lon fuller, pembuatan undang-undang dan penafsiran hukum

advertisement
LON FULLER, PEMBUATAN UNDANG-UNDANG
DAN PENAFSIRAN HUKUM
Oleh: Gunawan Widjaja, SH., MH., MM
ABSTRACT
Laws are made to create legal certainty for the society. Globalisation has
caused the mingling of legal system and legal tradition. Fuller offered 8
desiderata, the requirements need to make good laws. By following the 8
desiderata, the laws made by legislative body shall provide legal order in the
society. The 8 desiderata are generality, promulgation, prospectivity, clarity, consistency or avoiding contradiction, possibility of obedience, constancy through time
or avoidance of frequent change, congruence between official action and declared rules. To achieve congruence between official action and declared
rules, interpretation plays very important rules. Each legal tradition has its
own way of interpretation. One should not use the wrong conception of interpretation otherwise it will create chaos in the society.
PENDAHULUAN
Globalisasi sebagai suatu bentuk
fenomena sosial, mengandung makna
yang dalam. Globalisasi terjadi di segala
aspek kehidupan manusia, baik dalam
lapangan ekonomi, politik, sosial
budaya, ilmu pengetahuan maupun
teknologi'. Perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kegiatan ekonomi dan
sosial, mau tidak mau juga membawa
pengaruh dan memasuk wilayah
hukum. Hukum sebagai suatu sub
sistem sosial tidak dapat lepas dari
18
•
berbagai macam perubahan yang
terjadi dalam masyarakat, termasuk
perubahan dalam kegiatan ekonomi
dan sosial2. Pengaruh globalisasi dalam
lapangan ekonomi ini, yang membawa
perubahan dalam paradigma hukum
pada hampir seluruh negara-negara di
dunia ini, tidak hanya negara-negara
maju melainkan juga negara-negara
berkembang. Setiap perubahan dalam
kegiatan ekonomi, pasti akan
1
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, ed.,
Problema Globalisasi (Perspektif Sosiologi
Hukum. Ekonomi dan Agama). (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2000),
hal.vi.
2
Ibid, hal. vii.
Law Review, Fakultas Hukum Ihiiversitas Pelita llaranan. Vol VI, No I. Juli 2006
Gunawan Widjaja, Sh.. Mh.. Mm : Lon Fuller. Pembuatan Undang-undang
membawa perubahan dalam hukum
dan praktek hukum'. Dengan
globalisasi, kegiatan perdagangan
internasional tidak lagi diatur
berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku pada suatu negara tertentu,
melainkan juga pada suatu bentuk
persetujuan (agreement) bilateral atau
multilateral, dan hukum negara asmg
dari mitra dagangnya". Jadi dengan
demikian tidak ada lagi kotak-kotak
hukum yang menjadi halangan bagi
transaksi-transaksi yang berskala
internasional. Ini juga berarti terjadi
perubahan dalam hukum dan praktek
hukum yang berlaku pada suatu negara
tertentu5. Artinya hukum dan praktek
hukum pada suatu negara harus
menyesuaikan diri, tidak hanya dengan
ketentuan hukum asing, melainkan juga
pada persetujuan yang telah dicapai
dan dihasilkan secara bersama.
5
Gary Goodpaster, "Changes in the Legal Profession in The United States since 1900, dalam
CFG Sunaryati Hartono, Business and the Legal Profession in an Age of Computerization
and Globalization (Bandung: Alumni, 2000),
ha!. 26.
4
Sunaryati Hartono, "The Impact of Economic
Internationalization and Globalization upon
Legal Institutions and the Legal Profession,
dalam CFG Sunaryati Hartono, Business and
the Legal Profession in an Age of Computerization and Globalization (Bandung: Alumni,
2000), hal. 74.
* Ibid, hal. 75.
Dan
Salah satu pengaruh globalisasi
terhadap hukum dan sistem hukum,
seperti yang dikemukakan oleh Francis
Snyder6, adalah lahimya "global legal
pluralism". Dalam pandangan Snyder,
ada dua aspek yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan pluralisme hukum
global ini:
1. eksistensi dan keterlibatan dan
sedemikian banyak pranata,
norma, kaedah, proses penyelesaian sengketa yang ada dalam tiaptiap wilayah hukum di dunia ini7.
2. hubungan dari pranata-pranata,
norma-norma, kaedah-kaedah,
proses-proses tersebut dalam suatu
wilayah hukum, yang saling
berinteraksi. Dalam kaitan dengan
interaksi antara norma, kaedah,
proses antar sistem hukum yang
ada, dapat diketahui bahwa
adakalanya norma-norma, kaedahkaedah, aau proses hukum tertentu
adalah norma, kaedah atau proses
hukum yang independen, ada yang
merupakan bagian dan suatu
sistem hukum yang lebih besar.
6
Francis Snyder, "Global Economic Networks
and Global Legal Pluralism", EUI Working Pa^
per Law No. 99/6, yang disajikan di the Institute of International Studies, Stanford University, 2 April 1999, hal 15.
'Ibid.
Law Review. Fakultas Hukum Universilas Pelila llaiapan. Vol VI, No. I, Juli 2006
19
Gunawan Widjaja, Sh.. Mh.. Mm Lon Fu
Dengan konteks yang demikian,
maka antara naorma-norma,
kaedah-kaedah, maupun prosesproses hukum yang saling
berinteraksi tersebut, kemungkinan
akan ada yang saling mendukung,
bertolak belakang, bersaingan,
bertumpang tindih, atau bahkan saling
melengkapi. Dengan mengetahui
hubungan-hubungan tersebut, maka
dapat ditemukan karakteristik dasar
dari berbagai pilihan dalam suatu
pluralisme hukum yaitu karakteristik
sepadan (yang saling mendukung)
atau hirarkis/ berjenjang (yang saling
melengkapi), karakteristik dominan
atau serapan, karakteristik kreativitas
atau imitasi, karateristikkonvergensi
atau divergensi dan sebagainya8.
Dengan demikian, maka disadari
atau tidak disukai atau tidak suatu
proses interaksi antara berbagai
pranata, kaedah dan sistem yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya
juga akan menghasilkan konflik
hukum9. Dalam pandangan kalangan
positivist, eksistensi dari berbagai
7; Pemhuatan Undang-undang
Dan
macam norma, kaedah atau proses
hukum yang ada dalam suatu wilayah
hukum tertentu cenderung mengurangi
sifat kepastian hukum. Suatu proses
berpikir logis, deduktif analitis, dengan
asumsi-asumsi dasar yang melatar
belakanginya menjadi tidak jelas dan
kabur, oleh karena dapat saja norma,
kaedah atau proses hukum yang satu
berbeda dari norma, kaedah atau
proses hukum yang lain10. Tidak
sesuainya antara suatu peraturan
dengan peraturan yang lain jelas akan
membuat ketidakpastian hukum.
LON FULLER DAN KEPASTIAN
HUKUM
Seperti telah dikatakan di atas,
sebagai suatu sistem, hukum
mempunyai banyak keterkaitan dengan
berbagai aspek bahkan sistem-sistem
lain yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian maka hukum,
sebagai produk, harus dapat
menciptakan kepastian hukum bagi
masyarakat. Seringkali peraturan
perundang-undangan yang dibentuk
gagal memberikan kepastian hukum
8
Ibid, hal. 16.
' Klaus Gunther, "Legal Pluralism and the Universal Code of Legality: Globalisation as a Problem of Legal Theory", hal. I.
20
10
Ibid, hal. 2
L"w Review, Fakullas llukuni Universilas Pelita Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006
Gunawan Widjaja, Sh.. Mh., Mm : Lon Fuller, Pcmbuatan Undang-undang
bagi masyarakat, yang pada akhirnya
gagal menciptakan ketertiban hukum
dalam masyarakat.
Fuller menemukan bahwa ada
delapan hal yang menyebabkan sulit
terciptanya ketertiban hukum dalam
masyarakat. Kedelapan hal tersebut
oleh Fuller disebut dengan delapan
desiderata. Delapan desiderata itu
selanjutnya oleh Fuller dijabarkan
sebagai persyaratan yang harus
dipenuhi agar hukum yang dibentuk
dapat bekerja baik dalam masyarakat.
Kedelapan hal tersebut adalah1':
/. Generality;
2. Promulgation;
3. Prospectivity;
4. Clarity;
5. Consistency or avoiding contradiction;
6. Possibility of obedience;
7. Constancy
through
time or
avoidance of frequent change;
8. Congruence between official
action and declared rules.
Dan
tersebut menjadi buruk, melainkan
hanya mengakibatkan bahwa sistem
hukum yang berjalan tersebut tidak
pantas untuk disebut dengan suatu
sistem hukum yang layak, yang tidak
dapat berlaku secara efektif dan baik1-.
HUKUM DAN MORALITAS
Menurut Fuller, hukum dan
moralitas adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Untuk itu Fuller
membagi moralitas ke dalam moralitas
kewajiban (morality of duty) dan
moralitas aspirasi (morality of aspiration) yang menjadikannya hukum13.
Moralitas kewajiban adalah suatu
ketentuan yang minimum harus ada
dalam suatu masyarakat agar
masyarakat tersebut dapat berjalan
dengan baik14. Sedangkan moralitas
aspirasi memungkinkan manusia untuk
mencapai hal yang terbaik dalam hidup
manusia15. Moralitas aspirasi ini dalam
pandangan Fuller masih dapat dibagi
12
Tidak dipenuhinya salah satu dari
kedelapan hal tersebut tidaklah
menjadikan sistem hukum yang berlaku
" MR Zafer. Jurisprudence: An Outline (Kuala
Lumpur: International Law Book Series, 1994),
hal. 45.
Lon L. Fuller, Morality of Law (New Haven
and London: Yale University Press, 1964), hal.
39.
11
Wayne Morrison, Jurisprudence: from the
Greeks to post-modernism. (London:
Cavendish Publishing Limited, 2000), hal. 387.
14
Zafer, op cit, hal. 44.
15
Morrison, op cit, hal. 387. Lihat juga Fuller,
op cit, hal 5-6.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
21
Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm : Lon Fuller, Pemhuatan Undang-undang
lagi ke dalam moralitas eksternal (external morality) dan moralitas internal (internal morality, inner morality)^. Moralitas eksternal mengatur
hal-hal yang ideal yang seharusnya ada
sebagai substansi dari suatu aturan
hukum yang ada dalam masyarakat17.
Sedangkan moralitas internal adalah
suatu proses, suatu moralitas yang
memungkinkan kehidupan manusia
diatur dengan baik berdasarkan aturanaturan hukum yang dibuat tersebut (the
morality that makes law possible)'8.
Kedelapan desideratum ini dalam
pandangan Fuller merupakan
perwujudan dari moralitas aspirasi
manusia, untuk menuju pada kehidupan
yang lebih baik19.
1. Generalitas
Undang-Undang
Desideratum Fuller yang pertama,
berkaitan dengan "generalitas undangundang". Agar kehidupan manusia
dalam bermasyarakat dapat menjadi
tertib dan teratur, persyaratan
mengenai eksistensi atau keberadaan
dari hukum adalah suatu keharusan
Dan
yang tidak dapat ditolak. Dengan
generalitas di sini dimaksudkan bahwa
dalam suatu sistem hukum harus ada
peraturan 20 . Peraturan tersebut
mengatur mengenai perilaku tertentu
dari setiap anggota masyarakat dan
bagaimana perilaku tersebut diawasi
dalam pelaksanaannya. Peraturan ini
terus berjalan dan tidak berhenti selama
masyarakat tersebut masih tetap ada21.
Ini berati suatu aturan, khususnya
undang-undang harus dibuat bukan
untuk kepentingan dari orang, golongan
atau suatu kelompok tertentu, dan
karenanya harus diterapkan dan
berlaku secara umum 22 . Dengan
demikian suatu undang-undang yang
dibuat semata-mata hanya untuk
kepentingan sesaat atau hanya untuk
suatu hal atau kejadian tertentu
bukanlah suatu aturan atau ketentuan
yang baik23.
Zafer, op cit, hal. 44.
Ibid. Lihat juga Morrison, op cit, hal. 388.
18
Morrison, op cit., hal. 388.
" Zafer, op cit, hal 44.
20
Thomas Ian McLeod, Legal Theory. (London: MacMillan Press Ltd, 1999), hal. 85.
Bandingkan juga dengan Stufenbau Theorie dari
Hans Kelsen.
31
Austin Chinhengo, Essential Jurisprudence.
(London: Cavendish Publishing Limited, 2000),
hal. 65.
"Fuller, loccit, hal. 47.
23
Chinhengo, loc cit, hal. 65.
22
Utas Pelila Harapan. Vol VI. No. I. Jult 2006
16
17
Low Review. Fakiillas Hukum I Ini
Guiuiwan Widjaja, Sh , Mh.. Mm
Lon Fuller, Pemhuatan Undang-undang
2. Undang-Undane Hams Diumumkan
Desideratum
ke
dua
yang
dikemukakan oleh Fuller berkaitan
dengan pengumuman yang harus
dilakukan agar peraturan perundangundangan yang dibuat tersebut dapat
diketahui oleh seluruh anggota
masyarakat dan karenanya dilaksanakan sepenuhnya oleh setiap anggota
masyarakat tersebut24.
Fuller, dalam The Morality of Law,
mengemukakan bahwa desideratum ke
dua, yang dikemukakan olehnya ini
bukan suatu hal yang mudah untuk
dipahami dan dimengerti dengan
mudah. Beberapa pertanyaan
mendasar dapat lahir dari desideratum
ini. Apakah dengan dilakukannya
pengumuman tersebut, maka setiap hal
yang disebutkan dalam undang-undang
tersebut lantas mengikat, bagaimana
selayaknya seorang mengetahui
pengumuman yang diberikan tersebut,
apakah setiap peraturan yang
dikeluarkan harus diumumkan
manakala sesungguhnya setiap anggota
masyarakat sudah mengetahuinya
dengan pasti25. Untuk menjawab hal
-4 Chinhengo, op cit, hal. 65.
''Fuller, op. cit, hal. 50-51.
Dan
tersebut, Fuller mengemukakan bahwa
pengumuman adalah suatu keharusan,
mengingat bahwa dengan dilakukannya pengumuman, maka orang dapat
memprediksi segala sesuatu yang
dilakukan olehnya. Dengan demikian,
maka setiap anggota masyarakat dapat
menentukan langkah-langkah yang
harus dipenuhi, syarat-syarat yang
harus dilaksanakan, dengan segala
akibat hukumnya. Bahkan dalam hal
tertentu pengumuman tersebut
memungkinkan dilakukannya kritik,
keberatan atau tanggapan terhadap
peraturan yang telah diumumkan
tersebut, sehingga nantinya peraturan
tersebut akan menjadi jauh lebih baik.
Mengenai bentuk pengumuman, Fuller
mengemukakan bahwa pengumuman
tersebut haruslah memungkinkan
setiap anggota masyarakat untuk
mengetahui dan memperolehnya
secara mudah. Dan ini tidaklah berarti
dengan pengumuman tersebut, setiap
orang diharapkan untuk membaca,
mengetahui dan memahaminya semua
dengan baik26.
26
Ibid. Perhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
KUHP.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI. No I, Juli 2006
23
Gunawan Widiaja. Sh.. Mh.. Mm : Lon Fuller. Pembuatan Undang-undang
3. Undang-Undang
Surut
tidak Berlaku
Suatu peraturan yang telah
diundangkan dan diumumkan kepada
masyarakat luas, sudah selayaknya
mulai berlaku terhitung sejak tanggal
pengumuman tersebut dilakukan.
Dalam pandangan Fuller, undangundang tidak boleh berlaku surut,
kecuali misalnya dengan tujuan untuk
melakukan perbaikan terhadap
kesalahan dalam penerapan undangundang sebelumnya, dan tidak boleh
diberlakukan bagi undang-undang yang
bertujuan untuk memberikan sanksi
pada anggota masyarakat27. UndangUndang dibuat hanya tersedia dan
karenanya dapat diketahui oleh anggota
masyarakat setelah undang-undang
tersebut diumumkan. Dengan demikian
maka setiap anggota masyarakat dapat
melakukan penilaian sebelum dia
melakukan suatu hal tertentu, dan
dengan demikian tidak selayaknyalah
jika anggota masyarakat dihukum
berdasarkan pada suatu undangundang yang sebelumnya tidak
diketahuinya sama sekali28.
27
McLeod, op cit., hal. 86.
Wayne Morrison, Elements of Jurisprudence.
(Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1994), hal. 180.
28
24
Dan .
Di Indonesia, asas non-retroactive ini,
juga telah diberlakukan sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 Peraturan Umum
mengenai PerUndang-Undangan untuk
Indonesia29, yang menyatakan: "De
wet verbindt alleen voor het
toekomende
en
heft
gene
terugwerkende
kracht"
atau
"Undang-undang hanya berlaku
untuk waktu kemudian dan tidak
berlaku surut".
4. Rumusan
Undang-Undang
haruslah Jelas
Rumusan yang jelas peraturan
perundang-undangan yang dibuat
merupakan salah satu syarat yang
menentukan legalitas dari peraturan
perundang-undangan yang dibuat30.
Anggota masyarakat tidak mungkin
dapat mengerti dan karenanya
melaksanakan undang-undang yang
tidak jelas isinya ataupun yang
membingungkan31. Setiap undangundang yang dibuat dan diundangkan
serta dipublikasikan haruslah
memberikan rumusan yang mudah
2
' Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesie, Staatsblad 1847 No. 23.
30
Fuller, op cit, hal. 63.
!l
Chinhengo, op cit., hal.66.
Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelita Harapan, Vol. VI, No I, Juli 2006
Gunawan Widjaja, Sh., Mh.. Mm : Lon Fu
dimengerti, khususnya terhadap hal-hal
yang diharapkan untuk dipatuhi dan
dilaksanakan oleh anggota masyarakat
tersebut32.
Dalam konteks kejelasan undangundang ini, Fuller ada mengemukakan
suatu pendapat yang mengatakan
bahwa pembuat undang-undang tidak
diwajibkan untuk membuat semua
rumusan dalam undang-undang
menjadi jelas, oleh karena dalam
prakteknya aturan-aturan yang dibuat
tersebut akan diatur lebih lanjut secara
lebih mendetail oleh pihak-pihak yang
terkait dan berkepentingan; demikian
juga jajaran hakim memiliki kewajiban
untuk meluruskan kembali dan
menjelaskan kembali segala sesuatu
yang kurang jelas tersebut". Terhadap
pandangan
tersebut,
Fuller
mencontohkan bahwa, dalam lapangan
komersial, hal-hal tersebut memang
masih dapat diserahkan pengaturannya
lebih lanj ut pada pihak-pihak yang lebih
berkompeten, yang lebih mengerti dan
tahu tentang hal-hal yang perlu diatur
lebih lanjut 34 , namun demikian
ketentuan tersebut tidak dapat
•r, Pembiiatan Undang-undang
Dan
di"generalisasi"kan untuk semua
ketentuan dalam setiap undangundang35. Dalam undang-undang yang
mengatur mengenai hukum pidana, hal
tersebut tidak dapat diperkenankan, dan
pada kenyataannya masalah kejelasan
dalam aturan hukum, khususnya bidang
pidana telah banyak diadopsi.36.
Satu hal yang perlu diperhatikan di
sini adalah bahwa kejelasan rumusan
atau kata-kata yang diatur dalam suatu
undang-undang bagi satu atau lebih
pihak yang berkecimpung atau terlibat
dan terkait erat belum tentu cukup jelas
dan memberikan pengertian yang sama
bagi orang dan atau pihak lainnya.
Untuk itulah maka selanjutnya
selanjutnya oleh Fuller disyaratkan
adanya desideratum selanjutnya, yang
berhubungan erat dengan konsistensi
dalam konsepsi, konstruski dan
tentunya istilah yang dipergunakan
dalam satu undang-undang dengan
undang-undang lainnya.
35
32
Morrison, Jurisprudence, op. cit., hal. 389.
Fuller, op cit., hal 64.
34
Bandingkan dengan azas kebebasan
berkontrak dalam hukum perjanjian.
33
Fuller, op cit., hal. 64
lbid,catatan kaki no. 21, hal. 63. Bandingkan
juga dengan prinsip noela poena sine praevia
lege poenali dalam hukum pidana (Pasal I ayat
(1) KUHP).
36
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol VI. No I. Juli 2006
25
Gunawan Widjaja. Sh., Mh., Mm : Lon Fuller, Pembuatan Undang-undang
5. Konsistensi
dalam
Konsepsi
Hukutn
Desideratum yang kelima dari
Fuller mensyaratkan bahwa undangundang yang dibuat tidak boleh saling
bertentangan satu dengan yang lain
(non-contradictory)"'.
Undangundangyang dibuat secara inkonsisten,
yang tidak sejalan antara satu peraturan
udang-undang dengan undang-undang
lainnya akan membuat undang-undang
tersebut tidak dapat dilaksanakan dalam
praktek. Hal tersebut juga nantinya
akan menyebabkan undang-undang
yang telah dibuat tersebut menjadi tidak
ditaati oleh anggota masyarakat.
Anggota masyarakat menjadi bingung
untuk menentukan ketentuan undangundang mana yang harus mereka taati
dan ikuti. Inkonsistensi menyebabkan
gagalnya pembentukan hukum pada
suatu
masyarakat
tertentu.
Inkonsistensi tidaklah berarti sematamata adanya pertentangan (repugnant) atau kontradiksi (contradictive),
melainkan juga mencakup adanya
ketidaksesuaian (incompatibility),
atau tidak sejalan (inconvenience)™.
" Chinhengo, op cit, hal. 66.
18
Fuller., op cit, hal. 69.
26
Dan
Konsistensi tidak hanya berlaku
bagi penggunaan istilah dalam rumusan
kata-kata dalam suatu peraturan
perundang-undangan melainkan juga
harus meliputi konsistensi dalam
konsepsi dan konstruksi hukum.
Dalam hubungannya konsistensi
dalam konsepsi hukum lni, penafsiran
hukum memainkan peran yang cukup
penting. Penafsiran hukum yang
dilakukan tidak boleh keluar dari
konsepsi hukum yang telah ada.
Sehubungan dengan penafsiran hukum
atau penafsiran suatu undang-undang,
William Tetley mengemukakan bahwa
tradisi hukum Eropa Kontinental
memiliki cara penafsiran yangberbeda
dari negara-negara yang menganut
tradisi hukum Common Law39. Tetley
mengemukakan bahwa dalam tradisi
Hukum Eropa Kontinental sekurangnya dikenal dua metode penafsiran,
yaitu metode penafsiran yang
dikemukakan oleh Mazeaud dan
Mignault40.
M
40
http://tetlev.law.mcgill.ca/maritime/ch3.pdf
Ibid.
Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm Lon Fuller, Pembuatun Undang-undang
a. Metode Penafsifan Mazeaud
Metode penafsiran Mazeaud dapat
disarikan sebagai berikut41:
1) Jika kata-kata atau teks kalimat
sudah jelas, maka tidak boleh
ada lagi penafsiran. Peraturan
tersebut harus dibaca dan
diberlakukan sesuai dengan
kata-kata dan atau teks yang
tercantum di dalamnya.
2) Jika rumusan kata-kata atau
teks kalimat tidak jelas, hakim
berkewajiban untuk mencari
maksud dari pembuat undangundang dengan memahami
seluruh ketentuan dalam
peraturan tersebut, dalam
kaitannya dengan pasal atau
ayat atau ketentuan yang tidak
jelas tersebut.
3) Jika pemahaman tersebut di
atas tidak juga cukup untuk
mengetahui secara utuh
maksud dan tujuan dari
ketentuan yang tidak jelas
tersebut, maka hakim dapat
mempelajan bahan-bahan yang
dipergunakan oleh pembuat
undang-undang dalam mem41
Mazeaud, Leconsde Droit Civil, 7 Ed., Paris,
1983, t. 1, vol. 1, at para. 110, dikutip dari
http://tetlev.law.mcgill.ca/maritime/ch3.pdf
Dan
buat dan menyusun undangundang tersebut. Bahan-bahan
ini tidaklah mengikat hakim.
4) Jika kata-kata dan atau teks
tersebut sama sekali tidak
memberikan suatu penyelesaian, maka hakim berkewajiban
untuk mencoba memahaminya
dan selanjutnya menemukan
hukum melalui kata-kata dan
atau teks tersebut. Dalam
konteks yang demikian, maka
kata-kata atau teks tersebut
tetap merupakan satu kesatuan
utuh, meskipun melalui
penemuan hukum tersebut, ada
unsur-unsur baru yang dimasukkan ke dalamnya.
5) Setiap saat hakim dapat atau
berhak untuk memberikan
putusan berdasarkan prinsipprinsip hukum yang berlaku
umum, yang dikombinasikan
dengan perkembangan ilmu
hukum dari waktu ke waktu.
Walau demikian pemberian
putusan yang demikian harus
dibuat dengan baik dan penuh
pertimbangan. Hakim tidak
dapat dengan hanya sematamata mempergunakan teks atau
rumusan yang ada dalam suatu
Law Review, Fakultas Hukum Universitas I'elita Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006
11
Gunawan Widjajci. Sh., Mh., Mm : Lon Fuller. Pembuatan Undang-undang
peraturan perundang-undangan
untuk mengambil putusan
tersebut.
6) Hakim juga dapat menggunakan logika hukum dalam
memberikan alasan pemberian
suatu putusan. Setiap bentuk
pengecualian harus diperhatikan dengan seksama dan hatihati. Rumusan kata-kata khusus
harus diperhatikan untuk
memberikan penekanan yang
berbeda dari rumusan katakata yang bersifat umum.
b) Metode penafsiran Mignault
Metode penafsiran P.B. Mignault
dapat diringkas sebagai berikut:42
1) Dalam menafsirkan suatu
peraturan perundang-undangan, yang pertama kali harus
42
Dan
diperhatikan adalah isi dari teks
atau rumusan peraturan perundang-undangan itu sendiri.
2) Hanya dalam hal terdapat
ambuguitas dalam memahami
isi teks atau rumusan peraturan
tersebut, penafsiran diperbolehkan. Penafsiran harus dilakukan terlebih dahulu
terhadap laporan-laporan resmi
(yang berisikan pernyataanpernyataan dari pembuat
peraturan selama proses
pembuatan peraturan tersebut)
yang merujuk pada lahirnya
rumusan teks tersebut.
3) Dalam hal masih terdapat
keraguan mengenai maksud
pembuat undang-undang,
dapatlah ditunjuk pada doktrin,
yang merupakan pendapatpendapat yang berkembang dari
para ahli yang sudah diakui
dalam bidangnya.
P.B. Mignault, "Le Code Civil de La Province de Quebec et son Interpretation" (193536), 1 U. of
Toronto L.J. 104 hal. 124, dikutip dari http://
tetlev.law.mcgill.ca/maritime/ch3.pdf. Dalam
catatan kaki no. 15 yang dimuat dalam http://
tetlev.law.mceillca/maritime/ch3.pdfdikatakan
bahwa motode penafsiran yang dikemukakan
oleh Mignault diringkas dari metode penafsiran
yang dikemukakan oleh F.P. Walton dalam The
Scope and Interpretation of the Civil Code of
Lower Canada, Wilson & Lafleur Ltee.,
Montreal, 1907.
5) Terakhir, pada negara-negara
yang memiliki tradisi hukum
28
Pelita Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006
Law Review, Fakultas Hukum thii
4) Selanjutnya jika hal tersebut
juga masih belum dapat
memberikan kejelasan, maka
putusan-putusan hakim atau
peradilan yang lebih tinggi dapat
dipergunakan sebagai rujukan.
Gunawan Wiiljaja, Sh., Mh., Mm Lon Fuller, Pembuatan Unclang-undang
yang bercampur (mixed jurisdiction), ketentuan-ketentuan
yang berlaku atau dikenal
dalam tradisi hukum Common
Law (le droit anglais), dapat
dipertimbangkan untuk dipergunakan sebagai referensi, jika
ketidakjelasan tersebut sedikit
banyaknya terkait dengan
pranata yang bersumber pada
ketentuan tradisi hukum Anglo
Saxon.
Dari penjelasan yang diberikan di
atas, dapat dikatakan bahwa secara
umum, penafsiran dalam tradisi hukum
Eropa Kontinental, jauh lebih luas dan
bebas, "rather than restrictive, focusing on the purpose of the provisions
as determined by the judge, and permitting the use of various external
aids fe.g. the preparatory works,
surrounding circumstances, and
analogies)"*3.
4
' Sebagaimana dirujuk dalam http://
tetlev,law.mcgill,ca/maritime/ch3.pdf. A.
Kiantou-Pampouki dalam "The Interpretation
of International Maritime Conventions in Civil
Law and in Common Law", General Report
presented to the XIII Conference of the International Academy of Comparative Law,
Montreal, 1990, hal. 6, mengemukakan bahwa
"He [the civilian judge] is free to choose the
methods or the 'instruments ' which he expects
Dan
Sedangkan metode penfsiran
dalam negara-negara yang menganut
tradisi hukum Anglo Saxon, yang paling banyak dipergunakan adalah yang
diperkenalkan oleh Sir Courtney
Ilbert44. Beberapa cara penafsiran
tersebut diantaranya adalah.
1) Aturan atau ketentuan yang dimuat
dalam suatu peraturan perundangundangan harus dibaca dalam satu
kesatuan. Dengan demikian berarti
setiap rumusan, istilah yang
dipergunakan pada salah satu
bagian sangat berpengaruh dalam
memberikan penafsiran terhadap
bagian lain dalam peraturan
tersebut.
2) Aturan yang menyatakan bahwa
suatu peraturan perundangundangan harus dapat ditafsirkan
dalam kerangka dan konsepsi
hukum dari peraturan lain yang
to assist him in providing a convincing solution, even outside the legal text, such as the
preparatory works, the circumstances under
which the law was enacted, as well as subsequent events regarding the law. He may correct
the legal text, by restricting or enlarging itsfield
of operation. He may also proceed to an analogy of law or form a new rule so that one way
or another he may meet with new situations
which are not covered by the text.'"
44
Sir Courtney Ilbert, Legislative Methods and
Forms, H. Frowde, London, 1901, at pp. 250251, dikutip dari http://tetlev.law.mcgill.ca/
maritime/ch3.pdf.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol VI, No. I, Juli 2006
29
Gunawan Widjaja. Sh.. Mh., Mm : Lon Fuller, Pemhuatan Undang-undung
mengatur mengenai hal yang
serupa atau sama. Dalam hal
demikian, maka rumusan dan
istilah yang dipergunakan harus
juga dipahami dengan benar.
Pengertian yang diberikan dalam
sutau rumusan atau istilah yang
dipergunakan dalam suatu
ketentuan atau peraturan seringkali
berkaitan dengan pengertian yang
diatur dalam peraturan yang lain.
Dengan demikian, maka jika ada
perbedaan dalam penggunaan
rumusan atau istilah, maka hal
tersebut akan lebih mudah dipahami
dalam kerangka perbedaan
tersebut saja.
3) Jika ada suatu ketentuan khusus
(the special provision/ lex specialist), maka ketentuan khusus
tersebut, yang diatur secara
berbeda
akan
berlaku
mengesampingkan ketentuan yang
bersifat umum (the general rule/
lege generali).
4) Dalam hal terdapat rumusan atau
istilah khusus yang diikuti dengan
suatu istilah umum, maka sifat
keumuman dari rumusan atau
istilah tersebut dibatasi hanya
terhadap dan pada batasan
kekhususan yang diberikan dalam
30
Law Review. Fakultas Hukum Uni
Dan
rumusan atau istilah khusus tersebut.
('Ejusdem generis' rule).
5) Dalam hukum pidana, kecuali
ditentukan secara lain dan tegas,
maka secara umum, kehendak
atau pengetahuan bahwa suatu
tindakan merupakan tindak pidana
harus ada dan ternyata dalam
setiap rumusan pidana.
6) Suatu pendapat bahwa pembuat
undang-undang berkehendak untuk
mengecualikan suatu aturan hukum
dalam (Common Law) tidaklah
diperkenankan kecuali dinyatakan
dengan tegas dalam peraturan yang
dibuat.
7) Suatu asumsi yang bertentangan
dengan kehendak untuk membatasi
kewenangan hakim yang lebih
tinggi tidak diperbolehkan kecuali
dinyatakan secara tegas.
8) Peraturan yang dibuat oleh
legislatif (Inggris) tidak berlaku di
luarwilayah (Inggris).
9) Asumsi yang bertentangan dengan
kehendak untuk melanggar
ketentuan hukum internasional
tidak diperkenankan, kecuali
secara tegas dinyatakan.
10) Peraturan yang dibuat oleh
Kerajaan tidaklah mengikat,
kecuali ditentukan sebaliknya.
rsitas Pelita Harapan. Vol. VI, No. I, Juli 2006
Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm : Ion Fuller, Pembuatan Undang-undang
ll)Peraturan perundang-undangan
tidaklah berlaku surut, kecuali yang
hanya berlaku bagi proses dan
praktek peradilan semata-mata.
12)Aturan yang berlaku untuk
kepentingan publik haruslah dibaca
sebagai keharusan ('may' =
'shall')"
Dengan demikian penafsiran peraturan
dalam Common Law menunjukkan
peran undang-undang di Inggris,
sebagai tambahan atau perbaikan
terhadap Common Law, yang secara
historis sangat dibatasi. Perhatian
diberikan pada pengertian dari rumusan
kata-kata yang diundangkan, dengan
tujuan
untuk
memastikan
dan
memberikan akibat hukum pada
kehendak pembuat undang-undang,
sebagaimana tertuang dalam rumusan
kata-kata undang-undang itu sendiri
dan pengakuan terhadap beberapa
metode atau cara penafsiran di luar
konteks undang-undang itu sendiri45
45
A. Kiuntou-Pampouki, "The Interpretation
of International Maritime Conventions in Civil
Law and
in Common Law", supra, hal. 7: "... interpretation in Common Law is effected in view of the
intent of the
Legislator rather than the purpose of the law
and is not as liberal as it is in Civil Law. The
words used in
statutes are taken in their ordinary grammatical
Dan
Dari uraian yang diberikan di atas
dapat diketahui bahwa masing-masing
tradisi hukum memiliki cara dan
metode penafsiran yang berbeda.
Penafsiran secara luas dalam tradisi
hukum Eropa Kontinental dan
penafsiran secara terbatas dalam
tradisi hukum Anglo Saxon**
memberikan nuansa yang berbeda
dalam mengkonstruksikan suatu
undang-undang dalam kaitannya tidak
hanya terhadap isi dari undang-undang
itu sendiri melainkan juga dalam
konteks sinkronisasi agar tidak terjadi
kontradiksi dalam pelaksanaan suatu
undang-undang dengan undang-undang
yang lain. Dengan demikian maka
jelaslah bahwa agar suatu undangundang yang merupakan ketentuan
hukum khusus (lex spesialis), harus
berada dalam konteks konsepsi dan
meaning. In case of ambiguities the legislator's
intent is
looked for in the text of the statute itself or in
its context.... There is no question of applying
by analogy the
solution provided by a statute for similar cases,
because there is no such concept in english law
as the
punishable denial of justice. In any case, judges
may turn to the Common Law to find solutions for the
problems they are facing." dikutip dari http;//
tetley.luw.mcgill.ca/muritime/ch3.pdf
4
'' http://tetley.law.mcgill.ca/maritime/ch3.pdl.
hal. 8
Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelila Haranan, Vol. VI. No. I. Juli 2006
31
Guiuiwan Widjaja. Sh., Mh., Mm . Lon Fuller, Pembuatan Undang-undang
konstruksi hukum yang sejalan dengan
konsepsi dan konstruksi hukum umum
(lege generali). Untuk memperoleh
kesamaan konsepsi dan konstruksi
hukum tersebut, penafsiran akan
dilakukan dengan mempergunakan
cara dan metode yang dimungkinkan.
6. Undang-Undang
harus dapat
yang dibual
Dilaksanakan
Desideratum selanjutnya dari Fuller
adalah desideratum yang menyatakan
bahwa dalam setiap sistem hukum,
pembuat undang-undang selayaknyalah tidak membuat suatu undangundang yang tidak mungkin dapat
dilaksanakan atau dipenuhi. Dalam
pandangan Fuller, desideratum ini,
meskipun secara sederhana dapat
dipahami dengan dimengerti dengan
mudah, namun dalam pelaksanaannya
harus dilakukan dengan berhati-hati,
oleh karena tiap-tiap orang memiliki
pandangan yang berbeda-beda
mengenai
kemampuan
untuk
47
melaksanakan sesuatu . Dalam
konteks tersebut, Fuller selanjutnya
mengemukakan bahwa hal yang
terpenting untuk dapat merumuskan
47
Fuller, op cit, hal. 70-71.
32
Dan
sesuatu yang tidak mungkin
dilaksanakan atau dipenuhi adalah
dengan "presupposition of the nature
of man and the universe, presupposition that are subject to historical
change"™.
Dalam konteks dapat dilaksanakan
tidaknya suatu ketentuan undangundang yang telah dibuat, perlu juga
diperhatikan bidaya hukum yang ada
dan berkembang dalam suatu
masyarakat. Pembuatan undangundang yang merupakan adopsi dari
ketentuan yang sama yang diatur pada
negara lain, atau untuk menciptakan
suatu idealisme hukum, yang tidak
disertai dengan pemahaman akan
budaya hukum juga hanya akan
membuat undang-undang tersebut
menjadi huruf mati di atas kertas49.
7. Undang-Undang
Tidak Boleh
Terlalu Sering Diubah
Pada prinsipnya suatu undangundang dibuat untuk diberlakukan
dalam jangka waktu yang lama, dan
karenanya maka suatu undang-undang
48
Fuller, ibid, hal. 79.
Bandingkan dengan beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang sampai saat ini belum dapat
dilaksanakan dengan utuh.
w
Law Review, Fakiillas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol VI, No I, Juli 2006
Gunawan Widjaja. Sh., Mh., Mm
Lon Fuller, Pembuatan Undang-undang
tidak selayaknya diubah secara terus
menerus. Dengan dilakukannya
perubahan secara terus menerus,
anggota masyarakat terhadap siapa
suatu aturan hukum hendak
diberlakukan menjadi sukar untuk
mengikuti bahkan untuk mengetahui
dengan pasti ketentuan hukum yang
berlaku untuk mereka. Dengan tidak
mengetahui dan mengikuti dengan pasti
ketentuan hukum yang berlaku untuk
mereka, maka mereka, para anggota
masyarakat tersebut menjadi tidak
dapat memprediksi akibat dari suatu
perbuatan yang mereka lakukan50.
Perubahan undang-undang yang sangat
sering mengakibatkan berkurangnya
tingkat kepastian hukum dalam
masyarakat.
8. Kesesuaian
antara
Undang-
Undang dan Pelaksanaan
Desideratum terakhir dari Fuller
berkaitan dengan kesesuaian antara
undang-undang yang dibuat dengan
pelaksanaan oleh pejabat yang
berwenang. Fuller mengatakan
bahwa51:
Dan
This congruence may be destroyed or impaired in great
variety of ways; mistaken interpretation, inaccessibility of
the law, lack of insight into
what is required to maintain
the integrity of a legal system,
bribery, prejudice, indifference, stupidity, and the drive
toward personal power.
Dan rumusan tersebut di atas,
dapat diketahui bahwa pemahaman
yang baik dan tepat, serta tidak adanya
kepentingan pribadi dalam menerapkan
undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya, merupakan syarat
mutlak untuk menciptakan sistem
hukum yang baik. Selanjutnya Fuller
mengemukakanlebihjauh52: "The most
subtle element in the task of maintaining congruence between law
and official action lies, of course,
in the problem of interpretation".
Dalam hal mi": "Legality requires that
judges and other officials apply
statutory law, not according to their
fancy or with crabbed literalness,
but in accordance with principles of
52
Chinhengo, op cit, hal. 66.
Fuller, op cit, hal. 81.
Ibid, hal. 82.
" Ibid. Baca juga W Friedman, Legal Theory,
(London: Steven & Sons Limited, 1953), hal.
310.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006
13
Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm : Lon Fuller, Pembuatan Undang-undang
interpretation that are appropriate
to their position in the whole legal
order". Jadi dalam hal ini jelas
kesalahan dalam interpretasi, baik yang
tidak disengaja (karena tidak atau
kurang mengerti) maupun disengaja
(karena adanya kepentingan tertentu),
jelas menjadi salah satu kendala untuk
menciptakan sistem hukum yang baik.
Sehubungan dengan masalah sulitnya
melakukan interpretasi ini (di negara
dengan tradisi hukum Common Law),
Fuller mengutip pemyataan Barons of
the Exchequer di Tahun 1584 dalam
kasus Heydon, yang mengatakan54:
And it was resolved by them, that
for the sure and true interpretation of all statutes in general (be
they penal or beneficial, restrictive or enlarging of the Common
Law) four things are to be discerned and considered:
1st. What was the Common Law
before the making of the Act.
2nd. What was the mischief and
defect for which the Common Law did not provide.
3rd. What remedy the Parliament hath resolved and appointed to cure the disease
of the commonwealth. And
54
M
Fuller, op cit, hal 82-83.
Dan
4th.
The true reason of the remedy; and then the office of
all the Judges is always to
make such construction as
shall suppress the mischief,
and advance the remedy.
Fuller selanjutnya menambahkan
satu pertanyaan lagi yang harus
diperhatikan untuk menyelesaikan
permasalahan yang berkaitan dengan
sulitnya interpretasi (dalam Common
Law) tersebut. Pertanyaan tersebut
adalah": "How would those who must
guide themselves by its words reasonably understand the intend of
the Act, for the law must not become
a snare for those who cannot know
the reasons of it as fully as do the
Judges".
Gray dalam The Nature and Sources
of Law mengemukakanS6:
Interpretation is generally
spoken of as if its chief function was to discover what the
meaning of the Legislature
really was. But when a Legislature has had real intention,
one way or another, on a
point, it is not once in a hundred times that any doubt
1
Ibid, hal. 83
' Dikutipdari Fuller, Ibid, hal. 83-84.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006
Pemhuatan Undang-undang
Gunawan Widjajci, Sh.. Mh., Mm : Lon:r,Fulh
arises as to what its intention
was.... The fact is that the difficulties of so-called interpretation arise when the Legislature has had no meaning at
all; when the question which
is raised on the statute never
occurred to it.... [In such
cases] when the judges are
professing to declare what the
Legislature meant, they are in
truth, themselves legislating
to fill up casus omissi.
Dalam negara-negara yang
menganut tradisi hukum Eropa
{Continental, which has its origin in
Roman law, as codified in the Corpus Juris Civilis of Justinian, and
as subsequently developed in Continental Europe and around the
world", penafsiran memainkan
peranan yang penting, oleh karena58:
1. Statutes require interpretation because they cannot be communi" William Tetley, "Mixed Jurisdictions: Common Law vs. Civil Law (Codified and
Uncodified)". Louisiana Law Review (60,
2000), hal. 683.
ss
Josef Kohler, "Judicial Interpretation of Enacted Law" dalam Ernest Brucken dan Layton
B Register, Science of Legal Method. (New
York: Augustus M Kelley Publisher, 1969), hal.
180.
Dan
cated except by words, and because the thought is concealed under the word as under a garment;
2. because the thought contained in
a statute is only partially clear to
the author of the statute, who is no
more the master of the thought than
thought in other instances is the
mere slave of the will;
3. by means of interpretation we may
discover a profound, sometimes an
almost infinite, significance in a
statute.
Melakukan penafsiran terhadap
peraturan perundang-undangan
berbeda dari melakukan penafsiran
secara umum5'. Kohler mengatakan
dengan tegas bahwa suatu peraturan
perundang-undangan dibuat oleh
pembuat undang-undang tidaklah
dalam kapasitasnya sebagai individu,
melainkan dalam kapasitasnya sebagai
pembuat undang-undang. Untuk itulah
maka rumusan teks maupun kata-kata
yang dibuat tidaklah dirumuskan secara
umum, melainkan dengan mempergunakan kata-kata atau teks peraturan
perundang-undangan60. Untuk menemukan penafsiran yang tepat yang
59
60
Ibid.
Ibid, hal 189-190.
Law Review, Fakiiltas Hukum I Iniversilas Pelita Harapan. Vol VI. No.1, Juli2006
35
Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm . Lon Fu
cocok, penafsiran tidak dapat sematamata dilakukan berdasarkan pada teks
atau rumusan yang ada dalam suatu
peraturan perundang-undangan
semata-mata melainkan harus dalam
konteksnya secara keseluruhan.
Dengan melakukan eleminasi dari
berbagai konsepsi yang tidak sesuai
dan sejalan dengan konteks dan
pengertian yang sedang ditafsirkan,
penafsiran hukum menjadi jauh lebih
mudah61. Dalam hal yang demikian,
maka "only then will it be necessary
to trace the connection of the various statutory provisions and prefer
that interpretation which will make
the statute most consistent with itself
and most organically constructed in
detail"62. Dalam melakukan penafsiran orang tidak boleh melupakan alasan
lahirnya ketentuan tersebut, logika
hukum yang mendasari dan kemudian
mengikutinya, serta latar belakang
kehidupan sosial yang mendukung
lahirnya rumusan ketentuan tersebut63.
Lebih jauh lagi penafsiran dapat
dipergunakan untuk mempengaruhi
perubahan sosial. Rumusan suatu
peraturan tidaklah harus sama terus
61
Ibid, hal. 191.
"Ibid, hal. 192.
"Ibid, hal. 194.
36
r, Pembuatan Undang-undang
Dan
setiap saat. Penafsiran memungkinkan
terjadinya perubahan penggunaan
suatu rumusan atau teks peraturan
perundang-undangan menuju ke arah
yang lebih baik, yang menmgkatkan
perdaban manusia64. Sal ah satu contoh
yang dikemukakan adalah penafsiran
ketentuan Pasal 1382 dan Pasal 1383
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Perancis (French Civil
Code) yang selanjutnya dipergunakan
sebagai dasar hukum bagi pangaturan
persaingan usaha tidak sehat di
Perancis65.
PENUTUP
Dari penjelasan yang diberikan di
muka dapat diketahui bahwa untuk
menciptakan ketertiban hukum dalam
masyarakat, ada delapan hal yang perlu
diperhatikan (delapan desiderata
Fuller). Jika salah satu atau lebih dari
delapan hal tersebut tidak dipenuhi atau
diwujudkan dalam proses pembuatan
undang-undang hmgga undang-undang
tersebut diberlakukan pada masyarakat, maka dapat terjadi berbagai hal
yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat.
"Ibid, hal. 192.
"Ibid, hal. 194.
Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelita Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
Gunawan Widjaja, Sh., Mh., Mm
ton Fuller, Pembuatan Undang-undang
Dan
Selanjutnya oleh karena yang
diperhatikan oleh Fuller adalah suatu
proses pembuatan undang-undang
hingga undang-undang tersebut
diberlakukan bagi masyarakat luas, dan
Fuller tidak memberikan perbedaan
antara moralitas dan hukum; maka
seringkali Fuller dikenal sebagai
seorang naturalist procedural. Teori
Fuller dengan delapan desiderata-nya
tersebut, sudah sangat sering sekali
dipergunakan di negara-negara besar,
khususnya Amerika Serikat dalam
menyusun undang-undang, sehingga
dapat tercapat ketertiban hukum dalam
masyarakat. Pertanyaannya bagi Indonesia adalah, "Kapan teori Fuller ini,
khususnya kedelapan
desiderata
tersebut akan dipergunakan secara
utuh untuk membuat
undangundang yang tidak membingungkan
masyarakat1?" Semoga tulisan ini
dapat menambah masukan dan
memperkaya khasanah pengetahuan
dalam pembuatan undang-undang yang
lebih baik di kemudian hari. (GW)
Law Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol VI, No. I. .luli 2006
37
Download