Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... PENDEKATAN FILSAFAT DALAM MEMAHAMI HADIS NABI Muhammad Iqbal* Abstrak Sebagai sumber keagamaan hadis harus dipahami secara benar. Dalam tulisan ini penulis menawarkan filsafat sebagai pendekatan untuk memahami hadis agar tercapai pemahaman yang benar tersebut. Dengan filsafat, hadis diletakkan dalam dua kerangka yakni obyektivitas dan kontinuitas. Obyektivitas penting untuk memahami hadis yang hadir dalam eksistensi tertentu yang berbeda dengan eksistensi saat ini. Untuk mencapai obyektivitas diperlukan analisa struktural, historis dan kritik ideologi. Kontinuitas hadis juga penting karena sebagai sumber keagamaan hadis diyakini memiliki nilai yang universal. Ini dilakukan agar hadis dapat berbicara dengan eksistensi kita saat ini. Kata Kunci: Hadis, Filsafat, Obyektivitas, Kontinuitas A. Pendahuluan Muhammad, sebagai Rasulullah, tidak hanya menyampaikan ajaran yang diberikan Tuhan (wahyu) kepada manusia, tetapi sekaligus menjadi contoh pertama dalam melaksanakan ajaran-ajaran tersebut. Ini mengindikasikan bahwa ajaran-ajaran tersebut teraktualisasi dalam segala tindakan Nabi, baik itu perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi, yang kemudian dikenal dengan hadis. Dengan demikian, hadis dapat dikatakan merupakan aplikasi Nabi Muhammad terhadap ajaran-ajaran tersebut secara faktual dan ideal1. Dengan begitu, hadis Nabi pada dasarnya merupakan interpretasi Nabi terhadap ajaran yang diberikan Tuhan. Sebagai sebuah interpretasi yang bersifat faktual maka implikasinya lebih jauh teks hadis bisa tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang kita hadapi sekarang. Sebab Hadis sebagai teks pada umumnya merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur'an dalam meresponsi persoalan-persoalan yang dihadapi para sahabat Nabi. Karena sebagian *Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin. 1 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Karisma, 1999), h. 17. ucapan Rasulullah bersifat situasional, maka sebagian sabdanya dirasakan tidak lagi pas untuk menjelaskan realitas sosial hari ini.2 Lebih jauh jika dicermati, hadis Nabi yang selama ini terkodifikasi dalam berbagai kitab, tidak seluruhnya menampilkan suatu pesan yang secara implisit dapat dipahami dan diterjemahkan secara lugas dan koheren dalam pola-pola pemahaman dan perilaku umat yang resiprokal antara konteks yang melingkupi ketika hadis ini direkam dan diinterpretasi-kan oleh sahabat Nabi dengan konteks umat muslim sekarang yang sudah jauh berbeda. Dalam konteks sosio-historis yang melingkupi pertumbuhan dan perkembangan hadis baik pada era awal atau sesudahnya, hadis tidak hanya terbentuk secara makro dalam tradisi oral tapi juga telah terkungkung dalam sekat epistemologis para generasi klasik yang secara ketat menanamkan pemahaman-pemahaman yang sifatnya parsial-subyektif tanpa melihat pesan esensial yang terkandung dalam sebuah hadis. Sehingga apapun pemahaman yang dilahirkan tidak bisa memberikan jaminan 2 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 135. Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977--------- 71 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... akan sebuah solusi komprehensif dalam melihat permasalahan yang muncul baik pada dataran koseptual-teoritis dalam melihat problematika hadis itu sendiri atau pada dataran wacana-doktrin normatif yang terkandung dalam hadis itu sendiri dalam menjawab persoalan umat. Jika melihat perkembangan pemikiran keislaman khususnya yang berkaitan dengan penafsiran. Maka harus diakui bahwa kajian-kajian tentang penafsir-an atau pemahaman hadis selama ini berjalan lebih lamban dibandingkan dengan al-Qur'an. Apabila pemahaman terhadap al-Qur'an telah dan dapat dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan. Maka tidak demikian halnya dengan hadis, studi tentang pemahaman hadis masih bergerak sangat kaku dan merupakan wilayah yang sensitif. Di kalangan sebagian besar kaum muslim cenderung masih terjadi generalisasi pemahaman terhadap suatu hadis.3 Sehingga diakui atau tidak, teks hadis seakan-akan menjadi lebih suci dibandingkan dengan teks al-Qur'an4. Hal ini salah satunya dikarenakan para ulama lebih banyak mengendalikan diri dan bersikap reserve terhadap hadis karena mereka khawatir dituduh sebagai inkâr al-sunnah.5 Problem pemahaman hadis pun ternyata lebih kompleks dibandingkan dengan al-Qur'an. Problem yang muncul ketika memahami hadis tidak hanya menyangkut masalah metodologi melainkan juga problem ontologis dari suatu hadis ketika di hadapkan dengan kritik sejarah. Dalam pengertian lain, otentisitas sebuah hadis masih perlu diuji. Tidak demikian dengan al-Qur'an, problem pemahaman alQur'an hanya terletak pada metodologi, 3 Said Agil Husein al-Munawar, "Metode Pemahaman Hadis: Kemungkinan Pendekatan Historis dan Antropologis", dalam Yunayar Ilyas dan M. Mas'udi (ed.), Pengembangan Pemikiran Hadis (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), h. 164. 4 Moch. Nur Ichwan, "Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Studi Qur'an dan Hadits: Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadits di Indonesia", Makalah disampaikan pada Studium Generale Munas FKMTHI di Yogyakarta, 23 September 2000, h. 6. 5 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 309. dalam pengertian otentisitas al-Qur'an sebagai firman Allah tidak pernah dipersoalkan oleh umat Islam. Hal ini dikarenakan secara historis-tekstual otentisitas dan validitasnya dapat dipertanggungjawabkan, sebab semua periwayatannya secara mutawatir, dan secara tekstual (normatif) Allah telah menjamin otentisitas al-Qur’an6. Melihat berbagai persoalan di atas nampaknya perlu diusahakan sebuah pemahaman hadis yang mampu menjawab persoalan umat. Untuk itu ada dua agenda dalam memahami hadis Nabi yang akan ditawarkan dalam tulisan ini: pertama, bagaimana pemahaman hadis yang lebih proporsional dapat terwujud, dengan kata lain, bagaimana menjadikan hadis kontekstual dan relevan dengan dirinya sendiri dan realitas sosial yang melahirkannya; kedua, bagaimana pemaha-man tersebut dapat berguna bagi umat saat ini, dengan kata lain, bagaimana menjadikan hadis relevan dan kontekstual dengan kondisi kekinian yang sedang kita hadapi sekarang. Dalam tulisan ini penulis menawarkan filsafat sebagai pendekatan dalam memahami hadis Nabi karena filsafat pada dasarnya berbicara tentang substansi sesuatu. Dalam konteks pemahaman hadis filsafat akan mengantarkan kita pada substansi sebuah hadis. Substansi tersebut yang sesungguhnya menjadikan sebauh hadis relevan dengan segala kondisi, baik kondisi ketika hadis tersebut keluar maupun kondisi kekinian umat Islam. Namun sebelum memasuki pembahasan tersebut, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai dua paradigma yang melahirkan dua bentuk pemahaman hadis selama ini. Paradigma tekstual dan kontekstual. B. Tekstual dan Kontekstual Dalam memahami hadis, di samping dibatasi oleh kemampuan masingmasing orang sebagai manusia, juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, bahasa dan sosial budaya berbeda-beda. Segala macam ini kemudian membentuk 6 Q.S al-Hijr: 9. 72 --------- Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... pra-pemahaman seseorang. Pra-pemahaman ini dalam bahasa Gadamer disebut dengan "prasangka"7. Dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah yang agak berbeda namun mempunyai substansi yang sama yakni istilah yang dipopulerkan oleh Khun, paradigma. Paradigma di sini dimaksudkan sebagai kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.8 Ada dua macam paradigma terhadap hadis yang mempengaruhi pemahaman hadis. Pertama, hadis sebagai —meminjam istilah Kant— numena.. Kedua, hadis sebagai fenomena. Yang pertama menganggap hadis sebagai sebuah esensi dari ajaran. Sedang yang kedua menganggap bahwa hadis hanyalah gejalagejala dari esensi yang ada atau dalam bahasa lain, hadis bukanlah realita namun hanyalah merupakan gagasan tentang realita.9 Dua paradigma ini memunculkan dua jenis pemahaman hadis yang populer kita kenal, yakni tekstual dan kontekstual. Dalam sejarah dua jenis pemahaman ini telah muncul sejak zaman Nabi. Suatu saat Nabi Muhammad memerintahkan sejumlah sahabat untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah, sebelum berangkat, beliau berpesan: "janganlah ada salah seorang di antara kamu yang shalat Ashar, kecuali di perkampungan Bani Quraizhah". Dalam memahami pesan Nabi di atas, sebagian sahabat memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu, mereka baru melakukan shalat Ashar setelah tiba di perkampunganyang dituju meski waktu Ashar telah lewat. Sementara sebagian sahabat yang lain memahaminya secara kontekstual, jarak perjalanan yang jauh ke perkampungan Bani Quraizhah agaknya menyulitkan untuk sampai sebelum waktu Ashar. Oleh karena itu, mereka memahami pesan Nabi di atas sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di sana pada waktu Ashar belum habis. Sehingga ketika masuk waktu Ashar dan perjalanan masih berlanjut, mereka menunaikan shalat Ashar.10 Dalam perjalanan kaum muslim, paradigma pertama yakni menganggap hadis sebagai numena, umum dijumpai dalam kesadaran kaum muslim. Terutama setelah keberhasilan Imam Syafi'i mengidentikkan sunnah, sebagai salah satu sumber otoritatif bagi umat muslim, dengan hadis.11 Oleh karena itu, pendekatan yang sering digunakan dalam memahami hadis adalah pendekatan makna bahasa. Dalam paradigma ini realitalah yang harus menyesuaikan dengan nilai normatif dari teks hadis. Karena pendekatan yang digunakan adalah pendekatan makna bahasa, maka ketika menemukan teks hadis shahih yang nampak bertentangan dengan al-Qur'an atau teks hadis yang lain, untuk memahaminya kadang-kadang "terpaksa" menggunakan metode naskh mansukh dengan berbagai kaedah yang rigid. Penggunaan metode ini menurut penulis lebih dikarenakan ketidakmampuan menangkap esensi pesan yang hendak disampaikan oleh sebuah hadis Nabi, karena dalam paradigma ini, teks hadis itu sendiri merupakan esensi. Dalam paradigma ini, teks hadis menjadi suci dan tidak bisa diganggu-gugat. Sehingga hadis Nabi boleh berbeda, menambahkan dan mengecualikan kandungan al-Qur'an sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi'i.12 Dengan kata lain, dalam model paradigma ini telah terjadi "mitologisasi teks hadis". Sehingga hadis menjadi statis dan tidak dinamis. Selain karena ketidakmampuan menangkap realita historis yang melahirkan sebuah teks hadis, mitologisasi teks hadis juga terjadi karena melihat Nabi Muhammad hanya sebagai 10 7 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, London: Routledge & Kegan Paul, 1980, h. 108. 8 I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996, h. 92. 9 lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2000, h. 63-82. M. Quraish Shihab, "Kata Pengantar" dalam Syaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hads Nabi SAW: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, cet. VI, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998, h. 9. 11 Daniel. W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Terj. Jaziar Radianti&Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000, h. 32-36. 12 M. Quraish Shihab, op cit, h. 12. Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977--------- 73 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... Rasulullah, namun tidak melihat kemanusiaan Nabi Muhammad yang dibalut oleh sosial-budaya dan kepentingan yang mengitarinya. Telah muncul beberapa intelektual muslim yang resah melihat kenyataan pemahaman hadis yang mengarah kepada mitologisasi ini, yang kemudian mencoba melakukan demitologisasi terhadap teks hadis. Demitologisasi yang dimaksud di sini adalah pembongkaran selaput kosmologis yang mistis dari teks hadis. Sehingga teks hadis tidak menjadi mitos yang dipercaya begitu saja, akan tetapi ia perlu dianalisa lebih jauh. Demitologisasi ini dilandasi paradigma bahwa hadis adalah fenomena, dan di balik itu ada numena, esensi yang ingin disampakan. Numena dari sebuah hadis tentulah shâlih likulli zamân wa makân. Oleh karena itu, hadis tidak mungkin untuk dipahami secara kaku, statis dan radikal, ia harus dinamis sehingga mampu berbicara dan menjadi petunjuk untuk setiap kurun sejarah. Sebagaimana menurut Fazlur Rahman kita harus menjadikan hadis sebagai "Sunnah yang hidup".13 Untuk melakukan demitologisasi teks hadis, para cedekiawan mencoba menggali pesan substantif dari sebuah hadis. Dalam batasan tertentu dapat dikatakan bahwa para cendekiawan tersebut menggunakan pendekatan filsafat dalam memahami hadis Nabi. Salah seorang ilmuwan di era modern yang sering dikatakan melakukan kajian filosofis terhadap hadis adalah Syaikh Muhammad al-Ghazali. Dalam bukunya alSunnah al-Nabawiyyah: baina ahl al-fiqh wa ahl al-hadits, demitologisasi yang dilakukan oleh beliau lebih berpatokan kepada kritik matan hadis dengan melihat konteks hukum Islam yang lebih luas. Kriteria utama pemahaman hadi Nabi menurut al-Ghazali adalah: 1) tidak bertentangan dengan al-Qur'an; 2) sejalan dengan kebenaran ilmiah; 3) sejalan dengan fakta historis. Dalam pemahaman hadis Nabi, al-Ghazali lebih cenderung menggunakan pendekatan rasional dan kontekstual, yaitu memahamai hadis Nabi 13 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, cet. III, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1995, h. 121. dengan melihat realita historis dibalik hadis tersebut.14 Apa yang dilakukan oleh alGhazali dalam bukunya di atas memang bukanlah sebuah karya yang bersifat teoritis, perhatian utama al-Ghazali adalah pertanyaan-pertanyaan praktis yang mendominasi wacana politis dan religius para pembaru Islam: masalah hijab bagi wanita, kedudukan wanita dalam masyarakat dan ekonomi, hukum kriminal Islam, masalah ekonomi dan pajak.15 Dengan kata lain pembahasan yang dilakukan oleh al-Ghazali lebih bersifat paktis daripada metodologis. Kajian filosofis hadis Nabi yang dilakukan oleh al-Ghazali didukung dan diteruskan oleh Yusuf Qardhawi. Dalam bukunya kaifa nata'amalu ma' al-sunnah alnabawiyyah, sebagaimana al-Ghazali ia bermaksud mendefinisikan peranan sunnah dalam konteks hukum Islam yang lebih luas. Kajian filosofis hadis yang dilakukan oleh Qardhawi lebih metodologis dari yang dilakukan oleh al-Ghazali. Qardhawi memulai pembahasan dengan mengungkap-kan tiga karakteristik umum dari metodologi praktis Islam: universalitas, keseimbangan, dan kesedehanaan. Sunnah bersifat universal karena sunnah shâlih likulli zamân wa makân, sunnah mengatur setiap aspek kehidupan dan meliputi sebua hubungan. Sunnah dicirikan oleh keseimbangan karena menghindari ekstrem. Sunnah mempertimbangkan ruh dan jasad, pikiran dan perasaan, dunia dan akhirat, teori dan praktek, kebebasan dan tanggung jawab, kebutuhan individu dan kebutuhan masyarakat. Kesedehanaan sunnah terletak dalam toleransi dan kemudahaannya, sunnah tidak memberikan beban yang tidak semestinya.16 Menurut Qardhawi ada tiga prinsip dasar dalam berinteraksi dengan hadis. Pertama, melakukan kritik historis terhadap hadis. Ini dilakukan untuk menguji keshahihan hadis sebagai produk sejarah baik segi internal (matan) maupun eksternal 14 Syaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hads Nabi SAW: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, cet. VI, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1998. 15 Daniel. W. Brown, op cit, h. 138. 16 Yusuf Qardhawi, opcit, h. 18-21. 74 --------- Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... sanad dari hadis. Kedua, memahami dengan benar teks-teks yang berasal dari Nabi baik secara kebahasaan, historisitas teks-teks tersebut, juga kaitannya dengan teks-teks alQur'an dan hadis yang lain. Semua itu dilakukan tanpa mengabaikan untuk memilah mana hadis yang mengandung tasyrî', dan mana hadis yang tidak mengandung tasyrî'. Dan juga tasyrî' yang bersifat umum atau permanen dan tasyrî' yang bersifat khusus atau sementara. Ketiga, memastikan tek-teks tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadis yang lebih kuat kedudukannya.17 Tesis utama yang ingin disampaikan Qardhawi dalam bukunya ini adalah pembahasan mengenai delapan pedoman untuk memahami hadis dengan lebih baik: 1) memahami hadis sesuai petunjuk alQuran; 2) mengumpulkan dan mempertimbangkan hadis-hadis yang setema; 3) menggabungkan atau mentarjih antara hadishadis yang bertentangan.4) memahami hadis Nabi sesuai latar belakang, situasi dan kondisinya, serta tujuannya; 5) membedakan antara sarana yang berubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis; 6) membedakan antara fakta dan metafora dalam memahami hadis; 7) membedakan antara yang gaib dan nyata; 8) memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.18 Dari delapan pedoman di atas, jelas bahwa Qardhawi telah melakukan demitologisasi hadis dengan mempertimbangkan pendekatan linguistik yang lebih modern dan sosiohistoris yang melahirkan teks hadis. Apa yang menjadi tujuan utama dalam metodenya adalah mencari esensi pesan (numena) di balik fenomena yang ada pada teks hadis. Perlu juga diangkat dalam tulisan ini, kajian filosofis hadis yang dilakukan oleh salah seorang ilmuwan hadis Indonesia, yakni M. Syuhudi Ismail. Dalam pidato pengukuhannya pada IAIN Alauddin Makasar, yang kemudian dibukukan dengan judul Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Syuhudi Ismail 17 Ibid, h. 26-27. Ibid, h. 92. 18 mengungkapkan bahwa dalam memahami hadis, harus dipertimbangkan beberapa hal: 1) bentuk matan hadis Nabi dan cakupan petunjuknya, apakah ia jawami' al-kalim, bahasa tamsil, ungkapan simbolik, bahasa percakapan atau ungkapan analogi; 2) Fungsi Nabi Muhammad, apakah ia sebagai Rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi; 3) Latar belakang terjadinya petunjuk hadis Nabi, apakah ia hadis yang tidak mempunyai sebab khusus, mempunyai sebab secara khusus, hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi. Dengan kata lain, pemahaman hadis harus mempertimbangkan kondisi sosio-historis sebuah hadis baik secara mikro (asbab alwurud) maupun makro (realita yang ada di masyarakat muslim pada masa itu).; 4) pemahaman yang seksama terhadap hadis yang tampak bertentangan.19 Pembahasan yang dilakukan oleh Syuhudi Ismail nampak masih sangat fragmentaris. Namun secara garis besar Syuhudi Ismail mengungkapkan bahwa hadis Nabi ada yang bersifat Universal, temporal, dan lokal. Oleh karena itu, mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tekstual, sedang hadis yang lain lebih tepat dipahami secara kontekstual. Pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis bersangkutan, dalam pada itu pemahaman hadis secara kontekstual dilakukan apabila dibalik teks suatu hadis ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat.20 Dari uraian mengenai metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh tiga tokoh di atas, setidaknya dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, perlunya pendekatan 19 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, h. 3-91. 20 Ibid, h. 6. Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977--------- 75 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... kebahasaan untuk memahami teks hadis agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap teks hadis. Kedua, perlunya kontekstualisasi hadis dengan realita dan fakta yang mengitari hadis. Realita atau fakta tersebut bisa al-Quran, hadis yang lain, atau realita historis yang ada ketika hadis tersebut muncul. Sampai di sini mereka telah sukses melakukan demitologisasi hadis. Sebuah hadis dapat dipahami tidak sebagaimana teksnya, tetapi mungkin untuk dipahami sesuai konteksnya, yakni kontek yang melahirkan hadis tersebut. C. Obyektivitas dan Kontinuitas Hadis Nabi Persoalan yang muncul ketika hendak memahami sebuah hadis adalah bagaimana substansi atau pesan esensial dari hadis tersebut dapat ditampilkan. Untuk itu perlu sebuah pendekatan filsafat yang bersifat substantif. Pendekatan filsafat ini menuntut kita untuk bersikap obyektif dan ilmiah terhadap hadis yang seringkali berposisi lebih dekat menjadi bagian dari diri kita dibanding sesuatu yang berada di luar kita. Di sisi lain, kita juga dituntut untuk memproyeksikan pada hadis bagan rasionalitas yang relevan dengan relaitas hari ini karena hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam diyakini memiliki sifat kontinuitas sehingga selalu relevan dengan setiap masa dan keadaan. Pendekatan filsafat yang digunakan untuk memahami hadis Nabi di sini mengadaptasi model yang ditawarkan oleh seorang filosof asal Maroko, Abed Al-Jabiri, dalam membaca tradisi Islam. Ada dua metode yang digunakan untuk menangkap pesan esensial tersebut, yakni: al-fashl dan al-washl. al-Fashl adalah pemisahan yang tegas antara subyek dengan obyek kajian (hadis), sedang al-washl adalah kesalinghubungan subyek dengan obyek kajian (hadis).21 Obyektifitas dalam metode ini adalah terwujudnya pemisahan yang tegas antara sang subyek dan obyek kajiannya. 21 Muhammad Abed al-Jabiri, Nahnu wa alTurâts: Qira‘ah Mu‘âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafiy (Casablanca: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1986), h. 11-53. Dan untuk merealisasikan obyektifitas atas hadis perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Analisa teks, yakni pemahaman terhadap muatan makna yang dikandung oleh teks hadis. Dalam hal ini akan dilakukan dua pendekatan: Pertama, analisa struktural atas teks hadis. Artinya, dalam mengkaji sebuah hadis kita berangkat dari teks hadis itu sebagaimana adanya. Ini artinya kita membatasi obyek kajian yang akan dibahas pada teks hadis semata. Yakni teks hadis dalam posisinya sebagai sebuah korpus, satu-kesatuan, sebuah sistem atau sturktur. Teks di mana unsur-unsur yang ada di dalamnya tidak berdiri sendiri secara terpisah, tetapi menjadi milik sebuah struktur dan tunduk kepada hukum yang mengatur keseluruhan sistem itu.22 Dalam analisa ini kita mencoba mengungkap struktur dalam yang berada di balik struktur pemukaan hadis ini.23 Salah satu doktrin umum dalam pendekatan ini menurut Abed al-Jabiri adalah menegaskan perlunya 'menghindari pembacaan makna sebelum membaca ungkapannya'.24 Kedua, intertekstualitas hadis dengan teks-teks hadis yang lainnya dan dengan teks al-Qur'an sebagai sumber utama ajaran Islam. Artinya membiarkan hadis berdialog dengan teks alQur'an dan teks hadis lainnya. Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa ajaran Islam adalah satu kesatuan di mana unsurunsur di dalamnya mempunyai hubungan saling keterkaitan. Dalam arti lain, sebuah teks hadis dipandang sebagai salah satu unsur dari struktur yang lebih besar yakni ajaran Islam. Sebagai salah satu unsur dari ajaran Islam, hadis ini mempunyai hubungan saling keterkaitan dengan unsur-unsur yang 22 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esaiesai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), h. 11. 23 Dalam analisis struktural struktur dibedakan menjadi dua macam: struktur permukaan (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur permukaan adalah relasi-relasi antar unsur yang tampak dari luar, sedang struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur permukaan. Lihat Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 61. 24 Abed al-Jabiri, Nahnu wa al-Turâs, h.23 dan Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme, h. 20. 76 --------- Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... lain, dalam hal ini al-Qur'an dan teks-teks hadis yang lain. Dan hal ini penting dilakukan, yakni intertekstualitas hadis, untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih komprehensif atas hadis ini. Langkah selanjutnya dalam rangka obyektifitas atas hadis adalah analisa Historis. Ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertautkan hadis yang dikaji dengan realita, situasi dan problem historis yang ada ketika hadis ini diucapkan Nabi. Baik situasi makro, yakni situasi kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Nabi. Maupun situasi mikro, yakni peristiwa khusus yang melatar belakangi hadis ini (asbâb al-wurûd), yang karenanya hadis ini diucapkan oleh Nabi. Setelah melakukan analisa historis atas teks hadis, selanjutnya kita akan melakukan kritik ideologi. Dalam kritik ideologi ini kita akan mengungkap fungsi ideologis, termasuk di dalamnya fungsi sosial-politik yang dikandung oleh teks hadis yang diembannya dalam satu ruang sejarah tertentu. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik, sebagaimana halnya hadis, merupakan satu-satunya cara untuk menjadikan teks itu kontekstual dengan dirinya. Ini dalam rangka melekatkan dalam dirinya satu bentuk historisitas atau sebagai produk sejarah.25 Untuk mengungkap fungsi ideologis dari sebuah teks26 seperti hadis, kita perlu melihat kepentingan-kepentingan yang 'tersembunyi' dibalik hadis tersebut. Dalam 25 Abed al-Jabiri, Nahnu wa al-Turâs, hlm. 24 dan Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 21. 26 Mengungkap fungsi ideologis sebuah teks hadis sebenarnya sudah lama dikenal dalam keilmuan Islam, ini dapat kita temukan dalam tipe pemahaman hadis dengan melihat berbagai fungsi dan peran nabi Muhammad. Seperti yang dilakukan oleh Syuhudi Ismail yang membedakan fungsi Nabi sebagai Rasulullah, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan pribadi. Lihat M. Syuhudi Ismail, op cit, h. 4. Bahkan jauh sebelum Syuhudi Ismail, al-Qarafi telah memilah sunah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad. Dalam hal ini, Nabi menurut beliau suatu kali bertindak sebagai Rasul, di lain kali sebagai mufti dan kadang bertindak sebagai qadhi atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi. Lihat Syihabuddin al-Qarafi, al-Furûq, Juz I (kairo: Dâr al-Ihyâ' al-Kutub, 1344 H), h. 206 bahasa Latin, kepentingan adalah inter-esse, yaitu 'berada di antara dua kutub' kutub empiris dan transendental.27 Kutub empiris dalam kritik ideologi terhadap hadis berkaitan dengan kodisi-kondisi sosiohistoris Rasul sebagai manusia yang bernaluri dan berkehendak, sedangkan kutub transedental berkaitan dengan pengetahuan Nabi yang tertuang dalam hadis-hadisnya yang bersifat normatif dan ideal. Kritik ideologi bekerja dalam dua tataran ini untuk mencari pertautan dialektis keduanya.28 Kritik ideologi dalam pemahaman hadis dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana sebuah hadis mempunyai konsekuensi hukum dalam syari‘at Islam. Hal ini dilakukan karena hadis adalah merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Mahmud Syalthut membedakan hadis yang mempunyai konsekeunsi hukum dalam syari‘at Islam dan yang tidak mempunyai konsekuensi hukum. Hadis yang diucapkan Nabi dalam perannya sebagai seorang pribadi menurut beliau selanjutnya tidak mempunyai konsekuensi hukum. Sedang peran Nabi sebagai seorang Rasul, pemimpin, atau qadhi mempunyai konsekuensi hukum, namun dalam perannya sebagai pemimpin dan qadhi, hadis yang diucapkannya tidak berlaku sebagai syari'at umum.29 Kembali ke masalah metode pemahaman hadis yang kita bahas, sampai di sini kita sudah melakukan momen awal dari metodologi kita, yakni pemisahan antara subyek dan obyek kajian (hadis). Selanjutnya kita akan beralih pada momen kedua, yakni momen kesalinghubungan dengan obyek kajian (al-washl). Dalam hal ini kita akan mengupas masalah kesinambungan atau kontinuitas. Kesinambungan di sini adalah kesinambungan sebuah teks hadis. Ajaran Islam adalah ajaran yang shâlih likulli zamân wa makân, karena itu maka setiap pernyataan Nabi harus diasumsikan memiliki tujuan moral27 Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 196. 28 Ibid. 29 Mahmud Syalthut, Islam sebagai Aqidah dan Syari'ah, terj. Fachruddin HS (Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 244-246. Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977--------- 77 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... sosial yang bersifat universal dan berkesinambungan.30 Tujuan moral-sosial yang bersifat universal inilah yang akan kita gali dari sebuah hadis. Berdasarkan makna-makna yang kita dapatkan dari analisa obyektif, maka kita ungkap makna universal yang hendak disampaikan oleh hadis tersebut. Dengan begitu kita telah menjadikan sebuah hadis relevan dan kontekstual dengan kondisi sekarang. D. Aplikasi Secara ringkas, penulis akan mencoba menerapkan pendekatan filsafat dengan metode yang telah dipaparkan di atas untuk memahami hadis berikut: ِول ه ِ ِ ِ صلهى ه ِ ه يل ُ ال َر ُس َ َق َ اَّلل َ اَّللُ َعلَْيه َو َسل َم إ هن بَِِن إ ْسَرائ ِ ني فِْرقَةً َوإِ هن أُهم ِِت َستَ ْف ََِت ُق ْ َافْ تَ َرق َ ت َعلَى إِ ْح َدى َو َسْبع ِ ني وسبعِني فِرقَةً ُكلُّها ِِف النها ِر إِاله و ِ اح َد ًة َوِه َي َ ْ َ ْ َ َ ِ ْ ََعلَى ثْن ت َ ْ ُاعة َ اْلَ َم Dalam pemahaman hadis di sini penulis tidak melakukan elaborasi yang jauh dan mendalam terhadap hadis ini. Namun yang penulis lakukan adalah hanya ingin menunjukan secara sederhana cara kerja dari model metode yang telah diuraikan sebelumnya. Hadis di atas dalam syarah-syarah hadis yang penulis temukan biasanya dihubungkan dengan ikhtilaf aqidah pada abad pertengahan. Dalam kitab-kitab syarah yang penulis dapatkan kata al-jama'ah di sini dipahami sebagai aliran yang berpegang pada ajaran Muhammad dan para sahabat, yang biasanya diidentikkan dengan paham ahlussunnah wal jamâ'ah. Bahkan kitab 'Aun al-Ma'bûd31 secara eksplisit dikatakan bahwa yang dimaksud dengan 'jamâ'ah di sini adalah ahlussunnah wal jamâ'ah. Pemahaman seperti ini adalah bentuk sebuah pemahaman yang ahistoris. Karena 30 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi intelektual, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2000), h. 7. 31 lihat Muhammad Syams. ‘ Aun al-Ma‘ bûd, juz 12, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘ Ilmiyyah, 1415 H, h. 222. bagaimana mungkin hadis ini ditujukan terhadap ikhtilaf aqidah pada abad pertengahan, sementara Nabi mengeluarkan hadis ini pada masa awal periode Islam. Mungkin saja ini dipahami sebagai ramalan Nabi terhadap situasi dan kondisi yang akan terjadi pada umat muslim beberapa dekade setelah Nabi. Namun lagi-lagi interpretasi ini tidak dapat dipertanggungjawabkan karena sifatnya yang ahistoris tadi. Merujuk pada metode yang ditawarkan, di sini penulis akan menganalisa hadis ini pertama-tama dari sudut bahasa secara struktural, sebagai langkah awal dari momen obyektifitas. Pada tataran struktur permukaan dalam teks (matan) hadis di atas terdapat binary opposition, yakni dua hal yang saling bertentangan, yang merupakan salah satu ciri dari sebuah struktur. Dua hal tersebut adalah kata 'firqah' dan 'jamâ'ah'. Firqah adalah kelompok-kelompok kecil dari sebuah komunitas, yang tentu saja terbatas. Dalam firqah biasanya ada kepentingankepentingan yang menjadikan orang dalam firqah tersebut secara sadar ataupun tidak berbuat menurut kepentingan firqah. Sedang dalam jamâ'ah kepentingan yang utama adalah kepentingan bersama. Sehingga dalam jamâ'ah kepentingan bersama biasanya lebih diutamakan, sedangkan dalam firqah biasanya kepentingan golonganlah yang diutamakan. Hubungan firqah dan jamâ'ah dalam teks hadis di atas dalam kitab-kitab syarah dianggap merupakan hubungan umum (firqah) menuju khusus (jamâ'ah). Sehingga sebagaimana dipahami dalam kitab-kitab syarah, jamâ'ah di sini sebagai sebuah bentuk firqah. Jadi kata-kata kulluhum fî alnâr illâ wahidah wa hiya al-jamâ'ah dimaknai bahwa semua firqah masuk neraka kecuali jamâ'ah. Menurut penulis, dengan segala keterbatasan, pemahaman seperti ini sebagaimana dikatakan diatas bersifat ahistoris. Kata-kata kulluhum fî al-nâr illâ wahidah wa hiya al-jamâ'ah harus dipahami dengan kulluhum fî al-nâr illâ al-jamâ'ah, yakni bahwa firqah-firqah yang terpisah itu akan terjebak ke dalam neraka kecuali mereka menjadi jamâ'ah. Ini mengacu pada struktur binary opposition antara firqah dan 78 --------- Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... jamâ'ah. Jadi, struktur dalam yang diinginkan dari hadis ini adalah agar umat selalu bersatu, karena dengan persatuanlah kita akan menjadi kuat. Kelompokkelompok hanya akan mengantarkan kita pada perpecahan dan kehancuran karena adanya konflik kepentingan di antara kelompok. Sehingga kata al-nâr di sini bukan dalam pengertian neraka yang ada di akhirat tetapi sebuah keadaan yang kurang kondusif akibat perpecahan tadi. Dari analisa ini penulis beranggapan bahwa hadis menyerukan persatuan umat muslim dan bukan tentang ikhtilaf aqidah yang muncul jauh setelah hadis ini dikeluarkan. Dengan begini kita tidak terjebak dalam pemahaman yang ahistoris. Dan ini sesuai dengan QS Ali Imran (3): 103, yang mengatakan "dan berpeganglah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai....". Lebih jauh kita akan melihat 'validitas' pemahaman ini ketika dilihat dari analisa historis. Sebagaimana diketahui bangsa Arab dikenal menganut paham kesukuan yang sangat kuat. Ketika Islam hadir, ia berusaha mengikis paham kesukuan yang telah begitu mendarah daging dalam bangsa Arab. Dari realitas historis yang ada pada masa itu, maka hadis ini dapat dipahami sebagai sebuah jawaban dari persoalan bangsa Arab yang seringkali mengedepankan semangat kesukuan dibanding semangat persatuan. Setelah melakukan analisa historis, kita melangkah pada kritik ideologi. Yakni mengungkap fungsi ideologis dari hadis ini, sehingga kita dapat memahami apakah hadis ini mengandung fungsi tasyrî' atau tidak. Sebagaimana diketahui, bahwa realita historis pada masa hadis ini muncul adalah sebuah realita masyarakat yang memegang teguh semangat kesukuan. Sementara itu, pada masa perjuangan Islam sangat dibutuhkan persatuan untuk menyukseskan perjuangan dan membentuk sebuah kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang kuat. Semangat kesukuan hanya akan menjadi 'benalu' bagi terciptanya sebuah kekuatan masyarakat muslim. Oleh karena itu hadis ini muncul lebih dilatarbelakangi fungsi Nabi sebagai seorang pemimpin umat. Dengan demikian hadis ini tidak memiliki fungsi tasyrî' yang mengikat. Apalagi dihubungkan dengan sebuah kelompok yang paling benar dalam aqidah Islam. Dengan begini, kita telah sampai pada usaha untuk melakukan obyektifitas terhadap hadis ini. Kemudian kita akan melangkah pada momen yang kedua yakni kontinuitas. Dalam hal ini kita akan mengambil ideal moral —meminjam istilah Rahman—hadis dari analisa pada momen yang pertama. Nampaknya dapat disimpulkan bahwa hadis di atas pada dasarnya menyerukan agar umat Islam bersatu. Persatuan adalah kata kunci bagi kemajuan. Umat Islam pada masa sekarang kelihatannya sedang berada dalam firqah-firqah yang lebih mementingkan golongan. Dalam kondisi seperti ini kemajuan hanya akan menjadi cita-cita yang tidak pernah tercapai. Untuk mencapai sebuah kemajuan umat Islam harus bersatu membangun sebuah peradaban. Apa yang penulis lakukan di sini hanyalah mencoba memahami hadis ini dengan segala keterbatasan. Namun yang mungkin lebih ditekankan di sini adalah bahwa pemahaman sebuah hadis hendaklah selalu mengacu pada kondisi yang melahirkan teks tersebut. Dari sana kita akan melihat apakah sebuah hadis itu berbicara dalam proposisi-proposisi umum atau khusus, dan juga apakah mengandung tasyri' atau tidak. Dengan begini kita akan terjebak pada pemahaman yang ahistoris. E. Penutup Hadis di satu sisi sebagai salah satu referensi suci keagamaan memang diyakini mengandung nilai-nilai yang bersifat universal. Nilai yang diyakini senantiasa dapat diterima pada setiap zaman dan tempat. Namun di sisi lain hadis memiliki eksistensi sebagai sebuah tradisi yang hadir di tanah Arab pada 14 abad yang lalu. Kenyataan ini mengharuskan kita untuk menggali nilai-nilai universal secara obyektif sesuai dengan eksistensi hadis sebagaimana tersebut. Di sinilah pentingnya pendekatan filsafat dalam memahami hadis sebagaimana yang penulis tawarkan di sini. Pendekatan filsafat di sini meletakkan hadis di satu sisi sebagai sebuah tradisi yang Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977--------- 79 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... dibatasi eksistensinya sehingga harus menghadirkan momen al-fashl, yakni pemisahan yang tegas antara subyek dengan obyek kajian (hadis) sehingga tercapai obyektivitas dalam memahami hadis. Di sisi lain sebagai sumber keagamaan hadis pemahaman hadis juga harus menghadirkan momen al-washl, yakni kesalinghubungan subyek dengan obyek kajian (hadis) sehingga tercapai kontinuitas dalam pemahaman hadis. Dengan itu hadis dapat berbicara dengan eksistensi saat ini. 80 --------- Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... DAFTAR PUSTAKA Abdullah,M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press, 2001 Bleicher,Josef. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, 1980 Brown, Daniel. W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Moder., Terj. Jaziar Radianti&Entin Sriani Muslim. Bandung: Mizan, 2000 al-Ghazali, Syaikh Muhammad. Studi Kritis atas Hads Nabi SAW: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. cet. VI. terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1998 Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 2000 Hardiman, Francisco Budi. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius, 1993 Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996 Ichwan, Moch. Nur. "Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Studi Qur'an dan Hadits: Refleksi atas Perkembangan Jurusan Tafsir Hadits di Indonesia". Makalah disampaikan pada Studium Generale Munas FKMTHI di Yogyakarta, 23 September 2000 Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma'ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994 al-Jabiri, Muhammad Abed. Nahnu wa al-Turâts: Qira‘ah Mu‘âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafiy. (Casablanca: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1986 al-Jabiri, Muhammad Abed. Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKIS, 2000 Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan, 2001 al-Munawar, Said Agil Husein. "Metode Pemahaman Hadis: Kemungkinan Pendekatan Historis dan Antropologis". dalam Yunayar Ilyas dan M. Mas'udi (ed.). Pengembangan Pemikiran Hadis. Yogyakarta: LPPI UMY, 1996 al-Qarafi, Syihabuddin. al-Furûq, Juz I. Kairo: Dâr al-Ihyâ' al-Kutub, 1344 H Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. terj. Muhammad Al-Baqir. Bandung: Karisma, 1999 Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977--------- 81 Muhammad Iqbal, Pendekatan Filsafat ... Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas Tentang Transformasi intelektual. terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 2000 Rahman,Fazlur. Membuka Pintu Ijtihad. cet. III. terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1995 Shihab, M. Quraish. "Kata Pengantar" dalam Syaikh Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hads Nabi SAW: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, cet. VI. terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1998 Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996 Syalthut, Mahmud. Islam sebagai Aqidah dan Syari'ah. terj. Fachruddin HS. Jakarta: Bina Aksara, 1985 Syams, Muhammad. ‘ Aun al-Ma‘ bûd. juz 12. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘ Ilmiyyah, 1415 H 82 --------- Jurnal: Ta’lim Muta’allim, Vol. 4, No. 7, ISSN 2088-2977