View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang
melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia
remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa (Kartono, 2003). Kenakalan remaja
dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang.
Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat
penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan
norma sosial yang berlaku (Kartono, 2003). Perilaku menyimpang dapat dianggap
sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial.
Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa
ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti
telah menyimpang.
Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang
melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang
berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan
mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah
tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut
dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara. Sama halnya
1
dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai
suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16
dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai sangsi atau hukuman.
Sarwono (2002)
mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku
yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990)
menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat merusak
dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga
menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai perilaku, dari
perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan kriminal.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan
kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang
melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap
dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur 17 tahun.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan
adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya
karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang
menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan
(Masngudin, 2004). Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut,
adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang
dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam Soekanto, 1988), mengatakan bahwa
tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai
2
dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap
manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi
mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud
penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari
dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan
Remaja” bisa dilihat melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem.
Pendekatan individual melihat Kenakalan Remaja dari sisi sosialisasi. Berdasarkan
pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia
tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di
kalangan anak dan remaja, (Kauffman 1989) mengemukakan bahwa perilaku
menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku
disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak,
melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak
benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar
sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat
termanifestasikan dalam beberapa hal.
Suatu kenakalan pasti ada sebab. Berbicara mengenai kenakalan remaja, maka
hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja sangatlah komplek.
Adapun hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya kenakalan siswa adalah sebagai
berikut:
3
1. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga yang kurang menerapkan disiplin kepada anakanaknya dapat juga mempengaruhi terjadinya kenakalan remja, bahwa penyebab
yang paling utama di lingkungan keluarga adalah karena sifat egois dari anak
tersebut, penyebab ini bisa diartikan sebagai kemauan dari si anak itu sendiri
Kemarahan orang tua yang berlebihan terhadap anak juga dapat menimbulkan
bermacam reaksi dari anak yang pada akhirnya akan menyeret anak untuk
melakukan kenakalan.
2. Lingkungan Sekolah
Di samping lingkungan keluarga hal yang terpenting dari sebab-sebab
timbulnya kenakalan adalah lingkungan sekolah. Sekolah juga bisa menyebabkan
timbulnya kenakalan, yang mana penyebab terjadinya kenakalan dipicu dari
adanya pengaruh teman-temanya. Hal ini sangatlah wajar apabila pengaruh dari
teman itu merupakan penyebab yang utama. Karena pergaulan anak-anak
sekarang ini sangatlah bebas apalagi didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan
yang begitu cepat. Sehingga apabila anak tidak memiliki teman yang baik maka ia
akan terjerumus kepada hal-hal yang negatif, yang dapat merugikan diri sendiri
dan dapat menular kepada teman-teman yang lain.
3. Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat disini dimana anak melakukan hubungan
sosialnya, baik dengan teman sebayanya maupun dengan orang yang lebih
4
dewasa. Di lingkungan masyarakat itulah anak/ remaja menghabiskan sebagian
dari waktu luangnya. Jadi tidak heran kalau kenakalan yang terjadi pada anak
remaja disebabkan karena lingkungan masyarakat.
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial
dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi
kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan
pengetahuan yang diserap (Masngudin, 2004). Salah satu variasi dari teori yang
menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota
mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut
mempunyai karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen 1986) mengatakan tingkat
kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian
wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar,
overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang
tidak stabil.
Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Kelurahan
Tammua Makassar tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland
dalam (Eitzen, 1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal
melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang
akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai
devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan tindakan
kriminal.
5
Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial
yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial
sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh Eitzen (1986) bahwa seorang dapat menjadi
buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini
dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala
disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat.
Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya
berbagai bentuk penyimpangan perilaku.
Pada masyarakat yang disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan
sekedar ketidak pastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih
dari itu, perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian
dianggap sebagai yang biasa dan wajar.
Kelurahan Tammua yang merupakan salah satu kelurahan yang ada di
Kecamatan Tallo Kotamadya Makassar memiliki hampir semua ciri-ciri seperti
disebutkan Eitzen diatas. Kelurahan Tammua termasuk wilayah kota Makassar yang
miskin dengan pemukiman yang padat. Ini artinya Kelurahan Tammua memiliki
tingkat kepadatan penduduk yang sama dengan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang masih tergolong menengah kebawah. Disamping itu rata-rata masyarakat yang
ada bekerja pada sektor informal.
Hal inilah yang melatar belakangi peneliti memilih judul tentang Kenakalan
Remaja (Kasus di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar).
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah yang hendak diteliti
secara spesifik dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk kenakalan remaja yang terjadi di Kelurahan
Tammua Makassar?
C. Tujuan dan Kegunaan penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas dapat dikemukakan tujuan penelitian adalah:

Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kenakalan remaja yang terjadi
di Kelurahan Tammua Makassar.
2. Kegunaan Penelitian
a. Dapat menjadi masukan bagi pemecahan masalah-masalah sosial dalam
melihat Kenakalan Remaja ditengah masyarakat.
b. Dapat menjadi rujukan dan komparatif penelitian lain yang berhubungan
dengan penelitian ini.
c. Dapat menjadi bahan pustaka bagi pengembangan ilmu sosial dan ilmu
politik.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Pada dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja
yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini
Kartono (1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak
cacat sosial karena interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan
lingkungan sosialnya. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh
sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh
masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan” (Kartini Kartono 1983 :
93). Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam
tiga tingkatan ;
1. Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi
dari rumah tanpa pamit.
2. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai
mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin.
3. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah,
pemerkosaan, dan lain-lain.
Sedangkan bentuk-bentuk kenakalan remaja, menurut Jensen (dalam
Sarwono, 1994) dikategorikan empat jenis kenakalan remaja, yaitu:
8
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik orang lain: perkelahian, perkosaan,
perampokan, dan pembunuhan.
b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: Pengerusakan, pencurian,
pencopetan, dan pemerasan.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak lain: pelacuran,
penyalahgunaan obat, dan hubungan seks sebelum nikah.
d. Kenakalan melawan status: membolos sekolah, minggat dari rumah atau melawan
perintah orangtua.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk
kenakalan remaja menurut Jensen (dalam Sarwono, 1984) dikategorikan 4 jenis
kenakalan remaja, yaitu: kenakalan yang menimbulkan korban fisik orang lain,
kenakalan yang menimbulkan korban materi, kenakalan sosial yang tidak
menimbulkan korban dipihak lain, kenakalan melawan status.
Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang,
pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soekanto, 1985 ). Bahwa
perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai
fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method”. Menurut
Emile Durkheim, dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak
mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal
sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku
tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang
9
tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku
nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat.
Adapun kerangka konseptual dari penulis yang berkaitan dengan hal yang
diteliti sebagai berikut:
Remaja
Interaksi
Bentuk-bentuk
Kenakalan Remaja
yang terjadi
10
B. Pengertian Kenakalan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1996, kenakalan dengan kata dasar
nakal adalah suka berbuat tidak baik, suka mengganggu, dan suka tidak menurut.
Sedangkan kenakalan adalah perbuatan nakal, perbuatan tidak baik dan bersifat
mengganggu ketenangan orang lain; tingkah laku yang melanggar norma kehidupan
masyarakat.
Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan itu
bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat di mana ia hidup. Suatu
perbulatan anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
Menurut Sudarsono (2004) kenakalan adalah: “Bukan hanya merupakan perbuatan
anak yang melawan hukum semata, akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan
yang melanggar norma masyarakat.”
Dengan demikian masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan
remaja dirasakan sangat mengganggu, dan merisaukan kehidupan masyarakat, bahkan
sebagian anggota masyarakat menjadi terancam hidupnya.
C. Pengertian Remaja
Remaja merupakan terjemahan dari kata dari kata adolescence yang berasal
dari bahasa latin adolescence/ adults yang berarti menjadi dewasa atau dalam
perkembangannya menjadi dewasa. Banyak ahli yang mengemukakan tentang usia
remaja. Hurlock (1973) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung dari usia 13-18
tahun, dan membaginya menjadi dua periode, yaitu masa remaja awal yang
11
berlangsung dari usia 13-16 atau 17 tahun dan masa remaja akhir yang berlangsung
dari usia 16 atau 17-18 tahun.
Monks, dkk (2002) mengatakan bahwa remaja berlangsung dari usia 12-21
tahun, dan membaginya menjadi tiga periode yaitu remaja awal atau masa puber yang
berlangsung dari usia 12-15 tahun, remaja pertengahan yang berlangsung dari usia
15-18 tahun, dan yang terakhir adalah remaja akhir yang berlangsung dari usia 18-21
tahun.
Perkembangan kognisi remaja berimplikasi pada perkembangan sosialnya.
Dalam sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak yaitu gerak meninggalkan
diri dari keluarga dan gerak menuju teman sebaya. Gerak tersebut merupakan reaksi
dari status interim yang dialami remaja (Monks, dkk., 2002) yang mengisyarakatkan
usaha remaja untuk masuk kedalam lingkup sosial yang lebih luas.
Istilah Remaja nampaknya istilah paling populer yang sering digunakan untuk
menilai kedewasaan seseorang. Setiap kali disebut remaja, maka pikiran seseorang
pasti terfokus pada manusia yang berpikiran dewasa.
Untuk memperjelas arah pandangan kita tentang remaja dan membantu dalam
menghidari kekaburan menentukan masa remaja maka Zakiyah Daradjat (1975)
mendefinisikan remaja sebagai berikut : “Remaja adalah anak yang berada pada masa
peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa”.
Pada masa peralihan ini biasanya terjadi percepatan pertunbuhan secara fisik
maupun psikis. Baik ditinjau dari bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak
12
mereka bukan lagi anak-anak. Mereka juga belum dikatakan manusia dewasa yang
memiliki kematangan pikiran. Zakiyah Daradjat membatasi masa remaja antara usia
13 tahun hingga 24 tahun.

Remaja Menurut Hukum
Konsep tentang remaja, bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan
berasal dari bidang ilmu-ilmu sosial lainnya seperti Antropologi, sosiologi,
psikologi kecuali itu, konsep remaja juga merupakan konsep yang relatif baru,
yang muncul kira-kira setelah era industrialisasi merata di negara-negara Eropa,
Amerika Serikat dan Negara-negara maju lainnya dengan kata lain, masalah
remaja baru menjadi pusat perhatian ilmu-ilmu sosial dalam 100 tahun terakhir
ini saja.
Tidak mengherankan kalau dalam berbagai undang-undang yang ada di
berbagai negara di dunia tidak dikenal istilah remaja. Di Indonesia sendiri,
konsep remaja tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku.
Hukum Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan
yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam.
Hukum perdata misalnya, memberikan batas usia 21 tahun (kurang dari
itu asalkan sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang dibawah
usia tersebut seseorang masih membutuhkan wali (orang tua).
13
Disisi lain, hukum pidana memberi batasan 18 tahun sebagai usia dewasa
(yang kurang dari itu tetapi sudah menikah). Anak-anak yang berusia kurang
dari 18 tahun masih menjadi tanggung jawab orang tuanya kalau ia melanggar
hukum pidana. Tingkah laku mereka yang melanggar hukum itu pun (misalnya :
mencuri) belum disebut sebagai kejahatan (kriminal) melainkan hanya disebut
sebagai kenakalan. Kalau ternyata kenakalan anak itu sudah membahayakan
masyarakat dan patut dijatuhi hukuman oleh negara dan orang tuanya ternyata
tidak mampu mendidik anak itu lebih lanjut, maka anak itu menjadi tanggung
jawab negara dan dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan khusus anakanak. Sebaliknya, jika usia seseorang sudah diatas 18 tahun, jika ia melakukan
pelanggaran hukum pidana, langsung ia bisa dikenai sanksi hukuman pidana
(dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan).

Remaja Ditinjau dari Sudut Perkembangan Fisik
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait (seperti biologi
dan ilmu faal) remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik dimana
alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti
alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh
bentuknya yang sempurna dan secara faal, alat-alat kelamin tersebut sudah
berfungsi secara sempurna pula. Pada akhir dari peran perkembangan fisik ini
akan terjadi seorang pria yang berotot dan berkumis/berjenggot yang mampu
menghasilkan beberapa ratus juta sel mani (spermatozoa) setiap kali ia
14
berejakulasi (memancarkan air mani) atau seorang wanita yang berpayudara dan
berpinggang besar yang setiap bulannya mengeluarkan sebuah sel telur dari
indung telurnya.

Batas Remaja Menurut WHO
Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih
bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu
biologik, psikologik dan sosial ekonomi sehingga secara lengkap definisi tersebut
berbunyi sebagai berikut :
Remaja adalah suatu masa dimana :
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1980).
Pada tahun-tahun berikutnya, definisi ini makin berkembang kearah yang
lebih kongkret operasional. Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan,
masalah yang terutama dirasakan mendesak mengenai kesehatan remaja adalah
kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini WHO
menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Kehamilan
15
dalam usia-usia tersebut memang mempunyai resiko yang lebih tinggi (kesulitan
waktu melahirkan, sakit/cacat/kematian bayi/ibu) daripada kehamilan dalam
usia-usia diatasnya (Sanderowitz & Paxman, 1985 ; Hanifah, 2000).
Selanjutnya WHO menyatakan walaupun definisi diatas terutama
didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga
untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam 2 bagian yaitu
remaja awal 10-14 tahun darn remaja akhir 15-20 tahun. Dalam hal ini,
perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai
usia pemuda dalam rangka pemutusan mereka untuk menetapkan tahun 1985
sebagai tahun pemuda internasional (Sanderowitz & Paxman, 1985; Hanifah,
2000).
Di Indonesia batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang
pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun yang dikemukakan dalam sensus
penduduk 1980. Menurut hasil sensus ini, jumlah remaja di Indonesia pada tahun
tersebut adalah 338.075 jiwa atau 18,5% dari seluruh penduduk Indonesia.

Definisi Remaja untuk Masyarakat Indonesia
Mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan
menetapkan definisi remaja secara umum. Masalahnya adalah karena Indonesia
terdiri dari berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial ekonomi maupun
pendidikan. Walaupun demikian, sebagai
pedoman umum
kita dapat
16
menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja
Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1) Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual
sekunder mulai nampak (kriteria fisik)
2) Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik,
baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi
memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
3) Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan
jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson),
tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud)
dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral
(Kohlberg) (kriteria psikologik).
4) Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberikan
peluang
bagi
mereka
yang
sampai
batas
usia
tersebut
masih
menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh
sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum bisa memberikan
pendapat sendiri dan sebagainya. Dengan perkataan lain, orang-orang yang
sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan
secara sosial maupun psikologik, masih dapat digolongkan remaja.
Golongan ini cukup banyak terdapat di Indonesia, terutama dari kalangan
masyarakat kelas menengah ke atas yang mempersyaratkan berbagai hal
17
(terutama pendidikan setinggi-tingginya) untuk mencapai kedewasaan.
Tetapi dalam kenyataannya cukup banyak pula orang yang mencapai
kedewasaannya sebelum usia tersebut.
5) Dalam definisi diatas, status perkawinan sangat menentukan, karena arti
perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh.
Seorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan
diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun
dalam kehidupan masyarakat dan keluarga, karena itu definisi remaja disini
dibatasi khusus untuk yang belum menikah.
Sedangkan menurut Hasan Basri menilai remaja sebagai kelompok manusia
yang tengah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan
dan menuju masa pembentukan tanggung jawab. Masa remaja ditandai dengan
pengalaman baru yang sebelumnya belum pernah dialami baik dalam bidang fisikbiologis maupun psikis atau kejiwaan.
Seorang Ahli, yakni Luella Cole yang disajikan Y. Bambang Mulyono (1986)
mengatakan :
“Masa Adolesensi adalah sekitar 13-21 tahun” beliau membagi tiga tingkatan yaitu :
1. Awal Adolesensi yaitu umur antara 13-15 tahun.
2. Pertengahan Adolesensi yaitu umur antara 16-18 tahun.
3. Akhir Adolesensi yaitu umur antara 19-21 tahun.
18
Perbedaan-perbedaan pandangan diatas tidak akan mengurangi kemungkinan
bagi kita untuk mengenal batas umur masa remaja. Batas umur yang umum diterima
ialah sekitar 13-21 tahun. Agaknya penggolongan Leulla Cole dapat mewakili
sehingga dapat dikatakan masa remaja meliputi tahap awal Adolesensi, pertengahan
dan akhir. Untuk lebih memahami dan mengenal remaja selain dari batas umur, sisi
lain dari remaja yang perlu perlu di ketahui yaitu :
1. Keadaan Fisik
Secara fisik yaitu tubuh atau jasmani, remaja mengalami pertambahan
tinggi badan dan berat badan. Selain pertambahan tinggi badan, remaja juga
mengalami pertambahan berat badan yang kurang lebih berjalan parallel
dengan bertambahnya tinggi badan.
2. Perkembangan Intelektual
Dalam masa remaja, kegiatan intelektual mulai berkembang
kemampuannya untuk menangkap arti fundamental terhadap sesuatu objek
atau esensinya. Seseorang remaja tidak dapat puas hanya melihat dari segi
luarnya saja tetapi mulai mengambil jarak dan menemukan jawaban, Mengapa
perbuatan itu harus dilakukan atau mengapa hal tersebut berbentuk demikian.
Mencari alasan-alasan, sebab-sebab, arti/makna tujuan atau fungsi dari obyek
peyelidikannya dan memberi kesimpulan-kesimpulan yang logis.
19
3. Perkembangan Emosionalitas
Sifat dan keadaan emosionalitas remaja dalam keadaan dan situasi
tertentu emosinya meluap-luap dan dalam keadaan tertetu pula ia menjadi
sabar maupun tenang. Keadaan atau suasana hati yang mudah berubahubah/tidak stabil ini disebabkan oleh perubahan fisik dan psikisnya karena
remaja berada dalam masa transisi.
4. Perkembangan Sosial
Lingkup interaksi remaja yang semula pada masa kana-kanaknya
hanya terbatas pada relasi dengan orang tua dan anggota keluarga. Kemudian
ciri khas hubungan sosial lain masa remaja ialah timbulnya rasa tertarik
terhadap lawan jenis tertentu. Timbul pula rasa rindu dan ingin mendekati
atau senantiasa bersama-sama.
5. Perkembangan Relegiusitas
Sesuai dengan perkembangan kepribadiannya, remaja merasakan
pengalaman dibidang agama sehingga mereka mengakui dan menyadari
hakekat kejadiannya sebagai manusia bahwa ada yang lebuh berkuasa
daripada manusia, lebih tinggi, lebih besar, lebih agung, lebih mulia yaitu
Allah. Bahkan mereka memikirkan tentang siapa yang menciptakan manusia
dan berbagai macam pertanyaan yang muncul di hati para kaum remaja.
20
6. Perkembangan Rasa Seni
Pada masa anak-anak, perkembangan rasa seninya tidak semaju
dengan masa remaja, sebab tingkat perkembangan itu di tentukan juga oleh
hasil-hasil dialog pengalamanya dengan dunia. Baik dia memiliki bakat atau
minat dalam suatu karya seni, dia akan mengalami peningkatan karena hasil
dialog pengalaman tersebut. dalam dunia remaja seseorang telah menyadari
relasi ekstensi dirinya dengan dunia nyata.
D. Definisi Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari
bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada
masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal
dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang
kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar
aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile
delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anakanak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja
mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat
diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. (Kartono,
2003).
21
Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku
yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja
yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka
akan mendapat sangsi hukum. (Hurlock, 1973) juga menyatakan kenakalan
remaja adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana
tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk
penjara. Sama halnya dengan (Conger, 1976) & (Dusek, 1977) mendefinisikan
kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang
individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang
dapat dikenai sangsi atau hukuman.
Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku
yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990)
menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat
merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock
(1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai
perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan
kriminal.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan
kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang
melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik
22
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur
17 tahun.
Menurut Gold dan Petronio (dalam Sarwono, 1994) kenakalan remaja
merupakan tindakan oleh seseorang yang belum dewasa, yang sengaja melanggar
hukum dan diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat
diketahui oleh petugas hukum, ia bisa dikenai hukuman.
Kartono (1989) mendefinisikan kenakalan remaja adalah anak-anak muda
(biasanya di bawah usia 18 tahun) yang selalu melakukan kejahatan dan
melanggar hukum, yang dimotivir oleh keinginan mendapatkan perhatian, status
sosial, dan penghargaan dari lingkungannya.
Walgito (dalam Sudarsono, 2004) mendefinisikan kenakalan remaja
sebagain besarnya kemungkinan remaja untuk melakukan tindakan yang
melanggar hukum dan peraturan yang berlaku, dan jika dilakukan oleh orang
dewasa maka perbuatan itu merupakan kejahatan.
Kenakalan remaja atau yang sering disebut Juvenille Delinguency
bukanlah menunjuk suatu perbuatan biasa sehingga dapat dimaklumi atau
diterima begitu saja. Tetapi kenakalan remaja disini juga tidak dapat disamakan
begitu saja. dengan perbuatan kejahatan (crime) yang dipakai untuk menunjukkan
perbuatan kriminal orang dewasa. Perlu dibedakan sifat dan bentuk seorang anak
remaja dengan perbuatan orang dewasa. Perbuatan orang dewasa telah didasari
oleh keputusan dan tanggung jawab penuh dalam arti sosial maupun pribadi,
23
sedangkan untuk anak remaja perlu dipertimbangkan proses perkembangannya
yang belum difinit, karena mereka masih berada dalam masa pencarian identitas
diri dalam masa transisi yang secara fisik dan mental belum matang.
Pengaruh lingkungan atau faktor eksternal masih banyak mempengaruhi
pembentukan identitas seorang remaja. Umumnya bila lingkungannya baik, maka
memungkinkannya menjadi seorang yang matang pribadinya. Tanpa harus
mengalami masalah-masalah atau beban yang menghambat perkembangannya.
Sedangkan apabila lingkungan yang buruk, akan mendorongnya kepada hal yang
cenderung negatif.
Pendapat lain mengenai pengertian kenakalan remaja adalah perbuatan
dan tingkah laku, pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana dan
pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh anak. Sedangkan menurut
Fuad Hasan (dalam Sudarsono, 2004) adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan
oleh anak remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan
sebagai tindakan kejahatan.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan
kenakalan remaja dapat diartikan sebagai tinggi rendahnya kemungkinan remaja
untuk melakukan perbuatan atau kejahatan atau pelanggaran yang bersifat
mengarah melanggar hukum, anti sosial, antisusila dan menyalahi norma agama.
Kenakalan remaja meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan
24
dengan peraturan hukum tertulis, baik yang terhadap KUHP (Kitab Undang
Hukum Perdata) maupun Undang-Undang diluar KUHP.
E. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja
Singgih D. Gunarso (1988), mengatakan dari segi hukum kenakalan
remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma
hukum yaitu :
a) Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undangundang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran
hukum.
b) Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai
dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan
melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa.
Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja
kedalam tiga tingkatan ;
1) Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah,
pergi dari rumah tanpa pamit.
2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti
mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin.
3) Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar
nikah, pemerkosaan dll.
25
Sedangkan Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi
empat bentuk yaitu:
a) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.
b) Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
c) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.
d) Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai
pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.
Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja
terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas,
mencuri, dan mencopet.
c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orang
tua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat
izin, dan kabur dari rumah.
d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti
mengendarai
motor
dengan
kecepatan
tinggi,
memperkosa
dan
menggunakan senjata tajam.
26
Berdasarkan jenis pelanggarannya Mulyono (1984) membagi perilaku delinkuen
itu menjadi dua yaitu:

Perilaku delinkuen bersifat moral dan anti sosial, yeng tidak diatur dalam
undang-undang sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
hukum seperti berbohong.

Perilaku delinkuen yang bersifat melanggar hukum dan mengarah pada
tindakan Kriminal seperti berjudi, menjambebret, merampok, oembunuhan,
dan lain-lain.
Menurut Hawari (1996) remaja dalam kehidupannya sehari-hari hidup
dalam tiga kutub yaitu kutub keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga kutub ini
akan menghasilakan dampak positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah
perilaku menyimpang yang ditandai atau kriteria gejala-gejala berikut: Sering
membolos, terlibat kenakalan remaja sehingga ditangkap atau diadili, dikeluarkan
atau diskors dari sekolah, sering lari dari rumah, selalu berbohong, sering
melakukan hubungan seks, sering mabuk atau menggunakan obat terlarang,
sering mencuri, sering merusak barang orang lain, prestasi disekolah yang jauh
dibawah taraf kemampuan kecerdasan, sering melawan otoritas yang lebih tinggi,
seringkali memulai perkelahian.
Senada dengan pendapat di atas Kartono (2003) menjelaskan wujud
perilaku delinkuen, diantaranya:
27
1) Kebut-kebutan dijalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan
membahayakan jiwa sendiri dan orang lain.
2) Perilaku ugal-ugalan, berandalan urakan yang mengacau kententraman
lingkungan sekitar.
3) Perkelahian antar geng, antara kelompok, antar sekolah, antar suku,sehingga
kadang-kadang membawa korban jiwa.
4) Membolos sekolah lalu mengelandang sepanjang jalan.
5) Kriminalitas anak, remaja dan kenakalan seperti mengancam, imitidasi,
mencuri dan lain lain.
Menurut Kartini Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan
remaja dibagi menjadi empat, yaitu :
A. Kenakalan Terisolir (Delinkuensi Terisolir)
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada
umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal
mereka didorong oleh faktor-faktor berikut :
a) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada
motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
b) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya
yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya
gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja
28
merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise
tertentu.
c) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis,
dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja
memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal.
Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.
d) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan
supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia
tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya,
delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial,
mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun
pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku
kriminalnya, paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perilakunya
pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan
dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang
dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.
B. Kenakalan Neurotik (Delinkuensi Neurotik)
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan
yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman,
merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya
adalah :
29
a) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat
dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai
subkultur gang yang kriminal itu saja.
b) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang
belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat
pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya.
c) Biasanya
remaja
ini
melakukan
kejahatan
seorang
diri,
dan
mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa
kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik.
d) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun
pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan
emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau
psikotik.
e) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari
lingkungan.
f) Motif kejahatannya berbeda-beda.
g) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).
C. Kenakalan Psikopatik (Delinkuensi Psikopatik)
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari
kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal
yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah :
30
1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak
pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan
orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak
mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu
menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan
pelanggaran.
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang
kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan
impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk
penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan normanorma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma
subkultur gangnya sendiri.
5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga
mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat
merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut:
tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah
bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan
norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu
31
menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis
terhadap siapapun tanpa sebab.
D. Kenakalan Defek Moral (Delinkuensi Defek Moral)
Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera,
cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan
tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan,
namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen
tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah
lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya,
mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan
kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin
tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat
kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan
super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga
sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan
prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang
meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar
diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena
didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitif, di antara para
penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 % mengalami kerusakan psikis,
berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita
32
defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang menjadi penjahat disebabkan
oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.
33
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
A. Dasar dan tipe penelitian
a) Dasar penelitian
Dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei
dengan unit analisa masyarakat secara individu dari sebagian populasi
yang dianggap dapat mewakili (representatif) dari seluruh populasi
b) Tipe penelitian
Adapun tipe penelitian yang direncanakan yaitu penelitian
deskriptif (descriptive research) dengan menggambarkan fenomena dan
karakteristik dari suatu populasi dan dimaksudkan untuk eksplorasi dan
klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2011 atau
selama dua bulan. Sesuai dengan judul penelitian ini adalah remaja yang
berdomisili di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar. Lokasi
ini dipilih karena mudah dijangkau dan representatif, sehingga akan
34
memudahkan penulis dalam proses pengumpulan data terutama komunikasi
langsung dengan informan.
C. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
a. Populasi
Populasi penelitian ini adalah remaja yang berusia 13 tahun sampai
dengan 18 tahun, dengan jumlah remaja sebanyak 374 orang yang ada di
Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar yang ditentukan atas
dasar tujuan penelitian
b. Teknik Penarikan Sampel
Teknik penarikan sampelnya simple random sampling yaitu Sampel
acak sederhana yang diambil dengan sedemikian rupa sehingga setiap unit
penelitian dari populasi mempunyai kesempatan untuk dipilih sebagai
sampel, sehingga hasilnya nanti dapat dievaluasi secara obyektif,
terpilihnya sampel harus benar-benar berdasarkan faktor kebetulan, bebas
dari subyektifitas si peneliti atau subyektifitas orang lain. Sampel yang
diambil 10% dari populasi yaitu: 38 orang.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting, dengan
teknik yang harus valid. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
35
a. Kuisioner (Daftar Pertanyaan)
Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk memperoleh data
responden dengan sejumlah pertanyaan tertulis, baik yang sifatnya
tertutup maupun terbuka yang nantinya akan dijadikan sebagai pegangan
untuk menggambarkan fenomena yang ada sesuai dengan data yang
dipeoleh.
b. Pengamatan (observasi)
Yaitu berupa pengamatan secara langsung di lapangan untuk
mengetahui hal yang berhubungan dengan masalah penelitian. Ini
dimaksudkan untuk mengetahui obyektivitas dari kenyataan yang ada
tentang keadaan dan kondisi objek yang akan diteliti. Penggunaan teknik
observasi ini dimaksudkan untuk mengungkap fenomena yang tidak
diperoleh melalui teknik wawancara.
c. Wawancara (Interview)
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan secara lisan dan langsung (bertatap muka) dengan responden
yang ditunjang oleh pedoman wawancara. Hal ini akan lebih
mempertajam pertanyaan pada kuisioner, sehimgga data yang tidak dapat
diperoleh melalui kuisioner dapat dilakukan dengan wawancara secara
langsung kepada responden.
36
E. Jenis atau sumber data
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui hasil observasi dan
wawancara dengan responden atau informan.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa literatur yang terkait
dengan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian.
F. Analisis data
Sesuai dengan tipe penelitian maka data yang diperoleh akan
dikumpulkan dan dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan tabel
frekuensi yang meliputi, kegiatan mengorganisasikan data kedalam susunansusunan tertentu dalam rangka penginterpretasian data. Kemudian hasil dari
tabel frekuensi diinterpretasikan secara kualitatif sebagai penjelasan dari hasil
penelitian tersebut, hal ini untuk menjamin kualitas data dan kualitas hasil
penelitian itu sendiri.
37
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. KEADAAN GEOGRAFI
Kelurahan Tammua adalah salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan
Tallo Kota Makassar, yang memiliki luas ± 92 Ha/m2. Adapun batas-batas
lingkungan Kelurahan Tammua secara geografis adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Rappokalling, Kecamatan Tallo.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Karuwisi Utara, Kecamatan
Panakukkang.
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Rappojawa, Kecamatan Tallo.
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan
Pampang, Kecamatan
Panakukkang.
B. KEADAAN DEMOGRAFI
Berdasarkan data sekunder pada tahun 2009 yang di peroleh dari Kantor
Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar, bahwa jumlah Kepala
Keluarga (KK) sebanyak 2218 KK. Dimana total penduduk 10597 jiwa dengan
penduduk laki-laki sebesar 5350 jiwa dan penduduk wanita sebesar 5247 jiwa.
Kelurahan Tammua terdiri atas 6 RW dengan jumlah KK masing-masing RW
dapat dilihat seperti pada tabel 1 dibawah ini :
38
Tabel 1 Distribusi KK berdasarkan RW di Kelurahan Tammua
Kecamatan Tallo Kota Makassar
RW
JUMLAH KK
%
I
399
17.99
II
329
14.83
III
376
16.95
IV
459
20.69
V
264
11.90
VI
391
17.63
Total
2218
100
Sumber; Data sekunder, tahun 2009
Dari tabel 1 diatas dapat di ketahui bahwa jumlah KK yang paling banyak
terdapat di RW IV yaitu sebanyak 20.69% dari total KK atau sekitar 459 KK di
Kelurahan Tammua, dan yang paling sedikit, terdapat di RW V sebesar 11.90 %
atau sebanyak 264. Kemudian di RW I terdapat 339 KK atau sebanyak 17.99%,
sedangkan di RW II sebanyak 329 KK atau sebanyak 14.83%, selanjutnya di RW
III sebanyak 376 KK (16.95%). Dan yang terakhir di RW VI yaitu sebanyak 391
KK atau sebanyak 17.63%. Di RW IV ini kebanyakan mereka mengontrak rumah
tetapi mereka harus juga mengisi KK sehingga di RW IV ini yang paling banyak
jumlah KKnya.
Kemudian dapat dilihat tabel Rukun Warga (RW) berdasarkan jumlah
Rukun Tetangga (RT) sebagai berikut:
39
Tabel 2 Distribusi RW Berdasarkan RT di Kelurahan Tammua
Kecamatan Tallo Kota Makassar
RW
JUMLAH RT
%
I
5
18.5
II
4
14.8
III
5
18.5
IV
4
14.8
V
5
18.5
VI
4
14.8
Total
27
100
Sumber; Data sekunder, tahun 2009
Dari tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa kelurahan Tammua ini terdiri atas
6 Rukun Warga (RW) dan terbagi lagi menjadi 27 RT. Dimana RW I terdiri atas 5
RT atau sebanyak 18.5%, kemudian RW II terdiri atas 4 RT atau sebanyak
14.8%, selanjutnya RW III terdiri atas 5 RT atau sebanyak 18.5%. Kemudian RW
IV terdiri atas 4 RT atau sebanyak 14.8%, sedangkan RW V terdiri atas 5 RT
atau sebanyak 18.5%, dan RW VI terdiri atas 4 RT atau sebanyak 14.8%.
Keadaan penduduk menurut distribusi umur perlu dikemukakan karena hal
ini erat kaitannya dengan angkatan kerja, dimana dengan ini kita dapat
mengetahui keadaan ekonomi penduduk setempat. Adapun distribusi penduduk di
Kelurahan Tammua berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel 3
berikut:
40
Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Kelurahan
Tammua Kecamatan Tallo Kota Makassar
Jumlah Penduduk
No.
Kelompok Umur
(Tahun)
(Jiwa)
Laki-laki
Perempuan
N
%
1
Balita (0-5)
543
525
1068
10.80
2
Anak-anak (6-12)
655
631
1286
13.01
3
Remaja (13-17)
374
351
725
7.33
4
Dewasa Muda (18-25)
912
862
1774
17.94
5
Dewasa Tua (26-40)
1493
1468
2961
29.95
6
Orang Tua (41-64)
852
882
1734
17.54
7
Lanjut Usia (> 64)
160
178
338
3.42
4989
4897
9886
100
Total
Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009
Dari tabel 3 diatas dapat di ketahui bahwa kelompok usia yang paling
banyak yakni Dewasa tua (26-40 Tahun) sebesar 29.95% atau sebanyak 2961 jiwa
dan paling sedikit yakni pada kelompok umur lanjut usia (>64 Tahun) sebesar
3.42% atau sebanyak 338 jiwa, sedangkan pada kelompok yang remaja (13-17
Tahun) yaitu sebanyak 725 jiwa atau sebanyak 7.33%. Kemudian Balita (0-5
Tahun) yaitu sebanyak 1068 jiwa atau sebesar 10.80%, selanjutnya Anak-anak (612 Tahun) sebanyak 1286 jiwa atau sebesar 13.01%. Sedangkan Dewasa Muda
(18-25 Tahun) sebanyak 1774 jiwa atau sebesar 17.94%, dan Orang Tua (41-64
Tahun) sebanyak 1734 jiwa atau sebesar 17.54%.
41
C. KEADAAN SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA
Faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan
kesehatan masyarakat oleh karena itu faktor sosial ekonomi sangat penting untuk
diperhatikan demi meningkatkan status derajat kesehatan. Hal tersebut diatas
harus benar-benar diperhatikan untuk tercapainya status dan derajat kesehatan
yang optimal. Sebagian besar pendapatan KK setiap bulannya dapat dikategorikan
pada tingkat yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari,
sehingga pembangunan sarana kesehatan cenderung diabaikan. Apabila hal
semacam ini terjadi secara terus-menerus maka akan berakibat fatal pada
kesehatan. Adapun faktor sosial ekonomi meliputi faktor:
1. Mata Pencaharian dan Pendapatan Penduduk
Berdasarkan data sekunder yang kami peroleh, tingkat pendapatan
perkapita masyarakat Kelurahan Tammua dapat dikategorikan cukup karena
sebagian besar mata pencaharian penduduk setempat adalah PNS (Pegawai
Negeri Sipil) yang pendapatan perkapitanya dalam tiap bulan tetap. Adapun
distribusi penduduk berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
42
Tabel 4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan
N
%
269
57.69
Nelayan
2
0.39
TNI
2
0.39
POLRI
10
1.95
Dosen Swasata
5
0.97
138
26.90
Tukang Kayu
8
1.56
Tukang Batu
16
3.12
Tukang Jahit
31
6.04
Tukang Cukur
5
0.97
513
100
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Karyawan Perusahaan Swasta
Total
Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009
Berdasarkan dari data sekunder yang di peroleh seperti yang terlihat
pada tabel 4 diatas, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kelurahan
Tammua termasuk dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 269 orang
atau sebanyak 57,69% dari 513 penduduk yang memiliki pekerjaan tetap.
Kemudian Karyawan Perusahaan Swasta sebanyak 138 orang atau sekitar
26.90%, selanjutnya Tukang Jahit sebanyak 31 orang atau sekitar 6.04%.
Sedangkan Tukang Batu sebanyak 16 orang (3.12%) dan POLRI sebanyak 10
orang (1.95%). Tukang Kayu sebanyak 8 orang (1.56%) dan Dosen Swasta
sebanyak 5 orang (0.97%), dan minoritas penduduk bekerja sebagai Nelayan
dan TNI masing-masing berjumlah 2 orang atau sebesar 0.39%.
43
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan
pengetahuan. Seperti halnya di Kelurahan Tammua, tingkat pemahaman dan
pengetahuan masyarakat masih kurang.
Tabel 5 Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkatan Pendidikan
TINGKATAN PENDIDIKAN
N
%
Belum Sekolah/Tidak Tamat SD
250
16.40
Tamat Sekolah Dasar (SD)
473
31.03
Tamat SMP/Sederajat
288
18.89
Tamat SMA
341
22.38
Tamat D-1
7
0.46
Tamat D-2
30
1.97
Tamat D-3
20
1.31
Tamat S-1
114
7.48
Tamat S-2
6
0.39
Tamat S-3
1
0.07
1524
100
Total
Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009
Berdasarkan tabel 5 di atas, sebesar 473 penduduk adalah Tamatan
SD, dan tamatan SMP/Sederajat, sebesar 288 penduduk atau sebesar 18.89%.
Sedangkan yang tamatan SMA sebanyak 341 penduduk atau sebanyak
22.38%, dan yang menyelesaikan pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi
sebanyak 178 penduduk (Tamat D-1, D-2, D-3, S-1, S-2, S-3).
44
3. Sosial Budaya
Dalam batas sosial budaya masyarakat yang tingggal di Kelurahan
Tammua bisa dikatakan tidak terbelakang. Mereka sudah mampu dan mau
menerima ilmu pengetahuan dari luar, masyarakat Kelurahan Tammua
sebagian besar memiliki rasa sosial dan kekeluargaan yang sangat tinggi.
Secara umum kebanyakan masyarakat sudah sadar akan pentingnya
mengunjungi unit pelayanan kesehatan bila mengidap suatu penyakit. Selain
itu masih ada yang menggunakan obat tradisional yang diracik sendiri.
D. STATUS KESEHATAN
1. Lingkungan
Jika dilihat dari letak geografis Kelurahan Tammua sebagian
wilayahnya merupakan tempat pemukiman penduduk dan ada juga yang
dijadikan lahan pabrik. Namun ada beberapa lahan kosong yang dimanfaatkan
masyarakat sebagai sasaran pembuangan sampah dan pembuangan air limbah.
Sebagian besar warga di Kelurahan Tammua memiliki jamban
sehingga jarang ditemukan masyarakat membuang kotorannya (Feses) di
tempat terbuka. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya menggunakanan jamban sudah baik.
Sumber air minum warga dominan didapatkan dari air ledeng/PDAM.
Namun untuk mencuci dan mandi masih banyak yang menggunakan air sumur
yang kualitas airnya kurang baik.
45
Dari segi aset perumahan, jumlah rumah yang berdinding tembok
sebanyak 954 rumah dan berdinding kayu sebanyak 369 rumah. Untuk rumah
yang berlantai tanah sebanyak 126 rumah. Sedangkan rumah menurut atap,
yang beratap genteng sebanyak 15 rumah dan beratap seng sebanyak 1315
rumah, (profil Kelurahan Tammua, 2009).
2. Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat di Kelurahan Tammua masih kurang memiliki
kesadaran tentang pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan. Hal ini
terlihat dari kebiasaan warga membuang sampah tidak pada tempatnya.
Namun ada beberapa lokasi yang memiliki kesadaran tinggi untuk membuang
sampah pada tempatnya bahkan ada yang menjalankan program pemilahan
sampah yaitu berada di RW III.
Adapun kesadaran warga untuk berobat jika sakit cukup tinggi. Hal ini
terbukti dari adanya sebagian besar warga yang telah memanfaatkan sarana
dan prasarana kesehatan seperti puskesmas.
3. Pelayanan Kesehatan
Di lingkungan Kelurahan Tammua terdapat 1 Puskesmas dan terdapat
beberapa posyandu, selain itu ada pengobatan oleh dokter praktek dan mantri.
Masyarakat lebih banyak berkunjung ke Puskesmas karena jaraknya yang
sangat dekat khususnya masyarakat di RW I, RW II, dan RW VI. Sedangkan
untuk masyarakat RW III, RW IV, dan RW V sulit menjangkau Puskesmas
46
karena letaknya jauh dan kurang akses transportasi. Sementara itu ditinjau
dari aspek epidemiologi, pola penyakit yang diderita oleh masyarakat di
Kelurahan Tammua cukup bervariasi, hal ini dapat dilihat dari tabel 6
dibawah ini.
Tabel 6 Distribusi Penduduk Berdasarkan Sepuluh Penyakit Terbanyak Pada
Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Puskesmas
No
Penyakit
Jumlah Kasus
1
Penyakit Lain Pada Saluran Pernafasan Atas
85
2
Penyakit Akut Lain Pada Saluran Pernafasan Atas
82
3
Penyakit Sistem Otot
80
4
Penyakit Tungsilins
185
5
Penyakit Kulit
121
6
Penyakit Infeksi Telinga
75
7
Penyakit Rongga Mulut
40
8
Hypertensi
55
9
Penyakit Mata
75
10
Penyakit Diare
120
Jumlah
813
Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009
Namun khusus di Kelurahan Tammua ini, penyakit yang paling
banyak ditemukan yaitu penyakit Tungsilins sebanyak 185 kasus. Kemudian
penyakit kulit sebanyak 121 kasus, selanjutnya penyakit diare sebanyak 120
kasus. Penyakit lain pada saluran pernafasan atas sebanyak 85 kasus dan
penyakit akut lain pada pernafasan atas sebanyak 82 kasus. Sedangkan
47
penyakit system otot sebanyak 80 kasus dan penyakit infeksi telinga sebanyak
75 kasus. Selanjutnya penyakit hipertensi sebanyak 75 kasus, dan penyakit
yang paling sedikit ditemukan yaitu: penyakit rongga mulut sebanyak 40
kasus.
4. Etnis/Suku
Adapun mengenai jumlah suku perlu diketahui karena hal ini untuk
mengetahui proses sosialisasi nilai budaya di Kelurahan Tammua Kecamatan
Tallo Kota Makassar sebagai berikut:
Tabel 7 Distribusi Penduduk Berdasarkan Etnis/Suku
ETNIS
JUMLAH PENDUDUK
(JIWA)
%
Jawa
52
0.48
Madura
127
1.18
Bugis
8665
80.18
Makassar
1590
14.71
Mandar
336
3.11
Flores
8
0.07
Tolaki
2
0.02
Buton
4
0.04
Muna
14
0.13
Wanci
3
0.03
Alor
6
0.06
10.807
100
Total
Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009
48
Penduduk Kelurahan Tammua mayoritas bersuku Bugis sebesar 8665
atau sekitar 80,18% dan yang bersuku Makassar sebanyak 1590 penduduk
atau sekitar 14.71% sedangkan sebagian kecil bersuku Tolaki sebanyak 2
penduduk atau sekitar 0,02%. Namun tidak berarti tak ada suku lain yang
bermukim di sini, seperti: Mandar sebanyak 336 orang atau sekitar 3.11%,
Madura sebanyak 127 orang atau sekitar 1.18%, Jawa sebanyak 52 orang atau
sekitar 0.48%, Muna 14 orang atau sekitar 0.13%, Flores sebanyak 8 orang
atau sekitar 0.07%, Alor sebanyak 6 orang atau sekitar 0.06%, Buton
sebanyak 4 orang atau sekitar 0.04% dan Wanci sebanyak 3 orang atau sekitar
0.03%.
5. Agama
Selanjutnya akan diperlihatkan distribusi penduduk berdasarkan
agama yang dianut oleh masyarakat di Kelurahan Tammua Kecamatan Tallo
Kota Makassar yaitu :
49
Tabel 8 Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama
AGAMA
Islam
JUMLAH PENDUDUK
(JIWA)
%
10195
97.42
Kristen
218
2.08
Katholik
15
0.14
Hindu
21
0.20
Budha
15
0.14
10.464
100
Total
Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009
Berdasarkan tabel 8 Diatas menunjukkan sebagian besar penduduk
Kelurahan Tammua beragama Islam sebanyak 10195 penduduk atau sebanyak
97,42%, sedangkan yang beragama Kristen sebanyak 218 penduduk atau
sebanyak 2.08%. kemudian yang beragama Hindu sebanyak 21 penduduk atau
sebesar 0.20% dan hanya sebagian kecil dari penduduk yang beragama Budha
dan Katholik yaitu: sebanyak 15 penduduk atau sebanyak 0,14%.
E. KEADAAN SARANA DAN PRASARANA
Untuk menunjang proses kegiatan-kegiatan sosial maupun kegiatan
ekonomi, maka sarana dan prasarana sangat penting keberadaannya. Hal tersebut
selain menunjang untuk kegiatan-kegiatan sosisl ekonomi tertentu, dapat pula
mempengaruhi proses sarana pendistribusian hasil-hasil usaha mereka yang dapat
menghasilkan keuntungan-keuntungan ekonomi jasa.
50
Makin lengkap sarana yang ada, maka dapat memudahkan dalam
memenuhi kebutuhan individu di dalam suatu masyarakat. Beberapa sarana yang
dapat menunjang proses kegiatan sosial ekonomi di Kelurahan Tammua yaitu:
1. Sarana Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk dalam suatu wilayah sebagian besar
dipengaruhi oleh sarana dan prasarana penunjang untuk penduduknya dalam
wilayah tersebut. Untuk itu keberadaan sekolah dengan tenaga pengajar yang
memadai diperlukan untuk memperbaiki taraf hidup yang akhirnya membawa
peningkatan kualitas yang lebih baik. Jenis pendidikan umum yang ada antara
lain dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 9 Distribusi Penduduk Berdasarkan Sarana Pendidikan
Sarana Pendidikan
Jumlah
%
TK
3
42.8
SD / Sederajat
1
14.2
SMP / Sederajat
2
28.5
SMA / Sederajat
1
14.2
7
100
Total
Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009
Berdasarkan dari tabel 9, jumlah keseluruhan dari sarana pendidikan
yang dimiliki adalah 7 gedung yang terdiri dari gedung SD dan SMA masing-
51
masing 1 gedung 14.2%. Sedangkan SMP sebanyak 2 gedung 28.5%, dan TK
sebanyak 3 gedung 42.8%.
2. Prasarana Peribadatan
Berdasarkan data yang ada di kelurahan Tammua ini hanya terdapat
masjid yang berjumlah 7 gedung.
3. Prasarana kesehatan
Keberhasilan pembangunan suatu masyarakat dapat dilihat dari sudut
kesehatan, semakin maju saran penunjang kesehatan semakin maju pula
tingkat
kesehatan
masyaraktnya.
Berikut
tabel
distribusi
penduduk
berdasarkan prasarana kesehatan yaitu:
Tabel 10 Distribusi Penduduk Berdasarkan Prasarana Kesehatan
Prasarana Kesehatan
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Puskesmas
1
25
Posyandu
3
75
4
100
Jumlah
Sumber: Data Sekunder, Tahun 2009
Berdasarkan tabel 10 diatas, terlihat jelas bahwa prasarana kesehatan
jumlah keseluruhan terdapat 4 gedung. Puskesmas sebanyak 1 gedung atau
sekitar 25% dan posyandu sebanyak 3 gedung atau sekitar 75%.
52
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
Sebelum kita membahas secara keseluruhan permasalahan yang berkaitan
dengan kenakalan remaja, terlebih dahulu kita perlu mengklasifikasikan identitas
responden sebagai pendukung dalam memberikan analisa terhadap masalah yang
diteliti. Adapun klasifikasi identitas responden meliputi: jenis kelamin, umur,
pendidikan, agama, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua.
1. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis, dapat diketahui
jenis kelamin responden yang diteliti 100% berjenis kelamin laki-laki dan
jumlah responden tersebut sebanyak 38 responden. Karena anak laki-laki
kecendrungannya
akan
melakukan
kenakalan
yang
menjurus
pada
pelanggaran dan kejahatan lebih dibandingkan dengan anak perempuan.
Hal ini berarti bahwa kenakalan remaja didominasi oleh laki-laki atau
lebih tinggi dibandingkan dengan perbuatan dikalangan perempuan. Ini
disebabkan karena laki-laki mempunyai sifat yang agresif, berani, ingin
menguasai, dan ingin terkenal, sedangkan perempuan identik dengan sikap
yang lembut dan masih kuat tradisinya bahwa perempuan itu di rumah
sedangkan laki-laki cenderung di luar rumah. Jadi laki-laki mempunyai
53
peluang lebih banyak untuk melakukan kenakalan dibanding dengan
perempuan.
2. Umur
Untuk memberikan gambaran tentang kemampuan seseorang dalam
memberikan tanggapan atau pendapat terhadap suatu hal, maka umur
responden sangat penting untuk diketahui. Umur responden ini dikaitkan
dengan pengetahuan dan pengalaman seseorang dalam merespon sesuatu dan
membentuk pola pikir dalam pergaulannya. Oleh karena itu, pada tabel
dibawah ini akan disajikan responden menurut kelompok umur.
Tabel 11 Distribusi Responden Berdasatkan Umur
No
Umur
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
15
1
2.63
2
16
11
28.9
3
17
26
68.4
38
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Dari tabel 10 terlihat bahwa pada umur 15 tahun merupakan pelaku
kenakalan sebanyak 1 orang atau sebanyak 2.63% dan umur 16 tahun
sebanyak 11 orang atau sebanyak 28.9%. Sedangkan umur 17 tahun
merupakan umur yang paling agresif melakukan kenakalan remaja yaitu
sebanyak 26 orang atau sebanyak 68.4%.
54
Keterlibatan umur 17 tahun sebagai pelaku kenakalan remaja yang
paling dominan merupakan wujud dari eksistensi dirinya sebagai remaja
yang sedang mencari jati diri. Pada umur 17 tahun keadaan atau suasana
hatinya mudah berubah atau tidak stabil ini disebabkan oleh perubahan fisik
dan psikisnya karena belum memiliki dalam masa transisi atau belum
mencapai kedewasaannya, artinya remaja belum memiliki tempat yang jelas
dan tetap. Disatu pihak, ia tidak dapat dikatakan sebagai anak-anak dan
dilain pihak anak remaja belum tergolong dewasa.
Keadaan yang belum pasti inilah yang sering menimbulkan masalah
bagi kaum remaja dan pada umur inilah umumnya melakukan delinkuen
karena
pengaruh
lingkungan
atau
faktor
ekstern
masih
banyak
mempengaruhi pembentukan dirinya.
3. Pendidikan
Pendidikan responden merupakan hal yang penting untuk mengukur
kemampuan pengetahuan, pengalaman dan tanggapan atau pendapat
seseorang dalam memberikan atau merespon sesuatu hal dan membentuk
pola fikir dalam pergaulannya.
Jenjang pendidikan yang dilalui seseorang sangat berpengaruh
terhadap cara berfikir dan tingkah lakunya dalam kehidupan bermasyarakat.
Seseorang yang telah mengenyam tingkat pendidikan akan berbeda cara
berfikirnya dengan orang yang tidak pernah mengenyam atau mencapai
55
tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Pengetahuan yang dimiliki hasil
serapan dari pengalaman dan sosialisasi individu baik yang diperoleh dari
pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Pada tabel berikut ini
akan diuraikan jumlah responden menurut pendidikannya.
Tabel 12 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
No
Pendidikan
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
SMP
1
2.63
2
SMU/SMK
33
86.8
3
Tidak Bersekolah
4
10.5
Jumlah
38
100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Berdasarkan tabel 12 diatas menunjukkan bahwa distribusi responden
berdasarkan pendidikan yaitu: SMU/SMK sebanyak 33 orang (86.8%),
sedangkan SMP sebanyak 1 orang (2.63%) dan yang tidak bersekolah 4
orang (10.5%). Bagi mereka yang tidak bersekolah, memang tidak pernah
mengenyam pendidikan, karena berbagai alasan yang mereka kemukakan
seperti tidak ada biaya, orang tua meninggal, dan lain-lain.
4. Agama
Agama sangat penting bagi umat manusia karena agama merupakan
petunjuk dan pedoman hidup, didalamnya terdapat keteraturan, kerukunan,
tanggung jawab, saling cinta mencintai dalam kebaikan. Namun banyak yang
56
mengabaikannya, besar kemungkinan karena tidak adanya pengetahuan
tentang agama, kesombongan, keingkaran, atau tidak patuhnya manusia
terhadap tuntutan agama.
Yang menjadi responden dalam penelitian ini 100% beragama Islam,
karena lingkungan penelitian tersebut di dominasi oleh pemeluk agama
Islam.
5. Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan orang tua juga berpengaruh terhadap munculnya kenakalan
remaja, selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 13 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua
No
Pekerjaan Orang Tua
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
Nelayan
1
2.63
2
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
10
26.3
3
Pedagang
2
5.26
4
Pengusaha
17
44.7
5
Pegawai Swasta
8
21
38
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Dari tabel 13 menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua remaja sebagai
Pengusaha menduduki skala pertama yakni sebanyak 17 orang atau
sebanyak 44.7% kemudian Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 10 orang
57
atau sebanyak 26.3%, selanjutnya Pegawai Swasta sebanyak 8 orang atau
sebanyak 21%. Sedangkan Pedagang sebanyak 2 orang atau sebanyak
5.26%, dan Nelayan sebanyak 1 orang atau sebanyak 2.63%.
6. Pendapatan Orang Tua
Berikut ini akan di bahas tentang distribusi berdasarkan pendapatan
orang tua para remaja tersebut :
Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Orang Tua
No
Pendapatan Orang Tua
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
> Rp 3.000.000,-
8
21.5
2
Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000,-
27
71.5
3
< Rp 1.000.000,-
3
7.89
38
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Berdasarkan tabel 14 diatas menunjukkan bahwa pendapatan orang tua
masih kebanyakan diantara Rp 1.000.000 – Rp. 2.000.000,- sebanyak 27
responden atau sebanyak 71.5%, kemudian > Rp 3.000.000,- sebanyak 8
responden atau sebanyak 21.5%, selanjutnya < Rp 1.000.000,- sebanyak 3
responden atau 7.89%.
B. Pengetahuan Tentang Kenakalan Remaja
Pengetahuan atau knowledge adalah sesuatu yang hadir dan terwujud
dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan
58
hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan ini meliputi
emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan pikiran-pikiran. Perubahan
sosial, budaya dan perkembangan teknologi telah berdampak pada perubahan pola
pikir, sikap dan perilaku remaja. Berikut ini tabel distribusi tahu/tidaknya
kenakalan remaja :
Tabel 15
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan akan Kenakalan Remaja
No
Pengetahuan Akan Kenakalan Remaja
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
Tahu
36
94.7
2
Tidak Tahu
2
5.2
38
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Berdasarkan tabel 15 diatas menunjukan bahwa responden yang
tahu/paham apa itu tentang kenakalan remaja adalah sebanyak 36 responden atau
sebanyak 94.7%, sedangkan yang tidak tahu atau belum paham tentang kenakalan
remaja sebanyak 2 responden atau sebanyak 5.2%. Tapi kebanyakan yang paham
atau tahu tentang kenakalan remaja tersebut justru remaja tersebutlah yang
melakukan kenakalan remaja. Remaja tersebut tahu jenis kenakalan yang
dilakukan seperti; sering berkelahi, berjudi, minum-minuman keras, narkoba dan
sebagainya.
59
C. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja
Berdasarkan data di lapangan dapat disajikan hasil penelitian tentang
kenakalan remaja sebagai salah satu perilaku menyimpang. Kenakalan remaja
dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang.
Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat
penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan
norma sosial yang berlaku (Kartono, 2003).
Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena
dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku
menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus
ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Pada penjelasan berikut dapat diuraikan bentuk-bentuk kenakalan apa yang terjadi
dikalangan remaja, sebagai berikut:
1. Perkelahian
Permasalahan kenakalan remaja yang cukup memprihatinkan dewasa ini
adalah masalah perkelahian yang secara kualitas maupun secara kuantitas cukup
mengejutkan. Jumlah perkelahian dari tahun ketahun terus meningkat, terutama di
kota-kota besar. Dimana perkelahian merupakan salah satu bentuk dari kenakalan
remaja yang biasa terjadi antar inidividu, individu dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok. Mereka berkelahi dengan tinju-meninju atau dengan
60
mulut saja. Data mengenai hal tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 16
Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Melakukan Perkelahian
No
Pernah/Tidak
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
Pernah
36
94.7
2
Tidak pernah
2
5.26
38
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Dari tabel 16 terlihat bahwa responden yang pernah tidaknya melakukan
perkelahian sebanyak 36 orang atau sebanyak 94.7%, dan responden yang tidak
pernah melakukan perkelahian sebanyak 2 orang atau sebanyak 5.2%.
Berikut ini akan dijelaskan alasan responden melakukan perkelahian yang
bisa disebabkan oleh beberapa hal. Sebagian besar responden berkelahi karena
ajakan temannya. Hal ini terdapat beberapa responden saja yang berkelahi karena
inisiatif sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
61
Tabel 17 Distribusi Responden berdasarkan Alasan melakukan perkelahian
No
Alasan Melakukan Perkelahian
Frekuensi (F)
Presentasi (%)
1
Ajakan teman
22
61.1
2
Inisiatif sendiri
14
38.8
36
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa responden melakukan perkelahian
karena ajakan teman sebanyak 22 orang atau sebanyak 61.1%. Sedangkan yang
pernah melakukan perkelahian karena inisiatif sendiri sebanyak 14 orang atau
sebanyak 38.8%. Responden yang melakukan perkelahian kelompok disebabkan
karena adanya rasa senasib sepenanggungan diantara temannya, didalam dirinya
telah tumbuh rasa solidaritas yang lebih mementingkan kelompoknya dengan
teman-temannya. Ada rasa kebanggan tersendiri jika seorang remaja memiliki
cara berfikir dan rasa yang sama dengan temannya.
Selanjutnya yang menjadi motivasi terbesar seseorang di dalam
melakukan perkelahian yaitu diakibatkan oleh Solidaritas mereka terhadap
kelompok. Solidaritas yang banyak ditemui didalam kelompok yang melakukan
perkelahian dilokasi penelitian banyak terkait dengan budaya anggota kelompok,
yang dimana anggota dari kelompok didominasi oleh suku Makassar yang sangat
kental dengan si’ri ( rasa malu ).
62
Dan alasan yang berikutnya ini dipicu karena hal yang sepele yaitu saling
ejek yang mengakibatkan remaja tersebut tersinggung dan emosi sehingga remaja
ini melakukan perkelahian.
Alasan ketiga yang banyak menjadi motivasi seseorang melakukan
perkelahian yaitu membela diri. Membela diri menjadi salah-satu alasan
disebabkan oleh faktor eksternal, yang biasanya lahir karena spontanitas
seseorang bila seseorang merasa dirinya dalam ancaman.
Kemudian motivasi selanjutnya
yang menjadi alasan seseorang
melakukan perkelahian yaitu Dendam. Dendam ini biasanya terkait oleh kejadian
masa lalu yang pernah dialami seseorang. Seseorang merasa bahwa dirinya belum
terpuaskan dengan kejadian yang dialaminya sehingga itu menjadi mimpi buruk
bagi dirinya dan mendorong dirinya untuk terus membalas perbuatan orang yang
menjadi musuh di dalam dirinya.
Sedangkan motivasi selanjutnya yang menyebabkan seseorang melakukan
perkelahian yaitu merasa kuat, atau pemalakkan, hal ini biasanya dijumpai pada
diri seseorang yang memiliki latar belakang preman. Yang sudah menjadi
kebiasaan dalam dirinya untuk melakukan perkelahian.
2. Pencurian
Pencurian merupakan suatu kegiatan mengambil milik orang lain tanpa
sepengetahuan pemiliknya dengan cara dan tujuan tertentu. Hal ini disebabkan
pencurian mempunyai dampak sosial yang sangat meresahkan juga mencemaskan
63
masyarakat terutama korban dan aparat hukum. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut mengenai distribusi responden berdasarkan pernah/tidaknya
melakukan pencurian sebagai berikut:
Tabel 18
Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Melakukan Pencurian
No
1
2
Pernah/Tidak
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Pernah
-
Mencuri uang
16
42.1
-
Mencuri buah-buahan
4
10.5
-
Mencuri pakaian
12
31.5
6
15.7
38
100
Tidak pernah
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Data pada tabel 18 menunjukkan bahwa pencurian yang dilakukan oleh
responden diantaranya 16 orang atau sebanyak 42.1% yang mencuri uang, 12
orang atau sebanyak 31.5% yang mencuri pakaian. Sedangkan yang pernah
melakukan pencurian seperti mencuri buah-buahan sebanyak 4 orang atau
sebanyak 10.5%, dan yang tidak pernah melakukan pencurian sebanyak 6 orang
atau sebanyak 15.7%. Jadi mencuri uanglah yang paling sering dilakukan oleh
responden yaitu sebanyak 16 orang atau sebanyak 42.1%.
64
Adapun alasan responden yang melakukan pencurian karena butuh uang
atau karena faktor ekonomi dimana remaja tersebut mencuri uang temannya
sendiri atau uang orang lain karena remaja tersebut tidak dikasih uang jajan oleh
orang tuanya, dan ada juga yang melakukan pencurian karena pengaruh teman
dimana mulanya remaja tersebut tidak mau melakukan karena takut akan
akibatnya namun karena pengaruh dari teman-temannya sehingga remaja ini
melakukan pencurian.
Dan alasan responden yang tidak melakukan pencurian dikarenakan
remaja masih kuat dengan nilai-nilai religius yang didapat dari kedua orang
tuanya dimana remaja tersebut takut akan dosa atau akibat yang dapat
ditimbulkan apabila remaja tersebut melakukan pencurian.
3. Narkoba Atau Sejenisnya
Penggunaan narkoba atau sejenisnya merupakan suatu masalah yang
tumbuh pesat dalam masyarakat akhir-akhir ini, terutama diantara anak-anak
belasan tahun. Statistik menunjukkan bahwa sejumlah besar remaja kita
mencoba-coba narkoba atau sejenisnya untuk pertama kalinya pada usia dua
belas atau tiga belas tahun. Meski pemakaian narkoba atau sejenisnya tidak akan
dapat sepenuhnya dihentikan, masyarakat perlu menemukan suatu cara untuk
menunjukkan pada anak-anak belasan tahun akan dampak berbahaya dan
ketergantungan yang diakibatkan oleh pemakaian narkoba atau sejenisnya.
Kebanyakan dari remaja tersebut menggunakan narkoba, jenis ganja. Karena
65
penyalahgunaan narkoba ini merupakan penyimpangan prilaku yang disebabkan
oleh penggunaan yang terus menerus sampai terjadi suatu masalah.
Berikut ini distribusi responden berdasarkan pernah/tidaknya memakai
narkoba atau sejenisnya:
Tabel 19 Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Memakai
Narkoba atau Sejenisnya
No
1
Pernah/Tidak
Presentase (%)
5
13.1
33
86.8
38
100
Pernah
-
2
Frekuensi (F)
1 – 3 kali
Tidak pernah
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Dari tabel diatas terlihat bahwa dari ke-38 responden yang melakukan
kenakalan hanya 5 orang atau sebanyak 13.1% yang menggunakan narkoba atau
sejenisnya, dan responden yang tidak menggunakan narkoba atau sejenisnya
sebanyak 33 orang atau sebanyak 86.8%. Kebanyakan dari remaja tersebut
menggunakan narkoba, jenis ganja.
Jika dilihat dari frekuensi yang
menggunakan narkoba lebih di dominasi pada satu sampai tiga kali
menggunakan, ini berarti bahwa responden belum kecanduan akan tetapi mereka
hanya ingin mencoba saja.
66
Sedangkan responden yang tidak pernah memakai narkoba atau
sejenisnya yaitu karena responden takut akan efek yang di timbulkan dari
penyalahgunaan narkoba atau sejenisnya seperti rasa candu atau ketagihan yang
ditimbulkan dari narkoba tersebut atau over dosis yang bisa menyebabkan
kematian.
Selanjutnya untuk mengetahui mengapa sampai responden menggunakan
narkoba atau sejenisnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 20
Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Memakai Narkoba Atau Sejenisnya
No
Alasan Memakai Narkoba Atau Sejenisnya
F
%
1
Ingin mencoba
3
60
2
Pengaruh teman
1
20
3
Menghilangkan stress
1
20
5
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Dari tabel diatas terlihat bahwa responden yang memakai narkoba atau
sejenisnya yakni 3 orang atau 60% karena hanya ingin mencoba. Sedangkan
karena pengaruh teman sebanyak 1 orang atau sebanyak 20% dan karena
menghilangkan stress sebanyak 1 orang atau sebanyak 20%.
Responden memakai narkoba atau sejenisnya karena didorong oleh rasa
ingin tahu. Melihat frekuensi responden yang memakai narkoba atau sejenisnya
67
walaupun kecil akan tetapi perlu diwaspadai karena merupakan suatu bentuk
penyimpangan tingkah laku yang akibatnya apabila seseorang setelah menderita
atau ketergantungan pada narkoba atau sejenisnya dapat merugikan dirinya
sendiri maupun orang lain.
Selanjuntnya
untuk
mengetahui
mengapa
sampai
responden
menggunakan narkoba atau sejenisnya yaitu karena hanya ingin mencoba atau
sekedar coba-coba yang timbul dari rasa ingin tahu dari remaja tersebut.
Kemudian alasan berikutnya karena pengaruh dari teman-temannya,
dimana mulanya remaja tersebut tidak mau melakukan hal tersebut karena takut
akan akibat yang dapat ditimbulkan dari mengkonsumsi narkoba atau sejenisnya
seperti kelebihan dosis (over dosis) yang bisa mengakibatkan kematian, namun
karena pengaruh dari teman-temannya, sehingga remaja tersebut mengkonsumsi
narkoba atau sejenisnya.
Dan alasan selanjunya, remaja menggunakan narkoba atau sejenisnya
yaitu karena dapat menghilangkan stress dimana remaja tersebut banyak
menemui konflik-konflik yang ada di dalam dirinya sehingga remaja tersebut
menggunakan narkoba atau sejenisnya.
4. Minum-Minuman Keras
Memahami kalangan remaja berarti memahami berbagai masalah dan
kesulitan, yang dialaminya dengan pemahaman itu maka akan membantu kita
sebagai orang tua, pendidik dan masyarakat agar masalah kebiasaan minum-
68
minuman keras di kalangan remaja tidak akan berkepanjangan dan bertambah
parah. Untuk lebih jelasnya akan dibahas tentang distribusi responden
berdasarkan pernah/tidaknya meminum-minuman keras sebagai berikut:
Tabel 21 Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya
Meminum-Minuman Keras
No
1
2
Pernah/Tidak
Frekuensi (F)
Presentasi (%)
Pernah
-
1 – 3 kali
15
39.4
-
4 – 6 kali
20
52.6
3
7.8
38
100
Tidak pernah
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Berdasarkan tabel 21 bahwa responden yang meminum-minuman keras
dengan skala 1-3 kali yaitu sebanyak 15 orang atau sebanyak 39.4%, sedangkan
skala 4-6 kali yakni sebanyak 20 orang atau sebanyak 52.6% dan responden yang
tidak pernah meminum-minuman keras sebanyak 3 orang atau sebanyak 7.8%.
Jika dilihat dari frekuensi yang pernah meminum-minuman keras lebih
didominasi pada empat sampai enam kali.
Sedangkan alasan responden yang tidak meminum-minuman keras yaitu
karena responden takut akan efek yang di timbulkan dari minuman keras tersebut
69
dimana bila dikonsumsi setiap hari bisa menyebabkan penyakit lever yang
berujung pada kematian.
Selanjutnya akan dibahas mengenai alasan responden meminumminuman keras, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 22 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Meminum-Minuman Keras
No
Alasan
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
Ingin Mencoba
7
20
2
Pengaruh Teman
11
31.4
3
Menghilangkan stress
17
48.5
35
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa alasan responden meminumminuman keras yaitu karena menghilangkan stress sebanyak 17 orang atau
sebanyak 48.5%. Sedangkan karena pengaruh teman sebanyak 11 orang atau
sebanyak 31.4%, dan karena hanya ingin mencoba sebanyak 7 orang atau 20%.
Dapat disimpulkan bahwa alasan responden meminum-minuman keras ini
didominasi karena rasa frustasi remaja dan mereka biasanya lebih sering
melakukannya 4-6 kali dalam seminggu dimana remaja tersebut menghadapi
begitu banyak permasalahan dalam hidupnya atau konflik-konflik yang ada
dalam dirinya seperti di putuskan pacar, dan lain-lain. Kebanyakan dari remaja
70
tersebut meminum-minuman keras seperti ballo’, angur hitam, dan
bir. Ini
dikarenakan karena harga minuman tersebut relatif murah.
Kemudian alasan remaja meminum-minuman keras yang berikutnya yaitu
karena hanya ingin mencoba atau sekedar coba-coba ini disebabkan karena rasa
ingin tahu remaja yang begitu besar yang juga sedang mencari jati dirinya ini
dapat dilihat pada tabel diatas dengan skala satu sampai tiga kali remaja
meminum-minuman keras.
Selanjutnya alasan remaja meminum-minuman keras yaitu karena
pengaruh dari teman-temannya, dimana mulanya remaja tersebut tidak mau
melakukan hal tersebut karena efek dari minuman keras tersebut yang berakibat
fatal, namun karena pengaruh dari teman-temannya sehingga remaja tersebut
meminum-minuman keras.
5. Perjudian
Perjudian merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, satu bentuk
patologi sosial. Bermacam-macam bentuk permainan anak-anak itu sudah
mengandung unsur perjudian secara kecil-kecilan, karena didalamnya ada unsur
pertaruhan. Permainan itu tidak hanya dilakukan oleh anak-anak saja, akan tetapi
orang dewasa pun memiliki bermacam-macam permainan dari permainan kartu,
dadu, sampai dengan segala bentuk sport dan games yang tidak luput dari unsur
perjudian.
71
Dimana perjudian itu adalah pertaruhan dengan sengaja
yaitu
mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan
menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa
permainan, pertandingan, perlombaan, dan kejadian-kejadian yang tidak atau
belum pasti hasilnya. Berikut akan dijelaskan tentang responden yang
pernah/tidaknya melakukan perjudian, sebagai berikut:
Tabel 23
Distribusi Responden Berdasarkan Pernah/Tidaknya Melakukan Perjudian
No
1
2
Pernah/Tidak
Frekuensi (F)
Presentase (%)
Pernah
-
1 – 3 kali
21
55.2
-
4 – 6 kali
12
31.5
5
13.1
38
100
Tidak pernah
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Berdasarkan tabel 23 tersebut dapat dilihat bahwa responden yang
melakukan perjudian dengan skala satu sampai tiga kali sebanyak 21 orang atau
sebanyak 55.2%, kemudian yang skala empat sampai enam kali itu sebanyak 12
orang atau sebanyak 31.5%. Dan yang tidak melakukan perjudian sebanyak 5
orang atau sebanyak 13.1%. Ini menandakan bahwa responden belum terlalu
kecanduan dengan perjudian karena responden hanya melakukan perjudian
72
dengan skala satu sampai tiga kali tetapi dapat merugikan dirinya sendiri atau
orang lain.
Dan alasan responden yang tidak melakukan perjudian dikarenakan
remaja masih kuat dengan nilai-nilai religius yang didapat dari kedua orang
tuanya dimana remaja tersebut takut akan dosa atau haram hukumnya bagi umat
manusia apabila melakukan perjudian, apa lagi perjudian itu hanya menjanjikan
suatu kemenangan kadang menang dan kadang kalah dalam perjudian.
Untuk mengetahui alasan remaja melakukan perjudian dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 24 Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Melakukan Perjudian
No
Alasan
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
Menambah Uang
22
66.6
2
Ikut-ikutan sama teman
11
33.3
33
100
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Berdasarkan tabel 25 tersebut dapat dilihat bahwa alasan responden untuk
melakukan perjudian yakni menambah uang sebanyak 22 orang atau sebanyak
66.6% dan karena ikut-ikutan sama teman sebanyak 11 orang atau sebanyak
33.3%. Hal ini membuktikan bahwa remaja melakukan perjudian lebih
didominasi karena faktor ekonomi.
73
Alasan responden melakukan perjudian lebih didominasi karena faktor
ekonomi dimana remaja tersebut dengan alasan ingin menambah uang jajan
sehingga
melakukan
perjudian,
tapi
perjudian
itu
hanya
menjanjikan
kemenangan, kadang menang dan kadang kalah. Dan ada juga dikarenakan oleh
pengaruh teman-temannya, dimana mulanya remaja tersebut tidak mau
melakukan perjudian namun karena pengaruh dari teman-temannya atau ajakan
dari teman-temannya, sehingga remaja tersebut melakukan perjudian.
D. Perbandingan Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Oleh Remaja
Berikut ini akan dijelaskan tabel perbandingan bentuk kenakalan yang
dilakukan oleh remaja di Kelurahan Tammua sebagai berikut:
Tabel 25 Distribusi Perbandingan Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Remaja
No
Bentuk Kenakalan
Frekuensi (F)
Presentase (%)
1
Perkelahian
36
94.7
2
Pencurian
32
84.2
3
Pemakaian Narkoba
5
13.1
4
Meminum Minuman Keras
35
92.1
5
Perjudian
33
86.8
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2011
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa perbandingan bentuk
kenakalan yang dilakukan oleh remaja yaitu perkelahian sebanyak 36 orang atau
sebanyak 94.7%, alasan mereka melakukan perkelahian yaitu: karena ajakan
74
teman dan inisiatif sendiri. Sedangkan yang sering minum-minuman keras
sebanyak 35 orang atau sebanyak 92.1%, alasan mereka minum-minuman keras
yaitu: karena menghilangkan stress, pengaruh teman, dan ada juga yang Cuma
coba-coba. Dan yang sering berjudi sebanyak 33 orang atau sebanyak 86.8%,
alasan mereka berjudi karena menambah uang, dan sebagiannya hanya ikutikutan sama teman. Kemudian yang melakukan pencurian sebanyak 32 orang
atau sebanyak 84.2%, alasan mereka melakukan pencurian Karena butuh uang
atau karena faktor ekonomi, dan yang memakai narkoba atau sejenisnya
sebanyak 5 orang atau sebanyak 13.1%, alasan mereka memakai narkoba yaitu:
karena menghilangkan stress, pengaruh dari teman, dan ada juga yang hanya
coba-coba.
Dari kelima bentuk kenakalan diatas dapat dilihat bahwa bentuk
kenakalan yang sering terjadi yaitu perkelahian, dan pada umumnya kenakalan
remaja dipengaruhi oleh ajakan teman atau gengnya. Kehadiran teman dan
keterlibatannya di dalam suatu kelompoknya senang melakukan hal yang sama.
Umumnya pengaruh dari teman sangat besar, seseorang yang telah merasa cocok
dengan teman tentu cenderung untuk mengikuti gaya teman atau kelompoknya
itu. Adalah sangat sulit apabila tidak mau mengikuti gaya kelompoknya yang
dirasa buruk sambil tetap mempertahankan diri dalam kelompok itu, dia akan
diasingkan, sebab tidak mau mengikuti gaya mereka. Jadi meskipun seorang
remaja yang telah dididik dengan nilai-nilai keagamaan dapat terjerumus
75
kedalam perbuatan nista. Tentu pada mulanya ia menolak, mungkin ia merasa
malu atau takut pada Tuhan dan macam-macam perasaan lainnya. Tetapi lama
kelamaan dia melakukannya karena didorong oleh teman-temannya. Pengalaman
ini menimbulkan keinginan untuk mengulangi dilain kesempatan.
Kenakalan remaja muncul akibat terjadinya interaksi sosial antara
individu (remaja) dengan kelompok teman sebaya. Peran interaksi dengan
kelompok teman sebaya tersebut dapat berupa imitasi, identifikasi, sugesti, dan
simpati. Remaja dapat meniru (imitasi) kenakalan yang dilakukan teman
sebayanya, sementara itu sugesti bahwa kebut-kebutan dan penggunaan
narkotika adalah remaja ideal, dapat mengakibatkan remaja yang mulanya baik
menjadi nakal. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya yang mengarahkan
remaja menjadi nakal atau tidak juga ditentukan bagaimana persepsi remaja
terhadap kelompok teman sebayanya tersebut. Persepsi memegang peran penting
bagi tinggi rendahnya kecendrungan kenakalan remaja, yang dalam tahapan
selanjutnya dapat menjadi aksi nyata berupa perilaku nakal yang merugikan
lingkungan dan dapat dikenai sangsi pidana. Dengan kata lain, jika remaja
melihat bahwa kelompok teman sebayanya adalah media yang tepat untuk
menyalurkan keinginan negatif atau tujuan-tujuan negatif lainnya, maka tinggi
pulalah kecendrungan remaja untuk berperilaku nakal. Penilaian seperti itu tentu
saja penilaian negatif remaja terhadap teman sebayanya.
76
Olehnya itu peranan orang tua sangat menentukan, nakal atau tidak
nakalnya remaja tergantung pada orang tua, kurangnya perhatian orang tua
terhadap anaknya menyebabkan remaja senang berada diluar, sebab itu pergaulan
remaja tidak terbatas pada teman sekolahnya saja, dapat saja dengan teman dari
suatu organisasi lain, bahkan dengan teman geng atau kelompok remaja di
kotanya. Hal ini terjadi pada remaja yang ada di Kelurahan Tammua, hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 38 responden yang melakukan kenakalan itu
adalah sebagian besar remaja yang masuk dalam geng di Kota Makassar.
77
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan yaitu: perkembangan kenakalan
remaja di Kelurahan Tammua tidaklah terlalu menyolok akan tetapi sudah sangat
mengkhawatirkan. Berdasarkan bentuk kenakalan remaja yang dilakukan oleh
kalangan remaja adalah perkelahian dan minum-minuman keras merupakan
kenakalan yang paling banyak dilakukan oleh remaja di Kelurahan Tammua,
yakni sekitar 36 orang atau sekitar 94.7% untuk perkelahian dan minumminuman keras sebanyak 35 orang atau sebanyak 92.1%. Upaya yang dilakukan
untuk menanggulangi kenakalan remaja yaitu dengan melakukan upaya preventif
melalui sistem pendidikan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
suatu kenakalan atau kenakalan dapat dikurangi.
B. Saran
Berikut ini penulis akan mengetengahkan beberapa saran yang mungkin
dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya orang tua, pendidik, tokoh
agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda/remaja, dan aparat penegak hukum
(polisi) dalam berhadapan dengan kenakalan remaja khususnya di Kelurahan
Tammua sebagai berikut :
78
1. Membina lingkungan dan meningkatkan kualitas keluarga sehingga kedua
orang tua berkesempatan membina dan mengembangkan kepribadian dan
akhlak anak-anak mereka dan membahagiakannya. Waktu kedua orang tua
di rumah perlu di intensifikasi penggunaannya terutama dalam hal
berkomunikasi dengan anak-anaknya supaya rasa kasih sayang, perhatian,
dan pengarahan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
2. Perlunya pendidikan dalam keluarga untuk menanamkan nilai moralitas dan
disiplin akan memberikan pedoman bagi terbentuknya pribadi anak yang
dapat memperkecil kenakalan remaja.
3. Masih perlunya remaja diberikan kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif,
seperti kegiatan remaja masjid, kegiatan keterampilan, kegiatan olah raga
dan sebagainya.yang tentunya dengan kegiatan itu remaja menjadi lebih
kreatif dan berwawasan luas.
4. Penting adanya koordinasi semua pihak, khusunya yang mempunyai
tanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup remaja, yakni koordinasi
orang tua dengan guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh
pemuda/remaja, dan pihak aparat penegak hukum (polisi). Selanjutnya
dengan koordinasi ini dapat mencarikan solusi dalam menanggulangi
kenakalan remaja, khususnya kenakalan remaja yang terjadi di Kelurahan
Tammua.
79
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers.
Eitzen, Stanlen D, 1986, Social Problems, Boston, Sydney, Toronto. Allyn and Bacon
inc.
Evi yulianti, Pengertian-Kenakalan-Remaja-Makalah, 30 April 2011,
http://www.Psikonselingblogspot.com
Gunarsa Singgih D at al, 1988, Psikologi Remaja, Jakarta, BPK Gunung Mulya.
Kartini Kartono,1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali.
Kaufman, James, M, 1989, Characteristics of Behaviour Disorders of Children and
Youth, Columbus, London, Toronto, Merril Publishing Company.
Masngudin, Kenakalan remaja Sebagai Perilaku Menyimpang Hubungannya dengan
keberfungsian Sosial Keluarga, 30 April 2011, http://www.Depsos.go.id
Nazir, Moh, 1985, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Sartono, Suwarniyati, 1985, Pengukuran Sikap Masyarakat terhadap Kenakalan
Remaja di DKI Jakarta, Jakarta, laporan penelitian, UI.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei, Jakarta,
LP3ES.
Soekanto, Soerjono, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Jakarta: Rajawali.
Soekanto, Soerjono, 2002. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press.
80
Download