SLE

advertisement
6
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2.1.1.1. Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun
kompleks ditandai dengan autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan
banyak sistem organ (Mocarzel et al., 2015) (Suarjana, 2014), serta respon
imun hiperaktif dan produksi abnormal autoantibodi yang menyebabkan
kerusakan jaringan dan organ (Sawla et al., 2012) (Mocarzel et al.,
2015)(Comte et al., 2015)(Chen et al., 2015). Menurut Perhimpunan
Reumatologi Indonesia (2011), SLE adalah penyakit inflamasi autoimun
kronis yang belum jelas etiologinya dengan gambaran klinis dan perjalanan
penyakit yang luas dan beragam.
2.1.1.2. Epidemiologi
Prevalensi SLE di Buenos Aires, sebesar 58.6 per 100.000 penduduk
dengan kejadian pada wanita 4 kali lipat dibandingkan pria (Sconik et al.,
2014). Insiden tahunan SLE di Inggris 4.91 per 100.000 penduduk dengan
prevalensi yang meningkat dari tahun 1999 sebesar 64.99 per 100.000
penduduk menjadi 97.04 per 100.000 penduduk pada 2012. Kejadian SLE
pada wanita 6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pria (Rees et al., 2014). Data
6
7
tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dilaporkan
kasus SLE 1.4% dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam. Data di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE
atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama
tahun 2010 (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Data pasien SLE di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2011 adalah 2,75% dari seluruh
kunjungan pasien Poli Reumatologi (Adnan, 2012).
2.1.1.3. Imunopatogenesis
Etiologi SLE terdiri dari faktor genetik dan faktor lingkungan dengan
jenis kelamin wanita sangat kuat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor
tersebut
memicu
kerusakan
ireversibel
toleransi
imunologis
yang
bermanifestasi pada respon imun terhadap antigen inti endogen (Bertsias et
al., 2012). SLE ditandai hilangnya toleransi diri secara global dengan aktivasi
sel T autoreaktif dan sel B yang mengakibatkan produksi autoantibodi patogen
dan kerusakan jaringan. Mekanisme imun innate berperan penting terhadap
respon imun adaptif yang abnormal pada SLE (Choi et al., 2012). Gangguan
mekanisme regulasi imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan
kompleks imun berperan penting dalam perkembangan SLE. Hilangnya
toleransi imun, meningkatnya antigenic load, bantuan sel T yang berlebihan,
gangguan supresi sel B dan peralihan respons imun dari T helper 1(Th1) ke
Th2 mengakibatkan
hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi
patogenik. Respons imun akibat terpapar faktor lingkungan seperti radiasi
7
8
ultraviolet atau infeksi virus
yang cukup lama dapat mengakibatkan
disregulasi sistem imun (Suarjana, 2014; Musai, 2010). Faktor genetik,
lingkungan, hormonal, epigenetik, dan imunoregulasi berperan berurutan dan
simultan pada sistem imun. Faktor-faktor tersebut berinteraksi sehingga
muncul autoantibodi, kompleks imun, sel T autoreaktif, dan sitokin-sitokin
inflamasi yang mengawali dan memperkuat inflamasi dan kerusakan berbagai
organ. Organ target yang terpengaruh dirusak lebih lanjut oleh faktor lokal
seperti pada gambar 1 (Tsokos, 2011).
G
8
9
aGambar 1. Ikhtisar patogenesis SLE
Aktivasi sel T dan B memerlukan stimulasi gen yang spesifik. Bahan
kimia iritatif seperti pristan, DNA, fosfolipid dinding sel bakteri, dan antigen
virus dapat menginduksi antibodi anti-DNA pada mencit. Selain itu antigen
diri seperti kompleks protein-DNA dan protein-RNA dapat menginduksi
produksi autoantibodi. Antigen lingkungan dan antigen diri ditangkap oleh
antigen presenting cell (APC) atau diikat antibodi pada permukaan sel B.
APC dan sel B memproses antigen menjadi peptida kemudian menyajikannya
pada sel T melalui molekul HLA (Human
Leukocyte
Antigen) pada
permukaan sel. Sel T aktif akan merangsang sel B memproduksi autoantibodi
patogenik. Interaksi APC, sel T dan sel B difasilitasi oleh berbagai sitokin dan
membutuhkan molekul tambahan seperti sistem CD40/CD40L dan
B7/CD28/CTLA4 untuk menginisiasi sinyal kedua (Hahn, 2013)(Mok dan
Lau, 2003).
Perkembangan SLE terjadi dalam beberapa tahap. Periode waktu
panjang yaitu sejak predisposisi sampai dengan autoimunitas yang
dipengaruhi oleh kecenderungan genetik, jenis kelamin dan paparan
9
10
lingkungan, kemudian sebagian kecil akan berkembang menjadi autoantibodi
yang biasanya mengawali gejala klinis dalam periode bulan sampai dengan
tahun. Sebagian individu dengan autoantibodi berkembang menjadi SLE
secara klinis, dimulai dengan keterlibatan sejumlah kecil sistem organ,
pemeriksaan laboratorium abnormal dan akhirnya terdiagnosis SLE. Setelah
beberapa tahun individu akan mengalami kekambuhan penyakit secara
intermiten dan perbaikan walau tidak total, kerusakan organ, komorbiditas,
inflamasi kronik (Hahn, 2013).
Gambar 2. Imunopatogenesis SLE (Bertsias et al., 2012)
Imunopatogenesis SLE dapat dijelaskan melalui berbagai tahapan,
seperti ditunjukkan pada gambar 2. Diawali stimulasi respon imun innate dan
10
11
adaptif oleh autoantigen. Peningkatan produksi autoantigen selama apoptosis
baik terkait dengan paparan sinar ultraviolet dan atau spontan akan
merangsang sistem imun innate dan adaptif. Nukleosom mengandung ligan
endogen yang mengikat pathogen associated molecule pattern yang
tergabung dengan blebs apoptosis sehingga memicu aktivasi sel dendritik
untuk memproduksi interferon dan memicu sel B untuk memproduksi
autoantibodi (Bertsias et al., 2012). APC adalah sel makrofag/monosit, sel
dendritik, dan sel limfosit B yang berproses dan mempresentasikan antigen.
Sel-sel pada sistem imun innate diaktifasi melalui jalur TLR (toll like
receptors) oleh protein DNA atau RNA. Sel dendritik teraktivasi, berubah dari
tolerogenik menjadi sel dendritik pro inflamasi yang mensekresi sitokin
inflamasi (IFNα), sel makrofag/monosit mensekresi TNF-α dan IL-1, IL-12,
serta IL-23. Sitokin-sitokin tersebut adalah hasil aktifasi sel T efektor yang
membantu sel B membentuk imunoglobulin G yang bersifat autoantibodi,
menginfiltrasi jaringan dan bersifat sitotoksik. Aktifasi sel limfosit B secara
langsung oleh DNA/RNA melalui jalur TLR dan IFNα, dibantu oleh sel T
untuk mensekresi autoantibodi juga maturasinya menjadi sel plasma oleh
BLyS (B-lymphocyte stimulator)/BAFF (B cell–activating factor), IL-6, dan
beberapa sitokin lainnya (Hahn, 2013).
Autoantibodi merupakan efektor utama pada SLE. Namun tidak cukup
menimbulkan gejala penyakit, sehingga penumpukan autoantibodi di jaringan
membutuhkan aktifasi sistem komplemen dan atau mediator inflamasi
11
12
lainnya, serta kemotaksis limfosit dan polimorfonuklear, pelepasan sitokin,
kemokin, enzim proteolitik, sehingga mengakibatkan kerusakan organ (Hahn,
2013). Kompleks imun adalah penyebab utama kerusakan jaringan pada SLE.
Kompleks imun terbentuk dalam jumlah besar sebagai antibodi antinuklear
terikat pada materi nuklear di darah dan jaringan yang tidak dapat dibersihkan
dengan baik karena reseptor Fc dan komplemen berkurang dalam hal jumlah
maupun fungsinya (Tsokos, 2011). Hiperaktifasi sel T dan atau sel B
mengakibatkan SLE dengan meningkatkan jumlah autoantibodi dan sitokin
pro inflamasi (Hahn, 2013).
2.1.2. Interleukin 17 (IL-17)
Sitokin berperan penting dalam patogenesis SLE. Sitokin adalah faktor
terlarut yang berperan dalam diferensiasi, maturasi dan aktivasi berbagai sel
imun. Sitokin juga menyebabkan respon inflamasi lokal yang pada akhirnya
menyebabkan kerusakan jaringan (Yap dan Lai, 2010). Pelepasan dan fungsi
abnormal berbagai sitokin terjadi pada pasien SLE maupun hewan coba baik
in vitro maupun in vivo. Sitokin-sitokin tersebut dapat memiliki efek pro
inflamasi maupun anti inflamasi, atau keduanya tergantung pada lingkungan
spesifiknya (Su et al., 2011).
Interleukin-17 (IL-17) merupakan sitokin proinflamasi yang kuat yang
diproduksi oleh limfosit T yang teraktivasi. Sel Th17 merupakan subset dari
CD4+ limfosit T dinamakan setelah sitokin penanda IL-17, yang mewakili
prototipe dari keluarga sitokin yang telah diidentifikai sebelumnya berisikan
12
13
6 anggota (IL-17A, IL-17B, IL-17C, IL-17D, IL-17E, IL-17F) dan lima
reseptor (IL-17RA, IL-17RB, IL-17RC, IL-17RD, IL-17RE). Produksi IL-17
distimulasi oleh IL-23. IL-17 memicu inflamasi dengan menginduksi kemokin
lokal dan sekresi sitokin dan penting untuk pembersihan dari beberapa
patogen seperti bakteri dan jamur. Frekuensi dari sel T memproduksi IL-17
meningkat pada darah perifer pasien SLE, dan produksi Il-17 abnormal pada
pasien SLE. Kadar IL-17 meningkat pada SLE dewasa dan berhubungan
dengan aktivitas penyakit.(Pelicari et al,. 2015)(Vincent et al,. 2013)
(Tabarkiewic et al., 2015)
IL-17 dianggap berperan penting dalam pembentukan karakteristik
lingkungan pada SLE dan mempromosikan survival sel B dan produksi
autoantibodi. IL-17 merupakan sitokin proinflamasi yang terlibat dalam
pertahanan host melawan patogen ekstraseluler, intraseluler dan jamur. IL-17
meningkatkan inflamasi pada beberapa tingkat, seperti reseptornya
diekspresikan pada sel hematopoetik dan non hematopoetik. Sebagai
tambahan terhadap kemampuan proinflamasi yang kuat, IL-17 menggunakan
efeknya melalui pengambilan monosit dan netrofil dengan meningkatkan
produksi lokal kemokin (IL-8, monocyte chemoattractant protein-1, growthrelated oncogene protein-α), fasilitasi dari inflitrasi dan aktivasi sel T dengan
menstimulasi ekspresi dari molekul adhesi interseluler. IL-17 juga dapat
menstimulasi produksi antibodi sel B.(Hassan et al,. 2014) (Nalbandian et al,.
2009)(Comte et al., 2015)
13
14
IL-17 bersinergi dengan sitokin lain, khususnya dengan IL-1b, tumour
necrosis factor (TNF)-α, and interferon (IFN)-g. IL-17RA diekspresikan
secara luas dan memediasi efeknya melalui beberapa sel imun dan non imun
(terutama sel endotel dan epitel)(Nalbandian et al,. 2009).
Gambar 3. Peran Th 17 dan IL-17 dalam patogenesis SLE (Nalbandian et al,.2009)
2.1.3. Tumor Necrosis factor - α (TNF-α)
TNF-α merupakan sitokin pleiotrofik yang diproduksi oleh banyak tipe
sel, termasuk makrofag, monosit, limfosit, keratinosit, dan fibroblas, dalam
respon terhadap inflamasi, infeksi, luka, dan tantangan lingkungan lainnya.
TNF-α bukan hanya sitokin proinflamasi yang kuat tetapi juga memainkan
14
15
peran penting dalam aktivasi dan migrasi lekosit, demam, respon fase akut,
proliferasi sel, diferensiasi, dan apoptosis.
TNF-α merupakan sitokin
proinflamasi dan imunoregulator. TNF-α memiliki efek yang berbeda pada sel
B, sel T, dan sel dendritik, juga pada proses kematian sel terprogram. Selama
respon (auto)imun, TNF-α bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel B
dan merangsang maturasi sel dendritik tetapi menyebabkan hiporesponsif sel
T dan ekspresi molekul anti apoptosis. Terakhir ini sangat penting dalam
homeostasis imun : pada satu sisi, TNF-α menahan autoreaktif sel T melalui
regulasi negatif dari transduksi sinyal reseptor sel T di darah perifer; pada sisi
lain, TNF-α menetralkan apoptosis yng dimediasi Fas melalui aktivasi dari
NF-κB dan induksi molekul anti apoptosis, kemudian menurunkan stimulasi
sistem imun yang disebabkan oleh apoptosis nukleosom yang diturunkan, dan
menghambat produksi autoantibodi. Dilihat dari aspek inflamasi, TNF
diinduksi oleh sel dendritik dan merangsang inflamasi dan kerusakan jaringan
sekunder; pelepasan autoantigen selama nekrosis dapat memicu autoimunitas.
Produksi TNF-α yang tidak teratur, bisa rendah atau tinggi, menandai banyak
penyakit. Bukti terbaru mendukung sifat dualistik, peran proinflamasi dan
imun atau supresi penyakit untuk TNF-α pada kondisi ini. Dikarenakan
kompleks genetik dari SLE dan ikatan yang kuat dai gen Tnf dengan lokus
MHC, peran fisiologi dari TNF- α dan adaptornya pada patogenesis lupus
masih belum jelas.(Zhu et al,. 2010)
15
16
Pada SLE, TNF-α memiliki dua aksi yang berbeda. Pertama, TNF-α
dapat menjadi mediator imunosupresif dari sintesa autoantibodi. Kedua, TNFα sebagai faktor proinflamasi yang secara akut dilepaskan ke jaringan lokal.
Kadar TNF-α yang menurun sebagai fungsi dari aktivitas penyakit
menunjukkan
kemungkinan
peran
melindungi
pada
SLE.
Namun,
kemungkinan besar TNF-α memiliki sel target dan molekul yang berbeda pada
satdium imunopatologi lupus yang berbeda.(Hirankarn et al,. 2007)
Pada kebanyakan penelitian, TNF-α ditemukan meningkat tajam dan
menjadi bioaktif dalam serum pasien SLE aktif, dan kadar TNF-α
berhubungan dengan aktivitas penyakit SLE. Penelitian sebelumnya
menemukan bahwa pasien SLE terjadi peningkatan kadar TNF-α plasma,
namun tidak ada hubungan dengan aktivitas penyakit. Sebuah penelitian telah
menunjukan bahwa kadar TNF-α dan rasio TNF/IL-10 lebih tinggi pada
pasien dengan penyakit inaktif dibandingkan dengan pasien dengan penyakit
sangat aktif dan kontrol, menyimpulkan bahwa TNF-α dapat menjadi faktor
pelindung pada pasien SLE.(Zhu et al,. 2010)
Sitokin proinflamasi (IL-6, IL-8, TNF-α) hadir dengan kadar yang
tinggi dalam serum, sehingga menjamin proliferasi dan diferensiasi limfosit
B, bertanggung jawab untuk hiperaktivitas karakteristiknya dengan produksi
antibodi pada gangguan autoimun ini. (Avrămescu et al,. 2010)
16
17
Gambar 4. Efek Tumor Necrosis Factor (Aringer dan Smolen, 2008)
2.1.4. Mencit Model Lupus
Mencit BALB/c yang diinjeksi pristan menghasilkan gambaran yang
memenuhi kriteria lupus yaitu artritis, ANA, anti-dsDNA, anti-Sm, immune
complex-mediated
glomerulonephritis,
pulmonary
capillaritis
(pulmonary
vasculitis) dan IFN1 pada darah perifer. Inflamasi perikardium dan pleura juga
terjadi pada mencit induksi pristan. Mencit yang diberikan injeksi pristan
memenuhi 4 kriteria ACR 1997 untuk penegakan SLE, yaitu anti ds DNA, artritis,
lupus nefritis, dan vaskulitis. Seperti SLE pada manusia, SLE pada mencit juga
cenderung terjadi pada mencit betina (Reeves et al., 2009). Calvani (2005)
meneliti mencit Balb/c yang diberikan injeksi minyak hidrokarbon (pristan) 0,5 ml
secara intraperitoneal, menunjukkan bahwa mencit normal dapat mengalami
17
18
sindrom autoimun seperti lupus. Penelitian tersebut membuktikan bahwa pristan
dapat memicu apoptosis in vitro dan in vivo. Pristan menghentikan pertumbuhan
sel dan memicu kematian sel secara apoptosis melalui jalur mitokondria dengan
aktivasi caspase. Terbentuknya autoantigen inti yang dipicu oleh pemberian
pristan tersebut sehingga terjadi apoptosis sel-sel limfoid di dalam kavum
peritoneal yang akan memulai perkembangan autoimunitas (Calvani et al., 2005).
Pristan (Tetramethylpentadecane/TMPD) merupakan alkalin isoprenoid
yang terdapat pada tumbuhan dan organisme laut (alga, plankton) yang dapat
menginduksi SLE pada hewan bila diberikan secara intraperitoneal. Pristan dapat
memicu autoantibodi dan manifestasi klinis SLE (Calvani et al., 2005). Injeksi
pristan
intraperitoneal
pada
mencit
BALB/c
akan
mengakibatkan
glomerulonefritis, arthritis, ANA dan berbagai autoantibodi lupus seperti antidsDNA dan anti-Sm. Produksi autoantibodi karena pristan ini melalui jalur signal
IFN 1 yang merupakan mediator kunci SLE dan menghubungkan respon imun
innate dan adaptif. Peningkatan IFN 1 terjadi pada pasien SLE (Reeves et al.,
2009).
Gambar 5. Struktur kimia pristan (2,6,10,14-tetramethylpentadecane) (Reeves et
al, 2009)
18
19
Imunoglobulin G antoantibodi yang diinduksi pristan berhubungan dengan
SLE, dengan target komponen inti sel yaitu ds DNA, single-stranded DNA,
kromatin, Sm, RNP dan ribosomal P. Pristan memicu produksi IFNα dan IFNß
oleh monosit imatur (Ly6Chi). Injeksi pristan intrapritoneal akan memicu produksi
MCP-1 (CCL2), kemokin yang menginduksi produksi IFN 1 dan menyebabkan
keluarnya monosit imatur dengan penanda permukaan sel CD11b, Ly6Chi, Mac3, F4/80, dan CCR2 dari sumsum tulang menuju kavum peritoneum. Gambar 6
menunjukkan mekanisme pristan menginduksi lupus (Reeves et al., 2009).
Gambar 6 . Mekanisme pristan menginduksi lupus (Reeves et al., 2009)
2.1.5. Secretome sel punca mesenkimal
Sel punca merupakan sel tubuh yang memiliki kemampuan istimewa
memperbaharui atau meregenerasi diri sendiri dan berdiferensiasi menjadi sel
19
20
lain, sehingga dapat membentuk jaringan dan organ (Hui et al., 2012). Sel punca
mesenkimal merupakan prototipe sel punca dewasa yang mempunyai kapasitas
memperbarui diri dan berdiferensiasi dengan jaringan distribusi yang luas
(Williams dan Hare, 2011). Sel punca messenkimal diidentifikasi di sumsum
tulang dan dapat dimurnikan dari berbagai jaringan seperti adiposa (Madrigal et
al, 2014), jantung (Hoogduijn et al, 2007), Wharton 's jelly tali pusat (Chao et al,
2008), darah haid (Meng et al, 2007) dan vili korionik (Yang et al, 2013), darah
perifer (He et al, 2007). Sel tersebut dapat dikembangkan luas secara in vitro untuk
digandakan sampai 50 sel tanpa diferensiasi (Carrion dan Figueroa, 2011).
Sel punca mesenkimal dapat menghindar dari pengenalan sel T, menekan
respon sel T terhadap mitogen dan memperpanjang survival skin graft pada babon.
Ini ditemukan pada penelitian oleh Bartholomew tahun 2002. Meskipun memiliki
efek imunomodulasi yang beragam dan kemudian terbukti mempengaruhi limfosit
T dan B, natural killer dan APC, sel punca mesenkimal bersifat hipoimunogenik
(Carrion dan Figueroa, 2011).
Sel punca mesenkimal menghasilkan sejumlah besar faktor yang
disekresikan seperti sitokin, kemokin dan faktor pertumbuhan yang memediasi
beragam fungsi melalui sinyal antara berbagai tipe sel. Di dalam niche, sel punca
mesenkimal mengendalikan survival, proliferasi dan diferensiasi sel punca, juga
berperan dalam regenerasi jaringan baik secara lokal maupun jarak jauh. Mediator
terlarut tersebut dapat bertindak secara langsung, memicu mekanisme intraseluler
pada sel yang cedera atau secara tidak langsung memicu sekresi mediator aktif
20
21
oleh sel-sel di sekitarnya (Maumus et al., 2013). Aktivitas memodulasi penyakit
oleh sel punca mesenkimal karena produk yang disekresikan oleh sel punca
tersebut (Madrigal et al, 2014). Efek parakrin ini pertama kali diamati pada mencit
model penyakit jantung, sel punca mesenkimal sumsum tulang disuntikkan ke
infark jantung tidak berdiferensiasi menjadi kardiomiosit secara fisiologis dalam
kondisi in vivo (Murry et al, 2004). Sel punca mesenkimal yang diberikan dengan
cara injeksi intravena, sebagian dari sel punca tersebut didapatkan di paru-paru dan
jantung dan hanya sebagian kecil memasuki jaringan patologi yang rusak di
jantung (Wang et al, 2012). Lee (2009) menunjukkan efek anti-inflamasi dan
pengurangan ukuran infark jantung merupakan akibat dari sekresi sel punca. Pada
mencit model kandung kemih hiperaktif, sel punca mesenkimal tidak tertanam ke
dalam kandung kemih yang rusak, tetapi meningkatkan ekspresi gen sel (Song et
al, 2014).
Penelitian eksperimental dan uji klinis telah membuktikan bahwa manfaat
sel punca mesenkimal sebagian besar bergantung pada faktor pertumbuhan dan
sitokin, dan bukan karena transplantasi sel (Gallina et al., 2015). Faktor regulasi
yang disekresikan oleh sel punca messenkimal terdiri dari faktor pertumbuhan,
sitokin dan kemokin. Sel punca mesenkimal tidak hanya mensekresi faktor
regeneratif namun juga faktor akibat respon terhadap stimulus. Kondisi hipoksia,
penambahan rangsang inflamasi, dan penumbuhan sel kultur dalam bidang 3
dimensi akan merangsang sekresi dari faktor terapi sesuai yang diharapkan
(Madrigal et al., 2014).
21
22
Gambar 7. Pemberian sistemik sel punca mesenkimal menimbulkan efek jauh / lokal
Sel punca mesenkimal yang diberikan kondisi hipoksia akan mensekresi
berbagai mediator terapeutik parakrin. Kondisi hipoksia tersebut mengakibatkan
keluarnya VEGF, Fibroblast Growth Factor 2 (FGF-2), Hepatocyte Growth
Factor (HGF), Insulin like Growth Factor-1 (IGF-1) melalui jalur NFκB. Kondisi
hipoksia juga menambah aktifitas imunomodulator (Madrigal et al, 2014).
Pemberian secara sistemik sel punca mesenkimal akan menimbulkan efek
jauh atau efek lokal (parakrin) meliputi angiogenesis, diferensiasi dan
pertumbuhan sel, hambatan fibrosis dan hambatan apoptosis. Efek imunomodulasi
22
23
yaitu : supresi sel T dan sel B, diferensiasi sel T, inhibisi sel NK, inhibisi maturasi
sel dendritik, seperti ditunjukkan gambar 6 (Carrión dan Figueroa, 2011).
VEGF merupakan modulator kunci angiogenesis, proliferasi sel endotel
dan migrasi, kemotaksis, dan permiabilitas kapiler, yang diregulasi dalam
sejumlah kondisi fisiologis dan patologis yang berhubungan dengan hipoperfusi
dan/atau hipoksia. VEGF bekerja sebagai molekul anti-apoptosis dengan menekan
p53 yang dimediasi apoptosis oleh aktivasi FAK (focal adhesi kinase), dan juga
dengan mempromosikan Bcl-2 dan A1 (Tachi et al, 2008).
HGF sebagai anti apoptotis dengan menghambat peningkatan jumlah sel
B, ekspresi MHC kelas II oleh sel B dan IgG serum serta anti-DNA. Terapi
menggunakan HGF akan menurunkan ekspresi IL4, ekspansi sel B, dan produksi
autoantibodi. Sehingga terapi HGF ini menghambat penyakit lupus dengan inhibisi
pada sel Th2. Mekanisme HGF menghambat Th2 masih belum diketahui secara
pasti. Mekanisme yang mungkin adalah HGF menekan ekspresi MHC kelas 2 oleh
sel B sehingga mengurangi presentasi APC ke sel T CD4+. (Kuwoira et al, 2006).
Mekanisme lain adalah menekan sel dendritik, induksi fenotip sel CD4+ yang
memproduksi IL-10 dan TGF β (Okunishi et al, 2007).
23
Download