Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP ([email protected] dan [email protected]) Kementerian PPN/BAPPENAS Lokakarya Revitalisasi Pranata Adat dalam Pencegahan Konflik Sosial Direktorat PDPK, Ditjen PDTu, Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi Bogor, 23 Mei 2017 Kerangka Paparan 1. 2. 3. 4. PENGANTAR UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBANGUNAN DESA SPEKTRUM PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA 5. PEMBANGUNAN INKLUSIF DI TINGKAT DESA 6. DESA, ADAT, DAN PERDAMAIAN 7. PENUTUP 2 1. PENGANTAR Dua spirit utama yang menjadi ruh dalam UU Desa yaitu azas rekognisi (pengakuan terhadap hak asal usul desa) dan subsidiaritas (kewenangan lokal berskala desa). Kedua azas ini telah menjadi fondasi baru dalam merubah wajah desa yang sebelumnya menggunakan azas desentralisasi dan residualitas; Desa telah berubah wujud dan statusnya sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan dengan pemerintahan lokal. Desa menjalankan dua fungsi yaitu fungsi pemerintahan (local self government) dan fungsi mengurus urusan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul dan hak tradisional (self governing community). Aset desa bisa menjadi salah satu sumber konflik, namun jika dikelola dan dilindungi dengan baik sesungguhnya merupakan modal sosial, modal politik, modal ekonomi, dan modal birokrasi bagi penyelenggaraan pemerintahan desa serta masyarakat desa di masa depan; Desa yang mandiri adalah desa yang mampu melindungi dan mengolah asetnya sendiri secara terencana dan berkelanjutan yang berbasis masyarakat. Semakin baik tingkat pengelolaan dan perlindungannya terhadap aset desa, semakin meningkatkan katangguhan masyarakat desa. 3 2. GAMBARAN UMUM PENGATURAN DESA KEDUDUKAN DAN JENIS DESA PENATAAN DESA KEWENANGAN DESA PENYELENGGARAAN PEMDES HAK DAN KEWAJIBAN DESA DAN MASYARAKAT DESA UU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA PERATURAN DESA KEUANGAN DAN ASET DESA DESA YANG KUAT, MAJU, MANDIRI DAN DEMOKRATIS PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN BADAN USAHA MILIK DESA KERJASAMA DESA LEMBAGA KEMASYARAKATAN DAN LEMBAGA ADAT DESA DESA ADAT PEMBINAAN DAN PENGAWASAN 4 PERBEDAAN PERSPEKTIF DESA LAMA VS DESA BARU PERSPEKTIF DESA LAMA DESA BARU ▪ Payung Hukum UU No.32/2004 & PP No. 72/2005 UU. No. 6/2014 ▪ Asas Utama Desentralisasi Residualitas Rekognisi Subsidaritas ▪ Posisi dalam Pembangunan Objek Subjek ▪ Kedudukan Sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota (local state government) Sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid, antara self governing community dan local self government ▪ Posisi dan Peran Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang terbatas dan strategis dalam mengatur dan mengurus desa ▪ Delivery Kewenangan Program Target Mandat ▪ Model Pembangunan Government driven development Village driven development ▪ Paradigma Negara menyediakan layanan sosial Pengembangan institusi lokal untuk ketahanan sosial 5 KEWENANGAN DESA a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul; Self Governing Community b. Kewenangan lokal berskala Desa; c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh •. Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai 6 dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Local Self Government KONSEPSI SELF GOVERNING COMMUNITY Self Governing Community: Pada prinsipnya self-governing community adalah komunitas lokal beyond the state, yang mengelola hidupnya sendiri dengan menggunakan lembaga lokal Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa maka pemerintah Desa secara administratif berada dibawah pemerintahan Kabupaten/Kota (local self government). Namun Desa tetap memiliki hak dan kewenangan khusus untuk mengurus urusan masyarakat sesuai dengan hak asal-usul dan adat istiadat yang masih hidup (self governing community). 7 3. MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBANGUNAN DESA 1. 2. 3. Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi salah satu bentuk afirmasi perubahan negara yang semakin demokratis dan menjawab persoalan yang selama ini merepresentasikan politik hukum yang dianggap tidak adil bagi masyarakat adat. Undang-Undang ini sangat strategis menjawab persoalan yang selama ini cukup pelik, dimana desa—juga desa adat—menjadi unit utama pembangunan. Tuntutan mengenai rekognisi, representasi dan redistribusi bagi masyarakat adat, dan berbagai persoalan lainnya dapat diurai dari lokusnya yang paling utama; Desa Asas rekognisi, sebagaimana tuntutan awal mengenai pengakuan oleh gerakan masyarakat adat, sebelum dan sesudah Reformasi, diperkuat lebih jauh dalam Undang-undang tersebut melalui asas subsidiaritas yang dalam hal ini memenuhi harapan otonomi sebagaimana yang diharapkan oleh berbagai komunitas adat. Asas rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul, sementara asas subsidiaritas lebih jauh lagi menegaskankan hak mengenai representasi dan redistribusi sebagai elemen dasar otonomi. Re-orientasi kebijakan pemberdayaan masyarakat adat, terutama berkenaan dengan soal pengakuan (rekognisi) yang memiliki implikasi besar pada persoalan pelibatan masyarakat adat dalam penentuan kebijakan (representasi), serta yang paling utama adalah implikasinya terhadap akses dan pembagian secara adil hak atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya (redistribusi). 8 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBANGUNAN DESA 1. UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, memberi harapan besar bagi terciptanya pemerataan pembangunan dan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat sejak dari tingkat Desa. Dua asas penting; rekognisi dan subsidiaritas, merupakan bentuk pengakuan negara terhadap hak asal usul yang melekat terhadap setiap entitas masyarakat desa, serta kewenangannya untuk mengatur dan mengelola keuangan dan sumber daya yang dimiliki oleh desa. Paradigma pembangunan pun sudah bergeser; dari membangun desa menjadi desa membangun. 2. Pemberian kewenangan yang sangat besar kepada desa (termasuk desa adat) dalam mengelola pembangunan di wilayahnya tanpa didukung kapasitas aparatur dan kesiapan masyarakat desa dalam pengelolaan pembangunan akan berakibat munculnya kebijakankebijakan pembangunan yang berpotensi memicu masalah di kemudian hari, termasuk salah satunya konflik sosial. 3. Di tengah pendelegasian kewenangan desa yang cukup besar, dibutuhkan pendampingan untuk mewujudkan kesinambungan pembangunan melalui pemeliharaan kondisi damai. Damai berkelanjutan didorong melalui pembangunan yang bertumpu pada keadilan sosialekonomi-budaya dan politik. 9 4. SPEKTRUM PEMBANGUNAN DESA Pembangunan Desa Dimensi kewenangan asal usul Dimensi kewenangan Yang didelegasikan Dimensi kewenangan skala lokal Variabel Sosial Budaya Variabel Sosial Politik Variabel Sosial Ekonomi 1) Agama, Adat dan budaya, 2) Penyakit Sosial dan 3) Demografi Regulasi/Kebijakan 1) 2) 3) 4) Ketentraman & ketertiban Politik lokal, Konflik sosial dan Mitigasi Kelembagaan Sustainability 1) SDA dan enegri, 2) Keuangan dan aset desa, 3) Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Ketahanan Masyarakat 10 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT Pemberdayaan masyarakat adat mencakup kebutuhan untuk melakukan kontekstualisasi pada pembangunan desa, sebab sifat dinamis adat serta limitasi lokusnya tidak dapat disimplifikasi secara serampangan. Upaya untuk memperkuat adat berpusar pada tiga kebutuhan utama; 1. Aspek kebijakan; sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah pusat maupun daerah mesti dilakukan supaya tidak terjadi ambivalensi. Regulasi mesti dapat diturunkan secara cermat dan jelas sejak dari Undang-undang hingga beragam peraturan turunannya. Dengan demikian, untuk menjadikan kebijakan bisa bersifat operasional, maka dibutuhkan koordinasi, panduan, dan kesepahaman bersama sejak dalam tahap perencanaan pembangunan. 2. Aspek kelembagaan; seturut dengan penguatan melalui kebijakan, penguatan kelembagaan adat perlu dijalankan melalui serangkaian program terukur, berdasarkan relevansi dan kebutuhan desa. Program yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan ini bisa dilakukan melalui bantuan terkait kelengkapan untuk menopang kerja lembaga adat, infra struktur lembaga adat, maupun pendampingan yang berkaitan dengan substansi seperti peningkatan kapasitas pengurus maupun anggota adat tertentu. 3. Aspek praksis; hal ini berkaitan dengan nilai maupun praktek ritus, seni, budaya dan ekonomi. Dilakukan dengan memperkuat pengarus-utamaan melalui kegiatan dokumentasi, kodifikasi, serta jalur pendidikan formal dan informal. Sementara berkaitan dengan praktek, pemberdayaan dilakukan melalui bantuan kelengkapan ritus, pemberdayaan ekonomi, kegiatan kebudayaan, seni dan lain sebagainya. Dalam banyak kasus konflik, kegiatan-kegiatan berkaitan dengan ritus, eknomi, budaya dan seni telah secara nyata menjadi jalan penyelesaian konflik. 11 TAHAPAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT DALAM DIMENSI SOSIAL BUDAYA Penguatan Regulasi Politik Rekognisi, Representasi dan Redistribusi Penguatan Kelembagaan Penguatan Lembaga Adat, Kodifikasi budaya dan koord pemangku kepentingan Pemberdayaan Masyarakat Kurikulum Pendidikan formal dan informal, fasilitasi kebutuhan 12 5. KONSEP PEMBANGUNAN INKLUSIF 1. Pembangunan inklusif adalah pembangunan yang melibatkan masyarakat dan dapat memberikan manfaat/ kontribusi bagi masyarakat secara umum 2. Lawan dari Inklusif adalah Pembangunan eksklusif terjadi jika orientasi pembangunan hanya fokus pada Pertumbuhan Ekonomi setinggi-tingginya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa pemerataan kesejahteraan akan berakibat: a. Tingginya Tingkat Pengangguran b. Tingkat kemiskinan yang tinggi c. Kesenjangan kesejahteraan yang tinggi d. Akses kepada Kebutuhan Sosial Dasar tidak terpenuhi e. Akses terhadap keterisolasian yang tinggi f. Akses terhadap informasi yang rendah 3. Dapat menjadi akar dari terjadinya Konflik/ Bencana Sosial 13 STRATEGI UTAMA PEMBANGUNAN INKLUSIF 1. Pelibatan aktif Masyarakat dan Komponen lain dalam pembangunan 2. Penciptaan lapangan kerja produktif dan berdaya saing 3. Memberikan perlindungan efektif dan efisien bagi mereka yang tidak mampu bekerja atau yang terlalu sedikit mendapatkan manfaat pembangunan. 4. Peningkatan pelayanan publik dasar dan dukungan kebijakan publik yang memadai. 5. Meningkatkan akses Masyarakat terhadap kebutuhan dasar, akses kepada pengembangan ekonomi dan akses kepada mobilitas barang dan jasa. 14 PEMBANGUNAN INKLUSIF DESA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA Salah satu bentuk Penerapan Pembangunan Inklusif adalah Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat dan Program Pengembangan Ekonomi Lokal, dimana terjadi sinergi pembangunan antara Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Pemangku Kepentingan lain : ▪ Dana Desa (Pelibatan masyarakat dalam Perencanaan dan Penggangaran) ▪ Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) ▪ Nias Livelihoods and Economic Development Program (Nias-LEDP) – MDF Grant ▪ Aceh Economic Development Financing Facility Project (AEDFF) – MDF Grant ▪ Bedah Desa Pemerintah Daerah Pembangunan Inklusi Komponen Masyarakat lain (LSM, Univ,Swasta dll) Masyarakat 15 6. DESA, ADAT, DAN PERDAMAIAN 1. Konteks konflik dan kekerasan di Indonesia semakin sporadik dan tersebar merata di berbagai daerah dengan intensitas tinggi. Salah satu tantangan konflik dewasa ini bersumber dari artikulasi politik identitas. 2. Paradigma pengelolaan konflik mesti bergeser, bukan lagi reaktif (pemadam kebakaran) melainkan preventif. Hal ini sejalan dengan pergeseran paradigmatik yang terjadi dalam gerakan pembangunan perdamaian di dunia; from conflict resolution to conflict prevention. 3. Desa, sebagai satuan komunitas dan administrasi pemerintahan terkecil, merupakan salah satu lokus paling signifikan dari dinamika keragaman dan perdamaian. 16 PENGATURAN DESA ADAT DAN KONFLIK SOSIAL: STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN BERBASIS DESA DAN ADAT 1. Dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang luas kepada Desa untuk mengelola wilayahnya sendiri; 2. Memberikan pengakuan atas hak asal usul dan hak tradisional serta asas subsidiaritas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat (Desa adat) 3. Pengakuan atas desa Adat diatur secara khusus dalam BAB XIII (penataan, kewenangan, sistem pemerintahan dan kebijakan adat) 4. UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial juga memberikan amanat perlunya menjaga perdamaian di Indonesia melalui berbagai upaya pencegahan konflik sosial yang berbasis masyarakat dan kearifan lokal serta memanfaatkan semaksimal mungkin ruang-ruang dialog dan penyelesaian konflik melalui pranata adat. 5. Kementerian desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu, memiliki program terkait dengan pemberdayaan masyarakat adat sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan integratif. Tanpa memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat adat—sebagai subyek – pembangunan desa sulit berjalan optimal. 17 Komponen dan Indikator Utama Daerah dan Desa Tangguh Konflik Tata Kelola Cegah Konflik Ketangguhan Daerah Kapasitas Kelembagaan Ketahanan Masyarakat 18 STRATEGI-1: PERBAIKAN SISTEM TATA KELOLA CEGAH KONFLIK DI TINGKAT PUSAT DAN DAERAH Sinkronisasi Kebijakankebijakan Daerah yang berpotensi konflik Penyusunan Kebijakan Penanganan Konflik Pengembangan Sistem Perencanaan Pembangunan yang sensitif konflik 2 1 3 Penyusunan Design Post Conflict Need Assassement Penyusunan Indeks Ketahanan Terhadap Konflik 9 4 Tata Kelola Cegah Konflik 8 5 7 Pemetaan Potensi Konflik di Daerah Mengembangkan kebijakan sistem Cegah Dini dan Respon Dini Konflik Sosial berbasis kearifan lokal Peningkatan kapasitas Bina Damai bagi aparatur daerah 6 Inisiasi kegiatan-kegiatan peace building dalam program-program pembangunan pemerintah 19 STRATEGI-2: PENINGKATAN KETAHANAN MASYARAKAT TERHADAP KONFLIK Peningkatan kapasitas masyarakat tentang analisis konflik dan perdamaian Pengembangan Kearifan lokal dalam penanganan konflik sosial Peningkatan kapasitas masyarakat tentang cegah dan respon dini konflik sosial 2 1 3 Memperkuat kapasitas Kader Pelopor Pencegahan Konflik Peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa dalam menciptakan kondisi damai diwilayahnya 9 4 Ketahanan Masyarakat 8 5 7 Pengembangan kegiatankegiatan ekonomi dan bantuan insfrastruktur Sosial dalam rangka memperkuat harmoni sosial Peningkatan kapasitas masyarakat tentang perencanaan pembangunan peka konflik Pelaksanaan kegiatankegiatan berbasis budaya di masyarakat 6 Pelatihan analisis konflik dan perdamaian bagi perempuan dan pemuda 20 STRATEGI-3: MENDORONG TERSELENGGARANYA SISTEM KELEMBAGAAN PENANGANAN KONFLIK BERBASIS MASYARAKAT Pembentukan sekretariat early warning dan early response system di tingkat daerah yang berbasis masyarakat 1 Memperkuat koordinasi penanganan konflik antardaerah 2 6 Memperkuat peran kelembagaan adat dalam penanganan konflik sosial Sistem Koord. Kelembagaan Memperkuat forum-forum dialog multikultur, lintas agama dll 5 3 4 Peningkatan kapasitas lembagalembaga Kemasyarakatan tentang isu-isu penanganan konflik sosial Peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa dalam menciptakan kondisi damai diwilayahnya 21 BEST PRACTICES DAN LESSONS LEARNED PERANAN ADAT DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DALAM MEMBANGUN PERDAMAIAN 1. MEMBUMIKAN HIBUALAMO,MENGAMALKAN QASIDAH UNTUK REKONSILIASI KONFLIK DI MALUKU UTARA 2. Jera Tanpa Dendam: PERAN PEREMPUAN MEDIATOR MENEGAKKAN HUKUM ADAT DALAM KONFLIK DI SULAWESI TENGAH 3. BUKU REVITALISASI PRANATA ADAT UNTUK PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DI INDONESIA 22 7. PENUTUP: DESA SEBAGAI FOKUS KEBHINEKAAN DAN PERDAMAIAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Lahirnya UU No.6 Tahun 2015 tentang Desa, memberi harapan besar bagi terciptanya pemerataan pembangunan dan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat sejak dari tingkat Desa. Dua asas penting; rekognisi dan subsidiaritas, merupakan bentuk pengakuan negara terhadap hak asal usul yang melekat terhadap setiap entitas masyarakat desa, serta kewenangannya untuk mengatur dan mengelola keuangan dan sumber daya yang dimiliki oleh desa. Paradigma pembangunan pun sudah bergeser; dari membangun desa menjadi desa membangun. Pemberian kewenangan yang sangat besar kepada desa dalam mengelola pembangunan di wilayahnya tanpa didukung kapasitas aparatur dan kesiapan masyarakat desa dalam pengelolaan pembangunan akan berakibat munculnya kebijakan-kebijakan pembangunan yang berpotensi memicu masalah di kemudian hari, termasuk salah satunya konflik sosial.\ Salah satu tugas, pokok dan fungsi penting Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 12/2015 diantaranya adalah bertanggungjawab dalam mengembangkan daerah-daerah yang memiliki karakteristik khusus, yang salah satu diantaranya adalah daerah yang memiliki tingkat kerawanan sosial yang tinggi di Indonesia. UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial juga memberikan amanat perlunya menjaga perdamaian di Indonesia melalui berbagai upaya pencegahan konflik sosial yang berbasis masyarakat dan kearifan lokal serta memanfaatkan semaksimal mungkin ruang-ruang dialog pembangunan sebagai bagian dari upaya pencegahan konflik sosial. Kementerian desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu, telah mengembangkan konsep besar upaya pencegahan konflik sosial melalui “Pengembangan Strategi Daerah Tangguh Konflik” sebagai upaya mendorong munculnya daerah-daerah yang memiliki tingkat ketahanan yang baik dalam menghadapi potensi dan kerawanan sosial di wilayah masing-masing. Di tengah pendelegasian kewenangan desa yang cukup besar, dibutuhkan pendampingan untuk mewujudkan kesinambungan pembangunan melalui stabilisasi kawasan. Stabilisasi yang berkelanjutan didorong melalui pembangunan perdamaian yang bertumpu pada keadilan sosial-ekonomi-budaya dan politik. Pembangunan perdamaian bertumpu pada terselenggaranya proses pembangunan secara integratif guna mengoptimalkan distribusi kesejahteraan, yang orientasinya kini difokuskan pada pemberdayaan desa. 23 TERIMA KASIH 24