Rembuk Pesisir MENDORONG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN, PEMBUDIDAYA IKAN, DAN PETAMBAK GARAM Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 26 Oktober 2016 Latar Belakang Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam telah disahkan oleh DPR bersama dengan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 15 Maret 2016. Pembentukan Undang-Undang ini dilatari oleh pemikiran bahwa: pertama, Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; kedua, untuk mewujudkan tujuan bernegara menyejahterakan rakyat, termasuk Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, negara menyelenggarakan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam secara terencana, terarah, dan berkelanjutan; ketiga, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam sangat tergantung pada sumber daya Ikan, kondisi lingkungan, sarana dan prasarana, kepastian usaha, akses permodalan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sehingga membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan; dan keempat, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam belum komprehensif. Pada perkembangannya, Undang-Undang ini belum memiliki peraturan pelaksananya sejak diundangkan 7 bulan yang lalu (15 Maret-15 Oktober 2016). Hanya Gubernur Aceh yang menyatakan komitmen secara tertulis untuk menindaklanjuti mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dengan jalan: (1) membuat kebijakan turunan; (2) melibatkan Panglima Laot, perwakilan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam; dan (3) mengalokasikan anggaran dalam memenuhi hakhak dasar nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam demi kesejahteraan mereka di Aceh sesuai tujuan pembentukan Undang-Undang tersebut, yakni sebagai berikut: 1. Menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; 2. Memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; 3. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam; menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; 4. Menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; 5. Melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan 6. Memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum. Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi penghasil garam nasional. Provinsi ini memiliki 9.000 hektare tambak garam, namun baru dimanfaatkan sekitar 2.000 hektare di 6 kabupaten/kota. Kementerian Perindustrian (September 2015) menyebutkan, produksi garam di Nusa Tenggara Barat mengalami peningkatan: dari 78.107 ton di tahun 2013 menjadi 169 ribu ton pada tahun 2014. Di sektor perikanan, Nusa Tenggara Barat juga berkontribusi besar dalam produksi nasional. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat (2013) mencatat jumlah tangkapan ikan mencapai 142,187.4 ton. Senada dengan itu, provinsi ini juga memiliki potensi budidaya laut, mulai dari kerang, mutiara, tiram, dan teripang. Besarnya potensi sumber daya kelautan dan perikanan terkadang tidak sebanding dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir). BPS (2013) mencatat, sebanyak 22.075 rumah tangga nelayan dan 14.460 rumah tangga pembudidaya ikan tersebar di 10 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Fakta ini mendorong masyarakat sipil untuk menghadirkan negara dan memprioritaskan perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat pesisir. Oleh karena itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) telah menyelenggarakan Rembuk Pesisir bertajuk “Mendorong Implemengasi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam” di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 26 Oktober 2016. Isu dan Tantangan yang Dihadapi oleh Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam Di dalam Rembuk Pesisir bertajuk “Mendorong Implementasi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam” yang diselenggarakan oleh KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) dan dihadiri oleh perwakilan nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, dan pembudidaya ikan dari 6 kabupaten/kota, yakni Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Utara , dan Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di dalam Rembuk Pesisir tersebut, kami menemukan beberapa fakta penting sebagai berikut: 1. Telah terjadi kerusakan lingkungan pesisir (hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun) sebagai akibat dari konversi hutan mangrove menjadi tambak udang dan penangkapan ikan yang menggunakan bom dan potasium, serta penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; 2. Adanya keterbatasan sarana dan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman yang dihadapi oleh nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di Provinsi Nusa Tenggara Barat; 3. Telah terjadi praktek pungutan liar terkait Usaha Perikanan yang melibatkan oknum aparat dan penegak hukum di laut; 4. Aktivitas pengolahan dan pemasaran produk perikanan yang dihasilkan oleh perempuan di dalam rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya ikan, dan rumah tangga petambak garam mengalami hambatan dikarenakan minimnya akses terhadap permodalan dan pasar, serta besarnya dominasi pemodal; 5. Telah terjadi abrasi pantai dan banjir rob di beberapa wilayah pesisir di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai akibat dari pengrusakan ekosistem mangrove dan dampak perubahan iklim; 6. Nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam kurang dilibatkan di dalam penyusunan Rencana Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam di Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana diamanahkan di dalam UndangUndang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; 7. Minimnya bahan baku dan sarana pengolahan dan pemasaran yang bisa dipergunakan oleh perempuan nelayan untuk aktivitas pasca tangkap; 8. Anggaran di bidang kelautan dan perikanan kurang memprioritaskan kepentingan dan melibatkan masyarakat pesisir (nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, dan pelestari ekosistem pesisir), mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasannya di Provinsi Nusa Tenggara; dan 9. Program pengadaan kapal perikanan di Provinsi Nusa Tenggara Barat belum dimanfaatkan secara optimal dikarenakan tidak layak laut. Rekomendasi Berdasarkan temuan-temuan penting di lapangan, maka nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, dan pembudidaya ikan dari 6 kabupaten/kota (Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Sumbawa) di Provinsi Nusa Tenggara Barat mendesak kepada pemerintah pusat dan daerah untuk: 1. Melakukan upaya penyelamatan lingkungan pesisir (hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun) dan langkah-langkah adaptif terhadap dampak perubahan iklim; 2. Mengalokasikan APBN/APBD untuk penyediaan sarana dan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman yang bisa dipergunakan oleh nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di Provinsi Nusa Tenggara Barat; 3. Memberantas praktek-praktek pungutan liar terkait Usaha Perikanan yang melibatkan oknum aparat dan penegak hukum di laut; 4. Memfasilitasi akses permodalan dan pasar bagi aktivitas pengolahan dan pemasaran produk perikanan dan pergaraman yang dihasilkan oleh perempuan di dalam rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya ikan, dan rumah tangga petambak garam; 5. Melibatkan Nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam di dalam penyusunan Rencana Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam di Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana diamanahkan di dalam UndangUndang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; 6. Pengelolaan anggaran di bidang kelautan dan perikanan harus memprioritaskan kepentingan dan melibatkan masyarakat pesisir (nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, dan pelestari ekosistem pesisir), mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasannya di Provinsi Nusa Tenggara; 7. Program pengadaan kapal perikanan di Provinsi Nusa Tenggara Barat harus bisa dimanfaatkan secara optimal oleh koperasi nelayan sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan secara transparan dan adil. Demikian rekomendasi yang dihasilkan dari Rembuk Pesisir bertajuk “Mendorong Implementasi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam” untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.***