5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Wabah Penyakit Kolera dan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Wabah Penyakit Kolera dan Penyebarannya
Kolera adalah salah satu penyakit saluran pencernaan yang bersifat
menular, yang disebabkan oleh bakteri V. cholerae. Bakteri ini biasanya masuk ke
dalam tubuh melalui air minum yang terkontaminasi, karena sanitasi yang tidak
memenuhi standar (Bitton, 2005). Selain itu, bakteri ini juga dapat masuk ke
dalam saluran pencernaan melalui makanan yang tidak dimasak dengan benar.
Gejala-gejala penyakit kolera yang disebabkan oleh V. cholerae antara lain diare
hebat, perut keram, mual, muntah, dan dehidrasi. Kalau gejala diare hebat tersebut
dibiarkan atau tidak ditangani dengan baik, maka penderita dapat mengalami
kematian. Kematian pada penderita umumnya disebabkan oleh kasus dehidrasi
(Dziejman et al., 2002).
Pandemi penyakit kolera pertama kali ditemukan di Gangga Delta, suatu
bagian dari distrik di India pada tahun 1817 dan berlangsung sampai tahun 1824
(Frerichs, 2010). Pada daerah ini, pandemi kolera telah terjadi sebanyak 7 kali
selama 200 tahun terakhir. Selanjutnya penyakit ini menyebar dari India ke Asia
Tenggara, Cina, Jepang, Timur Tengah, dan selatan Rusia. Pandemi kedua
berlangsung dari tahun 1827-1835 yang tersebar di wilayah Amerika Serikat dan
Eropa, yang dilanjutkan dengan pandemi ketiga pada tahun 1839-1856, dimana
wabah Kolera meluas sampai Afrika Utara dan mencapai Amerika Selatan,
dengan negara yang paling parah terkena dampak wabah kolera di wilayah
5
6
Amerika Selatan pada saat itu adalah Brasil. Pada tahun 1863-1875 terjadi
pandemi keempat, wabah Kolera melanda wilayah sub-Sahara Afrika. Pandemi
kelima dan keenam berlangsung pada tahun 1881-1896 dan 1899-1923. Mesir,
Jazirah Arab, Persia, India, dan Filipina merupakan negara yang terkena dampak
paling parah epidemi. Sementara daerah lain yang terkena wabah kolera, adalah
Jerman pada tahun 1892 dan Naples 1910-1911. Pandemi akhir atau pandemi ke
tujuh terjadi pada tahun 1961 di Indonesia yang ditandai oleh munculnya strain
baru, yang dijuluki El Tor, dan masih berlanjut hingga hari ini di negara-negara
berkembang (Dziejman et al., 2002).
Pandemik ketujuh baru dimulai pada tahun 1961 ketika Vibrio pertama
kali muncul dan menyebabkan epidemi kolera di Sulawesi, Indonesia. Penyakit ini
lalu menyebar dengan cepat ke Negara Asia timur lainnya dan mencapai
Bangladesh pada tahun 1963, India pada tahun 1964 dan kawasan Soviet-Russia
pada tahun 1965-1966. Pada januari 1991, epidemi kolera menyerang Amerika
latin. Dimulai di Peru, penyakit ini dibawa oleh nelayan ke Ekuador dan
Kolombia dan dibawa pelancong ke seluruh Amerika Tengah dan Selatan. Pada
tahun pertama wabah ini menyerang, sebanyak 400.000 kasus telah dilaporkan
(Frerichs, 2010).
2.2
Bakteri Vibrio cholerae
Fillipo Pacini, seorang ahli anatomi asal Italia, merupakan ilmuwan
pertama yang berhasil mengisolasi V. cholerae pada tahun 1854. Namun,
penemuannya ini kurang dikenal, karena pada masa tersebut masih berkembang
Teori Racun (penyakit seperti Kolera disebabkan oleh racun) sehingga penemuan
7
Fillipo Pacini diabaikan oleh komunitas ilmiah (Frerichs, 2010). V. cholerae baru
dikenal secara luas sebagai bakteri penyebab penyakit kolera setelah Robert Koch
melaporkan hasil penelitiannya pada tahun 1884 (Taneja, 2005). Bakteri V.
cholerae umumnya banyak ditemukan pada perairan yang terkontaminasi oleh
feces yang mengandung bakteri tersebut, sehingga air dapat dianggap sebagai
salah satu media penularan penyakit kolera yang disebabkan oleh bakteri tersebut.
Selain itu, makanan yang sanitasinya buruk juga dapat dipakai sebagai medium
oleh bakteri ini untuk menyebar dan menularkan penyakit kolera (Murray et al.,
2002).
2.2.1
Morfologi Vibrio cholerae
Vibrio cholerae termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang bengkok
seperti koma dengan ukuran panjang 2-4 µm. (Gambar 2.1). Koch menamakannya
Gambar 2.1. Bentuk sel bakteri V. cholerae (Howard and Daghlian, 2012)
“kommabacillus”. Bila inkubasi diperpanjang, bentuk bakteri ini bisa berubah
menjadi batang yang lurus yang mirip dengan bakteri enterik gram negatif.
Bakteri ini dapat bergerak sangat aktif karena mempunyai satu buah flagellum
8
halus pada ujungnya (Monotrikh). Karakteristik morfologi lain dari bakteri ini
antara lain, tidak membentuk spora, bentuk koloninya cembung (Convex),
Opaque, dan bergranul bila disinari (Matson et al., 2007).
2.2.2
Fisiologi Vibrio cholerae
Vibrio cholerae bersifat aerob atau anaerob fakultatif dengan suhu untuk
pertumbuhan yang berkisar antara 18 sampai 37°C. Bakteri ini dapat tumbuh pada
berbagai jenis media, termasuk media tertentu yang mengandung garam mineral
dan asparagin sebagai sumber karbon dan nitrogen. Pertumbuhan V. cholerae
akan menjadi lebih baik dan lebih cepat, bila ditumbuhkan pada medium padat
Thiosulfate-citrate-bile-sucrose (TCBS). Pada media ini, koloni V. cholerae
berwarna kuning, sehingga dapat dibedakan dari koloni bakteri lain untuk
memudahkan dalam proses isolasinya (Purwoko, 2007)
Umumnya V. cholerae memerlukan pH netral untuk pertumbuhannya
dengan kecepatan optimum dan mengalami laju kematian yang sangat cepat pada
pH asam (Yuwono, 2005). Namun, dalam keadaan tertentu, bakteri ini dapat juga
tumbuh pada pH yang sangat tinggi (8,5-9,5). V. cholerae memfermentasi sukrosa
dan manosa tanpa menghasilkan gas, memfermentasi nitrit, tetapi tidak
memfermentasi arabinosa. Ciri khas lain yang membedakan Vibrio dari bakteri
enterik gram negatif lain yang tumbuh pada agar darah adalah pada tes oksidasi
yang hasilnya positif. Pada air peptone alkali, bakteri ini akan tumbuh dengan
baik setelah 6 jam inkubasi pada suhu kamar, sehingga medium ini sering dipakai
untuk mentransport sampel feses atau usapan dubur penderita penyakit kolera
(Urassa et al., 2000).
9
Untuk membedakan species V. cholerae dari spesies Aeromonas, biasanya
dipakai campuran 0/129 (2,4-diamino-6,7-diisopropylpteridine phosphate) atau
medium yang mengandung 6% NaCI. Pada kedua kondisi tersebut, V. cholerae
akan menunjukkan sifat sensitif terhadap campuran 0/129, tapi tumbuh pada
media yang mengandung 6% NaCI, sedangkan sifat sebaliknya akan ditunjukkan
oleh kelompok Aeromonas (Urassa et al., 2000).
2.2.3
Klasifikasi Vibrio cholerae
Menurut National Standard Method (2007) klasifikasi dari V. cholerae
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Phylum
: Proteobacteria
Class
: Gamma Proteobacteria
Order
: Vibrionales
Family
: Vibrionaceae
Genus
: Vibrio
Species
: Vibrio cholerae (Pacini, 1854)
Vibrio cholerae diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu serotype dan
biotype. Untuk serotype, V. cholerae dibedakan atas kemampuan bakteri ini
mengaglutinasi antisera polivalent O, yang juga terbagi atas tiga, yaitu Ogawa
(AB), Inaba (AC), dan Hikojima (ABC). Sementara itu, untuk biotype, bakteri ini
dibagi lagi berdasarkan sensitifitasnya terhadap bakteriofaga yaitu Klasikal dan
El-Tor. V. cholerae lebih lanjut dibagi lagi ke dalam lebih dari 30 strain
berdasarkan variasi antigen, genomik dan toksisitasnya (Moat et al., 2002).
10
Grup O1 dibagi atas biotype Klasikal dan El-Tor. Biotype Klasikal adalah
penyebab kolera atau asiatik kolera. El-Tor pertama tercatat muncul di Sulawesi
pada tahun 1961. Biotype ini selain menghasilkan toksin seperti biotype Klasikal
juga menghasilkan hemolisin, yaitu suatu protein yang dapat menyebabkan
hemolisis darah sehingga penderita diare mengalami diare yang berdarah (Urassa
et al., 2000).
Grup non O1 dianggap tidak begitu berbahaya, karena infeksi oleh bakteri
V. cholerae non O1 hanya menyebabkan diare ringan. Namun, pada tahun 1991
dunia dikejutkan oleh wabah kolera di Banglades dan India yang disebabkan oleh
V. cholerae non O1 yang memproduksi toksin seperti grup O1. Strain baru ini
selanjutnya diberi nama V. cholerae O139 Bengal (Santoso, 2000).
2.2.4
Patogenesis dan patologi Vibrio cholerae
Secara alamiah, V. cholerae hanya patogen terhadap manusia. Seseorang
dengan asam lambung normal akan terinfeksi oleh Vibrio bila mengkonsumsi
makanan yang mengandung sebanyak 102 - 104 sel/gram makanan, karena bakteri
ini sangat sensitif dengan suasana asam. Beberapa proses
pengobatan atau
keadaan yang dapat menurunkan kadar asam dalam lambung membuat seseorang
lebih sensitif terhadap infeksi V. cholerae ( Dziejman, 2002).
Vibrio cholerae dapat menghasilkan enterotoksin, dengan berat molekul
sekitar 90.000 yang mengandung 98% protein, 1% lipid, dan 1% karbohidrat.
Bakteri ini tidak tahan asam dan panas. Pada tiap molekul enterotoksin V.
cholerae terdapat 5 sub unit B (binding) dan 1 sub unit A (active). Sub unit A ini
mempunyai 2 komponen A1 dan A2. Enterotoksin berikatan dengan reseptor
11
ganglion pada permukaan enterocytes melalui 5 sub unit B. Sedangkan komponen
sub unit A2 mempercepat masuknya enterotoksin ke sel dan komponen sub unit
A1 bertugas meningkatkan aktivitas Adenil siklase akibatnya produksi cyclic
AMP meningkat yang menyebabkan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit.
Sehingga menimbulkan diare masif dengan kehilangan cairan mencapai 20 liter
perhari yang dikenal dengan Watery Diarrhea. Pada kasus berat dengan gejala
dehidrasi, syok, dan gangguan elektrolit dapat menyebabkan kematian (Tantillo et
al., 2004).
Vibrio cholerae tidak bersifat invasif (tidak masuk ke dalam aliran darah),
sehingga pada umumnya tetap berada di saluran usus penderita. Dalam proses
infeksinya, V. cholerae virulen akan menempel pada mikrovili permukaan sel
epithelial, dimana mereka melepaskan toksin kolera (enterotoksin). Toksin kolera
diserap di permukaan gangliosida sel epitel dan merangsang hipersekresi air dan
klorida dan menghambat absorpsi natrium. Akibatnya penderita akan kehilangan
banyak cairan dan elektrolit, walaupun secara histologi usus tetap normal
(Novotny et al., 2004).
Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh V. cholerae ini asimptomatik
atau terjadi diare yang ringan pada pasien. Bila terjadi infeksi oleh V. cholerae,
gejala-gejala diare akan timbul setelah 1 – 4 hari masa inkubasi terlampaui. Gejala
khas akibat terinfeksi oleh bakteri kolera ini biasanya dimulai dengan munculnya
diare encer yang berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas dan tanpa adanya
tenesmus. Dalam waktu singkat tinja yang semula berwarna dan berbau feses
berubah menjadi cairan putih keruh yang mirip air cucian beras (rice water stool).
12
Cairan ini mengandung mucus, sel epithelial, dan sejumlah besar bakteri V.
cholerae. Gejala mual akan timbul setelah diare yang diikuti gejala muntah, dan
selanjutnya biasanya diikuti oleh kejang otot, terutama pada otot-otot betis,
biseps, triseps, pektoralis, dan dinding perut (kram perut) (Nurmaini, 2001).
Dalam waktu singkat setelah terjadi diare yang hebat, penderita akan
kehilangan cairan dan elektrolit yang dapat mengarah pada dehidrasi berat, syok,
dan anuria. Tanda-tanda dehidrasi tampak jelas, berupa perubahan suara menjadi
serak seperti suara bebek manila (vox cholerica), kelopak mata cekung, mulut
menyeringai karena bibir yang kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit
berkurang, jari jari tangan dan kaki tampak kurus dengan lipatan-lipatan kulit,
terutama ujung jari yang keriput (washer women hand), diuresis berangsur-angsur
kurang dan berakhir dengan anuria. Bila tidak diobati, tingkat kematian dapat
mencapai 25% sampai 50% (Simanjuntak, 2002). Gejala-gejala yang ditimbulkan
oleh serangan Vibrio ini dalam kasus-kasus yang bersifat sporadis maupun yang
ringan tidak mudah untuk dibedakan dari penyakit diare yang lain (Suzita et al.,
2009).
2.3
Pasar Tradisional
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta
ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya
ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los
dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.
Kebanyakan pedagang menjual kebutuhan sehari-hari diantaranya bahan-bahan
makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang
13
elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan
barang-barang lainnya (Soemirat, 2005). Pasar seperti ini masih banyak
ditemukan di Indonesia, khususnya di Kota Denpasar. Umumnya, kondisi pasar
tradisional identik dengan pasar yang kumuh dan kurang terjaga kebersihannya.
2.3.1
Pasar Ketapian
Pasar Ketapian adalah salah satu pasar tradisional yang berlokasi di Jalan
Katrangan, Kelurahan Sumerta, Denpasar Timur yang di bangun pada tahun 1978
dan mengalami revitalisasi pada tahun 2010. Pasar yang berdiri di atas tanah
seluas 2200 m2 memiliki luas bangunan sekitar 975 m2. Sekarang pasar ini
memiliki kios sebanyak 26 buah dan los sebanyak 75 buah (PD. Pasar Kota
Denpasar, 2015).
Sebelum mengalami revitalisasi, kondisi Pasar Ketapian sangat kumuh dan
kurang tertata dengan baik. Terlebih lagi jika musim penghujan tiba, lantai pasar
akan menjadi kotor dan berlumpur. Setelah mengalami revitalisasi, penempatan
para pedagang dan kondisi di Pasar Ketapian menjadi lebih teratur, bersih dan
nyaman untuk berbelanja. Pedagang sayuran, pakaian dan buah-buahan, berjualan
di pinggir jalan dekat area pasar. Para pedagang yang berjualan kebutuhan pokok
seperti sembako, ikan atau daging berada di dalam pasar. Jenis ikan yang dijual di
Pasar Ketapian sebagian besar adalah jangki, kakap, gurami, udang, cumi, dan
tongkol. Pedagang ikan disini juga menjual kerang hijau hanya saja tidak sering
dan dalam jumlah yang sedikit bila ada yang memesan. Hasil perikanan tersebut
mayoritas mereka dapatkan dari Kedonganan, Pasar Badung, dan ada pula yang
14
mendapatkannya dari pengepul ikan yang ada di kawasan Denpasar dan nelayan
lokal di daerah Padang Galak (PD. Pasar Kota Denpasar, 2015).
2.3.2 Pasar Kumbasari
Pasar Kumbasari dibangun pada tahun 1977 namun sempat terbakar pada
tahun 2000 yang kemudian dibangun kembali pada tahun 2001. Pasar ini berdiri
dengan luas tanah 7000 m2 dan luas bangunan sekitar 12.572 m2, serta memiliki
kios sebanyak 489 buah dan los sebanyak 188 buah (PD. Pasar Kota Denpasar,
2015).
Pasar Kumbasari termasuk pasar tradisional terbesar di Denpasar yang
terletak di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat.
Pasar tradisional ini buka selama 24 jam dalam setiap harinya, dimana pasar ini
terdiri atas dua lantai. Lantai dasar digunakan untuk menyediakan berbagai
kebutuhan pokok. Lantai dua biasanya digunakan sebagai tempat berjualan aneka
cinderamata kerajinan tangan yang dibuat masyarakat Bali seperti Kerajinan
Perak, Batik Bali, Lukisan, Aksesoris dan pernak khas Bali, serta Tenun Ikat Bali
(PD. Pasar Kota Denpasar, 2015).
Para pedagang daging dan ikan biasanya berjualan di kanan dan kiri jalan
dekat jembatan yang menghubungkan Pasar Kumbasari dengan Pasar Badung.
Mereka menjajakan dagangannya di luar kios untuk mempermudahkan mereka
membersihkan ikan-ikan yang mereka jual. Ikan-ikan yang dijual di pasar ini
sebagian besar adalah jenis kakap merah, tongkol, udang, kerang, jangki, dan
gurami. Adapula yang menjual kerang hijau, gurita, cumi-cumi, kepiting dan
lobster. Hasil perikanan tersebut mereka dapatkan dari berbagai tempat. Ada yang
15
mendapatkannya dari pengepul ikan, ada yang berasal dari nelayan lokal Bali,
seperti dari Kedonganan, Klungkung, Karangasem dan Negara, adapula dari
Lombok, Banyuwangi dan Madura (PD. Pasar Kota Denpasar, 2015).
2.3.3
Pasar Pidada
Pasar Pidada dibangun pada tahun 2000 dengan luas tanah 3200 m2 dan
luas bangunan sekitar 2410 m2. Pasar ini terletak di Jalan Abimayu, Kelurahan
Ubung, Kecamatan Denpasar Utara. Pasar Pidada memiliki 1 lantai dengan kios
sebanyak 48 buah dan los sebanyak 211 buah yang menjual beraneka ragam jenis
kebutuhan pokok. Kios sayur, daging dan ikan di pasar ini letaknya
berdampingan. Sama seperti pasar-pasar sebelumnya, di pasar ini, para pedagang
menjual hasil perikanan yang di dapat dari para pengepul ikan dari Kedonganan
dan ada juga yang berasal dari Pasar Badung, dan Negara. Mayoritas pedagang
disini menjual udang, ikan tongkol, mujair, kakap merah, gurami, cumi-cumi,
kepiting, dan kerang hijau. Para pedagang disini juga jarang menjual kerang hijau,
hanya ada beberapa yang menjual kerang hijau, mereka menjual ketika sedang ada
pesanan (PD. Pasar Kota Denpasar, 2015).
Download