44 BAB II PENYELESAIAN PIUTANG BANK MELALUI LEMBAGA KEPAILITAN A. Pengertian Kepailitan dan Para Pihak dalam Proses Kepailitan 1. Pengertian Kepailitan Hukum kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi. Kata ”bangkrut”, dalam bahasa Inggris disebut ”bankrupt”, berasal dari undang-undang Italia, yaitu banca rupta. Sementara itu, di Eropa abad pertengahan ada praktik kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditor. Atau, seperti keadaan di Venetia (Italia) waktu itu, dimana banco (bangku) para pemberi pinjaman (bankir) saat itu sudah tidak mampu lagi membayar utang atau gagal dalam usahanya, dipatahkan atau dihancurkan.49 Bagi negara-negara yang menganut tradisi common law, tepatnya pada tahun 1952 merupakan tonggak, sejarah karena pada tahun tersebut hukum pailit dari tradisi hukum Romawi diadopsi ke negara Inggris. Hal tersebut ditandai dengan diundangkannya sebuah Undang-Undang yang disebut Act Against Such Persons As Do Make Bankrupt, yang menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal yang tidak mau membayar utangnya sekaligus berusaha menyembunyikan 49 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktik, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 3 33 Universitas Sumatera Utara 45 asset-assetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditor yang tidak dimiliki oleh kelompok kreditor secara individual.50 Peraturan kepailitan di Indonesia termasuk dalam hukum dagang, meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Peraturan mengenai kepailitan diatur dalam peraturan tersendiri, yaitu dalam “Faillissementsverordening” (Staatblad tahun 1905 Nomor 217 jo Staatblad tahun 1906 Nomor 348), yang juga berlaku bagi golongan Cina dan Timur Asing.51 Kedua peraturan yang diberlakukan di Indonesia ini merupakan akibat dari perbedaan antara pedagang dan bukan pedagang. Adanya dua macam peraturan tersebut, selain tidak perlu juga menimbulkan banyak kesulitan diantaranya ialah formalitasnya yang ditentukan terlalu banyak sehingga menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya seperti biaya tinggi, pengaruh kreditor terhadap jalannya kepailitan terlalu sedikit, serta pelaksanaan kepailitannya memakan waktu lama. Adanya kesulitan-kesulitan tersebut menimbulkan keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya rendah sehingga pelaksanaannya akan lebih mudah.52 Selain itu, kepailitan juga berasal dari kata pailit yang dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang 50 Ibid., hal. 4. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 8: Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, P.T Djambatan, Jakarta , 1992, hal. 28 52 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 3. 51 Universitas Sumatera Utara 46 berbeda-beda.53 Dalam bahasa Perancis, istilah faillite. yang artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Untuk arti yang sama di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah “failliet”. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah to fail., dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah “fallire” yang dalam arti sebenarnya adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tertentu yang cenderung untuk mengelabui pihak krediturnya.54 Munir Fuady menyatakan bahwa yang dimaksud pailit atau bangkrut itu adalah “suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditur.55 Pailit menurut ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar utang-utangnya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa lahirnya UU Kepailitan dan PKPU disebabkan Perpu No. 1 Tahun 1998, yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 belum dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.56 Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan pengertian mengenai kepailitan, yakni: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh undang-undang ini. 53 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali, Jakarta , 1991, hal. 24. 54 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 7. 55 Ibid. 56 Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Pustaka Bangsa, Press, Medan, 2008, hal. 322. Universitas Sumatera Utara 47 Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU mendefinisikan pailit sebagai “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Definisi 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU di atas, menjelaskan bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan adalah (1) Terdapat minimal 2 orang kreditor dan (2). Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang ; dan utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Perihal definisi kepailitan di dalam Black’s Law Dictionary, Pailit atau Bankrupt diartikan sebagai berikut “The state or condition of person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person against whom an in voluntary petition has been filed or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.57 Definisi di atas menunjukkan bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor (orang yang berutang) untuk kepentingan kreditor-kreditornya (orang yang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu debitor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditor miliki saat itu. Pelakanaan kepailitan dilihat dari hukum kepailitan memiliki tujuan utama, antara lain: 57 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St Paul Minesota, USA, West Publishing Co, 1968, Hal.186. Universitas Sumatera Utara 48 1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditornya. 2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditornya. 3. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.58 Sutan Remy Sjahdeni juga mengemukakan bahwa tujuan dari hukum kepailitan adalah sebagai berikut: 1. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa semua harta debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada atau yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan debitor yaitu dengan memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihantagihannya terhadap debitor. Menurut hukum Indonesia asas jaminan tersebut dijamin dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan saling rebut diantara kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, akan terjadi kreditor yang lebih kuat akan mendapat bagian yang lebih banyak dari kreditor yang lemah. 2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para kreditor sesuai dengan asas pari passu membagi secara proporsional harta kekayaan 58 Sutan Remy Syahdeni, Op.Cit., hal 38 Universitas Sumatera Utara 49 debitor kepada para kreditor Konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditor tersebut. Di dalam hukum Indonesia asas pari passu dijamin dalam Pasal 1332 KUH Perdata. 3. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. Dengan dinyatakan seorang debitor pailit, debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindah tangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan debitor menjadi harta pailit. Menurut UU Kepailitan dan PKPU debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dengan demikian yang dapat menyatakan pailitnya seorang debitor adalah lembaga pengadilan. Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan kepailitan, menurut UU Kepailitan adalah Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkungan peradilan umum, selain untuk memeriksa dan memutuskan permohonan kepailitan juga berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara dibidang perniagaan lainnya. Pengadilan Niaga merupakan bentuk baru dalam khasanah hukum acara di Indonesia. Karena sebelum keluarnya undang-undang tentang kepailitan yang berwenang memeriksa dan memutus permohonan kepailitan adalah Pengadilan Negeri di wilayah hukum mana debitur berdomisili. Dengan Universitas Sumatera Utara 50 adanya Pengadilan Niaga maka semua permohonan kepailitan dapat diajukan untuk diputuskan oleh Pengadilan Niaga. 2. Para Pihak dalam Proses Kepailitan Kepailitan merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa pihak yang saling terkait satu sama lain. Pihak-pihak tersebut terdiri dari :59 1. Pihak pemohon pailit. Pihak pemohon pailit adalah pihak yang mempunyai inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan. Menurut ketentuan UU Kepailitan dan PKPU salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan adalah pihak debitur sendiri, salah satu atau lebih pihak kreditur, pihak kejaksaan yang menyangkut dengan kepentingan umum, pihak Bank Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank, Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya adalah suatu perusahaan efek, yaitu perusahaan yang melakukan kegiatannya sebagai penjamin emisi efek, perantara efek, dan/atau manager investasi, sebagaimana yang dimaksud dalam perundang-undangan di bidang pasar modal. Mengenai para pihak yang mengajukan pailit ini Sunarmi mengutip ketentuan UU Kepailitan dan PKPU mengemukakan bahwa pihak-pihak yang mengajukan permohonan pailit, yaitu : 1. Debitor sendiri 2. Seorang atau beberapa orang kreditornya (Pasal 2 ayat (1) 59 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 35. Universitas Sumatera Utara 51 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2). 4. Bank Indonesia dalam hal menyangkut debitornya adalah bank (Pasal 2 ayat (3). 5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dalam hal debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpan dan penyelesaian (Pasal 2 ayat (4). 6. Menteri Keuangan, dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau badan usaha milik negara yang bergerak dalam kepentingan public (Pasal 2 ayat (5)).60 2. Pihak debitur pailit Pihak yang memohon/dimohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang. Adapun pihak yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak dapat membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 3. Hakim Niaga pada Pengadilan Niaga. Hakim niaga adalah Hakim yang memeriksa dan mengadili serta memutus perkara kepailitan dalam lingkungan Pengadilan Niaga. Perkara kepailitan diperiksa oleh Hakim Majelis Pengadilan Niaga. Pasal 1 ayat (7) UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa pengadilan yang berwenang mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Niaga, yang merupakan bagian dari peradilan umum, mempunyai kompetensi untuk memeriksa perkara-perkara sebagai berikut.61 a. Perkara kepailiatan dan penundaan pembayaran, dan 60 61 Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU Press, Medan , 2009, hal. 34. Munir Fuady, Op. Cit., hal. 18. Universitas Sumatera Utara 52 b. Perkara-perkara lainnya di bidang perniagaan yang telah ditetapkan dengan aturan pemerintah. Hakim-hakim yang bertugas di Pengadilan Niaga terdiri dari dua macam, yaitu sebagai berikut : a. Hakim tetap, yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung untuk menjadi hakim Pengadilan Niaga, dan b. Hakim Ad Hoc, yaitu merupakan hakim ahli yang diangkat khusus dengan suatu Keputusan Presiden untuk Pengadilan Niaga di tingkat pertama. Hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Niaga adalah hukum acara perdata yang berdasarkan HIR//RBg. Tetapi dalam undang-undang ditetapkan adanya pengecualian. 4. Hakim Pengawas. Pasal 65 UU Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa Hakim Pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Untuk mengawasi pelaksanaan pemberesan harta pailit, maka dalam keputusan kepailitan, oleh pengadilan harus diangkat seorang hakim pengawas di samping pengangkatan kuratornya. Dahulu, untuk hakim pengawas ini disebut dengan “Hakim Komisaris.” Tugas Hakim Pengawas adalah sebagai pengawas dan pendamping kurator dalam mengurus dan membereskan harta pailit (Pasal 65 UU Kepailitan dan Universitas Sumatera Utara 53 PKPU). Bagian yang terpenting dari tugas Hakim Pengawas adalah pengawasan atas pengurusan dan pemberesan harta pailit. 5. Kurator Dalam peraturan kepailitan lama (Faillisementwet Verordening) hanya terdapat satu kurator dalam kepailitan yang ditetapkan oleh Pengadilan, yaitu Balai Harta Peninggalan.62 Setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 1998, BHP bukan lagi sebagai lembaga tunggal yang mengurus dan membereskan harta pailit. UU No. 4 Tahun 1998 menentukan bahwa yang menjadi kurator dalam kepailitan adalah : (1) Balai Harta Peninggalan ; atau (2) Kurator lainnya. Adanya dua kurator dalam kepailitan ini tetap dipertahankan dengan keluarnya UU Kepailitan dan PKPU. Kurator yang dimaksud adalah : 1. Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; 2. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 70 UU Kepailitan dan PKPU). Kurator mulai bertugas sejak kepailitan diputuskan karena debitur tidak berhak lagi untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya. Kurator merupakan satu-satunya pihak yang akan menangani seluruh kegiatan pengurusan dan 62 Ibid., hal 110 Universitas Sumatera Utara 54 pemberesan harta pailit. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kreditur maupun debitur pailit.63 Sutan Remy Sjahdeini mengutip dan telah menyetujui pendapat Andrew R. Keay dalam McPherson The Law of Company Liquidation, Fourth Edition, Sydney: LBC Information Service, 1999, P287. memberikan definisi mengenai Kurator sebagai berikut: “Kurator adalah perwakilan pengadilan dan dipercayai dengan mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk melaksanakan kewajibannya dengan tidak memihak.”64 Dari istilah menurut kamus-kamus yang dikutip dapat diartikan bahwa Kurator dalam hukum kepailitan itu adalah pengampu/wali dari seseorang yang karena hukum kewenangan dan haknya untuk mengurus harta bendanya sendiri dicabut, atau pengampu/wali dari seseorang yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurrusan dan atau pemberesan harta pailit. Singkatnya yaitu pihak yang berwenang untuk mengurus dan membereskan maupun menguangkan harta kekayaan untuk membayar utang debitor pailit. Menurut Pasal 69 UU Kepailitan dan PKPU disebutkan bahwa :65 1. Tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit. 2. Dalam melakukan tugasnya, Kurator : a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, sematamata dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. 6. Panitia Kreditor dan Rapat Panitia Kreditor. 63 Ibid., hal 117 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 37. 65 Lihat Pasal 69 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiaban Pembayaran Utang 64 Universitas Sumatera Utara 55 Panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur serta memperjuangkan kepentingan dari pihak kreditur. Panitia kreditur terdiri dari panitia kreditur sementara yaitu yang diangkat dalam putusan pernyataan pailit dan panitia kreditur (tetap) yakni yang dibentuk oleh Hakim Pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara. Panitia Kreditor dibuat untuk mengatasi kesulitan untuk dapat berhubungan dengan masing-masing kreditor yang jumlahnya banyak. Pengadilan Niaga dapat membentuk suatu Panitia Kreditor Sementara yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih dari para kreditor yang dikenalnya dengan tujuan untuk memberikan nasihat kepada kurator sepanjang belum ada keputusan tentang Panitia Kreditor Tetap sebagaimana disebut dalam Pasal 79 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 85 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menentukan, Hakim Pengawas memimpin Panitia Kreditor. Sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat (2) Kepailitan dan PKPU, Kurator wajib hadir dalam setiap rapat Panitia. Kreditor. Hakim Pengawas, menurut Pasal 86 ayat (1) UU No 37 Tahun 2004 menentukan tanggal, waktu, dan tempat Rapat Kreditor Pertama, yang harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan Universitas Sumatera Utara 56 oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, debitor mana mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu. Putusan pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan niaga, dimana dengan adanya putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. B. Akibat Hukum Kepailitan Akibat hukum dari putusan pailit terhadap debitor beserta segala harta kekayaannya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang no. 37 tahun 2004 tentang Kerpailitan dan PKPU, memiliki pengaruh langsung terhadap hak keperdataan baik bagi debitor maupun kreditor, yang secara esensial dapat diI lihat dari beberapa uraian pasal sbb: 1. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan- pasal 21, ketentuan ini dapat dimaknai bahwa harta milik debitor pailit beseerta yang diperoleh selama kepailitan masuk dalam sitaan umum. 2. Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pailit di ucapkan, - pasal 24 (1), mengenai ketentuan ini hanya terbatas pada harta kekayaan tapi tidak hak perdata atas status pribadinya. Universitas Sumatera Utara 57 3. Semua perikatan debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit – pasal 25, hal ini jelas jika dilanggar oleh debitor pailit maka perbuatannya tidak mengikat kekayaannya tersebut. 4. Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap curator – pasal 26(1) dan dalam hal tuntutan dimaksud diajukan oleh atau terhadap debitor pailit, maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitor pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit pasal 26(2), ini artinya bahwa pembayaran piutang debitor pailit tidak boleh lagi ditujukan kepada si pailit tapi harus kepada curator. 5. Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yg telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat di laksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor – pasal 31(1) dan semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan juika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya pasal 31(2), makna ketentuan ini adalah bahwa penetapan putusan pengadilan sebelumnya harus dihentikan, semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus. Universitas Sumatera Utara 58 6. Pekerja yang bekerja pada debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya curator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan per undang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya – pasal 39(1). 7. Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 pasal 57 dan pasal 58 setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah olah tidak terjadi kepailitan - pasal 55 (1), artinya bahwa kreditor separatis yang memgang hak jaminan atas kebendaan tersebut dapat menjalankan hak eksekusinya. 8. Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 (1) dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau curator, ditangguhkan utk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan – pasal 56(1) dan penangguhan tersebut tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utang – pasal 56 (2), ketentuan ini mengatur adanya hak tangguh (stay) kepada kreditor separatis atas hak nya selama 90 hari untuk mengeksekusi jaminannya. Universitas Sumatera Utara 59 Berdasarkan uraian diatas maka pada dasarnya dapat dikemukakan bahwa akibat hukum dari putusan pailit terhadap debitor termasuk harta kekayaannya adalah, secara prinsip bahwa putusan pailit itu dapat dijalankan terlebih dahulu (serta merta), harta kekayaan debitor yang masuk dalam harta pailit merupakan sitaan umum beserta apa yang diperoleh selama kepilitan, disamping itu , debitor pailit demi hukum menjadi kehilangan haknya untuk mengurus dan melakukan perbuatan kepemilikan terhadap harta kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan, dan segala bentuk perikatan debitor yang dilakukan.setelah putusan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit. Akibat hukum kepailitan ini terhadap kreditor separatis yang memegang hak jaminan atas kebendaan seperti hak tanggungan, hak gadai atau lainnya tetap dapat menjalankan hak eksekusinyan seakan akan tidak terjadi kepailitan, sebagaimana bunyi pasal 55 (1) UUK. Namun demikian meskipun hak preferensi dari kreditor tetap dilindungi dalam pembayaran utang utang debitor, tapi hak preferensi ini mendapat aturan yang khusus artinya bahwa kreditor separatis harus menjalani masa tangguh (stay). Ketentuan hak tangguh (stay) ini sebagaimana dijelaskan diatas diatur dalam psal 56(2) UUK yang menentukan bahwa kreditor separatis tersebut ditangguhkan haknya selama 90 hari untuk dapat mengeksekusi benda jaminan yang dipegangnya. Universitas Sumatera Utara 60 Akibat hukum lainnya terhadap debitor pailit, yang berupa perseroan, direktur dan komisaris perseroan tersebut yang dinyatakan pailit tidak diperbolehkan menjadi direksi dan komisaris di perusahaan lain, dan berdasarkan pasal 93 sampai dengan 96 UUK bahkan undang undang memerkenankan dilaksanakannya Gijzeling (paksa badan), meskipun dalam prakteknya jarang dilaksanakan, kepailitan juga memberikan peluang dikenakannya ketentuan pidana bagi debitor pailit yang melakukan langkah langkah yang merugikan kreditor. Disamping akibat hukum dari kepailitan , akibat hukum secara khusus dalam PKPU juga terjadi yaitu apabila disetujui PKPU oleh hakim, maka segera setelah itu harus diangkat pengurus yang memiliki tugas dan wewenang berbeda dengan wewenang kurator pailit. C. Penggunaan Lembaga Kepailitan Sebagai Media Penyelesaian Piutang Bank Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa dalam rangka menyelesaikan kredit macet atau piutang bermasalah, bank pada umumnya melakukan langkah langkah strategisnya dengan menempuh dua cara, yaitu melalui tindakan penyelamatan kredit yang bersifat persuausif dan langkah kedua adalah melalui penyelesaian kredit melalui jalur hukum baik melalui PUPN, DJPLN, Badan Peradilan, Arbitrase, Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Lembaga Kepailitan, sesuai dengan situasi, kondisi dan pertimbangan masing masing bank. Universitas Sumatera Utara 61 Dalam penyelesaian utang piutang, diberikan kesempatan kepada kreditur dan debitor untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif dari suatu perangkat hukum yang mendukungnya. Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang piutang tersebut adalah UndangUndang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.66 Oleh karena itu lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam dunia usaha, karena dengan adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar atau terpaksa bahkan mungkin dipaksa keluar dari pasar, dalam hal inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.67 Kondisi seperti ini juga dapat terjadi dalam kaitannya dengan hutang nasabah sebagai debitor terhadap bank yang dalam hal ini bertindak sebagai kreditor yang menyalurkan kredit. Kredit dalam hal ini merupakan utang/hutang nasabah/debitor terhadap bank/kreditor. Debitor dalam menjalankan usahanya juga tidak terlepas dari adanya utang lainnya pada pihak lain, selain dari kredit yang diperoleh dari bank baik dalam bentuk dana pinjaman maupun dalam bentuk hutang lainnya. Dengan adanya hutang debitur pada beberapa kreditur tersebut, maka para kreditor yang mengetahui bahwa Debitor tidak mampu lagi membayar utang- 66 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal. 32. Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2002), hal. 2. 67 Universitas Sumatera Utara 62 utangnya akan berlomba untuk terlebih dahulu mendapatkan pembayaran piutangnya dengan cara memaksa Debitor untuk menyerahkan barang-barangnya, dapat juga Debitor melakukan perbuatan yang hanya menguntungkan satu orang atau beberapa orang Kreditornya saja dan yang lainnya dirugikan. Tindakan Kreditor atau perlakuan Debitor yang demikian jelas akan memberikan ketidak pastian bagi Kreditor lain yang beritikad baik yang tidak ikut mengambil barang-barang Debitor sebagai pelunasan piutangnya, sehingga piutang Kreditor yang beritikad baik tersebut tidak terjamin pelunasannya. Tindakan tersebut merupakan perlakuan tidak adil oleh Debitor terhadap Kreditornya, keadaan ini dapat dicegah melalui lembaga kepailitan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas Sri Redjeki Hartono mengatakan: Lembaga kepailitan memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila Debitor dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan mencegah/menghindari dua hal berikut, yang keduanya merupakan tindakan-tindakan yang tidak adil dan dapat merugikan semua pihak, yaitu: menghindari eksekusi massal oleh Debitor atau Kreditor dan mencegah terjadinya kecurangan oleh Debitor sendiri.68 Kepailitan pada dasarnya merupakan realisasi dari dua asas pokok yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa “Segala kebendaan si berutang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari menjadi 68 Sri Redjeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 7, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, hal. 22. Universitas Sumatera Utara 63 tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada Kreditor bahwa kewajiban debitor akan tetap dipenuhi dengan jaminan dari kekayaan Debitor baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari. Kepailitan pada hakekatnya akan menyangkut status hukum dari subjek hukum yang bersangkutan (baik subjek hukum pribadi maupun subjek hukum badan hukum/bukan badan hukum) maka harus mengikuti syarat dan prosedur tertentu sehingga dapat dinyatakan pailit dengan berdasarkan suatu keputusan Hakim. Syarat Debitor dapat dinyatakan pailit apabila Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU). Sedangkan putusan permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Kepailitan dan PKPU. Dengan demikian, jelaslah bahwa kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi sebagai realisasi dari tanggungjawab debitor terhadap dan atas Universitas Sumatera Utara 64 perikatan-perikatan yang dilakukan sebagaimana diatur dan dimaksud dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Kepailitan itu sendiri dapat mencakup:69 1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) beserta aset. 2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaannya yang termasuk harta kekayaan. Apabila dicermati secara seksama ketentuan tentang penyitaan (beslaag) aset debitor seperti diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata tampak, bahwa dalam Pasal tersebut tidak diatur secara eksplisit bagaimana mekanisme yang harus ditempuh oleh para pihak yang ingin menggunakan pranata hukum kepailitan dalam menyelesaikan utang piutangnya. Melihat ketentuan tersebut masih sangat umum, bisa jadi para kreditor akan berlomba untuk menyita aset debitor dalam rangka menyelematkan jaminan atas tagihannya. Bila hal ini dibiarkan, bisa merugikan kreditor lain yang tidak sempat menyita aset debitor. Dalam rangka menghindari adanya tindakan secara individual, dirasakan perlu ada campur tangan lembaga peradilan. Deviden merupakan hak pemegang saham untuk berpartisipasi dalam distribusi keuntungan perusahaan.70 Dengan cara ini diharapkan semua kreditor mendapat hak yang seimbang.71 Pengertian mengenai utang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 UU. 69 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 190-191. M. Irsan Nasaruddin, Diktat Pasar Modal Indonesia (Jakarta, 1999), bab VII, hal. 2 71 Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, CV Nuansa Aulia, 2006, hal.19. 70 Universitas Sumatera Utara 65 Kepailitan tersebut harus dikaitkan dengan dasar pemikiran yang menjadi latar belakang diundangkannya Undang-Undang. No. 4 Tahun 1998.72 Undang-Undang Kepailitan tidak hanya mencakup utang dalam suatu perjanjian pinjam-meminjam uang, melainkan juga kewajiban yang timbul dari perjanjian lain atau dari transaksi yang mensyaratkan untuk dilakukan pembayaran.73 Asas tanggung jawab debitor terhadap Kreditornya tersebut di atas di dalamnya terkandung asas jaminan hutang74 dan asas paripassu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing Kreditor tersebut)75 atau asas concursus creditorium (para Kreditor harus bertindak bersama-sama). Dengan demikian asas tanggung jawab debitor terhadap Kreditornya KUHPerdata tersebut, maupun dalam UU Kepailitan sebagai realisasi dan merupakan pengaturan lebih lanjut atas dan dari asas tanggung jawab debitor terhadap Kreditornya tersebut, secara umum dapat dikatakan pada dasarnya tidak membedakan subyek Termohon Pailit atau Pemohon Pailit, apakah subyek hukum Indonesia atau subyek hukum asing. Hal ini adalah merupakan suatu konsekuensi logis dari berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata Indonesia, dimana 72 Sutan Remy Sjahdeini, “Pengertian Utang dalam Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 1 Timur Sukirno dalam Kuliah Umum “Seluk Beluk Pengadilan Niaga dan Kaitannya dengan Permasalhan Kepailitan di Indonesia, Depok, 5 November 2002 74 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998, Pustaka Grafiti, Jakarta, 2002,hal.38. 73 75 Ibid. Universitas Sumatera Utara 66 dibolehkannya subyek atau pihak-pihak memilih dengan pihak mana akan melangsungkan suatu perikatan. Kartini Muljadi juga menyatakan bahwa kalau diteliti, sebetulnya peraturan kepailitan dalam UU Kepailitan itu adalah penjabaran Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, karenanya : a. Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya; b. Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya,tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan haknya atau mengagunkannya; c. Sitaan konservator secara umum meliputi seluruh harta pailit.76 stilah utang dalam Pasal 1 dan Pasal 212 UU Kepailitan merujuk pada hukum perikatan dalam hukum Perdata.77 Menurut Kartini Muljadi bahwa dalam hal seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar utangnya secara sukarela, maka kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke pengadilan negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor secara perdata ke pengadilan negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitor dipakai untuk membayar kreditor tersebut. Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, dalam perjanjian diatur tentang kelalaian atau wanprestasi pihak dalam perjanjian yang dapat mempercepat jatuh 76 Kartini Muljadi, Actio Paulina dan Pokok-pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam: Rudhy A.Lontoh et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hal.300. 77 Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, diterjemahkan oleh Kartini Muljad, PT. TataNusa, Jakarta, 2000), hal. 19 Universitas Sumatera Utara 67 tempo suatu utang.78 Maka, para kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun tidak halal, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Berdasarkan alasan tersebut, timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tatacara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditor, dengan berpedoman pada KUHPerdata Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149 maupun pada ketentuan dalam UUK sendiri.79 Penyitaan dapat dilakukan terhadap harta benda atau kekayaan Debitor pailit, dasar hukumnya terdapat juga pada Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang menentukan bahwa “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan“. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dasar hukum penggunaan lembaga kepailitan dalam penyelesaian piutang bank adalah didasarkan pada tanggung jawab debitur terhadap hutang-hutangnya secara keperdataan. . Apabila lembaga kepailitan dapat digunakan sebagai salah satu sarana penyelesaian hukum untuk menyelesaikan kredit macetnya, lalu bagaimana prosedur penyelesaian piutang bank BUMN yang ideal sebagaimana diatur dalam perundang- 78 Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Ponto, ed., Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hal. 78. 79 Kartini Muljadi, Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Kepailitan, Makalah, 2000, hal. 1-2. Universitas Sumatera Utara 68 undangan dan sesuai doktrin hukum yang berlaku agar juga pengembalian aset piutang perbankan dapat terlaksana. Untuk itu tentunya terlebih dahulu/ sebelumnya harus dilakukan kajian mengenai status hukum dari piutang bank BUMN tersebut apakah termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara atau bukan. Kajian mengenai status hukum piutang tersebut dapat dilihat dari dua hal yang sama pula, yaitu secara doktrin hukum dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat diambil sebagai bahan pertimbangan terhadap prosedur yang tepat bagi pengurusan piutang bank BUMN adalah menurut tim BPHN di bawah pimpinan Arifin P. Soeria Atmadja, model penyelesaian tersebut terdapat empat (4) model, yakni: a. Model A yaitu berdasarkan UU Nomor 49 Tahun 1960 Tentang PUPN; b. Model B yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN); c. Model C yaitu berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan (telah diganti dengan UU Nomor 37 Tahun 2004); d. Model D, yaitu berdasarkan KKSK No 01/M.EKUIN/01/2000 dan KMK NO 333/KMK.01/2000, No 335/KMK.01/2000.80 Uraian di atas, menunjukkan bahwa dalam penyelesaian piutang bank milik pemerintah dapat dilakukan melalui empat model dengan masing-masing memiliki 80 Arifin Soeriaatmadja, Penelitian tentang Apek Hukum Penyelesaian Piutang Kredit, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2001, hal. 80 Universitas Sumatera Utara 69 ketentuan hukum tersendiri. Dari keempat mekanisme penyelesaian piutang bank khusunya bank BUMN tersebut 3 (tiga) diantaranya adalah melalui kewenangan publik lembaga/badan negara bentukan pemerintah sedangkan 1 (satu) merupakan kewenangan judisial yang ada melalui Pengadilan Niaga. Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa dalam upaya penyelesaian piutang bank milik pemerintah dalam kaitan dengan piutang negara, pada dasarnya dapat dilakukan melalui upaya yang sama seperti dilakukan bank swasta, yaitu melalui sarana non litigasi, melalui perundingan kembali antara kreditor dan debitor dengan memperingan syarat-syarat pengembalian kredit atau dinamakan penyelesaian melalui restrukturisasi kredit. Demikian juga terhadap kredit macet , bank milik pemerintah juga dapat melakukan upaya litigasi yaitu langkah penyelesaian kredit melalui lembaga hukum seperti Pengadilan atau Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara atau Badan lainnya apabila langkah penyelamatan sudah tidak dimungkinkan kembali. Tujuan penyelesaian kredit melalui lembaga hukum ini adalah untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan. D. Penyelesaian Piutang Bank Dengan Menggunakan Lembaga Kepailitan Langkah yang dilakukan bank pada saat menyelesaikan piutang bermasalah melalui jalur hukum lembaga kepailitan, secara metodologis adalah sama seperti proses penyelesaian piutang kreditur pada umumnya dimana bank sebagai pihak pemohon dan sekaligus sebagai pihak yang berkepentingan dapat mengajukan pailitnya seorang debitur seperti yang diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Universitas Sumatera Utara 70 Sesuai dengan ketentuan UUK dan PKPU pasal 7 (1) dan ayat (2), permohonan kepailitan tersebut wajib diajukan oleh advokat kecuali jika pemohonnya adalah Bank Indonesia, Bapepam,atau Menteri Keuangan, dengan demikian proses pengajuan pailit oleh bank terhadap seorang debitor, harus dilakukan melalui jasa tenaga advokat. Permohonan pernyataan pailit menurut Pasal 6 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU harus didaftarkan pada pengadilan yang berwenang untuk memutus dan memeriksa permohonan tersebut melalui panitera pengadilan. Kemudian panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran (Pasal 6 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU). Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)-(5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut (Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU). Kemudian panitera dalam menyampaikan permohonan pailit kepada ketua pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 6 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU). Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang (Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Universitas Sumatera Utara 71 tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 6 ayat (6) UU Kepailitan dan PKPU). Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menindak penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 6 ayat (7)).81 Secara ringkas mekanisme mengajukan permohonan pailit pada Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut: a. Surat permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU); b. Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor sendiri atau oleh kreditor, dilakukan oleh seorang Advokat (Pasal 7 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU); c. Panitera mendaftar permohonan pernyataan pailit tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan (Pasal 6 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU); d. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 6 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU); e. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari permohonan 81 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 14 Universitas Sumatera Utara 72 tersebut dan menetapkan hari sidang (Pasal 6 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU); f. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 6 ayat (6) UU Kepailitan dan PKPU); g. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi (Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU); h. Putusan permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU). Putusan pernyataan pailit mengubah status hukum Debitor dalam hal kecakapannya untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak hari diucapkannya putusan pernyataan pailit (Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU). Pengurusan dan pemberesan harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit diserahkan kepada Kurator (Pasal 69 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU). Tugas Kurator dalam rangka pemberesan adalah melakukan penjualan aset Debitor pailit sehingga diperoleh uang tunai untuk menyelesaikan utang-utang Debitor terhadap para Kreditornya. Aset kepailitan meliputi seluruh kekayaan pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berlangsung (Pasal Universitas Sumatera Utara 73 21 UU Kepailitan dan PKPU). Debitor yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran/pengembalian utang-utangnya terhadap para Kreditornya pada hakekatnya dapat dipaksakan untuk diajukan kepailitan, apabila kepailitan itu terhadap suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) pada dasarnya Direksi bertanggung jawab terhadap kepailitan Perseroan Terbatas tersebut, karena Direksi merupakan organ dari Perseroan Terbatas yang bertugas melakukan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dengan adanya putusan pailit oleh pengadilan, si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta kekayaan si Pailit. Sebaliknya apabila dengan perbuatan hukum itu justru akan merugikan harta kekayaan si pailit, maka kerugian kerugian itu tidak mengikat harta kekayaan tersebut.82 Menurut Fred Tumbuan, pernyataan pailit dapat dapat berakibat bagi kreditor dan debitor yaitu: a. Bagi Debitor Pailit Akibat pernyataan pailit bagi debitor adalah sesuai dengan Pasal 24 UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan bahwa dengan pernyataan pailit, debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang dimasukkan kedalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan pailit itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan dari pernyataan itu 82 Zainal Asikin, Op.Cit., hal. 45-46 Universitas Sumatera Utara 74 sendiri. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU, kepailitan meliputi seluruh kekayaan milik debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, pengawasan dan pemberesan boedel pailit ditugaskan pada kurator (Pasal 16 UU Kepailitan dan PKPU). Menurut Munir Fuady, bahwa dengan pailitnya si Debitor, banyak akibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh Undang- Undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku bagi debitor dengan dua metode pemberlakuan, yaitu: 1. Berlaku demi hukum Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau stelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. 2. Berlakunya secara rule of reason Untuk akibat hukum yang berlaku secara rule of reason maka akibat hukum tersebut tidak secara otomatis brlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.83 b. Bagi Kreditor Selain bagi debitor pernyataan pailitnya debitor juga membawa akibat hukum bagi kreditor. Bagi kreditor adalah kedudukan para kreditor sama (patrias sreditorum) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi 83 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 65 Universitas Sumatera Utara 75 boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (paripassa pro rata parte), kecuali golongan kreditor pemegang hak agunan atas kebendaan (Pasal 59 UU Kepailitan dan PKPU) dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan peraturan perundangundangan lainnya (Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata). Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut kreditor separatis tidak dapat mengeksekusi boedel pailit karena dalam hal ini ada jangka waktu 90 hari yang disebut dengan masa stay, baru setelah tenggat waktu 90 hari tersebut lewat, kreditor separatis baru dapat mengeksekusi boedel pailit. Adanya lembaga penangguhan pelaksanaan hak eksekusinya dalam tenggat waktu 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, dalam pelaksanaan hak eksekusinya harus mendapat persetujuan dari kurator atau Hakim Pengawas.84 Kemudian terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan debitor pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaan yang telah dinyatakan pailit (harta pailit). Selanjutnya pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh hakim pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. 84 Poppy Indaryati, Diskriminasi Kurator di dalam Kepailitan, (Tesis Hukum dan Teknologi, Program Pasca Sarjana Undip Semarang), hal 38. Universitas Sumatera Utara 76 Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit tersebut. Pelaksanaan pengurusan harta pailit tersebut oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali.85 Jika ternyata kemudian putusan pailit tersebut dibatalkan oleh putusan kasasi atau peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal curator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi debitor pailit.86 Hukum acara dalam Kepailitan disamping mengatur masalah proses dan tata cara pengajuan permohonan kepailitan, juga mengatur tentang proses persidangan, upaya upaya hukum yang dapat dilakukan, pengurusan dan pemberesan harta pailit, pengaturan rapat para kreditor, rapat verifikasi pencocokan piutang, masalah perdamaian (accord) dan tentang solvensi. Sementara itu, dalam hukum acara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), diatur mengenai syarat dan tata laksana pengajuan PKPU, perdamaian dalam PKPU dan pengakhiran PKPU. 85 Achmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 62 86 Ibid. Universitas Sumatera Utara