PENDAHULUAN Latar Belakang Komposisi kimiawi di atmosfer terus mengalami perubahan sejalan dengan penambahan gas rumah kaca terutama karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4). Cahaya panas matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi, sebaliknya bumi mengembalikan panas tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atmosfer menyaring sejumlah cahaya panas yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa adanya efek rumah kaca alami ini maka suhu yang ada pada saat ini akan lebih rendah dan kehidupan mahluk hidup di bumi niscaya tidak mungkin ada. Akan tetapi permasalahan yang kini muncul adalah ketika konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer berlebih. Pemanasan global telah menjadi salah satu masalah lingkungan yang paling sering dibicarakan baik oleh peneliti, pemerintah, badan organisasi di tingkat nasional maupun internasional karena dampak negatif yang ditimbulkan dapat mengancam kelangsungan mahluk hidup di bumi. Pemanasan global mempengaruhi perubahan iklim sehingga menjadi sumber bencana lingkungan seperti badai, iklim yang tidak stabil, peningkatan suhu, kenaikan permukaan air laut, mencairnya es di kutub, banjir dan bencana lingkungan lainnya. Pemanasan global diakibatkan oleh gas rumah kaca berbentuk gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menghambat radiasi sinar matahari yang dipantulkan oleh bumi ke atmosfer, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer yang dapat meningkatkan pemanasan bumi, diantaranya disebabkan oleh aktivitas manusia di berbagai sektor seperti sampah, energi, kehutanan, pertanian dan peternakan (Sudarman, 2010). Beberapa kalangan menyebutkan bahwa peternakan merupakan salah satu penyumbang gas metan terbesar dimana gas metan merupakan salah satu komponen penyebab efek rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Gas metan dihasilkan oleh kelompok mikroba metanogen di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia yang secara signifikan berkontribusi terhadap akumulasi gas metan di atmosfer sehingga panas matahari yang hendak dipantulkan kembali ke luar angkasa akan terhambat dan berdampak pada terjadinya pemanasan global. Pengurangan dari dampak emisi gas metan terhadap pemanasan global dapat dilakukan salah satunya melalui peningkatan efisiensi pakan. Hal ini berdasarkan pernyataan Van Nevel dan Demeyer (1996) bahwa pada produksi gas metan merepresentasikan 1 kehilangan gross energy pada pakan sebanyak 2% hingga 15%. Sehingga, dengan kualitas nutrisi pakan yang baik maka energi tidak banyak digunakan untuk proses produksi gas metan melainkan untuk proses produksi dan reproduksi ternak. Hidrogen metabolik dalam bentuk proton tereduksi (H) dapat digunakan selama sintesis VFA atau tergabung ke dalam bahan organik mikroba. Kelebihan hidrogen yang dihasilkan selama konversi heksosa menjadi asetat atau butirat akan digunakan dalam jalur propionat, tetapi sebagian besar dikonversi menjadi CH4 (Moss et al., 2000). Karena itu, proporsi asetat, butirat dan propionat menentukan jumlah H2 yang tersedia di dalam rumen untuk digunakan oleh metanogen. Dari hubungan tersebut maka secara stoikiometri dapat digunakan untuk mengestimasi emisi CH4 di dalam rumen. Secara umum pengukuran emisi gas metan dapat dilakukan baik secara in vivo melalui metode open-circuit respiratory chambers maupun in vitro melalui metode gas chromatography dan infrared methane analyzer. Akan tetapi, untuk mengukur emisi gas metan dengan semua metode tersebut dibutuhkan alat dan biaya yang tidak murah terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga diharapkan estimasi emisi gas metan secara stoikiometri melalui komposisi asam lemak terbang (VFA) dapat menjawab masalah tersebut. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akurasi estimasi emisi gas metan secara stoikiometri melalui komposisi volatile fatty acids (VFA) terhadap pengukuran emisi gas metan dengan teknik in vitro. 2