BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa (Kartono, 2003). Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku (Kartono, 2003). Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara. Sama halnya 1 dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman. Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun. Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan (Masngudin, 2004). Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam Soekanto, 1988), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai 2 dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang. Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa dilihat melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Pendekatan individual melihat Kenakalan Remaja dari sisi sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja, (Kauffman 1989) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal. Suatu kenakalan pasti ada sebab. Berbicara mengenai kenakalan remaja, maka hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja sangatlah komplek. Adapun hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya kenakalan siswa adalah sebagai berikut: 3 1. Lingkungan Keluarga Lingkungan keluarga yang kurang menerapkan disiplin kepada anakanaknya dapat juga mempengaruhi terjadinya kenakalan remja, bahwa penyebab yang paling utama di lingkungan keluarga adalah karena sifat egois dari anak tersebut, penyebab ini bisa diartikan sebagai kemauan dari si anak itu sendiri Kemarahan orang tua yang berlebihan terhadap anak juga dapat menimbulkan bermacam reaksi dari anak yang pada akhirnya akan menyeret anak untuk melakukan kenakalan. 2. Lingkungan Sekolah Di samping lingkungan keluarga hal yang terpenting dari sebab-sebab timbulnya kenakalan adalah lingkungan sekolah. Sekolah juga bisa menyebabkan timbulnya kenakalan, yang mana penyebab terjadinya kenakalan dipicu dari adanya pengaruh teman-temanya. Hal ini sangatlah wajar apabila pengaruh dari teman itu merupakan penyebab yang utama. Karena pergaulan anak-anak sekarang ini sangatlah bebas apalagi didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang begitu cepat. Sehingga apabila anak tidak memiliki teman yang baik maka ia akan terjerumus kepada hal-hal yang negatif, yang dapat merugikan diri sendiri dan dapat menular kepada teman-teman yang lain. 3. Lingkungan Masyarakat Lingkungan masyarakat disini dimana anak melakukan hubungan sosialnya, baik dengan teman sebayanya maupun dengan orang yang lebih 4 dewasa. Di lingkungan masyarakat itulah anak/ remaja menghabiskan sebagian dari waktu luangnya. Jadi tidak heran kalau kenakalan yang terjadi pada anak remaja disebabkan karena lingkungan masyarakat. Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap (Masngudin, 2004). Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen 1986) mengatakan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil. Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Kelurahan Tammua Makassar tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland dalam (Eitzen, 1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan tindakan kriminal. 5 Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh Eitzen (1986) bahwa seorang dapat menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Pada masyarakat yang disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan wajar. Kelurahan Tammua yang merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Tallo Kotamadya Makassar memiliki hampir semua ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Kelurahan Tammua termasuk wilayah kota Makassar yang miskin dengan pemukiman yang padat. Ini artinya Kelurahan Tammua memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sama dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih tergolong menengah kebawah. Disamping itu rata-rata masyarakat yang ada bekerja pada sektor informal. Hal inilah yang melatar belakangi peneliti memilih judul tentang Kenakalan Remaja (Kasus di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar). 6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah yang hendak diteliti secara spesifik dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk-bentuk kenakalan remaja yang terjadi di Kelurahan Tammua Makassar? C. Tujuan dan Kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas dapat dikemukakan tujuan penelitian adalah: Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kenakalan remaja yang terjadi di Kelurahan Tammua Makassar. 2. Kegunaan Penelitian a. Dapat menjadi masukan bagi pemecahan masalah-masalah sosial dalam melihat Kenakalan Remaja ditengah masyarakat. b. Dapat menjadi rujukan dan komparatif penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian ini. c. Dapat menjadi bahan pustaka bagi pengembangan ilmu sosial dan ilmu politik. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Konseptual Pada dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial karena interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan” (Kartini Kartono 1983 : 93). Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; 1. Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit. 2. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin. 3. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan, dan lain-lain. Sedangkan bentuk-bentuk kenakalan remaja, menurut Jensen (dalam Sarwono, 1994) dikategorikan empat jenis kenakalan remaja, yaitu: 8 a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, dan pembunuhan. b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: Pengerusakan, pencurian, pencopetan, dan pemerasan. c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, dan hubungan seks sebelum nikah. d. Kenakalan melawan status: membolos sekolah, minggat dari rumah atau melawan perintah orangtua. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kenakalan remaja menurut Jensen (dalam Sarwono, 1984) dikategorikan 4 jenis kenakalan remaja, yaitu: kenakalan yang menimbulkan korban fisik orang lain, kenakalan yang menimbulkan korban materi, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak lain, kenakalan melawan status. Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soekanto, 1985 ). Bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method”. Menurut Emile Durkheim, dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang 9 tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat. Adapun kerangka konseptual dari penulis yang berkaitan dengan hal yang diteliti sebagai berikut: Remaja Interaksi Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja yang terjadi 10 B. Pengertian Kenakalan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1996, kenakalan dengan kata dasar nakal adalah suka berbuat tidak baik, suka mengganggu, dan suka tidak menurut. Sedangkan kenakalan adalah perbuatan nakal, perbuatan tidak baik dan bersifat mengganggu ketenangan orang lain; tingkah laku yang melanggar norma kehidupan masyarakat. Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat di mana ia hidup. Suatu perbulatan anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif. Menurut Sudarsono (2004) kenakalan adalah: “Bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata, akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma masyarakat.” Dengan demikian masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan remaja dirasakan sangat mengganggu, dan merisaukan kehidupan masyarakat, bahkan sebagian anggota masyarakat menjadi terancam hidupnya. C. Pengertian Remaja Remaja merupakan terjemahan dari kata dari kata adolescence yang berasal dari bahasa latin adolescence/ adults yang berarti menjadi dewasa atau dalam perkembangannya menjadi dewasa. Banyak ahli yang mengemukakan tentang usia remaja. Hurlock (1973) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung dari usia 13-18 tahun, dan membaginya menjadi dua periode, yaitu masa remaja awal yang 11 berlangsung dari usia 13-16 atau 17 tahun dan masa remaja akhir yang berlangsung dari usia 16 atau 17-18 tahun. Monks, dkk (2002) mengatakan bahwa remaja berlangsung dari usia 12-21 tahun, dan membaginya menjadi tiga periode yaitu remaja awal atau masa puber yang berlangsung dari usia 12-15 tahun, remaja pertengahan yang berlangsung dari usia 15-18 tahun, dan yang terakhir adalah remaja akhir yang berlangsung dari usia 18-21 tahun. Perkembangan kognisi remaja berimplikasi pada perkembangan sosialnya. Dalam sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu gerak meninggalkan diri dari keluarga dan gerak menuju teman sebaya. Gerak tersebut merupakan reaksi dari status interim yang dialami remaja (Monks, dkk., 2002) yang mengisyarakatkan usaha remaja untuk masuk kedalam lingkup sosial yang lebih luas. Istilah Remaja nampaknya istilah paling populer yang sering digunakan untuk menilai kedewasaan seseorang. Setiap kali disebut remaja, maka pikiran seseorang pasti terfokus pada manusia yang berpikiran dewasa. Untuk memperjelas arah pandangan kita tentang remaja dan membantu dalam menghidari kekaburan menentukan masa remaja maka Zakiyah Daradjat (1975) mendefinisikan remaja sebagai berikut : “Remaja adalah anak yang berada pada masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa”. Pada masa peralihan ini biasanya terjadi percepatan pertunbuhan secara fisik maupun psikis. Baik ditinjau dari bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak 12 mereka bukan lagi anak-anak. Mereka juga belum dikatakan manusia dewasa yang memiliki kematangan pikiran. Zakiyah Daradjat membatasi masa remaja antara usia 13 tahun hingga 24 tahun. Remaja Menurut Hukum Konsep tentang remaja, bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan berasal dari bidang ilmu-ilmu sosial lainnya seperti Antropologi, sosiologi, psikologi kecuali itu, konsep remaja juga merupakan konsep yang relatif baru, yang muncul kira-kira setelah era industrialisasi merata di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Negara-negara maju lainnya dengan kata lain, masalah remaja baru menjadi pusat perhatian ilmu-ilmu sosial dalam 100 tahun terakhir ini saja. Tidak mengherankan kalau dalam berbagai undang-undang yang ada di berbagai negara di dunia tidak dikenal istilah remaja. Di Indonesia sendiri, konsep remaja tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku. Hukum Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam. Hukum perdata misalnya, memberikan batas usia 21 tahun (kurang dari itu asalkan sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang dibawah usia tersebut seseorang masih membutuhkan wali (orang tua). 13 Disisi lain, hukum pidana memberi batasan 18 tahun sebagai usia dewasa (yang kurang dari itu tetapi sudah menikah). Anak-anak yang berusia kurang dari 18 tahun masih menjadi tanggung jawab orang tuanya kalau ia melanggar hukum pidana. Tingkah laku mereka yang melanggar hukum itu pun (misalnya : mencuri) belum disebut sebagai kejahatan (kriminal) melainkan hanya disebut sebagai kenakalan. Kalau ternyata kenakalan anak itu sudah membahayakan masyarakat dan patut dijatuhi hukuman oleh negara dan orang tuanya ternyata tidak mampu mendidik anak itu lebih lanjut, maka anak itu menjadi tanggung jawab negara dan dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan khusus anakanak. Sebaliknya, jika usia seseorang sudah diatas 18 tahun, jika ia melakukan pelanggaran hukum pidana, langsung ia bisa dikenai sanksi hukuman pidana (dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan). Remaja Ditinjau dari Sudut Perkembangan Fisik Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait (seperti biologi dan ilmu faal) remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna dan secara faal, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula. Pada akhir dari peran perkembangan fisik ini akan terjadi seorang pria yang berotot dan berkumis/berjenggot yang mampu menghasilkan beberapa ratus juta sel mani (spermatozoa) setiap kali ia 14 berejakulasi (memancarkan air mani) atau seorang wanita yang berpayudara dan berpinggang besar yang setiap bulannya mengeluarkan sebuah sel telur dari indung telurnya. Batas Remaja Menurut WHO Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu biologik, psikologik dan sosial ekonomi sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut : Remaja adalah suatu masa dimana : 1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1980). Pada tahun-tahun berikutnya, definisi ini makin berkembang kearah yang lebih kongkret operasional. Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan, masalah yang terutama dirasakan mendesak mengenai kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Kehamilan 15 dalam usia-usia tersebut memang mempunyai resiko yang lebih tinggi (kesulitan waktu melahirkan, sakit/cacat/kematian bayi/ibu) daripada kehamilan dalam usia-usia diatasnya (Sanderowitz & Paxman, 1985 ; Hanifah, 2000). Selanjutnya WHO menyatakan walaupun definisi diatas terutama didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun darn remaja akhir 15-20 tahun. Dalam hal ini, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda dalam rangka pemutusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai tahun pemuda internasional (Sanderowitz & Paxman, 1985; Hanifah, 2000). Di Indonesia batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun yang dikemukakan dalam sensus penduduk 1980. Menurut hasil sensus ini, jumlah remaja di Indonesia pada tahun tersebut adalah 338.075 jiwa atau 18,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Definisi Remaja untuk Masyarakat Indonesia Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan menetapkan definisi remaja secara umum. Masalahnya adalah karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial ekonomi maupun pendidikan. Walaupun demikian, sebagai pedoman umum kita dapat 16 menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 1) Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik) 2) Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). 3) Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg) (kriteria psikologik). 4) Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberikan peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum bisa memberikan pendapat sendiri dan sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologik, masih dapat digolongkan remaja. Golongan ini cukup banyak terdapat di Indonesia, terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas yang mempersyaratkan berbagai hal 17 (terutama pendidikan setinggi-tingginya) untuk mencapai kedewasaan. Tetapi dalam kenyataannya cukup banyak pula orang yang mencapai kedewasaannya sebelum usia tersebut. 5) Dalam definisi diatas, status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga, karena itu definisi remaja disini dibatasi khusus untuk yang belum menikah. Sedangkan menurut Hasan Basri menilai remaja sebagai kelompok manusia yang tengah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab. Masa remaja ditandai dengan pengalaman baru yang sebelumnya belum pernah dialami baik dalam bidang fisikbiologis maupun psikis atau kejiwaan. Seorang Ahli, yakni Luella Cole yang disajikan Y. Bambang Mulyono (1986) mengatakan : “Masa Adolesensi adalah sekitar 13-21 tahun” beliau membagi tiga tingkatan yaitu : 1. Awal Adolesensi yaitu umur antara 13-15 tahun. 2. Pertengahan Adolesensi yaitu umur antara 16-18 tahun. 3. Akhir Adolesensi yaitu umur antara 19-21 tahun. 18 Perbedaan-perbedaan pandangan diatas tidak akan mengurangi kemungkinan bagi kita untuk mengenal batas umur masa remaja. Batas umur yang umum diterima ialah sekitar 13-21 tahun. Agaknya penggolongan Leulla Cole dapat mewakili sehingga dapat dikatakan masa remaja meliputi tahap awal Adolesensi, pertengahan dan akhir. Untuk lebih memahami dan mengenal remaja selain dari batas umur, sisi lain dari remaja yang perlu perlu di ketahui yaitu : 1. Keadaan Fisik Secara fisik yaitu tubuh atau jasmani, remaja mengalami pertambahan tinggi badan dan berat badan. Selain pertambahan tinggi badan, remaja juga mengalami pertambahan berat badan yang kurang lebih berjalan parallel dengan bertambahnya tinggi badan. 2. Perkembangan Intelektual Dalam masa remaja, kegiatan intelektual mulai berkembang kemampuannya untuk menangkap arti fundamental terhadap sesuatu objek atau esensinya. Seseorang remaja tidak dapat puas hanya melihat dari segi luarnya saja tetapi mulai mengambil jarak dan menemukan jawaban, Mengapa perbuatan itu harus dilakukan atau mengapa hal tersebut berbentuk demikian. Mencari alasan-alasan, sebab-sebab, arti/makna tujuan atau fungsi dari obyek peyelidikannya dan memberi kesimpulan-kesimpulan yang logis. 19 3. Perkembangan Emosionalitas Sifat dan keadaan emosionalitas remaja dalam keadaan dan situasi tertentu emosinya meluap-luap dan dalam keadaan tertetu pula ia menjadi sabar maupun tenang. Keadaan atau suasana hati yang mudah berubahubah/tidak stabil ini disebabkan oleh perubahan fisik dan psikisnya karena remaja berada dalam masa transisi. 4. Perkembangan Sosial Lingkup interaksi remaja yang semula pada masa kana-kanaknya hanya terbatas pada relasi dengan orang tua dan anggota keluarga. Kemudian ciri khas hubungan sosial lain masa remaja ialah timbulnya rasa tertarik terhadap lawan jenis tertentu. Timbul pula rasa rindu dan ingin mendekati atau senantiasa bersama-sama. 5. Perkembangan Relegiusitas Sesuai dengan perkembangan kepribadiannya, remaja merasakan pengalaman dibidang agama sehingga mereka mengakui dan menyadari hakekat kejadiannya sebagai manusia bahwa ada yang lebuh berkuasa daripada manusia, lebih tinggi, lebih besar, lebih agung, lebih mulia yaitu Allah. Bahkan mereka memikirkan tentang siapa yang menciptakan manusia dan berbagai macam pertanyaan yang muncul di hati para kaum remaja. 20 6. Perkembangan Rasa Seni Pada masa anak-anak, perkembangan rasa seninya tidak semaju dengan masa remaja, sebab tingkat perkembangan itu di tentukan juga oleh hasil-hasil dialog pengalamanya dengan dunia. Baik dia memiliki bakat atau minat dalam suatu karya seni, dia akan mengalami peningkatan karena hasil dialog pengalaman tersebut. dalam dunia remaja seseorang telah menyadari relasi ekstensi dirinya dengan dunia nyata. D. Definisi Kenakalan Remaja Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anakanak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. (Kartono, 2003). 21 Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum. (Hurlock, 1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara. Sama halnya dengan (Conger, 1976) & (Dusek, 1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman. Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik 22 terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun. Menurut Gold dan Petronio (dalam Sarwono, 1994) kenakalan remaja merupakan tindakan oleh seseorang yang belum dewasa, yang sengaja melanggar hukum dan diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum, ia bisa dikenai hukuman. Kartono (1989) mendefinisikan kenakalan remaja adalah anak-anak muda (biasanya di bawah usia 18 tahun) yang selalu melakukan kejahatan dan melanggar hukum, yang dimotivir oleh keinginan mendapatkan perhatian, status sosial, dan penghargaan dari lingkungannya. Walgito (dalam Sudarsono, 2004) mendefinisikan kenakalan remaja sebagain besarnya kemungkinan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum dan peraturan yang berlaku, dan jika dilakukan oleh orang dewasa maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Kenakalan remaja atau yang sering disebut Juvenille Delinguency bukanlah menunjuk suatu perbuatan biasa sehingga dapat dimaklumi atau diterima begitu saja. Tetapi kenakalan remaja disini juga tidak dapat disamakan begitu saja. dengan perbuatan kejahatan (crime) yang dipakai untuk menunjukkan perbuatan kriminal orang dewasa. Perlu dibedakan sifat dan bentuk seorang anak remaja dengan perbuatan orang dewasa. Perbuatan orang dewasa telah didasari oleh keputusan dan tanggung jawab penuh dalam arti sosial maupun pribadi, 23 sedangkan untuk anak remaja perlu dipertimbangkan proses perkembangannya yang belum difinit, karena mereka masih berada dalam masa pencarian identitas diri dalam masa transisi yang secara fisik dan mental belum matang. Pengaruh lingkungan atau faktor eksternal masih banyak mempengaruhi pembentukan identitas seorang remaja. Umumnya bila lingkungannya baik, maka memungkinkannya menjadi seorang yang matang pribadinya. Tanpa harus mengalami masalah-masalah atau beban yang menghambat perkembangannya. Sedangkan apabila lingkungan yang buruk, akan mendorongnya kepada hal yang cenderung negatif. Pendapat lain mengenai pengertian kenakalan remaja adalah perbuatan dan tingkah laku, pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana dan pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh anak. Sedangkan menurut Fuad Hasan (dalam Sudarsono, 2004) adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindakan kejahatan. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja dapat diartikan sebagai tinggi rendahnya kemungkinan remaja untuk melakukan perbuatan atau kejahatan atau pelanggaran yang bersifat mengarah melanggar hukum, anti sosial, antisusila dan menyalahi norma agama. Kenakalan remaja meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan 24 dengan peraturan hukum tertulis, baik yang terhadap KUHP (Kitab Undang Hukum Perdata) maupun Undang-Undang diluar KUHP. E. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja Singgih D. Gunarso (1988), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu : a) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undangundang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum. b) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; 1) Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit. 2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin. 3) Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll. 25 Sedangkan Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu: a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain. b) Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain. c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas. d) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah. Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu: a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain. b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan mencopet. c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orang tua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah. d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam. 26 Berdasarkan jenis pelanggarannya Mulyono (1984) membagi perilaku delinkuen itu menjadi dua yaitu: Perilaku delinkuen bersifat moral dan anti sosial, yeng tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum seperti berbohong. Perilaku delinkuen yang bersifat melanggar hukum dan mengarah pada tindakan Kriminal seperti berjudi, menjambebret, merampok, oembunuhan, dan lain-lain. Menurut Hawari (1996) remaja dalam kehidupannya sehari-hari hidup dalam tiga kutub yaitu kutub keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga kutub ini akan menghasilakan dampak positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah perilaku menyimpang yang ditandai atau kriteria gejala-gejala berikut: Sering membolos, terlibat kenakalan remaja sehingga ditangkap atau diadili, dikeluarkan atau diskors dari sekolah, sering lari dari rumah, selalu berbohong, sering melakukan hubungan seks, sering mabuk atau menggunakan obat terlarang, sering mencuri, sering merusak barang orang lain, prestasi disekolah yang jauh dibawah taraf kemampuan kecerdasan, sering melawan otoritas yang lebih tinggi, seringkali memulai perkelahian. Senada dengan pendapat di atas Kartono (2003) menjelaskan wujud perilaku delinkuen, diantaranya: 27 1) Kebut-kebutan dijalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain. 2) Perilaku ugal-ugalan, berandalan urakan yang mengacau kententraman lingkungan sekitar. 3) Perkelahian antar geng, antara kelompok, antar sekolah, antar suku,sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa. 4) Membolos sekolah lalu mengelandang sepanjang jalan. 5) Kriminalitas anak, remaja dan kenakalan seperti mengancam, imitidasi, mencuri dan lain lain. Menurut Kartini Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi menjadi empat, yaitu : A. Kenakalan Terisolir (Delinkuensi Terisolir) Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut : a) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan. b) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja 28 merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu. c) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan. d) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru. B. Kenakalan Neurotik (Delinkuensi Neurotik) Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya adalah : 29 a) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang kriminal itu saja. b) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya. c) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik. d) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik. e) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan. f) Motif kejahatannya berbeda-beda. g) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan). C. Kenakalan Psikopatik (Delinkuensi Psikopatik) Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah : 30 1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain. 2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran. 3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki. 4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan normanorma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri. 5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu 31 menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab. D. Kenakalan Defek Moral (Delinkuensi Defek Moral) Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 % mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita 32 defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar. 33 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Penelitian Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : A. Dasar dan tipe penelitian a) Dasar penelitian Dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan unit analisa masyarakat secara individu dari sebagian populasi yang dianggap dapat mewakili (representatif) dari seluruh populasi b) Tipe penelitian Adapun tipe penelitian yang direncanakan yaitu penelitian deskriptif (descriptive research) dengan menggambarkan fenomena dan karakteristik dari suatu populasi dan dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial. B. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2011 atau selama dua bulan. Sesuai dengan judul penelitian ini adalah remaja yang berdomisili di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar. Lokasi ini dipilih karena mudah dijangkau dan representatif, sehingga akan 34 memudahkan penulis dalam proses pengumpulan data terutama komunikasi langsung dengan informan. C. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel a. Populasi Populasi penelitian ini adalah remaja yang berusia 13 tahun sampai dengan 18 tahun, dengan jumlah remaja sebanyak 374 orang yang ada di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar yang ditentukan atas dasar tujuan penelitian b. Teknik Penarikan Sampel Teknik penarikan sampelnya simple random sampling yaitu Sampel acak sederhana yang diambil dengan sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian dari populasi mempunyai kesempatan untuk dipilih sebagai sampel, sehingga hasilnya nanti dapat dievaluasi secara obyektif, terpilihnya sampel harus benar-benar berdasarkan faktor kebetulan, bebas dari subyektifitas si peneliti atau subyektifitas orang lain. Sampel yang diambil 10% dari populasi yaitu: 38 orang. D. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting, dengan teknik yang harus valid. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 35 a. Kuisioner (Daftar Pertanyaan) Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk memperoleh data responden dengan sejumlah pertanyaan tertulis, baik yang sifatnya tertutup maupun terbuka yang nantinya akan dijadikan sebagai pegangan untuk menggambarkan fenomena yang ada sesuai dengan data yang dipeoleh. b. Pengamatan (observasi) Yaitu berupa pengamatan secara langsung di lapangan untuk mengetahui hal yang berhubungan dengan masalah penelitian. Ini dimaksudkan untuk mengetahui obyektivitas dari kenyataan yang ada tentang keadaan dan kondisi objek yang akan diteliti. Penggunaan teknik observasi ini dimaksudkan untuk mengungkap fenomena yang tidak diperoleh melalui teknik wawancara. c. Wawancara (Interview) Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara lisan dan langsung (bertatap muka) dengan responden yang ditunjang oleh pedoman wawancara. Hal ini akan lebih mempertajam pertanyaan pada kuisioner, sehimgga data yang tidak dapat diperoleh melalui kuisioner dapat dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada responden. 36 E. Jenis atau sumber data 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara dengan responden atau informan. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa literatur yang terkait dengan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian. F. Analisis data Sesuai dengan tipe penelitian maka data yang diperoleh akan dikumpulkan dan dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan tabel frekuensi yang meliputi, kegiatan mengorganisasikan data kedalam susunansusunan tertentu dalam rangka penginterpretasian data. Kemudian hasil dari tabel frekuensi diinterpretasikan secara kualitatif sebagai penjelasan dari hasil penelitian tersebut, hal ini untuk menjamin kualitas data dan kualitas hasil penelitian itu sendiri. 37 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. KEADAAN GEOGRAFI Kelurahan Tammua adalah salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Tallo Kota Makassar, yang memiliki luas ± 92 Ha/m2. Adapun batas-batas lingkungan Kelurahan Tammua secara geografis adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Rappokalling, Kecamatan Tallo. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Karuwisi Utara, Kecamatan Panakukkang. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Rappojawa, Kecamatan Tallo. 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Pampang, Kecamatan Panakukkang. B. KEADAAN DEMOGRAFI Berdasarkan data sekunder pada tahun 2009 yang di peroleh dari Kantor Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar, bahwa jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 2218 KK. Dimana total penduduk 10597 jiwa dengan penduduk laki-laki sebesar 5350 jiwa dan penduduk wanita sebesar 5247 jiwa. Kelurahan Tammua terdiri atas 6 RW dengan jumlah KK masing-masing RW dapat dilihat seperti pada tabel 1 dibawah ini : 38 Tabel 1 Distribusi KK berdasarkan RW di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar RW JUMLAH KK % I 399 17.99 II 329 14.83 III 376 16.95 IV 459 20.69 V 264 11.90 VI 391 17.63 Total 2218 100 Sumber; Data sekunder, tahun 2009 Dari tabel 1 diatas dapat di ketahui bahwa jumlah KK yang paling banyak terdapat di RW IV yaitu sebanyak 20.69% dari total KK atau sekitar 459 KK di Kelurahan Tammua, dan yang paling sedikit, terdapat di RW V sebesar 11.90 % atau sebanyak 264. Kemudian di RW I terdapat 339 KK atau sebanyak 17.99%, sedangkan di RW II sebanyak 329 KK atau sebanyak 14.83%, selanjutnya di RW III sebanyak 376 KK (16.95%). Dan yang terakhir di RW VI yaitu sebanyak 391 KK atau sebanyak 17.63%. Di RW IV ini kebanyakan mereka mengontrak rumah tetapi mereka harus juga mengisi KK sehingga di RW IV ini yang paling banyak jumlah KKnya. Kemudian dapat dilihat tabel Rukun Warga (RW) berdasarkan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebagai berikut: 39 Tabel 2 Distribusi RW Berdasarkan RT di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar RW JUMLAH RT % I 5 18.5 II 4 14.8 III 5 18.5 IV 4 14.8 V 5 18.5 VI 4 14.8 Total 27 100 Sumber; Data sekunder, tahun 2009 Dari tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa kelurahan Tammua ini terdiri atas 6 Rukun Warga (RW) dan terbagi lagi menjadi 27 RT. Dimana RW I terdiri atas 5 RT atau sebanyak 18.5%, kemudian RW II terdiri atas 4 RT atau sebanyak 14.8%, selanjutnya RW III terdiri atas 5 RT atau sebanyak 18.5%. Kemudian RW IV terdiri atas 4 RT atau sebanyak 14.8%, sedangkan RW V terdiri atas 5 RT atau sebanyak 18.5%, dan RW VI terdiri atas 4 RT atau sebanyak 14.8%. Keadaan penduduk menurut distribusi umur perlu dikemukakan karena hal ini erat kaitannya dengan angkatan kerja, dimana dengan ini kita dapat mengetahui keadaan ekonomi penduduk setempat. Adapun distribusi penduduk di Kelurahan Tammua berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel 3 berikut: 40 Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar Jumlah Penduduk No. Kelompok Umur (Tahun) (Jiwa) Laki-laki Perempuan N % 1 Balita (0-5) 543 525 1068 10.80 2 Anak-anak (6-12) 655 631 1286 13.01 3 Remaja (13-17) 374 351 725 7.33 4 Dewasa Muda (18-25) 912 862 1774 17.94 5 Dewasa Tua (26-40) 1493 1468 2961 29.95 6 Orang Tua (41-64) 852 882 1734 17.54 7 Lanjut Usia (> 64) 160 178 338 3.42 4989 4897 9886 100 Total Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009 Dari tabel 3 diatas dapat di ketahui bahwa kelompok usia yang paling banyak yakni Dewasa tua (26-40 Tahun) sebesar 29.95% atau sebanyak 2961 jiwa dan paling sedikit yakni pada kelompok umur lanjut usia (>64 Tahun) sebesar 3.42% atau sebanyak 338 jiwa, sedangkan pada kelompok yang remaja (13-17 Tahun) yaitu sebanyak 725 jiwa atau sebanyak 7.33%. Kemudian Balita (0-5 Tahun) yaitu sebanyak 1068 jiwa atau sebesar 10.80%, selanjutnya Anak-anak (612 Tahun) sebanyak 1286 jiwa atau sebesar 13.01%. Sedangkan Dewasa Muda (18-25 Tahun) sebanyak 1774 jiwa atau sebesar 17.94%, dan Orang Tua (41-64 Tahun) sebanyak 1734 jiwa atau sebesar 17.54%. 41 C. KEADAAN SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA Faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat oleh karena itu faktor sosial ekonomi sangat penting untuk diperhatikan demi meningkatkan status derajat kesehatan. Hal tersebut diatas harus benar-benar diperhatikan untuk tercapainya status dan derajat kesehatan yang optimal. Sebagian besar pendapatan KK setiap bulannya dapat dikategorikan pada tingkat yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, sehingga pembangunan sarana kesehatan cenderung diabaikan. Apabila hal semacam ini terjadi secara terus-menerus maka akan berakibat fatal pada kesehatan. Adapun faktor sosial ekonomi meliputi faktor: 1. Mata Pencaharian dan Pendapatan Penduduk Berdasarkan data sekunder yang kami peroleh, tingkat pendapatan perkapita masyarakat Kelurahan Tammua dapat dikategorikan cukup karena sebagian besar mata pencaharian penduduk setempat adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang pendapatan perkapitanya dalam tiap bulan tetap. Adapun distribusi penduduk berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 4 berikut: 42 Tabel 4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan N % 269 57.69 Nelayan 2 0.39 TNI 2 0.39 POLRI 10 1.95 Dosen Swasata 5 0.97 138 26.90 Tukang Kayu 8 1.56 Tukang Batu 16 3.12 Tukang Jahit 31 6.04 Tukang Cukur 5 0.97 513 100 Pegawai Negeri Sipil (PNS) Karyawan Perusahaan Swasta Total Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009 Berdasarkan dari data sekunder yang di peroleh seperti yang terlihat pada tabel 4 diatas, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kelurahan Tammua termasuk dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 269 orang atau sebanyak 57,69% dari 513 penduduk yang memiliki pekerjaan tetap. Kemudian Karyawan Perusahaan Swasta sebanyak 138 orang atau sekitar 26.90%, selanjutnya Tukang Jahit sebanyak 31 orang atau sekitar 6.04%. Sedangkan Tukang Batu sebanyak 16 orang (3.12%) dan POLRI sebanyak 10 orang (1.95%). Tukang Kayu sebanyak 8 orang (1.56%) dan Dosen Swasta sebanyak 5 orang (0.97%), dan minoritas penduduk bekerja sebagai Nelayan dan TNI masing-masing berjumlah 2 orang atau sebesar 0.39%. 43 2. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan pengetahuan. Seperti halnya di Kelurahan Tammua, tingkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat masih kurang. Tabel 5 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkatan Pendidikan TINGKATAN PENDIDIKAN N % Belum Sekolah/Tidak Tamat SD 250 16.40 Tamat Sekolah Dasar (SD) 473 31.03 Tamat SMP/Sederajat 288 18.89 Tamat SMA 341 22.38 Tamat D-1 7 0.46 Tamat D-2 30 1.97 Tamat D-3 20 1.31 Tamat S-1 114 7.48 Tamat S-2 6 0.39 Tamat S-3 1 0.07 1524 100 Total Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009 Berdasarkan tabel 5 di atas, sebesar 473 penduduk adalah Tamatan SD, dan tamatan SMP/Sederajat, sebesar 288 penduduk atau sebesar 18.89%. Sedangkan yang tamatan SMA sebanyak 341 penduduk atau sebanyak 22.38%, dan yang menyelesaikan pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi sebanyak 178 penduduk (Tamat D-1, D-2, D-3, S-1, S-2, S-3). 44 3. Sosial Budaya Dalam batas sosial budaya masyarakat yang tingggal di Kelurahan Tammua bisa dikatakan tidak terbelakang. Mereka sudah mampu dan mau menerima ilmu pengetahuan dari luar, masyarakat Kelurahan Tammua sebagian besar memiliki rasa sosial dan kekeluargaan yang sangat tinggi. Secara umum kebanyakan masyarakat sudah sadar akan pentingnya mengunjungi unit pelayanan kesehatan bila mengidap suatu penyakit. Selain itu masih ada yang menggunakan obat tradisional yang diracik sendiri. D. STATUS KESEHATAN 1. Lingkungan Jika dilihat dari letak geografis Kelurahan Tammua sebagian wilayahnya merupakan tempat pemukiman penduduk dan ada juga yang dijadikan lahan pabrik. Namun ada beberapa lahan kosong yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sasaran pembuangan sampah dan pembuangan air limbah. Sebagian besar warga di Kelurahan Tammua memiliki jamban sehingga jarang ditemukan masyarakat membuang kotorannya (Feses) di tempat terbuka. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menggunakanan jamban sudah baik. Sumber air minum warga dominan didapatkan dari air ledeng/PDAM. Namun untuk mencuci dan mandi masih banyak yang menggunakan air sumur yang kualitas airnya kurang baik. 45 Dari segi aset perumahan, jumlah rumah yang berdinding tembok sebanyak 954 rumah dan berdinding kayu sebanyak 369 rumah. Untuk rumah yang berlantai tanah sebanyak 126 rumah. Sedangkan rumah menurut atap, yang beratap genteng sebanyak 15 rumah dan beratap seng sebanyak 1315 rumah, (profil Kelurahan Tammua, 2009). 2. Perilaku Masyarakat Perilaku masyarakat di Kelurahan Tammua masih kurang memiliki kesadaran tentang pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan. Hal ini terlihat dari kebiasaan warga membuang sampah tidak pada tempatnya. Namun ada beberapa lokasi yang memiliki kesadaran tinggi untuk membuang sampah pada tempatnya bahkan ada yang menjalankan program pemilahan sampah yaitu berada di RW III. Adapun kesadaran warga untuk berobat jika sakit cukup tinggi. Hal ini terbukti dari adanya sebagian besar warga yang telah memanfaatkan sarana dan prasarana kesehatan seperti puskesmas. 3. Pelayanan Kesehatan Di lingkungan Kelurahan Tammua terdapat 1 Puskesmas dan terdapat beberapa posyandu, selain itu ada pengobatan oleh dokter praktek dan mantri. Masyarakat lebih banyak berkunjung ke Puskesmas karena jaraknya yang sangat dekat khususnya masyarakat di RW I, RW II, dan RW VI. Sedangkan untuk masyarakat RW III, RW IV, dan RW V sulit menjangkau Puskesmas 46 karena letaknya jauh dan kurang akses transportasi. Sementara itu ditinjau dari aspek epidemiologi, pola penyakit yang diderita oleh masyarakat di Kelurahan Tammua cukup bervariasi, hal ini dapat dilihat dari tabel 6 dibawah ini. Tabel 6 Distribusi Penduduk Berdasarkan Sepuluh Penyakit Terbanyak Pada Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Puskesmas No Penyakit Jumlah Kasus 1 Penyakit Lain Pada Saluran Pernafasan Atas 85 2 Penyakit Akut Lain Pada Saluran Pernafasan Atas 82 3 Penyakit Sistem Otot 80 4 Penyakit Tungsilins 185 5 Penyakit Kulit 121 6 Penyakit Infeksi Telinga 75 7 Penyakit Rongga Mulut 40 8 Hypertensi 55 9 Penyakit Mata 75 10 Penyakit Diare 120 Jumlah 813 Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009 Namun khusus di Kelurahan Tammua ini, penyakit yang paling banyak ditemukan yaitu penyakit Tungsilins sebanyak 185 kasus. Kemudian penyakit kulit sebanyak 121 kasus, selanjutnya penyakit diare sebanyak 120 kasus. Penyakit lain pada saluran pernafasan atas sebanyak 85 kasus dan penyakit akut lain pada pernafasan atas sebanyak 82 kasus. Sedangkan 47 penyakit system otot sebanyak 80 kasus dan penyakit infeksi telinga sebanyak 75 kasus. Selanjutnya penyakit hipertensi sebanyak 75 kasus, dan penyakit yang paling sedikit ditemukan yaitu: penyakit rongga mulut sebanyak 40 kasus. 4. Etnis/Suku Adapun mengenai jumlah suku perlu diketahui karena hal ini untuk mengetahui proses sosialisasi nilai budaya di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar sebagai berikut: Tabel 7 Distribusi Penduduk Berdasarkan Etnis/Suku ETNIS JUMLAH PENDUDUK (JIWA) % Jawa 52 0.48 Madura 127 1.18 Bugis 8665 80.18 Makassar 1590 14.71 Mandar 336 3.11 Flores 8 0.07 Tolaki 2 0.02 Buton 4 0.04 Muna 14 0.13 Wanci 3 0.03 Alor 6 0.06 10.807 100 Total Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009 48 Penduduk Kelurahan Tammua mayoritas bersuku Bugis sebesar 8665 atau sekitar 80,18% dan yang bersuku Makassar sebanyak 1590 penduduk atau sekitar 14.71% sedangkan sebagian kecil bersuku Tolaki sebanyak 2 penduduk atau sekitar 0,02%. Namun tidak berarti tak ada suku lain yang bermukim di sini, seperti: Mandar sebanyak 336 orang atau sekitar 3.11%, Madura sebanyak 127 orang atau sekitar 1.18%, Jawa sebanyak 52 orang atau sekitar 0.48%, Muna 14 orang atau sekitar 0.13%, Flores sebanyak 8 orang atau sekitar 0.07%, Alor sebanyak 6 orang atau sekitar 0.06%, Buton sebanyak 4 orang atau sekitar 0.04% dan Wanci sebanyak 3 orang atau sekitar 0.03%. 5. Agama Selanjutnya akan diperlihatkan distribusi penduduk berdasarkan agama yang dianut oleh masyarakat di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar yaitu : 49 Tabel 8 Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama AGAMA Islam JUMLAH PENDUDUK (JIWA) % 10195 97.42 Kristen 218 2.08 Katholik 15 0.14 Hindu 21 0.20 Budha 15 0.14 10.464 100 Total Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009 Berdasarkan tabel 8 Diatas menunjukkan sebagian besar penduduk Kelurahan Tammua beragama Islam sebanyak 10195 penduduk atau sebanyak 97,42%, sedangkan yang beragama Kristen sebanyak 218 penduduk atau sebanyak 2.08%. kemudian yang beragama Hindu sebanyak 21 penduduk atau sebesar 0.20% dan hanya sebagian kecil dari penduduk yang beragama Budha dan Katholik yaitu: sebanyak 15 penduduk atau sebanyak 0,14%. E. KEADAAN SARANA DAN PRASARANA Untuk menunjang proses kegiatan-kegiatan sosial maupun kegiatan ekonomi, maka sarana dan prasarana sangat penting keberadaannya. Hal tersebut selain menunjang untuk kegiatan-kegiatan sosisl ekonomi tertentu, dapat pula mempengaruhi proses sarana pendistribusian hasil-hasil usaha mereka yang dapat menghasilkan keuntungan-keuntungan ekonomi jasa. 50 Makin lengkap sarana yang ada, maka dapat memudahkan dalam memenuhi kebutuhan individu di dalam suatu masyarakat. Beberapa sarana yang dapat menunjang proses kegiatan sosial ekonomi di Kelurahan Tammua yaitu: 1. Sarana Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk dalam suatu wilayah sebagian besar dipengaruhi oleh sarana dan prasarana penunjang untuk penduduknya dalam wilayah tersebut. Untuk itu keberadaan sekolah dengan tenaga pengajar yang memadai diperlukan untuk memperbaiki taraf hidup yang akhirnya membawa peningkatan kualitas yang lebih baik. Jenis pendidikan umum yang ada antara lain dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 9 Distribusi Penduduk Berdasarkan Sarana Pendidikan Sarana Pendidikan Jumlah % TK 3 42.8 SD / Sederajat 1 14.2 SMP / Sederajat 2 28.5 SMA / Sederajat 1 14.2 7 100 Total Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009 Berdasarkan dari tabel 9, jumlah keseluruhan dari sarana pendidikan yang dimiliki adalah 7 gedung yang terdiri dari gedung SD dan SMA masing- 51 masing 1 gedung 14.2%. Sedangkan SMP sebanyak 2 gedung 28.5%, dan TK sebanyak 3 gedung 42.8%. 2. Prasarana Peribadatan Berdasarkan data yang ada di kelurahan Tammua ini hanya terdapat masjid yang berjumlah 7 gedung. 3. Prasarana kesehatan Keberhasilan pembangunan suatu masyarakat dapat dilihat dari sudut kesehatan, semakin maju saran penunjang kesehatan semakin maju pula tingkat kesehatan masyaraktnya. Berikut tabel distribusi penduduk berdasarkan prasarana kesehatan yaitu: Tabel 10 Distribusi Penduduk Berdasarkan Prasarana Kesehatan Prasarana Kesehatan Frekuensi (F) Presentase (%) Puskesmas 1 25 Posyandu 3 75 4 100 Jumlah Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009 Berdasarkan tabel 10 diatas, terlihat jelas bahwa prasarana kesehatan jumlah keseluruhan terdapat 4 gedung. Puskesmas sebanyak 1 gedung atau sekitar 25% dan posyandu sebanyak 3 gedung atau sekitar 75%. 52 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Sebelum kita membahas secara keseluruhan permasalahan yang berkaitan dengan kenakalan remaja, terlebih dahulu kita perlu mengklasifikasikan identitas responden sebagai pendukung dalam memberikan analisa terhadap masalah yang diteliti. Adapun klasifikasi identitas responden meliputi: jenis kelamin, umur, pendidikan, agama, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. 1. Jenis kelamin Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis, dapat diketahui jenis kelamin responden yang diteliti 100% berjenis kelamin laki-laki dan jumlah responden tersebut sebanyak 38 responden. Karena anak laki-laki kecendrungannya akan melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan lebih dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini berarti bahwa kenakalan remaja didominasi oleh laki-laki atau lebih tinggi dibandingkan dengan perbuatan dikalangan perempuan. Ini disebabkan karena laki-laki mempunyai sifat yang agresif, berani, ingin menguasai, dan ingin terkenal, sedangkan perempuan identik dengan sikap yang lembut dan masih kuat tradisinya bahwa perempuan itu di rumah sedangkan laki-laki cenderung di luar rumah. Jadi laki-laki mempunyai 53 peluang lebih banyak untuk melakukan kenakalan dibanding dengan perempuan. 2. Umur Untuk memberikan gambaran tentang kemampuan seseorang dalam memberikan tanggapan atau pendapat terhadap suatu hal, maka umur responden sangat penting untuk diketahui. Umur responden ini dikaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman seseorang dalam merespon sesuatu dan membentuk pola pikir dalam pergaulannya. Oleh karena itu, pada tabel dibawah ini akan disajikan responden menurut kelompok umur. Tabel 11 Distribusi Responden Berdasatkan Umur No Umur Frekuensi (F) Presentase (%) 1 15 1 2.63 2 16 11 28.9 3 17 26 68.4 38 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Dari tabel 10 terlihat bahwa pada umur 15 tahun merupakan pelaku kenakalan sebanyak 1 orang atau sebanyak 2.63% dan umur 16 tahun sebanyak 11 orang atau sebanyak 28.9%. Sedangkan umur 17 tahun merupakan umur yang paling agresif melakukan kenakalan remaja yaitu sebanyak 26 orang atau sebanyak 68.4%. 54 Keterlibatan umur 17 tahun sebagai pelaku kenakalan remaja yang paling dominan merupakan wujud dari eksistensi dirinya sebagai remaja yang sedang mencari jati diri. Pada umur 17 tahun keadaan atau suasana hatinya mudah berubah atau tidak stabil ini disebabkan oleh perubahan fisik dan psikisnya karena belum memiliki dalam masa transisi atau belum mencapai kedewasaannya, artinya remaja belum memiliki tempat yang jelas dan tetap. Disatu pihak, ia tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan dilain pihak anak remaja belum tergolong dewasa. Keadaan yang belum pasti inilah yang sering menimbulkan masalah bagi kaum remaja dan pada umur inilah umumnya melakukan delinkuen karena pengaruh lingkungan atau faktor ekstern masih banyak mempengaruhi pembentukan dirinya. 3. Pendidikan Pendidikan responden merupakan hal yang penting untuk mengukur kemampuan pengetahuan, pengalaman dan tanggapan atau pendapat seseorang dalam memberikan atau merespon sesuatu hal dan membentuk pola fikir dalam pergaulannya. Jenjang pendidikan yang dilalui seseorang sangat berpengaruh terhadap cara berfikir dan tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang telah mengenyam tingkat pendidikan akan berbeda cara berfikirnya dengan orang yang tidak pernah mengenyam atau mencapai 55 tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Pengetahuan yang dimiliki hasil serapan dari pengalaman dan sosialisasi individu baik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Pada tabel berikut ini akan diuraikan jumlah responden menurut pendidikannya. Tabel 12 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan No Pendidikan Frekuensi (F) Presentase (%) 1 SMP 1 2.63 2 SMU/SMK 33 86.8 3 Tidak Bersekolah 4 10.5 Jumlah 38 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Berdasarkan tabel 12 diatas menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan pendidikan yaitu: SMU/SMK sebanyak 33 orang (86.8%), sedangkan SMP sebanyak 1 orang (2.63%) dan yang tidak bersekolah 4 orang (10.5%). Bagi mereka yang tidak bersekolah, memang tidak pernah mengenyam pendidikan, karena berbagai alasan yang mereka kemukakan seperti tidak ada biaya, orang tua meninggal, dan lain-lain. 4. Agama Agama sangat penting bagi umat manusia karena agama merupakan petunjuk dan pedoman hidup, didalamnya terdapat keteraturan, kerukunan, tanggung jawab, saling cinta mencintai dalam kebaikan. Namun banyak yang 56 mengabaikannya, besar kemungkinan karena tidak adanya pengetahuan tentang agama, kesombongan, keingkaran, atau tidak patuhnya manusia terhadap tuntutan agama. Yang menjadi responden dalam penelitian ini 100% beragama Islam, karena lingkungan penelitian tersebut di dominasi oleh pemeluk agama Islam. 5. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua juga berpengaruh terhadap munculnya kenakalan remaja, selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 13 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua No Pekerjaan Orang Tua Frekuensi (F) Presentase (%) 1 Nelayan 1 2.63 2 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 10 26.3 3 Pedagang 2 5.26 4 Pengusaha 17 44.7 5 Pegawai Swasta 8 21 38 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Dari tabel 13 menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua remaja sebagai Pengusaha menduduki skala pertama yakni sebanyak 17 orang atau sebanyak 44.7% kemudian Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 10 orang 57 atau sebanyak 26.3%, selanjutnya Pegawai Swasta sebanyak 8 orang atau sebanyak 21%. Sedangkan Pedagang sebanyak 2 orang atau sebanyak 5.26%, dan Nelayan sebanyak 1 orang atau sebanyak 2.63%. 6. Pendapatan Orang Tua Berikut ini akan di bahas tentang distribusi berdasarkan pendapatan orang tua para remaja tersebut : Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Orang Tua No Pendapatan Orang Tua Frekuensi (F) Presentase (%) 1 > Rp 3.000.000,- 8 21.5 2 Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000,- 27 71.5 3 < Rp 1.000.000,- 3 7.89 38 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Berdasarkan tabel 14 diatas menunjukkan bahwa pendapatan orang tua masih kebanyakan diantara Rp 1.000.000 – Rp. 2.000.000,- sebanyak 27 responden atau sebanyak 71.5%, kemudian > Rp 3.000.000,- sebanyak 8 responden atau sebanyak 21.5%, selanjutnya < Rp 1.000.000,- sebanyak 3 responden atau 7.89%. B. Pengetahuan Tentang Kenakalan Remaja Pengetahuan atau knowledge adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan 58 hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan pikiran-pikiran. Perubahan sosial, budaya dan perkembangan teknologi telah berdampak pada perubahan pola pikir, sikap dan perilaku remaja. Berikut ini tabel distribusi tahu/tidaknya kenakalan remaja : Tabel 15 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan akan Kenakalan Remaja No Pengetahuan Akan Kenakalan Remaja Frekuensi (F) Presentase (%) 1 Tahu 36 94.7 2 Tidak Tahu 2 5.2 38 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Berdasarkan tabel 15 diatas menunjukan bahwa responden yang tahu/paham apa itu tentang kenakalan remaja adalah sebanyak 36 responden atau sebanyak 94.7%, sedangkan yang tidak tahu atau belum paham tentang kenakalan remaja sebanyak 2 responden atau sebanyak 5.2%. Tapi kebanyakan yang paham atau tahu tentang kenakalan remaja tersebut justru remaja tersebutlah yang melakukan kenakalan remaja. Remaja tersebut tahu jenis kenakalan yang dilakukan seperti; sering berkelahi, berjudi, minum-minuman keras, narkoba dan sebagainya. 59 C. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja Berdasarkan data di lapangan dapat disajikan hasil penelitian tentang kenakalan remaja sebagai salah satu perilaku menyimpang. Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku (Kartono, 2003). Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Pada penjelasan berikut dapat diuraikan bentuk-bentuk kenakalan apa yang terjadi dikalangan remaja, sebagai berikut: 1. Perkelahian Permasalahan kenakalan remaja yang cukup memprihatinkan dewasa ini adalah masalah perkelahian yang secara kualitas maupun secara kuantitas cukup mengejutkan. Jumlah perkelahian dari tahun ketahun terus meningkat, terutama di kota-kota besar. Dimana perkelahian merupakan salah satu bentuk dari kenakalan remaja yang biasa terjadi antar inidividu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Mereka berkelahi dengan tinju-meninju atau dengan 60 mulut saja. Data mengenai hal tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 16 Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Melakukan Perkelahian No Pernah/Tidak Frekuensi (F) Presentase (%) 1 Pernah 36 94.7 2 Tidak pernah 2 5.26 38 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Dari tabel 16 terlihat bahwa responden yang pernah tidaknya melakukan perkelahian sebanyak 36 orang atau sebanyak 94.7%, dan responden yang tidak pernah melakukan perkelahian sebanyak 2 orang atau sebanyak 5.2%. Berikut ini akan dijelaskan alasan responden melakukan perkelahian yang bisa disebabkan oleh beberapa hal. Sebagian besar responden berkelahi karena ajakan temannya. Hal ini terdapat beberapa responden saja yang berkelahi karena inisiatif sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: 61 Tabel 17 Distribusi Responden berdasarkan Alasan melakukan perkelahian No Alasan Melakukan Perkelahian Frekuensi (F) Presentasi (%) 1 Ajakan teman 22 61.1 2 Inisiatif sendiri 14 38.8 36 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa responden melakukan perkelahian karena ajakan teman sebanyak 22 orang atau sebanyak 61.1%. Sedangkan yang pernah melakukan perkelahian karena inisiatif sendiri sebanyak 14 orang atau sebanyak 38.8%. Responden yang melakukan perkelahian kelompok disebabkan karena adanya rasa senasib sepenanggungan diantara temannya, didalam dirinya telah tumbuh rasa solidaritas yang lebih mementingkan kelompoknya dengan teman-temannya. Ada rasa kebanggan tersendiri jika seorang remaja memiliki cara berfikir dan rasa yang sama dengan temannya. Selanjutnya yang menjadi motivasi terbesar seseorang di dalam melakukan perkelahian yaitu diakibatkan oleh Solidaritas mereka terhadap kelompok. Solidaritas yang banyak ditemui didalam kelompok yang melakukan perkelahian dilokasi penelitian banyak terkait dengan budaya anggota kelompok, yang dimana anggota dari kelompok didominasi oleh suku Makassar yang sangat kental dengan si’ri ( rasa malu ). 62 Dan alasan yang berikutnya ini dipicu karena hal yang sepele yaitu saling ejek yang mengakibatkan remaja tersebut tersinggung dan emosi sehingga remaja ini melakukan perkelahian. Alasan ketiga yang banyak menjadi motivasi seseorang melakukan perkelahian yaitu membela diri. Membela diri menjadi salah-satu alasan disebabkan oleh faktor eksternal, yang biasanya lahir karena spontanitas seseorang bila seseorang merasa dirinya dalam ancaman. Kemudian motivasi selanjutnya yang menjadi alasan seseorang melakukan perkelahian yaitu Dendam. Dendam ini biasanya terkait oleh kejadian masa lalu yang pernah dialami seseorang. Seseorang merasa bahwa dirinya belum terpuaskan dengan kejadian yang dialaminya sehingga itu menjadi mimpi buruk bagi dirinya dan mendorong dirinya untuk terus membalas perbuatan orang yang menjadi musuh di dalam dirinya. Sedangkan motivasi selanjutnya yang menyebabkan seseorang melakukan perkelahian yaitu merasa kuat, atau pemalakkan, hal ini biasanya dijumpai pada diri seseorang yang memiliki latar belakang preman. Yang sudah menjadi kebiasaan dalam dirinya untuk melakukan perkelahian. 2. Pencurian Pencurian merupakan suatu kegiatan mengambil milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya dengan cara dan tujuan tertentu. Hal ini disebabkan pencurian mempunyai dampak sosial yang sangat meresahkan juga mencemaskan 63 masyarakat terutama korban dan aparat hukum. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut mengenai distribusi responden berdasarkan pernah/tidaknya melakukan pencurian sebagai berikut: Tabel 18 Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Melakukan Pencurian No 1 2 Pernah/Tidak Frekuensi (F) Presentase (%) Pernah - Mencuri uang 16 42.1 - Mencuri buah-buahan 4 10.5 - Mencuri pakaian 12 31.5 6 15.7 38 100 Tidak pernah Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Data pada tabel 18 menunjukkan bahwa pencurian yang dilakukan oleh responden diantaranya 16 orang atau sebanyak 42.1% yang mencuri uang, 12 orang atau sebanyak 31.5% yang mencuri pakaian. Sedangkan yang pernah melakukan pencurian seperti mencuri buah-buahan sebanyak 4 orang atau sebanyak 10.5%, dan yang tidak pernah melakukan pencurian sebanyak 6 orang atau sebanyak 15.7%. Jadi mencuri uanglah yang paling sering dilakukan oleh responden yaitu sebanyak 16 orang atau sebanyak 42.1%. 64 Adapun alasan responden yang melakukan pencurian karena butuh uang atau karena faktor ekonomi dimana remaja tersebut mencuri uang temannya sendiri atau uang orang lain karena remaja tersebut tidak dikasih uang jajan oleh orang tuanya, dan ada juga yang melakukan pencurian karena pengaruh teman dimana mulanya remaja tersebut tidak mau melakukan karena takut akan akibatnya namun karena pengaruh dari teman-temannya sehingga remaja ini melakukan pencurian. Dan alasan responden yang tidak melakukan pencurian dikarenakan remaja masih kuat dengan nilai-nilai religius yang didapat dari kedua orang tuanya dimana remaja tersebut takut akan dosa atau akibat yang dapat ditimbulkan apabila remaja tersebut melakukan pencurian. 3. Narkoba Atau Sejenisnya Penggunaan narkoba atau sejenisnya merupakan suatu masalah yang tumbuh pesat dalam masyarakat akhir-akhir ini, terutama diantara anak-anak belasan tahun. Statistik menunjukkan bahwa sejumlah besar remaja kita mencoba-coba narkoba atau sejenisnya untuk pertama kalinya pada usia dua belas atau tiga belas tahun. Meski pemakaian narkoba atau sejenisnya tidak akan dapat sepenuhnya dihentikan, masyarakat perlu menemukan suatu cara untuk menunjukkan pada anak-anak belasan tahun akan dampak berbahaya dan ketergantungan yang diakibatkan oleh pemakaian narkoba atau sejenisnya. Kebanyakan dari remaja tersebut menggunakan narkoba, jenis ganja. Karena 65 penyalahgunaan narkoba ini merupakan penyimpangan prilaku yang disebabkan oleh penggunaan yang terus menerus sampai terjadi suatu masalah. Berikut ini distribusi responden berdasarkan pernah/tidaknya memakai narkoba atau sejenisnya: Tabel 19 Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Memakai Narkoba atau Sejenisnya No 1 Pernah/Tidak Presentase (%) 5 13.1 33 86.8 38 100 Pernah - 2 Frekuensi (F) 1 – 3 kali Tidak pernah Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Dari tabel diatas terlihat bahwa dari ke-38 responden yang melakukan kenakalan hanya 5 orang atau sebanyak 13.1% yang menggunakan narkoba atau sejenisnya, dan responden yang tidak menggunakan narkoba atau sejenisnya sebanyak 33 orang atau sebanyak 86.8%. Kebanyakan dari remaja tersebut menggunakan narkoba, jenis ganja. Jika dilihat dari frekuensi yang menggunakan narkoba lebih di dominasi pada satu sampai tiga kali menggunakan, ini berarti bahwa responden belum kecanduan akan tetapi mereka hanya ingin mencoba saja. 66 Sedangkan responden yang tidak pernah memakai narkoba atau sejenisnya yaitu karena responden takut akan efek yang di timbulkan dari penyalahgunaan narkoba atau sejenisnya seperti rasa candu atau ketagihan yang ditimbulkan dari narkoba tersebut atau over dosis yang bisa menyebabkan kematian. Selanjutnya untuk mengetahui mengapa sampai responden menggunakan narkoba atau sejenisnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 20 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Memakai Narkoba Atau Sejenisnya No Alasan Memakai Narkoba Atau Sejenisnya F % 1 Ingin mencoba 3 60 2 Pengaruh teman 1 20 3 Menghilangkan stress 1 20 5 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Dari tabel diatas terlihat bahwa responden yang memakai narkoba atau sejenisnya yakni 3 orang atau 60% karena hanya ingin mencoba. Sedangkan karena pengaruh teman sebanyak 1 orang atau sebanyak 20% dan karena menghilangkan stress sebanyak 1 orang atau sebanyak 20%. Responden memakai narkoba atau sejenisnya karena didorong oleh rasa ingin tahu. Melihat frekuensi responden yang memakai narkoba atau sejenisnya 67 walaupun kecil akan tetapi perlu diwaspadai karena merupakan suatu bentuk penyimpangan tingkah laku yang akibatnya apabila seseorang setelah menderita atau ketergantungan pada narkoba atau sejenisnya dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Selanjuntnya untuk mengetahui mengapa sampai responden menggunakan narkoba atau sejenisnya yaitu karena hanya ingin mencoba atau sekedar coba-coba yang timbul dari rasa ingin tahu dari remaja tersebut. Kemudian alasan berikutnya karena pengaruh dari teman-temannya, dimana mulanya remaja tersebut tidak mau melakukan hal tersebut karena takut akan akibat yang dapat ditimbulkan dari mengkonsumsi narkoba atau sejenisnya seperti kelebihan dosis (over dosis) yang bisa mengakibatkan kematian, namun karena pengaruh dari teman-temannya, sehingga remaja tersebut mengkonsumsi narkoba atau sejenisnya. Dan alasan selanjunya, remaja menggunakan narkoba atau sejenisnya yaitu karena dapat menghilangkan stress dimana remaja tersebut banyak menemui konflik-konflik yang ada di dalam dirinya sehingga remaja tersebut menggunakan narkoba atau sejenisnya. 4. Minum-Minuman Keras Memahami kalangan remaja berarti memahami berbagai masalah dan kesulitan, yang dialaminya dengan pemahaman itu maka akan membantu kita sebagai orang tua, pendidik dan masyarakat agar masalah kebiasaan minum- 68 minuman keras di kalangan remaja tidak akan berkepanjangan dan bertambah parah. Untuk lebih jelasnya akan dibahas tentang distribusi responden berdasarkan pernah/tidaknya meminum-minuman keras sebagai berikut: Tabel 21 Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Meminum-Minuman Keras No 1 2 Pernah/Tidak Frekuensi (F) Presentasi (%) Pernah - 1 – 3 kali 15 39.4 - 4 – 6 kali 20 52.6 3 7.8 38 100 Tidak pernah Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Berdasarkan tabel 21 bahwa responden yang meminum-minuman keras dengan skala 1-3 kali yaitu sebanyak 15 orang atau sebanyak 39.4%, sedangkan skala 4-6 kali yakni sebanyak 20 orang atau sebanyak 52.6% dan responden yang tidak pernah meminum-minuman keras sebanyak 3 orang atau sebanyak 7.8%. Jika dilihat dari frekuensi yang pernah meminum-minuman keras lebih didominasi pada empat sampai enam kali. Sedangkan alasan responden yang tidak meminum-minuman keras yaitu karena responden takut akan efek yang di timbulkan dari minuman keras tersebut 69 dimana bila dikonsumsi setiap hari bisa menyebabkan penyakit lever yang berujung pada kematian. Selanjutnya akan dibahas mengenai alasan responden meminumminuman keras, dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 22 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Meminum-Minuman Keras No Alasan Frekuensi (F) Presentase (%) 1 Ingin Mencoba 7 20 2 Pengaruh Teman 11 31.4 3 Menghilangkan stress 17 48.5 35 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa alasan responden meminumminuman keras yaitu karena menghilangkan stress sebanyak 17 orang atau sebanyak 48.5%. Sedangkan karena pengaruh teman sebanyak 11 orang atau sebanyak 31.4%, dan karena hanya ingin mencoba sebanyak 7 orang atau 20%. Dapat disimpulkan bahwa alasan responden meminum-minuman keras ini didominasi karena rasa frustasi remaja dan mereka biasanya lebih sering melakukannya 4-6 kali dalam seminggu dimana remaja tersebut menghadapi begitu banyak permasalahan dalam hidupnya atau konflik-konflik yang ada dalam dirinya seperti di putuskan pacar, dan lain-lain. Kebanyakan dari remaja 70 tersebut meminum-minuman keras seperti ballo’, angur hitam, dan bir. Ini dikarenakan karena harga minuman tersebut relatif murah. Kemudian alasan remaja meminum-minuman keras yang berikutnya yaitu karena hanya ingin mencoba atau sekedar coba-coba ini disebabkan karena rasa ingin tahu remaja yang begitu besar yang juga sedang mencari jati dirinya ini dapat dilihat pada tabel diatas dengan skala satu sampai tiga kali remaja meminum-minuman keras. Selanjutnya alasan remaja meminum-minuman keras yaitu karena pengaruh dari teman-temannya, dimana mulanya remaja tersebut tidak mau melakukan hal tersebut karena efek dari minuman keras tersebut yang berakibat fatal, namun karena pengaruh dari teman-temannya sehingga remaja tersebut meminum-minuman keras. 5. Perjudian Perjudian merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, satu bentuk patologi sosial. Bermacam-macam bentuk permainan anak-anak itu sudah mengandung unsur perjudian secara kecil-kecilan, karena didalamnya ada unsur pertaruhan. Permainan itu tidak hanya dilakukan oleh anak-anak saja, akan tetapi orang dewasa pun memiliki bermacam-macam permainan dari permainan kartu, dadu, sampai dengan segala bentuk sport dan games yang tidak luput dari unsur perjudian. 71 Dimana perjudian itu adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan, dan kejadian-kejadian yang tidak atau belum pasti hasilnya. Berikut akan dijelaskan tentang responden yang pernah/tidaknya melakukan perjudian, sebagai berikut: Tabel 23 Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Melakukan Perjudian No 1 2 Pernah/Tidak Frekuensi (F) Presentase (%) Pernah - 1 – 3 kali 21 55.2 - 4 – 6 kali 12 31.5 5 13.1 38 100 Tidak pernah Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Berdasarkan tabel 23 tersebut dapat dilihat bahwa responden yang melakukan perjudian dengan skala satu sampai tiga kali sebanyak 21 orang atau sebanyak 55.2%, kemudian yang skala empat sampai enam kali itu sebanyak 12 orang atau sebanyak 31.5%. Dan yang tidak melakukan perjudian sebanyak 5 orang atau sebanyak 13.1%. Ini menandakan bahwa responden belum terlalu kecanduan dengan perjudian karena responden hanya melakukan perjudian 72 dengan skala satu sampai tiga kali tetapi dapat merugikan dirinya sendiri atau orang lain. Dan alasan responden yang tidak melakukan perjudian dikarenakan remaja masih kuat dengan nilai-nilai religius yang didapat dari kedua orang tuanya dimana remaja tersebut takut akan dosa atau haram hukumnya bagi umat manusia apabila melakukan perjudian, apa lagi perjudian itu hanya menjanjikan suatu kemenangan kadang menang dan kadang kalah dalam perjudian. Untuk mengetahui alasan remaja melakukan perjudian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 24 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Melakukan Perjudian No Alasan Frekuensi (F) Presentase (%) 1 Menambah Uang 22 66.6 2 Ikut-ikutan sama teman 11 33.3 33 100 Jumlah Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Berdasarkan tabel 25 tersebut dapat dilihat bahwa alasan responden untuk melakukan perjudian yakni menambah uang sebanyak 22 orang atau sebanyak 66.6% dan karena ikut-ikutan sama teman sebanyak 11 orang atau sebanyak 33.3%. Hal ini membuktikan bahwa remaja melakukan perjudian lebih didominasi karena faktor ekonomi. 73 Alasan responden melakukan perjudian lebih didominasi karena faktor ekonomi dimana remaja tersebut dengan alasan ingin menambah uang jajan sehingga melakukan perjudian, tapi perjudian itu hanya menjanjikan kemenangan, kadang menang dan kadang kalah. Dan ada juga dikarenakan oleh pengaruh teman-temannya, dimana mulanya remaja tersebut tidak mau melakukan perjudian namun karena pengaruh dari teman-temannya atau ajakan dari teman-temannya, sehingga remaja tersebut melakukan perjudian. D. Perbandingan Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Oleh Remaja Berikut ini akan dijelaskan tabel perbandingan bentuk kenakalan yang dilakukan oleh remaja di Kelurahan Tammua sebagai berikut: Tabel 25 Distribusi Perbandingan Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Remaja No Bentuk Kenakalan Frekuensi (F) Presentase (%) 1 Perkelahian 36 94.7 2 Pencurian 32 84.2 3 Pemakaian Narkoba 5 13.1 4 Meminum Minuman Keras 35 92.1 5 Perjudian 33 86.8 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011 Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa perbandingan bentuk kenakalan yang dilakukan oleh remaja yaitu perkelahian sebanyak 36 orang atau sebanyak 94.7%, alasan mereka melakukan perkelahian yaitu: karena ajakan 74 teman dan inisiatif sendiri. Sedangkan yang sering minum-minuman keras sebanyak 35 orang atau sebanyak 92.1%, alasan mereka minum-minuman keras yaitu: karena menghilangkan stress, pengaruh teman, dan ada juga yang Cuma coba-coba. Dan yang sering berjudi sebanyak 33 orang atau sebanyak 86.8%, alasan mereka berjudi karena menambah uang, dan sebagiannya hanya ikutikutan sama teman. Kemudian yang melakukan pencurian sebanyak 32 orang atau sebanyak 84.2%, alasan mereka melakukan pencurian Karena butuh uang atau karena faktor ekonomi, dan yang memakai narkoba atau sejenisnya sebanyak 5 orang atau sebanyak 13.1%, alasan mereka memakai narkoba yaitu: karena menghilangkan stress, pengaruh dari teman, dan ada juga yang hanya coba-coba. Dari kelima bentuk kenakalan diatas dapat dilihat bahwa bentuk kenakalan yang sering terjadi yaitu perkelahian, dan pada umumnya kenakalan remaja dipengaruhi oleh ajakan teman atau gengnya. Kehadiran teman dan keterlibatannya di dalam suatu kelompoknya senang melakukan hal yang sama. Umumnya pengaruh dari teman sangat besar, seseorang yang telah merasa cocok dengan teman tentu cenderung untuk mengikuti gaya teman atau kelompoknya itu. Adalah sangat sulit apabila tidak mau mengikuti gaya kelompoknya yang dirasa buruk sambil tetap mempertahankan diri dalam kelompok itu, dia akan diasingkan, sebab tidak mau mengikuti gaya mereka. Jadi meskipun seorang remaja yang telah dididik dengan nilai-nilai keagamaan dapat terjerumus 75 kedalam perbuatan nista. Tentu pada mulanya ia menolak, mungkin ia merasa malu atau takut pada Tuhan dan macam-macam perasaan lainnya. Tetapi lama kelamaan dia melakukannya karena didorong oleh teman-temannya. Pengalaman ini menimbulkan keinginan untuk mengulangi dilain kesempatan. Kenakalan remaja muncul akibat terjadinya interaksi sosial antara individu (remaja) dengan kelompok teman sebaya. Peran interaksi dengan kelompok teman sebaya tersebut dapat berupa imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati. Remaja dapat meniru (imitasi) kenakalan yang dilakukan teman sebayanya, sementara itu sugesti bahwa kebut-kebutan dan penggunaan narkotika adalah remaja ideal, dapat mengakibatkan remaja yang mulanya baik menjadi nakal. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya yang mengarahkan remaja menjadi nakal atau tidak juga ditentukan bagaimana persepsi remaja terhadap kelompok teman sebayanya tersebut. Persepsi memegang peran penting bagi tinggi rendahnya kecendrungan kenakalan remaja, yang dalam tahapan selanjutnya dapat menjadi aksi nyata berupa perilaku nakal yang merugikan lingkungan dan dapat dikenai sangsi pidana. Dengan kata lain, jika remaja melihat bahwa kelompok teman sebayanya adalah media yang tepat untuk menyalurkan keinginan negatif atau tujuan-tujuan negatif lainnya, maka tinggi pulalah kecendrungan remaja untuk berperilaku nakal. Penilaian seperti itu tentu saja penilaian negatif remaja terhadap teman sebayanya. 76 Olehnya itu peranan orang tua sangat menentukan, nakal atau tidak nakalnya remaja tergantung pada orang tua, kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya menyebabkan remaja senang berada diluar, sebab itu pergaulan remaja tidak terbatas pada teman sekolahnya saja, dapat saja dengan teman dari suatu organisasi lain, bahkan dengan teman geng atau kelompok remaja di kotanya. Hal ini terjadi pada remaja yang ada di Kelurahan Tammua, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 38 responden yang melakukan kenakalan itu adalah sebagian besar remaja yang masuk dalam geng di Kota Makassar. 77 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan yaitu: perkembangan kenakalan remaja di Kelurahan Tammua tidaklah terlalu menyolok akan tetapi sudah sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan bentuk kenakalan remaja yang dilakukan oleh kalangan remaja adalah perkelahian dan minum-minuman keras merupakan kenakalan yang paling banyak dilakukan oleh remaja di Kelurahan Tammua, yakni sekitar 36 orang atau sekitar 94.7% untuk perkelahian dan minumminuman keras sebanyak 35 orang atau sebanyak 92.1%. Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kenakalan remaja yaitu dengan melakukan upaya preventif melalui sistem pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya suatu kenakalan atau kenakalan dapat dikurangi. B. Saran Berikut ini penulis akan mengetengahkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya orang tua, pendidik, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda/remaja, dan aparat penegak hukum (polisi) dalam berhadapan dengan kenakalan remaja khususnya di Kelurahan Tammua sebagai berikut : 78 1. Membina lingkungan dan meningkatkan kualitas keluarga sehingga kedua orang tua berkesempatan membina dan mengembangkan kepribadian dan akhlak anak-anak mereka dan membahagiakannya. Waktu kedua orang tua di rumah perlu di intensifikasi penggunaannya terutama dalam hal berkomunikasi dengan anak-anaknya supaya rasa kasih sayang, perhatian, dan pengarahan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 2. Perlunya pendidikan dalam keluarga untuk menanamkan nilai moralitas dan disiplin akan memberikan pedoman bagi terbentuknya pribadi anak yang dapat memperkecil kenakalan remaja. 3. Masih perlunya remaja diberikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif, seperti kegiatan remaja masjid, kegiatan keterampilan, kegiatan olah raga dan sebagainya.yang tentunya dengan kegiatan itu remaja menjadi lebih kreatif dan berwawasan luas. 4. Penting adanya koordinasi semua pihak, khusunya yang mempunyai tanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup remaja, yakni koordinasi orang tua dengan guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda/remaja, dan pihak aparat penegak hukum (polisi). Selanjutnya dengan koordinasi ini dapat mencarikan solusi dalam menanggulangi kenakalan remaja, khususnya kenakalan remaja yang terjadi di Kelurahan Tammua. 79 DAFTAR PUSTAKA Drs. Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers. Eitzen, Stanlen D, 1986, Social Problems, Boston, Sydney, Toronto. Allyn and Bacon inc. Evi yulianti, Pengertian-Kenakalan-Remaja-Makalah, 30 April 2011, http://www.Psikonselingblogspot.com Gunarsa Singgih D at al, 1988, Psikologi Remaja, Jakarta, BPK Gunung Mulya. Kartini Kartono,1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali. Kaufman, James, M, 1989, Characteristics of Behaviour Disorders of Children and Youth, Columbus, London, Toronto, Merril Publishing Company. Masngudin, Kenakalan remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan keberfungsian Sosial Keluarga, 30 April 2011, http://www.Depsos.go.id Nazir, Moh, 1985, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia. Sartono, Suwarniyati, 1985, Pengukuran Sikap Masyarakat terhadap Kenakalan Remaja di DKI Jakarta, Jakarta, laporan penelitian, UI. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES. Soekanto, Soerjono, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Jakarta: Rajawali. Soekanto, Soerjono, 2002. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press. 80