1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman dahulu penyelenggaraan rumah sakit berorientasi pada kemurnian rasa kasih sayang, kesadaran sosial dan naluri untuk saling tolong menolong diantara sesama, serta samangat keagamaan yang tinggi dalam kehidupan umat manusia. Sejalan dengan peradaban umat manusia serta perkembangan tatanan sosio budaya masyarakat, rumah sakit yang telah berkembang menjadi suatu lembaga berupa “unit sosio ekonomi “ yang majemuk seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi pada umumnya, khususnya dalam bidang kedokteran dan kesehatan.1 Perkembangan rumah sakit menjadi suatu lembaga unit sosio ekonomi menyebabkan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan dirumah sakit. Tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia menyebabkan masih banyak masyarakat miskin yang belum mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Kondisi ini tentu tidak sebanding dengan ekonomi masyarakat miskin yang harus mengeluarkan biaya tinggi untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pemerintah seharusnya lebih cepat tanggap akan pentingnya kesehatan, sebab kesehatan merupakan bagian terpenting untuk mencapai kesejahteraan. 1 Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Prestasi Publisher, Jakarta, hlm. 51. 2 Berdasarkan Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak “. Amanat kedua pasal diatas menunjukan bahwa negara yang harus bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan dan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan bagi setiap orang termasuk masyarakat miskin. Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.2 Kesehatan merupakan faktor utama dalam kehidupan, maka pemerintah harus melakukan tindakan nyata untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kenyataanya derajat kesehatan di Indonesia masih rendah hal ini digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga setengah sampai dengan empat kali lebih tinggi dari 2 Sundoyo, Jaminan Kesehatan Masyarakat Salah Satu Cara Menyejahterakan Rakyat, Vol. 2. No. 4. Jurnal Hukum Kesehatan. Jakarta. hlm. 15. 3 masyarakat tidak miskin.3 Salah satu penyebabnya karena mahalnya biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan. Pemerintah seharusnya lebih tanggap dengan kondisi ini, mahalnya biaya pelayanan kesehatan dapat mengakibatkan kematian. Upaya preventif sebenarnya sangat perlu dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mencegah timbulnya penyakit, kematian ibu dan atau bayi. Masyarakat miskin biasanya rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit karena berbagai kondisi seperti kurangnya kebersihan lingkungan dan perumahan yang saling berhimpitan, perilaku hidup bersih masyarakat yang belum membudaya, pengetahuan terhadap kesehatan dan pendidikan yang umumnya masih rendah.4 Keadaan tersebut tentu mencerminkan rendahnya tingkat kesehatan yang ada di Indonesia. Tingginya angka kesakitan berakibat terhadap biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama tingginya biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pasien rawat inap. Surat kabar Kompas dalam penerbitanya akhir Desember 1978, dalam laporannya mengesankan adanya hal-hal yang tidak perlu didalam penyediaan obat-obatan. Hal-hal yang tidak perlu ini ditambah dengan sifat-sifat perdagangan, membuat harga obat menjadi tinggi, yang sebenarnya tidak relevan dengan kebutuhan medis dalam suatu pengobatan. Tidak jarang bahwa harga obatnya sendiri cukup mahal, tetapi kepentingan perdagangan, obat-obatan tersebut diberikan rasa yang lebih enak, bungkus yang lebih bagus, sehingga harga tambahan dari faktor-faktor ini melampaui harga dari obatnya sendiri.5 3 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. hlm. 1. 4 Ibid. 5 Sulastomo, 2003, Manajemen Kesehatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 9. 4 Biaya pelayanan kesehatan bukan hanya mencangkup harga obat yang harus dibayar, tetapi juga termasuk imbalan jasa keahlian maupun tempat perawatan (rumah sakit). Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk berobat tentunya tidak semua masyarakat mampu untuk membayar, terutama masyarakat miskin. Beban finansial bagi pasien rawat inap yang tentunya besar mengakibatkan masyarakat miskin cenderung tidak pergi ke rumah sakit. Ketakutan untuk membayar pelayanan kesehatan yang tinggi mengakibatkan mereka juga tidak ingin pergi ke rumah sakit pemerintah, walaupun rumah sakit pemerintah menerima subsidi dari pemerintah, orang miskin tidak mendapatkan subsidi yang cukup karena berbagai alasan. Fakta bahwa orang miskin diharuskan membayar tarif kamar perawatan, prosedur pengobatan dan obat serta peralatan medis menjadi hambatan bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai. Masyarakat mengetahui bahwa ketika mereka pergi ke rumah sakit pemerintah, mereka harus membayar biaya dalam jumlah yang besar. Kebutuhan akan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin sangat diperlukan apalagi bila salah satu anggota keluarga diharuskan memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Biaya pelayanan kesehatan rumah sakit bagi pasien rawat inap yang tidak memiliki asuransi kesehatan, tidak ada keluarga yang membantu, tidak memiliki tabungan bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari belum dapat mencukupi akan menghancurkan keluarga sebab anggota keluarga yang lain 5 juga memerlukan biaya untuk kebutuhan hidup bukan hanya untuk membayar biaya pelayanan kesehatan rawat inap. Amanat dari Pasal 28 H ayat (1) dan 34 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia diwujudkan dengan adanya Program Jaminan Kesehatan Masayarakat (Jamkesmas). Dikeluarkanya program ini diharapkan masyarakat miskin dan tidak mampu dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa: Ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan; Ayat (2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan diatas, mempertegas bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, belum dapat diimplementasikan mengingat aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden sampai dengan saat ini belum diundangkan kecuali Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Belum dapat diimplementasikannya undang-undang tersebut semakin mempersulit masyarakat 6 untuk mendapatkan jaminan, terutama jaminan kesehatan yang sangat diperlukan bagi masyarakat miskin. Kementrian Kesehatan mengeluarkan program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin sebagai wujud pemenuhan hak rakyat atas kesehatan. Menteri Kesehatan sebagai penanggung jawab langsung masalah bidang kesehatan mengeluarkan suatu program Jamkesmas. Pedoman yang menjadi acuan pelaksanaan Jamkesmas adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 903/ Menkes/ PER/ V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Tahun 2007 dan 2008 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin yang dijamin oleh Jamkesmas, jumlah penduduk miskin dan hampir miskin yang dijamin pemerintah terus meningkat hingga menjadi 76,4 juta jiwa. Peningkatan pemanfaatan program Jamkesmas menunjukan bahwa tujuan program tersebut telah tercapai.6 Peningkatan peserta Jamkesmas harus tetap diperhatikan oleh pemerintah terutama mengenai pelayanan kesehatan yang diberikan. Rumah sakit sebagai salah satu tempat yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat juga perlu mendapatkan perhatian atas segala tindakan-tindakan yang dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Banyak kasus yang ditemukan dalam survey Citizen Report Cards (CRC) 2010. Survei ini dilakukan ICW pada 986 pasien miskin pemegang kartu Jamkesmas, Jamkesda, Gakin, dan SKTM pada 19 rumah sakit pemerintah dan swasta di Jabodetabek, periode 13 Oktober-13 November 2010. 6 Sundoyo dan Siti Maimunah Siregar, Tinjauan Yuridis Penyelenggaraan Jamkesmas 2008. Vol.1. No.2. 2008. Jurnal Hukum Kesehatan. Jakarta. hlm. 21. 7 Berdasarkan CRC masih ditemukan pasien miskin yang enggan menggunakan kartu Jamkesmas, Jamkesda, dan Gakin diawal pengobatan karena dikawatirkan ditolak berobat secara halus oleh pihak rumah sakit. Penolakan tersebut disertai alasan seperti tempat tidur penuh, tidak punya peralatan kesehatan, dokter atau obat yang memadai untuk tidak menerima pengobatan pasien tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pelayanan rumah sakit bagi pasien miskin belum kunjung membaik. Pasien miskin masih menganggap rumah sakit belum memprioritaskan pelayanan bagi mereka. Diantara jenis pelayanan rumah sakit, pengurusan administrasi merupakan pelayanan paling banyak dikeluhkan oleh pasien miskin. Dari 989 total responden, 47,3 persen masih mengeluhkan pelayanan tersebut. Sementara keluhan terhadap pelayanan dokter, perawat, petugas rumah sakit lain, keluhan uang muka, keluhan penolakan rumah sakit, dan keluhan fasilitassarana rumah sakit disampaikan berturut-turut oleh 18,2 persen, 18,7 persen, 10,2 persen dan 13,6 persen pasien miskin.7 Berdasarkan hasil survey dari Citizen Report Cards (CRC) 2010 menggambarkan belum membaiknya pelayanan kesehatan yang diberikan bagi peserta Jamkesmas. Hasil survey yang dilakukan di Jabodetabek yang seharusnya dapat dijadikan sebagai percontohan bagi pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi daerah lain justru belum berhasil. Penegakan hukum yang masih tebang pilih juga ternyata berlaku dalam pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sistem tebang pilih ternyata juga berlaku di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sampang. Kali ini menimpa Mariyah (17), pasien bersalin pengguna jaminan kesehatan masyarakat ( Jamkesmas) asal desa Padiyangan Kecamatan Robatal. Anehnya, semenjak masuk RSUD Sampang pukul 22.00 wib hari Minggu 24 juli 2011 hingga 28 juli 2011, pasien sama sekali tidak disentuh oleh petugas Rumah Sakit. Akibatnya, kondisi pasien saat ini semakin memprihatinkan. 8 7 Pelaksanaan Sistem Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin, http // news.okezone.com, Masih_Sebelah_Mata_Pandang_Kelas_Bawah, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011. 8 Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http// beritajatim.com, 4_ Hari_ Pasien_ Jamkes mas_ Ditelankarkan_RSUD_Sampang, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011. 8 Peristiwa yang dialami oleh Mariyah menunjukan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat miskin peserta Jamkesmas sangat buruk. Empat hari dirumah sakit tidak diberikan pelayanan kesehatan yang semestinya, tentunya mencerminkan bahwa pelayanan kesehatan bagi pasien rawat inap peserta Jamkesmas tidak berjalan semestinya. Sejumlah pasien program Jamkesmas di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo, milik Pemkab Bojonegoro, Jawa Timur (Jatim), sejak sepekan terakhir dirawat dilorong rumah sakit. Direktur RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro, Sunhadi yang diminta konfirmasi mengaku, belum tahu adanya pasien yang dirawat dilorong ruangan perawatan Asoka dan Sakura. Secara terpisah, seorang pasien Jamkesmas asal Desa Nglarangan, kecamatan Kanor, Yitno mengaku, sudah menjalani perawatan dilorong ruangan Sakura, sejak masuk rumah sakit, sepekan yang lalu. Dilorong tersebut, selain Yitno, juga ada seorang pasien lainnya lengkap dengan berbagai peralatan medis, termasuk tempat tidur. Sementara itu, ruangan Asoka yang merawat penyakit dalam, juga ada dua pasien yang dirawat dilorong.9 Pasien rawat inap peserta Jamkesmas seharusnya mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu ditempatkan diruang kelas III bukan dilorong ruangan. Penempatan pasien peserta Jamkesmas tersebut tentunya sangat menyimpang dengan ketentuan yang ada semestinya bila alasan dirawat dilorong ruangan karena tidak tersedianya tempat tidur, peserta terpaksa dirawat dikelas yang lebih tinggi dari kelas III dan biaya pelayanannya tetap diklaimkan menurut biaya kelas III. Gambaran yang lebih memprihatinkan tentang pelayanan kesehatan dirumah sakit yaitu mengenai penolakan pasien masyarakat miskin peserta Jamkesmas. 9 Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http// antaranews.com, ,Pasien_ Jamkesmas_ Dirawat_ di_lorong_RS, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011. 9 Penolakan terhadap pasien miskin kembali terulang. Said, salah seorang pasien miskin dibawa pulang keluarganya, baru-baru ini. Sebab, pihak rumah sakit menolak mengoperasi pasien yang hanya mengantongi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) itu tanpa alasan yang jelas. Warga Balaraja, Tangerang, Banten.10 Peristiwa diatas mencerminkan bahwa adanya ketidakadilan pelayanan kesehatan yang diperuntukan bagi masyarakat miskin pasien rawat inap peserta Jamkesmas. Fakta yang terjadi dari beberapa peristiwa diatas dapat di identifikasikan mengenai masalah yang terjadi di rumah sakit terkait dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin peserta Jamkesmas, yaitu: 1. Keterbatasan ruangan bagi pasien rawat inap khususnya bagi pasien yang menggunakan kartu Jamkesmas. Sehingga banyak terjadi penolakan terhadap masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan rawat inap dengan alasan ruangan penuh dan juga berakibat ada pasien rawat inap di rumah sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan di lorong ruangan. 2. Penerapan kendali mutu pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit perlu diperhatikan. Peristiwa yang dialami Mariyah, pasien dari RSUD Kabupaten Sampang yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dirumah sakit tentunya mengakibatkan kondisi pasien lebih memprihatinkan. 3. Pengurusan administrasi, hal ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Survey dari Citizen Report Cards (CRC) 2010 yang dilakukan pada 986 pasien miskin pengguna kartu Jamkesmas, Jamkesda, Gakin dan SKTM di 19 rumah 10 Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http//kesehatan.liputan6.com, tiada-biaya-pasienmiskin-dibawa-pulang, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011. 10 sakit pemerintah dan swasta di Jabodetabek, periode 13 Oktober – 13 November 2010. Hasil survey menyatakan 47, 3 persen banyak mengeluhkan tentang pengurusan administrasi yang harus dilakukan. Survey tersebut tentunya dapat mengidikasikan bahwa pengurusan administrasi bagi pasien Jamkesmas belum kunjung membaik. Aturan mengenai Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat telah dua kali mengalami perubahan karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan. Beberapa kendala dalam pelaksanaan Jamkesmas tahun 2010 meliputi kepersertaan, pelayanan kesehatan, pendanaan program, pengorganisasian, peran dan fungsi pemerintah daerah. Salah satu kendala dalam pelaksanaan Jamkesmas tahun 2010 adalah kendala dalam pelayanan kesehatan antara lain: a) masih terdapat (meskipun kasusnya sangat sedikit) penolakan pasien Jamkesmas dengan alasan kapasitas RS sudah penuh, b) sistem rujukan belum berjalan dengan optimal, c) belum semua RS menerapkan kendali mutu dan kendali biaya, d) peserta masih dikenakan urun biaya dalam mendapat obat, AMHP atau darah, e) penyediaan dan distribusi obat belum mengakomodasi kebutuhan pelayanan obat program Jamkesmas, f) penetapan status kepesertaan Jamkesmas atau bukan peserta Jamkesmas sejak awal masuk Rumah Sakit, belum dipatuhi sepenuhnya oleh peserta.11 Dikeluarkanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 903/ MENKES/ PER/ V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan diharapkan dapat mengatasi kendala yang ada. Rumah sakit sebagai salah satu pelaksana Jamkesmas harus dapat memberikan pelayanan kesehatan 11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 Tentang Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), hlm. 3. Pedoman 11 bagi masyarakat miskin yang mengacu pada ketentuan yang ada. Jamkesmas dikeluarakan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat miskin dibidang kesehatan, dengan adanya Jamkesmas diharapkan masyarakat miskin dapat memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang layak. Hasil pencacahan sensus penduduk 2010, menyebutkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Banyumas adalah 1.553.902 orang dan berdasarkan pada data BPS Kabupaten Banyumas memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 62.500 orang. Kesehatan merupakan faktor utama dalam meningkatkan SDM, dengan SDM yang lebih baik tentunya dapat mencapai kesejahteraan. Ketersediaan sarana kesehatan sangat penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Pada tahun 2010 jumlah rumah sakit baik negeri maupun swasta yang ada di Kabupaten Banyumas sebanyak 22 buah. Pada setiap kecamatan secara umum sudah terdapat Puskesmas dan Puskesmas Pembantu.12 Jumlah sarana rumah sakit yang tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang ada di Kabupaten Banyumas tentunya menjadi suatu hambatan untuk meningkatkan kesehatan. Jumlah rumah sakit yang terbatas tentunya berakibat bagi masyarakat miskin yang harus berusaha untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Sarana dan prasarana yang ada dirumah sakit tentunya sangat berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan untuk pasien. Terutama bagi pasien yang 12 Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, 2011, Kabupaten Banyumas Dalam Angka 2011 Banyumas In Figures, Banyumas. hlm. 89. 12 harus memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap, keterbatasan sarana pelayanan kesehatan di Banyumas seharusnya lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah. Masyarakat miskin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat miskin yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Masyarakat yang kondisi ekonominya tidak mampu 2. Masyarakat yang memiliki kartu Jamkesmas 3. Masyarakat yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit Asumsi masyarakat mengenai pelayanan kesehatan yang kurang baik, terutama pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien rawat inap peserta Jamkesmas dirumah sakit tentunya membuat citra kurang baik bagi rumah sakit. Asumsi masyarakat tersebut tidak harus diterapkan pada semua rumah sakit, karena rumah sakit sebagai suatu unit yang memberikan pelayanan kesehatan juga memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dirumah sakit bagi pasien rawat inap peserta Jamkesmas tidak semestinya menelan asumsi tersebut, sebab dalam implementasinya banyak faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin bagi pasien rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Mengingat masyarakat miskin dari waktu ke waktu justru semakin berkembang terutama dalam kuantitasnya maka jaminan kesehatan masyarakat bagi masyarakat miskin sangat diperlukan karena pada umumnya masyarakat 13 miskin belum sepenuhnya mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang. Dalam pelayanan kesehatan tidak jarang ditemukan berbagai pelayanan kesehatan yang diskriminatif antara masyarakat miskin dengan masyarakat yang tidak miskin bahkan banyak pula masyarakat miskin yang ingin berobat ke rumah sakit tertentu ditolak karena hanya tidak bisa menunjukan bukti sebagai masyarakat miskin sehingga jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin hampir tidak bisa dinikmati meskipun dalam peraturan menteri secara tegas diatur pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Hal inilah yang menjadi arti penting dalam penelitian ini. Sehingga penelitian ini memberikan kontribusi terutama bagi pembuat kebijakan-kebijakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Berdasarkan pada pemikiran diatas, penulis menjadi tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ IMPLEMENTASI SISTEM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN PASIEN RAWAT INAP DALAM PELAYANAN KESEHATAN ( STUDI DI RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO)”. 14 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik suatu perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo? 2. Faktor-faktor apa yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. 15 D. Kegunaan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan dan tujuan penelitian sebagaimana dipaparkan diatas, maka hasil penelitian berguna baik untuk kepentingan teoritis maupun praktis. 1. Kegunaan Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin peserta Jamkesmas. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi dan praktisi dibidang hukum kesehatan, dalam mengembangkan ilmu dibidangnya sesuai dengan falsafah yang ada, dimana masyarakat miskin pasien rawat inap peserta Jamkesmas harus dipandang sebagai warga negara yang memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan nondiskriminatif. 2. Kegunaan Praktis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan (input), bagi RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo dalam melaksanakan tanggung jawab hukumnya mengenai implementasi sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi ilmiah dan dapat menjadi acuan serta bahan perbandingan bagi penelitianpenelitian sejenis dimasa mendatang. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kesehatan 1. Pengertian dan Pengaturan Pelayanan Kesehatan Hukum kesehatan merupakan hukum yang secara khusus berisikan perangkat kaidah maupun keteraturan sikap tindakan yang berkaitan dengan kesehatan.13 Pelayanan kesehatan merupakan tindakan yang terkaitan dengan kesehatan, maka pelayanan kesehatan masuk didalam hukum kesehatan. Pelayanan kesehatan dalam tulisan ini hanya dibatasi pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan langsung dengan penerapan ilmu dan teknologi kesehatan saja, khususnya pada masalah implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pada masa lampau ada anggapan kuat bahwa kedudukan hukum pasien lebih rendah daripada tenaga kesehatan (misalnya dokter).14 Dokter dianggap tahu segalanya dan pasien tidak sadar memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang disarankan oleh dokter. Kemajuan ilmu kesehatan saat ini tentunya dapat mengakibatkan resiko yang tinggi bagi pasien. Tenaga kesehatan juga dapat melakukan kesalahan dalam memberikan 13 Soerjono Soekanto dan Herkutanto,1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja, Bandung, hlm. 27. 14 Ibid.,hlm. 35. 17 pelayanan kesehatan, tindakan keliru atau kelalaian juga bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan. Perlindungan hukum bagi pasien penting supaya tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan bertindak hati-hati, maka dalam rangka mewujudkan perlindungan bagi pasien kemudian diatur didalam peraturan perundang-undangan. Ditinjau dari aspek hukum, pelayanan kesehatan secara formal diatur didalam Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Undang-Undang tersebut tidak secara tegas mengatur tentang pengertian pelayanan kesehatan. Ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan hanya ada pengertian mengenai upaya kesehatan, yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 11, yang menyatakan bahwa : “ Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”. Ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyebutkan bahwa: “ Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat”. 18 Kedua ketentuan diatas dipertegas dengan adanya Pasal 47 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa : “ Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan”. Berdasarkan pada ketentuan diatas maka dapat diinterprestasikan bahwa, masalah pelayanan kesehatan sudah diatur secara tegas didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, karena pada dasarnya pelayanan kesehatan merupakan bagian yang integral dari upaya kesehatan, dengan tujuan untuk mewujudkan kesehatan secara perorangan maupun kelompok yang dilakukan dengan berbagai pendekatan upaya kesehatan. Hal ini terkandung dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) huruf a, yang menyatakan bahwa: “ Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kesehatan”. Pengertian pelayanan kesehatan menurut pendapat beberapa ahli hukum adalah sebagai berikut: Pengertian pelayanan kesehatan menurut Soerjono Soekamto adalah: ” Pelayanan kesehatan merupakan suatu usaha profesi kesehatan untuk mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan pada setiap orang atau masyarakat yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, secara terus menerus dan berkesinambungan agar dapat hidup sejahtera secara 19 produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai kondisi, situasi dan kemampuan yang nyata dari setiap orang atau pun masyarakat.”15 Menurut Wiku Adisasmito, dalam studinya tentang analisis kebijakan kesehatan berpendapat bahwa pengertian pelayanan kesehatan adalah: “ Segala bentuk kegiatan yang ditunjukan untuk meningkatkan derajat suatu masyarakat yang mencangkup kegiatan penyuluhan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan kesehatan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkesinambungan yang secara sinergis berhasil guna dan berdaya guna sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat setinggitingginya”.16 Menurut Lavey dan Loomba yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah “ Setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditunjukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat”.17 Pengertian pelayanan kesehatan menurut pendapatnya Abdul Bari Syaifudin yang menyatakan bahwa: “ Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat”.18 15 Soerjono Soekanto,1990. Segi-Segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum Kesehatan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 12. 16 Wiku Adisasmito,2008, Kebijakan standar pelayanan Medik dan Diagnosis related Group (DRG), Kelayakan Penerapanya di Indonesia, Jakarta,Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia,hlm.9. 17 Alexandra Indriyanti Dewi,2008,Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, hlm. 136. 18 Abdul Bari Syaifudin, 2002, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, hlm. 17. 20 Batasan-batasan pelayanan kesehatan diatas, agak berbeda dengan pendapat Lumentana yang membedakan antara pelayanan kesehatan dengan pelayanan medik, yang menyatakan bahwa: “ Pelayanan medik adalah suatu kegiatan mikrososial yang berlaku antara perorangan, sedangkan pelayanan kesehatan adalah suatu kegiatan makrososial yang berlaku antara pranata atau lembaga dengan populasi tertentu, masyarakat dan komunitas. Baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan medik mempunyai tujuan yang sama yaitu memenuhi kebutuhan individu atau masyarakat untuk mengatasi, menetralisasi atau menormalisasi semua masalah atau penyimpangan terhadap keadaan kesehatan yang normatif”.19 Berdasarkan pengertian pelayanan kesehatan tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, bentuk dan jenis pelayanan kesehatan mengandung banyak ragamnya, oleh karena sangat ditentukan oleh: a) Pengorganisasian pelayanan, apakah diselenggarakan secara sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi; b) Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya; c) Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perorangan, keluarga, kelompok ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan.20 Dilihat dari segi bentuk dan jenis pelayanan kesehatan, Hodgetts dan Cascio sebagaimana dikutip oleh Azrul Azwar menjabarkan pelayanan kesehatan menjadi 2 (dua) macam, yakni: a) Pelayanan kesehatan masyarakat, yakni bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya memelihara dan meningkatkan 19 B. Lumentana, 1989, Pelayanan Medis, Citra, Konflik dan Harapan, Kanisius, Kanisius, Yogyakarta, hlm.15. 20 Azrul Azwar, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta, hlm. 36. 21 kesehatan dan mencegah penyakit serta sasaran utamanya adalah kelompok dan masyarakat; b) Pelayanan medis, yakni bagian dari pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan serta sasaran utamanya adalah perorangan dan keluarga.21 2. Asas-Asas Hukum Pelayanan Kesehatan Menurut Veronika Komalawati yang mengatakan bahwa asas-asas hukum yang mendasari pelayanan kesehatan adalah sebagi berikut : a) Asas Legalitas Asas ini tersirat didalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa: 1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan; 2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki; 3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Berdasarkan pada ketentuan diatas, maka pelayanan kesehatan hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.22 21 Azrul Azwar, 2008, Kebijakan dan Sistem Kesehatan, Materi Kuliah Kebijakan dan Sistem Kesehatan, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UNSOED, Purwokerto, hlm. 2. 22 Anny Isfandyarie, Op. Cit., hlm. 75. 22 b) Asas Keseimbangan Menurut asas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan sepiritual. Didalam pelayanan kesehatan, dapat pula diartikan sebagai keseimbanagan antara tujuan dan sasaran, antara sasaran dan hasil, antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya yang dilakukan. Asas ini erat kaitannya dengan masalah keadilan. Menurut Mertokusumo, penilaian keadilan yang pada umumnya subyektif dan hanya dapat dilihat dari pihak yang menerima perlakuan saja. Kaitanya dengan pelayanan kesehatan, keadilan yang dimaksud bersifat kasuistis karena sangat terkait dengan alokasi sumber daya dalam pelayananan kesehatan.23 c) Asas Tepat Waktu Asas ini merupakan asas yang penting dalam memberikan pelayanan kesehatan karena akibat dari kelalaian memberikan pelayanan kesehatan tepat pada saat yang dibutuhkan dapat mengakibatkan kondisi pasien memburuk bahkan nyawa pasien dapat terancam. Asas ini perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan mengingat hukum tidak bisa menerima alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang disebabkan karena keterlambatan tenaga kesehatan dalam menangani pasien.24 23 24 Ibid., hlm. 78. Ibid. 23 d) Asas Iktikad Baik Asas ini bersumber pada prinsip etis untuk berbuat baik (beneficence) pada umumnya perlu diaplikasikan dalam pelaksanaaan kewajinan tenaga kesehatan terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Penerapan asas iktikad baik akan tercermin dengan penghormatan terhadap hak pasien dan pelaksanaan praktik tenaga kesehatan yang selalu berpegang teguh pada standar profesi. Kewajiban berbuat baik tentunya bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian bagi diri sendiri.25 e) Asas Kejujuran Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan kepercayaan pasien kepada tenaga kesehatan. Asas kejujuran mewajibkan tenaga kesehatan untuk memberikan pertolongan sesuai kebutuhan pasien, yakni sesuai dengan standar profesinya. Penggunaan berbagai sarana yang tersedia didalam lembaga pelayanaan kesehatan hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan.26 Asas ini juga merupakan dasar bagi tenaga kesehatan dan pasien untuk dapat menyampaikan informasi yang benar dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran. Kejujuran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menyampaikan keadaan pasien juga ada pengecualian, tenaga kesehatan 25 26 Ibid. Ibid., hlm. 80-81. 24 tidak berarti harus memberitahukan keadaan yang sebenarnya yang dialami oleh pasien karena tenaga kesehatan berpendapat bahwa pemberitahuan keadaan yang sebenarnya tentang pasien dapat merugikan pasien yang bersangkutan. f) Asas Kehati-hatian Sebagai seorang yang profesional dibidang kesehatan, tindakan tenaga kesehatan harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, karena kecerobohaan dalam melakukan tindakan yang berakibat terancamnya jiwa pasien, dapat mengakibatkan tenaga kesehatan terkena tuntutan pidana. Asas ini tersirat didalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan bahwa: “ Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterima”. Asas kehati-hatian ini diterapkan dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang erat kaitannya dengan informed consent dalam transaksi terapeutik.27 g) Asas Keterbukaan 27 Ibid., hlm. 82. 25 Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat di dalamnya terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterprestasikan dari penjelasan Pasal 2 angka (9) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi: “ Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagi bentuk kesamaan kedudukan hukum” Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien dengan berlandaskan sikap saling percaya. Sikap ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi secara terbuka antara tenaga kesehatan dengan pasien dimana pasien memperoleh penjelasan atau informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini.28 Sedikit berbeda dengan pendapat Veronica Komalawati, Munir Fuandy sebagaimana dikutip oleh Anny Isfandyarie mengemukakan pendapatnya bahwa, didalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terdapat beberapa asas etika modern dari praktik kedokteran yang disebutkan oleh Catherien Tay swee Kiaan antara lain sebagai berikut: a) Asas Otonom Asas otonom menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitan sebagai subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk 28 Ibid., hlm. 83. 26 menentukan pilihannya secara rasional, sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya sendiri.29 Pilihan pasien yang salah atas tindakan yang dilakukannya meskipun hal tersebut merupakan hak dari pasien, tenaga kesehatan harus tetap menghormati dan menjelaskan sesuai dengan ilmu pengetahuanya kepada pasien tentang akibat yang dapat ditimbulkan dari pilihan tindakan pasien. Tenaga kesehatan dalam memberikan informasi terhadap pasien hendaknya menyadari bahwa kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan rasa takut terhadap penyakitnya serta latar belakang keyakinan, adat istiadat, sosial ekonomi pasien akan mempengaruhi persetujuan yang diberikan. b) Asas Murah Hati Asas ini menganjurkan tenaga kesehatan untuk bermurah hati terhadap pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan. Berbuat kebajikan, kebaikan dan dermawan merupakan anjuran yang berlaku umum bagi setiap individu.30 Asas ini, hendaknya dapat diterapkan oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya yang dilakukan terhadap pasien. c) Asas Tidak Menyakiti 29 30 Ibid., hlm. 83-84. Ibid., hlm. 84. 27 Tenaga kesehatan dalam melakaukan pelayanan kesehatan hendaknya berusaha tidak menyakiti pasien meskipun hal ini sangat sulit dilakukan, karena dalam melakukan pengobatan terhadap pasien justu tenaga kesehatan harus menyakiti pasien. Tindakan tersebut bila dilakukan maka tenaga kesehatan harus memberitahukan terlebih dahulu kepada pasien bahwa akan menimbulkan rasa sakit untuk kesembuhan pasien. d) Asas Keadilan Keadilan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan kesehatan secara adil kepada pasien tanpa memandang status ekonomi, suku dan agama. Asas ini juga mengharuskan tenaga kesehatan untuk menghormati semua hak pasien antara lain hak atas kerahasiaan, hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan dalam pelayanan kesehatan.31 e) Asas Kesetiaan Asas Kesetiaan berarti tenaga kesehatan harus dapat dipercaya dan setia terhadap amanah yang diberikan pasien kepada dirinya. Pasien berobat kepada tenaga kesehatan karena pasien percaya bahwa tenaga kesehatan akan menolong untuk menyembuhkan dirinya. Hal ini merupakan amanah yang harus dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dengan penuh tanggung jawab untuk menyelamatkan pasien. 31 Ibid., hlm. 85. 28 f) Asas Kejujuran Asas kejujuran menghendaki adanya kejujuran antara tenaga kesehatan dengan pasien. Tenaga kesehatan harus memberikan informasi yang sejujurnya kepada pasien tentang hasil pengamatan dan pemeriksaan terhadap kesehatan pasien, dan sebaliknya pasien juga harus secara jujur memberitahukan tentang riwayat penyakit yang dideritannya kepada tenaga kesehatan. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka pada dasarnya asas-asas hukum tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi bahwa: “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, nondiskriminasi serta norma-norma agama”. 29 3. Syarat-Syarat Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) macam, yakni pelayanan medis dan pelayanan kesehatan masyarakat, yang masing-masing memiliki ciri-ciri yang berbeda. Pembagaian pelayanan kesehatan diatas sesuai dengan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan sebagai berikut: a) Pelayanan kesehatan terdiri atas: 1) Pelayanan kesehatan perorangan; dan 2) Pelayanan kesehatan masyarakat. b) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan antara lain bahwa: a) Pelayanan kesehatan perorangan ditunjukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perorangan dan keluarga; b) Pelayanan kesehatan masyarakat ditunjukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat. Berkaitan dengan hal diatas, Azrul Azwar mengatakan bahwa, ciri-ciri utama dari pelayanan kesehatan meliputi antara lain sebagai berikut: a) b) c) d) e) Tenaga pelaksanannya terutama adalah para dokter; Perhatian utamanya pada penyembuhan penyakit; Sasaran utamanya adalah perseorangan atau keluarga; Kurang memperhatikan efisiensi; Tidak boleh menarik perhatian karena bertentangan dengan etika kedokteran; 30 f) Menjalankan fungsi perseorangan dan terkait dengan undangundang; g) Penghasilan diperoleh dari imbalan jasa; h) Bertanggung jawab hanya kepada penderita; i) Tidak dapat monopoli upaya kesehatan dan bahkan mendapat saingan; j) Masalah administrasi sangat sederhana;32 Dikatakan oleh Azrul Azwar bahwa ciri-ciri utama dari pelayanan kesehatan masyarakat antara lain mencakup: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Tenaga pelaksananya terutama ahli kesehatan masyrakat; Perhatian utamanya pada pencegahan penyakit; Sasaran utamanya adalah masyarakat secara keseluruhan; Selalu berupaya mencari cara yang efisien; Dapat menarik perhatian masyarakat misalnya dengan penyuluhan kesehatan; Menjalankan fungsi dengan mengorganisir masyarakat dan mendapatkan dukungan undang-undang; Penghasilan berupa gaji dari pemerintah; Bertanggung jawab kepada seluruh masyarakat; Dapat memonopoli upaya kesehatan; Menghadapi berbagai persoalan kepemimpinan.33 Berdasarkan hal diatas, dapat disimpulkan bahwa sekalipun pelayanan medis tersebut memiliki ciri yang berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, tetapi untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan kesehatan yang baik, kedua jenis pelayanan kesehatan tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan pokok, antara lain: a) Tersedia dan berkesinambungan Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia didalam masyarakat serta bersifat berkesinambungan, artinya, semua jenis pelayanan kesehatan yang 32 33 Azrul Azwar, 1996, Op. Cit., hlm. 37. Ibid. 31 dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaanya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.34 b) Dapat diterima dan Wajar Pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat diterima oleh masyarakat serta kersifat wajar, artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta tidak wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.35 c) Mudah dicapai Pelayanan kesehatan yang baik adalah mudah dicapai oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi, dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatana yang baik, maka pengaturan distribusi sasaran kesehatan menjadi sangat penting adanya. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi didaerah perkotaan saja, tetapi tidak ditemukan didaerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.36 d) Mudah dijangkau Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksudkan disini terutama dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan seperti ini harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan hanya mungkin dinikmati sebagaian kecil masyarakat saja, bukannlah pelayanan kesehatan yang baik.37 34 35 36 37 Ibid., hlm. 38. Ibid. Ibid. Ibid., hlm. 39. 32 e) Bermutu Pelayanan kesehatan yang baik adalah yang bermutu. Pengertian mutu yang dimaksudkan disini adalah yang menunjukan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dilain pihak tata cara penyelenggaraannnya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.38 Ditinjau dari segi hukum, persyarantan pokok pelayanan kesehatan diatas merupakan penjabaran dari ketentuan pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa: “ Penyelengggaraan pelayanan bertanggung aman, jawab, kesehatan bermutu, serta dilaksanakan merata dan secara non diskrinimatif”. Secara filosofis ketentuan ini bertujuan untuk mewujudkan salah satu hak asasi manusia dibidang kesehatan, yakni memperoleh akses atas pelayanan kesehatan yang baik dan dijamin oleh undang-undang. Hal ini tercermin dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa: “ Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau”. Ketentuan tersebut menyiratkan persyaratan pokok dari pelayanan kesehatan wajib diperhatikan terutama oleh tenaga kesehatan yang bertindak sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat (pasien) sebagai 38 Ibid. 33 penerima jasa pelayanan kesehatan serta sekaligus menjadi nilai-nilai pelayanan kesehatan, sehingga masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang berbasis pada kebutuhan dan menjadi instrument hukum untuk mencegah tindakan tenaga kesehatan yang salah. 4. Standar Profesi Medik dan Standar Pelayanan Rumah Sakit Tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien harus sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang ada. Standar pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan diperuntukan supaya tenaga kesehatan ketika memberikan pelayanan kesehatan tidak melakukan tindakan yang keliru kepada pasien. Menurut Leenen, yang dikenal dalam dunia kedokteran sebagai “ Lege artis” adalah: “ hakikatnya sebagai suatu tindakan yang dilakukan sesuai dengan Standar Profesi Medis (SPM) yang terdiri dari beberapa unsur utama meliputi : 1. Bekerjanya dengan teliti, hati-hati dan seksama. 2. Sesuai dengan ukuran medis 3. Sesuai dengan kemampuan rata-rata/ sebanding dengan dokter dengan kategori keahlian medis yang sama; 4. Dalam keadaaan yang sebanding; 5. Dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit tindakan medis tersebut;39 Standar pelayanan medis sangat diperlukan dalam memberikan pelayanan kesehatan, karena dalam prakteknya sering dijumpai adanya 39 Tedi Sudrajat,2010. Materi Kuliah Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman 34 penanganan dan pemeriksaan yang berbeda, maupun perbedaan sarana atau peralatan yang digunakan. Tanpa adanya standar pelayanan medis, maka penyimpangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan akan sulit untuk diketahui. Pendapat Nasution sebagaimana yang dikutip oleh Anny Isfandyarie bahwa : “ Tolak ukur dari perilaku yang memenuhi standar pelayanan medik dari seorang dokter saat ini hanya bisa dinilai dari kesungguhan upaya pengobatan yang dilakukannya dengan segenap kemampuan, pengalaman dan keahlian yang dimilikinya setelah memeriksa, dan menilai keadaan pasiennya. Dengan perkataan lain, bila dokter tidak memeriksa, tidak menilai dan tidak berbuat sebagaimana yang diperbuat oleh sesama dokter terhadap pasien, maka dokter tersebut dapat dikategorikan sebagai melakukan tindakan yang melanggar standar pelayanan medis yang berlaku’.40 Komalawati juga mengemukakan bahwa standar pelayanan medis mencangkup standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang. Kedua hal ini akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan teknologi.41 Selain standar pelayanan medis, dalam Undang-Undang juga menyebutkan mengenai standar prosedur operasional. Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Praktik kedokteran menyebutkan bahwa: 40 41 Anny Isfandyarie, Op. Cit., hlm. 203. Ibid., hlm. 203. 35 “ Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin”. Komalawati menyebut standar prosedur operasional sebagai prosedur yang diuraikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dari setiap spesialisasi, yang dalam aplikasinya disesuaikan dengan fasilitas dan sumber daya yang ada. Standar proses ini merupakan acuan atau pelengkap bagi rumah sakit karena dapat mengikuti kondisi rumah sakit mana prosedur tersebut diterapkan.42 Tujuan dibuatnya standar prosedur operasional ini adalah untuk memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan. Pemberian pelayanan kesehatan harus mengacu pada standar prosedur yang ada di tiap sarana pemberi pelayanan kesehatan. Standar operasional prosedur tetap harus mengacu pada standar profesi yang telah ditetapkan. B. Jaminan Kesehatan Masyarakat 1. Pengertian dan Pengaturan Jaminan Kesehatan Masyarakat Askeskin (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin) merupakan program yang sebelumnya dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Evaluasi pelaksanaan program Askeskin dilakukan oleh pemerintah, maka dalam rangka efektivitas kemudian pada tahun 2008, program Askeskin berganti nama menjadi Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). 42 Ibid., hlm. 202. 36 Kementrian Kesehatan mengeluarkan program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin sebagai wujud pemenuhan hak rakyat atas kesehatan. Menteri Kesehatan sebagai penanggung jawab langsung masalah bidang kesehatan mengeluarkan suatu Keputusan untuk dapat terlaksananya program Jamkesmas. Pedoman yang menjadi acuan pelaksanaan Jamkesmas kemudian dituangkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Perkembangan masyarakat akan kebutuhan pelayanan Jamkesmas menyebabkan dikeluarkanya aturan baru yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 686/ Menkes/ SK/ VI/ 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Keputusan Menteri ini kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 903/ Menkes/ PER/ V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Pengertian jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) tidak ada didalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 903/ Menkes/ PER/ V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan, sehingga menggunakan pengertian yang ada didalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. 37 Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2008, pengertian Jamkesmas adalah “ program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin.”43 Upaya pelaksanaan Jamkesmas merupakan perwujudan pemenuhan hak rakyat atas kesehatan dan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan merupakan salah satu komitmen pemerintah dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Namun hingga saat ini peraturan pelaksana dan lembaga yang harus dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum terbentuk. Departemen Kesehatan mengeluarkan suatu program Jamkesmas sebagai wujud pemenuhan hak rakayat dibidang kesehatan, supaya masyarakat miskin dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan. Implementasi program Jamkesmas dilaksanakan sebagai amanah Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa masyarakat, terutama masyarakat miskin sulit untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. 43 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, hlm. 5. 38 Kementrian Kesehatan telah mengalokasikan dana bantuan sosial sektor kesehatan yang digunakan sebagai pembiyaan bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Dasar hukum penyelenggaraan program Jamkesmas adalah: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 2. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN Tahun 2008 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Penjelasan dari landasan hukum diatas dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan program Jamkesmas telah sesuai dengan kondor hukum yang berlaku. Menteri Kesehatan keuangan Negara dibidang memiliki kekuasaan pengelolaan kesehatan, dan pengelolaan tersebut diwujudkan dalam bentuk bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat untuk melindungi resiko sosial. 44 2. Prinsip-Pinsip dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat di Rumah Sakit Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, ternyata juga berpengaruh terhadap rumah sakit. Perubahan peranan rumah sakit menjadi unit sosial ekonomis memerlukan patokan nilai-nilai 44 Sundoyo dan Siti Maimunah Siregar., Op. Cit., hlm. 27. 39 dalam mengoperasionalkan rumah sakit sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Rumah sakit menjadi suatu lembaga yang berperan sebagai organisasi yang merupakan pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin yang menggunakan jaminan kesehatan masyarakat untuk berobat juga memerlukan prinsipprinsip dalam menyelenggarakan jaminan kesehatan masyarakat dirumah sakit supaya tidak terjadi ketidakadilan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan bagi peserta program Jamkesmas mengacu pada prinsip-prinsip asuransi sosial yaitu: 1. Dana amanat nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan derajat kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu. 2. Menyeluruh (komperhensif) sesuai dengan standar pelayanan medis yang cost effective dan rasional. 3. Pelayanan terstruktur, berjenjang dengan prortabilitas dan ekuitas. 4. Transparan dan akuntabel.45 Masyarakat miskin yang mendapatkan pelayanan kesehatan dirumah sakit juga harus diperlakukan sama dengan pasien yang lain. Hal ini tercantum pada pasal 1 Bab II Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 924/Menkes/SK/XII/1986 tertanggal 18 Desember 1986 telah ditetapkan Kode Etik Rumah Sakit bagi rumah sakit diseluruh Indonesia, yang perlu mendapat perhatian pula adalah bahwa dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit: 45 Sundoyo., Op. Cit., hlm 53. 40 “…..menghormati dan memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya keagamaan, dengan tidak kebangsaan, dipengaruhi kesukuan, oleh pertimbangan adat-istiadat, perbedaan kelamin, politik partai dan kedudukan sosial”. Keputusan Menteri diatas mempertegas bahwa perilaku karyawan dan tenaga professional yang ada dirumah sakit, seharusnya memperlakukan setiap pasien dengan perlakuan yang sama. Mengenai tanggung jawab moral dan operasional, hal itu ada pada pimpinan rumah sakit. Disamping itu, kewajiban pimpinan rumah sakit adalah menjaga dan selalu meningkatkan mutu pelayanan untuk mencapai standarisasi yang telah ditentukan, sesuai dengan upaya akreditasi rumah sakit dikemudian hari. 3. Sasaran Jaminan Kesehatan Masyarakat Sasaran jaminan kesehatan masyrakat adalah masyarakat miskin dan tidak mampu diseluruh Indonesia sejumlah 76,4 juta jiwa, tidak termasuk penduduk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnnya. Berdasarkan Ketentuan Umum angka (2) Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, menyebutkan bahwa : “ Peserta Program Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan orang yang tidak mampu dan peserta lainnya yang iurannya dibayari oleh pemerintah sejumlah 76, 4 juta jiwa. Jumlah kuota data sasaran Jamkesmas 2011 adalah sama dengan jumlah kuota tahun 2010.” 41 Menurut Ketentuan Umum angka (3) Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, menyatakan bahwa : “ Peserta yang dijamin dalam program Jamkesmas tersebut meliputi : a. Masyarakat miskin dan tidak mampu yang telah ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota mengacu pada: 1) Data masyarakat miskin sesuai dengan data BPS 2008 dari Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang telah lengkap dengan nama dan alamat yang jelas ( by name by address ). 2) Sisa kuota: total kuota dikurangi data BPS 2008 untuk kabupaten/kota setempat ditetapkan sendiri oleh kabupaten/kota setempat lengkap dengan nama dan alamat ( by name by address ). b. Gelandangan, pengemis, anak dan orang terlantar, masyarakat miskin yang tidak memiliki identitas. c. Peserta program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak memiliki kartu Jamkesmas. d. Masyarakat miskin yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1185/ Menkes/ SK/XII/2009 tentang Peningkatan Kepersertaan Jamkesmas bagi Panti Sosial, Penghuni Lembaga Permasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara serta Korban Bencana Pasca Tanggap Darurat. Tata laksana pelayanan diatur dengan petunjuk teknis (juknis) tersendiri sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Jamkesmas Bagi Masyarakat Miskin Akibat Bencana, Masyarakat Miskin Penghuni Panti Sosial, dan Masyarakat Miskin Penghuni Lembaga Permasyarakatan serta Rumah Tahanan Negara. e. Ibu hamil dan melahirkan serta bayi yang dilahirkan ( sampai umur 28 hari ) yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Tata laksana pelayanan mengacu pada Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. f. Penderita Thalassaemia Mayor yang sudah terdaftar pada Yayasan Thalassaemia Indonesia (YTI) atau belum terdaftar namun telah mendapat surat keteranagan Direktur RS 42 sebagaimana diatur dalam Petunjuk Teknis Jaminan Pelayanan Penggobatan Thalassaemia.46 Berdasarkan BPS Kabupaten Banyumas, adapun kriteria variable kemiskinan rumah tangga yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal < 8 m per kapita 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal tanah/ bambu/ kayu murahan 3. Jenis bangunan tempat tinggal bambu/rumbai/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa plester 4. Fasilitas tempat buang air besar tidak punya/ bersama rumah tangga lainnya 5. Sumber penerangan rumah tangga bukan listrik 6. Sumber air minum sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari kayu bakar/arang/ minyak tanah 8. Konsumsi daging atau ayam per minggu tidak pernah/ satu kali seminggu 9. Pembelian pakaian baru setiap anggoata rumah tangga dalam setahun tidak pernah membeli/ satu stel 10. Frekuensi makan dalam sehari untuk setiap anggota rumah tangga satu kali/ dua kali makan sehari 11. Kemampuan untuk berobat ke Puskesmas/Poliklinik tidak mampu berobat 12. Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga Petani dengan luas lahan < 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerja lain dengan pendapatan rumah tangga < Rp. 600.000,00 per bulan 13. Pendidikan kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/ tamat SD 14. Pemilikian asset/harta bergerak/harta tidak bergerak, tidak mempunyai tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,00 seperti sepeda motor, emas perhiasan, ternak, kapal/perahu motor, atau barang modal lainnya. 46 Peraturan Menteri Kesehatan., Op. Cit., hlm. 9-10. 43 Klasifikasi Status Kemiskinan Rumah Tangga47 Kriteria Status Kemiskinan Karakteristik miskin = 13-14 Sangat Miskin Karakteristik miskin = 11-13 Miskin Karakteristik miskin = 9-10 Hampir Miskin Kriteria masyarakat miskin yang telah ditetapkan oleh pemerintah seharusnya dijadikan sebagai patokan bagi para petugas yang berwenang untuk membuat kartu Jamkesmas, sehingga benar-benar masyarakat miskin yang mendapatkan kartu Jamkesmas. Program Jamkesmas harus tepat sasaran supaya masyarakat miskin yang tidak mampu untuk berobat terutama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap memperoleh haknya dibidang kesehatan. Kondisi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini, penduduk yang relatif mampu terkadang ikut serta dalam memanfaatkan program Jamkesmas, seharusnya aparat yang berwenang untuk memberikan persyaratan dan mengeluarkan kartu Jamkesmas lebih memiliki kesadaran hukum supaya pemanfaatan program Jamkesmas tepat untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkan. 4. Prosedur Pelayanan Pasien Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Peserta Jamkesmas berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan rawat inap. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta jaminan kesehatan masyarakat juga 47 Sumber data BPS Kabupaten. Banyumas 44 memiliki prosedur yang harus ditaati. Prosedur untuk memperoleh pelayanan tingkat lanjutan bagi peserta Jamkesmas pasien rawat inap yaitu: a. Peserta Jamkesmas yang memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan (RJTL dan RITL), dirujuk dari puskesmas dan jaringannya ke FASKES tingkat lanjutan secara berjenjang dengan membawa kartu peserta Jamkesmas/ identitas kepesertaan lainnya/ surat rekomendasi dan surat rujukan yang ditunjukan sejak awal. Pada kasus emergency tidak memerlukan surat rujukan. b. Kartu peserta Jamkesmas/ identitas kepesertaan lainnya/ surat rekomendasi dan surat rujukan dari puskesmas yang dibawa ke Pusat Pelayanan Administrasi Terpadu Rumah Sakit (PPARTS) untuk diverivikasi kebenarannya dan kelengkapannya, selanjutnya dikeluarkan surat keabsahan peserta (SKP) oleh petugas PT. Askes (Persero), dan peserta selanjutnya memperoleh pelayanan kesehatan. c. Bayi dan anak dari pasangan peserta Jamkesmas (suami dan istri mempunyai kartu Jamkesmas yang memerlukan pelayanan menggunakan identitas kepesertaan orang tuanya dan diharapkan surat keterangan lahir dan Kartu keluarga orang tuannya. d. Pelayanan tingkat lanjutan sebagaimana diatas meliputi: 1) Pelayanan rawat jalan lanjutan (spesialistik) dirumas sakit dan balkesmas. 2) Pelayanan rawat jalan lanjutan yang dilakukan pada balkesmas bersifat pasif (dalam gedung) sebagai FASKES penerima rujukan. Pelayanan balkesmas yang ditanggung oleh program Jamkesmas adalah upaya kesehatan perorangan (UKP) dalam gedung. 3) Pelayanan rawat inap bagi peserta diberikan dikelas III (tiga) dirumah sakit 4) Pelayanan obat-obatan, alat dan bahan medis habis dipakai serta pelayanan rujukan spesimen dan penunjangan diagnostic lainnya. e. Untuk kasus kronois yang memerlukan perawatan berkelanjutan dalam waktu lama, seperti diabetes mellitus, gagal ginjal dan lain-lain, surat rujukan dapat berlaku selama satu bulan. Untuk kasus kronis lainnya seperti kasus gangguan jiwa, kusta, kasus paru dengan komplikasi, kanker, surat rujukan berlaku selama 45 tiga bulan. Pertimbangan pemberlakuan waktu surat rujukan ( 1 atau 3 bulan ) didasarkan pada pola pemberian obat. f. Rujukan pasien antar RS termasuk rujukan RS antar daerah dilengkapi surat rujukan dari rumah sakit asal pasien dan membawa identitas kepersertaannya untuk dikeluarkan SKP oleh petugas PT. Akses (Persero) pada tempat tujuan rujukan. 48 Bagan 1 : Alur Pelayanan Kesehatan Peserta Loket Pendaftaran di FASKES dasar Pelayanan Kesehatan Pulang RJT FASKES lanjutan (PPATRS) SKP oleh PT. Askes SIP oleh RS Pelayanan Kesehatan RIT Pulang Rujukan Verifikasi Kepesertaan Pelayanan Kesehatan Yankes IGD Data Base Peserta (PT.Askes) Kasus Gawat Darurat 48 Peraturan Menteri Kesehatan., Op. Cit., hlm. 14-18. Peserta Pulang 46 C. Implementasi Hukum Implementasi hukum jika ditinjau dari aspek sosiologi hukum, pada asasnya merupakan proses bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dalam interaksinya tidak terlepas keterkaitannya dengan faktor-faktor personal dan sosial yang melingkupinya. 1. Pengertian Implementasi Hukum Beberapa pendapat para sarjana tentang pengertian hukum, yaitu: Menurut pendapat Soerjono Soekanto, hukum dapat diartikan sebagai : “ Patokan untuk berperilaku pantas dalam hal ini hukum diartikan sebagai suatu kaidah yang mengatur hubungan antar pribadi. Hukum itu diartikan sebagai tatanan hukum atau hukum positif tertulis. Kemungkinan lainnya, hukum diartikan sebagai keputusan pejabat, hukum sebagai petugas dan hukum merupakan jaminan nilai-nilai, yakni nilai-nilai sosial, utamanya adalah nilai ketertiban dan nilai ketentraman yang senantiasa harus diserasikan”.49 Pengertian hukum menurut pendapat E. Utrecht, dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia : “ Hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu”.50 Leon Deguit, dalam bukunya Traite De Drot Constutional berpendapat tentang pengertian hukum, yaitu : 49 Soerjono Soekamto, 1991, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Cipta Aditiya Bakti, Bandung, hlm. 55. 50 Yulies tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6. 47 “ Aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaanya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”.51 Hasil penelitian yang selama ini dilakukan oleh Soerjono Soekamto, dapat diidentifikasikan sepuluh pengertian yang diberikan pada hukum, yaitu: 1. Hukum dalam arti disiplin, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan yang idiel dan yang riel; 2. Hukum dalam arti ilmu pengetahuan; 3. Hukum dalam arti kaidah atau patokan sikap pantas; 4. Hukum dalam arti tata hukum, yakni hukum positif tertulis; 5. Hukum dalam arti keputusan pejabat; 6. Hukum dalam arti petugas; 7. Hukum dalam arti proses pemerintahan; 8. Hukum dalam arti sikap tindak yang teratur dan unik; 9. Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai; 10. Hukum dalam arti seni.52 Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan pandangannya bahwa hukum bukan saja merupakan gejala normatif, melainkan juga merupakan gejala sosial atau empiris. Hal ini dapat diketahui dari pengertian hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumatmadja yang antara lain mengatakan : “ Jika kita artikan dalam arti yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalaam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (instution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan lain perkataan, suatu pendekatan yang normatif 51 52 Ibid., hlm 7. Soerjono Soekamto dan Herkutanto., Op. Cit., hlm. 4.. 48 semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh”.53 Berdasarkan konsepsi hukum tersebut tampak bahwa Mochtar Kusumatmadja memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas tiga komponen (sub sistem) yakni: a. Asas-asas dan kaidahkaidah hukum; b. kelembagaan hukum; dan c. proses perwujudan hukum.54Implementasi hukum pada dasarnya termasuk dalam pengertian “ proses perwujudan hukum “, yaitu ketika hukum menjadi sarana untuk mewujudkan tujuan hukum menjadi suatu kenyataan, dengan demikian implementasi hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses bekerjanya hukum. Kamus Webster merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Dalam hal ini, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden).55 Hukum dibuat untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Kaitannya dengan masalah 53 Mochtar Kusumaatmadja, 1975, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, LPH Fakultas Hukum UNPAD, Bina Cipta, Bandung, hlm. 11. 54 Ibid., hlm 13. 55 Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Banyumedia, Malang, hlm. 14. 49 bekerjanya hukum didalam masyarakat, Bernard Arief Sidharta menjelaskan bahwa : “ Bekerjanya hukum adalah suatu proses dari semua kegiatan manusia berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit, yang meliputi proses pembuatan hukum, proses implementasi hukum dan proses bantuan hukum bagi masyarakat”.56 Pendapat Bernard Arief Sidharta, menunjukan bahwa implementasi hukum merupakan bagian dari poses bekerjanya hukum didalam masyarakat. Soerjono Soekanto mengetengahkan konsepsi bekerjannya hukum mirip dengan konsep yang dikemukakan oleh Bernard Arief Sidharta, yang antara lain menyatakan : “ Bekerjanya hukum pada pokoknya merupakan keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan hal melaksanakan dan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidahkaidah hukum yang mantap dan perilaku sebagai penjabaran nilainilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”. 57 Dari konsep-konsep yang diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa implemetasi hukum merupakan bagian dari proses bekerjannya hukum didalam masyarakat. Hukum dibuat untuk dapat dilaksanakan, oleh karena itu hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. 56 Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum; Sebuah Penelitian Tentang Fungsi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 116. 57 Soerjono Soekanto, Op. Cit., 1989, hlm. 277. 50 2. Teori-Teori Implementasi Hukum Kaitannya dengan masalah implementasi hukum yang merupakan bagian integral dari proses bekerjanya hukum didalam masyarakat, Lawrence M. Friedman mengemukakan teorinya bahwa ada tiga unsur sistem hukum, yaitu: a. Struktur hukum, yakni kerangka atau rangkaian dari hukum itu sendiri b. Substansi hukum, yakni aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum c. Kultur hukum, yakni sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, yang didalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan.58 Menurut Julius Stone, tindakan seseorang didalam masyarakat senantiasa dilakukan dengan memperhitungkan apa yang diharapkan oleh orang lain daripadanya. Tindakan seseorang itu tidak berdiri sendiri, melainkan terangkum dalam suatu jalinan sistem dari peranan yang diharapkan (role-expectation). Perananperanan yang diharapkan ini kemudian memaksakan diterimanya nilai-nilai yang hendaknya diikuti didalam interaksi sosial oleh anggota-anggota masyarakat. Peranan-peranan yang diharapkan serta nilai-nilai standar itu kemudian menjadi melembaga. Motif perorangan untuk bertindak dalam proses pelembagaan ini kemudian dipengaruhi oleh keharusan-keharusan untuk memenuhi peranan-peranan yang diharapkan berikut nilai-nilai standarnya.59 Pendekatan yang dikemukakan oleh Stone, antara lain dapat dijumpai penerapannnya didalam hukum pada pendekatan yang dilakukan oleh Robert B. Seidman. Seidmen mencoba utntuk menerapkan pandangan tersebut dalam analisisnya mengenai “ bekerjannya hukum didalam masyarakat”. menurut Robert B. Seidmen, bekerjanya hukum 58 59 Ibid. Satjipto Raharjo, Op. Cit., 1986. hlm 26. 51 didalam masyarakat melibatkan tiga unsur dasar yakni: pembuatan hukum, pelaksanaan hukum dan pemegang peran.60 Secara lebih lengkap model bekerjannya hukum menurut Robert B. Seidmen ini dilukiskan dalam bagan sebagai berikut: Bagan 2: Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat Model Robert B. Seidman Kekuatan Personal dan Sosial dan lainnya. LEMBAGA PEMBUAT HUKUM Norma LEMBAGA PENERAPAN HUKUM Kekuatan Personal dan Sosial lainnya 60 Norma AKTIVITAS PENERAPAN PEMEGANG PERANAN Kekuatan Personal dan Sosial lainnya Satjipto Raharjo, 1983, Hukum dan Pembaharuan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 161. 52 Melihat bagan tersebut, oleh Seidmen diuraikan kedalam dalil-dalil sebagai berikut: a) Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seseorang pemegang peran (role accupant) itu diharapkan bertindak; b) Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditunjukan kepadanya, sanksisanksinya, aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana hukum serta keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik dan lainlainnnya mengenai dirinya; c) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan hukum yang ditunjukan kepada mereka, sanksisanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-keuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peran; d) Bagaimana para pembuat hukum itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatankekuatan sosial, politik, idiologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemenngang peran serta birokrasi.61 Kutipan diatas memperjelas bahwa setiap anggota masyarakat sebagai pemegang peran ditentukan tingkah lakunya oleh pola peranan yang dimainkan baik oleh norma-norma hukum maupun kekuatan- kekuatan diluar hukum. Menurut Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan dalam mengkaji tentang “Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum” mengemukakan teori unsur-unsur penting didalam proses implementasi hukum, yang menyatakan bahwa “ Implementasi hukum merupakan suatu 61 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., 1986, hlm. 26. 53 proses menjalankan hukum dalam praktek ehidupan masyarakat untuk mewujudkan keinginan-keinginan dan harapan-harapan hukum secara kenyataan. Proses ini menghadirkan tiga unsur penting yang membentuk sistem implementasi hukum, yakni ; (1) Pelaksanaan hukum sebagai pemegang fungsi dari hukum; (2) Sarana dan fasilitas lainnya sebagai pendukung berjalannya hukum, dan (3) Masyarakat pengemban hak dan kewajiban hukum. Ketiga unsur tersebut dalam menjalankan hukum cenderung dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.62 3. Faktor-Faktor Implementasi Hukum Hukum diharapkan dapat mengatur kehidupan dalam bermasyarakat supaya tercapainya keadilan dan kedamaian, meskipun bila diterapkan terkadang sebaliknya tidak sesuai dengan yang diharapkan, hukum justru menimbulkan ketidakadilan. Nilai keadilan hukum yang dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor yang ada, sehingga menimbulkan ketidak serasian antara tujuan hukum. Suatu hal yang pasti bahwa, usaha untuk mewujudkan ide atau nilai selalu melibatkan lingkungan serta berbagai pengaruh lainnya. Oleh karena itu, penegakan hukum hendaknya tidak dilihat dari suatu yang berdiri sendiri, melainkan selau berada diantara faktor, atau dengan kata 62 Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Penterjemah Widyaningsih dan G. Kartasapoetra, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 401-402. 54 lain titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak sekedar sebagai suatu rumusan hitam diatas putih yang ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain melalui tingkah laku warga masyarakat. Hal ini berarti bahwa, titik perhatian harus ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non hukum lainnya, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat. Norma hukum berbeda dengan norma-norma yang lain, adaanya unsur memaksa yang membedakannya. Unsur memaksa ini diwujudkan dengan adanya sanksi hukum yang tegas. Sanksi pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah kelompok. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi positif maupun sanksi negatif. Sanksi-sanksi positif adalah unsurunsur yang mendorong terjadinya kepatuhan atau perikelakuan yang sesuai dengan kaedah-kaedah. Sebaliknya sanksi-sanksi negatif menjatuhkan hukuman kepada pelanggar-pelanggar kaedah-kaedah kelompok. Dengan demikian maka proses pemberian sanksi-sanksi mencangkup suatu sistem imbalan dan hukuman, yang akibanya adalah suatu dukungan yang efektif untuk mematuhi kaedah-kaedah. 63 Sehubungan dengan efektivitas sanksi-sanksi tersebut, terutama sanksi-sanksi negatif Schwartz dan Orleans pernah mengadakan suatu penelitian yang menghasilkan beberapa hipotesa sebagai berikut: 63 hlm. 233. Soerjono Soekamto,1977, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Rajawali, 55 a. Sanksi negatif (c.q.hukuman) mengurangi pelanggaran, baik yang dilakukan oleh pelanggar maupun pihak-pihak lainnya. b. Semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajat efektivitasnya. c. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa mengakibatkan terjadinya kerugian-kerugian. d. Kemungkinan-kemungkinan lain tidak dapat dianggap sebagai suatu alternatif yang sederajat dengan penerapan sanksi negatif. 64 Penetapan tentang perikelakuan yang melanggar hukum, senantiasa disertai dengan pembentukan organ-organ penegaknya. Akan tetapi apakah penegakannya tersebut akan berjalan secara efektif atau tidak, sangat tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut: 1. Harapan-harapan masyarakat; yaitu, apakah penegakan hukum tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat. 2. Adanya motivasi dari warga-warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum, kepada organ-organ penegak hukum tersebut. 3. Kemampuan dan kewibawaan daripada organ-organ penegak hukum.65 Hukum itu hanya dapat berjalan melalui manusia. Manusia yang menciptakan hukum, tetapi manusia pula yang menjalankan hukum. Oleh karena itu, hukum harus dijalankan dalam masyarakat supaya tercapai tujuan hukum yaitu ketertiban, keadilan dan kedamaian hidup. Pola-pola penyelenggaran hukum oleh badan-badan yang diberi tugas untuk melaksanakan memperlihatkan 64 65 Ibid., hlm. 234-235. Ibid., hlm. 72. terjadinya hukum (enforcement kelalaian-kelalaian atau agencies) telah penyimpangan- 56 penyimpangan antara hal-hal yang tertera dalam ketentuan-ketentuan hukum, yang memberi batasan atau uraian tentang tugas pekerjaan badanbadan tersebut dengan praktek-praktek yang dijalankan oleh badan-badan tersebut sehari-hari. Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana yang dikutip oleh Saryono Hanadi mengatakan bahwa, faktor-faktor yang sering kali dapat mempengaruhi efektivitas hukum dapat diperinci sebagai berikut: a. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal dibatasi pada hukum perundang-undangan saja; b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; c. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung efektivitas hukum; d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau ditetapkan; e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.66 Bekerjanya kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan satu sama lainnya, sehingga dalam kajian implementasi hukum harus memperhatikan keterkaitan faktor-faktor tersebut, karena implementasi suatu aturan hukum dalam interaksinya tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor personal dan sosial lainnya. 66 Saryono Hanadi, 2004, Bekerjanya Hukum Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi di Kabupaten Banyumas), Sebuah Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, hlm. 131. 57 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Digunakan metode ini didasarkan pada alasan bahwa, dalam penelitian hukum diartikan sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial yang empirik. Asumsi ini senada dengan pendapat Ronny Hanitiyo Soemitro yang menyatakan bahwa, dalam studi hukum yang empirik, hukum tidak dikonsepsikan sebagai gejala normatif yang otonom, tetapi sebagai suatu pranata sosial yang secara rill dikaitkan dengan variable-variabel sosial lainnya.67 Penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan kuantitatif dimaksudkan untuk melihat fakta yang ada. Perhatian peneliti dalam penelitian ini akan berfokus pada implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo dan faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. 67 123. Ronny Hanitiyo Soemitro, 1985, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung, hlm. 58 B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian yaitu sebagai berikut: a. Metode Survei, yaitu suatu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, guna membedah dan mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang beralngsung.68 Hasil survey berupa data primer, yaitu data yang bersumber dari individu peserta Jamkesmas yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap. b. Metode Kepustakaan, yaitu suatu cara penelitian dengan menelusuri literature yang ada serta menelaahnya secara tekun guna memperoleh informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.69 Tujuan digunakan metode ini untuk mencari teori-teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi yang dijadikan sebagai landasan teoritis penelitian ini. Hasil dari peneluruan dengan menggunakan metode ini berupa data sekunder. c. Metode Dokumenter, yakni suatu penelitian dengan cara menelusuri dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang sedang 68 69 Moh. Nasir, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 65. Sumadi Suryabrata, 1989, Metode Penelitian Sosial, Rajawali, Jakarta, hlm.72. 59 diteliti pada institusi-institusi terkait.70 Hasil dari penelusuran metode ini berupa data sekunder. C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian secara deskriptif, dimaksud untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Spesifikasi penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo dan faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. D. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, Jl. Dr. Gumbreg No. 1 Purwokerto. Lokasi tersebut diambil dengan dasar pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 1. RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo merupakan salah satu rumah sakit umum daerah yang besar di wilayah Banyumas. 70 Sanapiah Faesal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah Asuh, Malang, hlm. 158. 60 2. RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo merupakan rumah sakit rujukan bagi peserta Jamkesmas sehingga dapat mengetahui bagaimana implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan dan faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan. E. Populasi Penelitian Populasi adalah kumpulan atau himpunan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan.71 Populasi dalam penelitian ini adalah anggota masyarakat miskin pasien rawat inap yang terdaftar sebagai peserta jamkesmas yang telah menerima pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. F. Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini sampel sasaran dipilih menggunakan metode purposive sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel yang disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Jumlah dari masyarakat miskin peserta Jamkesmas pasien rawat inap yang mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, tidak diketahui secara pasti maka pengambilan jumlah sampel hanya dapat diperkirakan telah 71 Moh. Nasir, 1999, Metode Penelitian, Galia Indonesia, Jakarta, hlm. 325. 61 mencukupi untuk mewakili populasi. Jumlah populasi yang akan diteliti sebanyak 40 (empat puluh) orang, dengan pertimbangan bahwa jumlah tersebut telah mencukupi untuk mewakili populasi yang ada karena populasi yang diteliti bersifat homogen. Pengambilan sampel didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan mengenai karakteristik (ciri-ciri umum) populasi yang mengarah pada tingkat homoginitas populasi, antara lain: a. Semua sampel adalah peserta program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). b. Semua sampel merupakan pasien rawat inap yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. c. Semua sampel secara ekonomi tergolong sebagai masyarakat miskin. Berdasarkan pada ciri-ciri homoginitas populasi diatas, maka dapat diasumsikan bahwa jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini cukup mewakili (representatif) karena sampel yang diambil sesuai dengan tujuan penelitian serta populasi yang bersifat homogen tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif, sehingga akurasi data yang diperoleh cukup valid dan menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Sampel bersifat representatif apabila terdiri dari unsur-unsur yang memiliki seluruh sifatsifat populasi, walaupun jumlahnya lebih sedikit. 72 72 Ibid., hlm 144. 62 G. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini, peneliti menggunakan 2 (dua) macam data agar tercapai kelengkapan dan keterpaduan data untuk dapat memecahkan rumusan masalah yang ada yaitu: a. Data Primer Data primer adalah data utama yang bersumber dari masyarakat miskin peserta Jamkesmas pasien rawat inap yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo yang menjadi sampel dalam penelitian ini, meliputi data hasil angket maupun wawancara. b. Data Sekunder Data sekunder yaitu informasi atau penjelasan yang mendukung data primer, terdiri dari : 1. Peraturan Perundang-undangan, meliputi: Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 903/ MENKES/ PER/V/ 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. 2. Buku-buku kepustakaan, 3. Artikel-artikel ilmiah, baik dari jurnal ilmiah, majalah ilmiah, internet dan dokumen-dokumen resmi pada sistem informasi dan dokumentasi RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. 63 H. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Yang Digunakan Penelitian dalam skripsi ini, data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode : a. Metode Angket Penelitian berupa Angket (kuesioner) berisi pertanyaan-pertayaan yang bersifat tertutup maupun terbuka, yang telah disiapkan terlebih dahulu untuk diisi oleh semua sampel. Angket (kuesioner) adalah suatu alat penelitian yang dilakukan dengan jalan mengedarkan suatu daftar pertanyaan berupa formulir-formulir yang diajukan secara tertulis kepada sejumlah subyek untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan (respon) tertulis seperlunya.73 b. Metode Dokumentar Metode dokumentar, dengan instrument penelitian yang berupa form dokumentasi dalam wujud metrik yang berisi informasi narasi yang diperoleh dari sumber-sumber dan data sekunder. c. Metode Kepustakaan Metode kepustakaan untuk dapat menemukan teori-teori, konsepkonsep yang akan dijadikan sebagai landasan analisis dari hasil penelitian yang diperoleh. Instrument yang digunakan adalah buku literatur yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. 73 Kartini Kartono, 1986, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung, hlm. 200. 64 I. Metode Pengolahan Data Dalam penelitian data diolah dengan menggunakan metode sebagai berikut: a. Koding data, yaitu suatu pengelolaan data yang dilakukan dengan cara mempelajari jawaban responden, memutuskan perlu tidaknya jawaban responden dan memberikan simbol berupa angka pada jawanan responden. b. Tabulasi data,yakni suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara mengelompokan jawaban responden dan memasukannya kedalam tabel-tabel,baik tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang yang tiap-tiap tally atau kolom tabel tersebut. c. Editing data,yaitu suatu pengolahan data yang dilakukan dengan cara mengadakan evaluasi atau mengecek jawaban-jawaban semua responden dengan menekankan pada konsistensi jawaban satu dengan yang lain,terutama untuk pertanyaan-pertanyaan yang saling berhubungan guna menghilangkan kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul.74 J. Metode Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel, terutama tabel distribusi frekuensi dan tabel silang, disamping itu, data akan disajikan dalam bentuk ”teks naratif”, yakni suatu uraian pertanyaan-pertanyaan yang disusun secara sistematis, logis, konsisten dan rasional. Penyajian data dalam bentuk teks naratif ini digunakan untuk menjelaskan data yang berupa angkaangka dalam tabel distribusi frekuensi maupun tabel silang. 74 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 2008, Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm. 219-220. 65 K. Definisi Operasional Variabel Penelitian ini berfokus pada variabel pokok yakni variabel implementasi jamkesmas, persyaratan administrasi, fasilitas kesehatan, pengetahuan dan komunikasi, yang dapat didefinisi operasionalkan sebagai berikut : 1. Implementasi Jamkesmas adalah semua kegiatan tenaga medis yang berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan secara kongkrit melalui penerapan pedoman aturan bagi penyelenggaraan pelayanaan kesehatan melalui program jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap di rumah sakit yang dinyatakan dengan ukuran efektif, kurang efektif dan tidak efektif. 2. Persyaratan Administratif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persyaratan administratrif yang telah ditentukan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas di rumah sakit yang dapat dinyatakan dalam ukuran tidak sederhana, kurang sederhana dan sederhana. 3. Fasilitas Kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi, kelengkapan fasilitas kesehatan yang ada dirumah sakit guna menunjang pelayanan kesehatan rawat inap yang dinyatakan dalam ukuran tidak memadai, kurang memadai dan memadai. 4. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan pasien terhadap alur persyaratan, prosedur yang harus dilalui serta 66 perawatan mandiri yang dilakukan pasien rawat inap di rumah sakit, yang dinyatakan dalam ukuran rendah, sedang dan tinggi. 5. Komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunikasi yang yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas untuk memperoleh informasi mengenai penyakit yang diderita, resiko tindakan kesehatan yang dilakukan, dan persetujuan tindakan medis, yang dinyatakan dalam ukuran rendah, sedang dan tinggi. L. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode “kuantitatif dan kualitatif”. Analisis kuantitatif dipilih model analisis statistik sederhana, yang menekankan pada metode distribusi frekuensi analisis dan tabel silang analisis.75 Sedangkan dalam analisis kualitatif, dengan model analisis isi (content analysis) dan analisis perbandingan (comparative analisis). Menurut pendapat Noeng Muhadjir, content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.76 Secara teknis content analysis mencangkup upaya : a. klasifikasi tanda yang dipakai dalam komunikasi, b. menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi dan c. menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi.77 Content 75 Supranto J., 1995, Pengantar Statistik Bidang Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 48. Noeng Muhadjir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III, Rake Karasin, Yogyakarta, hlm. 49. 77 Ibid., 76 67 analysis digunakan untuk mencangkup isi dari suatu data baik hasil survey, dokumentasi atau kepustakaan maupun data sekunder, dimana didalamnya ditemukan suatu tema yang berkaitan dengan masalah yang terisi. Comparative analysis method menurut Soerjono Soekanto adalah the comparison of matched societies and institution for the discovery of associations and correlations.78 Comparative analysis digunakan untuk membandingkan antara data yang satu dengan yang lainnya. Sehingga ditemukan kelemahan maupun keunggulannya. Mengupas lebih mendalam analisis diatas, maka digunakan metode theoretical interprestation, yakni suatu analisis dengan cara membandingkan antara data disatu pihak dengan teori hukum, doktrin hukum dan norma hukum dilain pihak. Dengan dialog yang demikian diharapkan pengambilan keputusan yang menyimpan sekecil mungkin dapat dihindari. 78 hlm. 250. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 68 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Pasien Rawat Inap Dalam Pelayanan Kesehatan Diskriminasi adalah hal umum yang menjadi tontonan menarik di bangsalbangsal rumah sakit, terutama pada rumah sakit pemerintah. Orang-orang miskin yang terakomodasi Gakin dan dijamin dengan Askeskin atau Jamkesmas, meski mendapat pembebasan biaya dengan segala keterbatasan fasilitas, sama sekali tidak diperlakukan layak dari segi pelayanan, kenyamanan, perhatian, dan kesamaan hak. Bangsal kotor dan kumuh, dokter pemarah, perawat yang selalu cemberut, administrasi yang berbelit belit dan dipersulit, serta penanganan yang kasar dibawah standard care dan standar medis yang harus diterima. 79 Gambaran yang menyedihkan terhadap pelayanan kesehatan yang harus diterima oleh peserta Jamkesmas dirumah sakit tidak seharusnya diasumsikan sama terhadap seluruh rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas. Hukum kesehatan yang merupakan hukum yang berkaitan dengan aspek pelayanan kesehatan berpengaruh penting terhadap pembangunan hukum. Munculnya hukum kesehatan tentunya sangat berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan, terutama dalam pembentukan apa yang dikenal dengan hak-hak pasien. 79 Alexandra Ide, 2012, Etika dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan, Grasia Publisher, Yogyakarta, hlm. 357-358. 69 Hukum kesehatan memberikan perlindungan terhadap hak-hak pasien, dan dengan munculnya aturan normatif tentang pelayanan kesehatan tentunya menjadi pengaruh bagi para penyelenggara pelayanan kesehatan supaya dalam melakukan tindakan-tindakan yang terkait dengan pelayanan kesehatan lebih berhati-hati sebab pelayanan kesehatan itu sendiri telah ada payung hukum yang melindungi. Adanya sangsi yang tegas dari aturan hukum normatif dalam bidang kesehatan tentunya membuat tenaga kesehatan lebih sadar bahwa tindakan yang dilakukannya terkait dengan kesehatan akan memiliki akibat hukum. Masyarakat miskinpun memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, tidak diskriminan, sesuai dengan standar pelayanan medis yang ada karena pada hakekatnya dihadapan hukum semua sama. Implementasi sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit, secara sosiologis merupakan proses penyelenggaraan hukum yang dalam interaksinya tidak terlepas kaitannya dengan faktor-faktor non hukum, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Oleh karenanya implementasi Jamkesmas pada dasarnya termasuk dalam pengertian proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, disamping tahap pembuatan hukum dan evaluasi hukum. Terkait dengan masalah bekerjanya hukum dalam masyarakat, dalam Sosiologi Hukum dikenal suatu teori yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, mengatakan bahwa “ Bekerjanya hukum di dalam masyarakat melibatkan 3 (tiga) komponen dasar, 70 yakni ; (a) Lembaga Pembuat Hukum; (b) Lembaga Penerap Hukum; dan (c) Pemegang peran atau pihak yang dikenai hukum. Selanjutnya dalam interaksi ketiga komponen dasar tersebut selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan sosial lainnya. Demikian pula aksi-aksi lembaga penerap hukum dan pemegang peranan akan selalu memberikan umpan balik kepada lembaga pembuat hukum dalam rangka melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum atau evaluasi hukum yang berlaku. Teori bekerjanya hukum model Robert B. Seidman ini bila diaplikasikan ke dalam permasalahan implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, maka dapat dirumuskan suatu formulasi bahwa, pelaksanaan sistem jaminan kesehatan masyarakat dalam pelayanan kesehatan rawat inap melibatkan aksi-aksi atau tindakan-tindakan rumah sakit sebagai organisasi yang bertugas dan berwenang menerpakan peraturan-peraturan hukum jaminan kesehatan masyarakat dan aksi-aksi atau tindakan-tindakan individu masyarakat miskin pasien rawat inap sebagai pihak yang dikenai peraturan hukum jaminan kesehatan masyarakat yang dalam kedudukannya selaku peserta program Jamkesmas, yang dalam interaksi antar mereka cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan sosial lainnya, sedangkan Peraturan Menteri dalam hal ini Menteri Kesehatan sebagai pihak pembuat peraturan hukum jaminan kesehatan masyarakat tidak menghadapi permaslahan yang berarti. 71 Dengan demikian dalam penelitian ini yang menjadi fokus perhatian adalah aksi-aksi atau tindakan-tindakan rumah sakit sebagai organisasi pelaksana hukum Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan aksi-aksi atau tindakantindakan peserta program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebagai pihak yang dikenai peraturan dengan segala aspek pengaruhnya faktor-faktor personal dan sosial lainnya. Mendasarkan pada formulasi diatas, maka rumah sakit sebagai pelaksana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) harus melakukan kewajiabankewajiaban (tindakan-tindakan medis) Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat, untuk mewujudkan hak-hak peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), terutama bagi masyarakat miskin yang secara resmi terdaftar sebagai peserta Jamkesmas. Dengan demikian, implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, pada dasarnya merupakan proses pelaksanaan kewajiban rumah sakit dalam rangka merealisasikan hak-hak peserta program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dalam hubungannya dengan masalah implementasi hukum, Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan sebagaimana yang telah dipaparkan di bab sebelumnya dalam mengkaji tentang “Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum” mengemukakan teori unsur-unsur penting didalam proses implementasi hukum, 72 yang menyatakan bahwa “ Implementasi hukum merupakan suatu proses menjalankan hukum dalam praktek kehidupan masyarakat untuk mewujudkan keinginan-keinginan dan harapan-harapan hukum secara kenyataan. Proses ini menghadirkan tiga unsur penting yang membentuk sistem implementasi hukum, yakni ; (1) Pelaksanaan hukum sebagai pemegang fungsi dari hukum; (2) Sarana dan fasilitas lainnya sebagai pendukung berjalannya hukum, dan (3) Masyarakat pengemban hak dan kewajiban hukum. Ketiga unsur tersebut dalam menjalankan hukum cenderung dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Teori yang dikemukakan oleh Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan bila diaplikasikan dalam masalah implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, maka dapat diinterprestasikan bahwa, proses menjalankan program Jamkesmas dalam mewujudkan keinginan dan harapan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam kedudukannya sebagai peserta Jamkesmas dapat dilihat dari unsur-unsur antara lain : 1. Unsur pelaksana hukum, meliputi indikator persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas di rumah sakit, prosedur yang harus dilalui peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit, dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien rawat inap peserta Jamkesmas di rumah sakit. 73 2. Unsur Sarana dan fasilitas, meliputi indikator sarana dan prasarana medis yang tersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin pasien rawat inap peserta Jamkesmas di rumah sakit. 3. Unsur Masyarakat, yakni peserta Jamkesmas pasien rawat inap, yang meliputi indikator tingkat kepuasan peserta Jamkesmas pasien rawat inap. Dengan demikaian, implementasi sistem jamianan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, dalam penelitian ini merupakan suatu konsep yang terintegrasi dari kelima indikator tersebut. Penelitian ini selanjutnya diajukan dengan pertanyaan sebanyak 50 pertanyaan kepada 40 responden yang diambil sebagai sempel, yang terbagi masing-masing indikatornya 10 pertanyaan, indikator persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas di rumah sakit sebanyak 10 pertanyaan, indikator prosedur yang harus dilalui peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit sebanyak 10 pertanyaan, indikator pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien rawat inap peserta Jamkesmas di rumah sakit sebanyak 10 pertanyaan, indikator sarana dan prasarana sebanyak 10 pertanyaan dan indikator tingkat kepuasan sebanyak 10 pertanyaan. Terkaitan dengan faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan ada beberapa faktor yang cenderung mempengaruhi, seperti faktor persyaratan administratif, fasilitas kesehatan, pengetahuan dan komunikasi. Tingkat masing-masing faktor tersebut 74 dapat diketahui dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh responden. Pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 40 pertanyaan tentang faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan yang terdiri dari faktor persyaratan administratif sebanyak 10 pertanyaan, faktor sarana dan prasaran sebanyak 10 pertanyaan, faktor pengetahuan pasien sebanyak 10 pertanyaan dan faktor komunikasi sebanyak 10 pertanyaan. Kemudian setiap pertanyaan tersebut nantinya akan diberi nilai antara 1-3 berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden. Sejumlah pertanyaan tersebut diajukan kepada responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu peserta Jamkesmas yang telah mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. Menurut hasil penelitian yang dilakukan dan berdasarkan hasil skor (penilaian) pada masing-masing responden, maka dapat data yang dituangkan dalam tabel berikut : Tabel 1: Distribusi Nilai Masing – Masing Indikator Implementasi Jamkesmas dan Variabel menurut 40 responden No Implementasi Jamkesmas Y1 Y2 Y3 Y4 124 26 10 15 23 27 130 27 28 24 30 29 30 142 17 12 14 30 28 30 142 18 10 15 29 X1 X2 X3 X4 X5 ∑X 1 22 29 26 25 22 2 25 27 29 22 3 24 30 29 4 26 29 29 75 No Implementasi Jamkesmas Y1 Y2 Y3 Y4 128 20 17 22 24 21 111 26 30 24 27 30 30 142 12 10 10 28 27 28 30 140 27 28 25 30 29 29 30 28 141 20 18 16 24 26 26 29 26 27 134 24 27 25 29 11 23 30 29 27 28 137 12 25 18 28 12 26 27 23 28 28 132 24 14 20 27 13 25 19 23 18 26 111 29 30 28 30 14 24 24 27 23 23 121 30 30 26 30 15 26 29 29 27 30 141 24 17 24 27 16 26 30 29 27 30 143 24 11 18 25 17 24 26 29 27 29 135 25 15 22 29 18 26 30 29 28 30 143 22 11 19 28 19 26 30 29 28 30 143 22 11 21 29 20 26 27 26 29 26 134 28 14 23 27 21 26 24 27 23 25 125 23 18 22 23 22 26 29 28 27 30 140 25 12 21 29 23 25 30 29 28 30 142 24 14 21 25 24 24 30 29 29 30 142 21 10 15 29 25 22 24 29 23 26 124 24 28 24 30 26 25 19 23 18 26 111 29 30 28 30 27 22 29 29 25 22 127 26 10 15 23 28 24 30 29 29 30 142 17 12 14 30 29 23 21 26 20 21 111 26 30 24 27 X1 X2 X3 X4 X5 ∑X 5 23 28 25 26 26 6 23 21 26 20 7 24 30 28 8 25 30 9 25 10 76 No Implementasi Jamkesmas Y1 Y2 Y3 Y4 133 23 12 18 29 28 137 12 25 18 28 30 28 141 20 18 16 24 29 26 27 134 24 27 25 2 24 27 23 23 121 30 30 26 30 25 30 27 28 30 140 27 28 25 30 36 26 30 29 28 30 143 22 11 19 28 37 24 29 29 27 30 139 24 17 24 27 38 24 30 30 29 30 143 20 10 18 28 39 24 30 29 28 30 141 24 14 20 30 40 22 30 28 29 30 139 14 20 22 28 untuk mendapatkan X1 X2 X3 X4 X5 ∑X 30 21 29 28 27 28 31 23 30 29 27 32 25 29 29 33 26 26 34 24 35 Sumber : Data primer yang diolah Keterangan : X1 :Persyaratan pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas di rumah sakit X2 : Prosedur yang harus yang harus dilalui peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit X3 : Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien rawat inap peserta Jamkesmas di rumah sakit X4 : Sarana dan prasarana X5 : Tingkat kepuasan ∑X : Implementasi Jamkesmas Y1 : Variabel Persyaratan Administratif 77 Y2 : Variabel Fasilitas Kesehatan Y3 : Variabel Pengetahuan Y4 : Variabel Komunikasi Data tabel tersebut diatas, diperhitungkan interval kelas masing-masing variabel dan indikatornya dengan menggunakan rumus sebagai berikut: I= Dimana : I : interval klas yang dikehendaki. R : range yang merupakan simbol pengurangan nilai tertinggi dikurangi nilai terendah K : klas yang dikehendaki dalam setiap variabel dan indikator yang dapat dinyatakan dalam 3 klas Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut diatas, maka dapat diperoleh interval klas masing-masing variabel dan indikatorindikator sebagai berikut : a. Implementasi Jamkesmas, yang dapat dinyatakan dalam implementasi Jamkesmas tidak efektif, kurang, dan efektif, dengan interval klas sebagai berikut: - Nilai 111-121 adalah tidak efektif. - Nilai 122-132 adalah kurang efektif. 78 - Nilai 133-143 adalah efektif. b. Indikator Persyaratan Administratif, yang dapat dinyatakan dalam persyaratan administratif sulit, kadang-kadang sulit dan tidak sulit dengan interval klas sebagai berikut: - Nilai 21-22 adalah tidak terpenuhi. - Nilai 23-24 adalah kurang terpenuhi. - Nilai 25-26 adalah terpenuhi. c. Indikator Prosedur Pelayanan Kesehatan, yang dapat dinyatakan dalam prosedur pelayanan kesehatan tidak cepat, kurang cepat dan cepat, dengan interval klas sebagai berikut: - Nilai 19-22 adalah tidak sederhana - Nilai 23-26 adalah kurang sederhana - Nilai 27-30 adalah sederhana d. Indikator Pelayanan Kesehatan, yang dapat dinyatakan dalam pelayanan kesehatan tidak baik, kurang baik dan baik, dengan interval klas sebagai berikut: - Nilai 23-25 adalah tidak baik. - Nilai 26-28 adalah kurang baik. - Nilai 29-30 adalah baik. e. Indikator Sarana dan Prasarana, yang dapat dinyatakan dalam sarana dan prasarana tidak lengkap, kurang lengkap dan lengkap, dengan interval klas sebagai berikut: 79 - Nilai 18-21 adalah tidak memadai. - Nilai 22-26 adalah kurang memadai. - Nilai 27-30 adalah memadai. f. Indikator Tingkat Kepuasan, yang dapat dinyatakan dalam tidak puas, kurang puas dan puas, dengan interval klas sebagai berikut: - Nilai 21-23 adalah tidak puas. - Nilai 24-27 adalah kurang puas. - Nilai 28-30 adalah puas. g. Variabel Persyaratan Administratif, yang dapat dinyatakan dalam persyaratan administratif rendah, sedang dan tinggi, dengan interval klas sebagai berikut: - Nilai 12-17 adalah tidak sederhana. - Nilai 18-24 adalah kurang sederhana. - Nilai 25-30 adalah sederhana. h. Variabel Fasilitas Kesehatan, yang dapat dinyatakan dalam sarana dan prasarana rendah, sedang dan tinggi, dengan interval klas sebagai berikut: - Nilai 10-16 adalah tidak baik. - Nilai 17-23 adalah kurang baik. - Nilai 24-30 adalah baik. i. Variabel Pengetahuan, yang dapat dinyatakan dalam pengetahuan rendah, sedang dan tinggi, dengan interval klas sebagai berikut: - Nilai 10-15 adalah rendah. - Nilai 16-22 adalah sedang. 80 - Nilai 23-28 adalah tinggi. j. Variabel Komunikasi, yang dapat dinyatakan dalam komunikasi rendah, sedang dan tinggi, dengan interval klas sebagaai berikut: - Nilai 23-25 adalah rendah. - Nilai 26-28 adalah sedang. - Nilai 29-30 adalah tinggi. Untuk mengetahui implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, hasil penelitian secara umum menggambarkan bahwa implementasi Jamkesmas adalah efektif, hal ini dapat dibuktikan dengan melihat data yang dituangkan dalam tabel dibawah ini : Tabel 2 : Implementasi Sistem Jamkesmas Pasien Rawat Inap Dalam Pelayanan Kesehatan Implementasi Interval Frekuensi Presentase Jamkesmas Klas (F) (%) Tidak Efektif 111-121 6 15 Kurang Efektif 122-132 6 15 Efektif 133-143 28 70 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Tabel di atas mengungkapkan bahwa, sebanyak 40 responden terdapat sejumlah 6 (15%) responden menyatakan implementasi sistem Jamkesmas dalam pelayanan kesehatan adalah tidak efektif, dan sejumlah 6 (15%) responden menyatakan kurang efektif serta sejumlah 28 (70%) responden menyatakan efektif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, sebagaian besar responden 81 dalam hal ini peserta program Jamkesmas menyatakan, implementasi sistem Jamkesmas pasien rawat inap adalah efektif. Hal ini mengandung arti bahwa, sebagian besar peserta Jamkesmas pasien rawat inap relatif terpenuhi hak-haknya dalam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pihak RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. Berkaitan dengan kenyataan diatas, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa: “ Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat melalui sistem jaminan sosial”. Mengingat Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional belum dapat diimplementasikan maka aturan yang menjadi pedoman penyelenggaraan Jamkesmas menggunakan acuan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/ MENKES/ PER/ V/ 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Dalam hubungannnya dengan implementasi hukum secara umum, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa implementasi hukum dapat diartikan dengan kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau situasi seperti yang dikehendaki atau diharapkan oleh hukum. Sementara Bernard Arief Sidharta menyatakan pendapatnya bahwa, implementasi hukum merupakan suatu proses dari semua kegiatan (tindakan) manusia berkenaan dengan hal mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit bagi masyarakat yang dikenainya. 82 Hasil data penelitian yang ada di tabel 2 diatas berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, program Jamkesmas sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/ Menkes/ Per/ V/ 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, secara umum dalam implementasinya sebagian besar telah mampu mewujudkan hak-hak pasien atas pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit, hal ini ditunjukan dengan melihat data hasil penelitian bahwa sebanyak 28 (70%) responden menyatakan efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Efektifnya implementasi sistem jamiman kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam mengakses pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo tersebut dapat dilihat dari indikator persyaratan administratif bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap. Maka dapat diperoleh gambaran sebagaimana yang terdapat dalam tabel berikut: Tabel 3 : Persyaratan Administratif Peserta Jamkesmas untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Persyaratan Interval Frekuensi Presentase Administratif Klas (F) (%) Tidak Terpenuhi 21-22 5 12,5 Kurang Terpenuhi 23-24 15 37,5 Terpenuhi 25-26 20 50 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah 83 Tabel diatas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 40 orang, sejumlah 5 (12,5%) responden menyatakan bahwa persyratan administratif tidak terpenuhi, sejumlah 15 (37,5%) responden menyatakan kurang terpenuhi persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit bagi peserta Jamkesmas dan sejumlah 20 (50%) responden menyatakan persyaratan administratif terpenuhi. Berdasarkan data diatas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa peserta Jamkesmas memenuhi persyaratan administratif yang telah ditetapkan. Terpenuhinya persyaratan administratif memudahkan peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Hal ini menunjukan bahwa rumah sakit memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit, hal ini diwujudkan dengan adanya kemudahan untuk memenuhi persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Terkadang petugas rumah sakit memberi kemudahan terhadap pasien, persyaratan administratif yang belum lengkap dapat disusul untuk melengkapinya karena peserta Jamkesmas tersebut membutuhkan pelayanan kesehatan secepatnya. Hal ini tentunya sangat membantu masyarakat miskin untuk lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. 84 Kenyataan diatas mengandung arti bahwa, kemudahan persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit, menentukan pula efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat di interprestasikan bahwa, semakin mudah persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit sebagai organisasi penyelenggara program Jamkesmas, maka akan semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Apabila kenyataan tersebut diinterprestasikan berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat, maka dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian petugas rumah sakit sebagai wakil dari lembaga penerap hukum jaminan kesehatan masyarakat telah memberikan kemudahan dan akses pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas. Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit merupakan perwujudan dari persyaratan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap melalui program Jamkesmas, sehingga yang memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit memang benar merupakan peserta Jamkesmas. Persyaratan administratif untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap sebagai peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo adalah 85 1. Fotocopy KTP (Kartu Tanda Penduduk) 2. Kartu Peserta Jamkesmas 3. Surat Rujukan dari Puskesmas 4. Fotocopy Kartu Keluarga Adanya persyaratan yang telah ditentukan ini sebenarnya juga merupakan wujud kehati-hatian dari petugas rumah sakit supaya benar-benar masyarakat miskin peserta Jamkesmas yang memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap dengan adanya bukti kepemilikan kartu Jamkesmas dan pemenuhan persyaratan administratif yang lain. Jika data dalam tabel 3 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan administratif yang harus dipenuhi peserta Jamkesmas tersebut. Artinya terpenuhinya persyaratan administratif yang harus dipenuhi pasien, maka semakin efektif implementasi sistem Jamkesmas tersebut. Implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan ini ditinjau dari indikator prosedur peserta Jamkesmas untuk memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit, maka dapat diperoleh gamabaran sebagaimana tertuang dalam tabel berikut: 86 Tabel 4 : Prosedur Peserta Jamkesmas untuk memperoleh Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Prosedur Interval Frekuensi Presentase Pelayanan Kesehatan Klas (F) (%) Tidak Sederhana 19-22 4 10 Kurang Sederhana 23-26 7 17,5 Sederhana 27-30 29 72,5 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Tabel 4 diatas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 40 orang, sejumlah 4 (10%) responden menyatakan bahwa prosedur peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit tidak sederhana. Sebanyak 7 (17,5%) responden menyatakan bahwa prosedur peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit kurang sederhana dan sebanyak 29 (72,5%) responden menyatakan bahwa prosedur yang harus dilalui peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit adalah sederhana. Berdasarkan pada fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar responden menilai sederhana prosedur bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Kenyataan ini membuktikan bahwa sebagaian besar peserta Jamkesmas diberikan kemudahan dalam mengakses pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit. Hal ini tentunya sesuai dengan tujuan yang ada di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat yaitu memberikan kemudahan akses untuk 87 mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai unit yang menyelenggarakan program Jamkesmas. Dari kenyataan tersebut diatas dapat diinterprestasikan bahwa, dengan adanya prosedur yang sederhana bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap dirumah sakit, menjadikan implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan efektif. Pasal 5 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa : (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya dibidang kesehatan. Dikaitkan dengan prosedur bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit tentunya berhubungan dengan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pasal 5 angka (1) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menunjukan bahwa masyarakat miskin peserta Jamkesmas juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Prosedur pelayanan yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.80 Adanya kemudahan alur bagi peserta Jamkesmas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit tentunya mencerminkan perwujudan adanya kemudahan 80 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Op., Cit, hlm 105. 88 akses yang diberikan pihak rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas. Apabila data dari tabel 4 dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, prosedur yang sederhana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan menentukan pula efektifnya sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Artinya, semakin sederhana prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rawat inap peserta Jamkesmas, maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo tersebut dapat di lihat dari indikator pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien rawat inap peserta Jamkesmas, yang dapat dilihat dari hasil penelitian sebagai berikut: Tabel 5 : Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Pelayanan Interval Frekuensi Presentase Kesehatan Klas (F) (%) Tidak Baik 23-25 4 10 Kurang Baik 26-28 13 32,5 Baik 29-30 23 57,5 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah 89 Dari tabel 5 diatas dapat dideskripsikan bahwa, dari sebanyak 40 responden yang menjadi sempel penelitian, terdapat sebanyak 4 (10%) responden menilai pelayanan kesehatan rawat inap yang diterima peserta Jamkesmas tidak baik, sebanyak 13 (32,5%) responden menilai kurang baik atas pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh, serta sebanyak 23 (57,5%) responden menyatakan penilaian yang baik terhadap pelayanan kesehatan rawat inap melalui program Jamkesmas. Berdasarkan pada data yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar responden menilai baik terhadap pelayanan kesehatan rawat inap yang diberikan rumah sakit melalui program Jamkesmas. Kenyataan ini membuktikan bahwa sebagian besar pasien rawat inap peserta Jamkesmas dalam mengakses pelayanan kesehatan rawat inap telah mendapatkan hak-haknya sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang berlaku. Berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang baik, Azrul Azwar sebagaimana yang telah disinggung dalam bab sebelumnya, menyatakan bahwa, “ Pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan kesehatan yang baik, harus memenuhi berbagai persyaratan, antara lain: 1. Pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat berkesinambungan; 2. Pelayanan kesehatan tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat serta bersifat wajar; 3. Pelayanan kesehatan tersebut harus mudah dicapai oleh masyarakat; 90 4. Pelayanan kesehatan harus mudah dijangkau oleh masyarakat; 5. Pelayanan kesehatan tersebut harus bermutu. Data pada tabel 5 diatas ditafsirkan berdasarkan pendapat Azrul Azwar ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo kepada masyarakat miskin pasien rawat inap peserta Jamkesmas, pada dasarnya telah memenuhi persyaratan pelayanan kesehatan yang baik. Artinya, pelayanan kesehatan rawat inap yang diperlukan peserta Jamkemas tidak sulit untuk ditemukan. Pelayanan kesehatan rawat inap yang diberikan RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo secara nyata tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan peserta Jamkesmas serta bersifat wajar. Lokasi pelayanan kesehtan rawat inap yang tersedia mudah dicapai dan tidak dipunggut biaya. Pelayanan kesehatan yang diberikan harus bermutu serta dapat memuaskan peserta Jamkesmas dan tata cara penyelenggaraan sesuai dengan kode etik serta standar minimal yang telah ditetapkan. Amanat dari pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian dipertegas dengan Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang menyatakan bahwa tujuan dari pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan masyarakat salah satunya adalah mendorong peningkatan pelayanan kesehatan yang berstandar bagi peserta, tidak berlebihan sehingga terkendali mutu dan biaya. 91 Hasil penelitian pada tabel 5 menunjukan adanya hak yang terpenuhi dari pasien sebagai masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pelayanan kesehatan yang baik diwujudkan dengan 23 (57,5%) responden menyatakan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan bagi peserta Jamkesmas pasien rawat inap adalah baik. Apabila data dalam tabel 5 ini dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di dukung pula oleh pelayanan kesehatan yang baik terhadap peserta Jamkesmas pasien rawat inap tersebut. Artinya, semakin baik pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien rawat inap peserta Jamkesmas, maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Selanjutnya, jika implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, ini dilihat dari indikator sarana dan prasarana yang mendukung berjalannya hukum menurut pandangan peserta Jamkesmas pasien rawat inap, hasil penelitian memperoleh gambaran sebagai berikut: 92 Tabel 6 : Sarana dan Prasarana yang digunakan untuk menunjang Pelayanan Kesehatan bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Sarana dan Interval Frekuensi Presentase Prasarana Klas (F) (%) Tidak Memadai 18-21 4 10 Kurang Memadai 22-26 9 22,5 Memadai 27-30 27 67,5 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Dari tabel 6 diatas dapat dijelaskan bahwa, dari sebanyak 40 responden, terdapat sejumlah 4 (10%) responden menyatakan kelengkapan sarana dan prasarana medis yang ada ternyata tidak memadai dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan melalui program Jamkesmas, dan sejumlah 9 (22,5%) responden menyatakan kurang memadai sarana dan prasarana medis untuk menunjang pelaksanaan program Jamkesmas, serta sejumlah 27 (67,5%) responden menyatakan memadai kelengkapan sarana dan prasarana medis yang tersedia dalam menunjang penyelenggaraan pelayanan kesehatan rawat inap bagi peserta Jamkesmas. Dari tabel 6 diatas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar pasien rawat inap peserta Jamkesmas mengakui kelengkapan sarana dan prasarana medis di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo relatif memadai dalam menunjang pelayanan kesehatan rawat inap melalui program Jamkesmas, yang pada akhirnya dapat berimplikasi terhadap kelancaran penyelenggaraan pelayanan kesehatan rawat inap, yang pada gilirannya akan berpengaruh pula secara positif terhadap tingkat 93 efektifitas implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hasil penelitian diatas mengandung arti bahwa, unsur sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia dan memadai, menentukan pula derajat efektifitas implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan yang baik. Dengan demikian dapat di interprestasikan bahwa, semakin lengkap saran dan prasarana medis yang tersedia di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo sebagai organisasi pelaksana program Jamkesmas, maka akan semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Masalah pelayanan kesehatan lebih banyak disorot, karena adanya tuntutan tingkat pelayanan yang sesempurna mungkin. Kritik-kritik terhadap fasilitas kesehatan bnayak dijumpai di surat-surat kabar. Anehnya kritik-kritik tersebut tanpa ada kemauan ingin tahu bahwa dibalik pelayanan kesehatan yang sempurna ada jaringan prasarana yang harus diciptakan.81 Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Kelengkapan dan memadainya sarana dan prasarana medis yang tersedia tersebut, menyangkut tentunya menjadi tanggung jawab negara. Aspek sarana dan prasarana medis yang tersedia tentunya berkaitan dengan pendanaan untuk 81 Sulastomo, Op., Cit, hlm. 270. 94 memenuhi ketersediaan sarana dan prasarana medis guna menunjang pelayanan kesehatan rawat inap yang diberikan rumah sakit. Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik sebagai fungsi sebagai faktor pendukung. Memang sering terjadi suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi maupun memberikan tugas kepada peraturan dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang ada.82 Jumlah peserta Jamkesmas yang banyak tentunya harus disesuaikan dengan jumlah sarana dan prasarana yang ada dirumah sakit sehingga pelayanan kesehatan rawat inap khususnya yang membutuhkan ruangan yang layak dapat terpenuhi. Jika data dalam tabel 6 dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan ditentukan oleh memadainya sarana dan prasarana yang mendukung. Artinya semakin memadainya sarana dan prasarana yang ada di rumah sakit, maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit. 82 Zainuddin Ali, 2006, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 64. 95 Di samping ke empat indikator diatas, indikator kepuasan peserta Jamkesmas atas pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh, tidak kalah pentingnya sebagai indikasi efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Berkaitan dengan hal diatas, hasil penelitian mengungkapkan bahwa sebagaian besar peserta Jamkesmas yang memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo mengaku merasakan puas. Hal ini dibuktikan dengan melihat data hasil penelitian sebagaimana yang tertuang dalam tabel sebagai berikut: Tabel 7 : Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Tingkat Interval Frekuensi Presentase Kepuasan Klas (F) (%) Tidak Puas 21-23 6 15 Kurang Puas 24-27 9 22,5 Puas 28-30 25 62,5 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Tabel 5 diatas menjelaskan bahwa, sebanyak 6 (15%) responden mengaku bahwa pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh melalui program Jamkesmas tidak memuaskan, sebanyak 9 (22,5%) responden merasakan kurang puas terhadap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperolehnya dari program Jamkesmas dan sebanyak 25 (62,5%) responden merasakan puas terhadap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh melalui program Jamkesmas dirumah sakit RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. 96 Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar peserta Jamkesmas menyatakan puas terhadap pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Hal ini mengandung arti bahwa, program Jamkesmas dalam implementasinya di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo mampu mewujudkan hak-hak pasien rawat inap peserta Jamkesmas yang dapat melahirkan perasaan puas terhadap pelayanan kesehatan yang diperoleh. Timbulnya perasaan puas ini merupakan indikasi adanya mutu pelayanan kesehatan rawat inap yang baik. Dengan demikian tingkat kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas merupakan unsur yang menentukan implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, tingkat kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas atas pelayanan kesehatan yang diperolehnya, mempunyai korelasi secara positif terhadap implementasi sistem Jamkesmas. Artinya, semakin tinggi tingkat kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas, maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Terkait dengan masalah kepuasan peserta atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit melalui penyelenggaraan program Jamkesmas, Kolter berpendapat bahwa “ Kepuasan merupakan perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesan terhadap kinerja (hasil) suatu produk atau jasa dengan harapan yang dimiliki. Apabila kinerja yang dihasilkan suatu produk atau jasa berada dibawah harapan, maka konsumen merasa kecewa dan tidak puas. Sebaliknya bila kinerja yang dihasilakan oleh 97 suatu produk atau jasa dapat memenuhi atau melampau harapan, maka konsumen akan meras puas. Demikian juga perasaan pasien terhadap kinerja yang dihasilkan oleh perawat. Jika perawat menghasilkan kinerja yang memenuhi atau melampaui harapan dari pasiennya dengan memberikan pelayanan yang baik, maka pasien akan merasakan kepuasaan yang tinggi. Tetapi sebaliknya jika kinerja perawat dalam memberikan pelayanan kespada pasiennya buruk, maka pasien akan merasakan ketidakpuasan dan hal ini akan mempengaruhi penilaian pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit, terutama perawat yang merawatnya”. 83 Masih dalam hubungannya dengan hal di atas, Engel sebagaimana yang dikutip oleh Musanto, menyatakan bahwa “ kepuasan merupakan evaluasi setelah pemakaian dimana pelayanan yang diberikan sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pasien. Pasien yang dirawat di rumah sakit melakukan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya dan dari evaluasi itulah pasien mengetahui apakah mereka merasa puas dengan pelayanan yang diberikan perawat atau tidak. Bagi pasien, kepuasan selalu dikaitkan dengan lingkungan rumah sakit, suhu udara, kenyamanan, kebersihan. Kecepatan pelayanan, keramahan perawat dan perhatian dari perawat. Pelayanan yang diberikan oleh perawat dan perhatian dari perawat. Pelayan yang diberikan oleh perawat yang 83 Kolter P., 1997, Menejemen Prmasaran; Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian, Prenhallindo, Jakarta, hlm. 116. 98 tidak sesuai dengan harapan pasien akan menimbulkan perasaan ketidakpuasan.”84 Hasil data dalam tabel 7 diatas, di interprestasikan berdasarkan pada kedua teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa, tingkat kepuasan peserta Jamkesmas terhadap pelayanan kesehatan rawat inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, memiliki hubungan dengan hasil kerja dari perawat dan dokter yang memberikan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Kepuasan pasien rawat inap peserta Jamkesmas dapat diwujudkan dengan hasil kinerja dari perawat yang merawatnya di rumah sakit, dokter yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai atau tidak dengan harapan yang di inginkan pasien. Tingkat kepuasan akan berpengaruh terhadap rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan rawat inap melalui program Jamkesmas. Tingkat kepuasan yang tinggi yang dirasakan oleh pasien rawat inap peserta Jamkesmas akan menimbulkan kelekatan emosional antara peserta Jamkesmas dengan RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, yang mengakibatkan peserta Jamkesmas akan selalu mendukung implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap karena hal tersebut merupakan kebutuhan mereka. Tetapi sebaliknya apabila kinerja yang dilakukan oleh rumah sakit sebagai organisasi penyelenggara program Jamkesmas dalam memberikan 84 Musanto T, 2004, Faktor-faktor Kepuasan Pelangan dan loyalitas Pelanggan; Studi Kasus pada CV. Sarana Media Advertising Surabaya, Jurnal Menejemen dan Kewirausahaan, Vol. 6, Jakarta, hlm. 123-136. 99 pelayan ksehatan rawat inap buruk, maka peserta Jamkesmas pasien rawat inap akan merasakan ketidakpuasan yang pada akhirnya akan membuat reputasi rumah sakit buruk. Apabila data dalam tabel 7 dihubungkan dengan data dalam tabel 2 diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, efektifnya implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh kepuasan yang didapat peserta Jamkesmas. Artinya semakin puas pasien rawat inap peserta Jamkesmas di rumah sakit, maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. B. Faktor-faktor yang Cenderung Mempengaruhi Implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Pasien Rawat Inap Dalam Pelayanan Kesehatan Sebagaimana dipaparkan dimuka bahwa implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan merupakan suatu proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, yang melibatkan komponen pembuat hukum, pelaksana hukum dan pihak yang dikenai hukum. Ketiga komponen ini dalam bekerjanya selalu dipengaruhi oleh kekuatankekuatan personal dan sosial lainnya. Kekuatan diluar hukum yang cenderung berpengaruh terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan adalah faktor persyaratan administratif, fasilitas kesehatan, pengetahuan dan komunikasi. 100 Masing-masing faktor tersebut diatas dapat digambarkan secara berturutturut sebagaimana tertuang dalam tabel-tabel berikut ini: Tabel 8 : Tingkat Persyaratan Administratif Persyaratan Interval Frekuensi Administratif Klas (F) Tidak Sederhana 12-17 6 Kurang Sederhana 18-24 18 Sederhana 25-30 16 40 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Presentase (%) 15 45 40 100 Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa sebanyak 40 responden menunjukan sebanyak 6 (15%) responden menyatakan bahwa faktor persyaratan administratif tidak sederhana, sebanyak 18 (45%) responden menyatakan bahwa faktor persyaratan administratif kurang sederhana, dan sebanyak 16 (40%) responden menyatakan bahwa faktor persyaratan administratif sederhana. Tingkat persyaratan administratif berdasarkan data tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa persyaratan administratif kurang sederhana, yakni dibuktikan dengan hasil responden terbesar yaitu 18 (45%) responden. Apabila tingkat persyaratan administratif responden dihubungkan dengan tingkat implementasi Jamkesmas bagi pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam tabel 2, maka dapat diperoleh kecenderungan bahwa faktor persyaratan administratif cenderung berpengaruh positif terhadap implementasi Jamkesmas. Hal ini dapat diperjelas dengan melihat data yang tertuang dalam tabel dibawah ini: 101 Tabel 9: Pengaruh Faktor Persyaratan Administratif terhadap Implementasi Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. Tidak Kurang Efektif Jumlah Efektif Efektif F % F % F % F % 0 0 0 0 6 15 6 15 Tidak Sederhana 0 0 3 7,5 15 37,5 18 45 Kurang Sederhana 6 15 3 7,5 7 17,5 16 40 Sederhana 6 15 6 15 28 70 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Berdasarkan tabel diatas dapat dideskripsikan bahwa faktor persyaratan administratif cenderung berpengaruh secara positif terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam tabel diatas dimana pada pengaruh faktor persyaratan administratif tidak sederhana, diperoleh gambaran bahwa sejumlah 0 (0%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 0 (0%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif dan sebanyak 6 (15%) responden menunjukan tingkat implementasi Jamkesmas yang efektif. Apabila dilihat dari pengaruh faktor persyaratan administratif yang kurang sederhana, diperoleh gamabaran bahwa sejulah 0 (0%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 3 (7,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sebanyak 15 (37,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas efektif dalam memberikan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. 102 Apabila dilihat dari faktor persyaratan administratif yang sederhana, diperoleh gamabaran bahwa sejumlah 6 (15%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 3 (7,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sejumlah 7 (17,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas efektif dalam memberikan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan sementara bahwa faktor persyaratan administratif cenderung berpengaruh secara positif terhadap implementasi Jamkesmas pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, artinya semakin sederhana tingkat persyaratan administratif, maka semakin efektif pula implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Selain faktor persyaratan administratif, ternyata faktor fasilitas kesehatan juga mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap. Di dalam penelitiaan ini, faktor fasilitas kesehatan juga sebagai salah satu independent variabel karena merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hasil penelitian penulis menunjukan sebagaimana yang terdapat dalam tabel 10 dibawah ini: 103 Tabel 10 : Faktor Fasilitas Kesehatan Sarana dan Interval Prasarana Klas Tidak Baik 10-16 Kurang Baik 17-23 Baik 24-30 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Frekuensi (F) Presentase (%) 19 6 15 40 47,5 15 37,5 100 Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa sebanyak 40 responden menunjukan sebanyak 19 (47,5%) responden menyatakan bahwa faktor fasilitas kesehatan tidak baik, sebanyak 6 (15%) responden menyatakan bahwa faktor fasilitas kesehatan kurang baik, dan sebanyak 15 (37,5%) responden menyatakan bahwa faktor fasilitas kesehatan baik. Berdasarkan pada data tabel 10 memperlihatkan bahwa sebanyak 19 (47,5%) responden menyatakan bahwa faktor fasilitas kesehatan tidak baik. Apabila tingkat responden ini dihubungkan dengan tingkat implementasi Jamkesmas sebagaimana yang tercantum dalam tabel 2, maka akan diperoleh gambaran bahwa faktor fasilitas kesehatan berpengaruh terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dijelaskan sebagaimana yang tercantum dalam tabel 11 dibawah ini: 104 Tabel 11 : Pengaruh Faktor Fasilitas Kesehatan terhadap Implementasi Jamkesmas bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Tidak Kurang Efektif Jumlah Efektif Efektif F % F % F % F % 0 0 3 7,5 16 40 19 47,5 Tidak Baik 0 0 2 5 4 10 6 15 Kurang Baik 6 15 1 2,5 8 20 15 37,5 Baik 6 15 6 15 28 70 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Berdasarkan pada tabel 11 diatas, dapat digambarkan bahwa faktor fasilitas kesehatan dalam implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap cenderung berpengaruh positif. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam tabel diatas, dimana pada pengaruh faktor fasilitas kesehatan tidak baik, diperoleh gambaran bahwa sejumlah 0 (0%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas yang tidak efektif, sejumlah 3 (7,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif dan sejumah 16 (40%) responden menunjukan implemntasi Jamkesmas efektif. Apabila dilihat dari pengaruh faktor fasilitas kesehatan yang kurang baik, diperoleh gamabaran bahwa sejumlah 0 (0%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 2 (5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sejumlah 4 (10%) responden menunjukan tingkat implementasi efektif. 105 Dilihat dari faktor fasilitas kesehatan yang baik, diperoleh gambaran bahwa sejumlah 6 (15%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 1 (2,5%) responden menunjukan implemntasi Jamkesmas kurang efektif, dan sejumlah 8 (20%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas efektif. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa faktor fasilitas kesehatan cenderung berpengaruh positif terhadap tingkat implementasi Jamkesmas, artinya semakin baik fasilitas kesehatan, maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Bila diaplikasikan dengan teori Soerjono Soekanto dimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum adalah faktor sarana dan fasilitas yang mendukung efektifitas hukum. Penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan masyarakat tidak akan berlangsung dengan lancar dan tertib jika tanpa adanaya sarana dan prasarana yang mendukung. Berdasarakan teori diatas apabila diinduksikan dengan tingkat implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, maka dapat dikatakan masih relevan untuk diterapkan dalam penelitian ini, karena fasilitas kesehatan cenderung berpengaruh positif terhadap implementasi Jamkesmas. Semakin baik fasilitas kesehatan yang 106 tersedia, maka akan semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Selain faktor persyaratan administratif dan fasilitas kesehatan, ternyata faktor pengetahuan pasien juga mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatana masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayan kesehatan. Hasil penelitian penulis menunjukan sebagaimana yang terdapat dalam tabel dibawah ini: Tabel 12 : Faktor Pengetahuan Pengetahuan Interval Klas Rendah 10-15 Sedang 16-22 Tinggi 23-28 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Frekuensi (F) 7 17 16 40 Presentase (%) 17,5 42,5 40 100 Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa dari sebanyak 40 responden menunjukan sebanyak 7 (17,5%) responden memiliki tingkat pengetahuan yang relatif rendah, sebanyak 17 (42,5%) responden menyebutkan tingkat pengetahuan yang relatif sedang dan sejumlah 16 (40%) responden menunjukan tingkat pengetahuan yang relatif tinggi. Tingkat pengetahuan berdasarkan data tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan yang relatif sedang, yakni dibuktikan dengan hasil responden terbesar yaitu 17 (42,5%) responden. Akan tetapi, tingkat pengetahuan yang sedang tersebut, sebagian besar juga tergolong tingkat pengetahuan yang tinggi. Apabila tingkat pengetahuan 107 responden dihubungkan dengan tingkat implementasi Jamkesmas bagi pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan sebagaimana yang tercantum dalam tabel 2, maka dapat diperoleh kecenderungan pengaruh faktor pengetahuan terhadap implementasi Jamkesmas. Hal ini dapat diperjelas dengan melihat data yang tertuang dalam tabel dibawah ini : Tabel 13 : Pengaruh Faktor Pengetahuan terhadap Implementasi Jamkesmas bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Tidak Kurang Efektif Jumlah Efektif Efektif F % F % F % F % 0 0 2 5 5 12,5 7 17,5 Rendah 0 0 3 7,5 14 35 17 42,5 Sedang 6 15 1 2,5 9 22,5 16 40 Tinggi 6 15 6 15 28 70 40 100 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Berdasarkan tabel diatas dapat dideskripsikan bahwa pengetahuan cenderung berpengaruh secara positif terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam tabel diatas dimana pada pengaruh faktor pengetahuan rendah, diperoleh gambaran bahwa sejumlah 0 (0%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 2 (5%) responden menunjukan implementasi Jaamkesmas kurang efektif dan sebanyak 5 (12,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas efektif. Apabila dilihat dari pengaruh faktor pengetahuan yang sedang, diperoleh gamabaran bahwa sejulah 0 (0%) responden menunjukan implementasi 108 Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 3 (7,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sebanyak 14 (35%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas efektif dalam memberikan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Apabila dilihat dari faktor pengetahuan yang tinggi, diperoleh gamabaran bahwa sejumlah 6 (15%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 1 (2,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sejumlah 9 (22,5%) responden menunjukan tingkat implementasi Jamkesmas efektif dalam memberikan pelayanan kesehatan rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan sementara bahwa faktor pengetahuan cenderung berpengaruh secara positif terhadap implementasi Jamkesmas pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka semakin efektif pula implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Selain faktor persyaratan administratif, fasilitas kesehatan, pengetahuan, ternyata faktor komunikasi juga sering kali mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hasil penelitian penulis menunjukan sebagimana yang terdapat dalam tabel di bawah ini: 109 Tabel 14 : Faktor Komunikasi Komunikasi Interval Klas Rendah 23-25 Sedang 26-27 Tinggi 28-30 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Frekuensi (F) 8 13 19 40 Presentase (%) 20 32,5 47,5 100 Tabel 14 tersebut diatas dapat dijelaskan dari sebanyak 8 (20%) responden menyebutkan tingkat komunikasi yang rendah antara tenaga medis dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas , sebanyak 13 (32,5%) responden menyatakan tingkat komunikasi sedang antara tenaga medis di rumah sakit dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas dan sebanyak 19 (47,5%) responden menyebutkan tingkat komunikasi tinggi yang terjadi antara tenaga medis dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas. Komunikasi adalah pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangka menciptakan rasa saling mengerti serta saling percaya demi terwujudnya hubungan yang baik antara seseorang dengan orang lain.85 Terkait dengan komunikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunikasi yang terjadi antara tenaga kesehatan yang ada dirumah sakit dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas. Adanya komunikasi yang baik antara pasien rawat inap peserta Jamkesmas dengan tenaga kesehatan yang ada dirumah sakit tentunya akan melahirkan pelayanan kesehatan yang bermutu. 85 Azrul Azwar., Op. Cit., hlm. 297. 110 Pengertian tentang komunikasi diatas memberikan batasan bahwa tujuan utama komunikasi adalah untuk menimbulkan saling pengertian, bukan persetujuan. Seseorang yang tidak setuju terhadap sesuatu hal, tetapi paham benar apa yang tidak disetujuinya tersebut, juga telah mempunyai komunikasi yang baik.86 Komunikasi yang dilakukan antara tenaga kesehatan dirumah sakit dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas tentunya memiliki tujuan agar pasien rawat inap mendapatkan informasi-informasi tentang pelayanan kesehatan yang diberikan serta resiko dari pelayanan kesehatan yang dilakukan tenaga kesehatan. Dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat komunikasi responden, sebagaian besar memiliki tingkat komunikasi yang tinggi anatara tenaga medis yang ada di rumah sakit dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas. Kenyataan diatas mengandung arti bahwa, komunikasi yang tinggi menentukan pula derajat efektifitas implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian dapat diinterprestasikan bahwa, semakin tinggi komunikasi yang terjadi antara tenaga medis dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas maka akan semakin efektif implementasi sistem jamianan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Bilamana tingkat implementasi Jamkesmas dilihat dari pngeruh faktor komunikasi, maka akan diperoleh hasil penelitian sebagaimana tercantum dalam tabel berikut: 86 Ibid., 111 Tabel 15 : Pengaruh Faktor Komunikasi terhadap Implementasi Jamkesmas bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Tidak Efektif F % 0 0 Rendah 2 5 Sedang 4 10 Tinggi 6 15 Jumlah Sumber : Data primer yang diolah Kurang Efektif F % 4 10 1 2,5 1 2,5 6 15 Efektif F 4 10 14 28 % 10 25 35 70 Jumlah F 8 13 19 40 % 20 32,5 47,5 100 Berdasarkan data tabel 15 diatas, dapat dideskripsikan bahwa faktor komunikasi yang terjadi anatara tenaga medis dengan pasien rawat inap peserta Jamkesmas cenderung berpengaruh positif terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam tabel 15 diatas, dimana pada pengaruh faktor komunikasi rendah, diperoleh gambaran yang menunjukan implementasi Jamkesmas yang tidak efektif, sejumlah 4 (10%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas yang kurang efektif dan sebanyak 4 (10%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas efektif. Apabila dilihat dari pengaruh faktor komunikasi yang sedang, diperoleh gambaran bahwa sejumlah 2 (5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 1 (2,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif dan sebanyak 10 (25%) responden menunjukan tingkat implementasi Jamkesmas efektif. 112 Apabila dilihat dari faktor komunikasi yang tinggi, diperoleh gambaran bahwa sejumlah 4 (10%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas tidak efektif, sejumlah 1 (2,5%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas kurang efektif, dan sejumlah 14 (35%) responden menunjukan implementasi Jamkesmas efektif. Berdasarkan data tersebut diatas dapat disimpulkan sementara bahwa faktor komunikasi cenderung berpengaruh positif terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan, artinya semakin tinggi tingkat komunikasi maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan. Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan secara garis besar bahwa faktor persyaratan administratif, fasilitas kesehatan, pengetahuan dan komunikasi merupakan faktor yang cenderung berpengaruh positif terhadap implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. 113 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Pasien Rawat Inap dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo adalah efektif, hal ini dapat dibuktikan dengan indikator-indikator sebagai berikut : a. Terpenuhinya Persyaratan Administratif Peserta Jamkesmas untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo b. Kesederhanan Prosedur Peserta Jamkesmas untuk memperoleh Pelayanan Kesehatan Rawat Inap di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo c. Baiknya Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo d. Memadainya Sarana dan Prasarana yang digunakan untuk menunjang Pelayanan Kesehatan bagi Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo e. Puasnya Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Inap Peserta Jamkesmas di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo 2. Faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi Implementasi Sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Pasien Rawat Inap dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo, yaitu faktor persyaratan administratif, 114 fasilitas kesehatan, pengetahuan dan komunikasi yang cenderung berpengaruh secara positif dalam implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit, artinya semakin sederhana persyaratan administratif, semakin baik fasilitas kesehatan dan semakin tinggi tingkat pengetahuan dan komunikasi maka semakin efektif implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo. B. Saran Berdasarakan pada hasil penelitian penulis mengenai implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo beserta faktor-faktor yang cenderung mempengaruhi implementasi sistem jaminan kesehatan masyarakat miskin pasien rawat inap dalam pelayanan kesehatan di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo mengajukan saran agar rumah sakit sebagai penyelenggara program Jamkesmas tetap memberikan kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan tetap mempertahankan pelayanan kesehatan yang baik bagi pasien rawat inap peserta Jamkesmas sebab masyarakat miskin peserta Jamkesmas juga memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan. 115 DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Azwar, Azrul, 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta Adisasmito, Wiku, 2008, Kebijakan standar pelayanan Medik dan Diagnosis related Group (DRG), Kelayakan Penerapanya di Indonesia, Jakarta,Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Ali, Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, 2011, Kabupaten Banyumas Dalam Angka 2011 Banyumas In Figures, Banyumas Dewi, Alexandra Indriyanti, 2008,Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta Faesal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Yayasan Asih Asah Asuh, Malang Hanadi, Saryono, 2004, Bekerjanya Hukum Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi di Kabupaten Banyumas), Sebuah Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP, Semarang Isfandyarie, Anny, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I, Prestasi Publisher, Jakarta J, Supranto, 1995, Pengantar Statistik Bidang Hukum, Rineka Cipta, Jakarta Sumadi Suryabrata, 1989, Metode Penelitian Sosial, Rajawali, Jakarta Kartono, Kartini, 1986, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung Kusumaatmadja, Mochta, 1975, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, LPH Fakultas Hukum UNPAD, Bina Cipta, Bandung Lumentana, B, 1989, Pelayanan Medis, Citra, Konflik dan Harapan, Kanisius, Kanisius, Yogyakarta 116 Masriani , Yulies Tiena, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Muhadjir, Noeng, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III, Rake Karasin, Yogyakarta Nasir , Moh, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta P, Kolter, 1997, Menejemen Prmasaran; Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian, Prenhallindo, Jakarta Podgorecki, Adam dan Christopher J. Whelan, 1987, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Penterjemah Widyaningsih dan G. Kartasapoetra, Bina Aksara, Jakarta Sidharta, Bernard Arief, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum; Sebuah Penelitian Tentang Fungsi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung Syaifudin, Abdul Bari, 2002, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 2008, Metode Penelitian Survei, Pustaka LP3ES, Jakarta Soemitro, Ronny Hanitiyo, 1985, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung Soekanto, Soerjono dan Herkutanto,1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja, Bandung Sudrajat, Tedi, 2010. Materi Kuliah Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Sulastomo, 2003, Manajemen Kesehatan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Sundoyo, Jaminan Kesehatan Masyarakat Salah Satu Cara Menyejahterakan Rakyat, Vol. 2. No. 4. Jurnal Hukum Kesehatan. Jakarta 117 T, Musanto, 2004, Faktor-faktor Kepuasan Pelangan dan loyalitas Pelanggan; Studi Kasus pada CV. Sarana Media Advertising Surabaya, Jurnal Menejemen dan Kewirausahaan, Vol. 6, Jakarta Widodo, Joko, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Banyumedia, Malang 2. Peraturan Perundang Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/ SK/ II/ 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat 3. Internet Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http// antaranews.com, ,Pasien_ Jamkesmas_ Dirawat_ di_lorong_RS, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011. Pelaksanaan Sistem Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin, http // news.okezone.com, Masih_Sebelah_Mata_Pandang_Kelas_Bawah, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011 Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http//kesehatan.liputan6.com, tiadabiaya-pasien-miskin-dibawa-pulang, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011 Pelayanan Kesehatan Peserta Jamkesmas, http// beritajatim.com, 4_ Hari_ Pasien_ Jamkesmas_ Ditelankarkan_RSUD_Sampang, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011. 118