LETHAL MIDLINE GRANULOMA REFERAT ONKOLOGI Oleh: Fitri Heryanti 131421110003 Pembimbing Utama : Bogi Soeseno, dr., SpTHT-KL (K) DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG 2014 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Lethal Midline Granuloma Tanggal : Jum’at, 28 November 2014 Oleh : Fitri Heryanti Pembimbing Utama : Bogi Soeseno, dr., SpTHT-KL(K) Pembimbing : 1. Dindy Samiadi, MD., dr., SpTHT-KL(K), FAAOHNS 2. Nur Akbar Aroeman, dr., SpTHT-KL(K) 3. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., SpTHT-KL(K) 4. Agung Dinasti Permana, dr., M.Kes., SpTHT-KL LETHAL MIDLINE GRANULOMA Oleh: Fitri Heryanti Bandung, November 2014 Bogi Soeseno, dr.,SpTHT-KL(K) Pembimbing Utama i DAFTAR ISI DAFTAR ISI ..................................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii DAFTAR TABEL …......................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 BAB II PENYAKIT GRANULOMATOSIS WAGENER .......................... 3 2.1 Epidemiologi.................................................................................... 3 2.2 Patogenesis....................................................................................... 4 2.3 Gambaran Klinis…………............................................................. 13 2.4 Diagnosis dan Penggunaan Klinis dari Antineutrophilic Cytoplamsic Antibody.............................................................................................18 2.5 Terapi............................................................................................... 21 2.5.1 Evolusi Terapi........................................................................ 21 2.5.2 Terapi Induksi Remisi……………………………………… 22 2.5.3 Terapi Pemeliharaan Remisi…………............................... 26 2.5.4 Terapi Profilaksis................................................................... 27 2.5.5 Terapi Yang Sebelumnya Telah Digunakan Tetapi Belum Terdapat Pembuktiam.................................................. 28 2.5.6 Terapi Masih Dalam Penelitian.............................................. 28 BAB III LIMFOMA EKSTRANODAL SE L NATURAL KILLER/ SEL T TIPE NASAL .......................................................................... 29 3.1 Definisi..................................................................................... 29 i ii 3.2 Epidemiologi…………………………........................................ 29 3.2 Histopatologi dam Imunohistologi............................................... 29 3.4 Gejala Klinis……………............................................................. 32 3.5 Kriteria Diagnosis..……………………………………………….. 32 3.6 Stadium Klinis (Staging)…………………………………………. 33 3.7 Terapi……………………………………...……………………… 34 3.8 Diagnosis Banding…………………………………………….... 36 BAB IV SIMPULAN………………………………………………………….. 38 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 40 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Profil klinis keterlibatan organ pada granulomatosis Wagener........... 17 Tabel 2.2 Penyesuaian dosis siklofosfamid jika terdapat disfungsi ginjal........... 24 Tabel 2.3 Rekomendasi respon klinisi jika terdapat efek samping siklofosfamid........................................................................................ 24 Tabel 3.1 Imunohistologi limfoma ekstranodal sel NK/sel T tipe nasal.............. iv 31 1 BAB I PENDAHULUAN Lethal Midline Granuloma merupakan penyakit yang jarang ditemukan dan sangat sulit diidagnosis karena gejalanya tidak spesifik, kadang diperlukan beberapa kali biopsi untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Lesi destruktif pada daerah midline wajah pertama kali digambarkan pada tahun 1897 dan selanjutnya terdapat berbagai terminologi yang digunakan untuk menunjukkan penyakit ini. Gambaran umum penyakit ini biasanya terjadi lesi ulseratif yang pada akhirnya menyebabkan destruksi daerah hidung sehingga terjadi gangguan fungsi dan deformitas kosmetik. Mayoritas kasus penyakit ini meliputi limfoma ekstranodal sel natural killer/sel T tipe nasal dan Wegener’s granulomatosis. 1,2 Lethal midline granuloma atau rinitis gangrenosa progresif memiliki heterogenitas dalam hal patogenesis, paling tidak terdiri dari 2 hal, yaitu inflamasi dan neoplasma. Granulomatosis Wagener merupakan bagian dari lethal midline granuloma dengan dasar patogenesis inflamasi. Tanda khas penyakit ini adalah adanya granuloma nekrosis, vaskulitis dan glomerulonephritis. Sedangkan keganasan sistem retikuloendotelial, yaitu sarkoma sel retukulum atau midline malignant reticulosis, dalam hal ini limfoma ekstranodal sel natural killer/sel T tipe nasal, merupakan bagian lethal midline granuloma dengan patogenesis neoplasma.1,2 Wegener’s granulomatosis lebih sering terjadi pada laki-laki, usia antara 40 dan 50 tahun dan secara klasik tampak dengan adanya lesi pada jalan nafas, 2 glomerulonephritis dan vaskulitis diseminata. Pada beberapa kasus tes c-ANCA memegang peranan dalam menentukan diagnosis penyakit ini.1 Limfoma ekstranodal sel Natural Killer/ sel T tipe nasal termasuk dalam golongan non-healing lethal midline granuloma syndrome yang ditandai dengan destruksi progresif lambat midfasial dalam dari jaringan lunak, kartilago dan tulang. Limfoma tersebut sulit didiagnosis karena morfologinya menunjukkan latar jaringan nekrotik polimorfik yang mengandung sel inflamasi yang tampak normal bercampur sel limfoid besar atipik. Sebagai tambahan, kesulitan dalam mendiagnosis dapat disebabkan karena variasi terminologi patologi yang digunakan untuk lesi ini selama bertahun-tahun, seperti retikulosis polimorfik, lethal midline granuloma dan midline malignant reticulosis. Limfoma angiosentrik juga pernah dilaporkan untuk limfoma ekstranodal lainnya seperti kulit, jaringan lunak, testis, saluran pernafasan atas dan saluran gastrointestinal.3 Dalam referat ini akan dibahas mengenai penyakit granulomatosis Wagener dan limfoma ekstranodal sel Natural Killer/sel T tipe nasal yang merupakan bagian dari lethal midline granuloma. 3 BAB II PENYAKIT GRANULOMATOSIS WAGENER Penyakit granulomatosis Wagener merupakan suatu vaskulitis granulomatosa nekrotik yang mempunyai predileksi klinis pada saluran nafas atas, paru dan ginjal. Penyebab penyakit ini masih belum jelas meskipun penelitian terbaru menjelaskan bahwa mekanisme imun dapat berperan dalam patofisiologi penyakit ini. Intervensi terapeutik penyakit Wagener sebelumnya sering tidak efektif sampai diperkenalkan terapi kombinasi siklofosfamid dan glukokortikoid yang secara dramatis memperbaiki keluaran pasien. 4 Kekambuhan dan toksisitas obat masih menjadi perhatian penting berkaitan dengan penyakit ini.4 2.1 Epidemiologi Insidensi penyakit Wagener per tahun adalah 10 kasus per 1.000.000 penduduk.5 Sedangkan prevalensi penyakit Wagener di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 3 per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita terhadap pria 1:1.4 Meskipun tidak terdapat hubungan yang jelas berkaitan dengan jenis kelamin untuk diagnosis penyakit ini, namun beberapa data mengindikasikan adanya perbedaan fenotip pada presentasi antara pria dan wanita, yaitu pada pria memberikan tampilan klinis yang berat sedangkan pada wanita tampak lebih ringan.6 Dua penelitian kohort dengan sampel besar pada pasien granulomatosis Wagener, menunjukkan bahwa 90% terdiri dari ras kulit putih, sementara ras 4 Amerika-Afrika, Asia dan Hispanik serta etnis lainnya terdapat pada 1-8% kasus.6-7. Rerata usia terkena penyakit ini saat didiagnosis adalah 40 – 55 tahun meskipun penyakit ini bisa terdapat pada semua usia. Kaitan onset penyakit ini dengan perubahan musim atau presipitasi penyakit setelah inhalasi zat atau gas tertentu atau infeksi, masih terdapat perdebatan. Penelitian terbaru tidak menyokong kaitan variasi musim dengan penyakit ini meskipun pengambilan data hanya berdasarkan pada persepsi pasien, catatan medis dan survai pasien pulang dari rumah sakit.4 Suatu penelitian dengan rancangan studi silang yang membandingkan pasien granulomatosis Wagener, kontrol sehat, individu dengan penyakit inflamasi paru idiopatik dan berbagai penyakit reumatologi dievaluasi paparan terhadap material tertentu dan substansi gas dari lingkungan. Lebih dari 75% pasien dari semua kelompok tercatat terpapar material yang terhisap selama beberapa tahun sebelum timbulnya onset penyakit. Tidak didapatkannya perbedaan bermakna antara pasien dengan granulomatosis Wagener dengan kontrol, jarangnya kasus familial dan tidak terdapatnya genotip HLA yang dominan diantara pasien dengan granulomatosis Wagener, mendukung pernyataan bahwa kerentanan pejamu yang didapat memegang peranan penting dalam etiologi penyakit ini.4 2.2 Patogenesis Meskipun penyeban granulomatosis Wagener masih belum jelas,beberapa penelitian berusaha mencari mekanisme yang berperan sehingga diharapkan dapat ditemukan intervensi terapeutik yang lebih baik di masa depan. 4 5 Lima belas tahun yang lalu terdapat peningkatan bukti yang mendukung pernyataan bahwa ANCA memperkuat kejadian imuno-inflamasi yang berkontribusi pada penyalit granulomatosis Wagener gangguan lain yang berkaitan yaitu poliangitis mikroskopik. Meskipun mayoritas pasien dengan granulomatosis Wagener yang membentuk ANCA memiliki antibodi spesifik terhadap proteinase-3 (PR-3), tidak semua pasien memberikan hasil ANCA positif. Hauschild dkk. Menemukan bahwa 23.700 sampel serum diuji dari lebih dari 13.600 pasien dimana 445 orang diantaranya memiliki granulomatosis Wagener. Pada individu granulomatosis Wagener dengan lesi terbatas tanpa glomerulonefritis, ANCA positif pada 55% pasien. Pada pasien yang mengalami glomerulonefritis, ANCA didapatkan pada 88% pasien. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin berat penyakitnya, termasuk adanya glomerulonefritis, hasil tes ANCA-nya cenderung positif. Hal yang perlu diingat berdasarkan penelitian ini dan penelitian lainnya adalah bahwa ANCA tidak secara universal terdapat pada semua pasien granulomatosis Wagener.Usaha untuk mengidentifikasi komplek imun yang mengandung antibodi PR-3 dan komplemen jaringan tidak teraktivasi secara umum tidak memberikan hasil yang memuaskan. Karena itu, kecuali keterbatasan dalam uji sensitivitas, tidak didapatkannya ANCA pada minoritas pasien dengan granulomatosis Wagener aktif dapat mengindikasikan bahwa, jika terdapat peranannya, maka peranannya tidak penting. Namun sejumlah besar data mengindikasikan bahwa ANCA biasanya dengan spesifisitas terhadap PR-3 dan kadang terhadap mieloperoksidase (MPO) dapat berkontribusi terhadap aktivasi dan jejas pada pembuluh darah.4 6 Neutrofil yang teraktivasi mengekspresikan berbagai antigen sitoplasma pada permukaan sel, dan banyak daripadanya adalah enzim. Ikatan antibodi dengan proteinase-3, MPO dan berbagai enzim sitoplasma neutrofil lainnya meningkatkan aktivasi neutrofil, degranulasi dan produksi superoksida. Enzim sitoplasma neutrofil dapat juga berikatan dengan sel endotel yang secara langsung dapat menyebabkan jejas, sehingga mengaktivasi sel endotel yang berakibat dihasilkannya interleukin-8 ( IL-8) oleh sel endotel. Interleukin 8 merupakan agen kemotaktik yang sangat kuat untuk neutrofil. Seiring dengan kejadian tersebut, sel endotel yang terpapar PR-3 juga meningkat secara bertahap, produksi IL-1α dan faktor jaringan, sebagai inisiator utama kaskade koagulasi. Monosit seperti juga neutrofil, menghasilkan PR-3, dan ketika teraktivasi dan terpapar kepada anti PR3, mereka secara jelas akan meningkatkan produksi IL-8. Hal ini selanjutnya akan memperkuat kemotktik dari neutrofil. Jika sel endotel juga mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dan mengekspresikan PR-3, selanjutnya akan meningkatkan terjadinya jejas vaskular. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa produksi PR-3 oleh sel endotel dan beberapa peneliti lainnya tidak, meyebabkan terjadinya perdebatan. Efek dari ANCA yang menyebabkan peningkatan aktivasi neutrofil dan sel endotel serta jejas yang terjadi dirangkum dalam gambar 2.1.4 7 Gambar 2.1. Efek dari ANCA yang menyebabkan peningkatan aktivasi neutrofil dan sel endotel serta jejas yang terjadiDikutip dari Hoffman GS 7 Secara jelas data tersebut menunjukkan pembuktian kuat untuk dugaan peranan ANCA pada patogenesis penyakit granulomatosis Wagener dan poliangitis mikroskopik. Meskipun penelitian ini menunjukkan potensi ANCA untuk meningkatkan jejas vaskular, mereka tidak menjelaskan selektivitas organ. Hipotesis berdasar pada ANCA lebih meningkatkan rasa ingin tahu jika membahas mengenai organ yang cenderung terlibat pada granulomatosis Wagener seperti saluran nafas dan ginjal dapat ditunjukkan untuk menyediakan lingkungan dengan ANCA tinggi yang memediasi terjadinya jejas. 4 8 Peranan potensial infeksi dalam inisiasi dan promosi perkembangan granulomatosis Wagener tetap menjadi hal yang menarik. Pasien dengan granulomatosis Wagener dan kelainan vaskular lainnya sering tampil dengan gambaran klinis yang menduga adanya penyakit infeksi. Pada granulomatosis Wagener menjadi catatan khusus bahwa saluran nafas hampir selalu terlibat pada tahap inisiasi. Penelitian mengenai lavase bronkoalveolar melibatkan pasien yang baru terdiagnosis penyakit granulomatosis Wagener dan mereka yang telah mengalami reaktivasi penyakit juga penderita dalam keadaan remisi. Pada pasien tanpa gambaran klinis penyakit saluran nafas yang aktif umumnya memiliki alveolitis neutrofilik pada saat onset dan reaktivasi penyakit. Diduga bahwa stimulasi jalan nafas menghasilkan suatu respon neutrofilik pada penderita yang rentan secara imunologi, dapat mencetuskan gejala sistemik yang kita kenal sebagai granulomatosis Wagener. Hingga saat ini, penelitian histopatologi spesimen biopsi jalan nafas , termasuk pewarnaan khusus untuk mikroorganisme dan kultur untuk bakteri, mikobakteria, , jamur, mikoplasma, virus saluran nafas, gagal untuk menunjukkan agen penyebab infeksi. Namun demikian, hamper semuanya menggunakan teknik laboratorium konvensional. . Teknik molekular yang lebih memuaskan seperti polymerase chain reaction (PCR) dapat mengidentifikasi agen infeksius pada penyakit lain dimana persyaratan kultur kurang baik dan pewarnaan jaringan kurang sensitif.4 Pencarian lebih lanjut etiologi agen infeksius harus lebih terdorong karena berbagai alasan. Beberapa infeksi diketahui berkaitan dengan tipe tertentu vaskulitis. Penyakit Marek, suatu bentuk terakselerasi dari aterosklerosis dan 9 inflamasi vascular berkaitan dengan virus herpes chicken avian. Penyakit ini dapat menghancurkan seluruh kawanan yang bias dicegah dengan imunisasi. Pada manusia, vaskulitis dilaporkan terjadi berhubungan dengan virus hepatitis B, virus hepatitis C, virus Epstein Barr, parvo B-19 dan infeksi HIV. Namun demikian, pasien yang mengalami infeksi tersebut mengalami berbagai masalah klinis dengan kurang dari 1% pasien mengalami vaskulitis. Penelitian tersebut menduga terdapat abnormalitas pejamu tertentu yang menyebabkan ekspresi penyakit khas ini.. Beberapa penelitian terhadap hewan coba mendukung hipotesis ini. Sebagai contoh, berbagai tikus yang mengalami gangguan imun dengan tampilan luar normal akan mengalami vaskulitis setelah infeksi virus herpes gama. Vaskulitis yang terjadi pada hewan ini muncul pada keadaan defisiensi genetik interferon gama dan reseptor interferon gama.4 Beberapa dugaan yang menyatakan bahwa infeksi persisten merupakan stimulus untuk vaskulitis tidak dapat dipertahankan karena sebagian besar dengan terapi imunosupresif adalah untuk menyelamatkan nyawa dan pasien tidak meninggal karena infeksinya yang berat. . Pasien dengan hepatitis B atau hepatitis C , vaskulitis yang terjadi sering membaik secara bertahap. Namun demikian dengan terapi imunosupresif maka jumlah virus akan meningkat. Skenario yang serupa didokumentasikan dengan baik pada cerpelai yang terinfeksi virus penyakit Aleutian. Strain virus yang berbeda menghasilkan perbedaan beratnya penyakit dan meskipun semua cerpelai rentan, cerpelai yang mengalami penyakit Aleutian adalah yang rentan terhadap infeksi. Hewan yang terinfeksi menghasilkan kompleks imun yang bersirkulasi dan berkembang menjadi vaskulitis yang 10 mematikan yang dapat dicegah dengan terapi siklofosfamid meskipun terjadi viremia.4 Model hewan coba ini dimana vaskulitis dan infeksi terjadi bersama menunjukkan kemiripan dengan vaskulitis pada manusia. Keterlibatan organ dan pembuluh darah biasanya tidak seragam dengan sejumlah daerah yang terlewat. Tidak semua organ menghasilkan pola vaskulitis yang sama . Pada model hewan coba tikus yang terinfeksi virus herpes gama, kelainan terutama terjadi pada arteri besar seperti aorta dan cabang utamanya, sementara pada cerpelai yang mengalami infeksi Aleutian terutama kelainan terjadi pada pembuluh darah berukuran sedang dan kecil. Mungkin perangkat unik yang dimiliki agen infeksius seperti afinitas terhadap substrat jaringan tertentu, perangkat jaringan fokal, , karakteristik hemodinamik organ dan respon imun yang unik daerah yang berbeda mungkin penting untuk terjadinya target organ yang mengalami vaskulitis. Penelitian terbaru pada manusia menduga bahwa dengan infeksi oleh Chlamydia pneumonia atau cytomegalovirus dapat memperkuat komponen inflamasi dari aterosklerosis. Mungkin peningkatan respon inflamasi pada penderita yang mengalami gangguan imun mirip dengan scenario yang terjadi pada manusia. Mungkin kondisi vaskulitis idiopatik mungkin ditemukan dengan etiologi infeksi sehingga berpotensi untuk ditemukan terapi.4 Percobaan yang lain menitikberatkan pada usaha untuk memahami mekanisme yang mendasari terjadinya granuloma pada granulomatosis Wagener. Pada penyakit inflamasi granulomatosa lain ditemukan bahwa prosesnya dimediasi oleh sel T CD4+ tersensitisasi yang menghasilkan sitokin Th1 (IL-2, IFN-γ, TNF-α). 11 Kemiripan proses inflamasi pada granulomatosis Wagener, meningkatkan kecurigaan bahwa jejas pada jaringan dan vaskulitis mungkin dimediasi oleh respon imun Th1 yang menyimpang. Dukungan mengenai mekanisme iti terdapat pada beberapa penelitian. . Abnormalitas kuantitatif dan kualitatif dalam produksi sitokin telah digambarkan pada granulomatosis Wagener dan sindroma vaskulitis terkait. Peningkatan kadar IL-1, IL-2, IL-6 dan TNF-α dan peningkatan produksi TNF-α oleh sel mononuclear yang bersirkulasi telah dilaporkan pada pasien granulomatosis Wagener. Penelitian lebih baru yang berfokus pada produksi sitokin pro inflamasi pada lesi vaskulitis in situ. Peningkatan produksi IL-1 dan TNF-α ditemukan pada glomeruli ginjal pasien dengan granulomatosis Wagener dan glomerulonephritis aktif reverse transcription (RT) PCR, hibridisasi in situ dan teknik imunohistokimia. . Dengan menggunakan pendekatan yang sama, Weyand dkk. menemukan mRNA untuk IL-1,TNF-α, IL-2, IL-6, IFN-γ dan TGFβ pada potongan arteri temporalis penderita giant cell arteritis dan sindroma vaskulitis granulomatosa lainnya. Pada penelitian parallel dari histologi normal arteri temporal normap pasien reumatik polimialgia, mRNA untuk IL-1, TNFα, IL-2 dan IL-6 dapat dideteksi tetapi sampel jaringan tidak mengandung IFN-γ, diduga bahwa IFN-γ mungkin terlibat pada terjadinya progresi arteritis yang tampak.4 Data terbaru dari Ludvikkson dkk. menyajikan data yang paling menarik yang mencatat bahwa sel T yang berhubungan dengan inflamasi granulomatosa dari penyakit granulomatosis Wagener mengalami penyimpangan melalui pola sitokin Th1. Penelitian dari limfosit yang terdapat pada darah perifer menunjukkan bahwa 12 sel T CD4+ menghasilkan kadar IFN-γ 10-20 kali lebih tinggi dan secara signifikan mengandung kadar TNF-α yang lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan oleh sel T CD4+ dari kontrol normal. Berlawanan dengan hal tersebut, Tidak terdapat perbedaan kadal sitokin yang berhubungan dengan sitokin Th2 (IL4, IL-5 atau IL-10) yang dihasilkan oleh sel T dari pasien dengan granulomatosis Wagener dibandingkan subjek control. Temuan bahwa lesi granulomatosis Wagener berhubungan dengan penyimpangan sel T melalui diferesnsiasi Th1 berefek pada abnormalitas regulasi IL-12 yang merupakan penginduksi primer dari produksi IFN-γ oleh sel T. Meskipun kadar tertinggi dari IL-12 diperoleh dengan monosit dari pasien dengan penyakit yang aktif, Ludvikkson dkk. mengamati bahwa monosit dari pasien dengan penyakit yang inaktif juga menghasilkan peningkatan jumlah IL-12. Hal tersebut menduga bahwa peningkatan produksi IL-12 bukan merupakan efek sekunder terhadap proses inflamasi tertapi merupakan gambaran primer dari granulomatosis Wagener.4 Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hipotesis bahwa paparan pasien granulomatosis Wagener dengan factor lingkungan (seperti infeksi) atau autoantigen menyebabkan respon IL-12 makrofag yang massif yang mengawali terjadinya ketidakseimbangan produksi sitokin Th1. Produksi yang menyimpang dari TNF-α dan IFN-γ dapat menginisiasi dan melangsungkan lesi vascular dengan inflamasi granulomatosa yang menjadi ciri khas granulomatosis Wagener. Proses tersebut mungkin lebih jauhnya dapat dipengaruhi oleh ANCA yang mungkin dapat memperkuat aktivasi neutrophil, sel endotel dan monosit. Namun demikian seperti dijelaskan sebelumnya, karena terdapatnya penderita 13 granulomatosis Wagener dengan ANCA yang negatif, meskipun sedikit namun signifikan, maka peranan penting ANCA pada proses ini tampaknya tidak mendukung. Temuan tersebut mempunyai implikasi penting untuk terapi penderita granulomatosis Wagener. Didapatkan kesimpulan khusus, peneliti menduga melalui upaya downregulate jalur Th1 dan produksi IL-12 dapat menghentikan inflamasi. Hal tersebut didukung dengan temuan bahwa dengan penambahan IL-10 eksogen menyebabkan blokade produksi IFN-γ tergantung dosis oleh sel mononuklear darah perifer pasien dengan granulomatosis Wagener aktif.4 2.3 Gambaran Klinis Lebih dari 90% pasien dengan penyakit granulomatosis Wagener pertama kali berobat karena keluhan gejala saluran nafas atas dan atau bawah. Keluhan di hidung dan sinus ditandai dengan hidung tersumbat dan epistaksis karena mukosa yang rapuh, ulserasi atau menebal. Perforasi septum nasi dan atau deformitas saddle nose dapat terjadi karena destruksi kartilago nasal. Keluhan lain yang dapat dijumpai adalah nyeri dan bengkak di wajah serta perforasi palatum. Tanda yang paling khas dijumpai pada pemeriksaan fisik adalah perforasi septum nasi dengan atau tanpa masa jaringan lunak yang dapat berkembang progresif hingga terjadinya autorinektomi.4,8 Tampilan klinisnya dapat dilihat pada gambar 2.2. 14 Gambar 2.2 Tampilan klinis pasien granulomatosis Wagener Dikutip dari Teli 9 Pada suatu penelitian ditemukan juga stenosis subglotis hampir pada 20% pasien yang dapat mengancam kehidupan karena terganggunya patensi jalan nafas. Kecurigaan yang sangat tinggi sangat penting dalam deteksi lesi ini karena sering terjadi pada saat diagnosis pertama kali tidak didapatkan gambaran lain penyakit granulomatosis Wagener aktif dan tidak menunjukkan gejala spesifik seperti sesak, perubahan suara dan batuk. Meskipun penyakit subglotis secara optimal didiagnosis dengan visualisasi otolaringologi, dugaan obstruksi ekstratorasik dapat dilihat melalui perubahan pada flow volume loop (gambar 2.3). Flattening baik pada fase inspirasi maupun inspirasi sesuai dengan obstruksi ekstratorasik terfiksasi.4 15 Gambar 2.3.Flow volume loop pasien granulomatosis Wagener dengan diameter subglotis 2 mm Dikutip dari Langford 4 Pada saluran nafas bawah, penyakit granulomatosis Wagener dapat berpengaruh pada parenkim paru, bromkus dan jarang pada pleura. Pemeriksaan foto rontgen polos dada harus dilakukan pada semua pasien yang diduga granulomatosis Wagener karena pada 34% kasus didapatkan abnormalitas meskipun tanpa gejala. Walaupun infiltrat nodular bilateral sering dijumpai,namun gambarannya dapat bervariasi termasuk infiltrat/nodul tunggal, penyakit dengan kavitas dan perdarahan alveolar difus (Gambar 2.4).4 Gambar 2.4. Tomografi komputer berbagai spektrum abnormalitas radiografi yang melibatkan parenkim paru pada penderita granulomatosis WagenerDikutip dari Langford4 16 Inflamasi dan stenosis endobronkial ditemukan pada sekitar 15% pasien dengan keterlibatan paru (gambar 2.5). Penyakit endobronkial dapat disertai dengan keluhan batuk, mengi, sesak, hemoptisis atau dengan gejala yang berkaitan dengan atelektasis atau post obstructive infection.4 Gambar 2.5. Penyempitan endotrakea pada penderita granulomatosis WagenerDikutip dari Langford 4 Glomerulonefritis merupakan salah satu manifestasi penyakit granulomatosis Wagener yang paling serius. Manifestasi klinis ini dapat mengalami progrsi secara cepat hingga terjadi gagal ginjal komplit meskipun tanpa gejala. Deteksi dapat dilakukan melalui pemeriksaan urin dan darah. Pada pemeriksaan tersebut dapat dijumpai abnormalitas berupa proteinuria, sedimen aktif dari urin dengan hematuri mikroskopik dan cast eritrosit. Penurunan fungsi ginjal dapat dinilai dari peningkatan kreatinin serum atau penurunan creatinin clearance. Kewaspadaan akan terjadinya glomerulonegritis sangat penting karena meskipun hanya didapatkan pada 20% pasien pada saat didiagnosis, namun 80% pasien dapat berkembang mengalami glomerulonefritis selama perjalanan penyakitnya. 4 17 Meskipun granulomatosis Wagener diklasifikasikan berdasarkan 3 organ yang terlibat, yaitu jalan nafas atas, paru dan ginjal, namun penyakit ini dapat melibatkan sekaligus ketiga organ tersebut (Tabel 2.1). Mata dan sistem saraf merupakan bagian tubuh yang juga berpotensi menimbulkan morbiditas. Manifestasi okular dapat berupa gangguan penglihatan baik secara langsung mengenai mata atau melalui struktur di sekitarnya. Keluhan tersebut meliputi episkleritis, skleritis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, vaskulitis retina, neuritis optik dan pseudotumor retroorbita. Mononeuritis multipleks dijumpai pada 15% pasien dan 8% mengalami penyakit sistem saraf pusat.4 Tabel 2.1 Profil klinis keterlibatan organ pada granulomatosis Wagener Organ Frekuensi saat pertama Frekuensi selama berobat (%) perjalanan penyakit (%) Saluran nafas atas 73 92 Saluran nafas bawah 48 85 Ginjal 20 80 Sendi 32 67 Mata 15 52 Kulit 13 46 Saraf 1 20 18 2.4 Diagnosis dan Penggunaan Klinis dari Antineutrophilic Cytoplasmic Antibody (ANCA) Diagnosis banding dari granulomatosis Wagener sering berdasarkan pada bagian organ yang terlibat dan sering juga termasuk infeksi, neoplasma, penyakit jaringan ikat dan penyakit granulomatosis lainnya. Mengingat medikasi yang digunakan untuk terapi granulomatosis Wagener berpotensi toksik dan dapat memperburuk kondisi lainnya yang sudah ada, maka suatu penegakkan diagnosis pasti sangat penting.4 Diagnosis penyakit granulomatosis Wagener biasanya ditegakkan melalui histopatologi yang menunjukkan adanya vaskulitis, inflamasi granulomatosa dan nekrosis (Gambar 2.6).6 Gambar 2.6. Gambaran histologi penderita granulomatosis WagenerDikutip dari Langford 4 Gambaran histopatologi sering menunjukkan distribusi yang tidak merata sehingga untuk memperoleh hasil biopsi positif dipengaruhi oleh organ yang 19 terkena dan khususnya jumlah jaringan yang diperoleh. Keputusan untuk menentukan bagian mana yang akan diambil untuk sediaan biopsi tergantung dari faktor individual termasuk beratnya penyakit, tingkat invasif prosedur, data literatur dan urgensi pemberian terapi. Antineutrophil Cytoplasm Antibody (ANCA) pertama kali digambarkan pada tahun 1982 dan pada tahun 1985 ditemukan bahwa ANCA mempunyai hubungan kuat dengan penyakit granulomatosis Wagener aktif. Sejak penemuan tersebut, terdapat dua pola penting pada pewarnaan imunofuoresen untuk ANCA, yaitu pola sitoplasmik (c-ANCA) dan pola perinuklear (p-ANCA). Sitoplasmik ANCA (c-ANCA) telah ditemukan pada 70-90% pasien denga granulomatosis Wagener aktif, target antigennya adalah preteinase-3, yaitu suatu protease serin dengan ukuran 29 kD yang ditemukan pada granula azurofilik dari neutrofil. Perinuklear ANCA (p-ANCA) mempunyai rentang yang luas dalam hubungannya dengan penyakit dan spesifisitas antigen, namun hanya ditemukan pada 5-10% pasien dengan granulomatosis Wagener. Hal tersebut terjadi karena adanya myeloperoksidase , yaitu unsur lain yang terdapat pada granula neutrofil. 4 Sensitivitas pemeriksaan ANCA untuk granulomatosis Wagener dilaporkan pada rentang 28-92%. Spektrum yang luas ini sebagian mencerminkan perbedaan kriteria yang diaplikasikan untuk menegakkan diagnosis granulomatosis Wagener. Beberapa penelitian menunjukkan spesifisitas yang tinggi untuk c-ANCA pada penegakkan diagnosis penyakit ini, dengan rentang 80-100%. Tinggunya spesifisitas dan sensitivitas pemeriksaan c-ANCA untuk granulomatosis Wagener meningkatkan ketertarikan untuk penggunaan pemeriksaan tersebut sebagai alat 20 bantu diagnostik. Disamping temuan tersebut, kenggunaan ANCA sebagai uji diagnostik juga dipengaruhi oleh probabilitas sebelum uji dari penyakit yang akan menjadi rendah pada sebagian besar situasi klinis ditunjukkan oleh perjalanan alamiah yang tidak umum dari penyakit ini. Hasil tes ANCA positif telah juga dilaporkan pada penyakit lain yang merupakan diagnosis banding granulomatosis Wagener. Karena itu, hasil tes ANCA positif mungkin berguna untuk menduga adanya kemungkinan penyakit granulomatosis Wagener, tetapi tidak digunakan untuk menggantikan sediaan bipsi untuk diagnosis.4 Titer ANCA akan bervariasi selama perjalanan penyakit dan kadarnya menunjukkan lebih tinggi pada kondisi aktif sehingga beberapa peneliti mepertanyakan apakah pemeriksaan ANCA serial dapat digunakan untuk memprediksi kekambuhan penyakit dan panduan pengambilan keputusan terapi. Namun demikian, pada pasien-pasien yang dilakukan pemeriksaan tunggal, kemudian diperiksa ulang setelah 18 bulan, 44% pasien yang mengalami kenaikan titer ANCA empat kali lipat, tidak menunjukkan peningkatan aktivitas klinis. Atas hal tersebut, kemungkinan perburukan penyakit mungkin tidak terjadi dan toksisitas terapi harus dipertimbangkan. Kenaikan titer ANCA tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk memulai kembali atau meningkatkan terapi. Atas hal tersebut, lakukan evaluasi secara hati-hati untuk mendapatkan pembuktian objektif aktifnya penyakit dan pemantauan rutin pasien. 4 21 2.5 Terapi 2.5.1 Evolusi Terapi Terapi granulomatosis Wagener telah mengalami perubahan besar sejak penyakit ini digambarkan pada tahun 1930. Beberapa dekade sesudahnya, granulomatosis Wagener dinyatakan sebagai penyakit fatal karena belum terdapat terapi yang efektif. Sebelum tahun 1970, pasien granulomatosis Wagener bertahan hanya 5 bulan setelah didiagnosis dan 82% pasien meninggal dalam 1 tahun. Meskipun dengan penggunaan glukokortikoid, rata-rata angka harapan hidup setelah didagnosis adalah 12,5 bulan.5 Mulai awal 1970, terdapat perubahan dramatis pada terapi granulomatosis Wagener.Fauci dkk. mengkombinasikan siklofosfamid harian dan glukokortikoid dosis tinggi samapai pasien mengalami remisi untuk 1 tahun.5 Dalam beberapa tahun terakhir, terapi standar baru untuk granulomatosis Wagener telah berkembang. Tujuan utama terapi terkini adalah mengendalikan penyakit dengan cepat, membatasi ekstensi dan beratnya kerusakan organ permanen dana meminimalisir morbiditas jangka pendek dan jangka panjang yang sering terjadi akibat terapi. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui 2 fase terapi yaitu : induksi dari remisi didikuti dengan pemeliharaan maintenace) dari remisi. Selama fase induksi diberikan pemberian siklofosfamid dengan durasi lebih pendek yang dikombinasikan dengan glukokortikoid.Setelah berhasil induksi dari 22 remisi, fokus terapi beralih kepada pemeliharaan remisi selama dan setelah tappering glukokortikoid.5 2.5.2 Terapi Iinduksi Remisi Sebelum memulai terapi induksi, harus dilakukan penilaian terhadap penyakitnya apakah berat atau terbatas. Kategorisasi tersebut akan menentukan regimen terapi yang akan kita pilih untuk fase induksi remisi, Pada kasus yang berat, yaitu jika didapatkan ancaman langsung baik terhadap fungsi organ vital ataupun terhadap kehidupan pasien, diperlukan agen terapi dengan potensi toksik yang lebih besar (misalnya siklofosfamid dan pulse glukokortikoid). Manifestasi yang sering dijumpai pada kasus berat antara lain glomerulonefritis progresif cepat, perdarahan alveolarmononeuritis multipleks dan khususnya lesi mata yang membahayakan seperti skleritis dan keratitis ulseratif perifer. Penyakit yang terbatas sering ditandai dengan lesi pada saluran nafas atas dan paru, semua kasus yang tidak berat diberikan agen terapi dengan potensi toksik lebih rendah (misalnya metotreksat dan glukokortikoid). Pada penyakit yang terbatas dapat disertai dengan keluhan rinorea, hidung beringus dengan sekret berdarah atau purulen, ulkus pada oral atau nasal (atau keduanya), stenosis subglotis, gangguan dengar konduktif nodul pada paru. 2.7. 5 Algoritma terapi dapat dilihat pada gambar 23 Gambar 2.7. Algoritma terapi pasien granulomatosis Wagener. Terapi diberikan jika diagnosis sudah tegak. AZA; Azatioprin, CYC, siklofosfamid ; GC; glukokortikoid, MTX; Metotreksat Dikutip dari Wung 5 Regimen siklofosfamid untuk granulomatosis Wagener pertama kali digunakan pada tahun 1970, dapat mengrubah kasus fatal dalam beberapa bulan setelah didiagnosis untuk mencapai remisi pada sebagian besar kasus. Siklofosfamid dapat diberikan per oral sebagai dosis harian atau intravena secara intermiten. Dosis harian siklofosfamid yang biasa digunakan adalah 2mg/kg/hari dan tidak boleh melebihi 200 mg/hari. Penyesuaian dosis sangat penting untuk pasien usia tua (lebih dari 70 tahun), disfungsi ginjal, sitopenia atau fungsi hati yang abnormal.5 Penyesuaian dosis siklofosfamid jika terdapat disfungsi ginjal dapat dilihat pada tabel 2.2. 24 Tabel 2.2 Penyesuaian dosis siklofosfamid jika terdapat disfungsi ginjal Sebagai tambahan penyaringan rutin sederhana untuk menyingkirkan sistitis yang diinduksi obat, infeksi oportunis, keganasan dan efek toksik lain yang diakibatkan siklofosfamid. Rekomendasi respon klinis jika terdapat efek samping siklofosfamid dapat dilihat pada tabel 2.3.5 Tabel 2.3 Rekomendasi respon klinisi jika terdapat efek samping siklofosfamid5 No. 1. Efek samping Mual dan muntah Tindakan Berikan dosis multipel, hindari pemberian di sore hari 2. Supresi sumsum tulang Hentikan pemberian obat samapai sitopenia teratasi. Siklofosfamid dapat diberikan kembali pada 50% dosis pretoksik 3. Peningkatan fungsi hati Hentikan pemberian obat samapai fungsi hati normal atau kurangi dosis 50% dari dosis pretoksik 25 4. Disfungsi ginjal Hentikan obat samapai disfungsi ginjal teratasi atau kurangi dosis berdasarkan tabel 2 5. Infeksi oportunis Hentikan obat samapai infeksi teratasi atau kurangi dosis obat. 6. Sistitis hemoragik Obat jangan dilanjutkan 7. Gangguan ovarium Batasi lamanya pemberian obat 8. Keganasan Batasi lamanya pemberian obat Sebagai upaya mencegah terjadinya efek toksik jangka panjang dari siklofosfamid, regimen terkini diberikan dengan durasi yang lebih pendek yaitu 36 bulan. Durasi yang sebelumnya diberikan menurut Fauci dkk. adalah 2 tahun. Namun demikian, meskipun dengan pemberian obat jangka pendek, pasien tetap beresiko tinggi untuk mengalami kesakitan akibat terapi. Toksisitas akibat obat terlihat pada pemberian obat dengan dosis harian. Hat tersebut menimbulkan penelitian mengenai alternatif pemberian obat tersebut yaitu dengan pemberian secara intermiten. Regimen intermiten siklofosfamid yaitu diberikan satu kali setiap 4 minggu pada dosis 750-100mg/m2, sehingga diharapkan terdapat dosis akumulasi yang lebih rendah (hampir setengah 50% dari dosis harian), dengan lama pemberian sama. Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan remisi penyakit dapat berhasil diinduksi baik dengan dosis harian maupun intermiten. Beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian harian masa remisi yang lebih panjang. Namun demikian, pada kenyataannya pemberian harian pada induksi remisi angka kekambuhannya tetap signifikan. Tanpa melihat pemberian obat 26 harian atau intermiten yang harus diperhatikan adalah pemantauan dan pencegahan terjadinya efek samping obat.5 Berkaitan dengan efek toksik dari siklofosfamid, metotreksat dikombinasikan dengan glukokortikoid merupakan terapi alternatif penting untuk terapi induksi remisi pada pasien dengan penyakit terbatas. Dosis awal metotreksat yang diberikan adalah0,25 mg/kg/ minggu ( biasanya 15-20 mg/minggu), ditingkatkan samapai dosis maksimal 25mg/minggu. Jika pasien tetap dalam kondisi remisi dalam 12 bulan, metotreksat diturunkan 2,5 mg/bulan. Pendekatan lain yang didukung oleh data yang teliti adalah menghentikannya secara tiba-tiba tanpa penurunan bertahap atau pada pasien yang dicurigai resiko tinggi relaps dilanjutkan tanpa batas tertentu. Kontraindikasi obat ini adalah pada pasien dengan insufisiensi ginjal (misal dengan kreatinin serum lebih dari 2 mg/dl. Metotreksat yang dikombinasikan dengan glukokortikoid dapat menginduksi remisi pada mayoritas pasien yang dipilih dengan hati-hati, sehingga efek toksik penggunaan siklofosfamid dapat dihindari. Angka kekambuhan dengan menggunakan obat ini lebih tinggi dibandingkan pada pasien yang menggunakan siklofosfamid. De Groot dkk. menyarankan penggunaan metotreksat dengan durasi lebih lama pasda terapi pemeliharaan harus dipertimbangkan. 5 2.5.3 Terapi Pemeliharaan Remisi Setelah remisi telah diinduksi dengan salah satu regimen di atas, tujuan terapi selanjutnya adalah untuk menjaga penyakit tetap tenang dengan menggunakan 27 obat yang toksisitasnya lebih rendah dari siklofosfamid. Dua agen utama yang digunakan untuk penjaga fase pemeliharaan remisis adalah metotreksat dan azatioprin. Dosis awal penggunaan azatioprin adalah 2 mg/kg/hari.5 2.5.4 Terapi Profilaksis Profilaksis untuk menghadapi efek samping yang sering dijumpai akibat terapi sangatlah penting. Eberapa diantaranya adalah : 1. Pneumonia pneumokistik. Penyakit tersebut disebabkan kuman oprtunis seperti Pneumocyctis jiroveci karena pemberian obat imunosupresif. Pemberian trimetroprim-sulfametoksazol (baik dengan kekuatan ganda, tiga kali seminggu, atau kekuatan tunggal satu kali sehari). Pada pasien yang alergi dengan obat tersebut dpat diberikan dapson (100 mg/hari) atovaquon (1.5 gr/hari) atau pemberian pentamidin aerosol tiap bulan. 2. Sistitis akibat siklofosfamid. Komplikasi ini timbul akibat metabolit siklofosfamid yaitu acrolein pada urotelium. . Untuk menghindari hal tersebut pasien harus diberikan siklofosfamid pada pagi hari dan minum 1,5 sampai 2 liter/ hari untuk menjaga diuresis. Untuk mencegah sistitis hemoragik dapat diberikan merkaptoetan sulfonat (MESNA) intravena selama pemberian siklofosfamid intermiten intravena. 3. Osteoporosis. Efek samaping ini terjadi akibat pemberian glukokortikoid jangka panjang. , sehingga pasien harus diberikan kalsium elemental 1,5 gr/hari dan vitamin D 700-800 IU/hari. Pada pasien post menopauseharus 28 dipertimbangkan pemberian hormon estrogen pengganti. Pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid dengan dosis 7,5 mg atau lebih, selama lebih dari 6 bulan juga harus diberikan bifosfonat.5 2.5.5 Terapi Yang Sebelumnya Telah Digunakan Tetapi Belum Terdapat Pembuktian Trimetroprim-sulfametoksazol dapat digunakan untuk mencegah kekambuhan pada pasien dengan penyakit terbatas, tidak berat, tetapi hanya terbatas mencegah relaps pada saluran pernafasan atas.5 2.5.6 Terapi Masih Dalam Penelitian Yang termasuk obat-obat golongan ini adalah : 1. Tumor necrosis factor antagonists 2. Rituximab 3. Leflunemide 4. Mycophenolate mofetil 5. Deokxyspergualin 5 29 BAB III Limfoma Ekstranodal Sel Natural Killer/Sel T Tipe Nasal 3.1 Definisi Limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal adalah suatu limfoma ektranodal polimorfik yang mengekspresikan fenotip sel NK atau sel T sitotoksik (lebih jarang).10 World Health Organization (WHO) membagi limfoma ekstranodal sel NK/sel T non cutaneous menjadi 4 kategori utama yaitu tipe nasal, tipe sel T enteropati, sel T hepatoslpenik dan sel T subcutaneous panniculitis-like. 10 Penelitian terakhir melaporkan bahwa limfoma sel NK blastik, suatu bentuk tumor sel NK yang lain, berasal dari prekursor sel dendritik plasmasitoid.11 3.2 Epidemiologi Penyakit ini jarang terjadi dan mempunyai hubungan yang konsisten dengan virus Epstein Barr. Distribusi geografis dan ras bervariasi. Sering dijumpai di daerah Asia dan Amerika latin Laki-laki lebih sering terkena penyakit ini dibandingkan wanita.11 3.3 Histopatologi dan Imunohistologi Limfoma non Hodgkin dari cincin Waldeyer didominasi oleh tipe sel B sedangkan limfoma non Hodgkin pada hidung terutama limfoma sel NK/sel T. Secara histopatologi, limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal 30 menunjukkan gambaran sitologi yang bervariasi , sering terjadi angioinvasi dan angiosentrisitas dengan zona nekrosis (gambar 3.1).11 Gambar 3.1. Gambaran histopatologi limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal dikutip dari pathpedia Imunohistologi limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal yang didapatkan dapat dilihat pada table 3.1.10 31 Tabel 3.1. Imunohistologi limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe Nasal10 Analisis genetik melalui hibridisasi in situ didapatkan hasil Epstein Barr virus (EBV) EBER positif pada 25-90% kasus. Hal tersebut tergantung dari lokasi geografis. Pada daerah endemik hasil positif dapat mencapai 95%. 10 Pada kasus dengan fenotip NK akan mempunyai germline konfigurasi gen reseptor sel T.10 32 3.4 Gejala Klinis Sebagian besar pasien limfoma ekstranodal sel NK/sel T tipe nasal dating dengan keluhan hidung tersumbat dan atau destruksi hidung dan jaringan sekitarnya. Lesi dapat meluas ke daerah sinus paranasal tetapi bukan primer dari daerah tersebut. Keterlibatan kelenjar getah bening, dan sumsum tulang serta sindroma hemofagositik dapat terjadi jika penyakitnya diseminata. Keluhan dapat disertai demam, malaise dan penurunan berat badan. 10 3.5 Kriteria Diagnosis Limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal mengenai struktur hidung dan jaringan di dekatnya serta dapat disertai dengan keterlibatan kelenjar getah bening regional. Sebagian besar pasien didiagnosis dengan penyakit lokal, yaitu stadium I atau II. 10 Kriteria diagnosis penyakit ini meliputi 1. Lesi ekstranodal primer, sebagian besar mengenai hidung dan dapat disertai keterlibatan kelenjar getah bening 2. Nekrosis hamper selalu didapatkan. Pada keadaan ini dapat terlihat destruksi vaskular, sering dijumpai ulserasi dan mungkin pada pemeriksaan histopatologi dapat terlihat gambaran hyperplasia pseudoepiteliomatosa. 3. Tampilan histopatologinya sangat bervariasi mulai dari small cell sampai large cell. Sering dijumpai tipe campuran small cell dan large cell, banyak 33 terdapat sel inflamasi dan pada pewarnaan Giemsa dapat dilihat sitoplasma yang jernih dengan granula azurofilik. 4. Pemeriksaan CD56 positif. Pada kasus tertentu, meskipun jarang CD56 mungkin kurang sehingga memberikan hasil negatif, tetapi pada pemeriksaan EBV, CD3+ dan protein sitotoksik memberikan hasil positif. 5. EBV positif. 10 3.6 Sadium Klinis (Staging) Penentuan stadium klinis limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal ditentukan berdasarkansistem Ann Arbor, yaitu : Stadium I : o I jika melibatkan kelenjar getah bening regional tunggal o IE jika melibatkan organ ekstralimfatik Stadium II : o II jika melibatkan dua atau lebih kelenjar getah bening regional pada sisi yang sama dari diafragma o IIE jika didapatkan keterlibatan organ ekstralimfatik terlokalisir dan satu atau lebih kelenjar getah bening regional pada sisi yang sama dengan diafragma Stadium III : o III jika terdapat keterlibatan krlrnjar getah bening regional pada kedua sisi diafragma o IIIS jika terdapat keterlibatan lien/spleen 34 o IIIE jika terdapat keterlibatan ekstralimfatik Stadium IV : o IVJika didapatkan keterlibatan satu atau lebihorgan atau jaringan ekstralimfatik yang difus atau diseminata Gejala sistemik dalam 6 bulan sebelum datang berobat : o Demam, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan 10% o A = tidak ada o B = ada Jika terdapat keterlibatan ekstranodal : o M+ =Marrow (sumsum tulang) o L+ = Lung (paru) o H+ = Liver (hati) o P+ = Pleura o O+ = bone (tulang) o D+ = kulit dan jaringan subkutan Sistem Ann Arbor menurut aslinya digunakan untuk limfoma Hodgkin, tetapi digunakan juga untuk limfoma non Hodgkin.10 3.7 Terapi Penyakit limfoma ekstranodal sel NK/sel T tipe nasal secara klinis ditandai dengan kecenderungan terjadi pada laki-laki muda, sebagian besar datang dengan stadium I dan II terlokalisir, resisten terhadap kemoterapi konvensional dan sensitif terhadap radioterapi. Secara keseluruhan untuk pasien dengan stadium 35 dini, diffuse large cell lymphoma, kemoterapi diikuti dengan radioterapi pada daerah yang terlibat dipertimbangkan sebagai terapi standar. Berlawanan dengan hal tersebut, terapi optimal untuk limfoma ekstranodal sel NK/sel T tipe nasal masih belum jelas sehingga masih terdapat berbagai perbedaan terapi yang diberikan, antara lain radioterapi saja, kemoterapi saja, kombinasi radioterapi dan kemoterapi, radioterapi diikuti kemoterapi dan kemoterapi diikuti dengan radioterapi.13 Radioterapi diberikan melalui akselerator linear 6 MV atau 8 MV. Dosis median adalah 50 Gy, dengan rentang dosis 40-64 Gy, dengan dosis per fraksi 2 Gy. Regimen kemoterapi yang diberikan yaitu CHOP (siklofosfamid, doksorubisin, vinkristin, prednison), CHOP-bleo (CHOP + Bleomisin), COBVP (cisplatin, vinkristin, bleomisin, prednison) dan COPP (siklofosfamid, vinkristin, prokarbazin, prednison).13 Pada penelitian yang dilakukan oleh Xiong dkk. mengenai terapi limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal terutama stadium dini, menemukan bahwa radioterapi memberikan efektivitas yang tinggi, relatif resisten terhadap kemoterapi, tidak ada keuntungan penambahan kemoterapi berbasis doksorubisin pada radioterapi dan keberhasilan yang ditunjukkan dengan pemberian radioterapi pada pasien yang berespon kurang baik setelah pemberian kemoterapi. Atas dasar pertimbangan tersebut radioterapi direkomendasikan sebaga iterapi primer limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal stadium dini. Pada pasien dengan sadium IE radioterapi harus dipertimbangkan sebagai modalitas terapi utama. Radioterapi diikuti dengan kemoterapi diberikan 36 pada pasien stadium IIE. Progresi ekstranodal dan kejadian relaps yang ditemukan pada observasi pasien dengan stadium IIE-IV jelas menggambarkan perlunya terapi sistemik yang lebih inovatif.13 3.8 Diagnosis Banding Diagnosis banding limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal meliputi : 1. Proses inflamasi non spesifik, dibedakan dengan limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal melalui penilaian : Identifikasi sel atipik dengan diikuti fenotip penegakkan diagnosis NK/T limfoma tipe nasal, yaitu : o CD56+, EBV+,CD3+ atau o CD56-, EBV+, CD3+ dan protein sitotoksik+ Infiltrasi trabekula tulang dari septum nasi sangat curiga kearah keganasan 2. Limfoma sel T perifer, dibedakan dengan limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal melalui penilaian : Identifikasi sel atipik dengan diikuti fenotip penegakkan diagnosis NK/T limfoma tipe nasal, yaitu : o CD56+, EBV+,CD3+ atau o CD56-, EBV+, CD3+ dan protein sitotoksik+ 37 Limfoma ekstranodal sel Natural Limfoma ekstranodal sel T tipe Killer (NK)/sel T tipe nasal enteropati CD56 100% CD56 20% EBV 100% pada tipe nasal dan pada EBV bervariasi, mungkin tipe lain dan diluar daerah endemik dipengaruhi geografi Tidak didapatkan enteropati Enteropati pada daerah yang berdekatan 75% Keduanya melibatkan saluran gastrointestinal dan keduanya mengekspresikan marker sel T sitotoksik. 3. Granulomatosis limfomatoid, penyakit ini menurut asalnya dipertimbangkan sebagai limfoma sel T angiosentrik. Saat ini dikenal sebagai proses sel B EBV+ dengan marker sel T yang jelas. 4. Leukemia sel NK agresif. Pada kasus limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T yang melibatkan sumsum tulang tumpang tindih dengan leukemia sel NK agresif yang dapat memberikan gambaran leukemia.10 38 BAB IV SIMPULAN 1. Lethal Midline Granuloma merupakan penyakit yang jarang ditemukan dan sangat sulit diidagnosis karena gejalanya tidak spesifik, kadang diperlukan beberapa kali biopsi untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. 2. Gambaran umum penyakit ini biasanya terjadi lesi ulseratif yang pada akhirnya menyebabkan destruksi daerah hidung sehingga terjadi gangguan fungsi dan deformitas kosmetik. Mayoritas kasus penyakit ini meliputi limfoma ekstranodal sel natural killer/sel T tipe nasal dan Wegener’s granulomatosis. 3. Wegener’s granulomatosis lebih sering terjadi pada laki-laki, usia antara 40 dan 50 tahun dan secara klasik tampak dengan adanya lesi pada jalan nafas, glomerulonephritis dan vaskulitis diseminata. Pada beberapa kasus tes cANCA memegang peranan dalam menentukan diagnosis penyakit ini 4. Tujuan utama terapi terkini penyakit granulomatosis Wagener adalah mengendalikan penyakit dengan cepat, membatasi ekstensi dan beratnya kerusakan organ permanen dana meminimalisir morbiditas jangka pendek dan jangka panjang yang sering terjadi akibat terapi. 5. Limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal adalah suatu limfoma ektranodal polimorfik yang mengekspresikan fenotip sel NK atau sel T sitotoksik (lebih jarang). 39 6. Limfoma ekstranodal sel Natural Killer (NK)/sel T tipe nasal ditandai dengan kecenderungan terjadi pada laki-laki muda, sebagian besar dating dengan stadium I dan II terlokalisir, resisten terhadap kemoterapi konvensional dan sensitif terhadap radioterapi. 40 DAFTAR PUSTAKA 1. Niemeyer B, Bahia PRV, Oliveira ALVSM, Marchon Júnior JL. 2012. Lethal midline granuloma syndrome: a diagnostic dilemma. Radiol Bras. Dez;45(6):353–355. 2. Parker NP, Pearlman AN, Conley DB, et al. 2010. The dilemma of midline destructive lesions: a case series and diagnostic review. Am J Otolaryngol. 31:104–9. 3. Jaffe Es, Chan JK, Su IJ, dkk. 1996. Report of the workshop on nasal and related extranodal angiocentric natural killer cell limfomas, definition, differential diagnosis and epidemiology. Am J. Surg. Pathol ; 20(1) ; 103-111 4. Langford CA, Hoffman GS. 1999. Wagener’s granulomatosis. Thorax;54:62937. 5. Wung PK, Stone JH. 2006. Therapeutics of Wagener’s granulomatosis. Nature Clinical Practice; 2:4 6. Stone JH. 2003. Limited versus severe Wagener’a granulomatosis ; baseline data on patients in the Wagener’s granulomatosis etanercept trial. Arthritis Rheum;43:2299-2309) 7. Hoffman GS et al.1992. Wagener granulomatosis: an analysis of 158 patients. Ann Intern Med:116;488-98) 8. Borges A, Fink J, Villablanca P et al. 2000. Midline destructive lesion of the sinonasal tract : simplified terminology based on hystopatologic criteria. Am J Neuroradiol:21:331-36 9. Teli MA, Baba, Gupta M et al.2009. Lethal midline granuloma presenting as facial selulitis. JK Science;11:1 10. Stanford school of medicine. 2014. Surgical Pathology Criteria: Extranodal NK/T cell Lymphoma, Nasal Type. 11. You JY, Chi KH, Yang MH et al. 2004. Radiation therapy versus chemotherapy as initial treatment for localized nasal natural killer (NK)/T-cell lymphoma: a single institute survey in Taiwan. Ann of Oncol; 15:618-25. 41 12. Diunduh dari http://www.pathpedia.com/education/eatlas/histopathology/paranasal_sinuses/ nk___t_cell_lymphoma_nasal_type.aspx 13. Xiong Y, Bao B, Jin J. 2006. Radiotherapy as primary treatmentfor satge IE and IIE Nasal Natural Killer/T Cell L Lymphoma. J of Clin. Oncol;24:1.