1 PENDAHULUAN Keberadaan limbah pada umumnya tidak dikehendaki di lingkungan. Salah satu yang cukup dikhawatirkan ialah limbah rumah sakit. Rumah sakit merupakan institusi kesehatan dengan inti kegiatan pelayanan preventif, rehabilitatif, dan promotif. Kegiatan tersebut dapat berdampak positif dan negatif. Dampak positif ialah meningkatnya kesehatan masyarakat, sedangkan dampak negatifnya antara lain pencemaran sampah dan limbah medis maupun non-medis yang dapat menimbulkan penyakit. Upaya penyehatan lingkungan rumah sakit diperlukan untuk melindungi masyarakat dan karyawan dari bahaya pencemaran tersebut. Hasil penelitian Ditjen P2MPL Direktorat Penyediaan Air dan Sanitasi yang melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota menyebutkan bahwa rumah sakit di Indonesia yang memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) baru sebanyak 36%. Dari jumlah tersebut, limbah cair yang setelah diolah, memenuhi baku mutu baru mencapai 52% (Giyatmi 2003). Limbah cair rumah sakit umumnya banyak mengandung mikroorganisme (bakteri, virus, dsb.), senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat di sekitarnya. Limbah yang bersumber dari laboratorium paling perlu diwaspadai karena bahan-bahan kimia yang digunakan untuk uji laboratorium tidak dapat diurai hanya dengan aerasi atau lumpur aktif. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksikus yang harus disterilisasi atau dinormalkan terlebih dahulu. Untuk foto röntgen, misalnya, terkandung bahan radioaktif yang cukup berbahaya. Pengelolaan limbah cair yang baik sangat dibutuhkan agar mutu efluen tidak melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini KepMNLH No.58/ MNLH/12/1995. Berangkat dari hal tersebut, dilakukan penelitian untuk mengevaluasi limbah cair Rumah Sakit PMI Kota Bogor dan satu rumah sakit lainnya sebagai pembanding berdasarkan KepMNLH No.58/MNLH/12/1995. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Uji non-parametrik dan uji t berpasangan dilakukan terhadap parameter kebutuhan oksigen secara kimia (COD), kebutuhan oksigen secara biokimia (BOD), padatan tersuspensi total (TSS), fosfat, pH, suhu, amonia, dan koliform total. Hasil outlet dibandingkan dengan baku mutu KepMNLH No.58/MNLH/12/1995. TINJAUAN PUSTAKA Limbah Cair Rumah Sakit Limbah cair rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemaran air yang sangat potensial. Hal ini disebabkan oleh kandungan senyawa organik yang cukup tinggi, senyawa kimia yang berbahaya, serta mikroorganisme patogen di dalamnya (Said 2003). Limbah cair rumah sakit berasal dari seluruh kegiatan rumah sakit yang meliputi limbah domestik cair, yakni buangan kamar mandi, dapur, air pencuci pakaian; limbah cair klinis, misalnya air bekas membilas luka atau darah; air limbah laboratorium; dan lain-lain (Said 2003). Berdasarkan KepMNLH No.58/MNLH/12/ 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Rumah Sakit, setiap rumah sakit wajib menyediakan sarana pengelolaan limbah cair maupun padat sebelum dibuang ke saluran umum. Karakteristik air limbah meliputi sifat fisika, kimia, dan biologi. Dengan mengetahui jenis cemaran dalam air limbah, unit proses yang dibutuhkan dapat ditentukan. Sebagai contoh, kontaminasi oleh padatan tersuspensi membutuhkan unit proses sedimentasi atau penapisan dan penghilangan debu. Dalam pembuangan air limbah, prinsip yang penting adalah mengurangi emisi dan mengembalikan bahan-bahan yang masih berguna ke dalam sumbernya. IPAL yang baik hanya perlu sedikit perawatan, aman dalam pengoperasian, hemat energi, dan produk samping (misalnya, lumpur) minimum (Qasim 1985). Proses Pengolahan Biologi Unit proses biologi memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mengurai cemaran secara alami. Sebagian besar air limbah mengandung zat organik sehingga proses biologi merupakan tahapan yang penting. Dibandingkan dengan proses alami, proses biologi biasanya lebih cepat dan membutuhkan tempat lebih sedikit. Namun, peningkatan intensitas menyebabkan proses lebih sensitif sehingga memerlukan proses kontrol yang intensif dan teliti (Alkitri et al.2005). Pengolahan air limbah secara biologi bertujuan membersihkan zat-zat organik atau mengubahnya menjadi bentuk yang kurang berbahaya, termasuk penggunaan kembali baik secara langsung maupun taklangsung dengan memanfaatkan residu yang berasal dari proses untuk keperluan pertanian. Tujuan tersebut dapat dicapai jika proses diatur dalam kondisi 2 yang spesifik, antara lain meliputi waktu tinggal, konsentrasi oksigen, atau perubahan kondisi proses yang terkendali seperti dalam kasus pembersihan fosforus (Siregar 2005). Tujuan lebih lanjut bergantung pada media yang diolah. Pengolahan air limbah domestik pada umumnya bertujuan membersihkan zatzat organik, mula-mula diubah bentuknya menjadi lumpur, kemudian dibuang. Seluruh proses biologi tersebut hanya merupakan proses transformasi, bukan pembersihan. Zatzat organik terlarut diubah menjadi partikulat yang kemudian dapat dihilangkan melalui sedimentasi atau filtrasi (Sugiharto 1991). Gambaran Unit Proses Biologi Proses biologi lazim digolongkan dalam 2 kriteria dasar. Kriteria pertama adalah aktivitas metabolik, yakni aerob dan anaerob. Kriteria kedua adalah reaktor yang membatasi mikroorganisme, ditandai oleh proses pertumbuhan bakteri yang melekat atau tersuspensi. Proses aerob ditandai oleh adanya molekul oksigen yang terlarut. Selain proses aerob dan anaerob, dikenal proses anoksik yang ditandai oleh tidak adanya oksigen terlarut serta penggunaan oksigen dalam senyawa kimia secara terus-menerus oleh mikroorganisme. Proses ini digunakan dalam denitrifikasi. Pada proses aliran lambat, pertumbuhan bakteri cukup untuk menggantikan kehilangan bakteri akibat aliran keluar, sedangkan pada proses dengan kecepatan tinggi dan waktu tinggal hidraulik pendek, pengembalian (recycling) bakteri merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk mengontrol densitas bakteri di dalam reaktor (Siregar 2001). Dalam attached growth process, mikroorganisme tumbuh di permukaan bahan pendukung di dalam reaktor dan tidak terbawa keluar sehingga tidak perlu pengembalian massa bakteri. Biasanya digunakan batuan sebagai bahan pengisi, tetapi bahan pengisi plastik mulai banyak digunakan dalam proses aerob maupun anaerob, karena densitas pengemasan yang lebih tinggi dan kebutuhan volume reaktor lebih kecil untuk kapasitas pengolahan yang sama (Siregar 2001). Unit proses biologi hanya sebagian dari keseluruhan sistem pengolahan. Umumnya, tahapan proses dalam IPAL skala besar meliputi pembersihan bahan kasar, pasir, bahan yang mengapung, dan yang dapat mengendap. Unit pengolahan berturut-turut terdiri atas penyaring, grit chamber, dan bak sedimentasi (dan floatasi). Proses biologi diikuti oleh bak sedimentasi untuk memisahkan mikroorganisme yang terkumpul dari cairan. Selanjutnya, mikroorganisme atau lumpur distabilkan di dalam pelumat dan dikurangi kandungan airnya di dalam bak-bak pengering sebelum menuju pembuangan akhir (Said 1999). Dasar Mikrobiologi Pada tahap pertama rantai aerob (Gambar 1), senyawa organik diambil oleh bakteri, kemudian diubah menjadi massa bakteri dengan menghasilkan air, karbon dioksida, dan amonia. Pada tahap kedua, biomassa yang dihasilkan pada tahap pertama digunakan oleh mikroorganisme lain, misalnya siliata. Tahap ini juga menghasilkan air, karbon dioksida, dan amonia. Pada tahap selanjutnya, amonia dinitrifikasi oleh bakteri menjadi nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-). Jika diurai lebih lanjut pada kondisi anoksik, nitrat akan direduksi menjadi gas nitrogen dan dilepaskan ke atmosfer. Bakteri Zat Organik Bertambahnya lumpur H2O CO2 NH3 N i t r o s o m o n a s Penurunan biomassa oleh aktivitas siliata dan autooksidasi Kelekatan lumpur H2O CO2 NH3 Nitrobacter NO2 NO3 Gambar 1 Rantai reaksi aerob. Pada proses lumpur aktif dengan kecepatan tinggi, proses hanya meliputi tahap pertama. Dengan peningkatan waktu reaksi secara bertahap, proses nitrifikasi dan denitrifikasi dengan kecepatan rendah dapat terjadi. Kecuali untuk denitrifikasi yang membutuhkan kondisi anoksik, lama proses (waktu tinggal mikroorganisme di dalam sistem) merupakan parameter kendali yang penting. 3 Meskipun sampai tingkat tertentu mikroorganisme mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi lingkungan, beberapa kebutuhan dasar harus dipenuhi pada saat proses berlangsung. Pemenuhan kebutuhan dasar ini dilakukan dengan membuat desain yang tepat dan melaksanakan pengoperasian yang memenuhi syarat. Air limbah yang diolah bersifat biodegradabel (dapat diuraikan secara biologi) apabila nisbah BOD/COD berkisar antara 0.5–0.6 yang menandakan air limbah tersebut dapat diolah. Nisbah BOD/COD yang mendekati nol menunjukkan bahwa air limbah tersebut mengandung zat yang bersifat toksik. Kisaran pH yang disukai dalam proses aerob berkisar 6.5–8.0. Kisaran nilai pH yang sangat sempit ini berakibat terhadap kepekaan proses sehingga dibutuhkan kontrol pH yang lebih teliti. Nilai pH dapat dipengaruhi dan diubah oleh proses pengolahan itu sendiri. Di negara-negara tropis, suhu air limbah biasanya berada dalam kisaran yang menguntungkan bagi proses pengolahan biologi, yaitu 20−30 oC. Suhu yang lebih tinggi diterapkan dalam proses aerob termofilik, yakni mencapai 60 oC. Kriteria desain yang diperoleh dari literatur biasanya diterapkan di negara beriklim sedang. Suhu berpengaruh terhadap kecepatan proses, maka penggunaan kriteria desain tanpa pertimbangan yang teliti dapat menyebabkan pengoperasian yang tidak efisien. Untuk kehidupannya, mikroorganisme membutuhkan beberapa jenis hara dan unsur kelumit. Di dalam air limbah domestik, jumlah keduanya memadai, namun di dalam air limbah sering kali kekurangan. (Siregar 2005). McKinney telah menghubungkan flokulasi dengan nisbah makanan terhadap mikroorganisme (nilai F/M) dan menunjukkan bahwa mikroorganisme (bakteri) di dalam lumpur aktif akan menggumpal dengan cepat pada kondisi kelaparan. Flokulasi ini diakibatkan oleh pembentukan lapisan lumpur polisakarida yang lengket sehingga mikroorganisme menempel. Flagela juga terjerat dalam bahan lumpur tersebut. Organisme bentuk filamen terdapat di dalam kebanyakan lumpur aktif, kecuali pada limbah dari industri kimia dan petrokimia. (Palm et al. 1987) telah mengidentifikasi 3 macam lumpur aktif, yaitu filamentous bulking, non-bulking, dan pin-point seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Keadaan 1 Filamentous Bulking Perpanjangan filamen Kerangka filamen Keadaan 2 Non- Bulking Keadaan 3 Pin-point Partisi terdispersi Gambar 2 Proses pemecahan lumpur aktif. Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge) Proses lumpur aktif banyak dipakai untuk pengolahan air limbah secara biologis. Di dalam sistem ini, bakteri disuspensikan untuk terus bergerak dan tidak mengendap melalui adukan, arus resirkulasi, atau gerakan lain yang ditimbulkan oleh aerator (Wesley 1989). Dengan demikian, lumpur aktif mengandung populasi bakteri aktif untuk pengolahan air limbah. Pada proses kontinu, lumpur aktif yang terbawa bersama air limbah hasil pengolahan dipisahkan dalam tangki pengenap. Sebagian disirkulasikan kembali ke tangki aerasi, sebagian lainnya diambil sebagai hasil pekatan. Beningan yang dihasilkan oleh proses lumpur aktif relatif jernih dan memenuhi syarat untuk dibuang. Lumpur non-bulking dihasilkan dari operasi plug-flow atau selector plant configuration, atau dari limbah yang kompleks. Lumpur pinpoint dihasilkan dari operasi dengan nisbah F/M yang rendah pada umur lumpur yang lama. Lumpur aktif jenis filamentous bulking yang mudah menyumbat sistem resirkulasi lumpur dan peralatan aerasi, dihasilkan dari air limbah yang mengandung glukosa, sakarosa, laktosa, dan bahan sejenis, pada kondisi kekurangan oksigen terlarut. Pada konsentrasi oksigen kurang dari 0.1 mg/L, terbentuk filamen tipis 1−4 μm. Untuk proses biologis aerob yang baik, hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut dalam limbah dan nisbah F/M ditunjukkan pada Gambar 3. 4 dalam kontak dengan pertumbuhan biologi dan bukan pH larutan masuk. Larutan limbah terencerkan ketika masuk ke dalam tangki aerasi dan ternetralkan oleh CO2 yang dihasilkan bakteri. Untuk limbah yang bersifat asam dan basa, hasil akhir adalah bikarbonat (HCO3¯) yang merupakan larutan penyangga efektif untuk sistem aerasi pada pH tetap sekitar 8. Oksigen terlarut untuk flok aer 4 3 2 1 0 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 Nisbah F/M 0.40 0.45 0.50 Gambar 3 Hubungan oksigen terlarut dengan nisbah F/M pada flok aerob. Chudoba (1985) menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan organisme sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan organik dan nisbah F/M. Sistem campuran dengan konsentrasi bahan organik rendah cenderung memberikan pertumbuhan lumpur berbentuk filamen. Pada konsentrasi bahan organik yang tinggi, flok yang terbentuk menarik bahan organik dari larutan lebih cepat daripada penarikan filamen. Oleh karena itu, untuk memperoleh gradien konsentrasi bahan organik yang tinggi digunakan sistem operasi pengolahan biologis secara plug-flow, pemakaian selector atau contactor (Wesley 1989). Pengaruh Suhu dan pH Pada Proses Oksidasi Biokimia Variasi suhu sangat berpengaruh pada proses pengolahan limbah secara biologi. Ada 3 daerah suhu, yaitu mesofilik (4−39 oC), termofilik (55 oC), dan psikrofilik (lebih kecil dari 4 oC). Untuk pertimbangan ekonomis dan alasan geografis, kebanyakan proses biologis aerob dioperasikan pada daerah mesofilik. Pada daerah suhu tersebut, laju reaksi biologi akan bertambah dengan naiknya suhu sampai suhu maksimum 31 oC (Wesley 1989). Di atas 35.5 oC terjadi penurunan jumlah flok biologi. Protozoa akan menghilang pada suhu 40 oC dan pada 43.3 oC flok menjadi rusak dan terdispersi kembali dalam larutan karena kecepatan pengenapan menurun tajam. Oleh karena itu, direkomendasikan suhu maksimum kolam aerasi adalah 35.5 oC. Penurunan suhu kolam aerasi akan menyebabkan kenaikan jumlah padatan tersuspensi dalam efluen. Kebanyakan proses oksidasi biokimia mempunyai daerah pH efektif yang relatif sempit, yaitu 5−9 dengan kondisi optimum pada pH 6.5−8.5 (Wesley 1989). Nilai pH tersebut adalah pH dari campuran larutan Karakteristik Air Limbah Karakteristik air limbah yang lazim diukur antara lain suhu, pH, alkalinitas, padatan, kebutuhan oksigen, nitrogen, dan fosforus. pH menggambarkan kondisi keasaman air limbah. Skalanya 1−14, kisaran nilai pH 1−7 termasuk kondisi asam, pH 7−14 termasuk basa, dan pH 7 netral. Alkalinitas merupakan ukuran kemampuan air limbah untuk dinetralisasi. Kontributor utama alkalinitas adalah ion bikarbonat, karbonat, dan hidroksida. Beberapa proses yang bergantung pada pH adalah koagulasi, disinfeksi, pelumatan, dan pembentukan lumpur. Kadar padatan meliputi total padatan tersuspensi dan terlarut, sebagai fraksi atsiri yang digunakan untuk menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses, dan beban unit proses. Pengukuran yang bervariasi terhadap konsentrasi residu diperlukan untuk menjamin kemantapan proses kontrol (Siregar 2005). Kebutuhan oksigen dalam air limbah ditunjukkan melalui 3 cara, yaitu kebutuhan oksigen teoretis, biokimia (BOD), dan kimia (COD). Kebutuhan oksigen teoretis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi fraksi organik dalam air menjadi karbon dioksida dalam air: C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O BOD adalah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa kimia. Nilai BOD bermanfaat untuk mengetahui apakah air limbah telah mengalami biodegradasi, yakni dengan membandingkan BOD dengan COD. Oksidasi berjalan lambat dan secara teoretis waktunya tidak terbatas. Dalam 5 hari (BOD5), oksidasi karbon organik mencapai 60−70% dan dalam 20 hari mencapai 95%. COD adalah kebutuhan oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Nilai COD selalu lebih besar daripada nilai BOD karena kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia daripada secara biologi. Pengukuran COD memerlukan waktu lebih 5 singkat dibandingkan dengan BOD. Jika korelasi antara BOD dan COD diketahui, kondisi air limbah dapat diketahui. Nitrogen terdapat dalam limbah organik dalam 4 bentuk, yaitu nitrogen organik, nitrogen (ion amonium dan amonia bebas), nitrit, dan nitrat. Fosforus merupakan unsur penting dalam proses metabolisme organisme. Pada proses biologis, diperlukan konsentrasi minimum untuk mencapai kerja yang optimum. Fosforus terdapat dalam air limbah dalam bentuk fosfat (Sugiharto 1991) pH dan Suhu pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan suatu larutan, didefinisikan sebagai logaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, maka nilainya didasarkan pada perhitungan teoretis. Skala pH bukanlah skala mutlak. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional (Depkes RI 1995). Suhu adalah ukuran panas atau dinginnya suatu benda. Alat ukur suhu disebut termometer. Padatan Tersuspensi Total (TSS) Padatan tersuspensi total adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan liat) atau partikel yang tersuspensi dalam air, dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti partikelpartikel anorganik. Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksireaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan paling awal yang dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam menjadi tidak berlangsung efektif akibat terhalangi oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Zat padat tersuspensi di laut antara lain berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan (Permana et al.1980). Oksigen Terlarut ( DO) Oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis mutu air. Nilai DO biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi yang menunjukkan jumlah oksigen (O2) yang tersedia dalam suatu perairan. Semakin besar nilai DO air, semakin baik mutu air tersebut. Sebaliknya nilai DO yang rendah, menunjukkan bahwa air telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu, kemampuan air untuk membersihkan cemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Oleh sebab itu, pengukuran parameter ini sangat dianjurkan di samping parameter lain seperti BOD dan COD (Wesley 1989). Di dalam suatu badan air, oksigen berperan menguraikan komponen-komponen kimia menjadi lebih sederhana. Oksigen mengoksidasi zat organik sehingga tidak lagi membahayakan lingkungan. Oksigen juga dibutuhkan oleh mikroorganisme, baik yang aerob maupun anaerob, dalam proses metabolismenya. Dengan adanya oksigen dalam air, mikroorganisme semakin giat dalam menguraikan kandungan zat organik dalam air. Reaksi yang terjadi dalam penguraian tersebut Mikroorganisme adalah CO2 ++ Komponen Organik + O + Nutrien 2 H2O + sel baru + Nutrien + Energi Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD) Parameter BOD dan atau COD digunakan untuk menentukan tingkat penurunan mutu air akibat masuknya bahan organik dari luar. BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik dalam air (Connell & Miller 1995). Oleh karena itu, nilai BOD menunjukkan jumlah atau kadar bahan organik dalam air, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengoksidasi atau menguraikan bahanbahan organik tersebut. Nilai BOD tinggi menunjukkan bahwa mikroorganisme menghabiskan banyak oksigen untuk mengoksidasi bahan organik dalam air sehingga dalam air terjadi defisit oksigen. Banyaknya mikroorganisme yang tumbuh dalam air disebabkan oleh banyaknya makanan yang tersedia (bahan organik). Oleh karena itu, secara tidak langsung BOD selalu dikaitkan dengan kadar bahan organik dalam air. BOD5 merupakan penentuan kadar BOD baku, yaitu pengukuran jumlah oksigen yang dihabiskan dalam waktu 5 hari oleh mikroorganisme pengurai secara aerob dalam suatu volume air pada suhu 20 oC. Uji COD di 6 sisi lain, mengukur semua bahan organik, baik yang dapat diurai oleh mikroorganisme maupun yang tidak dapat diurai. Oleh karena itu, hasil uji COD akan lebih tinggi dari pada hasil uji BOD (Said 1999). Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) COD adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air (Sugiharto 1991). Sampel direfluks selama 2 jam dengan perak sulfat (Ag2SO4) sebagai katalis. Merkuri(II) sulfat digunakan untuk menghilangkan gangguan klorida yang umumnya ada di dalam air. O +HO (CHO) + Cr O 2- + H+ Δ n 2 7 2 Ag2SO4 2 + Cr3+ Untuk memastikan semua zat organik habis teroksidasi, zat pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan berlebih. Sisa K2Cr2O7 selanjutnya ditentukan melalui titrasi dengan fero amonium sulfat (FAS), dengan reaksi sebagai berikut: 6 Fe2+ + Cr2O72- + 14 H+ 6 Fe3+ + 2 Cr + 7 H2O Indikator feroin digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi, yaitu di saat warna hijaubiru larutan berubah menjadi cokelat-merah. Sisa K2Cr2O7 dalam larutan blangko merupakan K2Cr2O7 awal, karena blangko diharapkan tidak mengandung zat organik yang dapat dioksidasi oleh K2Cr2O7 (Mahida 1986). 3+ Fosfat Fosfat merupakan senyawa yang mudah larut dalam air. Fosfat dalam air limbah cair rumah sakit harus dipantau kadarnya karena kandungan fosfat yang tinggi akan menyebabkan tumbuh suburnya alga dan organisme lainnya, yang akhirnya menurunkan konsentrasi oksigen terlarut dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Kadar fosfat dalam badan air tawar adalah 0.01 mg/L (Alkatiri et al. 2005). Amonia Salahsatu permasalahan yang ada dalam limbah cair rumah sakit ialah kandungan amonia (NH3) yang melebihi ambang batas. Amonia dan nitrit termasuk senyawa pencemar yang berasal dari senyawa hara NH3–N atau NO2–N. Dalam kondisi anaerob (kurang oksigen), dampak lingkungan yang ditimbulkan dapat merugikan. Proses pengolahan yang lazim dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan hara (amonia /nitrit) secara teoretis antara lain presipitasi, klorinasi dengan aerasi, dan unit lumpur aktif dengan sistem aerasi (Siregar 2001). Presipitasi biasanya dilakukan untuk menghilangkan logam-logam berat, hara, serta zat anorganik yang terlarut dalam limbah cair. Caranya, pH limbah awal, biasanya sekitar 8– 9, dinaikkan dengan menambahkan basa hingga mencapai 11 dan terbentuk endapan. Metode ini dapat menurunkan kadar amonia dari 200 ppm menjadi 50 ppm. Klorinasi lazim dilakukan dengan penambahan kalsium hipoklorit disertai dengan aerasi. Di samping terjadi pergeseran kesetimbangan amonia, di dalam limbah juga berlangsung proses disinfeksi. Kalsium hipoklorit adalah oksidator kuat yang akan menghancurkan zat-zat organik termasuk ammonia dan nitrit serta membunuh bakteribakteri patogen yang ada dalam air. Penggunaan teknik ini harus hati-hati dan wajib memakai alat pelindung diri (PPE) yang memadai, seperti respirator dan sarung tangan polietilena (Berlanga 1998). Koliform Total Bakteri koliform merupakan golongan mikroorganisme yang lazim digunakan sebagai indikator. Bakteri ini dapat menjadi sinyal untuk menentukan suatu sumber air telah terkontaminasi oleh patogen atau tidak. Berdasarkan penelitian, bakteri koliform ini menghasilkan zat etionin yang dapat menyebabkan kanker. Selain itu, bakteri pembusuk ini juga menghasilkan bermacammacam racun seperti indol dan skatol yang dapat menimbulkan penyakit bila jumlahnya berlebih di dalam tubuh. Bakteri koliform dapat digunakan sebagai indikator karena densitasnya berbanding lurus dengan tingkat pencemaran air. Bakteri ini dapat mendeteksi patogen pada air seperti virus, protozoa, dan parasit. Selain itu, bakteri ini juga memiliki daya tahan yang lebih tinggi daripada patogen serta lebih mudah diisolasi dan ditumbuhkan. Dalam limbah cair rumah sakit, kadar atau jumlah bakteri koliform total harus dipantau secara berkala. Mikroorganisme koliform termasuk bakteri Gram negatif, tidak berspora, aerob, berbentuk batang, dan dapat memfermentasikan laktosa dengan asam menjadi gas pada suhu 37 oC selama 48 jam. Koliform dapat digunakan sebagai indikator