POLICY BRIEF April 2020 INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) adalah sebuah lembaga independen, Urgensi Penyederhanaan Peraturan Pelaksanaan UU Desa non partisan, dan non profit yang berbasis komunitas akademik di Yogyakarta. Fokus kegiatan IRE adalah memperluas dan memperdalam demokrasi melalui penguatan gagasan dan sikap kritis elemen masyarakat sipil, negara dan swasta. Pendahuluan S alah satu tujuan dibuatnya UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) adalah untuk mewujudkan pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggungjawab. Sedangkan di sisi yang lain, bagi masyarakat desa, tujuan UU Desa adalah: untuk mendorong munculnya prakarsa, gerakan, dan partisipasi masya­ rakat, guna mengembangkan potensi dan aset desa, untuk tujuan mewujudkan kesejahteraan bersama. Sayangnya, tujuan mulia yang diusung oleh UU tersebut terdistorsi oleh aturan pelaksanaan yang ada di bawahnya. Lahirnya dua peraturan pemerintah (PP) sebagai pijakan pelaksanaan UU Desa, yaitu: PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 11 Tahun 2019 (PP No. 43 Tahun 2014) dan PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Ber­ sumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana diubah ter­ akhir dengan PP No. 8 Tahun 2016, beberapa pasal dalam PP bermasalah. Alihalih menjadikan desa lebih mudah dalam melaksanakan UU Desa, namun yang terjadi malah sebaliknya. Contoh Pasal PP yang Bermasalah PP No. 47 Tahun 2015 Pasal 39 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kewenangan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri. (2) Dalam menetapkan kewenangan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa. POLICY BRIEF • April 2020 Implikasi Kewenangan desa kembali ditentukan oleh pemerintah pusat dan cenderung terjadi penyeragaman, sehingga desa tidak cukup leluasa dalam menentukan kewenangannya. PP No. 60 Tahun 2014 Pasal 22 (1) Menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian membuat pedoman umum kegiatan yang didanai dari Dana Desa dengan mengacu pada prioritas penggunaan Dana Desa Implikasi Hak desa untuk memutuskan prioritas penggunaan anggaran menjadi terbatas karena prioritas penggunaan dana desa ditetapkan secara top-down dan terlalu spesifik, tidak mempertimbangkan variasi kebutuhan dan kondisi masing-masing desa (2) Pedoman sebagaimana dimaksud ayat di atas ditetapkan paling lambat 2 bulan setelah ditetapkan prioritas penggunaan Dana Desa (3) Bupati/walilota dapat membuat pedoman teknis kegiatan yang didanai dari Dana Desa sesuai dengan pedoman umum kegiatan sebagai mana dimaksud Secara normatif misalnya, terkait dengan kewenangan desa, pasal 33 huruf (c) dan (d) PP No. 43 Tahun 2014 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai jenis kewenangan yang ditugaskan dan skema pembiayaan dari pemerintah pusat mau­ pun pemerintah daerah, sebagaimana dimandatkan oleh pasal 22 UU Desa. Ketentuan pasal 34 ayat (3) PP No. 43 Tahun 2014, yang telah diubah ke dalam ketentuan pasal 34 ayat (3) PP No. 47 Tahun 2015, di mana Menteri Dalam Negeri diberi otoritas untuk menetapkan jenis kewenangan desa sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal, selain kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, justeru melahirkan komplikasi per­ masalahan baru. Ketentuan dalam pasal ini malah menimbulkan kebingungan kepada desa, dalam memahami dan menjalankan asas rekognisi dan subsidiaritas. paling mendasar yang muncul adalah adanya pasal yang mengamanatkan pengaturan tersendiri tentang dana desa ke dalam peraturan pemerintah secara khusus. Adanya pasal tersebut berarti terjadi mandat berlebih bagi Kementerian Keuangan dan Kementerian Desa PDTT dalam urusan dana desa. Pada poin lain, ketentuan penggunaan dana desa, yang diprioritaskan hanya untuk urusan bidang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa (ketentuan pasal 19 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2014), juga telah mendistorsi asas rekognisi dan subsidiaritas. Terlebih ketentuan pasal 21 PP No. 60 Tahun 2014, yang memerintahkan Menteri Desa PDTT untuk menetapkan pedoman penggunaan dana desa, semakin menjauhkan praktik penggunaan dana desa dari semangat awal dan substansi UU Desa. Parahnya lagi, rute penetapan kewenangan desa melalui peraturan bupati, sesuai yang dimandatkan dalam ketentuan pasal 37 PP No. 43 Tahun 2014, ternyata tidak dipatuhi oleh kebanya­kan kabupaten/kota. Peraturan bupa­ ti yang tidak segera diterbitkan pada akhir­nya menyurutkan makna fundamental kewenangan desa dan menghalangi kebera­ nian desa dalam menetapkan peraturan desa tentang kewenangan desa. Di lapangan, ketidaksinkronan antara man­ dat nilai yang terkandung dalam UU Desa dengan kedua PP pelaksana UU Desa tersebut telah membuat desa-desa yang awalnya penuh semangat dan antusias menyambut terbitnya UU Desa, menjadi surut lagi ke belakang. Sejumlah desa yang awalnya sudah bersiap membuat peraturan desa (perdes) tentang kewenangan desa misalnya, dengan adanya PP tersebut akhir­ nya membatalkan inisiatif yang akan dilakukan. Dalam PP No. 60 Tahun 2014 permasalahan POLICY BRIEF • April 2020 Masalah di Lapangan Dari kajian yang dilakukan IRE dalam bentuk desk study, penelitian di lapangan, maupun pembacaan terhadap hasil riset, yang dipublikasikan oleh beberapa lembaga penelitian, setidaknya terdapat lima per­ soalan mendasar yang sangat penting (urgent), yang diakibatkan keluarnya PP tersebut. Pertama, kedua PP tersebut telah mengakibatkan hak desa untuk menentukan kewenangan yang bisa dijalankan men­ jadi terbatasi, karena otoritas untuk menentukan kewenangan yang dapat dan boleh dijalankan oleh desa ada di tangan Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Jenis kewenangan desa yang dikalankan, ditentukan oleh hirarkhi pemerintahan di atasnya atau kepentingan supradesa. Artinya, tidak ada lagi ruang bagi desa untuk melaksanakan kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, hal yang semestinya diatur dan diurus oleh desa sendiri. Kedua, dalam hal keuangan desa, fragmentasi tata kelola keuangan desa mengakibatkan beban administrasi bagi pemerintah desa terlalu besar, karena PP 60 menuntut pelaporan dana desa oleh desa, secara tersendiri melalui aplikasi tertentu. Sementara itu, penatausahaan dan pelaporan yang rumit mengakibatkan pemerintah desa hanya akan lebih sibuk membuat laporan penggunaan keuangan kepada pemerintah supradesa, ketimbang membangun akuntabilitas sosial, mengem­ bang­kan demokrasi, dan pem­ber­da­yaan masyarakat desa. Ketiga, hak desa untuk menggunakan anggaran yang dimilikinya menjadi terbatas, karena prioritas penggunaan dana desa ditetapkan secara top-down, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi masing-masing desa. Hal ini membuat RPJMDesa akhirnya hanya menjadi dokumen formalitas belaka, dan tidak responsif terhadap kondisi yang terjadi di desa. Akibat lainnya, kebutuhan kelompok masyarakat miskin dan marginal tidak bisa diutamakan, karena dikalahkan oleh kepentingan ‘sebagian besar’ masyarakat. Keempat, aspirasi warga POLICY BRIEF • April 2020 masyarakat, yang sudah diserap oleh pemerintah desa, seringkali dikalahkan oleh intervensi kepenti­ ngan pemerintah supradesa, dalam bentuk berbagai program titipan, yang celakanya pembiayaannya pun juga dibeban­­kan ke­pada APBDesa. Kelima, desa tidak bisa mengelola aset secara opti­ mal, karena ‘kekayaan’ asli desa berupa: tanah, hutan, sumber air milik klan/marga/ulayat tidak bersertifikat, namun secara tradisi­onal diakui dan diketahui masyarakat. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari kajian pasal per pasal yang ada dalam PP dan hasil kajian dampak pemberlakuan PP tersebut, maka dapat disimpulkan: Pertama, keberadaan dua PP tersebut justeru mendistorsi asas utama yang ada dalam UU Desa, yaitu rekognisi dan subsidiaritas menjadi desentralisasi dan residualitas. Asas rekognisi dan subsidiaritas pada dasarnya mengamanatkan kepada desa agar memiliki otoritas untuk menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal-usul, yang di dalamnya mengandung kearifan lokal. Sedangkan tugas pemerintah supradesa lebih banyak mendukung, memfasilitasi, dan memastikan hal-hal yang menjadi otoritas desa dapat dikerjakan dengan baik, melalui peran pembinaan dan pengawasan. Keberadaan PP yang ada sekarang membuat otoritas pemerintah supradesa menjadi semakin kuat, sementara desa menjadi semakin lemah. Kedua, PP tersebut telah mereduksi desa menjadi pemerintahan desa. Sebab, dalam PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana diubah terakhir PP No. 11 Tahun 2019, jelas terlihat berisi tentang hirarkhi kekuasaan kepala desa, camat, bupati/walikota, dan gubernur. Ketiga, di dalam dua PP tersebut desa masih ditempatkan sebagai obyek pembangunan. Sementara itu, UU Desa secara jelas dan tegas sudah memberikan mandat kewenangan pembangunan kepada desa, sehingga desa tidak lagi semata-mata sebagai obyek pembangunan, melainkan sebagai arena dan subyek pembangunan. Keempat, PP tersebut telah mereduksi hak keuangan desa menjadi keuangan negara. Dalam pasal 72 UU Desa disebutkan, bahwa dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) merupakan konsekuensi dari penggunaan asas rekognisi dan subsidiaritas, yang dipakai sebagai landasan pengaturan UU Desa. Dalam pasal ini disebutkan adanya tujuh sumber pendapatan desa, yang di antaranya adalah: anggaran yang bersumber dari APBN (dana desa) dan yang bersumber dari APBD (alokasi dana desa). Jika merujuk pada UU Desa, kesemua sumber pendapatan tersebut menjadi hak dan kewajiban desa. Sementara itu, PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 8 Tahun 2016, lebih cenderung mereduksi hak desa tersebut hanya sekedar menjadi kepan­jangan tangan pelaksana keuangan negara. Berdasarkan uraian di atas, kami mereko­ men­dasikan agar pemerintah pusat segera mengagendakan penyederhanaan PP No. 43 Tahun 2014 jo Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan PP No. 60 Tahun 2014 jo PP No. 22 Tahun 2015 jo PP No. 8 Tahun 2016 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menjadi satu PP yang komprehensif, yang semangat nilainya diselaraskan dengan UU Desa. “ Desa masih ditempatkan sebagai obyek pembangunan. Daftar Acuan Dina Mariana, dkk., Desa; Situs Baru Demokrasi Lokal, IRE – Yayasan TIFA, 2017 Sunaji dan Titok Hariyanto, Memperkuat Gerakan Pelaksanaan UU Desa, IRE – KOMPAK, Mei 2018 Regulasi PP N0. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Policy Brief ditulis oleh Titok Hariyanto direview oleh Dr. Krisdyatmiko. Policy Brief ini merupakan produk pengetahuan yang dipublikasikan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE). Riset dan publikasi Policy Brief didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI). Pembaca dipersilahkan untuk menyalin, menyebarkan, dan mengirimkan karya ini untuk tujuan nonkomersil. Untuk memperoleh salinan laporan ini atau keterangan lebih lanjut mengenai laporan ini, silahkan menghubungi Unit Komunikasi IRE Yogyakarta. Laporan ini juga tersedia pada situs web IRE Yogyakarta. Knowledge Sector Initiative (KSI) Ratu Plaza Office Tower 9 th Floor Jalan Jenderal Sudirman No. 9 Jakarta 10270 Indonesia POLICY BRIEF • April 2020 Institute for Research and Empowerment (IRE) Jalan Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Sariharjo Ngaglik Sleman Yogyakarta 55581 T: +62 274 867 686 F: +62 274 867 686 E: [email protected] www.ireyogya.org