jatuh pada sikap kompromis dengan memakai sebutan sebenarnya. Menangani masalah ini Paus mengutip teguran Nabi Yesaya: “Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan” (Yes. 5:20). 6.5. Kasus-kasus Khusus Aborsi Beberapa kasus khusus aborsi perlu dibahas untuk mengklarifikasi sehingga tidak membingungkan. 6.5.1. Aborsi dengan Indikasi Medis. Yang disebut aborsi dengan indikasi medis adalah aborsi yang dilakukan oleh karena adanya tanda atau keadaan yang menunjukkan atau menggambarkan bahwa pelangsungan kehamilan akan menyebabkan kerusakan serius pada kesehatan ibu yang tidak bisa dipulihkan atau bahkan menyebabkan kematian ibu. Maka, penilaian moral terhadap kasus ini adalah kita tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah karena apa yang dilakukannya bukan berdasarkan kemauannya tetapi demi keselamatannya. Jadi, Gereja Katolik melihat bahwa aborsi dengan cara demikian tidak melanggarkan moral. Tetapi tetap ditegaskan bahwa Gereja tetap tidak mengizinkan aborsi. Kasus diatas diperbolehkan sejauh tidak ada jalan lain. 6.5.2. Konflik Antara Nyawa Ibu dan Bayinya Kasus yang paling dramatis adalah kasus di mana terjadi konflik frontal antara nyawa ibu dan bayinya. Apabila secara obyektif dalam perhitungan medis dinyatakan bahwa terjadi suatu keadaan di mana melanjutkan kehamilan bisa mematikan baik ibu maupun bayinya. Menghadapi keadaan seperti di atas yang perlu dipilih adalah apa yang paling mungkin diselamatkan. Kalau yang paling mungkin diselamatkan adalah ibunya maka ibunya harus diselamatkan; bila bayinya yang paling mungkin maka dia yang diselamatkan. Daripada kedua-duanya mati, maka lebih baik memilih satu di antaranya. Tetapi ini bukan berarti bahwa hidup ibunya lebih berarti daripada bayinya, melainkan kita berhadapan dengan situasi di mana hanya ada dua pilihan: membiarkan keduanya mati atau menyelamatkan nyawa ibunya. Maka, pilihan menyelamatkan ibunya adalah pilihan yang paling baik. Melihat kasus seperti itu, moralis katolik seperti Bernard Haring mengatakan bahwa, “Di sini bukanlah masalah lebih memilih ibunya daripada bayinya atau lebih memilih bayinya daripada ibunya, tetapi sebuah pilihan di antara hidup yang dapat diselamatkan dan hidup yang tidak dapat diselamatkan”. 7. 2012 PENUTUP 22 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 23 Proses pembuahan seharusnya alami dalam hubungan pasangan suami istri (pasutri). Proses pembuahan bersifat kudus dan Ilahi. Tindakan kreatif Allah (the creative action of God) dan bukan tindakan kreatif manusia (the creative action of man) yang menentukan proses terjadinya pembuahan. Munculnya manusia di dunia ini bukan hanya melalui proses hukum biologis tetapi berhubungan dengan kehendak Allah. Allahlah yang menjadi Tuhan atas manusia dan bukan manusia yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Itu sebabnya Gereja Katolik menegaskan bahwa tidak ada ahli biologis dan dokter yang berhak menentukan asal muasal dan takdir manusia berdasarkan kompetensi yang mereka miliki. Pria dan wanita dipanggil untuk mengaktualisasikan nilai-nilai fundamental cinta dan hidup dalam seksualitas dan prokreasi. Allah yang adalah kasih dan hidup telah mengukir dalam diri pria dan wanita panggilan khusus untuk saling berbagi dalam misteri persekutuan personal dan karya-Nya sebagai Pencipta dan Bapa. Mencegah dan mengintervensi terjadinya pembuahan menjadi permasalahan moral dalam Gereja Katolik. Alasannya sangat masuk akal, sangat teologis-biblis dan spiritualis. Tindakan mencegah prokreasi dan memanipulasi pembuahan dan siklus reproduksi adalah tindakan yang contra naturam. Tindakan semacam ini telah mereduksi manusia sebagai objek teknologi biologis dan medis semata. Apa yang secara teknis mungkin, bukanlah alasan untuk secara moral diterima begitu saja. Gereja Katolik meyakini bahwa makhluk dalam rahim haruslah buah dari kasih orang tua. Anak harus dikandung dalam rahim ibu bukan dalam rahim laboratorium. Anak dilahirkan bukan dibuat! Ia tak boleh diingini atau dikandung sebagai hasil intervensi teknik-teknik biologis atau medis. Mencermati analisisanalisis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Gereja menolak teknologi yang (1) mencegah terjadinya prokreasi; (2) pembuahan tanpa persetubuhan; (3) penghancuran embrio dan pengobjekan manusia. Gereja Katolik sangat kuat mempertahankan pandangannya bahwa aborsi harus dilarang karena berkaitan dengan hak asasi manusia. Manusia mempunyai hak asasi karena ia adalah manusia ciptaan Allah. Ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Hak asasi itu datang dari kodratnya sebagai manusia dan menyatu lekat dengan martabatnya sebagai manusia. Hak itu tidak dapat diberi atau diambil oleh orang lain atau institusi lain, melainkan melekat dengan dirinya sebagai manusia. Sejak manusia ada hak itu melekat padanya dan akan hilang bersama perginya manusia dari dunia ini (meninggal). Bagi seorang manusia, hidup adalah nilai fundamental untuk dapat merealisasikan nilai-nilai lainnya. Maka, hak untuk hidup menjadi syarat utama dan mendasar ketika berbicara mengenai hak asasi manusia. Manusia diciptakan menurut gambar Allah. Dalam Kitab suci dikisahkan bahwa 2012 23 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 24 Allah melarang melakukan pembunuhan terhadap sesama. Berdasarkan kenyataan di atas Gereja menganjurkan agar pewartaan akan luhurnya pribadi manusia harus terus diwartakan karena manusia adalah luhur. Daftar Pustaka 1. 2012 Al. Purwo Hadiwardoyo MSF, Dr., Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta, 1992. 24 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 25 2. Bertens, K, Etika Biomedis, Kanisius, Yogyakarta, 2011. 3. Gunawan Setiardja, A., Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990. 4. Richard M. Gula, S.S., Etika Pastoral, Kanisius, Kanisius, Jakarta, 2009. 5. Konferensi Wali Gereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik 1983, Jakarta: KWI, 2006. 6. Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah, Arnoldus Ende, 2007. 7. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Buku Informasi dan Referensi, KanisiusObor, Yogyakarta, 1996. 8. Jacobus Tarigan, Pr, Religiositas Agama dan Gereja Katolik, PT Grasindo, Jakarta, 2007. 9. http://postinus.wordpress.com/2010/10/05/tanggapan-gereja-katolik-terhadap-teknologikontrasepsi-dan-teknologi-reproduksi/ 10. http://andosipayung.wordpress.com/2013/12/28/mengapa-gereja-katolik-melarangaborsi/ 11.---------, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1991. 2015 Pendidikan Agama Katolik 24 Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H. 2012 25 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 26 2012 26 Pendidikan Agama Islam Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id