2 NOVEMBER – 1 DESEMBER 2015 KOLERA BULETIN DISEASE EDISI XIV A. EPIDEMIOLOGI Pada tahun 1970 kolera menyebar ke Afrika Barat, dan menyebar dengan cepat ke berbagai negara dan menjadi endemik di berbagai benua. Pada akhir tahun 1992 ledakan kasus kolera dimulai di India dan Bangladesh yang disebabkan oleh serogrup V. Cholera yang belum teridentifikasi. Isolasi dari Vibrio telah dilaporkan dari 11 negara di Asia Tenggara [1]. B. ETIOLOGI Vibrio merupakan salah satu bakteri yang paling lazim ditemukan di air permukaan seluruh dunia. Vibrio merupakan bakteri aerobik berbentuk batang yang melengkung, motil dan memiliki flagel. V. Cholera membentuk koloni bundar, cembung, licin yang jika terpancar cahaya opak dan granular. V. Cholera tumbuh baik pada suhu 370C pada berbagai jenis medium dan tumbuh baik pada agar thiosulfate-citrate-bile-sucrose (TCBS) yang membentuk koloni kuning yang terlihat jelas [2]. V. Cholera memiliki lipopolisakarida O yang memberikan spesifitas serologis. Terdapat sedikitnya 139 grup antigen kasus kolera yang klasik. V. Cholera juga menghasilkan enterotoksin labil-panas dengan berat molekul sekitar 84.000, yang terdiri atas subunit A dan B [2]. C. PATOGENESIS Kolera ditularkan melalui jalur oral. Bila vibrio berhasil lolos dari pertahanan primer dalam mulutdan tertelan, bakteri akan terbunuh dalam asam lambung. Bila tidak terbunuh, maka akan berkembang dalam usus halus. Suasana alkali dalam usus halus ini merupakan medium yang menguntungkan baginya untuk hidup dan memperbanyak diri.V. Cholera merupakan bakteri non-invasif, dan yang mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit [1]. Toksin kolera mengandung 2 subunit yaitu B (binding) dan A (active). Subunit B terikat pada reseptr GM1, yang terdapat pada sel epitel usus halus. Subunit A kemudian dapat masuk menembus membrane sel epitel. Sub unit ini memiliki aktivitas ADP ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose dari NAD ke sebuah GTP binding protein yang mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal Ini menyebabkan peningkatan produksi CAMP, yang menghambat absorbsi NaCl dan merangsang ekskresi klorida, yang menyebabkan hilangnya air, NaCl, kalium, dan bikarbonat [1] . Toksin tambahan dan factor lain sekarang telah diketahui terlibat dalam pathogenesis kolera. Zonula occludens toxin (Zot) meningkatkan permeabilitas mukosa usus halus dengan mempengaruhi struktur tight junction interselular [1]. D. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis yang khas di tandai dengan diare yang encer dan berlimpah tanpa di dahului oleh rasa mules maupun tenesmus. Dalam waktu singkat tinja yang semula berwarna dan berbau feses berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau busuk maupun amis, tapi manis menusuk. Muntah timbul kemudian setelah diare, dan berlangsung tanpa didahului mual. Kejang otot dapat menyusul, baik dalam bentuk fibrilasi atau fasikulasi, maupun kejang kronik yang mengganggu [1]. Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit serta asidosis. Pasien berada dalam keadaan lunglai, tak berdaya, namun kesadarannya relative baik dibanding dengan berat penyakitnya. Diare akan bertahan hingga 5 hari pada pasien yang tidak diobati [1]. Berkurangnya volume cairan disertai dengan viskositas darah yang meningkat, akhirnya menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Tanda utama yang dianggap khas adalah suhu tubuh yang rendah (34 hingga 24,50C ), sekalipun sedang berlangsung infeksi. Perubahan patofisiologi ireversibel lainnya pada organ agaknya tidak terjadi, bahkan hemostasis masih tetap dapat dipertahankan atau masih mudah dikoreksi [1]. E. PENATALAKSANAAN Dasar terapi kolera adalah terapi asimptomatik dan kausal secara simultan. Tatalaksana mencakup penggantian kehilangan cairan tubuh dengan segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan bikarbonat serta terapi antimikrobal [1]. Rehidrasi dilaksananakan dalam 2 tahap, yaitu terapi rehidrasi dan rumatan. Pada dehidrasi berat yang disertai renjatan hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau pasien dengan penyulit yang berat dapat mempengaruhi keberhasillan pengobatan. Pada kasus ringan dan sedang rehidrasi dapat dilakukan per oral dengan cairan rehidrasi oral. Untuk keperluan rumatan dapat diberikan cairan dengan konsentrasi garam yang rendah seperti air minum biasa, atau susu ang diencerkan dan air susu ibu terutama untuk bayi dan anak-anak [1] . Tetrasiklin oral cendrung mengurangi jumlah feses pada kolera dan memperpendek periode ekskresi vibrio. Dibeberapa daerah endemic, resistensi terhadap tetrasiklin bermunculan, gen yang resistensi dibawah oleh plasmid yang ditransmisikan [2]. F. PROGNOSIS Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan ad integrum (sehat utuh) atau kematian. Penyulit yang disebabkan penyakitnya sendiri tidak ada. Penyulit biasanya terjadi akibat oleh keterlambatan pertolongan atau pertolongan yang tidak adekuat, seperti uremia, dan asidosis yang tidak terkompensasi [1]. G. PENCEGAHAN Pencegahan bergantung pada edukasi dan perbaikan sanitasi terutama makanan dan air. Pasien harus di isolasi, ekskret mereka harus di disinfeksi, dan orang yang kontak dengan pasien harus dipantau. Kemoprofilaksis dengan obat antimikroba mungkin diperlukan. Injeksi berulang vaksin yang mengandung lipopolisakarida yang diekstraksi dari vibrio ataupun suspensi padat vibrio dapat memberikan proteksi terbatas bagi orang yang sangat terpajan V. cholera tetapi tidak seefektif metode pengendalian lingkungan [2]. DAFTAR PUSTAKA 1. Setiati S, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 6. InternaPublishing, Jakarta. 2. Nugroho AW, dkk. 2012. Mikrobiologi Kedokteran, edisi 25. EGC, Jakarta