Bab V Disain perencanaan renovasi Disain perencanaan IPAL gedung BPPT adalah suatu perencanaan perbaikan/renovasi IPAL lama dan dimodifikasi dengan teknologi baru yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas outlet IPAL serta untuk meningkatkan kapasitas pengolahan dari IPAL tersebut. Disamping itu juga ada renovasi dan modifikasi system reuse yang telah ada. Untuk itu, maka lokasi modifikasi IPAL tersebut juga harus dilakukan di sekitar IPAL lama. Karena modifikasi dilakukan dengan membuat konstruksi baru, maka juga perlu dilakukan evaluasi daya dukung dari lokasi yang tersedia. 5.1. Tinjauan Calon Lokasi IPAL Pengembangan IPAL BPPT direncanakan dengan melakukan modifikasi IPAL yang telah ada dan menambah kapasitasnya dengan membangun unit pengolahan lanjut dengan teknologi biofilter yang telah banyak diaplikasikan untuk mengolahan limbah domestic. Sementara calon lokasi pengembangan IPAL ini akan ditempatkan diujung lokasi parkir sepeda motor yang saat ini merupakan lahan kosong dan digunakan untuk parkir sepeda motor jika gedung parkir motor telah penuh. Secara detail calon lokasi yang direncanakan ini dapat dilihat seperti pada gambar 5.1, sedangkan foto lokasi dapat dilihat pada gambar 5.2 dan 5.3. 47 Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT Gambar 5.1. : Calon Lokasi Pengembangan IPAL. Gambar 5.2. : Foto Calon Lokasi Pengembangan IPAL. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 48 Gambar 5.3. : Foto Calon Lokasi Pengembangan IPAL. Untuk melaksanakan disain stuktur IPAL ini maka diperlukan data-data kondisi kualitas tanah. Data kualitas tanah ini diperoleh dengan malakukan analisa sondir dan boring secara langsung di lokasi yang direncanakan. Hasil analisa sondir dan boring tersebut secara lengkap adalah dapat dilihat pada lampiran laporan ini. Sedangkan Gambar 5.4. menunjukkan kegiatan sondir di calon lokasi IPAL. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 49 Gambar 5.4 : Foto Pelaksanaan Sondir Analisa Tanah. 5.2. Teknologi Pengolahan Air Limbah Secara Fisika. Untuk meningkatkan kualitas hasil olahan agar dapat memenuhi baku mutu, maka akan dilakukan modifikasi IPAL yang sudah ada. IPAL lama ini akan akan berfungsi sebagai reaktor lumpur aktif. Kemudian setelah keluar dari reaktor lumpur aktif akan dilakukan proses sedimentasi kemudian diteruskan dengan pengolahan dengan proses biofilter melekat dengan teknologi biofilter aerobic. Secara detail teknologi yang digunakan di IPAL BPPT tersebut adalah sebagai berikut : Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 50 5.2.1. Bak Pengumpul Pada awalnya gedung BPPT dilengkapi dengan dua jenis bak pengumpul yang fungsinya berbeda, yaitu satu jenis untuk mengumpulkan limbah dari celean out (CO) dan water closed (WC) yang selanjutnya dipompa ke IPAL untuk diolah, dan jenis satunya lagi adalah bak pengumpul yang fungsinya mengumpulkan air limbah dari floor drain (FD) kamar mandi dan limbah ini langsung dibuang ke saluran umum. Redisain yang akan dilakukan adalah dengan mengubah aliran limbah dari bak pengumpul air dari floor drain (FD) kamar mandi yang awalnya tidak diolah di IPAL akan dialihkan menuju ke IPAL untuk diolah terlebih dahulu. Dengan demikian, maka semua limbah cair gedung BPPT akan diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran umum. Gambar 5.5 : Bak Pengumpul. 51 Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 5.2.2. Unit Pemisah Minyak (Oil Trap) Pada tahap awal pengolahan limbah yang dilakukan di IPAL ini adalah unit pemisahan minyak. Pada tahap ini terdiri dari pengolahan awal (primary treatment) yakni proses awal pemisahan minyak dan penghilangan pasir (grit removal) . Proses pemisahan minyak tersebut sangat penting untuk dilakukan karena jika konsentrasi minyak di dalam air limbah masih tinggi maka dapat mengganggu proses pengolahan air limbah secara kimia dan biologi berikutnya sehingga mengakibatkan biaya pengolahan menjadi mahal. Pemisahan minyak (preliminary oil separation) atau pemisahan minyak secara gravitasi (gravity oil seperation) ini adalah merupakan proses tahap awal dari seluruh proses pengolahan air limbah ini. Tujuan dari pemisahan oli dan minyak adalah untuk menghilangkan oli dan senyawa hidrocarbon lainnya di dalam proses emulsi mekanik. Air yang dihasilkan harus bebas oli & minyak sehingga proses berikutnya dapat dilakukan dengan mudah dan efektif. Tujuan kedua adalah untuk menghilangkan pasir dan alluvia (tanah) yang tidak dikehendaki dalam proses berikutnya, yang dapat mempersulit pengumpulan, pengkonsentrasian, serta dapat mengganggu porses tahap akhir pembuangan lumpur minyak /oli yang mengambang. Pemisahan oli/minyak biasanya dilakukan tanpa adanya penambahan bahan kimia. Proses ini dirancang untuk menyamakan konsentrasi sisa HC pada inlet proses pemurnian fisika-kimia dengan cara menurunkan laju aliran puncak HC yang masuk. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 52 Secara prinsip konsentrasi HC di dalam air limbah tidak dapat diantisipasi atau dihitung. Pendekatan tertentu dapat dilakukan, tetapi hanya untuk kasus efluen limbah yang sederhana misalnya limbah dari deballasting atau produced water. Proses pemisahan oli & minyak ini dilakukan dengan cara gravitasi alami, dimana butiran oli/minyak naik dengan kecepatan keatas yang dibatasi oleh berat jenisnya (specific gravity). Ada dua jenis pemisah yang sering ditemukan, yaitu : Settler separators, minyak langsung dikumpulkan dari permukaan air. Yang termasuk dalam metoda tersebut adalah pemisah minyak API longitudinal (longitudinal API separators) dan pemisah minyak API bentuk bulat (circular separators). Lamella separators atau plate separators, dimana minyak dikumpulkan secara langsung oleh permukaan bagian bawah plate miring dan kemudian terangkat ke permukaan. Plate tersebut mempunyai dua fungsi. Dengan adanya plate ini butiran minyak menempuh jalur pendek dan memberikan efek menyatu (coalescence effect). Kedua fungsi ini sangat dipengaruhi oleh jarak antar lamella (plates). Untuk IPAL BPPT ini menggunakan jenis pemisahan minyak secara gravitasi, karena minyak yang terkandung di dalam limbah relatif mudah untuk dipisahkan dan teknologinya relatif lebih sederhana namun dapat diterapkan dengan efektif di sini. Secara detail gambar oil trap IPAL BPPT tersebut dapat dilihat seperti pada Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 53 Gambar 5.6. Oil trap ini juga berfungsi sebagai bak pengumpul limbah yang bersumber di sekitar oil trap. Gambar 5.6 : Oil Trap IPAL. 5.2.3. Screening Pada umumnya setiap sistem pengolahan limbah cair mempunyai unit alat penyaring awal/pendahuluan. Proses penyaringan awal ini disebut screening dan tujuannya adalah untuk menyaring atau menghilangkan sampah/benda padat yang besar agar proses berikutnya dapat lebih mudah lagi menanganinya. Dengan hilangnya sampah-sampah padat besar maka transportasi limbah cair pasti tidak akan terganggu, misalnya bila proses transportasi limbah cair diakomodasikan dalam sebuah saluran terbuka atau pun tertutup yang mengalir secara gravitasi, maka tidak akan dijumpai Disamping itu, penyumbatan di bila cair limbah sepanjang perlu jaringan saluran. dipindahkan dengan menggunakan pompa, maka proses screening sungguh berfungsi Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 54 menghilangkan bahan atau benda-benda yang dapat membahayakan atau merusak pompa limbah cair tersebut. Jadi proses screening melindungi pompa dan peralatan lainnya. Perangkat pemroses penyaringan kasar yang biasa digunakan dikenal pula dengan sebutan bar screen atau bar racks. Alat ini biasanya diletakkan pada intake bak penampung limbah cair untuk mencegah masuknya material besar seperti kayu atau daundaunan. Umumnya jarak antara bar yang tersusun pada rack bervariasi antara 20 mm hingga 75 mm, bergantung pada tingkat kapasitas dan performance unit pompa yang dipakai. Pada keadaan tertentu biasa digunakan pula microstrainer dengan ukuran 15 hingga 64 micrometer dengan tujuan untuk menyaring organisme plankton. Microstrainer biasa digunakan untuk limbah cair dari reservoir pertama (awal). Microstrainer terdiri dari bingkai berbentuk silinder yang ditutup dengan jala terbuat dari kawat tahan karat. Pada saat silinder berputar partikel tersuspensi menempel pada bagian dalam dari permukaan silinder yang kemudian dibersihkan dengan semburan jet air. Gambar 5.7 adalah lokasi screen untuk IPAL BPPT Jakarta. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 55 Gambar 5.7. : Foto Lokasi Screen IPAL BPPT. 5.2.4. Equalisasi Karakteristik limbah yang dihasilkan dalam suatu kegiatan pada umumnya tidak akan stabil, dan cenderung naik-turun tergantung dari kegiatan yang sedang berlangsung. Disamping itu jumlahnya juga tidak konstan dan periodic waktunya cenderung tidak terkontrol. Jika dalam proses pengolahan limbah terjadi hal seperti ini, maka akan menyulitkan dalam pengendalian proses, bahkan resiko kegagalan proses dapat terjadi. Untuk mengatasi hal-hal seperti tersebut di atas, maka diperlukan adanya suatu bak menstabil karakteristik limbah dan untuk mengontrol debit limbah yang akan masuk ke proses. Bak yang berfungsi untuk itu disebut bak equalisasi. Jika kondisi pH limbah tidak stabil, di dalam bak equalisasi ini sering dilengkapi dengan alat pH control yang akan menstabilkan kondisi pH sesuai dengan Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 56 kondisi proses berikutnya yang akan dilakukan. Bak Equalisasi bukan merupakan suatu proses pengolahan tetapi merupakan suatu cara / teknik untuk meningkatkan efektivitas dari proses pengolahan selanjutnya. Keluaran dari bak equalisasi adalah adalah parameter operasional bagi unit pengolahan selanjutnya seperti flow, level/derajat kandungan polutant, temperatur, padatan, dsb. Gambar 5.8 : Foto Bak Equalisasi IPAL BPPT Kegunaan dari equalisasi adalah : 1. Mengkontinyukan debit limbah yang akan diolah di IPAL (Membagi dan meratakan volume pasokan (influent) untuk masuk pada proses treatment. 2. Menstabilkan karakteristik limbah (meratakan variable) & fluktuasi dari beban organik untuk menghindari shock loading pada sistem pengolahan biologi. 3. Meratakan pH untuk meminimalkan kebutuhan chemical pada proses netralisasi. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 57 4. Meratakan kandungan padatan (SS, koloidal, dls ), untuk meminimalkan kebutuhan chemical pada proses koagulasi dan flokulasi (jika diperlukan). Dilihat dari fungsinya tersebut, unit bak equalisasi sebaiknya dilengkapi dengan mixer, atau secara sederhana konstruksi/peletakan dari pipa inlet dan outlet diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek turbulensi mixing. Idealnya pengeluaran (discharge) dari equalisasi dijaga konstan selama periode 24 jam, biasanya dengan cara pemompaan maupun cara-cara lain yang memungkinkan. 5.2.5. Sedimentasi atau Pengendapan Sedimentasi adalah suatu unit operasi untuk menghilangkan materi tersuspensi atau flok kimia secara gravitasi. Proses sedimentasi pada pengolahan air limbah umumnya untuk menghilangkan padatan tersuspensi sebelum dilakukan proses pengolahan selanjutnya. Gumpalan padatan yang terbentuk pada proses koagulasi masih berukuran kecil. Gumpalan-gumpalan kecil ini akan terus saling bergabung menjadi gumpalan yang lebih besar dalam proses flokulasi. Dengan terbentuknya gumpalan-gumpalan besar, maka beratnya akan bertambah, sehingga karena gaya beratnya gumpalan-gumpalan tersebut akan bergerak ke bawah dan mengendap pada bagian dasar tangki sedimentasi. Bak sedimentasi dapat berbentuk segi empat atau lingkaran. Pada bak ini aliran air limbah sangat tenang untuk memberi Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 58 kesempatan padatan/suspensi untuk mengendap. Kriteria-kriteria yang diperlukan untuk menentukan ukuran bak sedimentasi adalah : surface loading (beban permukaan), kedalaman bak dan waktu tinggal. Waktu tinggal mempunyai satuan jam, cara perhitungannya adalah volume tangki dibagi dengan laju alir per hari. Beban permukaan sama dengan laju alir (debit volume) rata-rata per hari dibagi luas permukaan bak, satuannya m 3 per meter persegi per hari. Q Vo = A Vo = laju limpahan/beban permukaan (m 3/m2 hari) Q = aliran rata-rata harian, m3 per hari A = total luas permukaan (m 2) Beberapa kriteria desain bak pengendapan primer dapat dilihat pada Tabel 5.1. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 59 Tabel 5.1. Kriteria Desain Bak Pengendapan Primer Parameter Desain Harga (besaran) Waktu Tinggal Hidrolik (Jam) Range Tipikal 1,5 – 2,5 2,0 Overflow rate ( m3/m2.hari) - Aliran Rata-rata 32 - 40 Aliran puncak 80 - 120 100 Weir Loading (m3/m.hari) 125 - 500 250 Panjang (m) 15 - 90 25 - 40 Lebar (m) 3 - 24 6 - 10 Kedalaman (m) 3-5 3,6 0,6 – 1,2 1,0 3-5 4,5 Diameter (m) 3,6 - 60 12 - 45 Slope dasar (mm/m) 60 - 160 80 0,02 – 0,05 0,03 Dimensi : Bentuk Persegi Panjang Kecepatan pengeruk lumpur (m/menit) Dimensi : Bentuk bulat (circular) Kedalaman (m) Kecepatan sludge scrapper (r/menit) Sumber : Metcalf & Eddy, 1979. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 60 Gambar 5.9 : Bak Sedimentasi IPAL BPPT. 5.2.6. Pengeringan / Pengolahan Lumpur Lumpur yang dihasilkan dari proses sedimentasi diolah lebih lanjut untuk mengurangi sebanyak mungkin air yang masih terkandung didalamnya. Proses pengolahan lumpur yang bertujuan mengurangi kadar air tersebut sering disebut dengan pengeringan lumpur. Ada empat cara proses pengurangan kadar air, yaitu secara alamiah, dengan tekanan (pengepresan), dengan gaya sentrifugal dan dengan pemanasan. Pengeringan secara alamiah dilakukan dengan mengalirkan atau memompa lumpur endapan ke sebuah kolam pengering (drying bed) yang mempunyai luas permukaan yang besar dengan kedalaman sekitar 1 atau 2 meter. Proses pengeringan berjalan dengan alamiah, yaitu dengan panas matahari dan angin yang Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 61 bergerak di atas kolam pengering lumpur tersebut. Cara pengeringan seperti ini tentu saja sangat bergantung dari cuaca dan akan bermasalah bila terjadi hujan. Bila lumpur tidak mengandung bahan yang berbahaya, maka kolam pengering lumpur dapat hanya berupa galian tanah biasa, sehingga sebagian air akan meresap ke dalam tanah dibawahnya. Contoh pengeringan lumpur antara lain pengeringan lumpur dengan cara tekanan (pengepresan) dan proses pengeringan lumpur dengan gaya centrifugal (centrifuge). Gambar 5.10 : Potongan Pengering Lumpur Tampak Atas dan Depan. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 62 Gambar 5.11 : Potongan Pengering Lumpur Tampak Samping. Gambar 5.12 : Foto Pengeringan Lumpur IPAL BPPT. 5.2.7. Pengolahan Air Limbah Secara Biologi Untuk mengolah air yang mengandung senyawa organik umumnya menggunakan teknologi pengolahan air limbah secara biologis atau gabungan antara proses biologis dengan proses kimiaPusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 63 fisika. Proses secara biologis tersebut dapat dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara) atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses biologis aeorobik biasanya digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang tidak terlalu besar, sedangkan proses biologis anaerobik digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat tinggi. Pengolahan air limbah secara biologis aerobik secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture), proses biologis dengan biakan melekat (attached culture) dan proses pengolahan dengan sistem lagoon atau kolam. Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa polutan yang ada dalam air dan mikroorganime yang digunakan dibiakkan secara tersuspesi di dalam suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara lain : proses lumpur aktif standar/konvesional (standard activated sludge), step aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit) dan lainya. Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah dimana mikroorganisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain : trickling filter atau Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 64 biofilter, rotating biological contactor (RBC), contact aeration/oxidation (aerasi kontak) dan lainnnya. Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikroorganisme yang tumbuh secara alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat proses penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga dilakukam proses aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization pond). Proses dengan sistem lagoon tersebut kadang-kadang dikategorikan sebagai proses biologis dengan biakan tersuspensi. Secara garis besar klasifikasi proses pengolahan air limbah secara aerobik dapat dilihat seperti pada Gambar 5.13, sedangkan karakteristik pengolahan, parameter perencanaan serta efisiensi pengolahan untuk tiap tiap jenis proses dapat dilihat pada Tabel 5.2 dan Tabel 5.3. Untuk memilih jenis teknologi atau proses yang akan digunakan untuk pengolahan air limbah, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain : karakteristik air limbah, jumlah limbah serta standar kualitas air olahan yang diharapkan. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 65 Gambar 5.13 : Klasifikasi Proses Pengolahan Air Limbah Secara Biologis Aerobik. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 66 Tabel 5.2 : Karakterisitik Operasional Proses Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biologis EFISIENSI PENGHILANGAN BOD JENIS PROSES PROSES BIOMASA (%) KETERANGAN Lumpur Aktif Standar 85 - 95 Step Aeration 85 - 95 Digunakan untuk beban pengolahan yang besar. Modified Aeration 60 - 75 Untuk pengolahan dengan kualitas air olahan sedang. Contact Stabilization 80 - 90 Digunakan untuk pengolahan paket. Untuk mereduksi High Rate Aeration 75 - 90 Pure Oxygen Process 85 - 95 Oxidation Ditch 75 - 95 Konstruksinya mudah, tetapi memerlukan area yang luas. Trickling Filter 80 - 95 Sering timbul lalat dan bau. Proses operasinya mudah. Rotating Biological Contactor 80 - 95 Konsumsi energi rendah, produksi lumpur kecil. Tidak Contact Aeration Process 80 - 95 Biofilter Unaerobic 65 - 85 Kolam stabilisai 60 - 80 TERSUSPENSI - ekses lumpur. Untuk pengolahan paket, bak aerasi dan bak pengendap akhir merupakan satu paket. Memerlukan area yang kecil. Untuk pengolahan air limbah yang sulit diuraikan secara bilogis. Luas area yang dibutuhkan kecil. PROSES BIOMASA MELEKAT memerlukan proses aerasi. Memungkinkan untuk penghilangan nitrogen dan phospor. memerlukan waktu tinggal yang lama, lumpur yang terjadi kecil. LAGOON memerlukan waktu tinggal yang cukup lama, dan area yang dibutukkan sangat luas Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 67 Tabel 5.3 : Parameter Perencanaan Proses Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biologis Aerobik. BEBAN BOD JENIS PROSES BOD kg/kg SS.d BOD BIOMASA TERSUSPENSI kg/m .d MLSS (mg/lt) Lumpur Aktif Standar 0,2 - 0,4 0,3 - 0,8 1500 - 2000 Step Aeration 0,2 - 0,4 0,4 - 1,4 1000 - 1500 Modified Aeration 1,5 - 3,0 0,6 - 2,4 400 - 800 Contact Stabilization PROSES EFISIENSI PENGHILANGAN 3 High Rate Aeration Pure Oxygen Process QA/Q 3 -7 T (Jam) BOD (%) 6-8 85 - 95 3-7 4-6 85 - 95 2 - 2,5 1,5 - 30 60 - 75 0,2 0,8 - 1,4 2000 - 8000 > 12 >5 80 - 90 0,2 - 0,4 0,6 - 2,4 3000 - 6000 5-8 2-3 75 - 90 0,3 - 0,4 1,0 - 2,0 3000 - 4000 - 1-3 85 - 95 Oxidation Ditch 0,03 - 0,04 0,1 - 0,2 3000 - 4000 - 24 -48 75 - 95 Extended Aeration 0,03 - 0,05 0,15 - 0,25 3000 - 6000 > 15 16 - 24 75 - 95 Trickling Filter - 0,08 - 0,4 - - - 80 - 95 PROSES Rotating Biological Contactor - 0,01 - 0,3 - - - 80 - 95 BIOMASA Contact Aeration Process - - - - - 80 - 95 MELEKAT Biofilter Unaerobic - - - - - 65 - 85 CATATAN : Q : Debit Air Limbah (M3/day) Qr : Return Sludge (M3/day) QA : Laju Alir Suplai Udara (M3/day) Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 68 5.2.7.1. Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Lumpur Aktif Pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif konvensional (standar) secara umum terdiri dari bak pengendap awal, bak aerasi dan bak pengendap akhir, serta bak khlorinasi untuk membunuh bakteri patogen. Secara umum proses pengolahannya adalah sebgai berikut. Air limbah yang berasal dari ditampung ke dalam bak penampung air limbah. Bak penampung ini berfungsi sebagai bak pengatur debit air limbah serta dilengkapi dengan saringan kasar untuk memisahkan kotoran yang besar. Kemudian, air limbah dalam bak penampung di pompa ke bak pengendap awal. Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan tersuspensi (Suspended Solids) sekitar 30 - 40 %, serta BOD sekitar 25 %. Air limpasan dari bak pengendap awal dialirkan ke bak aerasi secara gravitasi. Di dalam dengan udara sehingga bak aerasi ini air limbah dihembus mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah. Energi yang didapatkan dari hasil penguraian zat organik tersebut digunakan oleh mikrorganisme untuk proses pertumbuhannya. Dengan demikian didalam bak aerasi tersebut akan tumbuh dan berkembang biomasa dalam jumlah yang besar. Biomasa atau mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 69 Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan (over flow) dari bak pengendap akhir dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh micro-organisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan proses ini air limbah dengan konsentrasi BOD 250 -300 mg/lt dapat di turunkan kadar BOD nya menjadi 20 -30 mg/lt. Skema proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif standar atau konvesional dapat dilihat pada Gambar 5.14. Gambar 5.14 : Diagram Proses Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Lumpur Aktif Standar (Konvensional). Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 70 Gambar 5.15 : Contoh Foto Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Lumpur Aktif Standar (Konvensional). Surplus lumpur dari bak pengendap awal maupun akhir ditampung ke dalam bak pengering lumpur, sedangkan air resapannya ditampung kembali di bak penampung air limbah. Keunggulan proses lumpur aktif ini adalah dapat mengolah air limbah dengan beban BOD yang besar, sehingga tidak memerlukan tempat yang besar. Proses ini cocok digunakan untuk mengolah air limbah dalam jumlah yang besar. Sedangkan beberapa kelemahannya antara lain yakni kemungkinan dapat terjadi bulking pada lumpur aktifnya, terjadi buih, serta jumlah lumpur yang dihasilkan cukup besar. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 71 Variabel Operasional Di Dalam Proses Lumpur Aktif Variabel perencanan (design variabel) yang umum digunakan dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif (Davis dan Cornwell, 1985; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut: 1. Beban BOD (BOD Loading rate atau Volumetric Loading rate). Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air limbah yang masuk (influent) dibagi dengan volume reaktor. Beban BOD dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Q x S0 kg/m3.hari ……………(5.1) Beban BOD = V Dimana : Q = debit air limbah yang masuk (m3/hari) S0 = Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk (kg/m3) V = Volume reaktor (m3) 2. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi di dalam bak aerasi pada proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour yang merupakan campuran antara air limbah dengan biomassa mikroorganisme serta padatan tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 72 di dalamnya adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 1050C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang. 3. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 6500C, dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS. 4. Food - to - microorganism ratio atau Food – to - mass ratio disingkat F/M Ratio. Parameter ini menujukkan jumlah zat organik (BOD) yang dihilangkan dibagi dengan jumlah massa mikroorganisme di dalam bak aerasi atai reaktor. Besarnya nilai F/M ratio umunya ditunjukkan dalam kilogram BOD per kilogram MLLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). F/M dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Q (S0 – S) …………………(5.2) F/M = MLSS x V dimana : Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD) Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 73 S0 = Konsentrasi BOD dalam air limbah Yang masuk ke bak areasi (reaktor) (kg/m3) S = Konsentrasi BOD di dalam efluent(kg/m 3) MLSS = Mixed liquor suspended solids (kg/m3) V = Volume reaktor atau bak aerasi (m 3) Rasio F/M dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi lumpur aktif dari bak pengendapan akhir yang disirkulasi ke bak aerasi. Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif konvensional atau standar, rasio F/M adalah 0,2 0,5 kg BOD5 per kg MLSS per hari, tetapi dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio F/M yang rendah menujukkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien. 5. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (dilution rate, D) (Sterritt dan Lester, 1988). HRT = 1/D = V/ Q …………………(5.3) Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 74 dimana : V = Volume reaktor atau bak aerasi (m 3). Q = Debit air limbah yang masuk ke dalam tangki aerasi (m3/jam) D = Laju pengenceran (jam -1). 6. Ratio Sirkulasi Lumpur (Hidraulic Recycle Ratio, HRT). Ratio sirkulasi lumpur adalah perbandingan antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke bak aerasi dengan jumlah air limbah yang masuk ke dalam bak aerasi. 7. Umur lumpur (sludge age) atau sering disebut waktu tinggal ratarata cel (mean cell residence time). Parameter ini adalah menujukkan waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam bak aerasi dapat dalam hitungan hari. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hammer, 1986; Curds dan Hawkes, 1983) : MLSS x V Umur Lumpur (Hari) = ......(5.4) SSe x Qe + SSw X Qw Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 75 dimana : MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l). V = Volume bak aerasi (L) SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l) SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l) Qe = Laju effluent limbah (m 3/hari) Qw = Laju influent limbah (m 3/hari). 8. SVI ( Sludge Volume Index ) adalah parameter yang menunjukkan volume lumpur campuran lumpur aktif dan air aktif dalam satu liter limbah setelah diendapkan. Pengukuran SVI dilakukan dalam gelas ukur dan waktu pengendapan adalah 30 menit. Rumus untuk menghitung SVI adalah sebagai berikut: V SVI = ......(5.5) M dimana : V = Volume lumpur aktif setelah 30 menit mengendap (ml) M = Jumlah lumpur aktif dalam endapan (g) Nilai SVI yang ideal untuk proses lumpur aktif adalah berkisar antara 50 – 100 (ml/g) (degreemont 1991) Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 76 Masalah Yang Sering Muncul Dalam Proses Lumpur Aktif Tabel 5.4 : Masalah Yang Sering Terjadi Pada Lumpur Aktif. No 1 Jenis Masalah Pertumbuhan Penyebab Masalah Mikro-organisme yang ada di dalam Pengaruh Terhadap Sistem Efluent menjadi tetap keruh. terdispersi sistem lupur aktif tidak membentuk flok Sludge yang mengendap pada (Dispersed yang cukup besar, tetapi terdispersi bak pengendap akhir kecil Growth) menjadi flok yang sangat kecil atau sehingga jumlah sirkulasi merupakan sel tunggal sehingga sulit lumpur berkurang. mengendap. 2 Slime (Jelly) ; Mikro-orgainsme berada dalam jumlah Menurunkan kecepatan nonfilamentous yang sangat besar khususnya zooglea pengen-dapan lumpur dan bulking atau dan membentuk exo-polysacarida dalam mengurani kecepatn kompaksi viscous bulking jumlah yang besar. lumpur. Pada kondisi yang buruk meng-akibatkan terlepasnya lumpur di bak pengendapan akhir. 3 Pin Flock atau Terbentuknya flok berbentuk bola kasar SVI rendah, dan efluen Pinpoint Flock dengan ukuran yang sangat kecil, mempunyai kekeruhan yang kompak. Ukran flok yang lebih besar tinggi. mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih besar, sedangkan agregat yang lebih kecil mengendap lebih lambat. 4 Filamentous Terjadi ekses pertumbuhan mikro- Mengurangi efektifitas Bulking organisme filamentous dalam jumlah kompaksi lumpur. yang besar. 5 Rising Sludge Merupakam ekses proses denitrifikasi Efluen yang keruh dan (blanket rising) sehingga partikel lumpur menempel pada menurunkan efisiensi gelembung gas nitrogen yang terbentuk penghilangan BOD. dan naik kepermukaan. 6 Foaming atau Adanya senyawa surfactant yand tidak Terjadi buih pada permukaan pembentukan dapat terurai dan akibat berkembang- bak aerasi dalam jumlah yang buih (scum) biaknya Nocardia dan Microthrix besar yang dapat melampui parvicella ruang bebas dan melimpah ke bak pengendapan akhir. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 77 5.2.7.2. Pengolahan Limbah Dengan Proses Film Mikrobiologis (Biofilm) Untuk meningkatkan kualitas hasil sistem proses air olahan IPAL ini, lumpur aktif IPAL gedung gedung BPPT ini dikombinasi dengan reaktor biofilter/biofilm. Proses tersebut dapat dilakukan dalam kondisi aerobik, anaerobik atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses aerobik dilakukan dengan kondisi adanya oksigen terlarut di dalam reaktor air limbah, dan proses anaerobik dilakukan dengan tanpa adanya oksigen dalam reaktor air limbah. Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah merupakan gabungan proses anaerobik dan proses aerobik. Proses ini biasanya digunakan untuk menghilangan kandungan nitrogen di dalam air limbah. Pada kondisi aerobik terjadi proses nitrifikasi yakni nitrogen ammonium diubah menjadi nitrat (NH4+ NO3 ) dan pada kondisi anaerobik terjadi proses denitrifikasi yakni nitrat yang terbentuk diubah menjadi gas nitrogen (NO3 N2 ). Prinsip Pengolahan Air Limbah Dengan Sistem Biofilm Mekanisme proses metabolisme di dalam sistem biofilm secara aerobik secara sederhana dapat diterangkan seperti pada Gambar 5.16. Gambar tersebut menunjukkan suatu sistem biofilm yang yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat pada medium, lapisan air limbah dan lapisan udara yang terletak diluar. Senyawa polutan yang ada di dalam air limbah Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 78 misalnya senyawa organik (BOD, COD), ammonia, phospor dan lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan medium. Gambar 5.16 : Mekanisme Proses Metabolisme di Dalam Sistem Biofilm. Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air limbah senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilhan akan diubah menjadi biomasa. Suplai oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada sistem RBC yakni dengan cara kontak dengan udara luar, pada sistem “Trickling Filter” dengan aliran balik udara, Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 79 sedangkan pada sistem biofilter tercelup dengan menggunakan blower udara atau pompa sirkulasi. Proses Pengolahan Biologis Secara Aerob Di dalam proses pengolahan air limbah organik secara biologis aerobik, senyawa komplek organik akan terurai oleh aktifitas mikroorganisme aerob. Mikroorganisme aerob tersebut di dalam aktifitasnya memerlukan oksigen atau udara untuk memecah senyawa organik yang komplek menjadi CO2 (karbon dioksida) dan air serta ammonium, selanjutnya ammonium akan dirubah menjadi nitrat dan H2S akan dioksidasi menjadi sulfat. Secara sederhana reaksi penguraian senyawa organik secara aerobik dapat digambarkan sebagai berikut : Reaksi Penguraian Organik : Oksigen (O2) Senyawa Polutan organik CO2 + H20 + NH4 + Biomasa Heterotropik Reaksi Nitrifikasi : NH4+ + 1,5 O2 NO2- + 0,5 O2 -----> NO2- + 2 H+ + H2O ------> NO3 - Reaksi Oksidasi Sulfur : S2 - + ½ O2 + 2 H+ ----- > SO + H2O 2 S + 3 O2 + 2 H2O ----> 2 H2SO4 Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 80 Berbeda dengan proses anaerob, beban pengolahan pada proses aerob lebih rendah, sehingga prosesnya ditempatkan sesudah proses anaerob. Pada proses aerob hasil pengolahan dari proses anaerob yang masih mengandung zat organik dan nutrisi diubah menjadi sel bakteri baru, hidrogen maupun karbon dioksida oleh sel bakteri dalam kondisi cukup oksigen. Modifikasi biofilter di dalam sistem IPAL gedung BPPT ini dapat dilihat seperti pada gambar 5.17 s/d 3.10 sebagai berikut : Gambar 5.17 : Kombinasi Proses Lumpur Aktif dan Biofilter IPAL BPPT Jakarta. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mekanisme Proses Aerob 1) Temperatur Temperatur tidak hanya mempengaruhi aktivitas metabolisme dari populasi mikroorganisme, tetapi juga Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 81 mempengaruhi beberapa faktor seperti kecepatan transfer gas dan karakteristik pengendapan lumpur. Temperatur optimum untuk mikroorganisme dalam proses aerob tidak berbeda dengan proses anaerob. 2) Keasaman (pH) Nilai pH merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa bakteri dapat hidup pada pH diatas 9,5 dan di bawah 4,0. Secara umum pH optimum bagi pertumbuhan mikroorganisme adalah sekitar 6,5-7,5. 3) Waktu Tinggal Hidrolis (WTH) Waktu Tinggal Hidrolis (WTH) adalah waktu perjalanan limbah cair di dalam reaktor, atau lamanya proses pengolahan limbah cair tersebut. Semakin lama waktu tinggal, maka penyisihan yang terjadi akan semakin besar. Sedangkan waktu tinggal pada reaktor aerob sangat bervariasi dari 1 jam hingga berhari-hari. 4) Nutrien Di samping kebutuhan karbon dan energi, mikroorganisme juga membutuhkan nutrien untuk sintesa sel dan pertumbuhan. Kebutuhan nutrien tersebut dinyatakan dalam bentuk perbandingan antara karbon dan nitrogen serta phospor yang merupakan nutrien anorganik utama yang diperlukan mikroorganisme dalam bentuk BOD : N : P Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 82 Media Biofilter Media biofilter termasuk hal yang penting, karena sebagai tempat tumbuh dan menempel mikroorganisme, untuk mendapatkan unsur-unsur kehidupan yang dibutuhkan-nya, seperti nutrien dan oksigen. Dua sifat yang paling penting yang harus ada dari media adalah : Luas permukaan dari media, karena semakin luas permukaan media maka semakin besar jumlah biomassa per-unit volume. Persentase ruang kosong, karena semakin besar ruang kosong maka semakin besar kontak biomassa yang menempel pada media pendukung dengan substrat yang ada dalam air buangan Untuk mendapatkan permukaan media yang luas, media dapat dimodifikasikan dalam berbagai bentuk seperti bergelombang, saling silang, dan sarang tawon. Media yang digunakan dapat berupa kerikil, batuan, plastik (polivinil chlorida), pasir, dan partikel karbon aktif. Untuk media biofilter dari bahan organik banyak yang dibuat dengan cara dicetak dari bahan tahan karat dan ringan misalnya PVC dan lainnya, dengan luas permukaan spesifik yang besar dan volume rongga (porositas) yang besar, sehingga dapat melekatkan mikroorganisme dalam jumlah yang besar dengan resiko kebuntuan yang sangat Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 83 kecil. Dengan demikian memungkinkan untuk pengolahan air limbah dengan beban konsentrasi yang tinggi serta efisiensi pengolahan yang cukup besar. Salah Satu contoh media biofilter yang banyak digunakan yakni media dalam bentuk sarang tawon (honeycomb tube) dari bahan PVC. Kelebihan dalam menggunakan media plastik tersebut antara lain: Mempunyai luas permukaan per m 3 volume sebesar 150 – 240 m2/m3 Volume rongga yang besar dibanding media lainnya. Penyumbatan pada media yang terjadi sangat kecil. Beberapa contoh perbandingan luas permukaan spesifik dari berbagai media biofilter dapat dilihat pada Tabel 5.5 : Tabel 5.5. : Perbandingan Luas Permukaan Spesifik Media Biofilter No Jenis Media Luas Permukaan spesifiik (m2/m3) 1. 2. 3. 4. Trickling filter dengan batu pecah Model sarang tawon (honeycomb modul) Tipe jaring RBC 100 – 200 150 – 240 50 80 – 150 Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 84 Gambar 5.18 : Foto Media Sarang Tawon 5.2.8. Disinfektan Disinfeksi adalah proses penghancuran atau pembunuhan mikroorganisme penyebab penyakit (pathogen). Jadi disinfeksi menghilangkan semua mikroorganisme pathogen dari air yang mengalami pengolahan tersebut. Proses ini pada umumnya merupakan proses pada tahap akhir dalam satu rangkaian proses pengolahan air limbah sebelum dibuang ke saluran umum. Setelah proses disinfeksi ini, masih ada beberapa jenis mikroorganisme yang tetap bertahan hidup di dalam air yang diolah tersebut. Pada Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 85 umumnya terjadi penghancuran virus, bakteri dan protozoa yang terdapat dalam air. Beberapa metode disinfeksi yaitu : (1) Penambahan zat kimia; (2) Penggunaan materi fisik, seperti panas dan cahaya; (3) Penggunaan mekanik; (4) Penggunaan elektromagnetik, akustik, dan radiasi. Metode yang paling banyak digunakan adalah metode penambahan bahan kimia. Penggunaan zat khlor (khlorinasi) merupakan cara yang paling banyak digunakan, namun kekurangan dari sistem ini menghasilkan senyawa carcinogen seperti trihalomethane dan khloroform. Sistem lain yang sering pula digunakan adalah penggunaan ozone, namun kekurangan sistem ini tidak meninggalkan sisa konsentrasi untuk mencegah organisme tumbuh kembali. Kedua proses masing-masing mempunyai kekurangan, sehingga dalam penerapannya sangat tergantung pada kondisi. Khlorinasi banyak digunakan pada penyediaan air domestik yang memperoleh air baku dari air permukaan atau air tanah. Disamping itu sering pula digunakan pada air bersih yang telah diolah. Zat khlor merupakan zat pengoksidasi, oleh karena itu jumlah khlor yang dibutuhkan tergantung pada konsentrasi organik dan zat NH3-N dalam air yang diolah. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 86 Pada umumnya zat khlor dimasukkan ke dalam air dalam bentuk gas Cl2, khlor dioksida (ClO2), sodium hipokhlorit (NaOCl) dan calsium hipokhlorit Ca(OCl)2. Khlor bentuk calcium hipokhlorit lebih banyak digunakan dari pada bentuk gas, karena penanganannya lebih mudah. a. Reaksi kimia zat khlor Apabila khlor dalam bentuk gas ditambahkan ke dalam air, akan terjadi 2 reaksi yaitu reaksi hidrolisa dan reaksi ionisasi. Pada reaksi hidrolisa terbentuk hipokhlorit (HOCl), pada reaksi ionisasi terbentuk ion (OCl-). Reaksi keseimbangannya sebagai berikut: Reaksi hidrolisa : Cl2 + H2O HOCl + H+ + Cl- Reaksi ionisasi : HOCl H+ + OCl- b. Sisa Khlor Bebas Sisa khlor didefinisikan sebagai jumlah (HOCl) dan OCl - , biasanya digunakan pula sebagai ukuran keefektifan khlor. Jumlah sisa khlor sebagai standar pada sistem penyediaan air adalah 0,5 – 1,0 gr/m3 . Sisa khlor dapat digunakan pula sebagai ukuran jumlah khlor yang masih ada. Dari ketiga bentuk hasil reaksi, bentuk (HOCl) merupakan bentuk yang paling efektif sebagai disinfektan. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 87 c. Reaksi Dengan Amonia Reaksi hipokhlorit dengan amonia menghasilkan senyawa khloramin dan gas nitrogen (N2) serta oksida nitrogen (N2O). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : HOCl + NH3 NH2Cl (monochloramine) + H2O HOCl + NH2Cl NHCl2 (dichloramine) + H2O HOCl + NHCl2 NCl3 (nitrogen trichloride) + H2O Reaksi-reaksi tersebut sangat tergantung pada pH, temperatur, waktu kontak dan perbandingan awal antara chlorine dengan amonia. Pada umumnya senyawa yang paling dominan adalah monochloramine dan dichloramine. Chlorine yang ada dalam senyawa-senyawa tersebut disebut chlorine terikat yang tersedia. Chloramine merupakan disinfektan juga, namun kekuatannya lebih kecil dari pada hipokhlorit. d. Breakpoint Khlorinasi Breakpoint khlorinasi adalah angka pada saat jumlah khlor cukup untuk menghasilkan sisa khlor bebas. Terdapat 4 tahap yang terlibat dalam hal ini (seperti pada Gambar 8.19). Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 88 Tahap 1 : zat-zat yang mudah teroksidasi, yaitu Fe2+, H2S dan zat-zat organik bereaksi terlebih dahulu menghasilkan khlorida. Tahap 2 : terbentuk senyawa chloramine dan chloro-organik Tahap 3 : penambahan khlor selanjutnya akan mengoksidasi senyawa-senyawa di tahap 2, menghasilkan N2O, chloride, dan N2, reaksinya sebagai berikut : NH2Cl + NHCl2 + HOCl N2O + 4 HCl 2 NH2Cl + HOCl Tahap 4: N2 + H2O + 3 HCl tahap breakpoint, semua chloramine dan sebagian besar senyawa chloro-organik telah dioksidasi. Penambahan khlor selanjutnya akan menghasilkan sisa khlor bebas (HOCl) dan (Ocl-). Gambar 5.19: Kurva khlorinasi “Break Point” Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 89 Foto contoh tabung sistem disinfektan IPAL BPPT ini dapat dilihat seperti pada Gambar 5.20. Gambar 5.20: Tabung Klorinasi Dengan Kaporit Tablet. 5.3. Unit Re-use Air Limbah Gedung BPPT. 5.3.1. Proses Filtrasi (Penyaringan) Tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan padatan tersuspensi dari dalam air yang diolah. Pada penerapannya filtrasi digunakan untuk menghilangkan sisa padatan tersuspensi yang tidak terendapkan pada proses sedimentasi. Pada pengolahan air buangan, filtrasi dilakukan setelah pengolahan kimia-fisika atau pengolahan biologi. Ada dua jenis proses penyaringan yang umum digunakan, yaitu penyaringan lambat dan penyaringan cepat. Penyaringan lambat adalah penyaringan dengan memanfaatkan energi potensial air itu sendiri, artinya hanya melalui gaya gravitasi. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 90 Penyaringan ini dilakukan secara terbuka dengan tekanan atmosferik. Sedangkan penyaringan cepat adalah penyaringan dengan menggunakan tekanan yang melebihi tekanan atmosfir. Berdasarkan jenis media filter yang digunakan, penyaringan dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu filter media granular (butiran) dan filter permukaan. Pada jenis media granular, media yang paling baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: Ukuran butiran membentuk pori-pori yang cukup besar agar partikel besar dapat tertahan dalam media, sementara butiran tersebut juga dapat membentuk pori yang cukup halus, sehingga dapat menahan suspensi. Butiran media bertingkat, sehingga lebih efektif pada saat proses pencucian balik (backwash). Saringan mempunyai kedalaman yang dapat memberikan kesempatan aliran mengalir cukup panjang. Sejauh ini media yang paling baik adalah pasir yang ukuran butirannya hampir seragam dengan ukuran antara 0,6 hingga 0,8 mm. Laju operasi untuk penyaringan ditentukan oleh kualitas air baku, pengolahan kimia yang diterapkan dan media filter. Pada umumnya laju penyaringan pada saringan pasir cepat adalah 82,4 liter per menit/m2. Sistem yang ada pada saat ini dapat menaikkan aliran hingga 206 liter per menit/m 2. Unggun saringan yang terdiri dari dua jenis media, yaitu arang dan pasir menghasilkan lapisan media arang yang butirannya besar (berat jenis 1,4-1,6) berada diatas media pasir yang lebih halus (berat jenis 2,6). Susunan media Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 91 dari atas ke bawah kasar-halus, akan memudahkan aliran air. Flok yang besar akan tertahan butiran arang di bagian atas/permukaan unggun. Filter bertekanan dengan media pasir silika biasanya digunakan untuk menyaring atau memisahkan zat padat tersuspesi yang dihasilkan oleh proses oksidasi zat besi atau mangan dengan okasigen atau udara maupun oksidasi dengan kalium permanganat atau senyawa khlorine. Jika proses oksidasi berjalan dengan baik maka proses penyaringan dengan filter bertekanan menggunakan media pasir silika dapat berjalan dengan efektif. Untuk proses penyaringan air bersih dengan menggunakan Filter Pasir Bertekanan, kecepatan penyaringan bervariasi antara 100 – 1000 m3/m2/hari. Mernurut IDE (1990), untuk Media tunggal berkisar antara 120 – 250 m3/m2/hari, untuk Filter dengan dua jenis media (dual media filter) kerkisar antara 200 – 400 m3/m2/hari. Menurut GOTA dan YAMAMOTO (1969), Kecepatan filtrasi 7,5 m m3/m2/jam, tebal lapisan pasir 45-75 cm, diameter partikel pasir 0,4 – 0,5 mm, Head loss berkisar antara 0,3 – 0,5 kg/cm2. Menurut Southern Chemicals untuk saringan pasir bertekanan kecepatan penyaringan berkisar antara 20 – 25 m3/m2/hari. Secara umum konstruksi filter pasir bertekanan ditujukkan seperti pada Gambar 5.20. Materilal yang digunakan bervariasi Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 92 sesuai dengan penggunaan serta kapasitas pengolahan. Untuk kapasitas penyaringan yang besar umumnyan menggunakan material mild steel yang dilapis dengan rubber atau fiberglass atau menggunakan bahan dari stainless steel, sedangkan untuk kapsitas yang kecil umumnya menggunakan material dari fiberglass, PVC atau stainles steel. Gambar 5.21: Konstruksi Filter Pasir Bertekanan Yang Banyak Digunakan 5.3.2. Proses Adsorpsi Adsorpsi adalah penumpukan materi pada interface antara dua fase. Pada umumnya zat terlarut terkumpul pada interface. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 93 Proses adsorpsi memanfaatkan fenomena ini untuk menghilangkan materi dari cairan. Banyak sekali adsorbent yang digunakan di industri, namun karbon aktif merupakan bahan yang sering digunakan karena harganya murah dan sifatnya nonpolar. Adsorbent polar akan menarik air sehingga kerjanya kurang efektif. Pori-pori pada karbon dapat mencapai ukuran 10 angstrom. Total luas permukaan umumnya antara 500 – 1500 m2/gr. Berat jenis kering lebih kurang 500 kg/m3. Gambar 5.22: Foto Multi Media Filter Sistem Re-use Gedung BPPT. 5.3.3. Ultra Filtrasi Saat ini teknologi filtrasi untuk penjernihan air ada dua tipe yaitu tipe konvensional dengan menggunakan saringan pasir dan tipe baru dengan menggunakan membrane. Teknologi membrane saat ini berkembang sangat pesat dan mulai banyak diaplikasikan untuk berbagai kegunaan mengingat banyak sekali keunggulanPusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 94 keunggulan yang dimilikinya dibanding teknologi konvensional. Membran UF yang digunakan adalah tipe hollow fiber yang terbuat dari poly sulfone dan diproduksi oleh Kristal.TM America. Tingkat filtrasi dengan membrane ini adalah dapat menahan partikel ukuran 0.1 ~ 0.01 micron dengan tekanan pompa yang rendah dan tanpa bahan kimia dalam prosesnya sehingga memiliki biaya operasi yang rendah. Hasil akhir air menggunakan sistem ini selalu konstan dan bisa menghilangkan bakteri pada waktu yang bersamaan dengan proses penghilangan material yang tersuspensi dalam air. Kelebihan teknologi membrane ini diantaranya adalah : 1. Teknologi membrane adalah teknologi yang berwawasan lingkungan dan ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia yang berbahaya dan menimbulkan pencemaran. 2. Teknologi membrane memberikan jaminan kualitas air yang lebih konstan 3. Teknologi membrane dapat memberikan operational cost yang lebih tetap bila dibandingkan dengan teknologi konvensional. Diagram alir teknologi ultra filtrasi ini dapat dilihat seperti pada gambar 5.23, sedangan diagram alir sistem re-use air limbah gedung BPPT dengan dengan teknologi multi media filter yang digabung dengan sistem ultra filtrasi dapat dilihat seperti pada Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 95 gambar 5.24. Gambar 5.26 menunjukkan lay out sistem IPAL dan reuse dalam pengelolaan limbah gedung BPPT, Jakarta. Gambar 5.23 : Diagram Alir Teknologi Ultra Filtrasi Gambar 5.24 : Sistem Re-use Air Limbah Gedung BPPT Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 96 Gambar 5.25 : Foto Sistem Re-use Air Limbah Gedung BPPT Gambar 5.26 : Lay Out Sistem IPAL dan Re-use Gedung BPPT Jakarta. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 97 5.4. Fasilitas Pendukung Water Meter meter Untuk melengkapi sistem kontrol dan monitoring sistrem operasional IPAL ini, maka pada sistem outlet IPAL tersebut dipasang water meter. Ada beberapa fungsi flwo meter ini antara lain : - sebagai alat bantu sistem kontrol debit proses agar IPAL dapat berfungsi dengan baik. - Sebagai alat monitoring debit limbah yang terolah setiap harinya guna kontrol kapasitas IPAL. - Sebagai alat monitoring untuk penyusunan laporan rutin jumlah pembuangan limbah ke lingkungan. Gambar 5.27 : menunjukkan water meter IPAL BPPT Jakarta. Gambar 5.27 : Water Meter Outlet IPAL BPPT. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 98 Peralatan analisa IPAL PT. Pertamina ini juga sudah dilengkapi dengan fasilitas ruangan untuk melakukan monitoring kualitas outet dan dilengkapi dengan beberapa peralatan untuk analisa kualitas outlet IPAL. Dengan adanya peralatan swa pantau ini, maka diharapkan kualitas outlet akan terpantau secara rutin dan jika ada troubel dari IPAL dapat segera diketahui dan diambil tindakan untuk perbaikan. Gambar 5.28 : Peralatan Analisa Swa Pantau IPAL BPPT. Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 99 Gambar 5.29 : Foto IPAL Gedung BPPT Gambar 5.30 : Foto IPAL Gedung BPPT Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 100