LON FULLER, PEMBUATAN UNDANG-UNDANG DAN PENAFSIRAN HUKUM Oleh: Gunawan Widjaja, SH., MH., MM ABSTRACT Laws are made to create legal certainty for the society. Globalisation has caused the mingling of legal system and legal tradition. Fuller offered 8 desiderata, the requirements need to make good laws. By following the 8 desiderata, the laws made by legislative body shall provide legal order in the society. The 8 desiderata are generality, promulgation, prospectivity, clarity, consistency or avoiding contradiction, possibility of obedience, constancy through time or avoidance of frequent change, congruence between official action and declared rules. To achieve congruence between official action and declared rules, interpretation plays very important rules. Each legal tradition has its own way of interpretation. One should not use the wrong conception of interpretation otherwise it will create chaos in the society. PENDAHULUAN Globalisasi sebagai suatu bentuk fenomena sosial, mengandung makna yang dalam. Globalisasi terjadi di segala aspek kehidupan manusia, baik dalam lapangan ekonomi, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan maupun teknologi'. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kegiatan ekonomi dan sosial, mau tidak mau juga membawa pengaruh dan memasuk wilayah hukum. Hukum sebagai suatu sub sistem sosial tidak dapat lepas dari 18 • berbagai macam perubahan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk perubahan dalam kegiatan ekonomi dan sosial2. Pengaruh globalisasi dalam lapangan ekonomi ini, yang membawa perubahan dalam paradigma hukum pada hampir seluruh negara-negara di dunia ini, tidak hanya negara-negara maju melainkan juga negara-negara berkembang. Setiap perubahan dalam kegiatan ekonomi, pasti akan 1 Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, ed., Problema Globalisasi (Perspektif Sosiologi Hukum. Ekonomi dan Agama). (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), hal.vi. 2 Ibid, hal. vii. Law Review, Fakultas Hukum Ihiiversitas Pelita llaranan. Vol VI, No I. Juli 2006 Gunawan Widjaja, Sh.. Mh.. Mm : Lon Fuller. Pembuatan Undang-undang membawa perubahan dalam hukum dan praktek hukum'. Dengan globalisasi, kegiatan perdagangan internasional tidak lagi diatur berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu, melainkan juga pada suatu bentuk persetujuan (agreement) bilateral atau multilateral, dan hukum negara asmg dari mitra dagangnya". Jadi dengan demikian tidak ada lagi kotak-kotak hukum yang menjadi halangan bagi transaksi-transaksi yang berskala internasional. Ini juga berarti terjadi perubahan dalam hukum dan praktek hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu5. Artinya hukum dan praktek hukum pada suatu negara harus menyesuaikan diri, tidak hanya dengan ketentuan hukum asing, melainkan juga pada persetujuan yang telah dicapai dan dihasilkan secara bersama. 5 Gary Goodpaster, "Changes in the Legal Profession in The United States since 1900, dalam CFG Sunaryati Hartono, Business and the Legal Profession in an Age of Computerization and Globalization (Bandung: Alumni, 2000), ha!. 26. 4 Sunaryati Hartono, "The Impact of Economic Internationalization and Globalization upon Legal Institutions and the Legal Profession, dalam CFG Sunaryati Hartono, Business and the Legal Profession in an Age of Computerization and Globalization (Bandung: Alumni, 2000), hal. 74. * Ibid, hal. 75. Dan Salah satu pengaruh globalisasi terhadap hukum dan sistem hukum, seperti yang dikemukakan oleh Francis Snyder6, adalah lahimya "global legal pluralism". Dalam pandangan Snyder, ada dua aspek yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pluralisme hukum global ini: 1. eksistensi dan keterlibatan dan sedemikian banyak pranata, norma, kaedah, proses penyelesaian sengketa yang ada dalam tiaptiap wilayah hukum di dunia ini7. 2. hubungan dari pranata-pranata, norma-norma, kaedah-kaedah, proses-proses tersebut dalam suatu wilayah hukum, yang saling berinteraksi. Dalam kaitan dengan interaksi antara norma, kaedah, proses antar sistem hukum yang ada, dapat diketahui bahwa adakalanya norma-norma, kaedahkaedah, aau proses hukum tertentu adalah norma, kaedah atau proses hukum yang independen, ada yang merupakan bagian dan suatu sistem hukum yang lebih besar. 6 Francis Snyder, "Global Economic Networks and Global Legal Pluralism", EUI Working Pa^ per Law No. 99/6, yang disajikan di the Institute of International Studies, Stanford University, 2 April 1999, hal 15. 'Ibid. Law Review. Fakultas Hukum Universilas Pelila llaiapan. Vol VI, No. I, Juli 2006 19 Gunawan Widjaja, Sh.. Mh.. Mm Lon Fu Dengan konteks yang demikian, maka antara naorma-norma, kaedah-kaedah, maupun prosesproses hukum yang saling berinteraksi tersebut, kemungkinan akan ada yang saling mendukung, bertolak belakang, bersaingan, bertumpang tindih, atau bahkan saling melengkapi. Dengan mengetahui hubungan-hubungan tersebut, maka dapat ditemukan karakteristik dasar dari berbagai pilihan dalam suatu pluralisme hukum yaitu karakteristik sepadan (yang saling mendukung) atau hirarkis/ berjenjang (yang saling melengkapi), karakteristik dominan atau serapan, karakteristik kreativitas atau imitasi, karateristikkonvergensi atau divergensi dan sebagainya8. Dengan demikian, maka disadari atau tidak disukai atau tidak suatu proses interaksi antara berbagai pranata, kaedah dan sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya juga akan menghasilkan konflik hukum9. Dalam pandangan kalangan positivist, eksistensi dari berbagai 7; Pemhuatan Undang-undang Dan macam norma, kaedah atau proses hukum yang ada dalam suatu wilayah hukum tertentu cenderung mengurangi sifat kepastian hukum. Suatu proses berpikir logis, deduktif analitis, dengan asumsi-asumsi dasar yang melatar belakanginya menjadi tidak jelas dan kabur, oleh karena dapat saja norma, kaedah atau proses hukum yang satu berbeda dari norma, kaedah atau proses hukum yang lain10. Tidak sesuainya antara suatu peraturan dengan peraturan yang lain jelas akan membuat ketidakpastian hukum. LON FULLER DAN KEPASTIAN HUKUM Seperti telah dikatakan di atas, sebagai suatu sistem, hukum mempunyai banyak keterkaitan dengan berbagai aspek bahkan sistem-sistem lain yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian maka hukum, sebagai produk, harus dapat menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Seringkali peraturan perundang-undangan yang dibentuk gagal memberikan kepastian hukum 8 Ibid, hal. 16. ' Klaus Gunther, "Legal Pluralism and the Universal Code of Legality: Globalisation as a Problem of Legal Theory", hal. I. 20 10 Ibid, hal. 2 L"w Review, Fakullas llukuni Universilas Pelita Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006 Gunawan Widjaja, Sh.. Mh., Mm : Lon Fuller, Pcmbuatan Undang-undang bagi masyarakat, yang pada akhirnya gagal menciptakan ketertiban hukum dalam masyarakat. Fuller menemukan bahwa ada delapan hal yang menyebabkan sulit terciptanya ketertiban hukum dalam masyarakat. Kedelapan hal tersebut oleh Fuller disebut dengan delapan desiderata. Delapan desiderata itu selanjutnya oleh Fuller dijabarkan sebagai persyaratan yang harus dipenuhi agar hukum yang dibentuk dapat bekerja baik dalam masyarakat. Kedelapan hal tersebut adalah1': /. Generality; 2. Promulgation; 3. Prospectivity; 4. Clarity; 5. Consistency or avoiding contradiction; 6. Possibility of obedience; 7. Constancy through time or avoidance of frequent change; 8. Congruence between official action and declared rules. Dan tersebut menjadi buruk, melainkan hanya mengakibatkan bahwa sistem hukum yang berjalan tersebut tidak pantas untuk disebut dengan suatu sistem hukum yang layak, yang tidak dapat berlaku secara efektif dan baik1-. HUKUM DAN MORALITAS Menurut Fuller, hukum dan moralitas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu Fuller membagi moralitas ke dalam moralitas kewajiban (morality of duty) dan moralitas aspirasi (morality of aspiration) yang menjadikannya hukum13. Moralitas kewajiban adalah suatu ketentuan yang minimum harus ada dalam suatu masyarakat agar masyarakat tersebut dapat berjalan dengan baik14. Sedangkan moralitas aspirasi memungkinkan manusia untuk mencapai hal yang terbaik dalam hidup manusia15. Moralitas aspirasi ini dalam pandangan Fuller masih dapat dibagi 12 Tidak dipenuhinya salah satu dari kedelapan hal tersebut tidaklah menjadikan sistem hukum yang berlaku " MR Zafer. Jurisprudence: An Outline (Kuala Lumpur: International Law Book Series, 1994), hal. 45. Lon L. Fuller, Morality of Law (New Haven and London: Yale University Press, 1964), hal. 39. 11 Wayne Morrison, Jurisprudence: from the Greeks to post-modernism. (London: Cavendish Publishing Limited, 2000), hal. 387. 14 Zafer, op cit, hal. 44. 15 Morrison, op cit, hal. 387. Lihat juga Fuller, op cit, hal 5-6. Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006 21 Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm : Lon Fuller, Pemhuatan Undang-undang lagi ke dalam moralitas eksternal (external morality) dan moralitas internal (internal morality, inner morality)^. Moralitas eksternal mengatur hal-hal yang ideal yang seharusnya ada sebagai substansi dari suatu aturan hukum yang ada dalam masyarakat17. Sedangkan moralitas internal adalah suatu proses, suatu moralitas yang memungkinkan kehidupan manusia diatur dengan baik berdasarkan aturanaturan hukum yang dibuat tersebut (the morality that makes law possible)'8. Kedelapan desideratum ini dalam pandangan Fuller merupakan perwujudan dari moralitas aspirasi manusia, untuk menuju pada kehidupan yang lebih baik19. 1. Generalitas Undang-Undang Desideratum Fuller yang pertama, berkaitan dengan "generalitas undangundang". Agar kehidupan manusia dalam bermasyarakat dapat menjadi tertib dan teratur, persyaratan mengenai eksistensi atau keberadaan dari hukum adalah suatu keharusan Dan yang tidak dapat ditolak. Dengan generalitas di sini dimaksudkan bahwa dalam suatu sistem hukum harus ada peraturan 20 . Peraturan tersebut mengatur mengenai perilaku tertentu dari setiap anggota masyarakat dan bagaimana perilaku tersebut diawasi dalam pelaksanaannya. Peraturan ini terus berjalan dan tidak berhenti selama masyarakat tersebut masih tetap ada21. Ini berati suatu aturan, khususnya undang-undang harus dibuat bukan untuk kepentingan dari orang, golongan atau suatu kelompok tertentu, dan karenanya harus diterapkan dan berlaku secara umum 22 . Dengan demikian suatu undang-undang yang dibuat semata-mata hanya untuk kepentingan sesaat atau hanya untuk suatu hal atau kejadian tertentu bukanlah suatu aturan atau ketentuan yang baik23. Zafer, op cit, hal. 44. Ibid. Lihat juga Morrison, op cit, hal. 388. 18 Morrison, op cit., hal. 388. " Zafer, op cit, hal 44. 20 Thomas Ian McLeod, Legal Theory. (London: MacMillan Press Ltd, 1999), hal. 85. Bandingkan juga dengan Stufenbau Theorie dari Hans Kelsen. 31 Austin Chinhengo, Essential Jurisprudence. (London: Cavendish Publishing Limited, 2000), hal. 65. "Fuller, loccit, hal. 47. 23 Chinhengo, loc cit, hal. 65. 22 Utas Pelila Harapan. Vol VI. No. I. Jult 2006 16 17 Low Review. Fakiillas Hukum I Ini Guiuiwan Widjaja, Sh , Mh.. Mm Lon Fuller, Pemhuatan Undang-undang 2. Undang-Undane Hams Diumumkan Desideratum ke dua yang dikemukakan oleh Fuller berkaitan dengan pengumuman yang harus dilakukan agar peraturan perundangundangan yang dibuat tersebut dapat diketahui oleh seluruh anggota masyarakat dan karenanya dilaksanakan sepenuhnya oleh setiap anggota masyarakat tersebut24. Fuller, dalam The Morality of Law, mengemukakan bahwa desideratum ke dua, yang dikemukakan olehnya ini bukan suatu hal yang mudah untuk dipahami dan dimengerti dengan mudah. Beberapa pertanyaan mendasar dapat lahir dari desideratum ini. Apakah dengan dilakukannya pengumuman tersebut, maka setiap hal yang disebutkan dalam undang-undang tersebut lantas mengikat, bagaimana selayaknya seorang mengetahui pengumuman yang diberikan tersebut, apakah setiap peraturan yang dikeluarkan harus diumumkan manakala sesungguhnya setiap anggota masyarakat sudah mengetahuinya dengan pasti25. Untuk menjawab hal -4 Chinhengo, op cit, hal. 65. ''Fuller, op. cit, hal. 50-51. Dan tersebut, Fuller mengemukakan bahwa pengumuman adalah suatu keharusan, mengingat bahwa dengan dilakukannya pengumuman, maka orang dapat memprediksi segala sesuatu yang dilakukan olehnya. Dengan demikian, maka setiap anggota masyarakat dapat menentukan langkah-langkah yang harus dipenuhi, syarat-syarat yang harus dilaksanakan, dengan segala akibat hukumnya. Bahkan dalam hal tertentu pengumuman tersebut memungkinkan dilakukannya kritik, keberatan atau tanggapan terhadap peraturan yang telah diumumkan tersebut, sehingga nantinya peraturan tersebut akan menjadi jauh lebih baik. Mengenai bentuk pengumuman, Fuller mengemukakan bahwa pengumuman tersebut haruslah memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk mengetahui dan memperolehnya secara mudah. Dan ini tidaklah berarti dengan pengumuman tersebut, setiap orang diharapkan untuk membaca, mengetahui dan memahaminya semua dengan baik26. 26 Ibid. Perhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI. No I, Juli 2006 23 Gunawan Widiaja. Sh.. Mh.. Mm : Lon Fuller. Pembuatan Undang-undang 3. Undang-Undang Surut tidak Berlaku Suatu peraturan yang telah diundangkan dan diumumkan kepada masyarakat luas, sudah selayaknya mulai berlaku terhitung sejak tanggal pengumuman tersebut dilakukan. Dalam pandangan Fuller, undangundang tidak boleh berlaku surut, kecuali misalnya dengan tujuan untuk melakukan perbaikan terhadap kesalahan dalam penerapan undangundang sebelumnya, dan tidak boleh diberlakukan bagi undang-undang yang bertujuan untuk memberikan sanksi pada anggota masyarakat27. UndangUndang dibuat hanya tersedia dan karenanya dapat diketahui oleh anggota masyarakat setelah undang-undang tersebut diumumkan. Dengan demikian maka setiap anggota masyarakat dapat melakukan penilaian sebelum dia melakukan suatu hal tertentu, dan dengan demikian tidak selayaknyalah jika anggota masyarakat dihukum berdasarkan pada suatu undangundang yang sebelumnya tidak diketahuinya sama sekali28. 27 McLeod, op cit., hal. 86. Wayne Morrison, Elements of Jurisprudence. (Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1994), hal. 180. 28 24 Dan . Di Indonesia, asas non-retroactive ini, juga telah diberlakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan Umum mengenai PerUndang-Undangan untuk Indonesia29, yang menyatakan: "De wet verbindt alleen voor het toekomende en heft gene terugwerkende kracht" atau "Undang-undang hanya berlaku untuk waktu kemudian dan tidak berlaku surut". 4. Rumusan Undang-Undang haruslah Jelas Rumusan yang jelas peraturan perundang-undangan yang dibuat merupakan salah satu syarat yang menentukan legalitas dari peraturan perundang-undangan yang dibuat30. Anggota masyarakat tidak mungkin dapat mengerti dan karenanya melaksanakan undang-undang yang tidak jelas isinya ataupun yang membingungkan31. Setiap undangundang yang dibuat dan diundangkan serta dipublikasikan haruslah memberikan rumusan yang mudah 2 ' Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, Staatsblad 1847 No. 23. 30 Fuller, op cit, hal. 63. !l Chinhengo, op cit., hal.66. Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelita Harapan, Vol. VI, No I, Juli 2006 Gunawan Widjaja, Sh., Mh.. Mm : Lon Fu dimengerti, khususnya terhadap hal-hal yang diharapkan untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat tersebut32. Dalam konteks kejelasan undangundang ini, Fuller ada mengemukakan suatu pendapat yang mengatakan bahwa pembuat undang-undang tidak diwajibkan untuk membuat semua rumusan dalam undang-undang menjadi jelas, oleh karena dalam prakteknya aturan-aturan yang dibuat tersebut akan diatur lebih lanjut secara lebih mendetail oleh pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan; demikian juga jajaran hakim memiliki kewajiban untuk meluruskan kembali dan menjelaskan kembali segala sesuatu yang kurang jelas tersebut". Terhadap pandangan tersebut, Fuller mencontohkan bahwa, dalam lapangan komersial, hal-hal tersebut memang masih dapat diserahkan pengaturannya lebih lanj ut pada pihak-pihak yang lebih berkompeten, yang lebih mengerti dan tahu tentang hal-hal yang perlu diatur lebih lanjut 34 , namun demikian ketentuan tersebut tidak dapat •r, Pembiiatan Undang-undang Dan di"generalisasi"kan untuk semua ketentuan dalam setiap undangundang35. Dalam undang-undang yang mengatur mengenai hukum pidana, hal tersebut tidak dapat diperkenankan, dan pada kenyataannya masalah kejelasan dalam aturan hukum, khususnya bidang pidana telah banyak diadopsi.36. Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa kejelasan rumusan atau kata-kata yang diatur dalam suatu undang-undang bagi satu atau lebih pihak yang berkecimpung atau terlibat dan terkait erat belum tentu cukup jelas dan memberikan pengertian yang sama bagi orang dan atau pihak lainnya. Untuk itulah maka selanjutnya selanjutnya oleh Fuller disyaratkan adanya desideratum selanjutnya, yang berhubungan erat dengan konsistensi dalam konsepsi, konstruski dan tentunya istilah yang dipergunakan dalam satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. 35 32 Morrison, Jurisprudence, op. cit., hal. 389. Fuller, op cit., hal 64. 34 Bandingkan dengan azas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian. 33 Fuller, op cit., hal. 64 lbid,catatan kaki no. 21, hal. 63. Bandingkan juga dengan prinsip noela poena sine praevia lege poenali dalam hukum pidana (Pasal I ayat (1) KUHP). 36 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol VI. No I. Juli 2006 25 Gunawan Widjaja. Sh., Mh., Mm : Lon Fuller, Pembuatan Undang-undang 5. Konsistensi dalam Konsepsi Hukutn Desideratum yang kelima dari Fuller mensyaratkan bahwa undangundang yang dibuat tidak boleh saling bertentangan satu dengan yang lain (non-contradictory)"'. Undangundangyang dibuat secara inkonsisten, yang tidak sejalan antara satu peraturan udang-undang dengan undang-undang lainnya akan membuat undang-undang tersebut tidak dapat dilaksanakan dalam praktek. Hal tersebut juga nantinya akan menyebabkan undang-undang yang telah dibuat tersebut menjadi tidak ditaati oleh anggota masyarakat. Anggota masyarakat menjadi bingung untuk menentukan ketentuan undangundang mana yang harus mereka taati dan ikuti. Inkonsistensi menyebabkan gagalnya pembentukan hukum pada suatu masyarakat tertentu. Inkonsistensi tidaklah berarti sematamata adanya pertentangan (repugnant) atau kontradiksi (contradictive), melainkan juga mencakup adanya ketidaksesuaian (incompatibility), atau tidak sejalan (inconvenience)™. " Chinhengo, op cit, hal. 66. 18 Fuller., op cit, hal. 69. 26 Dan Konsistensi tidak hanya berlaku bagi penggunaan istilah dalam rumusan kata-kata dalam suatu peraturan perundang-undangan melainkan juga harus meliputi konsistensi dalam konsepsi dan konstruksi hukum. Dalam hubungannya konsistensi dalam konsepsi hukum lni, penafsiran hukum memainkan peran yang cukup penting. Penafsiran hukum yang dilakukan tidak boleh keluar dari konsepsi hukum yang telah ada. Sehubungan dengan penafsiran hukum atau penafsiran suatu undang-undang, William Tetley mengemukakan bahwa tradisi hukum Eropa Kontinental memiliki cara penafsiran yangberbeda dari negara-negara yang menganut tradisi hukum Common Law39. Tetley mengemukakan bahwa dalam tradisi Hukum Eropa Kontinental sekurangnya dikenal dua metode penafsiran, yaitu metode penafsiran yang dikemukakan oleh Mazeaud dan Mignault40. M 40 http://tetlev.law.mcgill.ca/maritime/ch3.pdf Ibid. Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006 Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm Lon Fuller, Pembuatun Undang-undang a. Metode Penafsifan Mazeaud Metode penafsiran Mazeaud dapat disarikan sebagai berikut41: 1) Jika kata-kata atau teks kalimat sudah jelas, maka tidak boleh ada lagi penafsiran. Peraturan tersebut harus dibaca dan diberlakukan sesuai dengan kata-kata dan atau teks yang tercantum di dalamnya. 2) Jika rumusan kata-kata atau teks kalimat tidak jelas, hakim berkewajiban untuk mencari maksud dari pembuat undangundang dengan memahami seluruh ketentuan dalam peraturan tersebut, dalam kaitannya dengan pasal atau ayat atau ketentuan yang tidak jelas tersebut. 3) Jika pemahaman tersebut di atas tidak juga cukup untuk mengetahui secara utuh maksud dan tujuan dari ketentuan yang tidak jelas tersebut, maka hakim dapat mempelajan bahan-bahan yang dipergunakan oleh pembuat undang-undang dalam mem41 Mazeaud, Leconsde Droit Civil, 7 Ed., Paris, 1983, t. 1, vol. 1, at para. 110, dikutip dari http://tetlev.law.mcgill.ca/maritime/ch3.pdf Dan buat dan menyusun undangundang tersebut. Bahan-bahan ini tidaklah mengikat hakim. 4) Jika kata-kata dan atau teks tersebut sama sekali tidak memberikan suatu penyelesaian, maka hakim berkewajiban untuk mencoba memahaminya dan selanjutnya menemukan hukum melalui kata-kata dan atau teks tersebut. Dalam konteks yang demikian, maka kata-kata atau teks tersebut tetap merupakan satu kesatuan utuh, meskipun melalui penemuan hukum tersebut, ada unsur-unsur baru yang dimasukkan ke dalamnya. 5) Setiap saat hakim dapat atau berhak untuk memberikan putusan berdasarkan prinsipprinsip hukum yang berlaku umum, yang dikombinasikan dengan perkembangan ilmu hukum dari waktu ke waktu. Walau demikian pemberian putusan yang demikian harus dibuat dengan baik dan penuh pertimbangan. Hakim tidak dapat dengan hanya sematamata mempergunakan teks atau rumusan yang ada dalam suatu Law Review, Fakultas Hukum Universitas I'elita Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006 11 Gunawan Widjajci. Sh., Mh., Mm : Lon Fuller. Pembuatan Undang-undang peraturan perundang-undangan untuk mengambil putusan tersebut. 6) Hakim juga dapat menggunakan logika hukum dalam memberikan alasan pemberian suatu putusan. Setiap bentuk pengecualian harus diperhatikan dengan seksama dan hatihati. Rumusan kata-kata khusus harus diperhatikan untuk memberikan penekanan yang berbeda dari rumusan katakata yang bersifat umum. b) Metode penafsiran Mignault Metode penafsiran P.B. Mignault dapat diringkas sebagai berikut:42 1) Dalam menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan, yang pertama kali harus 42 Dan diperhatikan adalah isi dari teks atau rumusan peraturan perundang-undangan itu sendiri. 2) Hanya dalam hal terdapat ambuguitas dalam memahami isi teks atau rumusan peraturan tersebut, penafsiran diperbolehkan. Penafsiran harus dilakukan terlebih dahulu terhadap laporan-laporan resmi (yang berisikan pernyataanpernyataan dari pembuat peraturan selama proses pembuatan peraturan tersebut) yang merujuk pada lahirnya rumusan teks tersebut. 3) Dalam hal masih terdapat keraguan mengenai maksud pembuat undang-undang, dapatlah ditunjuk pada doktrin, yang merupakan pendapatpendapat yang berkembang dari para ahli yang sudah diakui dalam bidangnya. P.B. Mignault, "Le Code Civil de La Province de Quebec et son Interpretation" (193536), 1 U. of Toronto L.J. 104 hal. 124, dikutip dari http:// tetlev.law.mcgill.ca/maritime/ch3.pdf. Dalam catatan kaki no. 15 yang dimuat dalam http:// tetlev.law.mceillca/maritime/ch3.pdfdikatakan bahwa motode penafsiran yang dikemukakan oleh Mignault diringkas dari metode penafsiran yang dikemukakan oleh F.P. Walton dalam The Scope and Interpretation of the Civil Code of Lower Canada, Wilson & Lafleur Ltee., Montreal, 1907. 5) Terakhir, pada negara-negara yang memiliki tradisi hukum 28 Pelita Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006 Law Review, Fakultas Hukum thii 4) Selanjutnya jika hal tersebut juga masih belum dapat memberikan kejelasan, maka putusan-putusan hakim atau peradilan yang lebih tinggi dapat dipergunakan sebagai rujukan. Gunawan Wiiljaja, Sh., Mh., Mm Lon Fuller, Pembuatan Unclang-undang yang bercampur (mixed jurisdiction), ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dikenal dalam tradisi hukum Common Law (le droit anglais), dapat dipertimbangkan untuk dipergunakan sebagai referensi, jika ketidakjelasan tersebut sedikit banyaknya terkait dengan pranata yang bersumber pada ketentuan tradisi hukum Anglo Saxon. Dari penjelasan yang diberikan di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum, penafsiran dalam tradisi hukum Eropa Kontinental, jauh lebih luas dan bebas, "rather than restrictive, focusing on the purpose of the provisions as determined by the judge, and permitting the use of various external aids fe.g. the preparatory works, surrounding circumstances, and analogies)"*3. 4 ' Sebagaimana dirujuk dalam http:// tetlev,law.mcgill,ca/maritime/ch3.pdf. A. Kiantou-Pampouki dalam "The Interpretation of International Maritime Conventions in Civil Law and in Common Law", General Report presented to the XIII Conference of the International Academy of Comparative Law, Montreal, 1990, hal. 6, mengemukakan bahwa "He [the civilian judge] is free to choose the methods or the 'instruments ' which he expects Dan Sedangkan metode penfsiran dalam negara-negara yang menganut tradisi hukum Anglo Saxon, yang paling banyak dipergunakan adalah yang diperkenalkan oleh Sir Courtney Ilbert44. Beberapa cara penafsiran tersebut diantaranya adalah. 1) Aturan atau ketentuan yang dimuat dalam suatu peraturan perundangundangan harus dibaca dalam satu kesatuan. Dengan demikian berarti setiap rumusan, istilah yang dipergunakan pada salah satu bagian sangat berpengaruh dalam memberikan penafsiran terhadap bagian lain dalam peraturan tersebut. 2) Aturan yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundangundangan harus dapat ditafsirkan dalam kerangka dan konsepsi hukum dari peraturan lain yang to assist him in providing a convincing solution, even outside the legal text, such as the preparatory works, the circumstances under which the law was enacted, as well as subsequent events regarding the law. He may correct the legal text, by restricting or enlarging itsfield of operation. He may also proceed to an analogy of law or form a new rule so that one way or another he may meet with new situations which are not covered by the text.'" 44 Sir Courtney Ilbert, Legislative Methods and Forms, H. Frowde, London, 1901, at pp. 250251, dikutip dari http://tetlev.law.mcgill.ca/ maritime/ch3.pdf. Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol VI, No. I, Juli 2006 29 Gunawan Widjaja. Sh.. Mh., Mm : Lon Fuller, Pemhuatan Undang-undung mengatur mengenai hal yang serupa atau sama. Dalam hal demikian, maka rumusan dan istilah yang dipergunakan harus juga dipahami dengan benar. Pengertian yang diberikan dalam sutau rumusan atau istilah yang dipergunakan dalam suatu ketentuan atau peraturan seringkali berkaitan dengan pengertian yang diatur dalam peraturan yang lain. Dengan demikian, maka jika ada perbedaan dalam penggunaan rumusan atau istilah, maka hal tersebut akan lebih mudah dipahami dalam kerangka perbedaan tersebut saja. 3) Jika ada suatu ketentuan khusus (the special provision/ lex specialist), maka ketentuan khusus tersebut, yang diatur secara berbeda akan berlaku mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum (the general rule/ lege generali). 4) Dalam hal terdapat rumusan atau istilah khusus yang diikuti dengan suatu istilah umum, maka sifat keumuman dari rumusan atau istilah tersebut dibatasi hanya terhadap dan pada batasan kekhususan yang diberikan dalam 30 Law Review. Fakultas Hukum Uni Dan rumusan atau istilah khusus tersebut. ('Ejusdem generis' rule). 5) Dalam hukum pidana, kecuali ditentukan secara lain dan tegas, maka secara umum, kehendak atau pengetahuan bahwa suatu tindakan merupakan tindak pidana harus ada dan ternyata dalam setiap rumusan pidana. 6) Suatu pendapat bahwa pembuat undang-undang berkehendak untuk mengecualikan suatu aturan hukum dalam (Common Law) tidaklah diperkenankan kecuali dinyatakan dengan tegas dalam peraturan yang dibuat. 7) Suatu asumsi yang bertentangan dengan kehendak untuk membatasi kewenangan hakim yang lebih tinggi tidak diperbolehkan kecuali dinyatakan secara tegas. 8) Peraturan yang dibuat oleh legislatif (Inggris) tidak berlaku di luarwilayah (Inggris). 9) Asumsi yang bertentangan dengan kehendak untuk melanggar ketentuan hukum internasional tidak diperkenankan, kecuali secara tegas dinyatakan. 10) Peraturan yang dibuat oleh Kerajaan tidaklah mengikat, kecuali ditentukan sebaliknya. rsitas Pelita Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006 Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm : Ion Fuller, Pembuatan Undang-undang ll)Peraturan perundang-undangan tidaklah berlaku surut, kecuali yang hanya berlaku bagi proses dan praktek peradilan semata-mata. 12)Aturan yang berlaku untuk kepentingan publik haruslah dibaca sebagai keharusan ('may' = 'shall')" Dengan demikian penafsiran peraturan dalam Common Law menunjukkan peran undang-undang di Inggris, sebagai tambahan atau perbaikan terhadap Common Law, yang secara historis sangat dibatasi. Perhatian diberikan pada pengertian dari rumusan kata-kata yang diundangkan, dengan tujuan untuk memastikan dan memberikan akibat hukum pada kehendak pembuat undang-undang, sebagaimana tertuang dalam rumusan kata-kata undang-undang itu sendiri dan pengakuan terhadap beberapa metode atau cara penafsiran di luar konteks undang-undang itu sendiri45 45 A. Kiuntou-Pampouki, "The Interpretation of International Maritime Conventions in Civil Law and in Common Law", supra, hal. 7: "... interpretation in Common Law is effected in view of the intent of the Legislator rather than the purpose of the law and is not as liberal as it is in Civil Law. The words used in statutes are taken in their ordinary grammatical Dan Dari uraian yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa masing-masing tradisi hukum memiliki cara dan metode penafsiran yang berbeda. Penafsiran secara luas dalam tradisi hukum Eropa Kontinental dan penafsiran secara terbatas dalam tradisi hukum Anglo Saxon** memberikan nuansa yang berbeda dalam mengkonstruksikan suatu undang-undang dalam kaitannya tidak hanya terhadap isi dari undang-undang itu sendiri melainkan juga dalam konteks sinkronisasi agar tidak terjadi kontradiksi dalam pelaksanaan suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Dengan demikian maka jelaslah bahwa agar suatu undangundang yang merupakan ketentuan hukum khusus (lex spesialis), harus berada dalam konteks konsepsi dan meaning. In case of ambiguities the legislator's intent is looked for in the text of the statute itself or in its context.... There is no question of applying by analogy the solution provided by a statute for similar cases, because there is no such concept in english law as the punishable denial of justice. In any case, judges may turn to the Common Law to find solutions for the problems they are facing." dikutip dari http;// tetley.luw.mcgill.ca/muritime/ch3.pdf 4 '' http://tetley.law.mcgill.ca/maritime/ch3.pdl. hal. 8 Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelila Haranan, Vol. VI. No. I. Juli 2006 31 Guiuiwan Widjaja. Sh., Mh., Mm . Lon Fuller, Pembuatan Undang-undang konstruksi hukum yang sejalan dengan konsepsi dan konstruksi hukum umum (lege generali). Untuk memperoleh kesamaan konsepsi dan konstruksi hukum tersebut, penafsiran akan dilakukan dengan mempergunakan cara dan metode yang dimungkinkan. 6. Undang-Undang harus dapat yang dibual Dilaksanakan Desideratum selanjutnya dari Fuller adalah desideratum yang menyatakan bahwa dalam setiap sistem hukum, pembuat undang-undang selayaknyalah tidak membuat suatu undangundang yang tidak mungkin dapat dilaksanakan atau dipenuhi. Dalam pandangan Fuller, desideratum ini, meskipun secara sederhana dapat dipahami dengan dimengerti dengan mudah, namun dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan berhati-hati, oleh karena tiap-tiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai kemampuan untuk 47 melaksanakan sesuatu . Dalam konteks tersebut, Fuller selanjutnya mengemukakan bahwa hal yang terpenting untuk dapat merumuskan 47 Fuller, op cit, hal. 70-71. 32 Dan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan atau dipenuhi adalah dengan "presupposition of the nature of man and the universe, presupposition that are subject to historical change"™. Dalam konteks dapat dilaksanakan tidaknya suatu ketentuan undangundang yang telah dibuat, perlu juga diperhatikan bidaya hukum yang ada dan berkembang dalam suatu masyarakat. Pembuatan undangundang yang merupakan adopsi dari ketentuan yang sama yang diatur pada negara lain, atau untuk menciptakan suatu idealisme hukum, yang tidak disertai dengan pemahaman akan budaya hukum juga hanya akan membuat undang-undang tersebut menjadi huruf mati di atas kertas49. 7. Undang-Undang Tidak Boleh Terlalu Sering Diubah Pada prinsipnya suatu undangundang dibuat untuk diberlakukan dalam jangka waktu yang lama, dan karenanya maka suatu undang-undang 48 Fuller, ibid, hal. 79. Bandingkan dengan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sampai saat ini belum dapat dilaksanakan dengan utuh. w Law Review, Fakiillas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol VI, No I, Juli 2006 Gunawan Widjaja. Sh., Mh., Mm Lon Fuller, Pembuatan Undang-undang tidak selayaknya diubah secara terus menerus. Dengan dilakukannya perubahan secara terus menerus, anggota masyarakat terhadap siapa suatu aturan hukum hendak diberlakukan menjadi sukar untuk mengikuti bahkan untuk mengetahui dengan pasti ketentuan hukum yang berlaku untuk mereka. Dengan tidak mengetahui dan mengikuti dengan pasti ketentuan hukum yang berlaku untuk mereka, maka mereka, para anggota masyarakat tersebut menjadi tidak dapat memprediksi akibat dari suatu perbuatan yang mereka lakukan50. Perubahan undang-undang yang sangat sering mengakibatkan berkurangnya tingkat kepastian hukum dalam masyarakat. 8. Kesesuaian antara Undang- Undang dan Pelaksanaan Desideratum terakhir dari Fuller berkaitan dengan kesesuaian antara undang-undang yang dibuat dengan pelaksanaan oleh pejabat yang berwenang. Fuller mengatakan bahwa51: Dan This congruence may be destroyed or impaired in great variety of ways; mistaken interpretation, inaccessibility of the law, lack of insight into what is required to maintain the integrity of a legal system, bribery, prejudice, indifference, stupidity, and the drive toward personal power. Dan rumusan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pemahaman yang baik dan tepat, serta tidak adanya kepentingan pribadi dalam menerapkan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem hukum yang baik. Selanjutnya Fuller mengemukakanlebihjauh52: "The most subtle element in the task of maintaining congruence between law and official action lies, of course, in the problem of interpretation". Dalam hal mi": "Legality requires that judges and other officials apply statutory law, not according to their fancy or with crabbed literalness, but in accordance with principles of 52 Chinhengo, op cit, hal. 66. Fuller, op cit, hal. 81. Ibid, hal. 82. " Ibid. Baca juga W Friedman, Legal Theory, (London: Steven & Sons Limited, 1953), hal. 310. Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006 13 Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm : Lon Fuller, Pembuatan Undang-undang interpretation that are appropriate to their position in the whole legal order". Jadi dalam hal ini jelas kesalahan dalam interpretasi, baik yang tidak disengaja (karena tidak atau kurang mengerti) maupun disengaja (karena adanya kepentingan tertentu), jelas menjadi salah satu kendala untuk menciptakan sistem hukum yang baik. Sehubungan dengan masalah sulitnya melakukan interpretasi ini (di negara dengan tradisi hukum Common Law), Fuller mengutip pemyataan Barons of the Exchequer di Tahun 1584 dalam kasus Heydon, yang mengatakan54: And it was resolved by them, that for the sure and true interpretation of all statutes in general (be they penal or beneficial, restrictive or enlarging of the Common Law) four things are to be discerned and considered: 1st. What was the Common Law before the making of the Act. 2nd. What was the mischief and defect for which the Common Law did not provide. 3rd. What remedy the Parliament hath resolved and appointed to cure the disease of the commonwealth. And 54 M Fuller, op cit, hal 82-83. Dan 4th. The true reason of the remedy; and then the office of all the Judges is always to make such construction as shall suppress the mischief, and advance the remedy. Fuller selanjutnya menambahkan satu pertanyaan lagi yang harus diperhatikan untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan sulitnya interpretasi (dalam Common Law) tersebut. Pertanyaan tersebut adalah": "How would those who must guide themselves by its words reasonably understand the intend of the Act, for the law must not become a snare for those who cannot know the reasons of it as fully as do the Judges". Gray dalam The Nature and Sources of Law mengemukakanS6: Interpretation is generally spoken of as if its chief function was to discover what the meaning of the Legislature really was. But when a Legislature has had real intention, one way or another, on a point, it is not once in a hundred times that any doubt 1 Ibid, hal. 83 ' Dikutipdari Fuller, Ibid, hal. 83-84. Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006 Pemhuatan Undang-undang Gunawan Widjajci, Sh.. Mh., Mm : Lon:r,Fulh arises as to what its intention was.... The fact is that the difficulties of so-called interpretation arise when the Legislature has had no meaning at all; when the question which is raised on the statute never occurred to it.... [In such cases] when the judges are professing to declare what the Legislature meant, they are in truth, themselves legislating to fill up casus omissi. Dalam negara-negara yang menganut tradisi hukum Eropa {Continental, which has its origin in Roman law, as codified in the Corpus Juris Civilis of Justinian, and as subsequently developed in Continental Europe and around the world", penafsiran memainkan peranan yang penting, oleh karena58: 1. Statutes require interpretation because they cannot be communi" William Tetley, "Mixed Jurisdictions: Common Law vs. Civil Law (Codified and Uncodified)". Louisiana Law Review (60, 2000), hal. 683. ss Josef Kohler, "Judicial Interpretation of Enacted Law" dalam Ernest Brucken dan Layton B Register, Science of Legal Method. (New York: Augustus M Kelley Publisher, 1969), hal. 180. Dan cated except by words, and because the thought is concealed under the word as under a garment; 2. because the thought contained in a statute is only partially clear to the author of the statute, who is no more the master of the thought than thought in other instances is the mere slave of the will; 3. by means of interpretation we may discover a profound, sometimes an almost infinite, significance in a statute. Melakukan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan berbeda dari melakukan penafsiran secara umum5'. Kohler mengatakan dengan tegas bahwa suatu peraturan perundang-undangan dibuat oleh pembuat undang-undang tidaklah dalam kapasitasnya sebagai individu, melainkan dalam kapasitasnya sebagai pembuat undang-undang. Untuk itulah maka rumusan teks maupun kata-kata yang dibuat tidaklah dirumuskan secara umum, melainkan dengan mempergunakan kata-kata atau teks peraturan perundang-undangan60. Untuk menemukan penafsiran yang tepat yang 59 60 Ibid. Ibid, hal 189-190. Law Review, Fakiiltas Hukum I Iniversilas Pelita Harapan. Vol VI. No.1, Juli2006 35 Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm . Lon Fu cocok, penafsiran tidak dapat sematamata dilakukan berdasarkan pada teks atau rumusan yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan semata-mata melainkan harus dalam konteksnya secara keseluruhan. Dengan melakukan eleminasi dari berbagai konsepsi yang tidak sesuai dan sejalan dengan konteks dan pengertian yang sedang ditafsirkan, penafsiran hukum menjadi jauh lebih mudah61. Dalam hal yang demikian, maka "only then will it be necessary to trace the connection of the various statutory provisions and prefer that interpretation which will make the statute most consistent with itself and most organically constructed in detail"62. Dalam melakukan penafsiran orang tidak boleh melupakan alasan lahirnya ketentuan tersebut, logika hukum yang mendasari dan kemudian mengikutinya, serta latar belakang kehidupan sosial yang mendukung lahirnya rumusan ketentuan tersebut63. Lebih jauh lagi penafsiran dapat dipergunakan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Rumusan suatu peraturan tidaklah harus sama terus 61 Ibid, hal. 191. "Ibid, hal. 192. "Ibid, hal. 194. 36 r, Pembuatan Undang-undang Dan setiap saat. Penafsiran memungkinkan terjadinya perubahan penggunaan suatu rumusan atau teks peraturan perundang-undangan menuju ke arah yang lebih baik, yang menmgkatkan perdaban manusia64. Sal ah satu contoh yang dikemukakan adalah penafsiran ketentuan Pasal 1382 dan Pasal 1383 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis (French Civil Code) yang selanjutnya dipergunakan sebagai dasar hukum bagi pangaturan persaingan usaha tidak sehat di Perancis65. PENUTUP Dari penjelasan yang diberikan di muka dapat diketahui bahwa untuk menciptakan ketertiban hukum dalam masyarakat, ada delapan hal yang perlu diperhatikan (delapan desiderata Fuller). Jika salah satu atau lebih dari delapan hal tersebut tidak dipenuhi atau diwujudkan dalam proses pembuatan undang-undang hmgga undang-undang tersebut diberlakukan pada masyarakat, maka dapat terjadi berbagai hal yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. "Ibid, hal. 192. "Ibid, hal. 194. Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelita Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006 Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm ton Fuller, Pembuatan Undang-undang Dan Selanjutnya oleh karena yang diperhatikan oleh Fuller adalah suatu proses pembuatan undang-undang hingga undang-undang tersebut diberlakukan bagi masyarakat luas, dan Fuller tidak memberikan perbedaan antara moralitas dan hukum; maka seringkali Fuller dikenal sebagai seorang naturalist procedural. Teori Fuller dengan delapan desiderata-nya tersebut, sudah sangat sering sekali dipergunakan di negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat dalam menyusun undang-undang, sehingga dapat tercapat ketertiban hukum dalam masyarakat. Pertanyaannya bagi Indonesia adalah, "Kapan teori Fuller ini, khususnya kedelapan desiderata tersebut akan dipergunakan secara utuh untuk membuat undangundang yang tidak membingungkan masyarakat1?" Semoga tulisan ini dapat menambah masukan dan memperkaya khasanah pengetahuan dalam pembuatan undang-undang yang lebih baik di kemudian hari. (GW) Law Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol VI, No. I. .luli 2006 37