PRESENTASI KASUS ASMA Disusun oleh: Benedicta Mutiara Suwita 0906639713 Calvin Kurnia Mulyadi 0906639726 Christopher Rico Andrian 0906554251 Deriyan Sukma Widjaja 0906554270 Dwi Wicaksono 0906487764 Rombongan E Modul Praktik Klinik Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2012 1 BAB I ILUSTRASI KASUS 1.1 1.2 Identitas Nama pasien : Ny. MBA Jenis kelamin : Perempuan Usia : 46 tahun Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Percetakan Negara Pendidikan : SD Pernikahan : Menikah Suku : Betawi Agama : Islam Jaminan : SKTM Keluhan Utama (Diperoleh melalui autoanamnesis pada tanggal 12 November 2012 di Rumah Sakit Persahabatan) Sesak napas yang tidak sembuh dengan pengobatan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit 1.3 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh sesak napas yang semakin memberat sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak yang dirasakan kali ini tidak dapat diredakan dengan pengobatan inhalasi seperti yang biasa pasien jalani di puskesmas terdekat. Sesak dirasakan baik pada saat menarik maupun menghembuskan napas, disertai mengi, dan diawali dengan batuk, terutama setelah pasien bekerja di luar rumah dan mencium wangi-wangian tertentu, menghidup debu, atau beraktivitas berat. Keluhan sesak disertai nyeri dada, terutama jika pasien batuk. Terdapat riwayat demam yang tidak begitu tinggi yang muncul bersamaan dengan serangan 2 sesak, disertai keringat dingin, sukar tidur saat malam hari, serta memerlukan dua sampai tiga bantal lebih tinggi agar rasa sesak berkurang. Tidak ada riwayat berdebar-debar, pingsan, atau kaki bengkak. Riwayat gejala sesak di malam hari dirasakan cukup sering tiap malam (kurang lebih 2x sebulan), sedangkan serangan sesak selama 1 bulan terakhir telah terjadi sebanyak dua kali per minggu. Sesak mulai dirasakan setelah pasien mencuci baju di pagi hari. Pada awal munculnya serangan (hari Jumat pagi, 9 November 2012), pasien berobat ke puskesmas terdekat dan mendapatkan obat antisesak yang diminum, namun keluhan tidak membaik. Pasien kemudian dirujuk ke rumah sakit lain dan mendapatkan terapi inhalasi hingga keluhan sesak berkurang. Pada sore harinya, ketika ingin meminum obat yang diresepkan oleh rumah sakit, keluhan sesak timbul kembali dengan intensitas yang lebih berat dari sebelumnya sehingga pasien harus berobat ke RS Persahabatan. Di instalasi gawat darurat RSP, pasien mendapatkan terapi inhalasi sebanyak satu kali hingga keluhan sesak berkurang kembali, lalu menjalani rawat inap hingga saat wawancara dilakukan. Selama ini pasien rutin berobat ke puskesmas dan mendapatkan salbutamol oral, obat hipertensi (nifedipine 1 x 1 tablet), obat batuk sirup (ambroksol), dan terbutalin sulfat (nama paten “terasma”). Pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi dan asma. 1.4 Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan bahwa ia telah mengalami serangan asma sejak memiliki anak pertama hingga saat ini. Terdapat riwayat alergi berupa munculnya ruam kulit yang gatal jika pasien mengonsumsi udang. Terdapat riwayat gastritis, terutama jika pasien terlambat makan siang. Pasien memiliki riwayat hipertensi dengan pengobatan nifedipine 1 x 1 tablet setiap hari. Tidak ada riwayat pengobatan obat antituberkulosis atau perawatan di rumah sakit. Riwayat konsumsi rokok atau penggunaan kayu bakar di dapur disangkal. 3 1.5 Riwayat Penyakit Keluarga Ayah dan kedua saudara pasien memiliki riwayat asma. Tidak terdapat riwayat diabetes mellitus atau hipertensi di keluarga. Tidak ada riwayat kelainan paru lainnya di keluarga. 1.6 Riwayat Sosial Saat ini pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan tinggal bersama ketiga orang anaknya. Suami pasien meninggal akibat serangan jantung. 1.7 Pemeriksaan Fisik 1.7.1 Keadaan umum : Baik Kesadaran : Kompos mentis Tekanan darah : 130/90 mmHg Frekuensi nadi : 96 kali permenit Frekuensi napas : 18 kali permenit Suhu 1.7.2 4 Status Generalis : 36,8°C Status Lokalis Mata: Konjungtiva anemis +/+; Sklera ikterik -/- Mulut: Tidak ditemukan kelainan, kecuali faring hiperremis Leher: Jugular venous pressure (JVP) 5-2 cm H2O Dada - Jantung: Bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak terdapat bising atau gallop - Paru: o Inspeksi : simetris saat statis maupun dinamis o Palpasi : fremitus vokalis paru kanan sama dengan kiri o Perkusi : suara paru kanan dan kiri sonor o Auskultasi : bunyi napas vesikuler +/+, ronki -/-, mengi +/+ Abdomen: Teraba lemas dan datar, nyeri tekan di regio epigastrium, hepar dan limpa tidak teraba 1.8 Ekstremitas: Akral teraba hangat, tidak sianotik Hasil Pemeriksaan Penunjang 1.8.1 Hemoglobin : 6.6 mg/dl (rentang normal: 12.0-16.0) Hematokrit : 25% (rentang normal: 35-47%) Eritrosit : 4,28 juta permikroliter (rentang normal: 3,6-5,8 juta/uL) Leukosit : 19.160/ul (rentang normal: 5.000-10.000/ul) Hitung jenis : o Neutrofil : 84,4 (rentang normal: 50-70) o Limfosit : 10,5 (rentang normal: 25-40) o Monosit : 5,1 (rentang normal: 2-8) o Eosinofil : 0 (rentang normal: 2-4) o Basofil : 0 (rentang normal: 0-1) MCV : 59,3 fL (rentang normal: 80-100) MCH : 15,4 (rentang normal: 26-34) MCHC : 26,0 (rentang normal: 32-36) RDW-CV : 19,4 (rentang normal: 11.5-14.5) Trombosit : 497.000/ul (rentang normal: 150.000-440.000) Elektrolit : 1.8.2 5 Pemeriksaan laboratorium (tanggal 12 November 2012; pukul 12.10) o Natrium : 132,0 (rentang normal: 135-145) o Kalium : 3.00(rentang normal: 3.5-5.5) o Klorida : 119.0 (rentang normal: 98-109) Pemeriksaan laboratorium tanggal 9 November 2012; pukul 18.08 Hemoglobin : 5,7 mg/dl Hematokrit : 23% Eritrosit : 3,81 juta permikroliter MCV : 59,1 MCH : 15,0 MCHC : 25,3 RDW-CV : 18,9 Trombosit : 428.000/ul pH : 7.386 (rentang normal: 7.34-7.44) PCO2 : 33.5 (rentang normal: 35-45) PO2 : 108.2 (rentang normal: 85-95) HCO3 : 19.6 (rentang normal: 22-28) TCO2 : 20.7 (rentang normal: 23-27) Base excess : -4.4 (rentang normal: -2.5-2.5) Std HCO3 : 20.9 (rentang normal: 22-26) 1.8.3 Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dilakukan pada tanggal 9 November 2012 Pre-bronkodilator : 60 ml/menit Post-bronkodilator : 90 ml/menit % peningkatan : 50% 1.8.4 Pemantauan APE harian Hari I Hari II Hari III Hari IV (9/11) (10/11) (11/11) (12/11) Pre-BD 80 100 100 100 Post-BD 140 120 170 170 Pre-BD 100 120 140 - Post-BD 130 140 150 - Pagi Malam 6 1.9 1.10 1.11 Diagnosis Kerja Eksaserbasi asma sedang pada asma persisten ringan Sindrom dispepsia Hipertensi grade I Rencana Penatalaksanaan Terapi oksigen 2 liter/menit dengan kanula hidung Combivent inhalasi 4x/hari Ambroksol 3 x 30 mg tablet Amlodipine 1 x 10 mg tablet Ranitidine 2x1 ampul injeksi Antasida sirup 3 x Corig I Rencana Pemantauan Pemantauan variabilitas APE harian Pengukuran spirometri jika stabil Pemeriksaan ulang darah perifer lengkap 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patofisiologi Asma Patofisiologi asma merupakan proses yang kompleks, meliputi inflamasi jalan napas, obstruksi jalan napas, dan hipereaktivitas bronkus. Gambar 2.1: Mekanisme Asma1 2.1.1 Inflamasi Jalan Napas Inflamasi kronik merupakan salah satu dasar utama terjadinya hiperresponsivitas saluran napas pada pasien asma. Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi kronik ini, antara lain limfosit T, epitel, eosinofil, dan sel mast. Inflamasi akut juga dapat mencetuskan serangan asma. Pada proses inflamasi akut, dapat terjadi reaksi asma tipe cepat (yang melibatkan IgE menempel pada sel mast) serta reaksi fase lambat yang terutama melibatkan eosinofil dan makrofag.1 8 Gambar 2.2: Pengaruh Inflamasi terhadap Asma1 Airway remodelling juga merupakan sekuel dari proses inflamasi kronik yang terjadi, sehingga terjadi proses perbaikan dan pergantian sel-sel epitel yang menyebabkan penggantian menjadi jaringan penyambung dan jaringan parut. Melalui proses remodelling, akan terjadi hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas, kelenjar mukus, penebalan membran retikular basal, peningkatan vaskularisasi, peningkatan matriks ekstraselular, serta terjadi perubahan struktur parenkim.2 2.1.2 Obstruksi Jalan Napas Proses remodelling dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas juga dapat disebabkan oleh bronkokonstriksi, edema dinding saluran napas, dan penebalan dinding jalan napas. Remodelling berpengaruh kepada kondisi klinis pasien berupa hiperreaktivitas bronkus sehingga dapat terjadi obstruksi saluran napas. Dasar molekular dari remodelling saluran napas ini adalah dengan inflamasi kronik yang melibatkan aktivasi sel Th-2. Sel Th-2 ini nanti akan menghasiklan sitokin proinflamasi yang berinteraksi dengan epitel mediator serta sel-sel lain sehingga menimbulkan perubahan struktur saluran napas.2,3 9 2.1.3 Hipereaktivitas Bronkus Mekanisme hipereaktivitas bronkus berkaitan dengan beberapa faktor, antara lain kontraksi otot polos bronkus, penebalan dinding saluran napas, serabut sensorik yang tersensitisasi, dan uncoupling of airway contraction.3 2.2 Diagnosis Asma Diagnosis asma ditegakkan atas dasar anamnesis ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru.2,3 2.2.1 Anamnesis Pada anamnesis, gejala-gejala yang perlu ditanyakan untuk mendiagnosis asma adalah batuk, sesak napas, rasa berat di dada, napas berbunyi (mengi), dan berdahak. Pola gejala dari asma adalah episodik, variabilitas, dan reversibel.2,3 Gejala-gejala bersifat episodik, yaitu serangan yang hilang timbul dengan adanya periode bebas di antaranya. Variabilitas, misalnya gejala timbul atau memburuk terutama pada waktu tertentu, malam atau dini hari, dan dicetuskan oleh faktor pencetus yang bersifat individu. Cenderung reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Pemberian bronkodilator memberikan respon yang baik.2,3 Riwayat alergi atau atopi pada pasien dan keluarga juga perlu ditanyakan untuk memperkuat diagnosis. Penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan riwayat pengobatan juga perlu ditanyakan.2,3 2.2.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan jasmani dapat tidak ditemukan kelainan pada saat stabil, karena gejala asma bervariasi sepanjang hari. Kelainan yang ditemukan pada saat auskultasi adalah mengi. Saat serangan ringan, mengi hanya terdengar ketika ekspirasi paksa. Pada serangan yang sangat berat, pasien gelisah dan kesadaran dapat menurun, mengi dapat tidak terdengar (silent chest).2,3 10 2.2.3 Pemeriksaan Faal Paru Pemeriksaan objektif untuk menilai berat asma adalah pemeriksaan faal paru. Pemeriksaan faal paru dapat menilai obstruksi saluran napas, reversibilitas kelainan faal paru, serta variabilitas faal paru. Pemeriksaan dilakukan dengan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).2,3 Pemeriksaan menggunakan spirometer mengukur volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP) dan diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.3 Diagnosis asma ditegakkan apabila terdapat: Obstruksi saluran napas yang diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP <75% atau VEP1 <80% dari nilai prediksi Reversibilitas: perbaikan VEP1 >15% secara spontan atau setelah dilakukan uji bronkodilator, pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau pemberian kortikosteroid inhalasi atau oral selama 2 minggu. Spirometer juga dapat digunakan untuk menilai derajat berat asma.2 Pemeriksaan yang lebih sederhana menggunakan alat peak expiratory flow meter untuk menilai APE. APE juga digunakan untuk menilai reversibilitas, dimana terdapat perbaikan VEP1 >15% secara spontan atau setelah dilakukan uji bronkodilator, pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau pemberian kortikosteroid inhalasi atau oral selama 2 minggu pada orang dengan asma. APE juga dapat digunakan untuk menilai variabilitas untuk menilai variasi diurnal APE (variabilitas APE harian) selama 1-2 minggu, serta menilai derajat berat penyakit.2 Cara pemeriksaan variabilitas APE harian: Variabilitas harian = APE malam (setelah bronkodilator) – APE pagi (sebelum bronkodilator x 100% ½ (APE malam + APE pagi) Hasil >20% dipertimbangkan sebagai asma. Metode lain adalah dengan cara menilai presentase APE pagi terendah selama 2 minggu dibagi dengan APE malam tertinggi selama 2 minggu. 11 2.2.4 Tes Hematologi Pemeriksaan darah pada kasus asma tidak perlu, namun dapat melihat kadar IgE serum dan IgE spesifik alergen yang dihirup.1 2.2.5 Pencitraan Foto polos biasanya normal, tetapi dapat menunjukkan paru hiperinflasi pada pasien kasus berat. Pada kasus eksaserbasi, dapat terjadi pneumotoraks. CT resolusi tinggi dapat menunjukkan bronkiektasis pada pasien dengan asma berat, dan penebalan dinding bronkus. Perubahan yang dilihat secara radiologis ini tidak khas sehingga bukan diagnosis pasti asma.1 2.2.6 Uji Provokasi Bronkus Uji ini dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala asma, namun tidak ditemukan tanda khas seperti mengi dan/atau gangguan ventilasi setelah ekshalasi paksa berulang.1 Uji provokasi bronkus memiliki sensitivitas tinggi, namun spesifitas rendah sehingga pasien dengan hasil positif masih dapat dicurigai mengalami penyakit lainnya seperti rhinitis alergi, PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistis. 2 2.2.7 Tes Kulit Pengukuran status alergi juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus, namun memiliki nilai kecil untuk mendiagnosis asma. Tes yang dapat dilakukan adalah uji kulit dengan prick test serta pengukuran IgE spesifik.1,2 2.3 Klasifikasi Menurut derajat keparahannya, asma terbagi menjadi asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat: 12 Tabel 2.1: Klasifikasi Derajat Asma2 Salah satu tujuan tatalaksana asma adalah untuk mengendalikan gejala asma. Oleh karena itu, terdapat beberapa kriteria untuk menentukan apakah asma yang dimiliki pasien sudah terkontrol.4 Menurut GINA, klasifikasi berdasarkan kontrol asma adalah sebagai berikut: 13 Tabel 2.2: Tingkatan Kontrol Asma4 Salah satu alat bantu yang mudah digunakan dalam praktik klinik untuk menilai apakah asma sudah terkontrol atau tidak adalah kuesioner Asthma Control Test (ACT). Skor >19 menunjukkan asma terkontrol dan skor <16 menunjukkan asma tidak terkontrol sama sekali.5 Kuesioner ini dapat diisi sendiri oleh pasien, yaitu sebagai berikut: Gambar 2.3: Kuesioner ACT5 14 Jika penderita asma tetap memunculkan gejala dalam pengobatan, maka pengobatan yang sedang dilakukan perlu diperhitungkan dalam menentukan derajat keparahan asma, yaitu sebagai berikut: Tabel 2.3: Klasifikasi derajat berat asma dalam pengobatan2 Tahapan Pengobatan yang digunakan saat penilaian Tahap I Tahap 2 Gejala dan Faal paru dalam Intermiten Persisten Ringan Pengobatan Tahap 3 Persisten sedang Tahap I : Intermiten Gejala < 1x/ mgg Serangan singkat Gejala malam < 2x/ bln Faal paru normal di luar serangan Intermiten Persisten Ringan Persisten Sedang Tahap II : Persisten Ringan Gejala >1x/ mgg, tetapi <1x/ hari Gejala malam >2x/bln, tetapi <1x/mgg Faal paru normal di luar serangan Persisten Ringan Persisten Sedang Persisten Berat Tahap III: Persisten Sedang Gejala setiap hari Serangan mempengaruhi aktiviti dan tidur Gejala malam > 1x/mgg 60%<VEP1<80% nilai prediksi 60%<APE<80% nilai terbaik Persisten Sedang Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat Persisten Berat Tahap IV: Persisten Berat Gejala terus menerus Serangan sering Gejala malam sering VEP1 ≤ 60% nilai prediksi, atau APE ≤ 60% nilai terbaik 2.3 Tatalaksana Selain terapi farmakologis berupa obat-obatan pengontrol dan pelega, faktor yang penting dalam tatalaksana asma adalah edukasi mengenai asma. Edukasi harus dilakukan saat pasien pertama kali berkunjung dan dapat dilakukan pada setiap kunjungan berikutnya, meliputi pengertian tentang asma, pentingnya menghindari faktor pencetus, tahapan pengobatan, penanganan asma mandiri, dan kapan harus menghubungi dokter. Selain itu, untuk memperkuat otot pernapasan dapat pula dilakukan olahraga berupa senam asma.2 15 Pengobatan farmakologis untuk asma sesuai dengan derajat keparahannya adalah: Tabel 2.4: Pengobatan menurut Derajat Berat Asma2 Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari. Berat Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain Asma harian Asma Tidak perlu -------------Intermite n Asma Glukokortikosteroid ----- Teofilin lepas lambat Persisten inhalasi (200-400 ug Kromolin Ringan BD/hari atau ekivalennya) Leukotriene modifiers Asma Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 Ditambah agonis Persisten glukokortikosteroid ug BD atau ekivalennya) ditambah beta-2 kerja lama Sedang (400-800 ug BD/hari Teofilin lepas lambat ,atau oral, atau atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 Ditambah teofilin ug BD atau ekivalennya) ditambah lepas lambat agonis beta-2 kerja lama oral, atau Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers Asma Persisten Berat Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah 1 di bawah ini: - teofilin lepas lambat - leukotriene modifiers - glukokortikosteroid oral Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol Penderita asma juga perlu diajak untuk memantau kondisinya sendiri, identifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala dan mengetahui kapan penderita membutuhkan bantuan medis/ dokter. Hal ini dapat dilakukan dengan cara identifikasi 3 daerah (zona) yaitu merah, kuning dan hijau seperti pada lampu lalu lintas untuk memudahkan pengertian dan diingat penderita. Zona`merah berarti berbahaya, kuning hatihati dan hijau adalah baik tidak masalah.2 Pembagian zona ini disebut sebagai pelangi asma, yaitu sebagai berikut: 16 Tabel 2.5: Pelangi Asma2 Pelangi Asma, monitoring keadaan asma secara mandiri Hijau Kondisi baik, asma terkontrol Tidak ada / minimal gejala APE : 80 - 100 % nilai dugaan/ terbaik Pengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapi Kuning Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut/ eksaserbasi Dengan gejala asma (asma malam, aktiviti terhambat, batuk, mengi, dada terasa berat baik saat aktiviti maupun istirahat) dan/ atau APE 60 - 80 % prediksi/ nilai terbaik Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi Merah Berbahaya Gejala asma terus menerus dan membatasi aktiviti sehari-hari. APE < 60% nilai dugaan/ terbaik Penderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati dokterpenderita secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah sakit. 2.4 Serangan Asma Akut Penderita asma dapat mengalami serangan bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat.2 Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut, yang dapat dilakukan sebagai berikut: Tabel 2.6: Klasifikasi berat serangan asma akut2 Gejala dan Tanda Sesak napas Posisi Cara berbicara Kesadaran Frekuensi napas Nadi Pulsus paradoksus Otot Bantu Napas dan retraksi suprasternal 17 Ringan Berjalan Dapat tidur terlentang Satu kalimat Mungkin gelisah <20/ menit < 100 10 mmHg - Berat Serangan Akut Sedang Berat Berbicara Istirahat Duduk Beberapa kata Gelisah Duduk membungkuk Kata demi kata Gelisah 20-30/ menit 100 –120 + / - 10 – 20 mmHg + > 30/menit > 120 + > 25 mmHg + Keadaan Mengancam jiwa Mengantuk, gelisah, kesadaran menurun Bradikardia Kelelahan otot Torakoabdominal paradoksal Mengi Akhir ekspirasi paksa > 80% > 80 mHg < 45 mmHg > 95% APE PaO2 PaCO2 SaO2 Akhir ekspirasi Inspirasi dan ekspirasi 60 – 80% 80-60 mmHg < 45 mmHg 91 – 95% < 60% < 60 mmHg > 45 mmHg < 90% Silent Chest Serangan asma dapat mengancam nyawa dan tidak boleh dipandang ringan. Pasien dengan risiko tinggi kematian-terkait asma memerlukan perhatian medis yang lebih teliti dan perlu mencari pertolongan medis sedari awal terjadinya serangan. Kelompok yang termasuk risiko tinggi adalah pasien yang:2,4 Memiliki riwayat asma hampir fatal yang memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik Memiliki riwayat perawatan rumah sakit atau kunjungan ke unit gawat darurat karena asma dalam setahun terakhir Saat ini menggunakan atau baru saja berhenti menggunakan glukokortikosteroid Saat ini tidak menggunakan glukokortikosteroid inhalasi Terlalu tergantung pada inhalasi beta-2 agonis kerja cepat, terutama pasien yang menggunakan lebih dari satu kanister salbutamol (atau ekivalennya) per bulan Memiliki riwayat ketidakpatuhan berobat untuk rencana pengobatan asma Serangan asma memerlukan penatalaksanaan yang segera, yaitu sebagai berikut:2,4 Oksigen dapat diberikan jika pasien mengalami hipoksemia, untuk mencapai saturasi oksigen > 95% Inhalasi beta2-agonis kerja cepat dengan dosis cepat, setiap 20 menit dalam satu jam Kombinasi beta2-agonis dan antikolinergik dikaitkan dengan peningkatan arus puncak ekspirasi yang lebih baik dibandingkan beta2-agonis saja Glukokortikosteroid (0,5-1 mg/kg prednisolon dalam periode 2-4 jam) atau ekivalennya dapat diberikan pada awal serangan asma sedang atau berat untuk membantu mengatasi inflamasi dan mempercepat pemulihan Jika respons tetap tidak baik dengan kombinasi, pasien dirawat inap dan diberikan aminofilin bolus dosis 5-6 mg/kgBB, dilanjutkan dengan drip untuk mempertahankan kadar serum dalam darah dosis 0,5-0,9 mg/kgBB/ jam Pasien dengan eksaserbasi asma berat yang tidak responsif dengan bronkodilator dan glukokortikostiroid sistemik dapat diberikan 2 gram magnesium sulvat IV 18 Obat-obatan yang tidak direkomendasikan untuk tatalaksana serangan asma adalah:4 Sedatif (harus dihindari) Mukolitik (memperburuk batuk) Fisioterapi/terapi fisik yang melibatkan toraks (dapat memperburuk rasa tidak nyaman pasien) Hidrasi dengan cairan jumlah besar untuk pasien dewasa atau anak berusia lebih tua (mungkin diperlukan untuk bayi atau anak berusia muda) Antibiotik (tidak diberikan kecuali ada indikasi, misalnya pada pasien yang juga memiliki infeksi bakterial seperti pneumonia atau sinusitis) Epinefrin atau adrenalin (dapat digunakan untuk tatalaksana anafilaksis atau angioedema, tapi tidak diindikasikan untuk serangan asma. 19 BAB III DISKUSI 3.1 Diagnosis 3.1.1 Anamnesis Pada anamnesis ditemukan bahwa pasien memang telah memiliki asma sebelumnya, dan melalui riwayat sesak napas yang ditemukan, terdapat karakteristik asma yang sangat khas yaitu: Episodik: pasien telah merasakan sesak napas dengan bunyi “ngik” sejak memiliki anak pertama, terdapat saat-saat serangan sesak napas, dan terdapat pula saat-saat tidak adanya serangan napas, atau dapat bernapas normal. Variabilitas: pasien mengakui bahwa, sesak napas muncul karena adanya pencetus yaitu saat mencium wangi-wangian, terhirup debu, atau bekerja berat. Reversible: Keluhan sesak setelah mendapatkan terapi inhalasi di puskesmas yang kemungkinan besar adalah SABA (Short Acting Beta-Agonist) 3.1.2 Pemeriksaan Fisik Pada auskultasi didapatkan adanya bunyi mengi (“ngik”) terutama pada ekspirasi, sedangkan pada pemeriksaan fisik yang lain tidak ditemukan adanya kelainan yang lain kecuali konjungtiva mata yang anemis. 3.1.3 Pemeriksaan Faal Paru Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan APE, dan hasil yang didapatkan adalah bahwa terdapat peningkatan APE sebesar 50% setelah pemberian bronkodilator, hal ini sangat mendukung diagnosis untuk asma. Selain itu, setelah dilakukan variabilitas APE harian, ditemukan bahwa pada hari pertama adalah; 47,61%. Temuan ini juga mendukung diagnosis asma. 3.1.4 Klasifikasi Asma Pasien merasakan sesak khas asma kurang lebih 2 kali seminggu, selain itu sesak napas ini juga menggangu tidur pasien, sehingga dengan anamnesis pun kita dapat memasukan pasien dengan pada klasifikasi asma presisten ringan. 20 Sedangkan untuk serangan akut pasien yang membuat pasien datang ke RSP, memiliki karakteristik dengan pasien sesak napas hingga sulit bernapas dan lebih memilih duduk, hanya dapat berbicara beberapa patah kata, mengi pada akhir ekspirasi, dan PCO2 kurang dari 45 mmHg. Sehingga eksaserbasi serangan pasien masuk dalam klasifikasi serangan asma akut sedang. 3.2 Tatalaksana Pada pasien, didapatkan bahwa pengobatan yang selama ini dilakukan pada pasien masih tidak terkontrol sebagian, karena masih memiliki gejala malam. Pasien hanya mendapatkan SABA (Salbutamol dan terbutalin sulfat). Sedangkan dari anamnesis, pasien dapat dikategorikan masuk dalam asma presisten ringan sehingga pasien perlu adanya tambahan glukokortikoid inhalasi, dengan terapi alternatifnya adalah teofilin, kromolin ataupun leukotrien modifier. Pilihan ini sesuai dengan Pedoman PDPI. Pada serangan asma akut sedang maka penanganan yang tepat sesuai dengan GINA adalah pemberian oksigen untuk meningkatkan saturasi oksigen lebih dari 90%, kemudian berikan terapi inhalasi SABA selama 1 jam terus menerus. Jika tidak ada respon, berikan glukokortikoid. Lalu periksa pasien kembali setelah 1 jam. Jika masuk dalam episode sedang, dimana sesuai dengan klinis serangan asma akut sedang, berikan oksigen kembali, inhalasi beta-2-agonist, dengan antikolinergik selama 1 jam, dan berikan glukokortiroid oral. Kemudian dilihat kembali selama 1-2 jam, apakah terdapat respon atau tidak. Pada penanganan ini, nantinya harus ditentukan apakah pasien perlu dirawat inap atau di rawat jalan. 21 BAB IV DAFTAR PUSTAKA 1 Fauci AS, Brunwald E, Kasper DL, Hauser Sl, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th edition. USA: The McGraw-hill Companies. 2008; 1596-1607. 2 Mangunnegoro H, et al. Asma: Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. 3 Sutoyo DK, Setyanto DB, Rengganis I, Yunus F, Sundaru H. Pedoman tatalaksana asma. Jakarta: Dewan Asma Indonesia. 2011. 4 Bateman ED, et al. Global strategy for asthma management and prevention. Global Initiative for Asthma; 2011. 5 Schatz M, SorknessCA, Li JT,Marcus P,Murray JJ, NathanRA,et al. Asthma control test: reliability, validity, and responsiveness in patients previously followed by asthma specialists. J Allergy Clin Immunol. 2006;117: 549-56 22