Urgensi Syahadatain - tarbiyah

advertisement
Urgensi Syahadatain
‫أهمية الشهادتين‬
(Urgensi Dua Kalimat Syahadat)
Muqaddimah
Dua kalimat syahadat, Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadar
Rasulullah, adalah tujuan utama dari diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Menjadikan seluruh manusia memberikan kesaksian, ikrar, dan sumpah,
bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah secara haq kecuali Allah‘Azza wa Jalla,
dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah hambaNya dan utusanNya. Dua
kalimat syahadat merupakan bingkai dari semua tujuan da’wah lainnya. Semua
aktifitas da’wah dan jihad diarahkan demi tegaknya kalimat ini. Maka, bagi aktifis
da’wah, di mana pun mereka, apa pun profesinya, hendaknya menjadikan dua
kalimat syahadat sebagai muara semua tujuan dan arahan da’wahnya.
Hal ini sesuai dengan nash-nash sebagai berikut:
َّ ‫اَّلل َواجْ تَنِبُوا ال‬
ُ ‫طا‬
َ‫غوت‬
ُ ‫َولَقَ ْد بَعَثْنَا فِي ُك ِ ِّل أ ُ َّم ٍة َر‬
َ َّ ‫سوال أ َ ِن ا ُ ْعبُدُوا‬
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk
menyerukan):
"Sembahlah
Allah
(saja),
dan
jauhi
lah Thaghut itu". (QS. An Nahl (16): 36)
Dengan sangat jelas dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla mengabarkan tentang tujuan
utama da’wah para rasul, yakni agar manusia menyembah Allah semata, dan tidak
mempersekutukan diriNya dengan apa pun, yang oleh manusia dijadikan
sebagai Ilah selain Allah ‘Azza wa Jalla, yakni Thaghut. (pembahasan thaghut akan
ada babnya tersendiri Insya Alah)
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310H) menafsirkan ayat ini, demikian:
، ‫ولقد بعثنا أيها الناس في ك ِّل أمة سلفت قبلكم رسوال كما بعثنا فيكم بأن اعبدوا هللا وحده ال شريك له‬
‫ وأخلصوا له العبادة‬، ‫وأفردوا له الطاعة‬
“Wahai manusia, Kami telah mengutus pada setiap umat terdahulu sebelum kalian
seorang rasul sebagaimana Kami telah utus kepada kalian juga, dengan seruan:
sembahlah Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya, dan hanya kepadaNyalah
kalian ta’at, dan memurnikan ibadah hanya untukNya.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath
Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 17/201. Mu’asasah Ar Risalah)
Ada pun ayat yang menegaskan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam:
www.tarbiyah-online.com
Page
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat
1
‫علَى أ َ ْعقَابِ ُك ْم َو َم ْن‬
َ ‫س ُل أَفَ ِإ ْن َماتَ أ َ ْو قُتِ َل ا ْنقَلَ ْبت ُ ْم‬
ُ ‫الر‬
ُ ‫َو َما ُم َح َّمدٌ إِال َر‬
ُّ ‫سو ٌل قَ ْد َخلَتْ ِم ْن قَ ْب ِل ِه‬
َ
َ
َ
ْ
َ‫اَّللُ الشَّا ِك ِرين‬
َ ‫على‬
َ ‫يَ ْنقَ ِل ْب‬
َ ‫اَّلل‬
َّ ‫سيَجْ ِزي‬
َ ‫ش ْيئ ًا َو‬
َ َّ ‫ع ِقبَ ْي ِه فلن يَض َُّر‬
Urgensi Syahadatain
kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada
orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran (3): 144)
Ayat yang mulia ini menegaskan tentang kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, sebagai hamba dan RasulNya, sebagaimana dahulu juga telah
Allah ‘Azza wa Jalla utus para rasul sebelumnya.
،‫ داعيًا إلى هللا وإلى طاعته‬،‫وما محمد إال رسول كبعض رسل هللا الذين أرسلهم إلى خلقه‬
‫الذين حين انقضت آجالهم ماتوا وقبضهم هللا إليه‬
“Muhammad itu hanyalah seorang rasul, seperti sebagian rasul-rasul
Allah yang telah Dia utus kepada hambaNya, penyeru kepada Allah
dan menuju ketaatan kepadaNya, mereka itu ketika telah ditetapkan
ajalnya, maka mereka wafat dan Allah mencabut nyawa mereka
kepadaNya.” (Ibid, 7/251)
Atau ayat:
‫علَى ا ْل ُكفَّ ِار ُر َح َما ُء بَ ْينَ ُه ْم‬
َ ‫شدَّا ُء‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
ِ َ ‫اَّلل َوالَّ ِذينَ َمعَهُ أ‬
ُ ‫ُم َح َّمدٌ َر‬
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka.” (QS. Al Fath 48): 29)
Dan masih banyak ayat lainnya.
Sedangkan dari As Sunnah, telah diriwayatkan beberapa hadits yang menyebutkan
esensi diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu
Sallam bersabda:
‘Anhu,
bahwa
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi
wa
،‫ ويؤتوا الزكاة‬،‫ ويقيموا الصالة‬،‫أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن ال إله إال هللا وأن محمدا رسول هللا‬
‫ وحسابهم على هللا‬،‫فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إال بحق اإلسالم‬
“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat),
bahwa tidak ada Ilahkecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka
mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas
Allah-lah perhitungan mereka.” (HR. Bukhari, Kitabul Iman, No. 25, Muslim, Kitabul
Iman, No. 36)
Hadits yang mulia ini telah menegaskan pula kepada kita bahwa tujuan Beliau diutus
adalah agar manusia mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, dan zakat.
Tentunya tidak melupakan kewajiban-kewajiban lain kebagaimana disebutkan dalam
riwayat yang masyhur, bahwa Islam dibangun dengan lima rukun.
www.tarbiyah-online.com
Page
َ ْ‫ُج ِعلَت‬
، ‫ي ْاْلَحْ كَام‬
َ ِ‫ فَ ُم ْقتَضَاهُ أَنَّ َم ْن ش َِهدَ َوأ َ َقا َم َوآت َى ع ُِص َم دَمه َو َل ْو َج َحدَ بَاق‬، ‫غايَة ا ْل ُمقَاتَلَة ُو ُجود َما ذُ ِك َر‬
َ َ ‫سالَ ِة تَت‬
‫صدِيق ِب َما َجا َء بِ ِه‬
َّ ‫َوا ْل َج َواب أَنَّ ال‬
ْ َّ ‫ض َّمن الت‬
َ ‫الر‬
ِّ ِ ‫ش َهادَة ِب‬
2
Al Hafizh Ibnu Hajar (w. 852H) mengomentari hadits ini:
Urgensi Syahadatain
“Dijadikannya tujuan peperangan adalah demi eksistensi apa-apa yang telah
disebutkan (syahadat, shalat, dan zakat, pen), maka konsekuensinya bahwa siapa
saja yang telah bersaksi, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka telah
dijaga darahnya walau dia masih berpaling pada hukum-hukum lainnya. Dan
jawabannya adalah bahwa sesungguhnya kesaksian terhadap risalah (Islam)
membawa konsekuensi meyakini apa pun yang datang bersamanya.” (Fathul Bari,
1/76. Darul Fikr).
Sementara, Imam Ibnu Rajab (w. 795) dalam kitab yang berjudul sama dengan Al
Hafizh Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari, mengatakan bahwa sekelompok sahabat ada
yang memahami bahwa kalimat syahadat menjadi pelindung darah seseorang
seihngga dia tidak boleh diperangi, kecuali mereka menolak mengeluarkan zakat.
Sampai akhirnya, Abu Bakar Ash Siddiq Radhiallahu ‘Anhu menjelaskan kepada
mereka tentang hadits ini, akhirnya para sahabat lain pun mengikuti beliau:
.‫اإلسالم‬
‫ وهو اإلتيان ببقية مباني‬،‫الكلمتان بحقوقهما ولوازمهما‬
“(yakni) dua kalimat beserta hak-haknya dan hal-hal yang menyertainya, yaitu
dengan mendatangkan juga hal-hal lain dari rukun-rukun Islam.” (Lihat Fathul Barinya Ibnu Rajab, pembahasan Kitabush Shalah Bab Fadhlush Shalah li Waqtiha, Mauqi’
Ruh Al Islam. Ada pun versi Al Maktabah Asy Syamilah, pada Juz 4, Hal. 20)
Jadi, menurut Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu bukan hanya zakat, hal-hal
lain dari rukun Islam yang wajib ada menyertai dua kalimat syahadat pun jika
ditinggalkan karena mengingkari kewajibannya, maka orang tersebut boleh diperangi.
Demikianlah. Betapa pentingnya dua kalimat syahadat bagi manusia secara umum,
dan khususnya umat Islam untuk mempelajarinya.
Urgensi Pertama: Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pintu Gerbang Keislaman
Dua kalimat syahadat merupakan madkhalun ilal Islam (pintu gerbang masuk ke
Islam). siapa pun yang ingin memeluk Islam, maka dia wajib mengucapkannya, tanpa
keraguan, tanpa dipaksa atau terpaksa, jika demikian maka dia sah disebut muslim,
tanpa harus ada saksi sebagaimana keislaman raja Najasyi.
Ada pun tentang status orang yang sudah bersyahadat, maka Imam Muhyiddn An
Nawawi (w. 676H) mengatakan ketika mengomentari hadits, “Aku diutus untuk
memerangi manusia ...”:
www.tarbiyah-online.com
Page
“Dalam
hadits
ini
terdapat
petunjuk
yang
jelas menurut madzhab
para muhaqqiq (peneliti) dan jumhur (mayoritas) salaf dan khalaf, bahwa manusia
jika dia meyakini agama Islam dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan di
3
‫س َالم اِ ْع ِتقَادًا‬
ْ ‫اإل‬
َ ‫اإل ْن‬
َّ ‫ب ا ْل ُم َح ِقِّ ِقينَ َوا ْل َج َما ِهير ِم ْن ال‬
ِ ‫َو ِفي ِه د ََاللَة َظا ِه َرة ِل َم ْذ َه‬
ِ ْ ‫سان ِإذَا اِ ْعتَقَدَ دِين‬
ِ ْ َّ‫سلَف َوا ْل َخلَف أَن‬
‫اَّلل ت َ َعالَى‬
َ ‫َج ِاز ًما َال ت َ َردُّد ِفي ِه َكفَاهُ ذَ ِلكَ َو ُه َو ُم ْؤ ِمن ِم ْن ا ْل ُم َو ِ ِّح ِدينَ َو َال َي ِجب‬
َّ ‫علَ ْي ِه ت َ َعلُّم أ َ ِدلَّة ا ْل ُمت َ َك ِلِّ ِمينَ َو َم ْع ِرفَة‬
ً ‫ب ذَ ِلكَ َو َج َعلَهُ ش َْر‬
‫س ِل ِمينَ ِإ َّال‬
َ ‫ َو َز‬، ‫طا فِي ك َْونه ِم ْن أ َ ْهل ا ْل ِق ْبلَة‬
ْ ‫ع َم أَنَّهُ َال َيكُون لَهُ ُح ْكم ا ْل ُم‬
َ ‫ ِخ َالفًا ِل َم ْن أ َ ْو َج‬، ‫ِب َها‬
‫ َو ُه َو َخ َطأ َظا ِهر فَ ِإنَّ ا ْل ُم َراد‬. َ‫ص َحابنَا ا ْل ُمت َ َك ِلِّ ِمين‬
ْ َ ‫ َو َهذَا ا ْل َم ْذ َهب ُه َو قَ ْول َك ِثير ِم ْن ا ْل ُم ْعت َ ِزلَة َو َب ْعض أ‬. ‫ِب ِه‬
‫علَ ْي ِه‬
َ ‫اَّلل‬
َ ‫اَّلل‬
ْ َّ ‫سلَّ َم اِ ْكتَفَى ِبالت‬
ْ َّ ‫الت‬
َ ‫ِيق ِب َما َجا َء بِ ِه‬
َ ‫ي‬
َ ‫ َوقَ ْد َح‬، ‫صدِيق ا ْل َج ِازم‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َّ ‫صلَّى‬
ِّ ِ‫ َو ِْلَنَّ النَّب‬، ‫ص َل‬
ِ ‫صد‬
ْ ‫سلَّ َم َولَ ْم َي‬
‫صل بِ َمجْ ُمو ِع َها الت َّ َواتُر‬
َّ ‫شت َ ِرط ا ْل َم ْع ِرفَة ِبالدَّ ِلي ِل ؛ فَقَ ْد ت َ َظا َه َرتْ بِ َهذَا أ َ َحادِيث فِي ال‬
ُ ْ‫ص ِحي َحي ِْن يَح‬
َ ‫َو‬
.‫ي‬
ْ َ ‫بِأ‬
ِّ ‫ص ِل َها َوا ْل ِع ْلم ا ْلقَ ْط ِع‬
Urgensi Syahadatain
dalamnya, maka itu telah cukup baginya, dan dia adalah seorang mu’min dari
kalangan muwahhidin(orang-orang yang bertauhid). Dia tidak diharuskan mengetahui
dalil-dalil para ahli kalam dan dalil-dalilma’rifatullah. Telah terjadi perselisihan bagi
orang yang mewajibkan hal itu (pengetahuan terhadap dalil, pen) dan menjadikannya
sebagai syarat bagi seseorang untuk termasuk sebagai ahli kiblat, mereka menyangka
bahwa tidak bisa dihukumi sebagai muslim kecuali dia harus mengetahui dalildalilnya. Ini adalah pendapat kebanyakan kaum mu’tazilah dan sebagian kawankawan kami (madzhab syafi’i, pen) dari kelompok ahli kalam (teolog). Ini jelas
pendapat yang salah. Sebab, sesungguhnya yang dimaksud adalah keyakinan yang
pasti dan itu telah cukup. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
mencukupkan dengan keyakinan terhadap apa-apa yang dia bawa, dan tidak
mensyaratkan harus mengetahui dalil-dalilnya. Hadits-hadits tentang masalah ini
sangat jelas tertera dalam shahihain (Bukhari-Muslim) yang mencapai derajat
mutawatir dan membawa ilmu yang meyakinkan.” (Syarh Shahih Muslim, Kitabul
Iman, No. 31. Mauqi Ruh Al Islam. Ada pun versi Al Maktabah Asy Syamilah, Juz. 1,
Hal. 93)
Jadi, keislaman seseorang sudah diakui, selama dia meyakininya secara pasti, tanpa
harus mereka mengetahui dalil-dalil keimanan itu ada di ayat mana, hadits riwayat
siapa, dan seterusnya. Sebab, dahulu orang-orang pedalaman ketika masuk Islam
pun oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap diakui keislamannya, walau
mereka tidak mengetahui dalil-dalilnya. Namun, alangkah lebih baiknya bagi
seseorang yang sudah berislam dia berupaya mengetahui dalil-dalil keimanannya.
Konsekuensi dua kalimat syahadat bagi pengucapnya adalah maka dia hendaknya
tidak sekedar bersyahadat tetapi menyempurnakannya dengan rukun Islam lainnya,
sebagaimana yang dikataka oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu. Dia
dimaafkan ketika masih awal muallaf belum mengetahui bahkan belum mengerjakan
hal-hal urgen dalam Islam yang wajib dilakukan oleh semua orang Islam. Namun, dia
tidak boleh berlama-lama dalam ketidaktahuannya, harus terus belajar dan
mengamalkan Islam secara bertahap.
Sedangkan konsekuensi bagi saudara muslim lainnya, maka hendaknya
melindungi muallaf baru ini baik darah, harta, dan kehormatannya, dan disikapi
seperti
muslim
lainnya.
Dia
sudah
berhak
mendapatkan
waris
atau
mewariskan[1] dengan sesama umat islam lainnya yang senasab dengannya atau
karena faktor pernikahan. Dia sudah berhak diberikan dan dijawab salamnya secara
wajar, dan sikap-sikap lainnya yang diajarkan syariat terhadap sesama muslim.
Selanjutnya, dua kalimat syahadat merupakan pintu masuk ke dalam Islam, namun
bagi manusia yang lahir dari keluarga muslim, sehingga sejak kecil dia adalah muslim
dan sampai dewasa tetap muslim, maka tidak ada istilah syahadat ulang bagi mereka
dan itu tidak dibenarkan, sebagaimana yang dilakukan kelompok-kelompok sempalan
dalam Islam yang meminta anggotanya untuk melakukan syahadat ulang, jika ingin
bergabung dengan mereka, jika tidak melakukannya maka kafir, menurut mereka.
Page
ُ ‫َو ِإ ْذ أ َ َخذَ َربُّكَ ِم ْن َبنِي آدَ َم ِم ْن‬
ْ َ ‫ور ِه ْم ذُ ِ ِّريَّت َ ُه ْم َوأ‬
‫س ِه ْم أَلَسْتُ ِب َر ِبِّ ُك ْم قَالُوا‬
َ ‫ش َهدَ ُه ْم‬
ِ ُ‫علَى أ َ ْنف‬
ِ ‫ظ ُه‬
َ ‫َبلَى ش َِه ْدنَا أ َ ْن تَقُولُوا يَ ْو َم ا ْل ِق َيا َم ِة ِإنَّا ُكنَّا ع َْن َهذَا‬
َ‫غا ِف ِلين‬
4
Sesungguhnya setiap anak manusia yang lahir maka dia sudah muslim, sesuai ayat:
www.tarbiyah-online.com
Urgensi Syahadatain
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anakanak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami
menjadi saksi (bersyahadat)". (kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)" (QS. Al A’raf (7): 172)
Ayat ini menjelaskan bahwa ketika manusia masih di alam ruh, sebelum mereka ada
di rahim ibunya, mereka telah mengambil janji dan mengakui bahwa Allah ‘Azza wa
Jalla sebagai Tuhan mereka. Oleh karena itu, setiap bayi yang lahir maka dia dalam
keadaan fitrah (muslim). Apalagi jika dia dilahirkan dari keluarga yang muslim dan
dibesarkan dengan cara islam, maka tidak perlu lagi syahadat ulang, kecuali jika dia
dibesarkan oleh orang tuanya dengan cara kafir, sehingga dia pun ikut menjadi kafir,
maka jika dia ingin masuk Islam (tepatnya adalah kembali kepada Islam), wajiblah
baginya mengucapkan dua kalimat syahadat. Lantaran dia telah ‘menanggalkan’
kesaksiannya itu ketika dibesarkan secara kafir oleh kedua orang tuanya di dunia.
Hal ini diperkuat lagi oleh riwayat dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa
Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
‫سانِ ِه‬
َ ُ‫ُك ُّل َم ْولُو ٍد يُولَد‬
ِّ ِ َ‫علَى ا ْل ِف ْط َر ِة فَأ َ َب َواهُ يُ َه ِّ ِودَا ِن ِه أ َ ْو يُن‬
َ ‫ص َرا ِن ِه أ َ ْو يُ َم ِ ِّج‬
“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya
menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No.
2658)
Telah banyak tafsir tentang makna ‘fitrah’ dalam hadits ini, namun yang masyhur dan
benar adalah Islam. Hal ini ditegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al
Asqalani Rahimahullah (w. 852H):
ْ َ ‫َوأ‬
‫ َوأَجْ َم َع‬. ‫سلَف‬
َ ‫ قَا َل اِبْن‬، ‫س َالم‬
ْ ‫اإل‬
َّ ‫ َو ُه َو ا ْل َم ْع ُروف ِع ْند عَا َّمة ال‬: ‫عبْد ا ْلبَ ِّر‬
ِ ْ ‫ش َه ُر ْاْل َ ْق َوال أَنَّ ا ْل ُم َراد بِا ْل ِف ْط َر ِة‬
‫س َالم‬
َ ‫اَّلل الَّتِي فَ َط َر النَّاس‬
َ ‫أ َ ْهل ا ْل ِع ْلم بِالتَّأ ْ ِوي ِل‬
ْ ‫علَ ْي َها ) ا ْ ِإل‬
َّ ‫علَى أَنَّ ا ْل ُم َراد بِقَ ْو ِل ِه تَعَالَى ( فِ ْط َرة‬
“Pendapat yang paling masyhur adalah bahwa maksud dari fitrah adalah Islam.
Berkata Ibnu Abdil Bar:‘Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.’ Para ulama
telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud ayat: “(tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah
Allah,” adalah Islam.” (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)
Sehingga, dengan berdalil pada hadits ini, maka jika ada seorang bayi yang wafat dan
dia lahir dari orang tua yang kafir maka dia tetaplah Islam menurut sebagian ulama
dan dishalatkan, sebagaimana pendapat Az Zuhri. Atau jika yang wafat adalah kedua
orang tuanya, maka dia pun dihukumi sebagai muslim. Berkata Imam Ahmad:
‫س َال ِم ِه‬
ْ ‫ان ُح ِك َم بِ ِإ‬
ِ ‫َم ْن َماتَ أَبَ َواهُ َو ُه َما كَافِ َر‬
www.tarbiyah-online.com
Page
Pembahasan ini menegaskan sekali lagi bahwa dua kalimat syahadat merupakan
pembatas antara muslim dan kafir. Dia adalah kalimat revolusioner yang telah
merubah seorang budak seperti Bilal bin RabahRadhiallahu ‘Anhu menjadi manusia
5
“Barangsiapa yang kedua orangtuanya wafat, dan mereka berdua kafir, maka bayi
itu dihukumi sebagai Islam.” (Ibid) selesai.
Urgensi Syahadatain
mulia, seorang ‘preman’ seperti Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhumenjadi
manusia agung. Bukan hanya dalam lingkup pribadi, juga dalam jangkauan
komunitas, dua kalimat syahadat telah merubah masyarakat Arab yang
jahiiyah menjadi berperikemanusiaan dengan bimbingan Islam. Bahkan menjadi guru
dunia selama hampir satu mellenium lamanya.
Sebenarnya, orang kafir –menurut keterangan Al Quran- mereka juga bertauhid,
yakni hanya tauhid rububiyah yakni mengesakan Allah bahwa Allah Ta’ala dari sisi
bahwa Dia satu-satunya Rabb, yaitu yang memberi rezeki, mencipta, dan mengatur.
Dari sisi ini sajalah, kesamaan antara orang kafir dan muslim. Allah Ta’ala berfirman:
ِ ‫اوا‬
َّ ‫ض قُ ِل‬
َّ ‫ب ال‬
ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
ُّ ‫قُ ْل َم ْن َر‬
َ ‫س َم‬
ُ‫اَّلل‬
“Katakanlah: "Siapakah Rabb-nya
"Allah". (QS. Ar Ra’d (13): 16)
langit
dan
bumi?"
Jawabnya:
Dalam ayat lain:
‫) قُ ْل‬85( َ‫َّلل قُ ْل أَفَ َال تَذَك َُّرون‬
ِ َّ ِ َ‫سيَقُولُون‬
ُ ‫قُ ْل ِل َم ِن ْاْل َ ْر‬
َ )84( َ‫ض َو َم ْن فِي َها إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬
)87( َ‫َّلل قُ ْل أَفَ َال تَتَّقُون‬
ِ ‫اوا‬
ِ َّ ِ َ‫سيَقُولُون‬
َ )86( ‫يم‬
َّ ‫ت ال‬
َّ ‫ب ال‬
ُّ ‫سب ِْع َو َر‬
ُّ ‫َم ْن َر‬
َ ‫س َم‬
ِ ‫ب ا ْل َع ْر ِش ا ْل َع ِظ‬
َ‫سيَقُولُون‬
َ ‫ار‬
َ ‫قُ ْل َم ْن بِيَ ِد ِه َملَكُوتُ ُك ِ ِّل‬
َ )88( َ‫علَ ْي ِه إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬
ُ ‫ير َو َال يُ َج‬
ُ ‫ش ْي ٍء َو ُه َو يُ ِج‬
)89( َ‫ح ُرون‬
ِ َّ ِ
َ ‫س‬
ْ ُ ‫َّلل قُ ْل فَأَنَّى ت‬
“Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada
padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab:
"Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak ingat?"
Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang
Empunya 'Arsy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan
Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak bertakwa?" Katakanlah:
"Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu
sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari
(azab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab:
"Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka dari jalan
manakah kamu ditipu?" (QS. Al Mu’minun (23): 84-89)
www.tarbiyah-online.com
Page
Sedangkan seorang muslim sejati, dia juga meyakini tauhid uluhiyah yakni
mengesakan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Ilah yang layak disembah secara haq,
karena Dia sebagai Penguasa, Raja, Pembuat undang-undang, dan ma’bud (yang
disembah). Nah, di sisi inilah orang kafir tidak mengakui dan tidak meyakininya,
sehingga mereka masih menyembah sesembahan selain Allah Ta’ala, walau mereka
mengakui Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki, dan pengatur hidup mereka. Jika
kita perhatikan umat Islam hari ini, maka betapa banyak yang sudah merasa muslim,
tetapi tidak memiliki tauhid uluhiyah yang benar. Mereka masih mendatangi dukun,
percaya tahayul, meminta kepada penghuni kubur, benda-benda keramat, tanggal
dan hari keramat, angka keberuntungan, menjadikan selain Allah Ta’ala sebagai
pembuat syariat, dan lain sebagainya, padahal itu semua tidak membawa manfaat
6
Ayat-ayat ini menerangkan bahwa orang kafir mengakui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla,
sebagai pencipta langit dan bumi, pemiliki, dan pengaturnya. Maka, jika ada seorang
mangakui muslim bertauhid hanya pada sampai titik ini maka dia memiliki
kesamaan dengan orang kafir.
Urgensi Syahadatain
dan mudharat bagi mereka di dunia, dan membawa malapetaka bagi mereka di
akhirat.
Allah Ta’ala telah menyindir mereka:
‫ضَرا‬
‫س ِه ْم نَ ْفعًا َو َال‬
ِ ُ‫قُ ْل أَفَات َّ َخ ْذت ُ ْم ِم ْن دُونِ ِه أ َ ْو ِليَا َء َال يَ ْم ِلكُونَ ِْل َ ْنف‬
“Katakanlah: "Maka Patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu
dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan
tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?" (QS. Ar Ra’d
(13): 16)
Urgensi Kedua: Dua kalimat Syahadat Merupakan Intisari Ajaran Kandungan
Islam
Jika kita perhatikan semua kandungan ajaran Islam yang tertera dalam Al Quran dan
As Sunah, baik cakupan individu, keluarga, atau komunitas, negara atau antara
negara, ekonomi, budaya, politik, pendidikan, militer, dakwah, jihad, silaturrahim,
menutup aurat, puasa, shalat, berkata baik dan benar, dan semua jenis perbuatan
baik, maka semua ini memiliki satu tema yang sama yakni ibadah dan pengabdian
kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Berada di mana pun dan profesi positif apa pun,
semuanya bisa bernilai ibadah di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah tujuan dari
penciptaan jin dan manusia.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) memberikan
definisi ibadah yang sangat konprehensif sebagai berikut:
‫اطنَ ِة َو ه‬
‫ام ٌع ِل ُك ِ ِّل َما ي ُِحبُّهُ ه‬
ْ ‫" ْال ِعبَادَةُ " ِه َي ا‬
، ُ‫الظا ِه َر ِة ؛ فَالص َهَلة‬
ِ َ‫ َو ْاْل َ ْع َما ِل ْالب‬، ‫ ِم ْن ْاْل َ ْق َوا ِل‬: ُ‫اَّللُ َويَرْ ضَاه‬
ِ ‫س ٌم َج‬
‫َو ه‬
ِّ ِ ‫ َو‬، ُ‫الزكَاة‬
ُ ‫ َو ِص ْد‬، ‫ َو ْال َح ُّج‬، ‫الصيَا ُم‬
‫ َو ْال َوفَا ُء‬، ‫ َو ِصلَةُ ْاْلَرْ َح ِام‬، ‫ َوبِرُّ ْال َوا ِلدَي ِْن‬، ‫ َوأَدَا ُء ْاْل َ َمانَ ِة‬، ‫ث‬
ِ ‫ق ْال َحدِي‬
ُ َ
، ‫يم‬
ِ ‫ َو ْاْلَمْ ُر بِ ْال َمع ُْر‬، ‫بِ ْالعُهُو ِد‬
َ ‫ال ْح‬
ِ َِِ‫ َو ْالي‬، ‫اُ للَ ْال َج ِار‬
ِ ْ ‫ َو‬، َ‫ َو ْال ِج َهادُ ِل ْل ُكفه ِار َو ْال ُمنَافِ ِقين‬، ‫وف َوالنه ْه ُي ع َْن ْال ُم ْنك َِر‬
ْ ‫َو ْال ِم‬
‫ َواب ِْن ال ه‬، ‫ين‬
‫ َوأَمْ ثَا ُل ذَ ِلكَ ِم ْن‬، ُ‫ َو ْال ِق َرا َءة‬، ‫ َوال ِذِّ ْك ُر‬، ‫ َوالدُّعَا ُء‬، ‫وك ِم ْن ْاْلد َِميِِّينَ َو ْالبَ َهائِ ِم‬
ِ ُ‫ َو ْال َممْ ل‬، ‫َبِي ِل‬
ِ ‫َ ِك‬
ْ ‫ َو َخ‬، ‫اَّللِ َو َرسُو ِل ِه‬
ُّ ‫ َوال‬، ‫صب ُْر ِل ُح ْك ِم ِه‬
‫شيَةُ ه‬
‫ َو َكذَ ِلكَ حُبُّ ه‬. ‫ْال ِعبَادَ ِة‬
‫ َوال ه‬، ُ‫ين لَه‬
‫ش ْك ُر‬
ِ ِّ‫ َولِ ْخ ََلصُ ال ِد‬، ‫النَابَةُ للَ ْي ِه‬
ِ ْ ‫اَّللِ َو‬
. ِ‫ َوأ َ ْمث َا ُل ذَ ِلكَ ِه َي ِم ْن ْال ِعبَادَ ِة ِ هَّلل‬، ‫ َو ْال َخوْ فُ ِلعَذَا ِب ِه‬، ‫ َوالره َجا ُء ِل َر ْح َمِِ ِه‬، ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ َوالِ ه َو ُّك ُل‬، ‫الرضَا ِبقَضَائِ ِه‬
ِّ ِ ‫ َو‬، ‫ِلنِعَ ِم ِه‬
“Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
Allah, berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat, zakat, puasa, haji, jujur
dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua orang tua, silaturrahim,
menepati janji, amar ma’ruf, nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafik,
berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan,
doa, dzikir, membaca, dan yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian
juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah dan kembali kepadaNya, ikhlas
dalam beragama untukNya, sabar atas hukumNya, syukur atas nikmatNya, ridha atas
ketetapanNya, tawakal kepadaNya, mengharap rahmatNya, takut atas adzabNya, dan
yang semisal itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala.” (Al Fatawa Al Kubra,
7/257).
“Bahwa Ibadah adalah mencakup di dalamnya totalitas rasa cinta, mencakup di
dalamnya makna pujian, mencakup totalitas merendahkan diri, mencakup makna
www.tarbiyah-online.com
Page
َ َ َِ‫ َوت‬، ‫ب ْال ُمَِض َِم ِِّن َم ْعنَ ْالحَمْ ِد‬
َ َ َِ‫أ َ هُ ْال ِعبَادَةَ ت‬
‫ فَ ِفي‬، ‫يم‬
ِ ‫ضم ُهن َك َما َل الذُّ ِ ِّل ْال ُمَِض ِ َِّم ِن َم ْعنَ الِهع ِْظ‬
ِ ِّ ‫ضم ُهن َك َما َل ْال ُح‬
. ‫ع َظ َمِِ ِه َو ِكب ِْريَائِ ِه‬
َ ‫ئ ع َْن‬
َ ُ‫ْال ِعبَادَ ِة ُحبُّهُ َوحَمْ دُه‬
ُ ‫ش‬
ِ ‫ َوفِي َها الذُّ ُّل النها‬، ‫س ِن‬
ِ ‫علَ ْال َم َحا‬
7
Beliau juga berkata:
Urgensi Syahadatain
pengagungan, maka dalam ibadah terdapat cinta kepadaNya dan pujian kepadaNya
atas segala bentuk kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan pada malam hari
terhadap keagunganNya dan kebesaranNya.” (Al Fatawa Al Kubra, 7/348)
Sedangkan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H), mendefinisikan makna ibadah
secara syara’adalah:
.‫ عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف‬:‫وفي الشرع‬
“Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna (‘ibarah) tentang apa-apa yang
mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Imam Ibnu
Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1/134. Dar ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Demikianlah intisari dua kalimat syahadat, Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah.
Implikasi kalimat Laa Ilaha Illallah adalah ibadah itu hendaknya ditujukan untuk
Allah ‘Azza wa Jalla semata (Al ‘Ibadat Lillah). Tidak memperuntukkan peribadatan
semata-mata demi kepuasan, kekhusyu’an, ketenangan, apalagi pujian manusia.
Bukan itu. Tetapi menjadikan peribadatan semua untuk Allah Ta’ala, ikhlas dan murni
untukNya semata. Sebagai bukti kecintaan, khauf (takut), dan raja’ (harap)
kepadaNya. Baik ibadah infiradi (pribadi) atau jama’i(bersama-sama).
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
‫اَّلل ُم ْخ ِل ِصينَ لَهُ ال ِدِّينَ ُحنَفَا َء‬
َ َّ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا ِإ َّال ِليَ ْعبُدُوا‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus ..” (QS. Al Bayyinah (98): 5)
Ayat lainnya:
َ‫ب ا ْلعَالَ ِمين‬
ِ َّ ِ ‫اي َو َم َماتِي‬
َ َّ‫قُ ْل إِن‬
ُ ُ‫ص َالتِي َون‬
ِِّ ‫َّلل َر‬
َ َ‫س ِكي َو َمحْ ي‬
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’am (6): 162)
Ayat lainnya:
‫ع َم ًال‬
َ ُ‫سن‬
َ ْ‫الَّذِي َخلَقَ ا ْل َم ْوتَ َوا ْل َحيَاةَ ِليَ ْبلُ َو ُك ْم أَيُّ ُك ْم أَح‬
“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya...” (QS. Al Mulk
(67): 2)
Siapakah yang paling baik amalnya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w.
728H) mengutip dari Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh (w. 187H) sebagai berikut:
www.tarbiyah-online.com
Page
(Yaitu) “yang paling ikhlas dan paling benar.” Ada orang bertanya: “Wahai Abu Ali,
apakah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya amal
itu, jika benar tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima.Dan jika ikhlas tetapi tidak
8
‫ ه‬: ‫ص َوبُهُ ؟ فَقَا َل‬
ْ َ‫صهُ َوأ‬
ْ َ ‫صهُ َوأ‬
ُ َ‫ع ِل ِّي َما أ َ ْخل‬
ُ َ‫ أ َ ْخل‬: ‫قَا َل‬
‫ص َوابًا َولَ ْم َي ُك ْن َخا ِلصًا‬
َ ‫ َيا أ َ َبا‬: ‫ص َوبُهُ فَ ِقي َل‬
َ َُ‫لُ ْال َع َم َل لذَا كَا‬
َ ‫ص َوابًا لَ ْم ي ُْقبَ ْل َحِ ه َي ُكوَُ َخا ِلصًا‬
َ ‫ َو ِلذَا كَاَُ َخا ِلصًا َولَ ْم َي ُك ْن‬. ‫لَ ْم ي ُْق َب ْل‬
ِ‫ أ َ ُْ َي ُكوَُ ِ هَّلل‬: ُ‫ َو ْال َخا ِلص‬. ‫ص َوابًا‬
ُّ ‫علَ ال‬
‫ع َم ٌل‬
َ ‫ ََل ي ُْق َب ُل قَوْ ٌل َو‬: ‫س ِعي ِد ب ِْن ُج َبيْر قَا َل‬
َ َُ‫َوالص َهوابُ أ َ ُْ َي ُكو‬
َ ‫ َوقَ ْد َر َوى اب ُْن شَا ِهينَ والَللكائي ع َْن‬. ‫َنه ِة‬
ٌ
ُّ ‫ع َم ٌل َو ِنيهة هلَل ِب ُم َوافَقَ ِة ال‬
‫َنهة‬
َ ‫هلَل ِب ِنيه ِة َو ََل ي ُْقبَ ُل قَوْ ٌل َو‬
Urgensi Syahadatain
benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas adalah
menjadikan ibadah hanya untuk Allah, dan benar adalah sesuai dengan sunah. Ibnu
Syahin dan Al Lalika’i meriwayatkan dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Tidak akan
diterima ucapan dan amal perbuatan, kecuali dengan niat, dan tidak akan diterima
ucapan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan sunah.” (Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 6/345)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu
Sallm bersabda:
‘Anhu,
bahwa
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi
wa
ُ ‫ظ ُر لِلَ ص َُو ِر ُك ْم َوأَمْ َوا ِل ُك ْم َولَ ِك ْن يَ ْن‬
ُ ‫اَّللَ ََل يَ ْن‬
‫لِ هُ ه‬
‫ظ ُر لِلَ قُلُو ِب ُك ْم َوأ َ ْع َما ِل ُك ْم‬
“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi
Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim No. 2564. Ahmad No. 7493.
Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 10088. Ibnu Hibban No. 394)
Ibadah merupakan upaya kita untuk menuju diriNya dan itu merupakan manhaj
Allah (manhajullah) yang sudah Dia tetapkan bagi hamba-hambaNya. Jika ingin
mendekatkan diri kepadaNya, ingin menjadi ‘ibadurrahman sejati, ingin menjadi
keluargaNya, ingin menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai penglihatannya ketika dia
melihat, sebagai pendengarannya ketika dia mendengar, sebagai kakinya ketika dia
melangkah, maka mengabdikan diri kepadaNya, merendah, tunduk, patuh, cinta,
takut, dan harap kepadaNya merupakan manhaj yang harus ditempuh bagi siapa saja
yang ingin bertemu denganNya di akhirat dalam keadaan puas, ridha dan diridhai.
Allah ‘Aza wa Jalla berfirman:
‫) فَا ْد ُخ ِلي فِي‬28( ً‫اضيَةً َمرْ ِضيهة‬
ُ ‫يَا أَيهِ ُ َها النه ْف‬
ِ ‫) ارْ ِج ِعي لِلَ َربِ ِِّك َر‬27( ُ‫س ْال ُم ْط َمئِنهة‬
)30( ‫) َوا ْد ُخ ِلي َجنهِِي‬29( ‫ِعبَادِي‬
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke
dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr (89): 27-30)
Namun demikian, manhaj ini tidak bisa ditempuh dengan tata cara yang keliru, keluar
dari koridor baik mengurangi atau menambahkan (baca: bid’ah) dengan hal-hal yang
tidak dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Walau pun dipandang baik oleh manusia dan hawa nafsu, namun tidak sesuai dengan
petunjuk pelaksanaan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka menjadi siasia. Inilah implikasi dari Muhammadarrasulullah, yakni menjadikan Beliau sebagai
satu-satunya teladan yang baik (qudwah hasanah) dalam beribadah kepada
Allah ‘Azza wa Jalla dengan pengertian ibadah yang sangat luas, tidak
menyelisihinya, apalagi menentangnya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
‫يرا‬
ِ َّ ‫سو ِل‬
ْ ُ ‫اَّلل أ‬
َ ‫س َوةٌ َح‬
ُ ‫لَقَ ْد كَانَ لَ ُك ْم فِي َر‬
ً ِ‫اَّلل َكث‬
َ َّ ‫اَّلل َوا ْليَ ْو َم ْاْلَ ِخ َر َوذَك ََر‬
َ َّ ‫سنَةٌ ِل َم ْن كَانَ يَ ْر ُجو‬
www.tarbiyah-online.com
Page
َ ُ‫اَّلل‬
‫ور َر ِحي ٌم‬
َّ ‫اَّللُ َو َي ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُو َب ُك ْم َو‬
َّ ‫اَّلل فَات َّ ِبعُو ِني يُحْ ِب ْب ُك ُم‬
ٌ ُ‫غف‬
َ َّ َ‫قُ ْل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّون‬
9
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab (33): 21)
Urgensi Syahadatain
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku (Muhammad),
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran (3): 31)
Jumhur (mayoritas) para ulama salaf mengatakan ayat ini turun karena pada zaman
nabi ada kaum yang mengklaim, “Kami mencintai Allah.” Lalu turunlah ayat ini,
bahwa jika ingin membuktikan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan
menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai panutan, dan itu
merupakan tanda dari mencintaiNya. Sedangkan yang lain mengatakan, ayat ini turun
merupakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam agar kaum Nasrani Bani Najran menepati janjinya bahwa mereka mengatakan
mencintai Allah dan mengagungkanNya, maka untuk itu mereka harus mengikuti
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’
Al Bayan, 6/322-323. Mu’asasah Ar Risalah)
Ayat lainnya:
ٌ‫فَ ْليَحْ ذَ ِر الَّ ِذينَ يُ َخا ِلفُونَ ع َْن أ َ ْم ِر ِه أ َ ْن ت ُ ِصي َب ُه ْم ِفتْنَة‬
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur (24): 63)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
‫ْس فِي ِه فَه َُو َرد‬
َ ‫َم ْن أ َ ْحد ََث فِي أَم ِْرنَا َهذَا َما لَي‬
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam), dengan
apa-apa yang tidak ada padanya maka itu tertolak.” (HR. Bukhari No. 2550. Muslim
No. 1718. Abu Daud No. 4606. Ibnu Majah No. 14. Ahmad No. 24840. Lafaz ini milik
Bukhari)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pula,
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
dengan
lafaz
agak
berbeda,
Rasulullah
‫علَ ْي ِه أَم ُْرنَا فَه َُو َرد‬
َ ‫ْس‬
َ ‫َم ْن ع َِم َل‬
َ ‫ع َم ًَل لَي‬
“Barang siapa yang beramal dengan sebuah perbuatan yang tidak ada contohnya
dalam agama kami, maka itu tertolak.” (HR. Muslim No. 1718. Ahmad No. 24298)
Imam An Nawawi (w. 676H) Rahimahullah mengatakan:
‫ص ِريح فِي‬
َ ‫اَّلل‬
َ ُ‫سلَّ َم فَ ِإنَّه‬
َ ‫امع َك ِلمه‬
ِ ‫ َو ُه َو ِم ْن َج َو‬، ‫س َالم‬
ْ ‫اإل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َّ ‫صلَّى‬
ِ ْ ‫َو َهذَا ا ْل َحدِيث قَا ِعدَة ع َِظي َمة ِم ْن قَ َوا ِعد‬
ْ ‫َردِّ ُك ِّل ا ْل ِبدَع َوا ْل ُم‬
. ‫خت َ َرعَات‬
“Hadits ini merupakan kaidah agung diantara kaidah-kaidah Islam. Ini adalah kalimat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bermakna luas. Ini begitu jelas dalam
menolak bid’ah dan hal mengada-ada. “ (Syarh Shahih Muslim, No. 3242. Mauqi’ Ruh
Al Islam)
Imam Abul Abbas Ahmad bin Abu Hafsh Al Anshari Al Qurhubi mengomentari hadits
ini:
www.tarbiyah-online.com
Page
“Barangsiapa yang menciptakan dalam syariat sesuatu yang tidak disaksikan oleh
dasar dari dasar-dasar syariat, maka hal itu batal, tidak boleh beramal
dengannya, dan tidak boleh mengikutinya.” (Al Mufhim Lima Asykala min Talkhishi
Kitabi Muslim, 16/85. Al Maktabah Al Misykat)
10
‫ وال يلتفت إليه‬، ‫ ال يعمل به‬، ‫من اخترع في الشرع ما ال يشهد له أصل من أصوله فهو مفسوخ‬
Urgensi Syahadatain
Maka hendaknya kaum muslimin menjadikan sunah nabi adalah sunah (jalan) bagi
hidupnya, tidak yang lainnya. Inilah jalan yang ditempuh umat terbaik pada masa
silam. Hanya jalan inilah kebaikan hidup dunia dan akhirat, serta kejayaannya.
Demikianlah wasiat para imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.
Berkata Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu:
‫عليكم بالَبيل والَنة فإنه ليس من عبد عل سبيل وسنة ذكر الرحمن ففاضت عيناه من خشية هللا فِمَه‬
‫النار ولُ اقِصادا في سبيل وسنة خير من اجِهاد في لخَلف‬
“Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah, sesungguhnya tidak
akan disentuh neraka, orang yang di atas kebenaran dan As Sunnah dalam rangka
mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut kepada Allah Ta’ala.
Sederhana mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih baik, dibanding
bersungguh-sungguh dalam perselisihan.”
Dari Abul ‘Aliyah, dia berkata:
‫عليكم باْلمر اْلول الذي كانوا عليه قبل أُ يفِرقوا قال عاصم فحدثت به الحَن فقال قد نصحك وهللا وصدقك‬
“Hendaknya kalian mengikuti urusan orang-orang awal, yang dahulu ketika mereka
belum terpecah belah.” ‘Ashim berkata: “Aku menceritakan ini kepada Al Hasan,
maka dia berkata: ‘Dia telah menasihatimu dan membenarkanmu.’ “
Dari Al Auza’i, dia berkata:
‫اصبر نفَك عل الَنة وقف حيث وقف القوم وقل بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح‬
‫فانه يَعك ما وسعهم‬
“Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika mereka berhenti, dan
katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah apa-apa yang mereka tahan, dan
tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan membuat jalanmu lapang
seperti lapangnya jalan mereka.”
Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata:
‫قال سفياُ يا يوسف لذا بلغك عن رجل بالمشرق أنه صاحب سنة فابعث لليه بالََلم ولذا بلغك عن آخر‬
‫بالمغرب أنه صاحب سنة فابعث لليه بالََلم فقد قل أهل الَنة والجماعة‬
“Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang dari Timur bahwa
dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku untuknya. Jika datang
kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku
untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sedikit.”
Dari Ayyub, dia berkata:
‫لني ْلخبر بموت الرجل من أهل الَنة فكأني أفقد بعض أعضائ‬
“Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian seorang dari Ahlus
Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota badanku.”
www.tarbiyah-online.com
Page
Urgensi Ketiga: Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pondasi Bagi Perubahan
Tentu kita pernah melihat gedung yang tinggi, kokoh, dan kuat. Apa gerangan yang
menopangnya? Ya, itu adalah pondasinya yang menghujam. Dia tidak terlihat, tetapi
sangat besar perannya bagi kekuatan bangunan. Semakin tingga dan besar
bangunan, maka semakin dalam pula pondasi yang dibuat. Begitu pula dalam
merancang peradaban Islam, menciptakan pribadi muslim, dan membentuk
masyarakat muslim. Maka, kekuatan terhadap pemahaman dan keyakinan dua
11
Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua ucapan salaf ini
dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam Abul Faraj bin Al Jauzi )
Urgensi Syahadatain
kalimat syahadat ini adalah hal yang paling utama dan penting. Dua kaimat inilah
yang hendaknya pertama kali disampaikan, diajarkan, dan difahamkan kepada umat
Islam oleh para da’i dan ulama. Agar tercipta peradaban berbasiskan tauhid, bukan
materialisme dan derivasinya.
Masyarakat dan pribadi bertauhid. Inilah yang kita inginkan. Di tangan merekalah
dahulu umat ini pernah jaya, dan di tangan merekalah musuh-musuh Islam terkapar
tak berdaya. Namun, di manakah mereka gerangan hari ini? .. hari ini kalimat tauhid
hanya diperlakukan sebagai dzikir kosong oleh umumnya umat Islam. Mereka
melakukan tahlil sampai ratusan kali, tanpa mengerti apa yang mereka ucapkan itu.
Tanpa mau tahu, konsekuensi yang harus mereka kerjakan dari dua kalimat
syahadat.
Dalam tataran individu, kalimat ini mampu menjinakkan hati Umar bin Al Khathab Al
Faruq, hingga umat Islam saat itu begitu berbahagia dengan keislamannya. Bahkan
dia menjadi orang yang memiliki banyak keutamaan, paling keras dalam memegang
agama, yang paling tahu pembeda antara haq dan batil, bahkan nabi memujinya
sebagai manusia di umat ini yang mendapatkan ilham.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
‫ع َم َر بْنَ ْال َخ ه‬
ُ ‫قَ ْد كَاَُ يَ ُك‬
ُ ُ‫وُ فِي ْاْل ُ َم ِم قَ ْبلَ ُك ْم ُم َحدهثُوَُ فَ ِإ ُْ يَ ُك ْن فِي أ ُ همِِي ِم ْن ُه ْم أ َ َحدٌ فَ ِإ ه‬
‫ب ِم ْن ُه ْم‬
ِ ‫طا‬
“Dahulu pada umat-umat sebelum kamu ada manusia yang menjadi
muhaddatsun, jika ada satu di antara umatku yang seperti itu, maka Umarlah di
antara mereka.” (HR. Muslim No. 2398)
Berkata Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
.‫ما زلنا أعزة منذ أسلم عمر‬
“Kami senantiasa memiliki ‘izzah semenjak keislaman Umar.” (HR. Bukhari No. 3481)
Dua kalimat syahadat ini bisa merubah seorang budak Bilal bin Rabbah, menjadi
mulia bahkan dialah yang akhirnya berhasil membunuh Umayah bin Khalaf bekas
majikannya yang kejam. Bahkan terompahnya mendahului dirinya di dalam surga,
dan ini masyhur.
www.tarbiyah-online.com
Page
Urgensi Kelima: Dua kalimat syahadat memiliki Keutamaan yang agung
Dua kalimat syahadat merupakan kalimat pembeda antara muslim dan kafir, inilah
keutamaan yang paling besar di dunia, yang dengan kalimat ini maka terlindunglah
darah dan hartanya. Ini sudah disinggung pada urgensi pertama. Dan dua kalimat
syahadat memiliki keutamaan-keutamaan agung lainnya bagi para pengucapnya. Di
antaranya:
1. Jaminan Surga Bagi Pengucapnya
Telah kita ketahui, bahwa ketika manusia mengucapkan dua kakimat syhadat dengan
benar, tidak terpaksa dan dipaksa, maka dia sudah muslim dan memilih jalan yang
benar. Tentunya tak ada balasan baginya kecuali surga. Sedangkan yang tidak
bersyahadat (baca: kafir) maka mereka telah memilih jalan yang sesat dan menjadi
orang yang merugi.
12
Dalam tataran masyarakat, kalimat ini mampu merubah jazirah Arab dari kegelapan
jahiliyah menuju cahaya Islam, hanya butuh waktu 23 tahun kurang. Berbeda dengan
bangunan peradaban lainnya yang membuktuhkan waktu berabad lamanya. Maka
tepat dikatakan bahwa dua kalimat syahadat merupakan Asas Al Inqilab (dasar bagi
perubahan).
Urgensi Syahadatain
Allah Ta’ala berfirman:
َ ‫َو َم ْن َي ْبت َ ِغ‬
َ‫س ِرين‬
ِ ‫س َال ِم دِينًا فَلَ ْن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َو ُه َو فِي ْاْلَ ِخ َر ِة ِمنَ ا ْل َخا‬
ْ ‫اإل‬
ِ ْ ‫غي َْر‬
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran (3): 85)
Imam Al Qurthubi mengatakan, bahwa Mujahid dan As Sudi menyebutkan, ayat ini
turun berkenaan tentang Al Harits bin Suwaid, saudara Al Halas bin Suwaid, dia
seorang dari kalangan Anshar dan dia murtad bersama dua belas orang lainnya dan
menuju Mekkah dalam keadaan kafir. Lalu turunlah ayat ini, maka saudaranya
menyampaikan ayat ini dan memintanya untuk bertaubat. Ibnu Abbas dan lainnya
meriwayatkan bahwa setelah turun ayat ini dia masuk Islam lagi. (Jami’ Li Ahkamil
Quran, 4/128. Dar ‘Alim Al kutub, Riyadh)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, barangsiapa yang tidak
beragama dengan agama yang diridhai Allah untuk hambaNya, maka amal
perbuatannya tertolak dan tidak diterima. Karena agama Islam mengandung makna
penyerahan diri kepada Allah secara murni dan mengikuti RasulNya, barang siapa
seorang hamba yang datang kepadaNya tidak beragama Islam, maka dia tidak
memiliki alasan untuk selamat dari azab Allah, dan setiap agama selain Islam adalah
batil (sia-sia). (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi
Tafsir Kalam Al Manan, 1/137. Muasasah Ar Risalah)
Ayat lainnya:
‫سال ُم‬
ِ َّ َ‫إِنَّ ال ِدِّينَ ِع ْند‬
ْ ‫اَّلل ا ِْل‬
“Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam.” (QS. Ali
Imran (3): 19)
Ketika membahas ayat ini, Imam Al Qurthubi membawakan sebuah hadits, dari Ibnu
Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
‫يجاء بصاحبها يوم القيامة فيقول هللا تعالى عبدي عهد إلي وأنا أحق من وفى أدخلوا عبدي الجنة‬
“Didatangkan kepada para pembaca syahadat pada hari kiamat, maka Allah Ta’ala
berfirman: HambaKu telah berjanji setia kepadaKu dan Aku lebih berhak untuk
memenuhi janji, maka masukkanlah hambaKu ke surga.” (Ibid, 4/41)[4]
Ini menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahwa jika seorang sudah
bersyahadat dengan ikhlas, sadar, dan penuh keyakinan, dan dia setelah itu tidak
melakukan kesyirikan, maka baginya surga, walau pun dia juga melakukan dosa-dosa
selain syirik. Dengan dosanya itu, orang tersebut tahta masyi’atillah (di bawah
kehendak) Allah‘Azza wa Jalla, apakah dia akan disiksa dahulu sesuai kadar dosanya
lalu setelah itu dimasukkan ke dalam surga, ataukah dosanya itu akan diampunkan
langsung oleh Allah ‘Azza wa Jalla sesuai rahmat dan kasih sayangNya. Ketetapan ini
berdasarkan pada ayat berikut:
www.tarbiyah-online.com
Page
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
13
َ ‫اَّلل فَقَ ْد‬
‫ض َّل ض ََال ًال بَ ِعيدًا‬
ِ َّ ِ‫اَّلل َال يَ ْغ ِف ُر أ َ ْن يُش َْركَ بِ ِه َويَ ْغ ِف ُر َما دُونَ ذَ ِلكَ ِل َم ْن يَشَا ُء َو َم ْن يُش ِْر ْك ب‬
َ َّ َّ‫إِن‬
Urgensi Syahadatain
(sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauhjauhnya.” (QS. An Nisa’ (4): 116)
Dan hadits, dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
‫ وإن زنى وإن‬:‫ وإن زنى وإن سرق؟ قال‬:‫ قلت‬. ‫أنه من مات من أمتي ال يشرك باهلل شيئا دخل الجنة‬
. ‫سرق‬
“Barangsiapa di antara umatku yang wafat, dia tidak menyekutukan Allah Ta’ala
dengan sesuatu apapun, maka dia akan masuk surga.” Aku (Abu Dzar) bertanya:
“Walau dia berzina dan mencuri?” Rasulullah bersabda: “Walau dia berzina dan
mencuri.” (HR. Bukhari No. 1180, 5489, 7049)
Makna ‘Umatku’ adalah umat Rasulullah, yakni orang yang sudah menyatakan
keislamannya (bersyahadat). Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:
‫ وأن غير الموحدين ال‬،‫ وأن الكبائر ال تسلب اسم اإليمان‬،‫وفي الحديث أن أصحاب الكبائر ال يخلدون في النار‬
.‫يدخلون الجنة‬
“(pelajaran) Dalam hadits ini, bahwa pelaku dosa besar tidaklah kekal di neraka, dan
sesungguhnya dosa-dosa besar tidaklah menghilangkan keimanan, dan sesungguhnya
selain kaum bertauhid mereka tidak akan masuk surga.” (Fathul Bari, 3/111. Darul
Fikr)
Namun, demikian hadits ini dan semisalnya, tidak boleh dimaknai bahwa
mengucapkan dua kalimat syahadat saja sudah cukup, lalu tanpa ditindaklanjuti
dengan amal shalih dan ketaatan. Oleh karena itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan
dari Wahab bin Munabbih Radhiallahu ‘Anhu:
‫ فإن جئت‬،‫ ولكن ليس مفتاح إال له أسنان‬،‫ بلى‬:‫ أليس ال إله إال هللا مفتاح الجنة؟ قال‬:‫وقيل لوهب بن منبه‬
.‫ وإال لم يفتح لك‬،‫بمفتاح له أسنان فتح لك‬
Ditanyakan kepada Wahab bin Munabbih: “Bukankah Laa Ilaaha Illallah adalah kunci
surga?” Beliau menjawab: “Tentu, tetapi tidaklah kunci tu melainkan pasti memiliki
gigi, maka jika engkau datang dengan kunci yang bergigi maka dia akan
membukanya bagimu, dan jika tidak memiliki gigi, maka dia tidak bisa membukanya
untukmu.”(Shahih Bukhari, Muqaddimah Kitabul Janaiz Bab Maa Ja’a fil Janaiz Man
Kaana Akhiru Kalamihi ...)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
‫وأما قول وهب فمراده باْلسنان التزام الطاعة‬
“Ada pun ucapan Wahhab bin Munabbih, yang dimaksud olehnya gigi, adalah
komitmen dengan ketaatan.”(Fathul Bari, 3/110)
Imam Al ‘Aini Rahimahullah menambahkan:
www.tarbiyah-online.com
Page
“Seakan-akan ucapan beliau ini mengisyaratkan bahwa wajib baginya melakukan
ketaatan, dan sesungguhnya jika hanya ucapan saja, tanpa melakukan ketaatan
maka tidak akan masuk surga.” (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh
Shahih Bukhari, 12/115. Maktabah Misykah)
14
‫فكأنه أشار بهذا إلى أنه ال بد له من الطاعات وأن بمجرد القول به بدون الطاعات ال يدخل الجنة‬
Urgensi Syahadatain
Lebih detil lagi, beliau menjelaskan:
‫فإنه لذا قال َل لله لَل هللا يحكم بإسَلمه فإذا اسِمر عل ذلك لل أُ مات دخل الجنة وأما الموحد من الذين‬
‫ينكروُ نبوة سيدنا محمد رسول هللا أو يدعي أنه مبعوث للعرب خاصة فإنه َل يحكم بإسَلمه بمجرد قوله َل‬
‫لله لَل هللا فَل بد من ضميمة محمد رسول هللا عل أُ جمهور علمائنا شرطوا في صحة لسَلمه بعد الِلفظ‬
‫بالشهادتين أُ يقول تبرأت عن كل دين سوى دين السَلم‬
“Maka, sesungguhnya jika seseorang berkata Laa Ilaaha Illallah, maka dia dihukumi
dengan keislamannya, dan jika dia terus menerus seperti itu hingga wafat, maka dia
masuk surga. Ada pun seorang yang bertauhid dari golongan yang mengingkari
kenabian Sayyidina Muhammad Rasulullah, atau dia mengklaim bahwa Beliau diutus
hanya untuk orang Arab saja, maka dia tidak dihukumi dengan keislamannya,
lantaran hanya mengakui kalimat Laa Ilaaha Illallah, maka wajib untuk
mengkaitkannya dengan Muhammad Rasulullah. Mayoritas ulama kita telah
menetapkan syarat sahnya keislaman seseorang setelah melafazkan dua kalimat
syahadat, hendaknya dia menyatakan bara’ (berlepas diri, menjauhi, memusuhi) dari
semua agama, selain agama Islam.” (Ibid, 12/115).
2. Barangsiapa yang Mengucapkan di akhir hidupnya maka akan masuk
surga
Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
‫اَّلل دخل الجنة‬
ِّ ‫من كان آخر كالمه ال إله إال‬
“Barang siapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha Illallahu, dia akan masuk
surga.” (HR. Abu Daud No. 3116. Al Hakim No. 1299, katanya: shahihul
isnad (sanadnya shahih). Syaikh Al Albani juga menshahihkan dalamShahih Sunan
Abi Daud, 3/190/3116)
Maksud ‘akhir ucapannya’ dalam hadits ini adalah ucapan menjelang kematian. Imam
Abu Daud meletakkan hadits ini dalam Bab At Talqin. Sebagaimana kita ketahui
bahwa disunahkan bagi orang yang sehat untuk mentalqinkan orang yang
sedang naza’ (sakaratul maut), dan itu sebagai bimbingan baginya, agar akhir
ucapannya adalah kalimat tauhid.
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
‫لَ ِقِّنُوا َموْ تَا ُك ْم ََل للَهَ هلَل ه‬
ُ‫اَّلل‬
“Talqinkanlah orang sedang menghadapi kematian di antara kalian, dengan
ucapan: Laa Ilaha Illallah.”(HR. Muslim No. 916. Abu Daud No. 3117. At Tirmidzi No.
983, beliau berkata: hasan shahih gharib. Ibnu Majah No. 1445. Syaikh Al Albani
menshahihkan, lihat Shahih Sunan Abi Daud, 3/190/3117. Maktabah Al Albani)
www.tarbiyah-online.com
Page
Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, “Maksudnya adalah
barangsiapa orang sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati, dan
membacakan Laa
Ilaha
Illaha di
sisinya,
bukan
memerintahkan
untuk
membacanya. (Syarh Sunan An Nasa’i, 3/146. Al Maktabah Asy Syamilah)
Syaikh
Abdurrahman
Al
Mubarakfuri mengatakan:
“Ketahuilah!
Maksud Al
Mauta dalam hadits ini adalah orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang
15
Talqin adalah
memahamkan
atau
mengajarkan. Laqqana
Al
kalam artinya
mengajarkan sebuah ucapan. Talqin menurut syariat adalah memahamkan kalimat
tauhid ketika manusia mengalami sakaratul maut (naza’). (Mausu’ah Fiqh Al ‘Ibadah,
1/187. Al Maktabah Asy Syamilah).
Urgensi Syahadatain
yang sudah mati secara hakiki.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/53. Al Maktabah As Salafiyah,
Madinah Al Munawwarah)
Sementara Imam Al Qurthubi Rahimahullah (w.671H) mengatakan, “Ucapkanlah itu
dan ingatkanlah mereka dengannya, saat menghadapi kematian.” Dia berkata:
“Disebut Al Mauta karena kematian tengah hadir mengintai dirinya.” (Hasyiah As
Suyuthi, 3/146. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Yakni barang siapa yang menghadapi
kematian, maksudnya ingatkanlah dia dengan Laa Ilaha Illallah agar itu menjadi akhir
ucapan dalam hidupnya. Sebagaimana hadits: “Barang siapa yang akhir ucapannya
adalah Laa Ilaha Illallahu maka dia akan masuk surga.” Dan perintah talqin di sini
adalah sunah, dan ulama telah ijma’ (sepakat) tentang talqin.” (Syarh Shahih Muslim,
No. 1523. Mausu’ah Syuruh Al Hadits. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544H) mengatakan bahwa talqin merupakan perbuatan yang
ma’tsur (memiliki dasar) dan telah diamalkan kaum muslimin, namun dimakruhkan
jika dilakukan secara berlebihan dan berturut-turut, agar tidak membosankan bagi
orang tersebut, apalagi dalam kondisi sesaknya napas yang menyakitkan, dan
hilangnya sensitiftas terhadap beratnya penderitaan. (Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih
Muslim, 3/195. Maktabah Mishkah)
Jadi, maknanya adalah membaca Laa Ilaha Illallah untuk orang sedang
menghadapi sakaratul maut, bukan membacanya setelah mati. Berbeda dengan
pemahaman sebagian umat Islam hari ini, yang mentalqinkan mayat yang sudah di
kubur. Namun demikian, jika yang dilakukan di kubur adalah mendoakannya maka itu
sunah nabi. Tetapi, hal itu tidak dinamakan talqin sebab talqin menurut tuntunan As
Sunnah, sebagaimana penjelasan para ulama di atas, adalah dilakukan sebelum wafat
atau ketika naza’ (sakaratul maut).
Di sebutkan dalam Asna Al Mathalib –salah satu kitab bermadzhab Syafi’I
karya Imam Abu Yahya Zakaria Al Anshari Rahimahullah (w.926H), “Talqin secara
mutlak tidaklah dianjurkan bagi mayat yang sudah dikubur.” (Asna Al Mathalib,
4/191. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah (w. 751H) mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtidak pernah duduk di sisi kuburan dan membaca Al
Quran, dan mentalqinkan mayat di kuburan sebagaimana yang dilakukan manusia
hari ini. (Zaadul Ma’ad, 1/502. Al Maktabah Asy Syamilah)
3. Bagi Yang Mengucapkan Dua alimat Syahadat Maka Terlindung Darah dan
Hartanya
Tidak boleh siapa pun mengganggu muslim lainnya, bukan hanya menumpahkan
darahnya dan mengambil hartanya secara tidak hak, tetapi juga menodai harga
dirinya dan nasabnya. Bahkan melanggar ketetapan ini termasuk dosa besar.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu
Sallam bersabda:
‘Anhu,
bahwa
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi
wa
www.tarbiyah-online.com
Page
“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat),
bahwa tidak ada Ilahkecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka
16
،‫ ويؤتوا الزكاة‬،‫ ويقيموا الصالة‬،‫أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن ال إله إال هللا وأن محمدا رسول هللا‬
‫ وحسابهم على هللا‬،‫فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إال بحق اإلسالم‬
Urgensi Syahadatain
mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas
Allah-lah perhitungan mereka.” (HR. Bukhari No. 25, Muslim No. 36)
Dari Al Miqdad bin Amru Al Kindi, dia bertanya:
‫ أسلمت‬:‫ ثم الذ مني بشجرة فقال‬،‫ فضرب إحدى يدي بالسيف فقطعها‬،‫أرأيت إن لقيت رجال من الكفار فاقتتلنا‬
‫ يا رسول هللا إنه‬:‫ فقال‬.)‫ (ال تقتله‬:‫ أقتله يا رسول هللا بعد أن قالها؟ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫هلل‬
‫ فإن قتلته فإنه‬،‫ (ال تقتله‬:‫ ثم قال ذلك بعد ما قطعها؟ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬،‫قطع إحدى يدي‬
.)‫ وإنك بمنزلته قبل أن يقول كلمته التي قال‬،‫بمنزلتك قبل أن تقتله‬
“Apa pendapatmu jika aku berjumpa dengan orang kafir, kami berperang, dia
menebas tanganku dengan pedangnya hingga putus, kemudian dia mendekat ke
sebuah pohon, lalu dia berkata: “Aku masuk Islam karena Allah” apakah aku boleh
membunuhnya setelah dia mengatakan demikian?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menjawab: “Jangan membunuhnya.” Dia (Al Miqdad) berkata: “Ya Rasulullah
dia memutuskan satu tanganku, kemudian dia berkata (pernyataan masuk Islam) itu
setelah dia memutuskan tanganku?” RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
“Jangan kau membunuhnya, jika kau membunuhnya maka kedudukan orang itu
adalah sama denganmu ketika kau belum membunuhnya, dan kedudukanmu adalah
sama dengannya ketika sebelum dia mengatakan perkataannya itu (yakni ketika dia
belum menyatakan masuk Islam).” (HR. Bukhari No. 3794, 6472. Muslim No. 155)
Ada kisah tenar dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, ketika beliau bersama
seorang dari anshar, berperang melawan orang kafir. Ketika orang kafir itu terdesak
tak berdaya, dia mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, namun Usamah tetap
membunuhnya. Hal ini diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
dan akhirnya Rasulullah pun bersabda:
‫ (أقتلته بعدما قال ال‬:‫ قال‬،ً‫ إنما كان متعوذا‬،‫ يا رسول هللا‬:‫ قلت‬:‫قال‬. ‫ أقتلته بعد ما قال ال إله إال هللا‬،‫يا أسامة‬
.‫ حتى تمنيت أني لم أكن أسلمت قبل ذلك اليوم‬،‫ فما زال يكررها علي‬:‫ قال‬.)‫إله إال هللا‬
“Wahai Usamah, apakah kau membunuhnya dan dia sudah mengucapkan Laa Ilaha
Illallah?” Usamah berkata: “Ya Rasulullah, ucapan itu hanya untuk melindungi diri?”
Rasulullah bersabda lagi: “Apakah kau membunuhnya dan dia sudah
mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Usamah berkata: “maka, senantiasa hal itu terusterus terngiang pada diri saya, sampai saya berharap bahwa saya belum masuk Islam
sebelum hari itu.” (HR. Bukhari No. 4021, 6478)
Dua hadits ini berisi sangat jelas bahwa kita dilarang membunuh musuh, ketika dia
sudah
bersyahadat.
Ada
pun
apa
latar
belakang
dia
bersyahadat;
apakah nyari selamat agar tidak dibunuh atau benar-benar ikhlas, kita tidak
dibebankan untuk mengetahuinya.
Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
‘Anhu,
bahwa
‫ وقتاله كفر‬،‫سباب المسلم فسوق‬
www.tarbiyah-online.com
Page
Kufur dalam hadits ini tidak bermakna keluar dari Islam, melainkan dia telah kufur
terhadap hak saudaranya sesama muslim. Berkata Imam Ibnu Baththal
Rahimahullah:
17
“Memaki seorang muslim adalah fasik, dan membunuhnya adalah kufur.” (HR.
Bukhari No. 49, 5697, 6665. Muslim No. 116)
Urgensi Syahadatain
ً ‫ ْلن هللا قد جعل المؤمنين إخوة‬، ‫ وإنما يريد كفر حق المسلم على المسلم‬، ‫الكفر الذى هو الجحد هلل ولرسله‬
‫ تمت‬: ‫ وقال‬، ‫ عن التقاطع‬، ) ‫ ( صلى هللا عليه وسلم‬، ‫ ونهاهم برسوله‬، ‫ وأمر باإلصالح بينهم ونصرتهم‬،
‫ فقد‬، ‫ وأخبر أن من فعل ذلك‬، ‫ فنهى عن مقاتلة بعضهم بعضًا‬، - ‫شدُّ بعضه بعضًا‬
ُ َ‫المؤمن للمؤمن كالبنيان ي‬
. ‫كفر حق أخيه المسلم‬
“Kufur adalah perbuatan ingkar terhadap Allah dan RasulNya. Sedangkan kufur yang
dimaksud di sini adalah seorang muslim telah kufur terhadap hak muslim lainnya,
karena Allah telah menjadikan orang beriman bersaudara, memerintahkan mereka
untuk berbuat baik di antara mereka dan saling tolong menolong, melalui
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mereka memutuskan silaturrahim.
Beliau bersabda: “Seorang beriman terhadap orang beriman lainnya bagaikan
bangunan, saling menguatkan satu sama lainnya.” Maka, dilarang saling membunuh
satu sama lain, dan diberitakan bahwa perbuatan itu merupakan kekufuran terhadap
hak saudaranya sesama muslim.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 1/111.
Maktabah Misykat)
Dari Abu Bakrah, dari Ayahnya:
.‫ أي يوم هذا‬:‫ قال‬- ‫ أو بزمامه‬- ‫ وأمسك إنسان بخطامه‬،‫ذكر النبي صلى هللا عليه وسلم قعد على بعيره‬
‫ فسكتنا‬.)‫ (فأي شهر هذا‬:‫ قال‬،‫ بلى‬:‫ قلنا‬.)‫ (أليس يوم النحر‬:‫ قال‬،‫فسكتنا حتى ظننا أنه سيسميه سوى اسمه‬
،‫ وأموالكم‬،‫ (فإن دماءكم‬:‫ قال‬،‫ بلى‬:‫ قلنا‬.)‫ (أليس بذي الحجة‬:‫ فقال‬،‫ح تى ظننا أنه سيسميه بغير اسمه‬
‫ فإن الشاهد‬،‫ ليبلغ الشاهد الغائب‬،‫ في بلدكم هذا‬،‫ في شهركم هذا‬،‫ كحرمة يومكم هذا‬،‫ بينكم حرام‬،‫وأعراضكم‬
.)‫عسى أن يبلغ من هو أوعى له منه‬
“Menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk di atas
untanya, dan manusia memegangi tali kekangnya, beliau bersabda: “Hari apa ini?”
Kami terdiam sampai kami menyangka bahwa dia akan menamakannya dengan
bukan namanya. Beliau bersabda: “Bukankah ini hari Kurban?” Kami menjawab:
“Benar.” Beliau bersabda: “Bulan apa ini?” Kami terdiam sampai kami menyangka
bahwa dia akan menamakannya dengan bukan namanya. Beliau bersabda: “Bukankah
ini bulan Dzulhijjah?” Kami menjawab: ”Benar.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya
darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, adalah haram di antara kalian,
sebagaimana diharamkannya pada hari ini dan pada bulan ini, di negeri kalian ini.
Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, mudah-mudahan
yang hadir bisa menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya.” (HR.
Bukhari No. 67, 1652, 5230, 6668, 7009. Muslim No. 1218, 1679. Abu Daud No.
1905. At Tirmidzi No. 2248, 5082. Ibnu Majah No. 3055, 3931. Ibnu Hibban No.
1457. Ad Darimi No. 1850. Ibnu Abi Syaibah No. 54. Lafaz ini milik Bukhari dari Abu
Bakrah)
Demikianlah status seseorang muslim bagi muslim lainnya. Bukan hanya ini, tetapi
dia juga berhak diperlakukan sebagaimana aturan Islam lainnya seperti dijawab
bersinnya, saling memberikan salam dan menjawabnya, dipenuhi undangannya,
dijenguk ketika sakit, dibantu kebutuhan hidupnya ketika dia kekurangan, dan
lainnya.
www.tarbiyah-online.com
Page
[1] Ijma’ (kesepakatan) ulama menyatakan bahwa orang kafir tidak berhak mendapatkan waris begitu pula orang murtad,
danjumhur (mayoritas) ulama mengatakan orang kafir tidak boleh mewariskan ke orang Islam. Inilah pandangan empat khulafa’ ar
18
Wallahu A’lam.
Urgensi Syahadatain
rasyidin, Imam empat madzhab, dan mayoritas fuqaha yang diamalkan oleh umat Islam secara umum. Mereka beralasan hadits-hadits
berikut:
“Seorang muslim tidaklah mewariskan ke orang kafir, dan orang kafir tidaklah mewariskan ke seorang muslim.” (HR. Bukhari No. 6383,
Muslim No. 1614, At Tirmidzi No. 2189, dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu)
“Penganut dua agama yang berbeda tidaklah saling mewarisi.” (HR. At Tirmidzi No. 2191, dari Jabir bin Abdullah). Imam At
Tirmidzi tidak tegas mendhaifkan hadits ini, dia hanya berkata dalam Sunan-nya: “Aku tidak mengetahui hadits Jabir kecuali dari jalur
Ibnu Abi Laila.” Tetapi, Al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan tentang Abdurrahman bin Abi Laila ini: “Seorang yang jujur tetapi sangat buruk
hafalannya”. (Lihat Taqribut Tahdzib, 2/105). Sementara Asy Syaukani mengatakan: “Sementara dari jalur Ibnu Umar, hadits juga
dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Sikkin, dan dalam sanad Abu Daud terdapat Amru bin Syu’aib, dia shahih”. (Nailul Authar, 6/73.
Al Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar) sementara Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini, baik jalur Jabir bin
Abdullah maupun Usamah bin Zaid. (Shahihul Jami’ , No. 7613)
Namun, sebagian sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin ada yang membolehkan seorang muslim memperoleh waris dari orang
kafir, yakni Muadz bin Jabal, Muawiyah, Said bin Al Musayyib, Masruq, dan lainnya.(Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, hadits
No. 3027. Mauqi’ Ruh Al Islam) juga Muhammad bin Al Hanafiyah, Ali bin Al Husein, Abdullah bin Ma’qil, Asy Sya’bi, An Nakha’i,
Yahya bin Ya’mar, dan Ishaq. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 14/58. Al Maktabah Asy Syamilah) Ini juga pendapat Imam Ibnu
Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim.(Ahkam Ahludz Dzimmah, 3/322-325. Darul Kutub Al ‘Ilmiah) juga pendapat Al ‘Allamah Yusuf Al
Qaradhawi hafizhahullah dalam Fatawa Mu’ashirah Jilid 3. Alasan mereka, makna kafir pada hadits di atas adalah kafir harbi. Alasan
lain adalah hadits berikut, Hadits dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Islam itu bertambah, dan tidak berkurang.” (HR. Abu Daud, No. 2912. Ahmad, N0. 20998)
Namun hadits ini tidak bisa dijadikan dalil, karena kelemahannya. Imam Al Munawi mengatakan, dalam sanad hadits ini terdapat rawi
yang majhul (tidak dikenal) dan dhaif. (Faidhul Qadir, 3/232/3062. Al Maktabah Asy Syamilah) begitu pula Syaikh Al Albani telah
mendhaifkan hadits ini. (Dha’if Jami’us Shaghir No. 2282) Ada jalur sanad lainnya, namun nasibnya lebih buruk, Imam Ibnul Jauzi
menyebutnya batil, lantaran adanya seorang rawi bernama Muhammad bin Al Muhajir yang dituduh memalsukan hadits ini. Imam Ibnu
Hibban mengatakan, bahwa orang ini memalsukan hadits, dia meriwayatkan lalu merubah sanad dan lafaznya. (Al Maudhu’at, 3/230. Al
Maktabah Asy Syamilah)
Dalil lainnya:
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)” (HR. Ad Daruquthni, No. 3663, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 6/205.
Keduanya dari ‘A’idz bin Amru Al Muzanni. Demikianlah lafaz hadits ini adalah Al Islam Ya’lu wa Laa Yu’la. Tidak ada tambahan ‘Alaih,
demikian juga dalam riwayat lainnya)
Imam Az Zaila’i mengatakan hadits ini ada yang marfu’ (sampai pada Rasulullah) dan juga mauquf (terhenti pada sahabat saja) yakni
pada ucapan Ibnu Abbas. (Nashbur Rayyah, 6/174) dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Hasyraj dan ayahnya, oleh Ad Daruquthni
keduanya dikatakan majhul (tidak dikenal). (Ibid) Namun, Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan hadits ini (Fathul Bari, 3/220. Darul
Fikr) lantaran dikuatkan oleh riwayat shahih secara mauquf dari Ibnu Abbas. (Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz, Bab Idza Maata Ash
Shabiyyu ...) dan Syaikh Al Albani juga menghasankannya.(Shahihul Jami’ No. 2778). Imam Al ‘Ajluni mengatakan telah masyhur di
lisan manusia tambahan ‘Alaih Akharan, tetapi itu sebenarnya riwayat Ahmad, dan juga yang masyhur Ya’lu walaa Yu’laa
‘Alaih (Kasyful Khafa, 1/127. Darul Kutub Al ‘Ilmiah). Namun, apa yang dikatakannya perlu ditinjau lagi, sebab tidak ada dalam musnad
Ahmad seperti apa yang dikatakannya itu.
Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil, sebab hadits ini seara umum membicarakan tentang keutamaan Islam, sama sekali tidak
membicarakan warisan. Oleh karena itu Imam An Nawawi mengatakan:
“Alasan jumhur ulama adalah lebih benar. Dan tidak dibenarkan berdalil dengan hadits “Islam adalah tinggi dan tidak ada yang lebih
tinggi darinya” sebab maksud hadits ini adalah tentang keunggulan Islam dibanding yang lainnya, tidak ada indikasi pembicaraan
tentang warisan. Bagaimana bisa meninggalkan nash “Seorang muslim tidaklah mewariskan orang kafir ..”, semoga penyebabnya
adalah karena kelompok ini belum sampai hadits ini kepada mereka.” (Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Janaiz, No. 3027. Mauqi Ruh Al
Islam) Demikian. Wallahu A’lam.
[2] Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai muhaddatsun. Ibnu Wahab mengatakan, makna Muhaddatsun adalah orang yang
mendapatkan ilham. Yang lain mengatakan: orang yang diajarkan kebenaran. Ada juga yang mengatakan: orang yang diajak bicara
oleh malaikat. Bukhari mengatakan: dari lisan mereka mengalir kebenaran, dan itu merupakan kepastian karamah bagi para
wali.” (Syarh Shahih Muslim, No. 4411. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Page
19
[3] Al Inqilab bermakna perubahan yang cepat. Inqilab ijtima’i artinya revolusi. (Al Munawwir, Hal. 1146)
[4] Sanad Hadits ini dari Ghalib Al Qathan, dari A’masy, dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud, dari Rasulullah, lalu disebutkan hadits
tersebut. Abul Faraj Al Jauzi mengatakan Ghalib Al Qathan adalah Ghalib bin Khuthaf Al Qathan, dia meriwayatkan hadits syahidallah
dari A’masy, yakni hadits mu’dhal. Ibnu ‘Adi mengatakan, kedhaifan haditsnya sudah jelas. Ahmad bin Hambal mengatakan, Ghalib bin
Khuthaf Al Qathan adalah tsiqah-nya orang tsiqah (kredibel). Ibnu Ma’in mengatakan, tsiqah. Abu Hatim mengatakan, jujur dan shalih.
Al Qurthubi mengatakan, cukup bagimu tentang ke’adalahan (kualitas) dan ketsiqahannya, sesungguhnya Bukhari dan Muslim telah
mengeluarkan hadits darinya (Ghalib Al Qathan) dalam kitab shahih mereka berdua. (Jami’ Li Ahkamil Quran, 4/41)
www.tarbiyah-online.com
Download