ANALISIS HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN LAHAN DAN BENTUK LAHAN DI WILAYAH BANDUNG UTARA DAN KAJIAN RESIKO BENCANA ALAM VULKANIK DWI SHANTY APRILIANI GUNADI A24104077 PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SUMMARY DWI SHANTY APRILIANI GUNADI. The Analysis and Influence of The Region on Landuse and Landforms at Northern Bandung Area and Study of Volcanic Disasters and Risks. (supervised by BOEDI TJAHJONO and KHURSATUL MUNIBAH). Northern Bandung area is an area that rapidly changes into recreation area, mainly recreation about Mt. Tangkuban Perahu. With the increasing number of tourists that visits the area, will give effect on the rapid changes of landuse and it’s dynamics on civilians fulfilling their social-economic needs. Mt. Tangkuban Perahu is considered as an active volcano, but rapid changes of landuse near the volcano keeps increasing. Thus, evaluating and studying about landuse changes will be interesting, mainly done by connecting with geomorphology conditions of the area, and Volcanic Disasters and risks. The purposes of this research are (1) to identify and map land cover/land use from 2 different years using Satellite Image SPOT 1987 and Landsat ETM+ 2005 (2) Analyze the influence and connection between land cover/landuse with landforms (3) Analyze and map volcanic disasters and risks within the research area. Based on the results of analysis, landuse used for settlements and vegetable ranches are 2 landuses that is dominantly increasing within the area. Vegetable ranches are mainly spread in many landforms, but settlements are mainly spread in only 2 landforms (Lacustrine Lands, and Plateau Ignimbritic).This was caused because of the two landforms that is mainly flat in morphologic conditions.Settlements have a morphologic limitation that is, can only be built on flat topographies. Kecamatan Cimenyan has the lowest rate of volcanic disasters and volcanic disaster risks that will threaten the area. On the contrary, Kecamatan Parongpong has the highest rate of volcanic disasters and volcanic disaster risks that will threaten the area. Thus, Landuse Planning that concentrates also on mitigation/prevention of volcanic disasters mainly in these 2 areas are needed to prevent further damage effects in the future. RINGKASAN DWI SHANTY APRILIANI GUNADI. Analisis Hubungan Antara Penggunaan Lahan dan Bentuk Lahan di Wilayah Bandung Utara dan Kajian Resiko Bencana Alam Vulkanik. (dibawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan KHURSATUL MUNIBAH) Wilayah Bandung bagian utara merupakan wilayah yang saat sekarang berubah menjadi daerah wisata, khususnya wisata gunungapi Tangkuban Perahu. Dengan besarnya arus wisatawan menuju ke daerah ini, maka secara langsung akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan yang cenderung terus berubah sesuai dengan dinamika masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sosial-ekonominya. Mengingat bahwa gunungapi Tangkuban Perahu termasuk gunungapi aktif, sedangkan perubahan penggunaan lahan terus berlanjut di daerah sekitar gunungapi tersebut, maka melakukan studi tentang perubahan penggunaan lahan menjadi sangat menarik dilakukan terutama dikaitkan dengan kondisi geomorfologi dan ancaman bahaya vulkanik. Tujuan penelitian ini mencakup (1) identifikasi dan pemetaan penutupan/penggunaan lahan pada 2 (dua) titik tahun yang berbeda dengan menggunakan Citra SPOT 1987 dan Citra Landsat ETM+ (2) melakukan analisis hubungan antara penutupan/penggunaan lahan dengan bentuklahan (3) Melakukan analisis dan pemetaan resiko bencana alam yang terdapat di daerah penelitian. Berdasarkan hasil analisis, penggunaan lahan permukiman dan tegalan merupakan 2 jenis penggunaan lahan yang paling besar mengalami pertambahan luas. Penggunaan lahan tegalan merupakan penggunaan lahan yang paling tersebar di berbagai bentuklahan, sedangkan penggunaan lahan permukiman paling banyak tersebar pada 2 jenis bentuk lahan, yaitu dataran lakustrin dan plateau ignimbritik. Hal ini dikarenakan pada kedua bentuklahan tersebut memiliki kemiringan lereng yang relatif datar yang sesuai untuk permukiman. Faktor morfologi bentuklahan terutama lereng, merupakan faktor pembatas utama untuk perkembangan areal permukiman. Dari empat kecamatan yang ada di daerah penelitian, Kecamatan Cimenyan memiliki tingkat bahaya vulkanik dan tingkat resiko vulkanik yang paling rendah, sebaliknya Kecamatan Parongpong memiliki ancaman tingkat bahaya dan tingkat resiko vulkanik paling tinggi. Hal ini menyebabkan perlu adanya penataan ruang yang memperhatikan mitigasi bencana terutama di kedua kecamatan tersebut agar tidak terjadi bencana yang sangat besar dikemudian hari. ANALISIS HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN LAHAN DAN BENTUK LAHAN DI WILAYAH BANDUNG UTARA DAN KAJIAN RESIKO BENCANA ALAM VULKANIK OLEH: DWI SHANTY APRILIANI GUNADI A24104077 SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Analisis Hubungan Antara Penggunaan Lahan dan Bentuklahan di Wilayah Bandung Utara dan Kajian Resiko Bencana Alam Vulkanik Nama Mahasiswa : Dwi Shanty Apriliani Gunadi Nomor Pokok : A24104077 Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Boedi Tjahjono, DEA Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. NIP. 131 846 877 NIP. 131 918 502 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 4 April 1986 sebagai anak kedua dari pasangan Dr.Ir.Bambang Gunadi M.Sc dan Nunung Sumiarsih. Penulis memulai pendidikan formal TK di Tadika Puri Bandung pada tahun 1990-1991 lalu melanjutkan sekolah ke SD Kresna Bandung dari kelas 1-2 SD dan sempat mengikuti pendidikan setara SD kelas 2-6 di South Knoll Elementary ( kelas 2-4), Oakwood Middle School (kelas 5), dan Willow Branch Intermediate (kelas 6). Serta pendidikan setara SLTP di College Station Junior High School pada tahun 1993-1999 di Amerika Serikat. Lalu meneruskan SLTP kelas 2 di SLTP Cendrawasih II Tangerang kemudian kelas 3 di SLTP Negeri 1 Bogor. Kemudian pada tahun 2001-2004 penulis meneruskan SLTA di SMU Negeri 7 Bogor. Tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis sempat menjadi asisten mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lanskap dan Pengantar Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial (PJIC), Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB pada tahun 2008. KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah mengenai Analisis Hubungan Antara Penggunaan Lahan dan Bentuk Lahan di Wilayah Bandung Utara dan Kajian Resiko Bencana Alam Vulkanik. Selama melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Boedi Tjahjono, DEA sebagai pembimbing skripsi yang senantiasa dengan sabar dan menyemangati memberikan arahan, bimbingan, saran, dan motivasi sejak penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini. 2. Ibu Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan motivasi, arahan, serta saran dalam langkah-langkah skripsi selama penulisan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc. sebagai pembimbing akademik juga sebagai penguji dalam sidang skripsi ini yang telah memberikan bentuk dorongan, arahan, serta pembelajaran selama bimbingannya kepada penulis. 4. Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. yang telah memberikan bentuk dorongan, arahan, dan semangat selama bimbingannya kepada penulis. 5. Staf Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. 6. Bapak Dr. Ir. Bambang Gunadi, M.Sc. (daddy), Nunung Sumiarsih (mommy), drh. Tanti Mulianti Gunadi, DVM (mba Tanti) , dan Trianto Adiputro Gunadi (otoy) atas segala doa, dorongan, dukungan, dan semangat, yang tiada henti selama penulis menyelesaikan pendidikannya di IPB. 7. Keluarga Syarief Hidayat, BSc. dan keluarga R. Andi Rismansyah atas segala dukungan, semangat, yang penuh dengan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB serta penulisan skripsi ini. 8. Keluarga besar R. Ahmadi dan keluarga besar R.E. Soelaeman Prawirasapoetra, atas segala semangat, dukungan, dan doa kepada penulis. 9. Teman-teman satu laboratorium di Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial (Alwan, Elissa, Nana, dan Nika) atas kekompakkan, dukungan, dan bantuannya. Juga Mba Reni, Mba Ana, dan Mba Juju atas segala bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Fremy, Meilina, dan Marni (my sisters!), Ronni dan Bachtiar (My brothers!) yang telah memberikan dukungan dan persahabatan yang kuat hingga sekarang dan seterusnya. Serta rekan-rekan SOILERS 41 (PATAK 41) atas kekompakkan dan kerjasama yang akan selalu terkenang. VIVA SOIL! Juga temen-temen KKP ‘ NAMBO GENK’ atas kenangan-kenangan yang indah selama 2 bulan di desa Sukajaya, Bogor. 11. Teman-teman dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan, meskipun masih banyak hal-hal yang perlu dikaji lebih dalam. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Bogor, Februari 2009 Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vii I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 2 1.3. Tujuan Penelitian 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1. Penginderaan Jauh 3 2.1.1 Satelit SPOT 2.1.2. Satelit Landsat 5 5 2.2. Analisis Citra Digital 7 2.3. Interpretasi Visual 8 2.4. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral 10 2.5. Fusi Citra 11 2.6. Penajaman Multispasial 12 2.7. Penutup/Penggunaan Lahan 12 2.8. Bentuklahan 12 2.9. Jenis-jenis Bentuklahan Berdasarkan Morfogenesis 13 2.10. Gunungapi Tangkuban Perahu 14 2.11. Kegiatan Gunung Tangkuban Perahu 14 III. BAHAN DAN METODE 18 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 18 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 18 3.3. Metode Penelitian 18 3.3.1. Persiapan 18 3.3.2. Pengumpulan Data 18 3.3.3. Pengolahan Data 19 3.3.4. Analisis Data 21 3.3.5. Penyajian Hasil 23 IV. LOKASI PENELITIAN 25 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 25 4.2. Gambaran Umum Kabupaten Bandung 26 4.2.1. Gambaran Umum Kecamatan Lembang 26 4.2.2. Gambaran Umum Kecamatan Parongpong 27 4.2.3. Gambaran Umum Kecamatan Cisarua 28 4.2.4. Gambaran Umum Kecamatan Cimenyan 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5.1. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral 31 5.2. Karakteristik Penutup/Penggunaan Lahan Pada Citra 32 5.3. Penyebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987 di Wilayah Studi 37 5.4. Penyebaran Penggunaan Lahan Tahun 2005 Verifikasi 2008 di Wilayah Studi 38 5.5. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008 43 5.6. Kondisi Geomorfologi Daerah Penelitian 46 5.6.1. Morfologi 46 5.6.2. Morfogenesis 47 5.6.3. Morfokronologi 49 5.6.4. Batuan 49 5.7. Bentuklahan di Daerah Penelitian 51 5.8. Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan 56 5.9. Bahaya dan Tingkat Bahaya Vulkanik 56 5.10. Resiko Bencana Vulkanik 61 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 67 6.1.Kesimpulan 67 6.2. Saran 68 VII. DAFTAR PUSTAKA 69 LAMPIRAN 72 DAFTAR TABEL No. Halaman 2.1. Saluran Citra dari Sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat 7) Serta Kegunaanya 6 2.2. Saluran Citra Dari Citr SPOT-1 7 2.3. Ikhtisar Letusan Gunung Tangkuban Perahu Yang Nyata 13 2.4. Sejarah Keaktifan Gunung Tangkuban Perahu 16 5.1. Nilai OIF Setiap Kombinasi Pada Citra Landsat ETM+ 2005 32 5.2. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra SPOT 1987 dan Luasannya 37 5.3. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat ETM+ 2005 Revisi 2008 dan Luasannya 43 5.4. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008 44 5.5. Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008 44 5.6. Jenis Bentuklahan Wilayah Penelitian 51 5.7. Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Tahun 2008 58 5.8. Nilai (scoring) Tingkat Bahaya Vulkanik 60 5.9. Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik 60 5.10. Nilai (scoring) Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan 62 5.11. Kelas Kisaran Nilai Resiko dan Tingkat Resiko Bencana 63 5.12. Tingkat Resiko Bencana Vulkanik 63 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 2.1. Sistem Penginderaan Jauh 4 2.2. G. Tangkuban Perahu Dilihat Dari Sisi Selatan (Cihideung, Parongpong) 14 3.1. Diagram Alir Tahapan Penelitian 24 4.1. Peta Lokasi Wilayah Penelitian 25 5.1. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Hutan Pada Citra dan di Lapangan 33 5.2. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Badan Air Pada Citra 33 5.3. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Perkebunan Pada Citra dan di Lapangan 34 5.4. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Tegalan Pada Citra dan di Lapangan 35 5.5. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Permukiman Pada Citra dan di Lapangan 36 5.6. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Sawah Pada Citra 36 5.7. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Kawah Pada Citra 37 5.8. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra SPOT 1987 dan Luasannya 38 5.9. Citra Landsat Yang Digunakan Untuk Klasifikasi 39 5.10. Citra SPOT Yang Digunakan Untuk Klasifikasi 40 5.11. Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987 Dari Citra SPOT 41 5.12. Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 2008 Dari Citra Landsat 42 5.13. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat 2008 dan Luasannya 43 5.14. Contoh Gambar Penggunaan Lahan di Lapang 45 5.15. Peta Kelas Lereng Daerah Penelitian 48 5.16. Peta Geologi Daerah Penelitian 50 5.17. Peta Bentuklahan Daerah Penelitian 55 5.18. Peta Bahaya Bencana Daerah Penelitian 59 5.19. Jumlah Persen Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik Setiap Kecamatan 60 5.20. Jumlah Persen Tingkat Resiko Bencana Vulkanik 63 5.21. Peta Tingkat Bahaya Vulkanik Daerah Penelitian 64 5.22. Peta Tingkat Resiko Bencana Vulkanik Daerah Penelitian 65 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Gambar Lampiran 1: Contoh Gambar Morfogenesis 72 1. Bentuklahan Vulkanik Aktif (Gunungapi Tangkuban Perahu) 72 2. Bentuklahan Vulkanik Denudasional ( Gunung Burangrang) 72 3. Bentuklahan Tektonik (Patahan Lembang) 73 4. Bentuklahan Denudasional (Longsor Lahan) 73 Tabel Lampiran 1 : Kemiringan Lereng Setiap Kecamatan 74 I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penggunaan lahan adalah setiap intervensi manusia terhadap lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik materi maupun spiritual (Arsyad, 1989). Penggunaan lahan merupakan salah satu sumberdaya lahan yang cepat mengalami perubahan (dinamis). Perubahan penggunaan lahan selain dipengaruhi oleh aktifitas manusia juga dipengaruhi sifat fisik wilayah. Wilayah Kabupaten Bandung bagian Utara merupakan wilayah yang paling dekat dengan gunungapi Tangkuban Perahu yang merupakan gunungapi aktif (active volcano). Hal ini dapat dilihat dari adanya rangkaian kegiatan aktifitas gunung ini seperti hujan abu tipis pada tahun 1969, erupsi lumpur di Kawah Ratu pada tahun 1971, bahkan terjadi gejala kenaikan aktifitas gunung pada tahun 2002 dan 2005. Dengan adanya aktifitas gunungapi juga adanya sejarah letusan Gunungapi Sunda dan adanya patahan tektonik yang membentang sepanjang Barat hingga Timur wilayah penelitian mengakibatkan terbentuknya banyak variasi bentuklahan (landform) berkaitan dengan aktifitas-aktifitas tersebut. Vulkanisme berasal dari adanya gaya yang bersifat endogenetik di alam dan sebagai hasil dari perubahan fisik maupun kimia yang terjadi di bagian dalam bumi. Dengan adanya berbagai variasi bentuklahan yang ada pada wilayah ini, banyak berpengaruh terhadap jenis penggunaan lahannya. Hal ini tentu berkaitan dengan faktor proses geomorfik yang berlangsung di atas bentuklahan selain dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti batuan induk wilayah, morfologi/topografi, serta kondisi iklim yang ada di daerah penelitian. Kegiatan gunungapi selain mempengaruhi topografi wilayah secara nyata, juga dapat mengancam penduduk di sekitarnya dari bahaya erupsi gunungapi. Erupsi gunungapi tidak dapat diprediksi kapan akan berlangsung, oleh karena itu mengantisipasi akan terjadinya bencana tersebut menjadi sangat penting. Perencanaan tata ruang atau penggunaan lahan wilayah di sekitar gunungapi aktif merupakan salah satu bentuk program mitigasi bencana. 1.2. Perumusan Masalah Wilayah Bandung bagian Utara merupakan wilayah yang saat sekarang berkembang menjadi daerah wisata, khususnya wisata gunungapi Tangkuban Perahu. Daya tarik wisata ini cukup besar karena wisatawan dapat dengan mudah mengunjungi puncak gunung Tangkuban Perahu dengan kendaraan roda empat untuk melihat kawah kembar gunungapi tersebut Kawah Upas dan Kawah Ratu atau hanya menikmati pemandangan pegunungan yang indah di wilayah Lembang dan sekitarnya. Dengan besarnya arus wisatawan menuju ke daerah ini, maka secara langsung akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan yang cenderung terus berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam kehidupannya yang sesuai dinamika sosial-ekonomi di sekitarnya. Mengingat bahwa wilayah di sekitar Gunungapi Tangkuban Perahu termasuk ke dalam daerah bahaya letusan vulkanik, sedangkan penggunaan lahannya terus mengalami perubahan, maka melakukan studi tentang perubahan penggunaan lahan menjadi sangat menarik dilakukan terutama dikaitkan dengan kondisi geomorfologi dan ancaman bahaya vulkanik. 1.3. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Identifikasi dan pemetaan penutupan/penggunaan lahan pada 2 (dua) titik tahun yang berbeda dengan menggunakan Citra SPOT (1987) dan Landsat ETM+ (2005). 2. Melakukan analisis hubungan antara penutupan/penggunaan lahan dengan bentuklahan. 3. Melakukan analisis dan pemetaan resiko bencana alam vulkanik yang terdapat di daerah penelitian. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh (inderaja) Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Sensor dipasang pada wahana (platform) dan letaknya jauh dari obyek yang diindera. Tenaga elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek akan ditangkap oleh sensor, sehingga dapat menghasilkan citra yang sesuai dengan wujud aslinya. Setiap sensor mempunyai kepekaan spektral yang terbatas, tidak ada satu sensorpun yang peka terhadap seluruh panjang gelombang elektromagnetik. Sensor juga terbatas kemampuannya untuk mengindera obyek kecil. Batas kemampuan untuk memisahkan setiap obyek dinamakan resolusi. Resolusi suatu sensor merupakan indikator tentang kemampuan sensor atau kualitas sensor dalam merekam obyek. Di dalam citra, resolusi merupakan parameter limit atau daya pisah obyek yang masih dapat dibedakan. Tiga resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor yaitu, resolusi spasial, resolusi spektral, dan resolusi radiometric (Purwadhi, 2001). Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga, baik secara alamiah maupun buatan. Tenaga ini mengenai obyek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke sensor. Ia juga dapat berupa tenaga dari obyek yang dipancarkan ke sensor.Sumber tenaga alamiah yang baik adalah matahari. Gambar 2.1. Sistem Penginderaan Jauh. Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu ( jam, musim) , lokasi, dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang hari lebih banyak bila dibandingkan dengan sore hari. Jumlah tenaga matahari yang diterima dipengaruhi oleh kedudukan matahari terhadap tempat di bumi yang sesuai dengan perubahan musim juga oleh letak tempat di permukaan bumi. Jumlah tenaga yang dapat mencapai bumi disajikan dalam formula: E = Tenaga yang mencapai bumi, f = fungsi, w = waktu (jam/musim pemotretan), l = letak, c = kondisi cuaca. Tenaga yang diterima oleh sensor dapat berupa tenaga pantulan maupun tenaga pancaran yang berasal dari obyek di permukaan bumi. Semakin banyak tenaga yang diterima oleh sensor akan semakin cerah wujud obyeknya pada citra (Sutanto, 1986). Hasil perolehan tenaga yang diterima oleh sensor menghasilkan citra yang menampilkan gambar keadaan wilayah yang diterima oleh sensor pada saat itu. Citra kemudian dilakukan analisis dan interpretasi agar kemudian menghasilkan data informasi seperti peta dan statistik untuk aplikasi yang menunjang untuk informasi lainnya. 2.1.1. Satelit SPOT Menurut Curran (1985, dalam Sutanto, 1987) ‘Le Systeme Probatoire d I’Observation de la Terre’ atau disebut SPOT adalah suatu system satelit Perancis yang merupakan satelit sumberdaya bumi pertama yang diluncurkan oleh Eropa pada tahun 1985. Nama tersebut kurang lebih berarti Sistem Percobaan Pengamatan Bumi. SPOT dikelola oleh Centre National d’Etudes Spatiales (CNES) atau Pusat Nasional Studi Antariksa Perancis yang bekerja sama dengan Belgia dan Swedia. Seri SPOT dirancang untuk beroperasi hingga dasawarsa 1990-an. SPOT-1 baru diluncurkan dengan berhasil pada tanggal 27 Februari1986, dan mengorbit hampir poler, sinkron matahari, dengan ketinggian orbit 832 km. SPOT-1 ini mempunyai frekuensi perekaman ulang atau resolusi temporal 26 hari, dilengkapi dengan dua penyiam bentuk sapu, dua pita perekam, dan perlengkapan telemetri untuk mengirimkan data ke stasiun penerima data di bumi (Purwadhi, 2001). Resolusi spasial citra SPOT-1 adalah 20 m x 20 m untuk band multispektral dan 10 m x 10 m untuk band pankromatik. Saluran spectral masing-masing disajikan pada tabel 2.2 (www.spotimage.com). 2.1.2. Satelit Landsat Landsat (Land Satellite) 1 merupakan satelit sumberdaya bumi pertama yang pada awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite-1) yang diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972. Hingga kini, Landsat telah memiliki 7 seri yang diberi kode Landsat 1, Landsat 2, Landsat 3, dan seterusnya. Landsat merupakan satelit sistem pasif, yaitu satelit yang menggunakan sumber tenaga alamiah berupa tenaga elektromagnetik ialah paket elektrisitas dan magnetisme yang bergerak dengan kecepatan sinar pada frekuensi dan panjang gelombang tertentu, dengan sejumlah tenaga tertentu (Chanlett, 1974 dalam Sutanto, 1986). Tenaga ini tidak tampak oleh mata. Ia hanya tampak bila berinteraksi dengan benda-benda di atmosfer maupun di permukaan bumi. Matahari memancarkan tenaga elektromagnetik ke segala arah, sebagian di antaranya mencapai bumi (Sabin, Jr., 1978 dalam Sutanto, 1986). Landsat memiliki frekuensi perekaman atau resolusi temporal 16 hari, dengan resolusi radiometrik yang mencakup 8 bit. Landsat mencakup 7 band multispektral yang memiliki resolusi spasial sebesar 30 x 30 m dan band pankromatik 15 x 15 m (Samsuri, 2004). Tabel 2.1: Saluran citra dari sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (Landsat 7) Serta kegunaan utamanya. Saluran Kisaran Panjang Gelombang 1 0.45 – 0.52 Gelombang biru 2 0.52 – 0.60 Gelombang hijau 3 0.63 – 0.69 Gelombang merah 4 0.76 – 0.90 Gelombang inframerah dekat 5 1.55 – 1.75 Gelombang inframerah pendek 6 10.40 – 12.50termal Gelombang inframerah 7 2.085 – 2.35 Inframerah pendek 8 0.50 – 0.90 Kegunaan Utama Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan. Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat dan tidak sehat. Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil dan memudahkan pembedaan antara lahan terbuka terhadap lahan bervegetasi. Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta air. Saluran penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air tanaman, kondisi kelembaban tanah. Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal Saluran ini digunakan untuk meningkatkan resolusi spasial. Pankromatik Sumber: Lillesand dan Kiefer (1990, dalam Zakiah, 2007). Tabel 2.2 : Saluran citra dari citra SPOT-1 Mode Band XS Multispektral XS Multispektral XS Multispektral Panchromatique XS1 XS2 XS3 PAN Sumber : SPOT Asia, 2006. Spektral (mikro meter) 0,50 - 0,59 0,61 - 0,68 0,79 - 0,89 0,51 0,73 Resolusi 20 m 20 m 20 m 10 m 2.2. Analisis Citra Digital Citra digital merupakan citra yang elemen-elemenya dinyatakan dengan suatu besaran numerik yang membentuk suatu array. Elemen citra ini disebut sebagai piksel (picture element) yang merupakan bagian terkecil dari gambar citra yang mengandung informasi (Murni, 1992). Analisis citra digital (Image Processing) adalah proses analisis gambar, dimana bentuk masukannya adalah suatu gambar atau suatu berkas citra digital dan bentuk keluarannya adalah suatu deskripsi. Murni (1992) menjelaskan kelebihan dari analisis citra digital sebagai berikut: - Pengolahan data dalam jumlah besar dapat dilakukan lebih cepat dan konsisten; - Dapat melakukan suatu analisis numerik dengan cepat dan konsisten; - Menghasilkan informasi terkuantifikasi; - Memudahkan integrasi informasi-informasi kuantitatif lainnya. - Mampu menganalisis seluruh derajat kecerahan citra secara kuantitatif; - Mampu menganalisis informasi spektral secara kuantitatif. 2.3. Interpretasi Visual Interpretasi visual merupakan pembuatan atau mengkaji foto udara dan/atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Di dalam interpretasi citra, penafsir citra mengkaji citra dan berupaya melalui proses penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi dan menilai arti obyek citra tersebut, dengan kata lain penafsir citra berupaya untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra dan menterjemahkannya ke dalam disiplin ilmu tertentu seperti geologi, geografi, dan lainnya. Di dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra diperlukan tiga rangkaian kegiatan yaitu identifikasi, delimitasi, delineasi : 1. Identifikasi merupakan upaya mencirikan obyek yang telah terdeteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup (Sutanto, 1987). 2. Delimitasi merupakan proses pemisahan yang mengawali delineasi yaitu tahap memisahkan sebaran antar kelas yang satu dengan kelas yang lainnya (Wiradisastra, 1978). 3. Delineasi merupakan suatu bagian dari proses pembuatan peta, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan menarik batas antar satuan-satuan peta (Wiradisastra, 1978). Hasil interpretasi citra sangat tergantung kepada penafsiran citra beserta tingkat referensinya. Tingkat referensi ialah keluasan dan kedalaman penafsiran citra. Ada tiga tingkat referensi yaitu tingkat referensi umum, lokal dan khusus. Tingkat referensi umum yaitu pengetahuan umum penafsiran citra tentang gejala dan proses yang diinterpretasi. Tingkat referensi khusus ialah pengetahuan yang mendalam tentang proses dan gejala yang diinterpretasikan. Sutanto, (1986) menunjukkan sembilan buah kunci unsur interpretasi citra secara visual yaitu: 1. Rona dan warna : Rona (tone/color tone/ grey tone) ialah tingkat kegelapan pada citra. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi obyek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang sering disebut sinar putih. Jadi rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Warna ialah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. 2. Bentuk : Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memeriksa konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. 3. Ukuran : Ukuran ialah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Karena ukuran obyek pada citra merupakan fungsi skala, maka dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus selalu diingat skalanya. 4. Tekstur : Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kiefer, 1979) atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual ( Estes dan Simonett, 1975). 5. Pola : Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah. 6. Bayangan : Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar. Meskipun demikian, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek yang justru lebih tampak dari bayangannya. 7. Situs : Bersama-sama dengan asosiasi, situs dikelompokkan ke dalam kerumitan yang lebih tinggi. Situs diartikan dengan berbagai makna oleh berbagai pakar, salah satunya adalah bahwa situs merupakan letak suatu obyek terhadap obyek lain disekitarnya (Estes dan Simonett, 1975). Di dalam pengertian ini, Monkhouse (1974) menyebutnya situasi, seperti misalnya letak kota (fisik) terhadap wilayah kota (administratif), atau letak suatu bangunan terhadap persil tanahnya. 8. Asosiasi : Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antar obyek yang satu dengan obyek yang lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain. 9. Konvergensi bukti : Di dalam mengenali obyek pada foto udara atau pada citra lainnya, dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu unsur interpretasi citra. Sebaliknya digunakan unsur interpretasi citra sebanyak mungkin. Semakin ditambah jumlah unsur interpretasi citra yang digunakan, semakin menciut lingkupnya ke arah titik simpul tertentu. Inilah yang dimaksud dengan konvergensi bukti (converging evidence). 2.4. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral Menampilkan citra komposit dapat dilakukan dengan memilih kombinasi 3 saluran yang dimasukkan ke dalam layer, yaitu merah, hijau, dan biru (Red Green Blue/RGB). Ketiga layer ini merupakan warna dasar bagi pembentukan warna yang dapat dilihat di layar monitor. Pemilihan jenis band menjadi pertimbangan dalam penggunaan data Landsat ETM+ yang memiliki sistem sensor spektral. (Noviar 2004 dalam Zakiah 2007). Masing-masing band pada Landsat 7 mempunyai informasi spektral dan kegunaan yang berbeda seperti yang tercantum pada Tabel di bawah ini. Perbedaan ini dapat dimanfaatkan untuk membedakan antara obyek yang satu terhadap obyek yang lain. Putra (2003) menyatakan, berkaitan dengan reflektansi (sifat pantulan) obyek dan karakteristik kanal yang dimiliki oleh Landsat ETM+, kombinasi optimum untuk menampilkan citra komposit warna adalah dengan menggunakan 3 band yang terdiri atas satu sinar tampak (band 1, 2, atau 3), satu band dari inframerah dekat (band 4), dan satu band dari inframerah pendek (band 5 atau 7). Kombinasi ini cukup ideal karena menggunakan kanalkanal yang korelasi antar salurannya rendah dan simpangan baku nilai digital pixel (Digital Number/DN) yang bersangkutan besar sehingga memberikan keterpisahan yang baik pada saat klasifikasi. Metode kuantitatif untuk memaksimalkan informasi 3 band komposit disebut Optimum Index Factor (OIF) yang dikembangkan oleh Chavez et al. 1982 (dalam Wilkey and Finn, 1996). Metode ini digunakan untuk menentukan kombinasi band yang dapat menyajikan informasi lebih banyak. OIF mampu mengurutkan kombinasi 3 kanal berdasarkan total simpangan baku dan koefisien korelasi dari 3 saluran tersebut agar citra yang di-display menyajikan informasi sebanyak mungkin. Semakin tinggi nilai OIF, maka semakin tinggi pula variasi informasi yang disajikan. Secara matematis, OIF dihitung sebagai berikut: Dimana Si, Sj, dan Sk adalah simpangan baku band ke i, j, dan k, sedangkan rij, rik, dan rjk adalah koefisien korelsi antar band. 2.5. Fusi Citra Fusi citra merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk mengintegrasikan data spasial sehingga informasi spasial dan spektral dari setiap data tersebut digabungkan untuk menghasilkan data baru yang lebih baik (Jurio dan Van Zuidam, 1998 dalam Tejo, 2003). Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk fusi citra (resolution merge), yaitu Principal Components Merge; Multiplicative; dan Brovey Transform. Principal Components Merge merupakan metode penggabungan 2 citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Components Analysis/PCA). Karson (1982 dalam Putra, 2003) menyatakan bahwa tujuan dilakukannya analisis komponen utama adalah untuk memperoleh peubah baru (komponen utama) yang tidak saling berkorelasi tetapi menyimpan informasi yang terkandung pada peubah asal. Multiplicative merupakan suatu teknik fusi yang digunakan untuk meningkatkan intensitas citra sehingga kenampakan kultural di permukaan bumi dipertegas pada citra tersebut. (Zakiah, 2007). Brovey Transform merupakan suatu teknik fusi yang telah dikembangkan untuk meningkatkan kontras secara visual pada citra. Oleh sebab itu, metode ini tidak cocok bagi mereka yang ingin tetap mempertahankan nilai radiometer yang asli. Berbeda dengan kedua metode diatas, dalam metoe ini 3 band telah ditentukan terlebih dahulu untuk dimasukkan ke dalam perhitungan matematis. (Zakiah, 2007). 2.6. Penajaman Multispasial Penajaman multispasial merupakan satu atau banyak operasi yang dapat digunakan untuk memproses gambar secara digital agar dapat membantu dalam interpretasi secara visual atau mengekstrak informasi kuantitatif yang penting bagi pengguna. Filtering merupakan salah satu dari proses penajaman citra yang bertujuan untuk meratakan distorsi (smooth noise), enhance edges, juga menonjolkan (highlight) fitur-fitur linear atau spasial dalam citra (ER Mapper, 2006). 2.7. Penutup/Penggunaan Lahan Istilah penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tersebut. Informasi tentang penutup lahan pada umumnya dapat dikenali dengan mudah pada citra penginderaan jauh. Untuk menafsir penggunaan lahan pada citra penginderaan jauh didasarkan pada informasi penutup lahannya. Karena informasi penggunaan lahan pada citra penginderaan jauh didasarkan pada informasi penutup lahannya. (Fakultas Geografi UGM – Bakosurtanal, 2000). Contoh penutup/penggunaan lahan adalah hutan, semak belukar, persawahan, permukiman, dan sebagainya. 2.8. Bentuklahan Istilah bentuklahan memiliki berbagai arti tergantung dari sudut pandang disiplin ilmu tertentu. Ahli geologi mendefinisikan bentuklahan dalam arti sifat-sifat permukaan yang memberikan fakta mengenai struktur geologi dan corak-corak kerak bumi. Ahli kehutanan mengartikan bentuklahan sebagai petunjuk penting baik mengenai sifat-sifat fisik dan kimia tanah maupun arti yang dapat tampak dari suatu corak permukaan bumi atau kombinasinya. Ahli tanah menekankan bentuklahan untuk pengenalan bahan induk tanah, tekstur tanah, potensi kesuburan, kelembaban tanah, drainase tanah, dan tingkat kepekaan terhadap erosi. 2.9. Jenis-jenis Bentuklahan Berdasarkan Morfogenesis Jenis-jenis bentuklahan menurut morfogenesisnya dapat dibagi menjadi 11 macam, yaitu (Demek, 1972): 1) Bentuklahan asal proses tektonik : Bentuklahan yang terbentuk akibat dari adanya proses endogenetik (tenaga/gerakan dari dalam bumi). Contoh bentuklahan asal proses tektonik antara lain adalah patahan. 2) Bentuklahan asal proses magmatik : Bentuklahan yang terbentuk akibat terjadinya proses endogenetik dan aktifitas hidro-thermal. Contoh bentuklahan asal proses magmatik adalah gunungapi. 3) Bentuklahan asal proses fluvial : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya aktifitas aliran air. 4) Bentuklahan Marin : Bentuklahan sekitar laut dan danau. Pembentukannya tidak hanya pada pengaruh dari gelombang air laut tapi juga aktifitas fluvial dan eolian. 5) Bentuklahan Aeolin : Bentuklahan yang terjadi akibat angin yang mengikis batuanbatuan dan memindahkan hasil kikisan ke area lain. Contoh bentuklahan ini adalah sand dunes. 6) Bentuklahan Glasial : Bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat dari aktifitas gunung atau es kontinental. 7) Bentuklahan Lakustrin : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya genangan tubuh air seperti danau. 8) Bentuklahan Denudasional : Bentuklahan yang mengalami proses erosi sehingga terjadi degradasi. 9) Bentuklahan Biologik : Bentuklahan yang terbentuk akibat proses biologis dan organisme. 10) Bentuklahan Pelarutan/Karst : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya proses pelarutan oleh air. Salah satu contoh bentuklahan ini adalah terbentuknya sinkhole pada dataran karst. 11) Antropogenik : Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya perubahan aktivitas manusia. 2.10. Gunungapi Tangkuban Perahu Gunung Tangkuban Perahu merupakan Gunungapi Strato dengan tipe kawah kembar yang terletak pada posisi 6o46’ LS – 107o36’ BT, Kabupaten Bandung Barat Kecamatan Lembang. Gunung ini muncul sebagai fase paling muda dari komplek gunungapi Sunda, sebelah Utara Bandung, setelah ini runtuh dan mengalami sesar. Gunung ini memiliki dua kawah utama yaitu Kawah Upas dan Kawah Ratu dan kelompok kawah parasiter yaitu Kawah Jurig, Kawah Siluman, Kawah Jarian, Kawah Domas, dan Kawah Badak. Puncak G. Tangkuban Perahu Gambar 2.2. G. Tangkuban Perahu di lihat dari sisi Selatan (Cihideung, Parongpong). 2.11. Kegiatan Gunungapi Tangkubanparahu Gunungapi Tangkuban Perahu adalah gunungapi baru yang muncul dan membangun diri di bagian sebelah Timur Kaldera Sunda. Riwayat letusan Gunungapi Tangkuban Perahu dapat dibagi menjadi 3 perioda berdasarkan coraknya yakni: A. Fase eksplosifa (ledakan) Selama fase ini bahan lepas segala ukuran bertubi-tubi dilontarkan, menutupi gunungapi sekelilingnya dan dihanyutkan sebagai lahar. B. Fase efusiva Fase ini menghasilkan aliran lava yang bersusunan andesit olivin augit basaltik. C. Fase pembentukan Gunung Tangkuban Perahu yang sekarang. (Van Bemmelen 1934 dalam Kusumadinata, 1979) Letusan Gunungapi Tangkuban Perahu selama ini pada umumnya kecil, dapat dibahas oleh para ahli Belanda Junghuhn, Verbeek-Fennema dan Stehn. Sedangkan gas lemas yang mengandung H2S, CO2 dan CO yang muncul di beberapa tempat sekitar puncak. Sejarah aktifitas Gunungapi Tangkuban Perahu secara singkat disajikan pada tabel 2.2. Menurut Kusumadinata, 1972 Letusan Gunungapi Tangkuban Perahu dewasa ini tergolong perioda C, atau letusan esplosifa yang relatif kecil dan aliran lava tidak terjadi dan letusan kecil terjadi tahun 1952. Diperkirakan bahwa jangka waktu istirahat antara dua letusan yang besar dari Gunungapi Tangkuban Perahu adalah antara 30-75 tahun sekali. Hal ini dapat dilihat dari ikhtisar letusan Gunung Tangkuban Perahu yang nyata (Tabel 2.1). Tabel 2.3. Ikhtisar Letusan Gunungapi Tangkuban Perahu Yang Nyata (Reskowirogo,1990) TAHUN 18291846 18461896 18961900 19001952 (?) KETERANGAN Istirahat 17 tahun, kenaikkan kegiatan 1842. Istirahat selama 50 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat selama 1862, 1864, 1888, 1891, 1892, dan 1895. Istirahat selama 4 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat dalam 1908 dan 1909. Istirahat 52 tahun, kenaikkan kegiatan tercatat dalam 1913, 1920, 1926, 1929, dan 1935. Istirahat (?) tahun. Kenaikkan kegiatan atau letusan kecil tercatat dalam 1957, 1960, 1961, 1965, 1967, 1969, 1971, 1984, 1986, 2002, dan 2005. Tabel 2.4. Sejarah Keaktifan Gunung Tangkuban Perahu TAHUN 1829 1846 1862 1887 1888 1910 1929 1935 19461947 1950 1952 KETERANGAN Antara 4-7 April, terus-menerus selama 3 hari 3 malam terjadi letusan abu dan batu di Kawahratu dan Domas (Junghuhn, 1853). Neumann van Padang (1951, p.81) menulis bahwa letusannya bersifat esplosi normal dan hanya terjadi di Kawahratu. Erupsi dalam Kawahratu Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu dan Kawahupas Letusan dalam Kawahratu menghasilkan abu dan skorea Pada 20 Mei terjadi letusan lumpur dalam Kawahecoma (Natuurk. Tjidschr. Nedrl. Ind. 1930), semprotannya mencapai ketinggian 10 m. Neumann van Padang (1951, p.81) lagi mencantumkannya sebagai letusan phreatik. Kenaikan Kegiatan dalam Kawahratu. Terjadi sebuah celah di dasar Kawahratu, sebelah Baratlaut Kawahecoma, selebar 1m dan sepanjang lk 50 m. Pada 27 April muncu beberapa fumarola baru di sebelah Utara dalam Kawahbadak. (Mandrapport Vulkanol. Onderz., April 1935) Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu, awan uap mencapai ketinggian lk 100 m. Desember-Januari. Kenaikkan kegiatan (?) Kegiatan dalam Kawahratu. Pada 22 April tampak bara api pada kelompok fumarola. Pada 9 Mei Kawahecoma giat, pada 11 Mei tampak awan hitam mengepul setinggi lk 25 m. Hujan abu tipis sebelah Barat kawah (Suryo, 1952). 1957 Dalam Januari terjadi lubang letusan baru dalam Kawahbaru. Kegiatan dalam Kawahratu. Pada 22 April tampak bara api pada kelompok 1952 fumarola. Pada 9 Mei Kawahecoma giat, pada 11 Mei tampak awan hitam mengepul setinggi lk 25 m. Hujan abu tipis sebelah Barat kawah (Suryo, 1952). 1957 Dalam Januari terjadi lubang letusan baru dalam Kawahbaru. Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu, peluasan tembusan fumarola. Lahirnya 1960 Lubangletusan 1 Mei. 1961 16 Juli, 1 Agustus. 1965 Februari, Maret, Oktober. 1967 April Kenaikkan kegiatan dalam Kawahratu. Hujan abu tipis mencapai perkebunan the 1969 di sebelah Utara gunung. Mutu daun the karenanya turun. Tabel 2.4. Lanjutan. 1971 Erupsi lumpur pada Kawahratu 1984 Kenaikkan kegempaan 1986 Kenaikan suhu solfatara pada Kawahratu 2002 Peningkatan kegempaan pada bulan Agustus-September 2005 Peningkatan kegempaan 13-15 April III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan dalam rentang waktu Juli-September 2008, sedangkan lokasi penelitian meliputi empat kecamatan yaitu Kecamatan Lembang, Kecamatan Cimenyan, Kecamatan Parompong dan Kecamatan Cisarua. Keempat kecamatan ini merupakan wilayah yang paling dekat dengan Gunung Tangkuban Perahu yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bandung (Kecamatan Cimenyan) dan Kabupaten Bandung Barat 3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah Citra SPOT tahun 1987 dan Citra Landsat ETM+ tahun 2005. Peta Rupabumi skala 1:25000 Lembar Bandung, Lembar Cimahi, Lembar Lembang, Lembar Ujungberung, Lembar Padalarang, Lembar Wanayasa, Peta Geologi Lembar Bandung skala 1:100.000, Peta Bahaya bencana wilayah lokasi, GPS, dan camera digital. 3.3. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari 5 tahap, yaitu (1) Persiapan, (2) Pengumpulan Data, (3) Pengolahan Data, (4) Analisis Data, dan (5) Penyajian Hasil. Adapun diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 3.1. Persiapan meliputi studi pustaka dan penentuan lokasi penelitian. Studi pustaka dilakukan untuk mempelajari sumber-sumber yang mendukung pelaksanaan penelitian. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan sebagai wilayah yang banyak memiliki perubahan penggunaan lahan serta wilayah yang dekat dengan gunung berapi (Tangkuban Perahu). Pengumpulan data dikelompokkan menjadi dua tahap yaitu di laboratorium dan di lapangan. Pengumpulan data di laboratorium di antaranya meliputi interpretasi citra, pembuatan peta kelas lereng digital menurut sistem klasifikasi U.S. Soil Survey Manual, , digitasi peta geologi, geomorfologi, dan bahaya vulkanik lembar Bandung. Interpretasi citra digital untuk penutup/penggunaan lahan dari citra satelit. Sementara pengumpulan data di lapang meliputi pengamatan dan pengecekan hasil interpretasi penutup/penggunaan lahan 1987 dan 2005 dengan kenyataan di lapangan serta melakukan wawancara dengan penduduk setempat mengenai penutup/penggunaan lahan saat sekarang dan di masa lalu. Masing-masing titik wilayah dilakukan pengambilan gambar untuk dapat di sajikan dalam penyajian hasil/laporan. Pengolahan Data dilakukan dengan 3 tahap antara lain registrasi, fusi, dan pemroresan citra digital. Registrasi diawali dengan melakukan registrasi citra SPOT secara image to image registration. Proses ini dilakukan dengan menggunakan software ERDAS IMAGINE 9.1 dimana citra SPOT dikoreksi dengan mengacu kepada citra Landsat ETM+ yang telah terkoreksi. Hasil koreksi kemudian diperiksa tingkat kesalahannya melalui RMS error. Nilai RMS error merupakan nilai tingkat koreksi geometri secara keseluruhan dimana rumusnya adalah: ! " " x’,y’ = koordinat titik yang dianggap benar x,y = koordinat titik hasil hitungan (Sumber: Harintaka dan Kartini, 2001.) Nilai RMS error sebaiknya <1, hal ini agar kesalahan titik dalam koreksi adalah tidak lebih dari satu piksel. Bila lebih dari satu piksel, maka koreksi harus diulang kembali. Nilai RMS error pada koreksi geometri citra SPOT adalah 0.95. Fusi Dikarenaka Citra Landsat ETM+ dan citra SPOT memiliki resolusi yang berbeda, maka citra Landsat dilakukan proses fusi citra melalui transformasi Brovey (Brovey Transformation) dengan menggunakan software ERMapper 6.4. Sebelum melakukan fusi, agar dapat menentukan kombinasi band yang terbaik, maka dilakukan pemilihan kombinasi band multispektral dengan menggunakan rumus OIF. Nilai Standard Deviasi dan Korelasi dapat ditentukan melalui software ER Mapper 6.4, dan nilai-nilai tersebut kemudian di masukkan dalam perhitungan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Hasil yang didapat adalah bahwa kombinasi yang terbaik untuk citra Landsat adalah kombinasi band 2-4-5.Fusi citra bertujuan untuk meningkatkan resolusi, karena citra SPOT mempunyai resolusi spasial 20 m, sedangkan citra Landsat mempunyai resolusi spasial 30 m. Dengan fusi citra Landsat dengan band pankromatiknya (resolusi spasial band 8 = 30 m) maka resolusi citra Landsat yang dipakai menjadi 15 m. Proses fusi dilakukan dengan metode Brovey dimana kombinasi band yang akan dipakai ditentukan dan digabungkan terlebih dahulu (pada citra Landsat ini saya gabungkan band 2-4-5 terlebih dahulu). Lalu hasil penggabungan 3 band tersebut di fusikan dengan band pankromatiknya (band 8). Setelah melakukan registrasi citra SPOT dan fusi band pankromatik citra Landsat, maka masing-masing citra dilakukan proses filtering yang bertujuan untuk meratakan distorsi (smooth noise), enhance edges, juga menonjolkan (highlight) fitur-fitur linear atau spasial dalam citra (ER Mapper, 2006). Pemroresan Citra Digital Setelah proses filtering, maka proses klasifikasi siap untuk dilakukan. Proses klasifikasi ini dilakukan dengan menggunakan software ERDAS IMAGINE 9.1. Penggunaan lahan di wilayah studi dilakukan berdasarkngan hasil klasifikasi terbimbing (supervised) pada Citra SPOT (1987) dan Citra Landsat ETM + (2005). Dalam penelitian ini software yang digunakan untuk proses klasifikasi adalah ERDAS IMAGINE 9.1. Proses klasifikasi penggunaan lahan pada masing-masing citra dilakukan dengan mengambil 10 contoh wilayah (polygon) untuk setiap jenis kelas penggunaan lahan (training area). Setelah menentukan polygon-polygon yang mewakili setiap training area, maka dilakukan proses klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan menggunakan parametric rule, parallelepiped. Setelah proses klasifikasi, ditentukan juga nilai akurasi klasifikasi (accuracy assesment). Nilai akurasi pada hasil klasifikasi ditentukan berdasarkan nilai Kappa, dimana semakin rendah nilai kappa maka semakin besar eror yang terjadi dalam pemilihan polygon untuk training area. Nilai akurasi yang kurang dari 60 % (<60%) berarti eror dalam klasifikasi adalah terlalu banyak sehingga perlu diulang. Nilai akurasi pada hasil klasifikasi dengan masing-masing penentuan titik akurasi secara random dan jumlah poin 50 adalah 88% untuk citra Landsat, dan untuk citra SPOT 96%, sehingga tidak perlu dilakukan pengulangan. Agar dapat mempermudah dalam klasifikasi, hasil klasifikasi kemudian dilakukan post classification dimana distorsi piksel-piksel disatukan dengan metode recode, clump, dan eliminate. Clump adalah menggabungkan piksel-piksel yang sama menjadi satu kesatuan dan eliminate adalah membuang piksel-piksel yang terlalu kecil hingga membaur kepada piksel disekelilingnya yang memiliki kesatuan yang lebih besar. Minimal piksel yang dapat tergabung dalam eliminate adalah 10 piksel. Analisis Data. Tahap ini meliputi analisis perubahan penutup/penggunaan lahan, analisis kemiringan lereng setiap bentuklahan, analisis hubungan peggunaan lahan dengan bentuklahan, analisis tingkat resiko bahaya bencana vulkanik , dan analisis tingkat resiko bencana vulkanik di dareah penelitian. Analisis perubahan penutup/penggunaan lahan dilakukan setelah melalui proses klasifikasi dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1. Setelah dilakukan proses klasifikasi masing-masing gambar kemudian dirubah ke dalam bentuk vector (shp) melalui software Arcview GIS 3.3. Dengan menggunakan fitur xtools dari software Arcview tersebut, maka luasan masing-masing penggunaan lahan baik dari tahun 1987 dan 2005 yang di revisi menjadi tahun 2008 yang kemudian disebut peta penggunaan lahan tahun 2008 dapat ditentukan. Kemudian masing-masing hasil vektor baik pada tahun 1987 dan 2008 kemudian di overlay sehingga dapat menentukan adanya perubahan penggunaan lahan dari tahun 1987 hingga 2008. Data disajikan dalam luasan hektar, dan diolah menjadi bentuk tabel menggunakan microsoft excel melalui fitur pivot table. Analisis kemiringan lereng setiap bentuklahan diawali dengan merubah peta bentuklahan (landform) analog menjadi bentuk vektor melalui Arcview. Hal ini dilakukan melalui digitasi on screen. Kemudian membuat peta kelas lereng wilayah penelitian melalui digitasi kontur dari peta Rupabumi Indonesia. Hasil digitasi kontur kemudian dibuat peta DEM dan kemudian dibuat peta kelas lereng melalui fitur model builder yang ada pada software Arcview. Kelas lereng wilayah penelitian adalah berdasarkan ketentuan dari US Soil Survey. Hasil digitasi dari peta bentuklahan dan kelas kemiringan lereng kemudian di overlay. Luasan masing-masing bentuklahan juga luasan dari kelas kemiringan lereng ditentukan melalui fitur xtools yang kemudian diolah menjadi bentuk tabel melalui pivot table di microsoft excel. Data tabel memperlihatkan luasan bentuklahan yang paling dominan (dalam bentuk hektar) yang ada pada kemiringan lereng tertentu, sehinnga dapat menentukan berapa kelas lereng yang paling dominan ada pada setiap bentuklahan di wilayah penelitian. Analisis hubungan penggunaan lahan dengan bentuklahan. Analisis ini dilakukan melalui tumpang tindih antara peta bentuklahan dengan peta penutup/penggunaan lahan. Tumpang tindih antara peta bentuklahan dengan peta penutup/penggunaan lahan dilakukan untuk mendapat informasi hubungan antara faktor fisik wilayah yang berpengaruh terhadap penutup/penggunaan lahan. Faktor fisik wilayah meliputi morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan batuan yang kesemuanya merupakan parameter dari landform. Peta penggunaan lahan yag digunakan adalah peta penggunaan lahan tahun 2008. Luasan masingmasing bentuklahan dan penggunaan lahan ditentukan melalui fitur xtools dan disajikan dalam bentuk tabel melaui pivot table pada microsoft excel. Tabel ini menyajikan luasan penggunaan lahan yang paling dominan pada masing-masing bentuklahan, sehingga dapat ditentukan bentuklahan yang paling dominan digunakan untuk penggunaan lahan tertentu, terutama untuk jenis penggunaan lahan yang paling pesat perkembangannya di wilayah penelitian. Analisis tingkat resiko bahaya bencana vulkanik diawali dengan mempersiapkan peta tingkat bahaya bencana vulkanik analog menjadi dalam bentuk vektor melalui digitasi on screen pada software Arc View. Kemudian dilakukan skoring dari peta tersebut. Dikarenakan jenis bahaya vulkanik yang mengancam bersifat menumpuk atau serentak pada kenyataanya dilapang, maka faktor skoring ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah jenis bahaya yang mengancam pada wilayah tertentu di wilayah penelitian. Dimana wilayah penelitian yang paling banyak terancam oleh jenis bahaya penelitian menjadi wilayah yang paling bahaya tingkat resikonya, sedangkan yang paling sedikit adalah yang paling rendah tingkat resiko bahaya bencana vulkanik. Analisis tingkat resiko bencana vulkanik di daerah penelitian. Analisis ini dilakukan melalui perkalian nilai skoring tingkat resiko bahaya bencana vulkanik dengan nilai skoring penggunaan lahan. Hasil perolehan skoring yang telah dikalikan kemudian dibagi melalui 30 interval sehingga menghasilkan 5 kelas. Skoring penggunaan lahan dilakukan dengan pemberian nilai tertinggi untuk jenis penggunaan lahan yang paling banyak menyangkut jiwa selanjutnya melaui nilai ekonomi pada jenis penggunaan lahan yang ada. Penyajian Hasil adalah penyajian secara tertulis tentang hasil klasifikasi dan analisis dan penyajiannya dalam bentuk peta-peta sehingga terbentuk sebuah laporan yang disajikan dalam bentuk skripsi. Rangkaian metode penelitian ini disajikan secara diagrametis dalam diagram alir seperti pada Gambar 3.1. Bentuklahan Analog Peta RBI Citra Landsat ETM+ 2005 Multispektral Digitasi SPOT 1987 Pankromatik Digitasi Kontur Registrasi Fusi Brovey DEM Bentuk Digital Kelas Lereng Pemroresan Citra Digital Peta Bentuklahan Post Classification Peta Bahaya Analog Tumpang Tindih Penggunaan Lahan 2005 Tentatif Digitasi Penggunaan Lahan 1987 Hubungan Antara Penggunaan Lahan dengan Bentuklahan Peta Bahaya Bentuk Digital Analisis Di Lapang Skoring Penggunaan Lahan 2005 Rev. 2008 Peta Tingkat Bahaya Bencana Penggunaan Lahan 1987 Skoring Tumpang Tindih Peta Tingkat Resiko Vulkanik Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Gambar 3.1. Diagram Alir Tahapan Penelitian IV. LOKASI PENELITIAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari sebagian wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Batas wilayah penelitian yang digunakan adalah pada tingkat administrasi kecamatan yang tercakup dalam Peta Rupa Bumi Indonesia pada skala 1:25.000. Daerah penelitian terletak diantara daerah-daerah administrasi lain, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta, di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Padalarang, dan Kecamatan Cikalong Wetan, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cilengkrang dan Kabupaten Sumedang, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ngamprah, dan Kota Bandung (Gambar 4.1). Gambar 4.1. Peta Lokasi Wilayah Penelitian 4.2. Gambaran Umum Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah 3.073,70 km2 dan terletak antara 60,41’ 70,19’ LS dan 1070,22’ - 1080,5’ BT. Kabupaten Bandung berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang disebelah Utara, Kabupaten Cianjur disebelah Barat, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut disebelah Timur, dan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur disebelah Selatan, dan Kota Bandung dan Kota Cimahi di bagian Tengah. Pada tahun 2006, kabupaten yang mempunyai kepadatan penduduk berkisar di atas 2.000 jiwa/km2 sebanyak 19 kecamatan yaitu : Cicalengka, Rancaekek, Majalaya, Solokanjeruk, Ciparay, Baleendah, Banjaran, Cangkuang, Pameungpeuk, Katapang, Soreang, Cihampelas, Margaasih, Margahayu, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Cileunyi, Ngamprah, dan Padalarang. Dengan 3 Kecamatan yang memiliki kepadatan tertinggi yaitu Margaasih (6.648 jiwa/km2), Dayeuhkolot (10.255 jiwa/km2), dan Margahayu (10.861 jiwa/km2). (BPS Kabupaten Bandung, 2007). 4.2.1. Gambaran Umum Kecamatan Lembang Kecamatan Lembang memiliki luas wilayah 982.654 km2 dan terletak berbatasan dengan Kabupaten Subang di bagianUtara, Kecamatan Parongpong di sebelah Barat, Kabupaten Sumedang di bagian Timur, dan Kecamatan Cimenyan di sebelah Selatan. Kecamatan ini mempunyai topografi dataran hingga dataran bergelombang dengan kemiringan lereng dominan 22-55% dan elevasi antara 1.200 m sampai dengan 1.475 m dari permukaan laut. Pada tahun 2006, Kecamatan Lembang memiliki 16 desa dan tidak memiliki kelurahan. Jumlah penduduk Kecamatan Lembang adalah 161.205 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 83.219 jiwa dan perempuan 77.906 jiwa. Kepadatan penduduk di Kecamatan Lembang adalah 1.641 jiwa/km2. Kelompok umur produktif di kecamatan ini antara lain, 46.833 jiwa untuk penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, 107.198 jiwa untuk penduduk yang berusia 15 – 64 tahun, dan 7.172 untuk penduduk yang berusia diatas 65 tahun. Hingga tahun 2006, beberapa komoditas pertanian yang dapat dihasilkan di Kecamatan Lembang antara lain Padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang merah, bawang daun, bawang merah, kubis, tomat, cabe besar, kentang, kacang panjang, buncis, dan labu siam. Di antara komoditi-komoditi tersebut, tanaman kubis adalah tanaman yang paling menghasilkan yang ditanam di atas lahan dengan luas tanah sekitar 255 Ha dan rata-rata produksi adalah 375 Kw/Ha. Selain menghasilkan dalam bidang pertanian, Kecamatan Lembang dapat menghasilkan produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2006, jumlah hasil produksi antara lain 1,831,148 kg daging, 35.022.111 kg susu, dan 127.902 kg telur. Jumlah hewan ternak besar di Kecamatan Lembang antara lain untuk sapi perah 17.164 dengan 2.405 ekor jantan dan 14.759 ekor betina. Dan untuk sapi potong 296 ekor dengan 147 ekor jantan dan 149 ekor betina. Sedangkan jumlah hewan ternak kecil di Kecamatan Lembang adalah jenis hewan ayam buras 145.351 ekor dengan 56.642 ekor jantan dan 88.704 ekor betina (BPS Kabupaten Bandung, 2007). 4.2.2. Gambaran Umum Kecamatan Parongpong Kecamatan Parongpong memiliki luas wilayah 433.938 km2 dan terletak berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta di sebelah Utara, Kecamatan Cisarua di sebelah Barat, Kecamatan Lembang di sebelah Timur, dan Kota Bandung di sebelah Selatan. Kecamatan ini mempunyai topografi dataran hingga dataran bergelombang dengan kemiringan lereng dominan 6-13% dan elevasi antara 1.100 m sampai dengan 1.700 m dari permukaan laut. Pada tahun 2006, Kecamatan Parongpong memiliki 7 desa dan tidak ada kelurahan. Jumlah penduduk Kecamatan Parongpong adalah 84.608 jiwa dengan jumlah penduduk lakilaki adalah sebesar 43.660 jiwa dan perempuan sebesar 40.948 jiwa. Kepadatan penduduk di kecamatan ini adalah 1,716 jiwa/km2. Kelompok umur produktif di kecamatan ini antara lain adalah 25.546 jiwa untuk penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, 55.790 jiwa untuk penduduk yang berusia 15 – 64 tahun, dan 3.272 jiwa untuk penduduk yang berusia di atas 65 tahun. Hingga tahun 2006, beberapa komoditas pertanian yang dapat dihasilkan di kecamatan ini antara lain adalah padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, bawang daun, kubis, tomat, cabe besar, sawi, kacang panjang, buncis, terung, bayam, labu siam, dan wortel. Diantara komoditikomoditi tersebut, tanaman labu siam merupakan tanaman yang paling menghasilkan produksi terbesar dengan luas tanam 21 Ha, luas panen 16 Ha, produksi 209.570 Kw, dan rata-rata produksi adalah 13.098 Kw/Ha. Selain menghasilkan dalam bidang pertanian, Kecamatan Parongpong dapat menghasilkan produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2006, jumlah hasil produksi antara lain 384.496 kg daging, 11.214.163 kg susu, dan 82.558 kg telur. Jumlah hewan ternak besar adalah untuk sapi perah 5.246 dengan 656 jantan dan 4.590 betina. Sedangkan jumlah hewan ternak kecil adalah jenis hewan ayam buras 118.215 ekor dengan 33.629 ekor jantan dan 84.586 ekor betina (BPS Kabupaten Bandung, 2007). 4.2.3. Gambaran Umum Kecamatan Cisarua Kecamatan Cisarua memiliki luas wilayah 553.641 km2 dan terletak berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta di sebelah Utara, Kecamatan Cikalong Wetan dan Kecamatan Padalarang di sebelah Barat, Kecamatan Parongpong di sebelah Timur, Kota Bandung dan Kecamatan Ngamprah di sebelah Selatan. Kecamatan ini mempunyai topografi dataran hingga bergelombang dengan kemiringan lereng dominan 6-13% dan elevasi antara 1.000 m sampai dengan 1.900 m dari permukaan laut. Pada tahun 2006, Kecamatan Cisarua memiliki 8 desa dan tidak ada kelurahan. Jumlah penduduk Kecamatan Cisarua adalah 62.212 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki adalah sebesar 30.900 jiwa dan perempuan sebesar 31.312 jiwa. Kepadatan penduduk di kecamatan ini adalah 1.124 jiwa/km2. Kelompok umur produktif di kecamatan ini antara lain adalah 15.038 jiwa untuk penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, 42.642 jiwa untuk penduduk yang berusia 15 – 64 tahun, dan 4.532 jiwa untuk penduduk yang berusia di atas 65 tahun. Hingga tahun 2006, beberapa komoditas pertanian yang dapat dihasilkan di kecamatan ini antara lain adalah padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, bawang daun, kubis, tomat, cabe besar, sawi, kacang panjang, buncis, bayam, dan wortel. Diantara komoditi-komoditi tersebut, tanaman tomat merupakan tanaman yang paling menghasilkan produksi terbesar dengan luas tanam 56 Ha, luas panen 56 Ha, produksi 21.870 Kw, dan ratarata produksi adalah 390,54 Kw/Ha. Selain menghasilkan dalam bidang pertanian, Kecamatan Cisarua dapat menghasilkan produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2006, jumlah hasil produksi antara lain 371.469 kg daging, 12.537.238 kg susu, dan 45.714 kg telur. Jumlah hewan ternak besar adalah untuk sapi perah 6.187 ekor dengan 972 ekor jantan dan 5.215 ekor betina. Sedangkan jumlah hewan ternak kecil adalah jenis hewan ayam buras 55.142 ekor dengan 19.521 ekor jantan dan 35.621 ekor betina (BPS Kabupaten Bandung, 2007). 4.2.4. Gambaran Umum Kecamatan Cimenyan Kecamatan Cimenyan mulai tahun 2008 mulai masuk kedalam Kabupaten Bandung Barat. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 528.712 km2 dan terletak berbatasan dengan Kecamatan Lembang di sebelah Utara, Kecamatan Parongpong di sebelah Barat, Kecamatan Cilengkrang dibagian Timur, dan Kota Bandung di sebelah Selatan. Kecamatan ini mempunyai topografi bergelombang dengan kemiringan lereng dominan 22-55% dan elevasi antara 812 m sampai dengan 1.550 m dari permukaan laut. Pada tahun 2006, Kecamatan Cimenyan memiliki 7 desa dan 2 kelurahan. Jumlah penduduk Kecamatan Cimenyan adalah 90.708 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 47.968 jiwa dan perempuan 42.740 jiwa. Kepadatan penduduk di Kecamatan ini adalah 1.716 jiwa/km2. Kelompok umur produktif di kecamatan ini antara lain adalah 22.132 jiwa untuk penduduk yang berusia 0 – 14 tahun, 61.932 jiwa untuk penduduk yang berusia 15 – 64 tahun, dan 6.644 jiwa untuk penduduk yang berusia diatas 65 tahun. Hingga tahun 2006, beberapa komoditas pertanian yang dapat dihasilkan antara lain padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang merah, bawang daun, bawang merah, kubis, tomat, cabe besar, dan kentang. Diantara komoditi- komoditi tersebut, tanaman kubis merupakan tanaman yang paling menghasilkan produksi terbanyak dengan luas tanam yang digunakan adalah 138 Ha, Luas panen 245 Ha, produksi yang dihasilkan sebesar 72.479 Kw, dan rata-rata produksi adalah sebesar 296 Kw/Ha. Selain menghasilkan dalam bidang pertanian, Kecamatan Cimenyan dapat menghasilkan produksi daging dan telur. Pada tahun 2006, jumlah hasil produksi antara lain 7.081.998 kg daging dan 248.231 kg telur. Jumlah hewan ternak besar di Kecamatan Cimenyan adalah untuk sapi potong 1.521 ekor dengan 621 ekor jantan dan 900 ekor betina. Sedangkan jumlah hewan ternak kecil di Kecamatan Cimenyan antara lain untuk jenis hewan ayam buras 56.008 ekor dengan 18.992 ekor jantan dan 37.016 ekor betina. Dan untuk ayam petelur 23.022 ekor dengan 23.022 ekor betina (BPS Kabupaten Bandung, 2007). . V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemilihan Saluran Kombinasi Multispektral Pada penelitian ini dilakukan proses fusi terlebih dahulu terhadap citra Landsat ETM+ tahun 2005, hal ini dikarenakan resolusi citra Landsat (30 m) adalah lebih rendah di bandingkan dengan resolusi citra SPOT (20 m), sehingga perlu dilakukan fusi. Pemilihan fusi yang dilakukan untuk penelitian adalah dengan menggunakan metode Brovey (Brovey Transformation) dimana pada metode ini, ditentukan terlebih dahulu kombinasi band yang akan di pakai sebelum di lakukan fusi. Untuk menentukan kombinasi yang terbaik, ditentukan berdasarkan nilai OIF. Nilai OIF merupakan suatu metode kuantitatif memaksimalkan nilai kombinasi yang terbaik untuk proses klasifikasi citra. Nilai OIF ditentukan dengan membagi antara nilai standard deviasi dan nilai korelasi masing-masing citra pada setiap kombinasi yang ada (rumus OIF pada Tinjauan Pustaka sub bab 2.4). Nilai standard deviasi dan nilai korelasi dapat ditentukan melalui ER Mapper yaitu dengan mengkalkulasi nilai statistik citra. Hasil nilai kalkulasi menampilkan nilai standard deviasi dan nilai korelasi pada setiap band yang ada di citra. Dengan menggunakan rumus OIF, maka hasilnya adalah sebagai berikut (Tabel 5.1.) Berdasarkan Tabel 5.1, dapat dilihat hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai OIF yang tertinggi adalah pada kombinasi 123. Namun Kombinasi band 123 dan kombinasi lain yang menggunakan band 1 tidak digunakan. Hal ini disebabkan band 1 memiliki kisaran panjang gelombang yang kecil sehingga hamburannya tinggi. Maka meskipun nilai OIF tinggi, tapi hasilnya akan tampak baur. Untuk itu, digunakan kombinasi band dengan nilai OIF tertinggi selain dengan menggunakan band 1, pada hasil saya didapatkan kombinasi band 245 yang terbaik, dan kombinasi tersebut adalah yang digunakan untuk proses fusi. Tabel 5.1. Nilai OIF setiap kombinasi pada Citra Landsat ETM+ 2005 Kombinasi jum std korelasi OIF 123 110,14 2,86 38,51 124 108,73 2,334 46,585 125 112,32 2,451 45,827 127 100,14 2,605 38,44 128 103,88 2,664 38,992 134 108,01 2,259 47,814 135 111,61 2,41 46,309 137 99,417 2,586 38,444 138 103,16 2,593 39,783 145 110,2 2,255 48,867 147 98,007 2,224 44,068 148 101,75 2,361 43,095 157 101,6 2,406 42,228 158 105,34 2,412 43,674 178 93,153 2,47 37,714 234 99,655 2,405 41,437 235 103,25 2,569 40,19 237 91,06 2,739 33,246 238 94,801 2,719 34,866 245 101,84 2,446 41,635 5.2. Karakteristik Penutupan Lahan/Penggunaan Lahan Pada Citra Penggunaan Lahan yang didapatkan pada penelitian ini meliputi 7 kelas penggunaan lahan antara lain (1) Badan air, (2) Hutan, (3) Perkebunan, (4) Tegalan, (5) Kawah, (6) Permukiman, dan (7) Sawah. Masing-masing karakteristik pada masing-masing citra memiliki kenampakan yang berbeda pada citra SPOT dan Landsat. (Gambar 5.1. dan Gambar 5.2). Adapun karakteristik jenis penggunaan lahan pada masing-masing citra disajikan sebagai berikut : Hutan, kenampakan hutan di Citra SPOT berwarna biru sedangkan di citra Landsat berwarna hijau gelap, dengan tekstur lebih kasar. Penutupan/Penggunaan Lahan dominan di bagian Utara daerah penelitian dengan topografi berbukit. Hal ini dapat dilihat pada citra pankromatik dimana kenampakan topografi terlihat secara lebih tegas. Berdasarkan pengecekan lapang, kawasan hutan didominasi oleh tanaman pinus. Adapun contoh kenampakan di citra disajikan pada gambar di bawah ini. Citra Landsat Band 542 Gambar 5.1. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Hutan Pada Citra dan di Lapangan. Badan air , kemanpakan badan air di citra SPOT berwarna gelap menyerupai bayangan sedangkan di citra Landsat berwarna biru gelap. Badan air yang paling tampak pada citra adalah di bagian Utara citra khususnya di danau Situ Lembang. Contoh kenampakan di citra dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 5.2. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Badan Air Pada Citra. Perkebunan, kenampakan perkebunan di citra SPOT berwarna biru cerah sedangkan pada citra Landsat berwarna hijau cerah dengan tekstur halus. Perkebunan memiliki topografi yang relatif berbukit. Perkebunan pada wilayah penelitian terletak di bagian Utara penelitian. Berdasarkan hasil pengecekan di lapang, perkebunan didominasi oleh tanaman teh. Kenampakan di Lapang (PTPN.Pangheotan) Gambar 5.3. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Perkebunan Pada Citra dan di Lapangan. Tegalan, kenampakan tegalan di citra SPOT dan citra Landsat memiliki karakteristik yang sama dengan penutupan/penggunaan lahan perkebunan, namun dari asosiasinya tegalan terletak di antara/relatif dekat dengan permukiman. Tegalan menempati topografi yang datar hingga berbukit. Berdasarkan hasil pengecekan lapang, tanaman tegalan didominasi oleh tanaman sayuran seperti kol, tomat, cabai, dan lejet. Adapun contoh kenampakan di citra disajikan pada gambar di bawah ini. Citra Landsat Band 542 Gambar 5.4. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Tegalan Pada Citra dan di Lapangan. Permukiman, kenampakan permukiman di citra SPOT berwarna kuning cerah sedangkan pada citra Landsat berwarna pink kemerahan. Penutupan/penggunaan lahan permukiman menempati topografi yang datar. Pola permukiman cenderung mengelompok dan berada pada wilayah yang datar, dominan pada bagian lereng tengah wilayah penelitian. Hasil pengecekan lapang menunjukkan bahwa bangunan yang termasuk dalam kategori permukiman adalah kompleks perumahan, rumah toko, dan tempat penginapan. Adapun contoh kenampakan pada citra disajikan pada gambar dibawah ini. Citra Landsat Band 542 Gambar 5.5. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Permukiman Pada Citra dan di Lapangan. Sawah, kenampakan sawah di citra SPOT berwarna lebih cerah daripada tegalan dan memiliki pola berpetak-petak (apabila di zoom-in) sedangkan pada citra Landsat berwarna biru muda dan umumnya pada lembah-lembah bekas sungai. Hal ini juga dipastikan dengan mencocokkan melalui data penggunaan lahan pada peta Rupabumi Indonesia tahun 2001. Contoh kenampakan pada citra disajikan pada gambar di bawah ini. Gambar 5.6. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Sawah Pada Citra. Kawah, kenampakan kawah di citra SPOT berwarna kuning menyerupai permukiman sedangkan pada citra Landsat berwarna ungu. Kawah ini terletak di bagian Utara wilayah penelitian dan merupakan kawah dari G. Tangkuban Perahu. Contoh kenampakan pada citra disajikan pada gambar di bawah ini. Gambar 5.7. Kenampakan Penutupan/Penggunaan Lahan Kawah Pada Citra. Hasil citra Landsat dan citra SPOT yang digunakan untuk proses klasifikasi dapat dilihat pada Gambar 5.9 dan 5.10. 5.3. Penyebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987 di Wilayah Studi Penggunaan lahan 1987 diperoleh dari pemroresan citra digital citra SPOT 1987 dengan nilai kappa 96%. Hal ini berarti nilai akurasi hasil klasifikasi adalah bagus. Adapun penyebaran penggunaan lahan tahun 1987 disajikan pada Gambar 5.11, sedangkan penyebaran luas penggunaan lahan disajikan pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.8. Tabel 5.2. Jenis Penutupan.Penggunaan Lahan dari Citra SPOT 1987 dan Luasannya Penggunaan Lahan Air Hutan Lahan Terbuka/Kawah Perkebunan Permukiman Sawah Tegalan Jumlah Luas (Ha) 57.15 9073.04 30.39 145.26 2115.12 5938.09 7187.30 24546.36 Luas (%) 0.23 36.96 0.12 0.59 8.62 24.19 29.28 100 10000 8000 (Ha) 6000 4000 2000 0 Gambar 5.8.. Jenis Penutupan/Penggunaan lahan dari Citra SPOT 1987 dan luasannya. Berdasarkan pada Tabel 5.2 dan Gambar 5.8 tampak bahwa hutan mendominasi daerah penelitian seluas 9.073,04 Ha (36,96%). Luas penggunaan lahan hutan ini diikuti oleh penggunaan lahan tegalan, sawah, dan permukiman masing masing-masing masing 29,28%, 24,19%, dan 8,62%. Adapun grafik masing masing-masing masing penggunaan lahan disajikan pada Gambar 5.8. 5.4. Penyebaran Penggunaan Lahan Tahun 2005 verifikasi 2008 di Wilayah Studi Penyebaran luas penutup/penggunaan lahan di daerah penelitian yang dihasilkan dari citra Landsat tahun 2005 revisi 2008 disajikan pada Gambar 5.12. Berdasarkan hasil klasifikasi penutup/penggunaan lahan dari citra Landsat tahun 2005 dan hasil cek lapangan pada tahun 2008 (selanjutnya disebut penutup/penggunaan lahan 2008) terlihat bahwa jenis penutup/penggunaan lahan tegalan menempati luas yang paling besar, yaitu 12 12.268,16 Ha atau 49,98% dari luas total al wilayah penelitian (Tabel 5.3 5.3). Jenis penggunaan lahan yang mendekati luas tegalan adalah penggunaan lahan hutan, seluas (32.68%) disusul berturut-turut turut permukiman (15,14%), sawah (0, (0,97%), perkebunan erkebunan (0.95%), tubuh air (0,16%), 6%), dan lahan terbuka/kawah (0, (0,11%). . Gambar 5.9. : Citra Landsat Yang Digunakan Untuk Klasifikasi Setelah Melalui Proses Fusi dan Filtering. Gambar 5.10. : Citra SPOT Yang Digunakan Untuk Klasifikasi. Gambar 5.11. Contoh Penggunaan Lahan dan tampak pada Citra SPOT band 123 Gambar 5.12. Contoh Penggunaan Lahan dan tampak pada Citra Landsat ETM+ band 542 Berdasarkan Tabel 5.3 dan Gambar 5.13, penggunaan lahan untuk pertanian.(sawah dan tegalan) masih dominan di daerah penelitian (sekitar 50%), namun mengalami penurunan seluas 619.67 Ha atau 2.52%. Tabel 5.3. Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan dari Ci Citra tra Landsat ETM+ 2008 dan luasannya Penggunaan Lahan Tegalan Luas (Ha) 39,91 8.021,48 30,39 232,3 3.716,57 237,56 12.268,16 Jumlah 24.546,36 Air Hutan Lahan Terbuka/Kawah Perkebunan Permukiman Sawah Luas(%) 0,16 32,68 0,11 0,95 15,14 0,97 49,98 100 14000 12000 10000 8000 (Ha) 6000 4000 2000 0 Gambar 5.13.. Jenis Penutupan/Penggunaan lahan dari Citra LANDSAT ETM+ 2008 dan luasannya. 1987-2008 5.5. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1987 Berdasarkan Tabel 5.4,, di antara 6 jenis penggunaan lahan yang ada, penggunaan lahan sawah memiliki persentase perubahan penggunaan lahan yang paling ti tinggi nggi yaitu menurun sebesar 23,22% (5.700,53 53 Ha). Sebaliknya penggunaan lahan permukiman dan tegalan mengalami pertambahan luas berturut berturut-turut turut sebesar 6,52 % (1.601,45 Ha) dan 20,70% (5.080,86 Ha). Tabel 5. 4. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008 Jenis Penggunaan Lahan Air Hutan Kawah Perkebunan Permukiman Sawah Tegalan Total 1987 Luas (Ha) 57,15 9.073,04 30,39 145,26 2.115,12 5.938,09 7.187,30 24.546,36 Luas(%) 0,23 36,96 0,12 0,59 8,62 24,19 29,28 100 2008 Luas(Ha) 39,91 8.021,48 30,39 232,30 3.716,57 237,56 12.268,16 24.546,36 Luas(%) 0,16 32,68 0,11 0,95 15,14 0,97 49,98 100 Presentase Perubahan -0,07% -4,28% Tetap 0,35% 6,52% -23,22% + 20,70% Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat dan hasil analisis spasial, terlihat bahwa pola perubahan penggunaan lahan di daerah penelitian bersifat bertahap, yaitu penggunaan lahan sawah berubah menjadi tegalan, lalu tegalan berubah menjadi permukiman. Sedangkan untuk penggunaan lahan hutan umumnya berubah menjadi tegalan. Perubahan penggunaan lahan ini dapat pula disimak dari Tabel 5.5. Tabel 5.5. Sebaran Penggunaan Lahan Tahun 1987-2008 Penggunaan Lahan Tahun 1987 Penutupan Penggunaan Lahan Tahun 2008 Air Air 57,15 Hutan Kawah Perkebunan Permukiman -5,58 * * -2,69 Hutan -2,87 9.073,0 4 * -50,85 -100,23 Sawah -0,61 -272,93 Tegalan -8,36 -624,68 TOTAL LUAS TAHUN 2008 8.021,4 (Ha) 39,91 8 (Angka cetak tebal = Total Luas Tahun 1987) Kawah * Kebun * Permukima n +2,89 Sawah -0,65 * 30,39 * * +85,15 * 145,26 * +209,25 * +16,30 2.115,12 -571,56 * -0,04 -1.376,81 * * +0,03 +1,86 +1.372,59 +0,42 5.983,09 -3.796,47 30,39 232,30 3.716,57 237,56 Tegalan +8,96 +1.302,2 9 * +2,31 +0,42 +3.779,3 5 7.187,30 12.268,1 6 Berdasarkan Tabel 5.5 terlihat bahwa penyusutan penggunaan lahan sawah sebagian besar berubah menjadi lahan tegalan (sebesar 3.796,47 Ha) dan ini seiring waktu akan berubah lagi menjadi permukiman (sebesar 1.376,81 Ha). Hal ini dapat di lihat berdasarkan hasil pengecekan lapang juga melalui wawancara dengan penduduk dimana banyak terbentuk komplek perumahan baru yang dibangun di atas lahan yang dahulu merupakan tegalan. Selain itu, daerah penelitian secara dominan menghasilkan tanaman-tanaman hortikultura seperti kol, cabai, tomat, waluh, dan tanaman hias. Tanaman sayuran dapat menghasilkan 10 ton per hari, sedangkan tanaman hias dapat dijual dengan harga 10.000-100.000 per satuan pot bunga yang tergantung pada jenis tanamannya. Adapun contoh gambar di lapang disajikan di bawah ini. Rumah Komplek Perumahan Pasir Kemiri Garden di Lembang Tegalan Yang Ditanami Tanaman Tomat di Desa Karyawangi Rumah Semai Bibit Tanaman Hias Di Desa Karyawangi Gambar 5.14. Contoh Gambar Penggunaan Lahan di Lapang 5.6. Kondisi Geomorfologi Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi yang berkembang di wilayah tersebut dimana proses vulkanisme mendominasi kenampakan geomorfologi di daerah penelitian. Aspek-aspek geomorfologi yang diuraikan mencakup morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan batuan. 5.6.1. Morfologi Sekurangnya morfografi daerah penelitian terdiri atas dataran, perbukitan, pegunungan, dan lembah, sedangkan gambaran morfometri daerah penelitian disajikan dalam bentuk peta lereng (Gambar 5.15) yang dapat dibedakan menjadi datar (0-2%), landai (2-6%), agak miring (6-13%), miring (13-22%), sangat miring (22-55%), dan curam (>55%). Berdasarkan Gambar 5.15, terlihat bahwa kelas kemiringan lereng yang dominan adalah 22-55% (sangat miring). Penyebaran kelas kemiringan lereng ini terutama berada di bagian Utara daerah penelitian yang mempunyai ketinggian di atas 1.200 m dari permukaan laut dan di bagian tenggara daerah penelitian yang dibatasi oleh patahan Lembang di bagian Utaranya (daerah yang berwarna merah tua). Hal ini menunjukkan bahwa proses patahan dan pengangkatan blok Selatan patahan menyumbang terhadap besarnya kemiringan lereng di wilayah ini yang mempunyai ketinggian antara 700-1.400 m. Morfologi dataran di daerah penelitian terletak di bagian tengah dan berbentuk memanjang arah Timur-Barat (Daerah yang berwarna kuning-biru-hijau). Dataran ini terletak di sebelah Utara patahan Lembang. Hal ini menunjukkan patahan yang mengalami penurunan dan kemudian terisi oleh bahan-bahan piroklastik letusan G. Tangkuban Perahu. Menurut Tjahjono (1998) wilayah ini terisi oleh endapan abu-batuapung (ignimbrite) dari hasil letusan Gunungapi Sunda-Tangkuban Perahu dari beberapa periode letusan plinian, yaitu sekitar 100 ribu, 50 ribu, dan 35 ribu tahun yang lalu. Morfologi perbukitan yang tampak di daerah penelitian adalah Gunung Putri yang merupakan kerucut parasit G. Sunda yang saat sekarang sudah tidak aktif lagi. Selain itu beberapa perbukitan kecil tampak berada di atas patahan Lembang seperti G. Batu dan yang lainnya. Morfologi pegunungan di daerah penelitian membujur dari Barat ke Timur di sepanjang bagian Utara daerah penelitian. Morfologi ini merupakan bagian dari tubuh kompleks gunungapi Sunda (Sunda Complex) yang terletak di bagian Utara Bandung (Van Bemmelen, 1949). Morfologi lembah merupakan salah satu penciri bentuklahan yang berkembang di daerah penelitian. Bentuklahan ini merupakan hasil proses erosi vertikal yang berkembang pada sungai-sungai di daerah penelitian yang mengalir ke arah Selatan. Berhubung material batuan yang mengisi lembah-lembah sungai tersebut terdiri dari bahan ignimbrite maka hasil proses erosi tersebut membentuk tebing-tebing lembah-lembah yang curam. 5.6.2. Morfogenesis Morfogenesis bentuklahan di daerah penelitian didominasi oleh proses Vulkanik. Hal ini sangat wajar disebabkan daerah penelitian merupakan bagian dari kompleks Gunungapi Sunda. Namun demikian beberapa bentuklahan dari morfogenesis yang berbeda juga muncul, seperti tebing patahan (fault scarp) yang dihasilkan oleh proses tektonik, dan dataran Lakustrine yang dihasilkan dari proses genangan air (danau). Dataran ini terletak tepat di bagian Utara patahan Lembang, yang mengindikasikan bahwa terbentuknya danau diakibatkan oleh terbendungnya sungai yang berasal dari kompleks gunungapi Sunda oleh adanya proses patahan yang menghasilkan tebing patahan Lembang. Danau tersebut saat sekarang telah mengering dan menyisakan suatu dataran lakustrin (Tjahjono, 1998). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.17. G. Tangkuban Perahu G. Burangrang G. Putri G. Batu Gambar 5.15. Peta Kelas Lereng Daerah Penelitian Sumber Peta : (Tjahjono, 1998) 5.6.3. Morfokronologi Berdasarkan Peta Geologi, daerah penelitian (Gambar 5.16) seluruh bentuklahan di daerah penelitian terbentuk pada zaman quarter (Quarternary), sedangkan Kerucut Vulkanik Aktif Tangkuban Perahu terbentuk pada zaman Pleistosen-Halosen. Kerucut tersebut terbentuk setelah terjadinya Kaldera Gunung Sunda pada zaman Pleistosen dan berkembang hingga sekarang. 5.6.4. Batuan Berdasarkan pada Peta Geologi pada Gambar 5.16. Jenis batuan induk pada wilayah penelitian dapat dibedakan menjadi 6 formasi, yang diberi kode Qob, Qvu, Qyd, Qyl, Qyt, dan Qyu. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Qob (Hasil gunungapi yang lebih tua) Breksi dan lahar dan pasir tufa berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil. 2. Qvu (Hasil gunungapi yang lebih tua) Breksi gunungapi, lahar, dan lava berselang-seling. 3. Qyd (Tufa pasir) Tufa pasir coklat sangat sarang, mengandung kristal-kristal hornblende yang kasar, lapisan lapilli, breksi, dan lahar lapuk kemerah-merahan. 4. Qyl (Hasil gunungapi tua, lava) Lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya basal dan sebagian telah terpropilitisasikan. 5. Qyt (Tufa berbatu apung) Pasir tufaan, lapilli, bom-bom, lava berongga dan kepingan-kepingan andesit-basal padat yang bersudut dengan banyak bongkah-bongkah dan pecahan batuapung. Berasal dari G.Tangkuban Perahu. 6. Qyu (Hasil gunungapi tua tak teruraikan) Pasir tufaan, lapilli, breksi, lava, aglomerat. Sebagian berasal dari G. Tangkuban Perahu dan sebagian dari G. Tampomas. Gambar 5.16. Peta Geologi Daerah Penelitian Sumber Peta : Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa (1973) 5.7. Bentuklahan Di Daerah Penelitian Berdasarkan kondisi geomorfologi tersebut, daerah penelitian dibagi dalam beberapa jenis bentuklahan yang selengkapnya disajikan pada Gambar 5.17 sedangkan luasannya disajikan pada Tabel 5.6. Dari tabel tersebut terlihat bahwa bentuklahan Lereng Tengah Kompleks Sunda merupakan bentuklahan terluas di daerah penelitian, yaitu 211,64 Ha (45,12%). Tabel 5.6. Jenis Bentuklahan Wilayah Penelitian Jenis Bentuklahan di Wilayah Penelitian Danau Dataran Dasar Kaldera Dataran Laharik Dataran Lakustrin Dinding Kaldera Gunung Sunda Kerucut Lava Denudasional Kerucut Vulkanik Denudasional Kerucut Vulkanik Gunung Tangkuban Perahu Lembah Ignimbritik Denudasional Lereng Talus Tebing Kaldera Lereng Tengah Kompleks Sunda Longsor Lahan Plateau Ignimbritik Tebing Patahan Lembang Grand Total Luas(Ha) 47,82 222,08 192,49 166,23 Luas(%) 0,19 0,90 0,78 0,68 186,23 0,76 457.49 1,86 4.000,83 16,30 1.267,27 5,16 3.526,83 14,37 211,64 0,86 11.076,49 100,27 3.002,79 45,12 0,41 12,23 87,90 0,36 2.4546,36 100,00 Bentuklahan di wilayah penelitian terdiri dari 13 jenis seperti yang tersaji pada Gambar 5.17. Karakteristik singkat dari masing-masing bentuklahan diuraikan sebagai berikut (Tjahjono, 1998) : Dataran Dasar Kaldera. Bentuklahan ini terletak di sekitar lereng kaki kerucut vulkanik Tangkuban Perahu yang mempunyai morfologi dataran atau mempunyai kelas lereng 0-2 %. Bentuklahan ini merupakan endapan piroklastik yang tersusun atas bahan abu-batuapung (ignimbrite) hasil letusan Gunungapi Sunda yang terperangkap di dalam kaldera Sunda. G. Tangkuban Perahu sendiri lahir di dalam kaldera Sunda dan menempati sisi Timur, sehingga pada sisi Barat dan Selatan masih menyisakan dasar dari kaldera yang dikelilingi oleh tebing kaldera yang curam dan berbentuk melingkar di sisi Utara. Dataran Laharik. Bentuklahan ini terletak di sekitar lereng kaki kerucut vulkanik Tangkuban Perahu bagian Utara. Mempunyai bentuk seperti kipas dan di lapangan terdiri atas bongkahan-bongkahan batuan vulkanik. Bentuklahan ini memiliki topografi yang relatif datar dengan kemiringan lereng 6 – 13%. Dataran ini merupakan dataran hasil dari endapan laharik dari G. Tangkuban Perahu. Dataran Lakustrin. Dataran ini terletak di bagian tengah daerah penelitian. Dataran ini memiliki topografi relatif datar dengan kemiringan lereng pada kelas kemiringan 6 – 13%. Dataran ini merupakan dataran hasil pengendapan genangan air danau pada masa lampau yang terbentuk karena tertahannya aliran air sungai diakibatkan oleh terbentuknya tebing patahan Lembang. Seiring dengan waktu, air mencapai suatu celah dan membentuk aliran baru sehingga air danau tersebut menyurut dan meninggalkan dasar danau yang berbentuk dataran. Dinding Kaldera G.Sunda. Bentuklahan ini terdapat di bagian Utara wilayah penelitian, memiliki topografi berbukit dan curam dan memiliki kelas kemiringan lereng 22 – 55%. Bentuklahan ini merupakan bagian dari kaldera G. Sunda yang runtuh dan berbentuk dinding yang melingkar, namun dinding di bagian Selatan dan Timur terkubur oleh endapan ignimbritik. Kerucut Lava Denudasional. Bentuklahan ini terletak di sepanjang patahan Lembang yang merupakan bekas kerucut lava parasit dari G.Sunda yang terbentuk melalui celah (lineament) Lembang pada saat patahan belum terjadi. Pada saat patahan tersebut terbentuk maka sebagian dari tubuh kerucut lava tersebut terangkat dan sebagian yang lain turun. Yang terakhir ini akhirnya terkubur oleh endapan ignimbrite. Gunung Batu di Lembang merupakan contoh dari bentuklahan ini yang memiliki topografi yang berbukit dengan kemiringan lereng dominan 22 – 55%. Kerucut Vulkanik Denudasional. Bentuklahan ini terletak di sepanjang bagian Utara wilayah penelitian, di sebelah Selatan Dataran Dasar Kaldera hingga di ujung Timur. Bentuklahan ini merupakan bagian dari kerucut G.Sunda dan gunungapi-gunungapi lain di Kompleks Sunda. Bentuklahan ini memiliki topografi yang berbukit dengan kemiringan lereng dominan 22-55% dan tersusun oleh perselingan batuan lava dan piroklastik. Kerucut Vulkanik G. Tangkuban Perahu. Bentuklahan ini terletak di bagian Utara wilayah penelitian dan merupakan bagian dari kerucut G. Tangkuban Perahu. Gunungapi ini merupakan gunungapi yang terbentuk di dalam kaldera G.Sunda yang dekat dengan dinding bagian Timur. Topografi bentuklahan ini berbukit dengan kemiringan lereng yang relatif curam antara 22 – 55%. G. Tangkuban Perahu merupakan gunungapi strato-volkano yang berstatus aktif hingga saat ini. Lembah Ignimbritik Denudasional. Lembah ini berada pada bagian tengah dan bagian Selatan wilayah penelitian. Lembah-lembah ignimbritik merupakan lembah-lembah hasil erosi dari sungai-sungai yang mengalir ke arah Selatan. Berhubungan endapan yang dikikis merupakan endapan ignimbritik atau mengandung batu apung maka dinding-dinding lembah tersebut tersusun dari endapan ignimbrite. Dinding-dinding lembah memiliki kemiringan lereng yang relatif curam yaitu 22 -55%. Lereng Talus Tebing Kaldera. Bentuklahan ini terletak di bawah tebing kaldera. Lereng ini terbentuk oleh proses pengendapan hasil erosi dan jatuhan (fall) yang terjadi dari dinding kaldera. Kemiringan lereng dataran ini cukup tinggi yaitu ada pada kemiringan lereng 22 – 55 %. Pada bentuklahan ini banyak ditemui bongkah-bongkah batuan dan kerikil. Lereng Tengah Komplek Sunda. Bentuklahan ini berada di bagian Selatan Kerucut Vulkanik Denudasional yang memiliki topografi relatif berbukit dengan kemiringan lereng dominan 22 – 55 %. Lereng ini sebenarnya merupakan bagian dari lereng G.Sunda dan gunungapi-gunungapi lainnya di dalam Kompleks Sunda, yang terpatahkan dan terangkat oleh proses tektonik yang melahirkan patahan Lembang. Bentuklahan ini juga tersusun oleh batuan lava dan piroklastik yang telah lapuk menjadi tanah. Longsor Lahan. Bentuklahan ini ada pada bagian Utara wilayah penelitian pada sisi bagian Barat Kerucut Vulkanik Tangkuban Perahu. Bentuklahan ini memiliki topografi yang relatif datar dan pada kemiringan lereng 6 – 13%. Bentuklahan ini merupakan hasil endapan dari longsor yang terjadi dari bagian-bagian kerucut vulkanik G.Tangkuban Perahu. Pada bentuklahan ini di temukan banyak bongkahan-bongkahan batuan lava. Plateau Ignimbritik. Dataran ini terletak di bagian tengah wilayah penelitian yang memiliki kemiringan lereng relatif datar yaitu antara 0 – 2%, 2 – 6% dan 6 – 13%. Dataran ini merupakan hasil dari endapan aliran piroklastik ignimbritik dari letusan G.Sunda yang terperangkap di dalam blok patahan Lembang yang turun. Oleh karena itu bentuklahan ini mempunyai topografi yang relatif datar. Tebing Patahan Lembang. Tebing ini terbentang memanjang di bagian tengah wilayah penelitian yang memiliki kemiringan lereng yang curam yaitu >55%. Tebing patahan di daerah Timur adalah yang paling menonjol dikarenakan mempunyai ketinggian lebih dari 100 m dibandingkan dengan tebing yang berada di bagian Barat. Berhubung bentuklahan ini terlihat vertikal, maka pada peta hanya terbentuk garis atau polygon yang sempit memanjang. Tebing ini tersusun atas batu lava dan endapan piroklastik. Gambar 5.17. Peta Bentuklahan Daerah Penelitian Sumber Peta : (Tjahjono, 1998) 5.8. Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan hasil aktifitas manusia di atas bentuklahan, oleh sebab itu hubungan antara keduanya cukup bervariasi tergantung pada kondisi sosial budaya masyarakat dan geomorfologi wilayahnya. Berdasarkan hasil Tabel 5.7, penggunaan lahan tegalan merupakan penggunaan lahan yang paling banyak tersebar di berbagai bentuklahan, yaitu lebih dari 45% menempati bentuklahan plateau ignimbritik, lereng tengah kompleks Sunda, lereng talus tebing kaldera, lembah ignimbritik denudasional, dataran lakustrin, dan dataran dasar kaldera. Adapun penggunaan lahan permukiman paling banyak menempati bentuklahan plateau ignimbritik dan dataran lakustrin, yaitu menempati lebih dari 25% dari luas masingmasing bentuklahan tersebut. Hal ini disebabkan penggunaan lahan tegalan tidak mempunyai kendala morfologi bentuklahan (pada berbagai kemiringan lereng), sedangkan permukiman mempunyai kendala morfologi yaitu hanya pada morfologi yang datar. 5.9. Bahaya dan Tingkat Bahaya Vulkanik Pada daerah penelitian terdapat 7 jenis bahaya vulkanik yang mengancam dan dapat menimpa di dalam wilayah penelitian, yaitu bahaya gelombang piroklastik, bahaya jatuhan piroklastik, bahaya jatuhan batu apung, bahaya aliran lahar, bahaya aliran lava, dan bahaya aliran piroklastik (Tjahjono, 1998). Wilayah yang terancam oleh bahaya vulkanik tersebut disajikan pada Gambar 5.18. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Bahaya Gelombang Piroklastik Bahaya aliran turbulen suspensi campuran gas dan padatan yang bergerak di atas permukaan tanah yang dikaitkan dengan kecepatan tinggi oleh pelepasan gas yang mendadak yang tidak terlalu mengikuti topografi sebagaimana aliran piroklastik. 2. Bahaya Jatuhan Piroklastik Bahaya tephra yang dilontarkan pada sudut tinggi dan diendapkan setelah jauh melewati atmosfer. TABEL 5.7. Tabel 5.7. Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Tahun 2008 AIR 0.38 HTN 80.99 4.82 76.38 LTTGHKMSUN LRGTLUSTBKAL LB.IGNMDN 17.1 0.05 1.02 98.04 37.6 65.97 83.43 18.06 27.65 22.21 2.35 KWH KBN 46.97 PRMKMN 2.28 0.02 18.12 0.01 26.86 14.38 13.43 9.62 12.65 19.41 10.91 8.52 2.5 0.34 22.8 0.279 17.23 0.03 SWH TGLN K.VTP K.VDN K.LVDN Di.KALSUN D.LAK D.LHR DDKAL Danau Jenis Penggunaan Lahan 2008 HUBUNGAN BENTUKLAHAN DAN PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 2008 (% 18.63 45.93 6.5 54 1.95 18.07 0.52 4.26 45.97 1.8 52.67 Keterangan : DDKAL = DATARAN DASAR KALDERA K.LVDN = KERUCUT LAVA DENUDASIONAL LRGTLSTBGKAL = LERENG TALUS TEBING KALDERA D.LHR = DATARAN LAHARIK K.VDN = KERUCUT VULKANIK DENUDASIONAL LONGLHN = LONGSOR LAHAN D.LAK = DATARAN LAKUSTRIN K.VTP = KERUCUT VULKANIK TANGKUBAN PERAHU PLTIGNM = PLATEAU IGNIMBRITIK D.KALSUN = DINDING KALDERA G. SUNDA LB.IGNMDN = LEMBAH IGNIMBRITIK DENUDASIONAL TBPTHLMB = TEBING PATAHAN LEMBANG 47.81 3. Bahaya Aliran Piroklastik Bahaya kepingan padat, dengan/ tanpa partikel yang mencair, tersuspensi dalam gas yang panas dan mengembang didorong oleh gaya gravitasi bergerak/ mengalir secara turbulen di atas permukaan tanah. 4. Bahaya Aliran Lahar Aliran bahan rombakan dari gunungapi yang heterogen bercampur dengan air pada suhu lebih rendah dari titik didih, mungkin dibentuk selama letusan atau proses setelahnya karena lereng yang tidak stabil. 5. Bahaya Aliran Lava Bahaya ini berupa aliran batuan cair pijar yang keluar dari sumber vulkanik dan menuruni lereng melalui lembah yang ada. 6. Bahaya Jatuhan Batu Apung Bahaya ini berupa jatuhan gelas felsic sangat berongga dengan komposisi menengah sampai silika, yang berhubungan dengan letusan eksplosif magma kental yang kaya akan gas. (letusan Plinian). (Peraturan Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2008) dengan modifikasi. Agar dapat melihat tingkat bahaya vulkanik yang menimpa daerah penelitian, maka dilakukan pemberian nilai (scoring) yang ditentukan berdasarkan jumlah jenis bahaya yang menimpa suatu area tertentu di wilayah penelitian dimana tingkat tertinggi merupakan area yang paling banyak diancam oleh proses vulkanik, sedangkan tingkat terendah adalah yang paling sedikit diancam oleh jenis bahaya. Mengingat bahwa sebagian besar jenis bahaya vulkanik ini dapat terjadi bersamaan, dan dapat membahayakan jiwa maupun merusak bangunan, maka jenis bahaya vulkanik ini tidak di beri bobot dalam penelitian ini atau dianggap mempunyai bobot yang sama. Nilai scoring yang ditentukan adalah sebagai berikut. (Tabel 5.8). Gambar 5.18. Peta Bahaya Bencana Daerah Penelitian Tabel 5.8.. Nilai (scoring) Tingkat Bahaya Vulkanik Tingkat Bahaya Vulkanik Tinggi Agak Tinggi Sedang Agak Rendah Rendah Score 5 4 3 2 1 Jumlah Jenis Bahaya Yang Mengancam 5-7 4 3 2 0-1 Berdasarkan penilaian tersebut dapat dihasilkan peta tingkat bahaya vulkanik seperti yang disajikan pada Gambar 5.20. Dari peta tingkat bahaya vulkanik tersebut apabila ditumpang tindihkan dengan peta administrasi daerah penelitian, maka dapat diketahui luas penyebaran wilayah tingkat bahaya vulkanik dari masing masing-masing masing kecamatan seperti yang disajikan pada da tabel 5.9 dan Gambar 5.19. Tabel 5.9.. Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik TINGKAT BENCANA VULKANIK RENDAH AGAK RENDAH SEDANG AGAK TINGGI TINGGI Kecamatan Grand Total (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) Cimenyan 4.841,47 4.699,71 97,07 72,36 1,49 69,41 1,43 0 0 0 0 Cisarua 5.540,55 3.059,44 55,52 1.517,13 27,38 771,15 13,92 75,41 1,36 117,43 2,12 (%) Lembang 9.849,17 3.977,55 40,39 847,5 8,61 2.715,64 27,57 305,55 3,1 2.002,41 20,33 Parongpong 4.314,73 1.138,08 26,38 408,9 9,48 980,38 22,72 53,71 1,24 1.733,72 40,18 Total 24.546,36 12.874,78 2.845,89 434,66 3.853,56 Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi 100 80 (%) 4.536,58 60 40 20 0 Cimenyan Cisarua Lembang Parongpong Gambar 5.19. Jumlah Persen Tingkat Bahaya Bencana Vulkanik Setiap Kecamatan Dari Tabel 5.9 tersebut terlihat bahwa Kecamatan Parongpong merupakan Kecamatan yang paling terancam oleh bahaya vulkanik, karena 64,14% wilayahnya masuk ke dalam tingkat bahaya sedang sampai tinggi sedangkan 35,86% wilayahnya masuk dalam kategori agak rendah sampai rendah. Kecamatan lain yang masuk kedalam kategori terancam besar adalah Kecamatan Lembang dimana 51% wilayahnya masuk ke dalam tingkat bahaya sedang sampai tinggi dan selebihnya masuk ke dalam tingkat agak rendah sampai rendah. Adapun Kecamatan yang paling aman di daerah penelitian adalah Kecamatan Cimenyan karena 98,56% wilayahnya masuk ke dalam kategori tingkat bahaya agak rendah sampai rendah. Berdasarkan hasil tingkat bahaya vulkanik dapat diketahui bahwa untuk Kecamatan Parongpong merupakan kecamatan yang beresiko tertinggi. Sebaliknya Kecamatan Cimenyan merupakan kecamatan dengan tingkat bahaya terendah. 5.10. Resiko Bencana Vulkanik Resiko adalah tingkat kemungkinan mengalami kerugian dari ancaman yang ada pada suatu area tertentu. Dalam penelitian ini, resiko bencana diperoleh dari hasil analisis antara peta tingkat bahaya vulkanik dengan peta penutup/penggunaan lahan tahun 2008. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penilaian (scoring) terhadap jenis penutup/penggunaan lahan yang ada di daerah penelitian. Nilai (scoring) setiap jenis penggunaan lahan ditentukan berdasarkan adanya jumlah jiwa dan nilai ekonomi pada setiap penggunaan lahan. Jiwa manusia dianggap mempunyai nilai yang paling tinggi sehingga penggunaan lahan permukiman diberi score paling tinggi (Tabel 5.10), sedangkan yang lainnya diperhitungkan berdasarkan nilai ekonominya. Perkebunan diberi nilai kedua tertinggi dikarenakan perkebunan yang ada pada wilayah penelitian memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan sawah dan tegalan yang bersifat pribadi. Perkebunan yang ada pada wilayah penelitian merupakan perkebunan teh milik negara (PTPN Pangheotan). Berdasarkan hasil wawancara pegawai PTPN Pangheotan di tempat penelitian, produksinya memiliki kualitas eksport dimana harga teh dapat mencapai $2 / kilogram. Selain hal tersebut, disekitar kawasan perkebunan disediakan tempat wisata alam. Hutan diberi nilai ketiga tertinggi dikarenakan banyak dari kawasan hutan yang juga dijadikan wisata alam yaitu Taman Hutan Raya Djuanda dan Taman Hutan Raya Cikole. Tegalan dan sawah diberi nilai yang sama dan lebih rendah daripada hutan karena lahan sawah dan tegalan masih bersifat pribadi, juga sering mengalami perubahan. Kawah diberi nilai kedua terendah dari air, dikarenakan merupakan pusat terjadinya letusan, namun di daerah sekitar kawah juga dijadikan wisata alam sehingga masih memiliki nilai ekonomis. Badan air diberi nilai terendah karena jumlah badan air tidak terlalu mempengaruhi dinamika ekonomi yang ada pada wilayah penelitian. Resiko bencana selanjutnya dihasilkan dari perkalian antara Tingkat Bahaya x Jenis Penggunaan Lahan, sedangkan Tingkat Resiko bencana dibagi dalam 5 kelas berdasarkan hasil perkalian tersebut. Yang dibagi dengan interval 30 (Tabel 5.11). Berdasarkan cara tersebut selanjutnya dapat dihasilkan Peta Resiko Bencana Vulkanik di daerah penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 5.22. Adapun luasan daerah tingkat resiko dari masingmasing kecamatan disajikan pada Tabel 5.12 dan Gambar 5.21. Tabel 5.10. Nilai (scoring) Jenis Penutupan/Penggunaan Lahan Penutupan/Penggunaan Lahan Score Air Hutan Lahan Terbuka (Kawah) Perkebunan Permukiman Sawah Tegalan 1 15 5 20 30 10 10 Tabel 5.11. Kelas Kisaran Nilai Resiko dan Tingkat Resiko Bencana Tingkat Resiko Bencana Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Nilai Resiko 1 - 29.9 30 - 59.9 60 - 89.9 90 - 119.9 120 - 150 Tabel 5.12.. Tingkat Resiko Bencana Vulkanik TINGKAT RESIKO BENCANA VULKANIK Kecamatan Grand Total RENDAH Ha % Ha % Ha % Ha % Ha % Cimenyan 4.841,91 3.802,42 78,53 1.034,91 21,37 3,58 0,07 1,00 0,02 0,00 0,00 Cisarua 5.540,55 3.778,75 68,20 1.432,44 25,85 169,03 3,05 103,76 1,87 56,57 1,02 Lembang 9.849,17 4.085,80 41,48 3.287,02 33,37 1639,08 16,64 695,44 7,06 141,82 1,44 22,50 1.583,46 36,70 1.327,51 30,77 395,73 9,17 37,20 0,86 Parongpong 4.314,73 970,83 Total 2.4546,36 1.2637,80 (%) AGAK RENDAH 7.337,83 SEDANG 3.139,20 AGAK TINGGI 1.195,93 80 Rendah 70 Agak Rendah 60 Sedang Agak Tinggi 50 Tinggi 40 30 20 10 0 Cimenyan Cisarua Lembang Gambar 5.21. Jumlah Persen Tingkat Resiko Bencana Vulkanik Parongpong TINGGI 235,59 Gambar 5.20. Peta Tingkat Bahaya Vulkanik Daerah Penelitian Gambar 5.22. Peta Tingkat Resiko Bencana Daerah Penelitian Berdasarkan hasil Tingkat Resiko Vulkanik, Kecamatan Parongpong merupakan kecamatan dengan tingkat resiko bencana vulkanik tertinggi. Hal ini dikarenakan 40.80% wilayahnya masuk ke dalam tingkat resiko sedang sampai tinggi. Hal ini diikuti oleh Kecamatan Lembang yang memiliki 25.14% wilayahnya masuk ke dalam tingkat resiko sedang sampai tinggi. Sebaliknya Kecamatan Cimenyan merupakan kecamatan dengan tingkat resiko bencana vulkanik yang rendah. Hal ini dikarenakan Kecamatan Cimenyan mempunyai 99.91% wilayahnya masuk ke dalam tingkat resiko agak rendah hingga rendah. Tingkat Resiko Bencana Vulkanik tertinggi ditentukan berdasarkan hasil penjumlahan dari tingkat sedang hingga tinggi dikarenakan tingkat resiko sedang dan agak tinggi dianggap termasuk perlu dalam pertimbangan karena cukup mempengaruhi dalam resiko. Sedangkan Tingkat Resiko Bencana Vulkanik terendah juga dipertimbangkan melalui penjumlahan agak rendah hingga rendah dikarenakan yang tergolong agak rendah dianggap sudah termasuk dalam tingkat yang rendah dalam perhitungan resiko. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Penggunaan lahan permukiman dan tegalan merupakan 2 jenis penggunaan lahan yang paling besar mengalami pertambahan luas, berturut-turut sebesar 6.52 % (1601.45 Ha) dan 20.70% (5080.86 Ha). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi wisata di Bandung bagian Utara ini mengalami banyak pertumbuhan khususnya pembangunan prasarana wisata seperti hotel, villa, cafe, restoran dan yang lainnya dan juga permukiman baru. Disamping itu, banyak lahan sawah yang berubah menjadi tegalan untuk sayuran, bunga hias, dan tanaman buah yang menjadi komoditi pariwisata. Dengan demikian, aspek pariwisata merupakan sektor yang memicu perubahan penutup/penggunaan lahan di daerah penelitian. Penggunaan lahan tegalan merupakan penggunaan lahan yang paling banyak tersebar di berbagai bentuklahan antara lain bentuklahan plateau ignimbritik, lereng tengah kompleks Sunda, lereng talus tebing kaldera, lembah ignimbritik denudasional, Kerucut Vulkanik Denudasional, Kerucut Lava Denudasional, Dinding Kaldera Gunung Sunda, Dataran Dasar Kaldera, dan dataran lakustrin. Sebaliknya permukiman dominan tersebar hanya pada 2 bentuklahan yaitu bentuklahan plateau ignimbritik dan dataran lakustrin. Hal ini dikarenakan pemakaian lahan untuk tegalan dapat di lakukan di berbagai kemiringan lereng ( tidak ada kendala morfologi), sedangkan untuk permukiman mempunyai kendala morfologi, yaitu pada morfologi yang datar. Dengan demikian, daerah penelitian sebenarnya terancam oleh bahaya erosi yang berasal dari lahan-lahan tegalan, khususnya pada bentuklahan yang mempunyai kemiringan tinggi, sedangkan bentuklahan yang mempunyai morfologi dataran terancam oleh konversi lahan menuju ke ruang terbangun. Kecamatan Cimenyan memiliki ancaman tingkat bencana vulkanik dan tingkat resiko bahaya bencana vulkanik yang paling rendah. Sebaliknya Kecamatan Parongpong memiliki ancaman tingkat bencana dan tingkat resiko paling tinggi diikuti oleh Kecamatan Lembang. Dengan demikian Penataan Ruang di kedua kecamatan tersebut sangat perlu memperhatikan aspek mitigasi agar tidak terjadi bencana yang sangat besar dikemudian hari. 6.2. Saran • Sehubungan dengan adanya perubahan penggunan lahan sawah yang besar menjadi penggunaan lahan permukiman dan tegalan, maka dikhawatirkan bila ini berlanjut terus akan mengakibatkan berkurangnya daerah resapan di daerah penelitian. Selain itu, ancaman bahaya erosi tanah juga cukup besar jika melihat bahwa di lapangan banyak lahan tegalan menempati pada lereng-lereng yang sangat miring. Untuk itu disarankan adanya penelitian tersendiri mengenai ke dua hal tersebut. • Sehubungan dengan tingkat bahaya bencana dan resiko yang tinggi mengancam pada 2 kecamatan yaitu Parongpong dan Lembang, maka disarankan untuk kedua kecamatan tersebut tidak menambah ruang terbangun (permukiman) di wilayahnya. VII. DAFTAR PUSTAKA A. Murni dan S. Setiawan, Pengantar Pengolahan Citra, PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta. Aryad, S. 1r.989, Konservasi Tanah dan Air.Institut Pertanian Bogor Press, Bogor Bemmelen, R.W. Van 1949. The Geology of Indonesia no IA General Geology of Indonesia, Government Printing Office, The Habuc. BPS Kabupaten Bandung. 2007, Kabupaten Bandung Dalam Angka, Kabupaten Bandung. Chanlett, E.T. 1974. Enviromental Protection. McGraw-Hill Book Company, Inc. NewYork. Demek J., 1972 Manual of Detailed Geomorphological Mapping. International Geomorphological Union, Commision on Geomorphological Survey and Mapping.Academic. Prague. ER Mapper, 2006. ER Mapper Professional Tutorial Ver 7.1. Earth Resource Mapping Ltd. Estes. J.E. and D.S. Simonett. 1975. Fundamentals Of Image Interpretation, In: Manual of Remote Sensing Vol. 1. Second Edition. R.N. Colwell: ed-in-chief. American Society of Photogrammetry. Falls Church. Virginia. Fakultas Geografi UGM – Bakosurtanal, 2000. Pembakuan Spek Metodologi Kontrol Kualitas Pemetaan Tematik Dasar Dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang, Yogyakarta. Kerjasama Fakultas Geografi UGM dan Proyek Inventarisasi Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Laut – Bakosurtanal. Goudie, A. 1993, The Nature of The Environment 3rd Ed. Blackwell Publisher Ltd. Harintaka dan Christine N. Kartini, 2001. Penggabungan Citra Satelite SPOT XS Dengan Foto Udara Pankromatik (Studi Kasus Kodya Bandung). Penelitian. Fakultas TeknikUGM, Yogya. Karson, M. J. 1982. Multivariate statistical Methods. The Iowa State University Press. Iowa Kusumadinata K., 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Direktorat Vulkanologi Bandung Kusumadinata K., 1972 MS, Tujuh Buah Terjemahan Mengenai Masalah Kegunungapian Di Hindia Belanda Dan Jepang, Direktorat Geologi Bandung. Lillesand, T.M dan R.W. Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Monkhouse, F.J., 1974, A Dictionary of Geography, Second edition, Edward Arnold, London. Noviar, H. 2004. Interpretasi Citra Satelit Landsat-7 ETM+ untuk Mengidentifikasi Areal Tanaman Semangka. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. PERKA, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2008. PERKA No. 2 Tentang Evaluasi Tapak Reaktor Daya Untuk Aspek Kegunungapian. Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Jakarta. Putra, E.H. 2003. Deteksi Kondisi Hutan Tanaman Menggunakan Citra Satelit Landsat ETM+ di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Reksowirogo, 1990, Berita Berkala Vulkanologi, edisi khusus : Gunung Tangkubanparahu. Direktorat Vulkanologi Bandung Sabin, F.F.Jr. 1978. Remote Sensing, Principle and Interpretation. W.H. Freeman and Co. San Francisco Samsuri, 2004. Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pengelolaan sumberdaya Hutan. Penelitian. Universitas Sumatera Utara (USU). Sumatera Utara. Spot Asia, 2006. www.spotimage.com. Februari 8, 2009. Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh. Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.or. Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh. Jilid 2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.or. Tejo, R.K. 2003. Interpretasi Kenampakan Hasil Fusi Citra Landsat TM dengan Landsat Pankromatik (Studi Kasus Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB, Bogor Tjahjono B., 1998. Etude Geomorphologique du Volcan Sunda-Tangkuban Parahu et Des Aleas Volcanique. Desertasi. Universitas Blaise Pascal, Clermont-Ferrand II, Perancis Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia. The Hague. Government Printing Office. Wilkey, D.S. and Finn, J.T. 1996. Remote Sensing Imagery for Natural Resources Monitoring: Guide for First Time Users. Columbia University Press. New York Wiradisastra U.S., Tjahjono, B., Munibah, K., Gandasasmita K., 1999, Lecture Note: Geomorfologi dan Analisis Lanskap, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB Bogor Zakiah., 2007. Pemilihan Saluran Panjang Gelombang (Band) dan Fusi Citra Landsat ETM+ Untuk Interpretasi Penutup Lahan/Penggunaan Lahan. Laporan Praktek Lapang. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. LAMPIRAN Gambar Lampiran 1: Contoh Gambar Morfogenesis 1. Bentuklahan Vulkanik Aktif (Gunungapi Tangkubanparahu) 2. Bentuklahan Vulkanik Denudasional (Gunung Burangrang) 3. Bentuklahan Tektonik (Patahan Lembang) 4. Bentuklahan Denudasional (longsor lahan) Tabel Lampiran 1: Kemiringan Lereng Setiap Kecamatan Kemiringan Lereng Setiap Kecamatan Cimenyan Luas (Ha) 4841.914 >55 62.04 13-22 757.79 22-55 3825.22 6-13 Cisarua 196.86 5540.55 >55 0-2 579.88 97.89 13-22 798.72 22-55 2-6 6-13 1890.79 40.31 2132.97 Lembang 9849.166 >55 712.50 0-2 332.94 13-22 1021.93 22-55 2-6 6-13 Parongpong 5439.85 331.35 2010.59 4314.731 >55 0-2 13-22 22-55 298.07 202.964 744.21 1196.39 2-6 6-13 Total 271.22 1601.87 24546.361