TINJAUAN PUSTAKA A. ENZIM ARABINOSA ISOMERASE L-Arabinosa isomerase (AI) merupakan enzim intraseluler yang berdasarkan klasifikasi enzim secara internasional atas reaksi yang dikatalisisnya diberi nomor kode EC 5.3.1.4. Enzim AI dapat mengkatalisis secara revesible reaksi isomerisasi L-arabinosa menjadi L-ribulosa dan D-galaktosa menjadi D-tagatosa. Perubahan L-arabinosa menjadi L-ribulosa terjadi secara in vivo, sedangkan perubahan Dgalaktosa menjadi D-tagatosa dapat terjadi secara in vitro (Lee et al 2004). Pada awalnya enzim AI diketahui karena kemampuan beberapa mikroorganisme menggunakan L-arabinosa sebagai sumber karbon. L-arabinosa akan dirubah menjadi D-selulosa-5-posfat yang merupakan reaksi intermediet dalam jalur pentosa fosfat. Reaksi tahap pertama pada jalur tersebut adalah terjadinya perubahan arabinosa menjadi L-ribulosa oleh enzim arabinosa isomerase (AI). Kemampuan AI dalam mengkatalisis reaksi isomerisasi galaktosa menjadi tagatosa dikarenakan kemiripan struktur konfigurasi antara galaktosa dengan L-arabinosa (Yoon et al 2003). Karena dapat mengkatalisis reaksi isomerisasi pada D-galaktosa, enzim AI sering juga disebut sebagai galaktosa isomerase (Zang et al 2010). Gambar 2. Reaksi isomerisasi yang dikatalisis oleh enzim AI (Lee et al 2004) 5 Enzim AI dapat dihasilkan oleh mikroorganisme mesofilik dan termofilik. Aerobacter aerogenes, Lactobacillus plantarum, L. gayonii, L. pentosus,L. sakei, E. coli, Mycobacterium smegmatis, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis dan B. halodurans merupakan mikroorganisme mesofilik penghasil enzim AI yang telah diteliti. Sedangkan mikroorganisme termofilik penghasil enzim AI yang sampai saat ini telah dipelajari antara lain seperti Thermus sp. Thermoanaerobacter mathranii, Alicyclobacillus acidocaldarius, Thermotoga neapolitana, Thermotoga maritima,, Geobacillus stearothermophilus, G. thermodenitrificans dan Acidothermus cellulolytics (Zhang et al 2007; Prabhu et al 2008; Rhimi et al 2010). Enzim AI dikodekan oleh gen araA yang terletak pada kompleks gen Larabinosa. Gen araA terdiri dari sekitar 1494 – 1535 pasang basa (bp). Jumlah pasang basa yang dimiliki gen araA tergantung mikroorganisme asalnya. Gen araA G. stearothermophilus strain lokal memiliki 1512 pasang basa (Fitriani & Saksono 2010). B. stearothermophilus US 100, G. stearothermophilus, dan G. thermodenitrificans mengekspresikan enzim AI yang berukuran 56 kDa (Rhimi & Bejar 2006; Kim & Oh 2005). Sebagian besar AI terdiri dari 4 (tetramer) struktur sekunder yang berbentuk alfa-heliks. Kecuali AI dari E. coli yang berupa hexamer (Wallace et al 1978). Asam amino yang berada pada sisi aktif enzim AI adalah asam glutamat pada posisi 305 dan 330. Sisi aktif AI akan mengikat substrat arabinosa ataupun galaktosa untuk dikatalisis menjadi produk. Struktur AI pada saat mengikat substrat galaktosa dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini. Gambar 3. Model molekul AI ketika mengikat galaktosa (Kim et al 2009) 6 Enzim AI dari bakteri termofilik memiliki pH optimum 7.0-8.5, dengan pH isoelektrik sekitar 5.0-5.8 dan suhu optimum antara 60-90ºC. Sebagian besar enzim AI membutuhkan ion logam Mn 2+ dan Co2+ sebagai kofaktor. Penggunaan Co 2+ sebagai kofaktor untuk menghasilkan bahan pangan tidak direkomendasikan karena bahaya kesehatan yang ditimbulkannya (Jorgensen et al 2004). Aktivitas katalisis dan stabilitas beberapa enzim AI juga ada yang meningkat dengan keberadaan ion Fe2+, Mg2+, dan Ca2+ (Oh 2007; Kim & Oh 2005). Tidak adanya ion logam sebagai kofaktor menyebabkan aktifitas enzim AI lebih rendah (Lee et al 2005a). B. TAGATOSA Tagatosa adalah monosakarida dengan rumus empiris C6H12O6 dan berat molekulnya (Mr) 180,6. Tagatosa termasuk hekso-ketosa alami, akan tetapi jarang terdapat di alam. Tagatosa hanya ditemukan dalam jumlah sedikit pada beberapa buah, produk susu dan cokelat. Tagatosa memiliki struktur molekul yang hampir sama dengan fruktosa dan telah dikenal sebagai komponen yang aman digunakan pada bahan pangan dan produk farmasi. Food and Drug Administration Amerika Serikat (U.S. FDA) telah menetapkan tagatosa sebagai GRAS (Generally Recognized As Safe) komponen (Levin 2002). Gambar 4. Perbandingan struktur molekul tagatosa dan fruktosa (Skytte 2006) Suhu leleh dari tagatosa adalah 134ºC, dan stabil pada pH 2–7. Tagatosa 0 memiliki kelarutan yang tinggi [58% (w/w) pada 21 C]. Karakter humektan tagatosa sama dengan sorbitol. Sifat higroskopis dari tagatosa lebih rendah jika 7 dibandingkan fruktosa. Viskositas tagatosa lebih rendah dibandingkan sukrosa pada konsentrasi yang sama, akan tetapi sedikit lebih tinggi dibandingkan fruktosa dan sorbitol. Pada suhu tinggi, reaksi Maillard dan karamelisasi oleh tagatosa akan memberikan warna coklat seperti yang dihasilkan oleh sukrosa (Levin 2002). Tabel 1. Karakteristik fisik dan kimia tagatosa (Levin 2002; Skytte 2006) Karakteristik Nama umum Sinonim Melting point Bulk density (g/ml) Optical rotation Bentuk fisik Nilai kalori Odor, cooling effect dan Karsinogenesitas Penjelasan D-Tagatosa, Tagatosa D-lyxo-hexulose 133-137ºC 0.7-0.9 a D20 = - 5ºC (c =1 dalam H2O) Kristal < 1,5 kcal/g Tidak ada Lu et al (2007) menyatakan bahwa tagatosa digunakan sebagai produk antidiabetes dan pengendali obesitas. Tagatosa bisa meningkatkan high density lipoprotein (HDL) dan mencegah kanker kolon. Kemampuan tagatosa dalam mengendalikan gejala hiperglikemia dikarenakan tagatosa dapat menjadi inhibitor bagi enzim maltase dan sukrase. Mekanisme tagatosa sebagai inhibitor enzim maltase dan sukrase dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5. Salah satu mekanisme tagatosa sebagai produk antidiabetes dan hiperglikemia (Lu et al 2007) 8 Konsumsi tagatosa tidak menyebabkan kerusakan gigi dan efek laktasif. Tagatosa lambat diserap oleh saluran intestinal sehingga tidak berakibat pada naiknya indeks glikemik secara cepat (Lu et al 2007). Gambar 6 memperlihatkan perbandingan respon glikemik dari tagatosa dibandingkan pemanis lainnya. Menurut Skytte (2006) hanya sekitar 25% tagatosa yang diserap pada usus halus, sisanya 75% akan difermentasi dalam usus besar oleh mikroflora menjadi asam lemak rantai pendek. Tagatosa dapat meningkatkan pertumbuhan Lactobacillus dan bakteri asam laktat lainnya. Manfaat prebiotik tagatosa telah dipelajari pada manusia dan hewan (Skytte 2006). Gambar 6. Perbandingan respon glikemik tagatosa dengan beberapa pemanis (Skytte 2006) Konsentrasi penggunaan tagatosa pada produk pangan bervariasi. Tagatosa digunakan sebanyak 1% pada minuman diet berkarbonasi, 2% pada produk roti, 3% pada es krim dan 15% produk candies khusus untuk penderita diabetes (Dobbs & Bell 2010). Amerika Serikat, Korea, New Zeland dan Australia telah menerapkan penggunaan tagatosa dalam produk-produk minuman, confectionary, makanan kesehatan dan pemanis rendah kalori. 9 Tabel 2. Manfaat kesehatan dan aplikasi tagatosa pada produk pangan (Oh 2007) Manfaat kesehatan Rendah kalori Jenis produk pangan Makanan rendah karbohidrat, sereal, minuman ringan dan health bars Diabetic food (tipe 2) Supplemen Cokelat, candies, chewing gum Yogurt, bakery, minuman susu dan confectionary No glycemic effect Anti halistosis Prebiotik Flavor enhancement C. KONSEP DNA REKOMBINAN Prinsip teknologi rekombinasi DNA yaitu menggabungkan molekul fragmen DNA atau gen dari organisme yang berbeda sehingga menghasilkan kombinasi baru yang sebenarnya tidak terdapat secara alami (Glick & Pasternak 2003). DNA dari manusia, hewan, tumbuhan dan mikroorganisme dapat direkombinasi. DNA rekombinan buatan sangat berguna dalam penelitian genetika. Teknologi DNA rekombinan terus mengembangkan metode untuk isolasi dan menyatukan gen menjadi kombinasi baru. Tahap awal dari rekombinasi adalah isolasi gen target. Isolasi gen dapat dilakukan dengan 2 cara yakni pemotongan secara langsung dan isolasi mRNA untuk persiapan cDNA. Enzim endonuklease restriksi digunakan untuk memotong untai DNA. Sedangkan DNA ligase berguna untuk menggabungkan fragmen-fragmen DNA. Apabila menggunakan metode isolasi mRNA, maka harus berdasarkan prinsip reverse transcription dan memerlukan penyusunan DNA primer. Gen yang telah diperoleh kemudian disisipkan pada vektor pembawa yang akan membawa gen ke dalam sel inang (host). Sel inang yang telah ditransformasi kemudian diseleksi dan digunakan ataupun dikembangkan sebagai organisme penghasil DNA rekombinan (Lehninger 2004). 1. Plasmid Cara insersi gen asing ke dalam sel inang pada teknik rekombinasi DNA dapat dilakukan dengan plasmid, bakteriophage, cosmid dan kromosom buatan (Prescott 2002). Plasmid dan bakteriophage merupakan vektor yang paling banyak digunakan. Plasmid adalah DNA berbentuk lingkaran yang ditemukan dalam sitoplasma spesies bakteri. Plasmid mengandung gen yang melakukan 10 replikasi, transkripsi dan translasi secara terpisah, tetapi dalam waktu yang bersamaan dengan kromosom. Plasmid memiliki sifat istimewa, sehingga sangat bermanfaat dalam teknik rekayasa genetika. Plasmid dapat melewati sel, pindah dari sel yang satu ke sel lainnya atau dari satu spesies bakteri ke spesies lainnya. Penggabungan gen asing ke dalam plasmid dapat dilakukan dengan mudah. Selain itu, plasmid dapat disisipi atau terkadang telah memiliki penanda seleksi (Tortora et al 2010). Plasmid juga bisa digunakan sebagai vektor ekspresi. Ekpresi adalah perubahan fragmen DNA atau gen menjadi protein spesifik melalui tahap transkripsi dan translasi. Untuk ekspresi, plasmid harus memiliki signal pemulai tahapan transkripsi dan translasi yang diperlukan. Tingkat ekspresi gen yang dikloning dikendalikan oleh sekuen promoter dan regulator yang terdapat pada vektor ekpresi tersebut. Promoter dan regulator memberikan isyarat tempat dimana RNA polimerase berikatan dan mulai melakukan proses transkripsi (Lehninger 2004). Pemakaian teknologi rekombinasi DNA dibidang produksi enzim secara lebih spesifik dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya aplikasi gen terpilih melalui plasmid. Pemindahan gen penyandi enzim suatu mikroba atau organisme yang bersifat unggul ke dalam mikroba lain dapat dilakukan dengan cara mengisolasi mengintegrasikannya gen ke yang diinginkan. dalam plasmid Kemudian tertentu. memindahkan dan Selanjutnya dilakukan amplifikasi gen yang diinginkan sehingga dapat meningkatkan produksi protein fungsional yang diturunkan dari gen tersebut (Suhartono 1989). Gambar 7. Plasmid sebagai vektor ekspresi (Koolman & Roehm 2005) 11 2. Plasmid pET-21b(+) dan Inang E. coli BL21 (DE3) pLysS Plasmid pET-21b(+) merupakan salah satu plasmid yang dirancang untuk mengekspresikan gen target yang telah membawa situs pengikatan ribosom dan kodon pemulai (start codon). pET-21b(+) berukuran 5442 bp dimana peta konstruksi sistem ekspresinya terdiri dari sebuah gen lacI yang mengkode protein represor, sebuah promoter T7 yang spesifik untuk hanya T7 RNA polimerase (bukan bakteri RNA polimerase dan juga tidak terdapat dalam genom prokariotik), operator lac (lac O) yang dapat menghalangi transkripsi, multiple cloning site (MCS), sebuah gen replikasi asli dari plasmid alaminya (pBR322 ORI), dan suatu gen resistensi ampisilin (Blaber 1998). Gambar 8 menampilkan secara garis besar peta plasmid kontruksi pET-21b(+). Sistem pET memberikan hasil ekspesi protein target yang tinggi dan sangat kuat dalam mengendalikan ekpresi basal yang tidak diinginkan. Sistem pET plasmid yang berdasarkan T7 promoter merupakan yang paling tepat untuk kloning dan ekspresi DNA rekombinan di dalam E. coli (Studier & Moffatt 1986; Novagen 1999). Gambar 8. Peta plasmid pET-21b(+) secara garis besar Bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS mempunyai stabilitas yang tinggi dalam ekspresi protein. Inang ekspresi ini membawa gen T7 RNA polimerase dibawah kontrol promoter lacUV5. E. coli BL21 memiliki plasmid pLysS, plasmid ini akan mengkode sejumlah kecil lisosim T7 yang mempunyai kontrol yang tinggi terhadap ekspresi protein toksik dan resisten terhadap kloramfenikol. 12 Plasmid pLysS mempunyai sedikit inhibisi terhadap T7 RNA polimerase sehingga perlu diinduksi oleh isopropyl-ß -D-thiogalactopyranoside (IPTG). IPTG menginduksi T7 RNA polimerase dengan promoter lacUV5 sehingga ekspresi protein rekombinan dapat maksimal (Sambrook & Russell 2001). 3. Mekanisme Ekspresi Gen Target pada Kombinasi Plasmid pET-21b dan E. coli BL21 Ekpresi protein pada sistem pET21b(+) dan inang E. coli BL21 merupakan sistem operon indusibel yang sangat kompleks. Operon adalah kelompok gen yang diatur secara terkoordinasi dengan fungsi yang saling terkait. Operon terdiri dari promoter, operator, kompleks gen penyandi protein fungsional dan gen pengkode represor yang berada pada bagian terluar dari operon. Promoter berfungsi sebagai tempat RNA polimerase mengawali proses transkripsi. Operator sebagai saklar yang akan menentukan perlu atau tidaknya ekspresi suatu protein atau peptida pada operon. Saklar operator akan aktif apabila represor terlepas dari operator (Campbell et al 2003). Plasmid pET21b yang telah mengandung gen target pada posisi hilir dari T7 promoter dimasukkan ke dalam inang E. coli BL21. E. coli BL21 telah mengandung gen T7 faga yang akan menghasilkan T7 RNA polimerase. T7 RNA polimerase ini hanya bekerja dan memulai transkripsi pada situs promoter T7 (yang dalam hal ini terdapat pada plasmid pET21b[+]). Pembentukan T7 RNA polimerase diatur melalui operon tersendiri yang telah dikonstruksi pada genom E. coli BL21 (Sambrook & Russell 2001). Penambahan senyawa IPTG akan menyebabkan represor tidak dapat menginkatifkan operator yang awalnya memblok proses transkripsi, sehingga T7 RNA polimerase dihasilkan yang selanjutnya memulai tahapan transkripsi pada T7 promoter gen target. Karena T7 merupakan promoter dari virus, maka gen target akan ditranskripsikan secara cepat selama RNA polimerase ada (Sambrook & Russell 2001). Ekspresi gen target akan naik secara cepat sebagaimana jumlah mRNA yang ditranskripsikan juga meningkat. Mekanisme pada plasmid ini serupa dengan mekanisme pemanfaatan laktosa oleh lac operon bakteri. 13 SEL INANG Gambar 9. Mekanisme ekspresi gen target pada E. coli BL21 (DE3) pLysS pET21b(+) araA (Sambrook & Russell 2001). D. PURIFIKASI DAN KARAKTERISASI ENZIM Isolasi dan pemurnian enzim intraseluler mikrobial dapat dilakukan dengan cara pemecahan dinding sel. Pemecahan dinding sel bisa secara mekanis dan non mekanis. Teknik freeze-thaw merupakan teknik pemecahan dinding sel non mekanis dengan manipulasi lingkungan. Freeze-thaw dapat memisahkan protein target dari protein membran dan inclusion bodies. Perlakuan pembekuan dan pencairan sel secara cepat akan mengakibatkan rusaknya dinding sel. Pembentukan kristal es merupakan faktor utama penyebab kerusakan ini. Yang perlu diperhatikan dalam proses pemecahan sel melalui cara freeze-thaw adalah penggunaan suhu dibawah -20ºC, perlakuan yang cepat dan sistem pelarut sel. Pada proses penghancuran ditambahkan buffer atau cairan sehingga memudahkan proses ekstraksi (Suhartono, 1989). Pemisahan partikel dari cairan termasuk bagian penting operasi dalam isolasi enzim. Pemisahan dilakukan untuk memisahkan sel dari cairan kultur dan penggumpalan presipitat enzim. Enzim intraseluler yang telah dikeluarkan, 14 dipisahkan dari bagian sel dan dindingnya dengan proses sentrifugasi. Pemisahan dengan sentrifugasi merupakan sistem pemisahan berdasarkan berat. Partikel dengan berat yang berbeda akan mengendap pada kecepatan yang berbeda. Proses sentrifugasi pada enzim sebagian besar dilakukan pada suhu rendah, sehingga kehilangan aktivitas enzim dapat dijaga seminimal mungkin (Suhartono, 1989). Pemurnian atau purifikasi enzim adalah memisahkan enzim target dari selainnya. Tujuan pemurnian enzim adalah mendapatkan enzim target dalam keadaan murni. Untuk enzim termofolik, pemurnian dengan perlakuan panas sering kali dilakukan. Dengan perlakuan panas akan memisahkan enzim yang tahan panas dari protein lain yang tidak tahan panas. Hal penting yang harus diperhatikan dalam merencanakan tahapan pemurnian yaitu mempertahankan aktivitas enzim atau mengurangi proteolisis dan denaturasi aktivitas enzim murni serta menentukan jumlah enzim yang dibutuhkan. Enzim yang kasar dan murni dapat digunakan untuk tujuan komersial. Sedangkan untuk keperluan laboratorium diperlukan enzim murni (Harris 1989). Pemurnian enzim seringkali menggunakan kolom kromatografi. Terdapat 5 teknik kromatografi kolom yang sering digunakan antara lain seperti: kromatografi pertukaran ion, kromatografi gel filtrasi, kromatografi afinitas, kromatografi interaksi hidrofobik dan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) (Sheehan 2009). Kromatografi penukar ion memanfaatkan perbedaan afinitas antara molekul bermuatan di dalam larutan dengan senyawa yang tidak reaktif yang bermuatan berlawanan sebagai pengisi kolom. Golongan senyawa ini merupakan polimer terhidratasi yang bersifat tidak larut seperti selulosa, dekstran dan agarosa. Gugus penukar ion diimobilisasikan pada matriks. Matriks selulosa biasanya digunakan untuk memisahkan protein (termasuk enzim), polisakarida dan asam nukleat. Beberapa gugus penukar anion yaitu aminoetil (AE-) kuntenari aminoetil (QAE-) dan dietil aminoetil (DEAE-), sedangkan gugus penukar kation yaitu sulfopropil (SP-), metil sulfonat dan karboksimetil (CM-) (Widyastuti 2007). Kromatografi penukar ion dilakukan dengan mengelusi protein enzim menggunakan buffer awal yang telah diatur. Protein enzim yang diharapkan terikat pada kolom kemudian dilepaskan dengan cara mengubah pH buffer atau 15 kekuatan ionik pelarut (Phage & Thorpe 2009). Molekul enzim atau protein terdiri atas muatan positif dan negatif tergantung pada rantai samping asam amino asam dan basa. pH pada kondisi jumlah muatan positif dan muatan negatif sama disebut titik isoelektrik (pI). pI sebagian besar protein berkisar antara pH 5 dan 9. Protein yang berada pada kondisi pH diatas pI akan bermuatan negatif, dan apabila pH dibawah pI akan bermuatan positif (Lehninger 2004). Karboksimetil selulosa (CMC) dan dietilaminoetil (DEAE) selulosa merupakan penukar ion yang banyak dipakai untuk keperluan fraksinasi enzim. Apabila kondisi elusi dapat dijaga dengan hati-hati, tingkat kemurnian yang tinggi seringkali dapat dicapai. Agar enzim dapat bekerja secara optimal, perlu diketahui karakteristik biokimiawi enzim, seperti suhu dan pH optimum, pengaruh ion logam, stabilitas panas dan lainnya. Kondisi lingkungan harus menunjang kondisi yang dibutuhkan enzim untuk dapat berfungsi sebagai katalis suatu reaksi (Buchholz et al 2005). Enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi. Apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim akan berkurang dan kecepatan reaksinya juga akan menurun. Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan kecepatan reaksi, akan tetapi kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya proses denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi. Peningkatan suhu tertentu menyebabkan semakin meningkatnya aktivitas katalitik enzim tetapi juga semakin bertambahnya kerusakan enzim (Illanes 2008). Struktur protein menentukan aktivitas enzim, jika strukturnya terganggu maka aktivitasnya akan berubah pula. Kenaikan suhu sampai batas tertentu dalam suatu reaksi menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi karena bertambahnya energi kinetik yang mempercepat gerak vibrasi, translasi dan rotasi enzim dan substrat sehingga memperbesar peluang keduanya untuk bereaksi. Pada suhu yang lebih besar dari batas reaksi, protein enzim dapat mengalami perubahan konformasi yang bersifat detrimal yaitu berubahnya susunan tiga dimensi yang khas dari rantai polipeptida. Hal yang sama juga dapat terjadi pada substrat yang perubahan konformasinya dapat menyebabkan gugus reaktifnya akan mengalami kesulitan pada saat memasuki sisi aktif enzim (Machielsen et al 2007). 16 Seperti protein pada umumnya, struktur ion enzim tergantung pada pH lingkungannya. Enzim dapat berbentuk ion positif, ion negatif atau ion bermuatan ganda (zwitter ion). Dengan demikian perubahan pH lingkungan akan berpengaruh terhadap aktivitas bagian aktif enzim dalam bentuk kompleks enzim substrat. Disamping pengaruh struktur ion pada enzim, pH rendah atau pH tinggi dapat pula menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan menyebabkan menurunnya aktivitas enzim (Lehninger 2004) Enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada dalam tingkat ionisasi yang diinginkan. Nilai pH optimum tidak perlu sama dengan pH lingkungan normalnya, dengan pH yang mungkin sedikit berada diatas atau dibawah pH optimum. Aktivitas katalitik enzim dalam sel mungkin diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium atau lingkungan (Lehninger 2004). Banyak enzim yang memerlukan tambahan komponen kimia bagi aktivitasnya. Komponen ini disebut dengan kofaktor. Kofaktor bisa berupa molekul organik seperti ion Fe, Mn dan Zn atau mungkin juga molekul organik kompleks yang disebut koenzim seperti tiamin pirofosfat, FAD serta koenzim A. Beberapa enzim memerlukan satu atau lebih kofaktor dan koenzim bagi aktivitasnya. Pada beberapa enzim, koenzim atau ion logam hanya terikat secara lemah atau dalam waktu sementara. Akan tetapi pada beberapa enzim lainnya senyawa ini terikat kuat dan permanen. Dalam hal ini disebut gugus prostetik. Enzim yang strukturnya sempurna dan aktif mengkatalisis bersama-sama dengan koenzim atau gugus logam lainnya disebut holoenzim. Koenzim dan ion logam bersifat stabil selama pemanasan, sedangkan bagian protein enzim yang disebut apoenzim akan terdenaturasi oleh pemanasan (Illanes 2008). Ion logam mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan enzim. Logam biasanya berperan sebagai pengatur aktivitas enzim. Ion logam dapat mengaktifkan enzim melalui berbagai kemungkinan seperti : 1) menjaga bagian internal enzim, 2) menghubungkan enzim dengan substrat 3) merubah konstanta keseimbangan reaksi enzim 4) merubah tegangan permukaan reaksi enzim 5) menghilangkan inhibitor, 6) menggantikan ion logam yang tidak efektif pada sisi 17 aktif enzim maupun substrat, dan 7) merubah konformasi enzim menjadi konformasi yang lebih aktif (Whitaker et al 2003). Beberapa jenis enzim mengandung ion logam yang telah terikat ataupun memerlukan ion logam yang sengaja ditambahkan bagi aktivitasnya. Metaloenzim mengandung ion logam fungsional dalam jumlah pasti, yang dipertahankan selama proses pemurnian. Enzim yang diaktifkan oleh logam memperlihatkan ikatan yang lebih lemah dengan logam, dan dengan demikian memerlukan logam tambahan. Oleh karena itu, perbedaan metaloenzim dengan enzim yang diaktifkan oleh logam terletak pada afinitas suatu enzim tertentu terhadap ion logamnya (Bugg 2004). Seperti halnya katalisator, enzim dapat mempercepat reaksi kimia dengan menurunkan energi aktivasinya. Kemampuan enzim merubah substrat menjadi produk disebut sebagai aktivitas enzim. Dengan persetujuan internasional, 1,0 unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah yang menyebabkan pengubahan 1,0 mikromol (10 -6 mol) substrat per menit pada keadaan pengukuran optimal. Aktivitas spesifik adalah jumlah unit substrat yang dirubah per milligram enzim (Lehninger 1982). E. SODIUM DEDOSIL SULFAT ELEKTROFORESIS (SDS-PAGE) POLIAKRILAMID GEL Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) merupakan metode analisis protein secara kualitatif yang paling banyak digunakan. Secara umum SDS-PAGE bermanfaat untuk menganalisis kemurnian protein. Dan karena dapat memisahkan protein berdasarkan ukuran, maka metode ini juga dapat digunakan untuk menentukan berat molekul relatif protein (Walker 2009). Elektroforesis adalah peristiwa perpindahan partikel-partikel bermuatan karena pengaruh medan listrik. Pada tahapan SDS-PAGE, protein didenaturasi menggunakan panas, ß-merkaptoetanol, dan SDS. Protein yang terdenaturasi akan bereaksi dengan SDS yang merupakan deterjen anionik membentuk kompleks yang bermuatan negatif. Protein dalam bentuk kompleks yang bermuatan negatif ini akan dapat dipisahkan berdasarkan muatan dan ukurannya secara elektroforesis di dalam matriks gel poliakrilamid. Berat molekul protein dapat diukur dengan 18 bantuan protein standar (marker) yang telah diketahui berat molekulnya melalui perbandingan nilai mobilitas relatif (Rf) (Lehninger 2004). Gel poliakrilamid tersusun atas monomer monoakrilamid yang membentuk ikatan silang dengan bantuan ammonium persulfat (APS) dan N,N,N,Ntetramethylethylenediamine (TEMED). Ukuran pori gel poliakrilamid bergantung pada konsentrasi akrilamid. SDS-PAGE terdiri dari 2 gel yaitu stacking gels dan separating gels. Stacking gels memiliki kandungan akrilamid yang lebih rendah sehingga memiliki pori yang lebih besar. Stacking gels berfungsi sebagai media agar protein terdenaturasi yang telah bermuatan negatif bergabung atau berasosiasi membentuk elips masuk kedalam separating gel. Separating gels yang memiliki pori yang lebih kecil kemudian akan memisahkan protein berdasarkan ukuran. Protein yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat melewati pori-pori pada separating gels (Walker 2009). SDS-PAGE dilakukan dengan posisi berdiri, dimana pada bagian bawah gel diberi buffer anoda (bermuatan positif) dan dibagian atas gel diberi buffer katoda (bermuatan negatif). Kompleks protein-SDS yang telah bermuatan negatif akan bergerak melewati gel poliakrilamid menuju anoda dengan bantuan medan listrik dan buffer elektroforesis. Laju pergerakan protein bergantung pada ukuran pori dan kekuatan medan listrik. Setelah dilakukan elektroforesis, gel divisualisasi dengan pewarnaan. Pewarnaan protein dalam gel dapat dilakukan dengan pewarna Coomassie Brilliant Blue R-250 atau pewarna perak (silverstain). Dengan pewarnaan, protein dalam gel poliakrilamid akan terlihat membentuk band atau pita yang terpisah berdasarkan ukurannya masing-masing (Walker 2009). F. PENGUKURAN KONSENTRASI PROTEIN Menurut Walker (2009), kuantifikasi protein dapat dilakukan dengan beberapa metode diantaranya adalah dengan: 1) absorbansi dengan sinar ultraviolet (UV absorption), 2) metode Lowry, 3) bicinchoninic acid (BCA) assay dan 4) metode Bradford. Metode Bradford merupakan salah satu teknik penentuan kadar protein yang berdasarkan pada pengikatan secara langsung zat warna Coomassine Brilliant Blue G250 (CBBG) oleh protein pada kondisi pH asam. Grup trifenilmetana mengikat struktur non polar protein dan grup anion sulfonat berinteraksi dengan rantai samping protein kation (protein bermuatan positif). 19 Jumlah CBBG yang terikat pada protein proporsional dengan muatan positif yang ditemukan pada protein. Reagen CBBG bebas berwarna merah-kecoklatan (panjang gelombang maks 465 nm), sedangkan dalam suasana asam reagen CBBG akan berada dalam bentuk anion yang akan mengikat protein membentuk warna biru (panjang gelombangmaks 595 nm). (Bradford 1976). Pada metode Bradford, penentuan protein dapat dilakukan dengan cara mikro untuk kandungan protein yang rendah dan makro untuk kandungan protein yang tinggi. Standar konsentrasi protein yang sesuai adalah 10-100 µg. Konsentrasi protein 0-10 µ g biasanya digunakan dalam pengujian mikro dan 10100 µg digunakan dalam pengujian makro. Karena lebih sederhana dan lebih sensitif, metode ini adalah yang paling banyak digunakan untuk analisis protein secara kuantitatif (Kruger 2009). Hubungan absorbansi dan konsentrasi protein ditentukan melalui kurva standar yang telah dibuat sebelumnya. Penetapan kurva standar dilakukan dengan menggunakan protein tertentu seperti bovin serum albumin (BSA), dengan berbagai konsentrasi. Besarnya konsentrasi BSA sebagai protein standar adalah sekitar 150-750 µg/ml (Coligan et al 2004). Hubungan antara konsentrasi larutan standar dan absorbansinya dinyatakan sebagai persamaan regresi linier: Y = a + bx. Dalam analisis dengan metode bardford ini terdapat dua jenis metode yaitu makro assay untuk konsentrasi protein tinggi dan mikro assay untuk konsentrasi protein rendah (Bradford 1976). 20