ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN

advertisement
ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN
SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK
BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali,
Provinsi Sulawesi Tengah)
MA’SITASARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul :
ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN
SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK
BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali,
Provinsi Sulawesi Tengah)
adalah karya saya sendiri di bawah komisi pembimbing, kecuali dengan jelas
ditujukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
pada program sejenis dari perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan
informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor, Januari 2009
Ma’sitasari
C251050121
ABSTRACT
MA’SITASARI. Ecological Space Analysis of Small Islands Utilization for
Seaweed Culture (Case Study of Salbangka Islands, Morowali Regency,
Central Sulawesi Province). Supervised by LUKY ADRIANTO and
AGUSTINUS M. SAMOSIR.
The Salabangka Islands as on of the coastal zone that consist of small
islands that lays in the Morowali Regency, Central Sulawesi Provice, have
potential in nature resouces that can be use on supporting the development in this
regency. It is a culture of seaweed. The aim of this research to identify suitable
coastal of Salabangka Islands for culture of seaweed dan estimate carring capacity
coastal of Salabangka Islands for develompment of seaweed culture by use of
ecological footprint approach. The result of identify coastal showed that a spasial
of ecology Salabangka Islands suitable to culture of seaweed, while estimate
carring capacity of coastal that the ecological footprint (EF) of seaweed smaller
than biocapacity (BC). Thus, the carring capacity of seaweed culture development
bases ecological footprint are 1,08 ha/kapita.
Key words
: ecological footprint, biocapacity, small islands, suitable space,
seaweed culture, salabangka islands.
RINGKASAN
MA’SITASARI, Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau
Kecil Untuk Budidaya Rumput (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka,
Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh LUKY
ADRIANTO dan AGUSTINUS M. SAMOSIR.
Gugus Pulau Salabangka sebagai salah satu wilayah pesisir terdiri dari
pulau-pulau kecil, berada di Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah,
memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan dalam menunjang
pembangunan wilayah Kabupaten Morowali.
Penelitian ini dimaksudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang pulau-pulau
kecil untuk budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai dengan potensi dan
daya dukung lingkungan dengan menggunakan pendekatan ecological footprint.
Adapun tujuan yang ingin dicapai meliputi mengidentifikasi kesesuaian ruang
perairan Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut dan mengestimasi
daya dukung ruang ekologi perairan Gugus Pulau Salabangka untuk
pengembangan budidaya rumput laut. Waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu pada
bulan Maret – Mei 2007.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dimana data yang
dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi
pengambilan data biofisik dilakukan pada 15 stasiun pengamatan dan data sosialekonomi dilakukan berdasarkan batas administrasi desa. Data sekunder diperoleh
melalui studi kepustakaan dan dari dinas atau instansi terkait.
Dalam mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk budidaya rumput
laut dilakukan berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang (ecological footprint/EF)
dan ketersediaan ruang (biocapacity/BC). Sedangkan estimasi daya dukung ruang
ekologi untuk pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan
tingkat konsumsi ruang ekologis (EF) terhadap ketersediaan ruang (BC) yang
sesuai untuk budidaya rumput laut. Hasil identifikasi kesesuaian ruang
menunjukkan secara ekologi ruang perairan sesuai untuk pengembangan budidaya
rumput laut. Sedangkan estimasi daya dukung ruang ekologi berdasarkan tingkat
kebutuhan ruang menunjukkan bahwa ruang perairan memiliki kelebihan ruang
untuk pengembangan budidaya rumput laut dimana EF < BC disebut ekologi
surplus. Agar pengembangan budidaya rumput laut dapat optimal dan
berkelanjutan dilakukan berdasarkan biocapacity dengan tingkat kebutuhan ruang
adalah 1,08 ha per kapita
Kata Kunci
: ecological footprint, biocapacity, gugus pulau kecil, kesesuaian
ruang, budidaya rumput laut, gugus pulau salabangka.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS RUANG EKOLOGIS PEMANFAATAN
SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL UNTUK
BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali,
Provinsi Sulawesi Tengah)
MA’SITASARI
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc
Judul Tesis
: Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya PulauPulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus
Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi
Sulawesi Tengah)
Nama
: Ma’sitasari
NRP
: C251050121
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
Ketua
Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 05 Januari 2009
Tanggal Lulus : 26 Februari 2009
Dan DiaDia-lah
lah, Allah yang menundukkan lautan (untumu),
agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan),
dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan
perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karuniakarunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (Q.S 16 : 14).
Karya ini ku persembahkan kepada kedua orang tuaku atas kesabaran dan
berkat doa, bimbingan dan semangat kepada ku
dalam menghadapi tantangan selama melakukan kegiatan ini.
Untuk adikku Farida atas bantuannya dalam penyelesaian tesisku
Untuk adiku Abdullah dan kakakku Nur Afraeni serta kedua keponakan ku
Nur Swentiana dan Muhammad Farid Khairul Ikhwan Hidayatullah yang
membuat ku tetap bersemangat.
Kalian semua adalah motivator ku.
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan keridhoan-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Analisis Ruang
Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Untuk Budidaya Rumput
Laut (Studi Kasus Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Provinsi
Sulawesi Tengah).
Tesis ini berisikan kajian dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil
untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukkan bagi pemerintah daerah dalam rangka
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya berdasarkan potensi dan daya dukung
lingkungan.
Dari awal hingga akhir penulisan ini tidak lepas dari bantuan, dorongan,
dukungan dan kerjasama berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih dan penghargaan
tinggi penulis ucapkan kepada :
1. Dosen Pembimbing Dr. Luky Adrianto, M.Sc dan Ir. Agustinus M. Samosir,
M.Phil dalam membimbing penulisan tesis ini.
2. Dr. Ir. M Mukhlis Kamal, M.Sc sebagai penguji luar komisi dalam ujian akhir
dan atas saran perbaikannya.
3. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, dan para staf
pemerintah daerah, dan semua pihak di Gugus Pulau Salabangka yang terkait
dengan penyusunan tesisi ini.
4. Program Mitra Bagari-Coral reef Management Program II (PMB-CORMAP
II) Tahun 2008 atas beasiswa bantuan penulisan tesis Tahun 2008.
5. Rekan-rekan SPL (angkatan 11-12) dan IKL, personil NYPAH, Baharuddin,
Bapak Makmur Sek, Bapak Alimuddin Sek, Keluarga Lagalanti atas masukan
dan bantuannya dalam penyelesaian tesis ini. Rekan-rekan di twinhouse atas
kebersamaannya. Dan semua rekan-rekan yang tidak tersebutkan namannya.
Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat.
Bogor,
Februari 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 03 November 1981 dari
ayah H. Idin Lagalanti dan ibu Rabea Kasim, sebagai anak kedua dari empat
bersaudara.
Menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak pada tahun 1988 di TK
Pertiwi Luwuk, dilanjutkan dengan pendidikan dasar ke SD 4 Impres Luwuk yang
diselesaikan pada tahun 1993, pendidikan menengah di SLTP Negeri 2 Luwuk
diselesaikan pada tahun 1996, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah
atas pada SMA Negeri 1 Luwuk pada tahun 1999. Tahun 2003 penulis berhasil
menyelesaikan pendidikan Strata Satu pada Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. Selama pendidikan
Strata Satu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah ekologi laut,
telemetri dan eksplorasi sumberdaya hayati laut periode Tahun 2002 - 2003.
Tahun 2005 penulis melanjutkan studi Strata Dua pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
......................................................................................
DAFTAR GAMBAR
xiv
.................................................................................
xv
.............................................................................
xvii
I
PENDAHULUAN ............................................................................
1.1 Latar Belakang .........................................................................
1.2 Perumusan Masalah ................................................................
1.3 Tujuan dan Manfaata Penelitian ..............................................
1.4 Kerangka Pemikiran ................................................................
1
1
3
5
5
II
TINJAUAN PUSTAKA
.................................................................
2.1 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ................................................
2.2 Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological Footprint) ..............
2.3 Budidaya Rumput Laut ............................................................
2.4 Sistem Informasi Geografis (GIS) ...........................................
7
7
10
13
18
III
METODOLOGI ...............................................................................
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................
3.2 Metode Penelitian ...................................................................
3.3 Metode Pengumpulan Data .....................................................
3.3.1
Jenis Data .......................................................................
3.3.2
Metode Pengambilan Data .............................................
3.4 Analisis Data ...........................................................................
3.4.1
Analisis Kebutuhan Ruang ............................................
3.4.2
Analisis Ketersediaan Ruang .........................................
20
20
22
22
22
22
25
25
26
IV
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ...........................
4.1 Kondisi Umum Daerah ............................................................
4.1.1
Geografis dan Topografi ................................................
4.1.2
Sosial Budaya Masyarakat ............................................
4.2 Keadaan Umum Iklim dan Cuaca ...........................................
4.3 Kondisi Oseanografi Perairaan .................................................
4.3.1
Gelombang ....................................................................
4.3.2
Pasang Surut ..................................................................
4.3.3
Kecepatan Arus .............................................................
4.3.4
Kecerahan dan Kedalaman ............................................
4.3.5
Keterlindungan ..............................................................
4.3.6
Suhu ...............................................................................
4.3.7
Salinitas .........................................................................
4.3.8
Derajat Keasaman/pH ....................................................
4.3.9
Oksigen Terlarut ...........................................................
4.3.10 Nutrient .........................................................................
4.3.11 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut ..............................
4.4 Pemanfaatan Lingkungan dan Sumberdaya Gugus Pulau
Salabangka .............................................................................
29
29
29
31
32
33
33
34
34
37
41
43
45
47
49
51
54
DAFTAR LAMPIRAN
56
xiii
4.4.1
4.4.2
Perikanan .......................................................................
Budidaya Rumpu Laut ..................................................
58
59
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
5.1 Identifikasi Kesesuaian Ruang Perairan untuk Budidaya
Rumput Laut ...........................................................................
5.1.1
Kebutuhan Ruang Perairan ............................................
5.1.2
Ketersedian Ruang Perairan ..........................................
5.2 Daya Dukung Ruang Ekologi untuk Pengembangan Rumput
Laut ..........................................................................................
61
61
61
67
KESIMPULAN DAN SARAN
......................................................
6.1 Kesimpulan .............................................................................
6.2 Saran .........................................................................................
74
74
74
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
75
LAMPIRAN
80
V
VI
...............................................................................................
70
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Jenis Data dan Parameter yang diukur .................................................
23
2
Matriks Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut
.............
28
3
Pulau-Pulau di Gugus Pulau Salabangka
…........................................
30
4
Jenis Lapangan Kerja Kecamatan Bungku Selatan ..............................
31
5
Tingkat Konsumsi Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka
62
6
Produktivitas Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
63
7
Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Gugus Pulau Salabangka
.......
66
8
Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau
Salabangka ...........................................................................................
69
.......................
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Bagan Alir Kerangka Pemikiran ..........................................................
6
2
Interaksi antara Komponen PPK
9
3
Komponen Penelitian Ecological Footprint
4
Alur Kerangka Analisis
5
.........................................................
.......................................
12
.......................................................................
21
Lokasi Penelitian Analisis Ruang Ekologi Pemanfaatan Sumberdaya
Pulau-Pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau
Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah ...........
24
6
Peta Sebaran Kecepatan Arus
.............................................................
36
7
Peta Sebaran Kecerahan
.....................................................................
38
8
Peta Sebaran Substrat
..........................................................................
39
9
Peta Sebaran Kedalaman
....................................................................
10 Peta Sebaran Keterlindungan
40
.............................................................
42
11 Peta Sebaran Suhu ................................................................................
44
12 Peta Sebaran Salinitas ..........................................................................
46
13 Peta Sebaran pH
..................................................................................
48
14 Peta Sebaran Oksigen Terlarut (DO) ...................................................
50
15 Peta Sebaran NO3
...............................................................................
52
16 Peta Sebaran PO4
................................................................................
53
17 Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Gugus Pulau Salabangka
..................
18 Peta Pemanfaatan Ruang Perairan di Gugus Pulau Salabangka
19 Produksi Hasil Laut Kecamatan Bungku Selatan
55
.........
57
..............................
58
20 Alur Penjualan Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka
................
60
...................
65
22 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau
Salabangka ..........................................................................................
66
23 Peta Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau
Salabangka ...........................................................................................
68
24 Estimasi Ketersedian Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau
Salabangka ..........................................................................................
69
25 Perbandingan Ecological Footprint dan Biocapacity Budidaya Rumput
Laut Gugus Pulau Salabangka ………………………………………
72
21 Impor – Ekspor Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
xvi
26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk Halaman
Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ………………….
71
26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk
27 Budidaya
Daya Dukung
Ruang
Ekologi
Tingkat Kebutuhan
Ruang
Rumput
Laut
Gugusterhadap
Pulau Salabangka
…………………..
71
Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
…………………
72
27 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Tingkat Kebutuhan Ruang
Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka ………………….
72
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Metode Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia ……………………
80
2
Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta tahun 1987
………...
83
3
Peta Sebaran Arus di Perairan Laut Banda
........................................
84
4
Hasil Pengukuran Rata-Rata Parameter Lingkungan untuk Budidaya
Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka ……………………….......
88
5
Keanekaragaman Ikan Karang Kabupaten Morowali
.........................
89
6
Data Luas Lahan dan Produksi Rumput Laut
......................................
90
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan
bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan
ekonomi,
sehingga
diperlukannya
rencana
pengelolaan
dengan
mempertimbangkan berbagai proses dinamis yang terjadi. Selain itu, karateristik
sumberdaya baik lokal dan regional mempersulit kebijakan yang terkoordinasi
antar berbagai sektor pembangunan. Untuk itu pengelolaan pesisir yang
terintegrasi menjadi sangat penting. Demikian pula untuk wilayah pulau-pulau
kecil (PPK).
Berdasarkan Undang-Undang No 27 Tahun 2007 menyebutkan pengelolaan
wilayah pesisir dan PPK merupakan suatu proses, perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan PPK baik antar sektor,
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut,
maupun antara ilmu pengetahuan dan manajemen dimana bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat PKK.
Yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2 yang terintegrasi dari beberapa komponen antara lain
manusia, lingkungan perairan (biotik dan abiotik) dan lingkungan daratan,
memiliki karateristik yang khas dimana masing-masing komponen secara
fungsional saling mempengaruhi berserta kesatuan ekosistemnya (Adrioanto
2004a; Bengen dan Retraubun 2006; UU No.27 2007). Wilayah Gugus Pulau
Salabangka terdiri dari PPK dengan luas 2.352,17 km2
Pada umumnya, PPK memiliki sumberdaya yang beragam dan memiliki
keterbatasan baik secara fisik, ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan
keterbatasan sumberdaya PPK, kecenderungan pemanfaatan sumberdaya yang
dilakukan masyarakat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup (DKP 2003;
Adrianto 2004a) melalui aktivitas yang tidak ramah lingkungan, hal tersebut dapat
menyebabkan kelangkaan sumberdaya di pulau-pulau kecil.
2
Beberapa kegiatan pemanfataan wilayah pesisir pulau-pulau kecil terbatas
pada kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya kelautan, perikanan
tangkap, dan pariwisata bahari (DKP 2000 in Adrianto 2004a ). Namun beberapa
kegiatan pemanfaatan tersebut sangat selektif sesuai dengan karateristik wilayah
dan membutuhkan kapitalisasi yang besar.
Secara umum, pemanfaatan potensi perairan berdasarkan Ditjen Perikanan
(1999) diperuntukan untuk budidaya kelautan seluas 2.003.680 ha antara lain
untuk budidaya kakap dengan luas 598.120 ha (29,85 %), budidaya kerapu seluas
461.600 ha (23,04 %), luas 591.800 ha (29,54 %) untuk budidaya kerang dan
tiram, budidaya teripang seluas 66.660 ha (3,33 %), kerang mutiara dan abalon
seluas 62.040 ha (3,10 %) dan rumput laut seluas 222.460 ha (11,10 %).
Secara khusus, sesuai dengan KepPres No. 23 Tahun 1982, salah satu
kegiatan budidaya laut yang dapat dikembangkan adalah budidaya rumput laut,
dengan pertimbangan antara lain ketersediaan potensi sumberdaya rumput laut
cukup besar, dapat dilakukan dengan teknologi budidaya yang sederhana,
penggunaan modal relatif lebih kecil, lamanya waktu pemeliharaan lebih singkat
dan menyerap tenaga kerja.
Propinsi Sulawesi Tengah merupakan propinsi urutan ketiga penghasil
rumput laut di Indonesia setelah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, dan
pemanfaatan luas perairan untuk budidaya rumput laut baru mencapai 39,61
persen. Kabupaten Morowali merupakan salah satu kabupaten sebagai sentra
produksi rumput laut (Diskanlut Provinsi Sulawesi Tengah 2008). Luas wilayah
Kabupaten Morowali adalah 45.453,60 km2
meliputi luas daratan sebesar
15.490,8 km2 (34,08 %) dan wilayah perairan seluas 29.962,8 km2 (65,92 %).
Berdasarkan Diskanlut Kabupaten Morowali (2008) menyebutkan potensi luas
areal untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottono) 2.070,24 ha dengan areal
terkelola baru mencapai 18,14 % atau 820,00 ha dan produksi rumput laut
Kabupaten Morowali tahun 2007 mencapai 52.813 ton (kering) terdiri atas jenis
Euchema cottoni 37.545 ton dan jenis gracilaria sp.15.268 ton.
Wilayah Kecamatan Bungku Selatan merupakan salah satu wilayah di
Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah terletak di Teluk Tolo terdiri dari
pulau-pulau kecil. Daerah ini memiliki potensi pengembangan budidaya rumput
3
laut. Tahun 2003 pemanfaatan wilayah pesisir untuk kegiatan budidaya perikanan
di Kecamatan Bungku Selatan adalah seluas 1.433,22 ha (1,33 % dari total luas
perairan laut Kabupaten Morowali), yang terbagi atas 1.430,17 ha untuk budidaya
rumput laut dan 3,05 ha untuk usaha perikanan budidaya lainnya (pemeliharaan
ikan dalam keramba dan budidaya teripang).
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Morowali Tahun
2002 – 2007 dengan misi pembangunan yaitu “memberdayakan pemerintah,
masyarakat, wilayah agar mampu memanfaatkan seluruh sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia serta tata ruang wilayah dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi
tepat
guna,
seefektif
dan
seoptimal
mungkin
melaksanakan
pembangunan yang merata, menyentuh seluruh wilayah dan seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Sesuai dengan misi pembangunan tersebut maka
pendekatan penilaian daya dukung lingkungan menjadi sangat penting terkait
dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam.
Dalam penelitian ini kegiatan pemanfaatan sumberdaya khususnya PPK
dibatasai pada pemanfatan perairan untuk budidaya rumput laut melalui analisis
ruang dengan pendekatan ecological footprint. Pendekatan ini didasarkan pada
tingkat permintaan terhadap suatu sumberdaya (rumput laut) dan luas perairan
yang tersedia (biocapacity). Dengan pendekatan ini dapat diketahui berapa
maksimal pemanfaatan sumberdaya dengan luas perairan yang tersedia sehingga
keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006c).
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan potensi perairan (2.996.280 ha) dan area lahan yang dikelola
untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Morowali saat ini, maka pemanfaatan
potensi perairan laut dan rata-rata produktivitas masih rendah. Secara umum usaha
budidaya rumput laut terkonsentrasi pada beberapa kecamatan (hanya 3
kecamatan dari 7 kecamatan di Kab Morowali), terluas pengusahaannya di
Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan.
Berdasarkan kondisi geografis dan ekologis perairan, wilayah perairan laut
Kabupaten
Morowali
terutama
di
kecamatan
Bungku
Selatan
sangat
memungkinkan untuk pengembangan rumput laut yang lebih intensif. Wilayah ini
4
merupakan gugusan pulau-pulau kecil di wilayah pengelolaan perikanan (WPP)
Teluk Tolo dengan jarak dari wilayah daratan utama (mainland) lebih kurang 5
kilometer sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di daratan utama sangat
kecil pengaruhnya terhadap kegiatan perikanan laut dan perikanan budidaya di
Gugus Pulau Salabangka. Namun demikian, dengan bertambahnya jumlah
penduduk di daerah pulau menyebabkan peningkatan pencemaran laut akibat
pembuangan limbah rumah tangga. Kondisi ini menyebabkan terganggunya
kualitas perairan laut yang secara langsung dapat mengganggu pertumbuhan biota
laut terutama rumput laut. Selain itu, di beberapa tempat dalam wilayah kepulauan
Salabangka masih terjadi kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan
peledak (pengeboman), pembiusan ikan dan pengambilan karang atau sejenisnya.
Secara histories, kegiatan ini mulai berlangsung sejak tahun 1980-1990an
dalam intensitas yang tinggi sehingga menyebabkan penurunan kualitas perairan
dan hancurnya biota laut termasuk terganggunya kegiatan pembudidayaan rumput
laut yang dimulai tahun 1991. Namun sejak Kabupaten Morowali berdiri sebagai
salah satu kabupaten otonom di Provinsi Sulawesi Tengah dan penegakan hukum
lebih intensif, lambat laun kegiatan yang bersifat destruktif tersebut mulai
menurun dan usaha budidaya rumput laut mulai menunjukkan hasil yang lebih
baik.
Berdasarkan aspek sosial budaya, pada awalnya kegiatan budidaya rumput
laut masih bersifat usaha sampingan, sementara usaha penangkapan ikan
(nelayan) merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Namun dengan
berkembangnya pasar dan meningkatnya harga rumput laut, maka lambat laun di
beberapa desa kegiatan budidaya rumput laut dijadikan sebagai matapencaharian
utama. Pergeseran jenis matapencaharian ini menyebabkan pula terjadinya
perubahan kegiatan pemanfaatan di wilayah pesisir kepulauan Salabangka. Daerah
operasi penangkapan ikan dijadikan sebagai kawasan budidaya rumput laut.
Umumnya daerah yang dijadikan sebagai lokasi kegiatan budidaya adalah daerah
bekas pemboman ikan yang sudah tidak dimanfaatkan selama beberapa tahun oleh
nelayan karena berkurangnya ikan. Sisi positif dari pemanfaatan perairan ini
adalah optimasi pemanfaatan ruang untuk kegiatan lain selain perikanan tangkap,
semakin membaiknya kualitas perairan, dan semakin meningkatnya jumlah ikan
5
di kawasan tersebut. Sisi negatifnya, kondisi ini menyebabkan peningkatan luas
areal budidaya rumput laut yang tidak tertata dengan baik sehingga mengganggu
jalur transportasi, perikanan budidaya dan kembalinya kegiatan perikanan
tangkap. Jika kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan tidak
diikuti dengan penataan ruang kawasan pesisir dan pulau bagi seluruh kegiatan
pemanfaatan akan melebihi daya dukungnya serta menyebabkan terjadinya
konflik antar kegiatan pemanfaatan.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka perlu
dilakukan pengkajian pemanfaatan ruang PPK bagi kegiatan budidaya rumput laut
yang optimal dan sesuai dengan potensi serta daya dukung wilayah perairan
kepulauan Salabangka.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka untuk
budidaya rumput laut.
2. Mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan Gugus Pulau Salabangka
untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembudidaya rumput laut dalam pemanfaatan lahan perairan untuk budidaya, para
pengusaha, pemilik modal dan para pengambil kebijakan dalam usaha
pengembangan budidaya rumput laut sesuai dengan ruang ekologis Gugus Pulau
Salabangka.
1.4
Kerangka Pemikiran
Ruang perairan pulau-pulau kecil memiliki berbagai keterbatasan dan
bersifat dinamis serta sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pemanfaatan dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup, sehingga diperlukan adanya upaya
pengelolaan pemafaaatan sumberdaya pulau-pulau kecil agar menunjang kegiatan
pemanfaatan yang berkelanjutan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan.
6
Pemanfaatan
ruang
perairan
di
Gugus
Pulau
Salabangka
untuk
pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada permintaan (demand) dan
kapasitas lahan (biocapacity). Permintaan adalah kebutuhan pembudidaya
terhadap perairan untuk budidaya rumput laut. Kapasitas lahan adalah wilayah
perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut.
Selanjutnya, dilakukan analisis ruang ekologis terhadap dua komponen yang
digunakan yaitu permintaan dan kapasitas lahan untuk mengestimasi daya dukung
lingkungan terhadap pengembangan budidaya rumput laut dalam konteks
pemanfaatan sumberdaya yang berwawasan lingkungan. Alur pendekatan studi
yang digunakan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Dengan demikian, analisis ruang ekologis merupakan salah satu cara dalam
upaya pengelolaan budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten
Morowali Propinsi Sulawesi Tengah.
Ruang Perairan Pulau-Pulau Kecil
Gugus Pulau Salabangka
Pemanfaat Pesisir
Kapasitas
Lahan
(Biocapacity)
Permintaan
(Demand)
Budidaya Rumput Laut
Analisis Ruang Ekologis
Budidaya Rumput Laut
Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut
Gugus Pulau Salabangka
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Secara umum, pulau-pulau kecil (PPK) memiliki karateristik tersendiri
meliputi sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati dan jasa lingkungan.
Sumberdaya hayati di PPK antara lain terumbu karang, padang lamun, rumput laut
mangrove, ikan dan biota laut lainnya. Di samping itu, berbagai keterbatasan di
PPK baik dari segi fisik (ukuran), ekologi (sumberdaya), ekonomi, sosial dan
budaya. Dengan demikian, upaya pengelolaan PPK menjadi sangat penting.
Menurut Adrianto (2005) bahwa dalam pengembangan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan laut PPK, perlu dipertimbangkan berbagai faktor
berdasarkan karateristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan
diperlukan pendekatan yang lebih sistemik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi.
Selain itu, persoalan lingkungan merupakan salah satu problem dalam
pengelolaan PPK. Permasalahan lingkungan PPK dapat dikelompokkan menjadi
dua kategori yakni (1) permasalahan lingkungan secara umum (common
environmental problems), seperti limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan,
penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau, dan (2) persoalan lingkungan
lokal (local environmental problems) antara lain kekurangan air tawar, hilangnya
tanah baik secara fisik maupun kualitas, limbah padat dan bahan kimia beracun
dan problem spesies langka (Hall 1999 in Adrianto 2004a).
Terkait dengan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan merupakan
indikasi umum terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan
lingkungan laut di PPK. Terjadi berbagai kerusakan ekosistem PPK seperti
terumbu karang rusak karena penambangan karang untuk bahan bangunan atau
karena aktifitas penangkapan ikan seperti penggunaan bom dan racun. Selain itu,
kegiatan pemanfaatan lahan di PPK memerlukan pengaturan lahan secara
komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukannya serta tidak melebihi daya
dukung lingkungannya (Adrianto 2005).
Wilayah PPK juga memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada bantuan
atau subsidi dari pemerintah pusat, menyebabkan diperlukan subsidi yang tepat
sasaran dalam upaya pengelolaan ekonomi PPK (Adrianto 2004a). Beberapa hal
8
yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah PPK terkait dengan ukuran fisik
(smallness) antara lain keterbatasan sumberdaya alam, ketergantungan terhadap
komponen impor, terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau, kecilnya pasar
domestik, ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau,
ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi,
terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal, keterbatasan
kemampuan untuk menentukan skala ekonomi, keterbatasan kompetisi lokal dan
persoalan yang terkait dengan administrasi publik (Adrianto 2005).
Karateristik penting lain dari PPK yang terkait dengan pengembangan
ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas atau terpencil jauh dari daratan
induknya (mainland). Persoalan ekonomi PPK yang terkait dengan insularitas,
terutama berhubungan dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan
ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya alam kelautan
dan dominasi sektor jasa.
Awal pengelolaan PPK di Indonesia dilakukan sejak berdirinya Departemen
Kelautan dan Perikanan. Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda
disesuaikan dengan latar geografisnya, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya
masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau yang
berkelanjutan dan berbasis masyarakat, terdapat beberapa pendekatan yang
dikombinasikan yaitu : (1) hak, (2) ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau
dan gugusan pulau, dan (3) sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri 2003).
Mengingat rentannya ekosistem pulau dan gugusan pulau kecil, pemerintah
melakukan pembatasan kegiatan yang cenderung menimbulkan dampak negatif
yang sangat luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya
mengijinkan pemanfaatan antara lain untuk konservasi, budidaya laut,
kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari,
pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi
non ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan
sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (Bengen 2003).
9
Dalam arah pola pembangunan wilayah pesisir dan laut, terjadi perubahan
paradigma dari pembangunan konvensional yang hanya mengejar pertumbuhan
ekonomi semata menjadi pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan
kondisi ekologi dan sosial sebagai dasar dalam mencapai peningkatan ekonomi.
Dalam United Nations Environment Programme (UNEP) dan Convention
Biological Diversity (CBD) (2004) menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan
suatu usaha rekonsiliasi terhadap tiga komponen dasar utama pembangunan yaitu
ekologi, sosial, dan ekonomi, dimana ekosistem dan keragaman hayati sebagai inti
dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dengan mempertimbangkan tekanan
aktivitas manusia, tanpa memperkecil pengembangan sosio-ekonomi.
Menurut Cicin Sain (1993) in Adrianto (2004a) bahwa keseluruhan
komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain (inextricably linked) dan
interaksi serta hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi
berganda sekaligus berantai (multiple chain reactions) dari persoalan dan tekanan
terhadap ekosistem dan komunitas di PPK. Cambers (1992) in Adrianto 2004a
menyebutkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengaitkan seluruh
kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK, dengan menggunakan pendekatan
yang terkoordinasi. Interaksi antar komponen dalam sistem PPK dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2 Interaksi antar komponen PPK
(Debance 1999 in Adrianto 2004a)
Dari gambar di atas dapat diidentifikasi bahwa dalam sistem PPK, terdapat
paling sedikit 5 (lima) proses yaitu proses alam, proses sosial, proses ekonomi,
perubahan iklim dan proses pertemuan antara daratan dan lautan (Debance 1999),
10
yang masing-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 3 komponen
PPK yaitu sistem lingkungan daratan, sistem lingkungan laut dan sistem aktivitas
manusia.
Secara umum, berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai negara
dalam memanfaatkan sumberdaya alam bagi pertumbuhan ekonominya,
kegagalan dalam mengatasi masalah pengelolaan memberikan implikasi antara
lain percepatan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya (Anwar dan
Rustiadi 2000). Selanjutnya dinyatakan bahwa penyebab utama terjadinya
kegagalan tersebut antara lain : (1) perbedaan hak-hak (entelimen) yang sangat
mencolok antara berbagai lapisan masyarakat, (2) sumberdaya alamnya
mengalami semacam akses terbuka (aquasi-open-access resources) yang semua
pihak cenderung memaksimumkan keuntungan dalam pemanfaatannya, dan (3)
kekurangan dalam sistem penilaian (undervaluation) terhadap sumberdaya alam
dalam sistem ekonomi pasar yang terjadi, yang kesemuanya sangat erat kaitannya
dengan aspek teknis-finansial dan aspek sosial-ekonomi budaya masyarakat
setempat.
2.2
Pendekatan Ruang Ekologis (Ecological Footprint Analysis)
Dalam memenuhi kebutuhan hidup kita menggunakan sumberdaya alam,
kergantungan kita terhadap alam menimbulkan pertanyaan berapa kemampuan
alam untuk memenuhi semua kebutuhan kita sampai masa yang akan datang.
Secara perspektif ekologi, salah satu stategi yang dilakukan untuk tujuan
keberlanjutan pemanfaatan melalui penilaian terhadap sumberdaya alam.
Pendekatan yang digunakan dalam penilaian sumberdaya melalui analisis
Ecological Footprint (EF). Dasar pemikiran analisis pendekatan ini berasal dari
konsep daya dukung (carrying capacity) kemampuan lingkungan untuk
mendukung kehidupan manusia. Selain itu, pendekatan EF membantu dalam
pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan
(Wackernagel dan Rees 1996).
Penilaian EF dan BC disebut pendekatan ruang ekologis/jejak kaki ekologis
diperkenalkan Wackernagel dan Rees tahun 1995 dimana tingkat kebutuhan
manusia terhadap sumberdaya alam diterjemahkan kedalam luasan area yang
11
produktif sebagai penyedia sumberdaya dan sebagai tempat mengasimilasi sisa
buangan akibat pemanfaatan sumberdaya. Menurut Ferguson (1999) in Venetoulis
dan Talberth (2008) bahwa EF salah satu analisis yang telah digunakan dalam
penilaian keberlanjutan dengan membandingkan permintaan sumberdaya suatu
populasi dengan produktivitas secara global. Sedangkan Wakernagel dan Loh
(2002) in Venetoulis dan Talberth (2008) menggunakan EF untuk menilai berapa
banyak areal produktif (daratan dan perairan) yang diperlukan oleh perorangan,
sebuah kota, satu negara atau suatu masyarakat untuk mengkonsumsi sumberdaya
alam. Sebagaimana disebutkan Wilson dan Anielski (2005) bahwa setiap orang
akan memanfaatan ruang/suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan hidup
melalui pemanfaatan sumberdaya alam, dengan pendekatan ini digunakan untuk
menilai hubungan permintaan (demand) terhadap sumberdaya dan ketersediaan
(supply) sumberdaya yang dikonversi menjadi luas area, sehingga dapat
menggambarkan tingkat pemanfaatan sumberdaya telah melebihi atau belum
optimal.
Yang dimaksud ruang ekologi dalam penelitian ini adalah ruang perairan
yang digunakan untuk budidaya rumput laut dan ketersediaan ruang yang sesuai
untuk budidaya rumput laut. Kecenderungan pemanfaatan ruang akan meningkat
disebabkan perubahan pemanfaatan sumberdaya dimana sebelumnya masyakarat
bermatapencaharian sebagai nelayan beralih menjadi pembudidaya rumput laut.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden yang melakukan budidaya
rumput laut sebagai kegiatan utama sebesar 79,45 % (201 orang) dan 20,55 % (52
orang) sebagai kegiatan sampingan.
Dalam perhitungan daya dukung ruang ekologis terhadap pengembangan
rumput laut di bagi kedalam dua bagian yaitu (i) permintaan terhadap ruang
ekologi berdasarkan biomassa yang dihasilkan (EF) dan (ii) ketersediaan ruang
perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut (BC). Sebagaimana disebutkan
Schaefer et.al (2006) perhitungan ruang ekologi dibagi kedalam dua bagian
yaitu permintaan terhadap sumberdaya (EF) dan ketersediaan sumberdaya
(biocapacity/BC). Ini merupakan gambaran penilaian terhadap periode waktu
terpilih (misalnya dalam setahun).
12
Lebih lanjut, penilaian EF dalam pengembangan budidaya rumput laut
merujuk pada konsumsi sumberdaya (ruang perairan). Perhitungan konsumsi ini
didasarkan
pada
tiga
komponen
meliputi tingkat
konsumsi
(Domestic
Extraction/DE), produktivitas baik lokal maupun regional (Yield/Y) dan kegiatan
impor (IM) – ekspor (EX). Tingkat konsumsi diperoleh dari jumlah produksi
rumput laut (kering) per orang dalam setahun. Nilai produktivitas berasal dari
perbandingan jumlah produksi rumput laut dengan luas perairan yang digunakan.
Sedangkan impor – ekspor berasal dari perdagangan rumput laut antar pulau di
Gugus Pulau Salabangka. Komponen dalam penilaian EF di Gugus Pulau
Salabangka dapat dilihat pada Gambar 3.
Gugus Pulau Salabangka
Yregional
DE
Ylokal
P5
Koperasi
IM
P6
DE Ylokal
EX
DE
Ylokal P4
EX
Keterangan :
P
: Jumlah pembudidaya
DE
: Tingkat Konsumsi (Domestic Exctraction)
Y
: Produktivitas
IM
: Impor
EX
: Ekspor
P3
DE Ylokal
IM
Ylokal
P2
DE
P1
Pasar
Ylokal
DE
Gambar 3 Komponen Penilaian Ecological Footprint
EF per kapita merupakan rata-rata ruang perairan yang digunakan per orang
untuk budidaya rumput laut, sehingga total ruang ekologi (hektar) merupakan total
luasan perairan diperlukan untuk memproduksi rumput laut berdasarkan jumlah
pembudidaya rumput laut (Wang dan Bian 2007). Menurut Venetoulis et.al
(2004) jika total nilai EF bernilai positif atau negatif mengindikasikan bahwa
adanya kelebihan atau kekurangan luasan yang diperlukan untuk memproduksi
sumberdaya.
13
Sedangkan pernilaian BC didasarkan pada ruang perairan yang sesuai untuk
budidaya rumput laut. Total BC (hektar) menunjukkan total ruang perairan yang
secara ekologi sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. BC per kapita
menggambarkan ketersediaan ruang perairan budidaya rumput laut per orang
(Wang dan Bian 2007).
Hasil analisis melalui pendekatan ruang ekologi dapat menggambarkan
pemanfaatan terhadap sumberdaya belum optimal atau telah melebihi daya
dukung ekologi. Meskipun suatu wilayah memiliki ketersediaan sumberdaya
alam, tetapi secara lokal dapat mengalami defisit (Schaefer et.al 2006). Menurut
Chambers et.al (2001) defisit ekologi suatu wilayah dimana tingkat kebutuhan
terhadap sumberdaya melebihi kemampuan ekologis wilayah tersebut. Dengan
kata lain, jika hasil penilaian EF lebih besar dibandingkan BC, maka kondisi ini
disebut defisit.
2.3
Budidaya Rumput Laut
Salah satu jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya PPK adalah budidaya
perikanan. Jenis budidaya yang dikembangkan pada setiap pulau akan berbeda
satu dengan yang lain tergantung dari kondisi biofisik pulau tersebut. Salah satu
jenis budidaya yang mulai dikembangkan di Gugus Pulau Salabangka adalah
budidaya rumput laut.
Rumput laut (sea weed) merupakan alga makro bentik yang hidup di laut
dan termasuk kedalam tumbuhan tingkat rendah (phylum thallophta), yang tidak
dapat dibedakan antara akar, batang dan daun atau dengan bagian tumbuhan
secara keseluruhan merupakan “batang” yang disebut thallus. Kelompok
tumbuhan ini memiliki bentuk beraneka ragam mulai dari bulat, silindris, pipih
atau lembaran, filamen seperti rambut dan bersifat keras karena substansi
mengandung zat kapur, lunak seperti tulang rawan, kenyal seperti gel atau
fleksibel seperti bunga karang, serta mempunyai fungsi yang berbeda-beda sepeti
perekat pada substrat, sebagai batang dan sebagai daun (Atmadja et.al in Sulistijo
dan Atmadja 1996).
14
Rumput laut terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya
bersifat bentik di daerah perairan dangkal, berpasir, lumpur berpasir dan
berlumpur, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati,
potongan kerang dan substrat yang keras lainnya, baik terbentuk secara alamiah
atau buatan. Alga bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa tergantung
makhluk lain. Proses pertumbuhan rumput laut sangat bergantung pada sinar
matahari untuk melakukan proses fotosintesis.
Jenis rumput laut yang dibudidayakan di wilayah kajian adalah Eucheuma
sp. Pada umumnya, rumput laut hidup berasosiasi dengan hewan karang, sehingga
habitat rumput laut senantiasa berada disekitar terumbu karang. Menurut Kadi dan
Atmadja (1988) in Iksan (2005) menyebutkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma
sp. memiliki thallus berbentuk bulat silindris dengan permukaan licin, berwarna
merah/merah-cokelat atau hijau, memiliki percabangan tidak teratur, mempunyai
benjolan-benjolan (blunt nodule) atau duri (spine) pada thallus, subtansi thallus
gelatinus dan atau kartilagenus. Lebih lanjut disebutkan bahwa spesies ini lebih
banyak terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu
terendam oleh air (subtidal) dengan melekat pada substrat dasar perairan yang
berupa batu, karang mati, karang hidup, batu gamping atau cangkang moluska.
Pertumbuhan jenis Eucheuma sp. di wilayah pesisir dipengaruhi oleh faktor
oseanografi meliputi parameter fisika, kimia dan biologi (Puslitbangkan 1991).
Untuk Eucheuma alvarezii berwarna coklat memiliki pertumbuhan yang lebih
cepat dibandingkan Eucheuma alvarezii berwarna hijau (Kadi 2004).
Terkait dengan kondisi lingkungan fisika untuk menghindari kerusakan fisik
sarana budidaya dan rumput laut dari pengaruh angin topan dan pergerakan air
atau gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari
hempasan ombak seperti perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung
oleh karang penghalang atau pulau didepannya (Puslitbangkan 1991).
Umumnya pertumbuhan Eucheuma sp. lebih baik pada dasar perairan yang
stabil terdiri dari pecahan karang/potongan karang mati dan pasir kasar serta bebas
dari lumpur. Kondisi dasar perairan yang demikian menunjukkan daerah tersebut
selalu dilalui oleh arus yang cukup. Mempunyai gerakan air (arus) yang cukup
berkisar 20 – 40 cm/dtk.
15
Dengan menggunakan metode rawai (longline) dan sistem jalur kedalaman
perairan yang mendukung pertumbuhan Eucheuma sp. adalah > 5 m pada saat
surut terendah. Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan
karena terkena sinar matahari secara langsung pada saat surut terendah dan
memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara langsung pada saat
air pasang (Anonim 2004c).
Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut
menjadi pucat kekuning-kuningan sehingga rumput laut tidak dapat tumbuh
dengan baik. Oleh karena itu, suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut
adalah 20 – 28 oC dengan fluktuasi harian maksimum 4 oC (Puslitbangkan 1991).
Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal
ini dimaksudkan agar cahaya matahari dapat masuk kedalam perairan. Intensitas
sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam
proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak
kurang dari 5 m cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut (Puslitbangkan 1991).
Kondisi kimia perairan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput
laut. Pertumbuhan rumput laut tidak dapat mentolerir salinitas dibawah 25 ppt.
Beberapa penyebab penurunan salinitas antara lain adanya air tawar yang masuk
ke perairan melalui aliran sungai dan adanya hujan, hal tersebut dapat
menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal.
Selain itu faktor nutrient atau unsur hara dalam perairan sangat dibutuhkan
oleh tumbuhan. Nutrient yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut meliputi
kandungan nitrat dan fosfat. Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996) menyebutkan
bahwa kisaran fosfat optimal untuk pertumbuhan rumput laut antara 0,02 ppm
sampai 0,1 ppm, sedangkan kadar nitrat yang baik mendukung kehidupan alga
0,001 – 5 mg/l (Luning 1990). Faktor lainnya yang menjadi indikator kualitas
perairan yang baik adalah perairan bebas dari bahan pencemar yang bersumber
dari limbah rumah tangga, industri maupun limbah kapal. Hal tersebut
dikarenakan bahan cemaran dapat menghambat pertumbuhan rumput laut
(Anonim 2004c).
16
Indikator biologi juga merupakan salah satu faktor dalam penentuan lokasi
budidaya rumput laut, dimana perairan secara alami ditumbuhi oleh kominitas dari
berbagai makro alga seperti Ulva sp., Caulerpa sp., Padina sp., Hypnea sp. dan
lain-lain. Selanjutnya perairan lokasi budidaya harus bebas dari hewan air lainnya
yang bersifat herbivora terutama ikan baronang/lingkis (Sigarus sp.), penyu laut
(Chelonia mydas) dan bulu babi yang dapat memakan rumput laut (Puslitbangkan
1991).
Menurut Indriani dan Sumarsih (1999) bahwa beberapa persyaratan yang
perlu dipertimbangan dalam menentukan lokasi budidaya antara lain : (1) harus
bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas yang
besar, (3) areal disekitarnya terdapat makanan untuk tumbuh rumput laut, (4)
perairan harus berkondisi mudah menerapkan budidaya, (5) mudah terjangkau
sehingga meminimalkan biaya transportasi, (6) dekat dengan sumber tenaga kerja.
Penerapan metode budidaya yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan
kondisi perairan. Beberapa metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut
meliputi (1) metode lepas dasar, yang dilakukan pada dasar perairan yang berpasir
atau berlumpur pasir untuk memudahkan penancapan patok/pancang; (2) metode
rakit apung, dimana cara pembudidayaan dengan menggunakan rakit yang terbuat
dari bambu/kayu; (3) metode longline, dimana menggunakan tali panjang yang
dibentangkan; (4) metode jalur merupakan kombinasi dari metode rakit dan
metode longline; (5) metode keranjang (kantung) dimana rumput laut diletakkan
dalam kantung dan metode ini tergolong baru (DKP 2003). Dari kelima metode
tersebut, metode long line sampai saat ini yang dipilih petani di wilayah Gugus
Pulau Salabangka, karena metode ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain
biaya yang dikeluarkan lebih murah dan masih terjangkau oleh pembudidaya, dan
kemudahan dalam penanam, pemelihara serta panen.
Lebih lanjut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga P2O-LIPI
di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) dan Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah) bahwa
jenis Eucheuma spinosum menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik dengan
menggunakan metode apung dibandingkan dengan metode sistem lepas dasar
(Iksan 2005).
17
Berdasarkan penerapan tingkat teknologi, budidaya rumput laut dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem teknologi sederhana yaitu dengan
mengikatkan rumpun bibit rumput laut pada kerangka tali nilon atau dapat juga
menggunakan sistem lepas dasar (patok dan tali), rakit (bambu dan tali) atau rawai
(monoline dengan pelampung botol plastik) (Kadi 2004).
Selanjutnya dalam penggunaan bibit, kebutuhan bibit dalam setiap musim
tanam tergantung dari luas areal budidaya dan jarak tanam antar bibit pada setiap
liris. Setiap 1 hektar luas areal budidaya dengan jarak tanam sekitar 20 cm, berat
sekitar 100 – 150 gr per liris akan memerlukan bibit sekitar 1200 kg. Sedangkan
menurut Kadi (2004) dengan menggunakan metode rawai, dengan panjang tali 50
– 100 m, jarak tanam 50 cm dan berat bibit per ikatan 200 – 300 gr akan
memerlukan bibit sekitar 20 – 60 kg. Untuk masa pemeliharaan rumput laut
sampai saat panen dengan metode lepas dasar umumnya berkisar antara 1,5 – 2
bulan (Kolang et al. 1996 in Syahputra 2005).
Hasil produksi untuk jenis Euceheuma cottonii dengan berat awal + 125
gram menggunakan metode apung dapat mencapai sekitar 500 – 600 gram atau
dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 %, sehingga dalam setahun dengan 6
kali penanaman untuk luasan 1 hektar dapat dihasilkan 144 ton rumput laut basah
atau kurang lebih 11 ton rumput laut kering (Aslan 1998). Menurut Hidayat
(1994) hasil produksi dalam ton per hektar dengan metode apung adalah sebesar
504 ton berat basah atau 67,2 ton berat kering atau dengan perbandingan 13 : 1.
Sedangkan menurut Indriani dan Sumarsih (1999) perbandingan antara berat
basah dengan berat kering apabila di panen pada usia dua bulan adalah 6 : 1 dan
jika dipanen pada usia 1 bulan perbandingannya 8 : 1.
2.4
Sistem Informasi Geografis (Geografis Information System-GIS)
Menurut Zetka (1985) in Amarullah (2007) menyebutkan bahwa ekosistem
pesisir merupakan area yang luas meliputi daratan pesisir, estuaria dan perairan
pesisir, sehingga sumber data yang dibutuhkan sangat bervariasi. Melalui Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial
dan spektral yang tinggi dapat diperoleh pemetaan wilayah pesisir.
18
Menurut Rice20; Gistut94 in Prahasta (2002) definisi SIG adalah sistem
komputer yang digunakan untuk memasukkan (capturing), menyimpan,
memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan
data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi dan
merupakan sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial serta
mampu
mengintegrasikan
deskripsi-deskripsi
lokasi
dengan
karateristik-
karateristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi.
Pemanfaatan SIG merupakan salah satu pilihan untuk menjawab
permasalahan perencanaan terkait pemanfaatan ruang perairan untuk budidaya
perikanan. SIG juga bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karateristik
dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik, karena mampu
mengintegrasikan beberapa data peta dan mempunyai kemampuan sebagai
pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikian
rupa, sehingga data terserbut dapat dipilih dan dipergunakan bagi berbagai
kepentingan dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan (Soebagio
2005).
Berbagai penelitian terkait dengan pemanfaatan SIG antara lain Radiarta
et.al (2003) mengaplikasikan SIG untuk penentuan lokasi pengembangan
budidaya laut di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat; Winarso et.al (1999) in
Trisakti et.al (2004) melakukan analisis geomorfologi untuk studi kesesuaian
lahan tambak udang di Ketapang, Sulawesi Selatan; Bambang et.al (2003) in
Trisakti et.al (2004) memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk analisis
kesesuaian kegiatan budidaya laut dan pariwisata bahari untuk propinsi Nusa
Tenggara Barat.
Dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan dan
pariwisata, penggunaan teknologi penginderaan jauh dan SIG memiliki beberapa
macam kelebihan dibandingkan dengan penentuan kesesuaian lahan secara
manual (survei langsung ke lapangan) yang membutuhkan waktu yang lama dan
biaya yang tinggi. Dengan menggunakan penginderaan jauh dan SIG, objek yang
diamati (lahan pesisir) di permukaan bumi dapat dilakukan dengan cepat, akurat
dan dalam cakupan yang luas (Trisakti et.al 2004).
19
Dalam penelitian ini, SIG digunakan untuk mengidentifikasi kesesuaian
lahan perairan untuk budidaya rumput laut, dengan tujuan optimalisasi lahan
perairan dalam budidaya rumput laut. Beberapa hasil penggunaan SIG dalam
penelitian ini antara lain peta sebaran ekosistem pesisir, peta kontur kedalaman,
peta-peta tematik untuk parameter fisika kimia yang mempengaruhi budidaya
rumput laut dan luas area pemanfaatan perairan saat ini.
III METODOLOGI
Penelitian ini dimasudkan sebagai kajian pemanfaatan ruang PPK untuk
budidaya rumput laut yang berkelanjutan sesuai potensi dan daya dukung
lingkungan dengan pendekatan ecological footprint. Sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai yaitu pertama mengidentifikasi kesesuaian ruang perairan untuk
budidaya rumput laut dilakukan dengan cara menentukan kesesuaian perairan
untuk budidaya berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang (ecological footprint
rumput laut) dan ketersediaan ruang (biocapacity). Untuk menghitung kebutuhan
ruang didasarkan pada tiga komponen meliputi tingkat konsumi, produktivitas dan
kegiatan impor – ekspor. Hasil yang diperoleh berupa besaran ha/kapita, yang
berarti setiap orang membutuhkan area perairan untuk budidaya rumput laut
didasarkan pada pemanfaatan saat ini. Sedangkan perhitungan ketersediaan ruang
perairan didasarkan pada metode skoring dan tumpang susun (overlay) terhadap
parameter yang mendukung untuk budidaya rumput laut. Kemudian hasil yang
diperoleh berupa besaran ha. Adapun masing-masing nilai EF dan BC
dinormalisasikan dengan equivalence factor (EqF). Nilai EqF adalah 0,06
merupakan nilai EqF berdasarkan tipe ekosistem laut (Warren-Rhodes dan Koenig
2001)
Selanjutnya kedua mengestimasi daya dukung ruang ekologi perairan untuk
pengembangan budidaya rumput laut didasarkan pada perbedaan tingkat
kebutuhan ruang (EF) terhadap ketersediaan ruang (BC) yang sesuai untuk
budidaya rumput laut. Jika nilai EF > BC maka disebut overshoot dimana tingkat
kebutuhan ruang telah melebihi kemampuan ruang untuk mendukung budidaya
rumput laut, demikian pula sebaliknya jika nilai EF < BC maka disebut
undershoot (Schaefer et.al 2006). Alur kerangka analisis disajikan pada Gambar
4.
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dimulai bulan Maret – Mei 2007, di Gugus Pulau
Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 5.
21
Ruang Ekologi Pulau-Pulau Kecil
(Gugus Pulau Salabangka)
Analisis Kebutuhan Rumput Laut
(Ecological Footprint/EF Rumput Laut)
Data Footprint Rumput Laut :
- Data Tingkat Konsumsi (Domestic Extraction/DE)
- Data Produktivitas (Y)
- Data Impor (IM) – Ekspor (EX)
Identifikasi Pemanfaatan Perairan
untuk Budidaya Rumput Laut
Oseanografi :
- Kecepatan arus
- Kecerahan
- Kedalaman
- Keterlindungan
- Dasar perairan
- Salinitas
- Suhu
- pH
- Oksigen Terlarut
- Nutrient
Analisis Ketersediaan Ruang
(Biocapacity/BC Budidaya Rumput Laut)
Data Primer
Data Digital
Data Sekunder
Interpolasi Data
Peta Tematik
-i
Peta Tematik
-ii
Peta Tematik
-n
Basis Data
Kriteria Kesesuaian Perairan untuk
Budidaya Rumput Laut
Analisis Data
Analisis Spasial
Peta Kesesuaian Peraian untuk
Budidaya Rumput Laut
Kebutuhan Rumput Laut
(Ecological Footprint/EF Rumput Laut)
Ketersediaan Ruang
(Biocapacity/BC Budidaya Rumput Laut)
Analisis Ruang Ekologi Budidaya Rumput Laut
EF > BC (Overshoot) atau EF < BC (Undershoot)
Keberlanjutan Budidaya Rumput Laut
Gugus Pulau Salabangka
Gambar 4 Alur Kerangka Analisis
22
3.2
Metode Penelitian
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan mempertimbangkan kondisi
wilayah penelitian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode survei.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dalam pemanfaatan sumberdaya
PPK khususnya untuk budidaya rumput di Gugus Pulau Salabangka.
3.3
Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Untuk data primer diperoleh langsung pada lokasi penelitian melalui
wawancara, pengamatan langsung dan observasi terencana (menggunakan
kuisioner). Sedangkan data sekunder dilakukan melalui penelusuran kepustakaan
dari jurnal dan laporan, baik yang berasal dari instansi terkait (seperti BPS, Dinas
Kelautan dan Perikanan) maupun lembaga pendidikan. Jenis data dalam penelitian
ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Kelompok data primer terdiri dari data oseanografi (parameter fisika- kimia)
dan data sosial ekonomi, yang meliputi tempat tinggal, jenis kelamin, umur,
sumber pendapatan, pengalaman dan pengeluaran, kedua data tersebut bertujuan
dalam identifikasi kesesuaian ruang budidaya rumput laut,. Sedangkan data
sekunder mencakup data monografi, dan laporan hasil penelitian.
3.3.2 Metode Pengambilan Data
Metode pengukuran parameter fisika-kimia (Lampiran 1) perairan dilakukan
secara sengaja (purposive) berdasarkan tempat budidaya rumput laut dengan
jumlah stasiun pengamatan adalah 15 buah (Gambar 4). Dalam metode ini,
parameter yang dilakukan pengukuran meliputi parameter kecepatan arus,
kecerahan dan kedalaman, dasar perairan/substrat, suhu, salinitas, pH, dan oksigen
terlarut (DO) dengan menggunakan pengukuran in situ. Sedangkan parameter
nitrat dan fosfat dilakukan pengukuran di laboratorium. Dalam pengambilan data
sosial ekonomi, responden yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah
pembudidaya dan pengumpul rumput laut di Gugus Pulau Salabangka yaitu
pembudidaya 253 orang, dan pengumpul rumput laut sejumlah 38 orang, serta
23
didasarkan pada batas administrasi desa (Gambar 5). Dengan pertimbangan
kondisi pengambilan sampel bersifat homogen, maka teknik pengambilan
responden menggunakan teknik acak sederhana.
Tabel 1 Jenis Data dan Parameter yang diukur
No
1.
Jenis Data
Parameter
Data Fisika
Data Kimia
2.
Budidaya rumput
laut
-
Kedalaman (m)
Kecepatan arus (cm/detik)
Keterlindungan
Dasar perairan
Kecerahan (%)
Suhu (oC)
Salinitas (ppt)
Derajat keasaman/pH
Oksigen terlarut (mg/l)
Nitrat (mg/l)
Fosfat (mg/l)
-
Jumlah petani rumput laut
Tenaga kerja
Jenis bibit rumput laut
Hasil panen (ton) dalam
bentuk basah dan kering
Keuntungan (Rp/orang)
Luas lahan budidaya (ha)
Harga jual per kg (basah
dan kering)
Produksi rumput laut (ton)
Luas lahan (ha)
Jumlah Pembudidaya
(kapita)
Permintaan (ton)
Tempat tinggal
Umur
Sumber pendapatan
Pengalaman
Pengeluaran pembudiaya
3.
Kebutuhan
Ruang Ekologis
(Ecological
Footprint)
4.
Sosial
Ekonomi
-
–
-
Alat/Metode
-
Batu Duga dan Data Sekunder
Layang-layang arus (drift float),
stop watch dan kompas geologi
Data Sekunder
Visual
Secchi Disk
Termometer
Salinometer
pH meter
Titrasi
Spektrofotometer (Laboratorium)
Spektrofotometer (Laboratorium)
Kuisioner
12 2 °1 9 '3 0 "
12 2 °2 1 '4 0 "
12 2 °2 3 '5 0 "
12 2 °2 6 '0 0 "
G U G U S P U L A U S A B A L AN G K A
K AB U P A T E N M O R O W AL I
S U L AW E S I TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S k a l a 1 : 80 . 0 0 0
Tg . L a bo
P . P ad op ad o
c
Ko l o n o
D o ng k a l a
Pe t a I n d e k s
11 9
12 3
12 4
12 5
-1
b
b
Bo e t a l is e
b
b
W a ru w a ru
P . W a ru w ar u
c
-2
-2
PR OV. S UL A WE S I B AR AT
-3
-4
Ke p. S al ab an gk a
-3
LA U T BA N D A
PR OV. S ULA WE S I SE L AT AN
-4
PR OV. S UL A WE S I T ENGGA R A
TE LU K B O N E
-5
Ba k a la
-5
-6
Bu a j a n gk a
b
Pa k u
Po
b
c
P. P ak u
La k o m b u lo
b
b
l
Se
bc
-7
LA U T FL O RE S
11 9
12 0
12 1
12 2
12 3
12 4
12 5
12 2 ° 0 0 '
12 2 ° 2 0 '
L e g e n d a Pe t a
c
Bu n g i n ke l a
c
S ta s iu n P ar a m e t e r B io fi sik
b
S ta s iu n S o s e k
G a r is pa n tai
J a la n la in
Bu to n
P. K a le ro an g
b
J a la n s e t a p a k
Ja w i ja w i
3°3'40"
ka
ng
ba
la
a
tS
a
Ka l e ro a n g
B el uk a r
D ar a t S u la w e s i
Hu t an
La ut
P as i r /Ke r a ka l
P em u k im a n
P. K a ra ntu
c
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Ko b u ru
c
Ke p. Sa l aba ng k
P ROV. SUL A WES I T E NGAH
Le m o
c
0
3°00'
LA U T M AL U K U
3°20'
b
Pa d a b a le
c
12 2 ° 2 0 '
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
P . T a di n an g
P . P ad ab al e
12 2 ° 0 0 '
2
PR OV. S UL A WE S I U TAR A
PR OV. GO R ONT ALO
3°1'30"
3°1'30"
12 2
LA U T SU LA W E SI
0
-1
Tg . K e e s a ha
c
3°3'40"
12 1
1
c
c
P . B ap a
12 0
2
Tg . L o tor e n de
3°00'
b
Tg . K a da ng a
3°20'
b
Pa d o p a d o
Ka m p u h b a u
S EL A T MAK A SSA R
c
c
Te ga l/L a d a n g
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i I nd o n e s i a , l e m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g , B A K O S U R T A N AL , ta h un 1 9 9 2
2. S u r v ey l a p a n g a n t a hu n 2 0 0 6
c
Si ng ka t an
3°5'50"
3°5'50"
P : P u la u
T g : T a n ju ng
K A B U P A TE N M O R O W A L I
LA U T B A ND A
M A ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
12 2 °1 9 '3 0 "
U
PE T A LO KA S I P EN E LIT IA N
12 2 °2 1 '4 0 "
12 2 °2 3 '5 0 "
12 2 °2 6 '0 0 "
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e l o la a n S u m b er d a y a Pe s is i r d an L a u ta n
Se k o la h P ar c a s a rj a na
In s titut Pe r ta n ia n B og o r
B o g or
20 0 7
24
Gambar 5 Lokasi Penelitian Analisis Ruang Ekologis Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-pulau Kecil untuk Budidaya Rumput Laut
Gugus Pulau Salabangka, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah
25
3.4
Analisis Data
Menurut Wilson dan Anielski (2005), ruang ekologis merupakan dampak
yang ditimbulkan dari setiap kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengukur
tingkat
kemajuan
terhadap
keberlanjutan
masyarakat
dalam
pemanfaatan sumberdaya alam dengan pendekatan ecological footprint.
Keberlanjutan dalam konteks ini, berarti untuk mencapai hidup yang memuaskan
tanpa melampaui kapasitas regeneratif suatu lingkungan.
Lebih lanjut Wackernagel menggunakan konsep ecological footprint untuk
menghitung tingkat konsumsi terhadap sumberdaya, dan didasarkan pada
pemikiran bahwa ketersediaan sumberdaya alam hayati (ruang) dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup manusia, dihasilkan oleh suatu luasan bumi yang produktif
secara biologis (Ludvianto 2001).
Selanjutnya Adrianto (2006a) menyebutkan bahwa pendekatan ecological
footprint
merupakan
suatu
konsep
daya
dukung
lingkungan
dengan
memperhatikan tingkat konsumsi populasi, dimana perbedaan kebutuhan area
dengan ketersedian ecological capacity dapat menunjukkan overshoot atau
undershoot terhadap pemanfaatan sumberdaya.
Analisis daya dukung ruang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
ecological footprint berdasarkan kebutuhan ruang ekologi untuk pengembangan
rumput laut dimana perhitungan ecological footprint didasarkan tingkat kebutuhan
rumput laut terhadap biocapacity yang didasarkan pada ketersediaan ruang yang
secara ekologi mendukung budidaya rumput laut (Adrianto 2006a).
3.4.1 Analisis Kebutuhan Ruang Perairan
Analisis kebutuhan ruang ini didasarkan pada tingkat kebutuhan rumput laut
untuk menunjukkan area perairan dalam kegiatan budidaya (rumput laut) yang
digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi (pembudidaya) suatu
wilayah. Model Haberl’s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological
footprint rumput laut (Haberl et al. 2001 in Ditya 2007 ), yaitu sebagai berikut :
26
EFi =
DEi
IM i
EX i
+
−
Ylok i Yreg i Ylok i
dimana EFlok =
∑ EF EqF
i
Dimana :
EFi
EFlok
DEi
IMi
EXi
Ylok i
Yreg i
EqF
: Ecological Footprint rumput laut pulau ke-i (Ha/kapita)
: Total Ecological Footprint (lokal) (Ha/kapita)
: Tingkat Konsumsi rumput laut pulau ke-i (Ton/kapita)
: Produksi rumput laut yang ”di impor” dari pulau lain (Ton/Ha)
: Produksi rumput laut yang ”di ekspor” ke pulau lain (Ton/Ha)
: Produktivitas rumput laut di pulau ke-i(Ton/Ha)
: Produktivitas di gugus ke-i (Ton/Ha)
: Equivalence Factor
3.4.2 Analisis Ketersediaan Ruang
Analisis ketersedian ruang (biocapacity) ini didasarkan pada kesesuaian
perairan yang mendukung budidaya rumput laut. Kesesuaian ruang perairan untuk
budidaya rumput laut secara spasial menggunakan konsep evaluasi lahan. Konsep
ini didasarkan pada parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang secara
ekologi merupakan prasyarat kelayakan dalam budidaya rumput laut. Untuk itu
digunakan teknik Sistem Informasi Geografis (SIG), guna melihat luas perairan
yang sesuai untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau Salabangka.
Dalam menentukan tingkat kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut
ditentukan dengan metode skoring dengan mengambil beberapa parameter dan
menggunakan
teknik
tumpang
susun
(overlay)
bertingkat.
Selanjutnya
menentukan tingkat kelayakan dengan memberikan bobot pada setiap parameter
yang terukur berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari para pakar.
Matriks kesesuaian perairan dapat dilihat pada Tabel 2. Bobot terbesar sampai
terkecil diberikan berdasarkan besarnya pengaruh parameter terhadap kegiatan
budidaya rumput laut.
Nilai skor diperoleh dari hasil perkalian batasan nilai (setiap kategori) dan
bobot, sehingga nilai skor yang diperoleh merupakan hasil kelayakan lokasi
tersebut. Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan/perairan dibedakan pada tiga
tingkatan (FAO 1976 yang diacu oleh Hardjowigeno et.al 2001) dan didefinisikan
sebagai berikut :
27
Kelas S1 :
sangat sesuai, yaitu perairan tidak mempunyai faktor pembatas yang
berat atau hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti
(minor) dan secara nyata tidak akan menurunkan produktivitas
perairan untuk budidaya rumput laut. Nilai scoring untuk kelas S1
sebesar 3.
Kelas S2 :
sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang agak berat
dan akan mempengaruhi produktivitas perairan untuk kegiatan
budidaya rumput laut. Untuk itu, dalam pengelolaannya diperlukan
tambahan masukan (input) teknologi dan tingkat perlakuan. Nilai
scoring untuk kelas S2 sebesar 2.
Kelas N :
tidak sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang
sifatnya permanen, sehingga tidak sesuai untuk budidaya rumput
laut. Nilai scoring untuk kelas N sebesar 1.
Nilai kesesuaian perairan yang diperoleh berkisar antara 0 – 300.
Selanjutnya kisaran nilai ini di bagi ke dalam 3 kelas, sehingga diperoleh kisaran
nilai kesesuaian sebagai berikut :
•
Nilai 251 – 300 (S1) = sangat sesuai
•
Nilai 151 – 250 (S2) = sesui
•
Nilai 0 – 150
(N) = tidak sesuai
Kategori kelas kesesuaian yang digunakan untuk menghitung biocapacity
meliputi kelas sangat sesuai dan kelas sesuai, dengan menggunakan rumus :
BC k = Ak EqF
Keterangan :
dimana
BC lok =
∑ BC
k
Ak = Luas perairan budidaya rumput laut kategori ke - k(Ha)
EqF = Equivalence Factor
28
Tabel 2 Matriks Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Rumput Laut
No
1.
2.
Parameter
Kecepatan arus
(cm/detik)
Terlindung dari
pengaruh angin
dan gelombang
Kategori dan Skor
S2
Skor
Bobot
(%)
S1
Skor
15
20-30
3
11-19 atau
31-45
11
Sangat
terlindung
3
Terlindung
N
Skor
2
< 11 atau
> 45
1
2
Tidak
terlindung
1
2
< 0,1 atau
> 3,5
1
2
< 0,1 atau
> 3,5
1
3.
Nitrat (ppm)
5
0,9-3
3
4.
Phosphat (ppm)
5
0,02-1,0
3
5.
Kecerahan (%)
11
80 - 100
3
0,1-< 0,9
atau 3-3,5
0,01-<0,02
atau 1,02,0
60 - 79
6.
Salinitas (ppt)
8
32 – 34
3
25 – 31
2
7.
Dasar perairan
11
Karang
Berpasir
3
Pasir –
pasir
berlumpur
8.
Derajat
Keasaman/pH
5
7.5 – 8,5
3
9.
Suhu (oC)
9
29 – 31
10
DO (mg/L)
Kedalaman air
(m)
Jumlah
5
15
11.
2
< 60
< 25 atau
> 35
1
2
Lumpur
1
7,5 – 6,8
2
< 6,8
1
3
25 – 28
2
>4
3
2
3 – 30
3
2–4
1 – 3 atau
31 – 40
2
< 25 atau
> 32
<2
<0,5 atau
>40
100
Sumber :Sulistijo (2002), Amarullah (2007), Besweni (2002), FAO (1989) (diolah kembali).
1
1
1
1
IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1
Keadaan Umum Daerah
4.1.1 Geografis dan Topografi
Wilayah Kecamatan Bungku Selatan dengan ibukota Kaleroang, terletak di
Pulau Kaleroang merupakan gugusan pulau yang dikenal dengan nama kepulauan
Salabangka. Berdasarkan Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta (1987)
(Lampiran 2), Kepulauan Salabangka (Tabel 3) terdiri dari pulau-pulau
Salabangka, pulau-pulau Umbele, dan pulau-pulau Sainoa. Wilayah penelitian
dibatasi pada daerah Gugus Pulau Salabangka.
Secara geografis, Kecamatan Bungku Selatan terletak pada lintang
122o18’00” BT – 122o37’00” BT dan 02o53’00” LS – 03o11’00” LS, terdiri dari
33 desa diantaranya 21 desa tersebar di kepulauan dan sisanya terletak di wilayah
daratan induk.
Secara administratif, Kecamatan Bungku
Selatan termasuk dalam
pemerintahan Kabupaten Morowali dengan batas-batas wilayah, sebagai berikut :
1. Sebelah Utara dengan wilayah Kecamatan Bahodopi dan Perairan Teluk Tolo
2. Sebelah Selatan dengan wilayah Kecamatan Menui Kepulauan
3. Sebelah Timur dengan Laut Banda
4. Sebelah Barat dengan wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara
Kecamatan Bungku Selatan merupakan daerah dengan luas wilayah pesisir
terbesar ke dua seluas 235.217 ha di Kabupaten Morowali. Dengan luas wilayah
daratan adalah 81,17 % (103.178 ha) daratan induk dan 18,83 % (23.941 ha)
daratan pulau-pulau kecil. Kecamatan ini mempunyai panjang garis pantai pesisir
111,90 km dan panjang garis pantai lingkar pulau 56,30 km (Anonim 2004b).
Sebagian besar wilayah pesisir daratan terdiri dari pegunungan dan
perbukitan yang disusun oleh batuan beku dan batu gamping kristalin, dengan
ketinggian dari permukaan laut antara 4 – 9 meter. Gunung tertinggi terletak di
Desa Sambalagi dengan ketinggian 700 meter. Wilayah Kecamatan Bungku
Selatan memiliki tiga sungai yaitu Sungai Mata Uso terletak di Desa Buleleng
dengan panjang 17 km, Sungai Torete di Torete sepanjang 18 km, dan Sungai
30
Bahonimpa di Pungkeu dengan panjang 9 km. Pada musim penghujan Sungai
Mata Uso mengalirkan lumpur dan sedimen ke laut, dan ini berdampak pada
perairan di sekitar Pulau Bapa menjadi keruh (BPS 2003).
Bentuk pantai di daratan Kecamatan Bungku Selatan relatif lebih terjal dan
sebagian wilayah terdiri dari hutan mangrove. Gugus Pulau Salabangka memiliki
bentuk pantai relatif lebih datar, terbentuk dari terumbu karang dengan ketinggian
rata-rata dari permukaan laut berkisar 1 – 2 meter.
Tabel 3 Pulau-Pulau di Gugus Pulau Salabangka
No
1.
Nama Gugus
Nama Pulau
Pulau Salabangka
Paku*
Waru-waru*
Pado-pado*
Pulau bapa*
Padabale*
Tadingan
Kaleroang*
Karantu
Manuk
Jumlah
2
Pulau Umbele
Pulau Dua*
Pulau Umbele*
Pulau Raja Gunung
Pulau Buaya
Pulau Panimbawang 1*
Pulau Panimbawang 2*
Pulau Tukoh Bonte
Pulau Boe Kocci
Pulau Tukoh Kocci
Pulau Tukoh Mangki
Pulau Tukoh Sipegang
Pulau Tokkajang
Pulau Lakatamba*
Jumlah
3
Pulau Sainoa
Pulau Tukoh Poadar
Pulau Tukoh Dilama
Pulau Tukoh Matingga
Pulau Sainoa Darat*
Pulau Sainoa Mandilao*
Pulau Tukoh Besar
Pulau Bungitende*
Pulau Stagal
Jumlah
Keterangan : * pulau berpenghuni (inhabits island); - tidak ada data
Luas (Ha)
10.019
1.819
1.383
780
1.572
13,67
740
118
16.445
124
3.316
181
1.948
394
5.963
522
440
126
1.088
31
4.1.2 Sosial Budaya Masyarakat
Pada umumnya, masyarakat di Kecamatan Bungku Selatan berasal dari suku
Bungku, Buton, Bajo dan Bugis. Kehidupan masyarakat, baik secara ekonomi dan
sosial cukup baik, mereka hidup bersama-sama dan saling bekerja sama. Secara
umum, mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Bungku Selatan sebagai
nelayan. Berdasarkan Data BPS 2003, penduduk yang bekerja sesuai jenis
lapangan kerja yang tersedia di Kecamatan Bungku Selatan meliputi nelayan,
petani, pegawai, pedagang, industri, jasa, angkutan dan lain-lain, seperti di
tunjukkan pada pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis Lapangan Kerja Kecamatan Bungku Selatan
No
Jenis Lapangan Kerja
1
2
3
4
5
6
7
8
Nelayan
Petani
Pegawai
Pedagang
Industri
Jasa
Angkutan
Lain-lain
Jumlah
Jumlah (jiwa)
1.967
1.084
181
226
124
249
20
306
4.157
Persentase (%)
47,32
26,08
4,35
5,44
2,98
5,99
0,48
7,36
100
Sumber : Kecamatan Bungku Selatan dalam Angka 2003 (Diolah)
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kecamatan
Bungku Selatan bermata pencaharian sebagai nelayan, terutama masyarakat yang
bermukim pada pulau-pulau dimana sebagian besar aktivitasnya berhubungan
dengan lingkungan perairan seperti penangkapan ikan, budidaya rumput
laut/ikan/teripang, transportasi dan lain-lain.
Sebagian besar masyarakat di Gugus Pulau Salabangka (sekitar 98 %)
adalah nelayan, baik nelayan penangkap ikan maupun nelayan pengumpul, dengan
alat tangkap yang digunakan adalah pancing, pukat, alat tangkap bubu, dan sero.
Adapun kegiatan ekonomi lain yang dilakukan selain menangkap ikan adalah
budidaya rumput laut.
Pada umumnya, masyarakat bekerja sebagai petani, pedagang, bergerak
dalam bidang jasa dan angkutan laut memiliki pekerjaan sampingan sebagai
nelayan atau sebagai pembudidaya rumput laut. Terdapat 28 % memiliki
pekerjaan utama sebagai pembudidaya rumput laut, dan 26 % sebagai pekerjaan
32
sampingan (budidaya rumput laut). Masyarakat menyadari bahwa budidaya
rumput laut dapat menjadi mata pencaharian alternatif dalam upaya memenuhi
kebutuhan hidup.
Dengan adanya pengembangan budidaya rumput laut di Gugus Pulau
Salabangka, masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga keberadaan
ekosistem, hal ini dapat dilihat semakin rendahnya penggunaan bom dan
pembiusan dalam penangkapan ikan karang.
4.2
Keadaan Umum Iklim dan Cuaca
Secara umum, Kabupaten Morowali memiliki dua musim dan dipengaruhi
oleh angin monsoon, terdiri dari angin musim Utara (Oktober – April), dan angin
musim Selatan (Mei – September). Kecepatan angin berkisar antara 1 – 2 knot per
jam dan kecepatan maksimum per tahun antara 15 – 17 knot per jam. Temperatur
udara rata-rata adalah 27,50 oC dengan variasi 25,80 oC pada bulan Agustus dan
28,40 oC pada bulan April. Kelembaban udara rata-rata per tahun sebesar 86,6 %
dimana kelembaban udara setiap bulan berkisar antara 82,14 oC sampai dengan
90,37 oC. Dalam setahun, lamanya penyinaran matahari rata-rata adalah 44,80 %
dengan nilai maksimum mencapai 70% dan nilai minimum sebesar 13,50%.
Karena letaknya berdekatan dengan daratan induk, maka pola musim kepulauan
Salabangka hampir mengikuti pola musim daratan induk (Anonim 2001).
Kabupaten Morowali memiliki dua musim tetap yaitu musim panas terjadi
pada bulan April – September dan musim hujan terjadi pada bulan Oktober –
Maret. Curah hujan rata-rata berkisar 130 mm dengan variasi antara 50 mm
sampai dengan 1.000 mm. Demikian pula dengan Kepulauan Salabangka, tetapi
pada musim panas kadang-kadang juga terdapat hujan dengan jumlah hari hujan
antara 2 – 7 hari per bulan. Sedangkan musim hujan terjadi antara bulan Oktober –
Februari dengan hari hujan antara 12 – 21 hari per bulan. Dalam peralihan dari
musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya, kondisi ini sering disebut
dengan musim pancaroba. Musim pancaroba terjadi pada bulan Maret – Mei
(akhir musim hujan memasuki musim panas) dan bulan September – November
(akhir musim panas memasuki musim hujan), pada musim ini kondisi iklim dan
33
kondisi perairan tidak stabil. Pada bulan Maret sampai Mei intensitas curah hujan
sangat sedikit dan biasanya terjadi pada siang hari, sedangkan bulan September
sampai November intensitas curah hujan sedikit terjadi pada malam hari (Anonim
2001).
Berdasarkan hasil wawancara dan pola sebaran arus perairan Laut Banda
(Lampiran 3) menggambarkan bahwa kegiatan budidaya rumput laut di Gugus
Pulau Salabangka dilakukan pada bulan Maret sampai bulan November. Pada
musim pancaroba bulan Maret – bulan Mei, umumnya wilayah perairan untuk
budidaya rumput laut terletak pada bagian utara Gugus Pulau Salabangka, dan
pada beberapa tempat di bagian Selatan (perairan Pulau Bapa, perairan Pulau
Waru-waru dan Perairan Karantu). Pada bulan Juni sampai bulan Oktober
sebagian besar wilayah perairan dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut.
Sedangkan pada bulan November – Februari, kondisi perairan kurang mendukung
untuk budidaya rumput laut seperti adanya bercak-bercak putih atau sering disebut
penyakit ice-ice pada rumput laut dan hanyutnya tanaman rumput laut akibat
gelombang, khususnya pada wilayah bagian utara Pulau Paku.
4.3
Kondisi Oseanografi Perairan
4.3.1 Gelombang
Gelombang laut di perairan Kepulauan Salabangka dipengaruhi oleh musim.
Pada musim barat gelombang cenderung lebih besar, sedangkan gelombang
cenderung lebih kecil pada musim timur. Periode ombak berkisar antara 0,20-0,73
detik dengan panjang gelombang berisar antara 0,0451 – 0,831 m dan arah ombak
berkisar antara 55o – 320o atau miring terhadap garis normal pantai (Anonim
2001).
Gelombang merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap
transportasi nutrien, pertukaran gas dan pengadukan air. Pada umumnya
gelombang atau ombak terjadi karena adanya dorongan angin di atas permukaan
laut dan terjadinya tekanan antara udara dan partikel air. Berdasarkan data Potensi
Kelautan Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah menyebutkan bahwa
tinggi ombak perairan Gugus Pulau Salabangka berkisar antara 5 – 15 cm. Nilai
gelombang yang terukur lebih rendah dibandingkan gelombang yang terukur di
34
Biak Numfor Papua dengan kisaran 1,12 -1,21 m (Soselisa 2006 in Amarullah
2007) dan gelombang yang terukur di Teluk Tamiang dengan kisaran 15 – 40 cm
(Amarullah 2007). Menurut Wahyunigrum (2001) in Amarullah (2007)
menyebutkan bahwa ketinggian gelombang hingga mencapai 1 meter masih baik
untuk budidaya rumput laut terutama dengan metode apung, selain itu ketinggian
gelombang akan mempengaruhi pertambahan tali pelampung dan kekuatan
konstruksi budidaya.
4.3.2 Pasang Surut
Berdasarkan data Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta untuk wilayah
perairan Kabupaten Morowali diperoleh kisaran rata-rata pasang surut 144 cm,
dimana nilai surut terendah sebesar 68 cm dan pasang tertinggi sebesar 212 cm
Berdasarkan pengamatan fluaktuasi pasang surut pantai Kabupaten Morowali dan
data dari DISHIDROS-AL menunjukkan bahwa tipe pasang surut perairan
Kabupaten Morowali cenderung bertipe campuran condong ke harian ganda
(Anonim 2001).
Menurut Aslan (1998) in Amarullah (2007) menyebutkan bahwa kedalaman
perairan tidak boleh kurang dari 60 cm pada saat surut terendah sebab bila tidak
demikian tanaman akan kekeringan pada saat air surut terendah dan akan
mempersulit baik saat penanaman, pemeliharaan maupun pemanenan hasil.
4.3.3 Kecepatan Arus
Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penting mempengaruhi
pertumbuhan rumput laut, secara tidak langsung mencegah peningkatan pH yang
signifikan dan kenaikan temperatur serta berperan dalam pertukaran gas pada
kolom air.
Kecepatan arus di lokasi penelitian rata-rata berkisar antara 6,80 cm/dtk –
17,71 cm/dtk dan arah arus berkisar antara nilai 15o – 350o, kecepatan arus
tertinggi 17,71 cm/dtk berada pada bagian timur-selatan Gugus Pulau Salabangka
dan terendah 6,80 cm/dtk di daerah selatan-barat gugus. Peta sebaran kecepatan
arus dapat dilihat pada Gambar 6.
35
Secara umum, kecepatan arus Gugus Pulau Salabangka terkategorikan
sesuai untuk budidaya rumput laut, bila mengacu kepada Apriyana (2006) in
Kamlasi (2008) kecepatan arus untuk budidaya Eucheuma spinosum di perairan
Kecamatan Bluto adalah 13-39 cm/det. Kadi dan Atmadja (1988); Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya (2004) menyebutkan bahwa kecepatan arus yang
baik untuk budidaya Eucheuma adalah 20-40 cm/detik. Menurut Mubarak (1981)
menyatakan bahwa adanya arus air yang baik dapat menjamin tersedianya
makanan yang tetap bagi rumput laut. Meskipun demikian, berdasarkan FAO
(1989) bahwa suatu lokasi budidaya rumput laut dapat memiliki kecepatan
arus/gerakan air lebih rendah 10 cm/detik dan memiliki nutrient yang tinggi
(Lampiran 3 dan 4). Karena lokasi budidaya rumput laut dengan kekurangan
nutrient akan membutuhkan arus yang lebih cepat, dimana kecepatan arus yang
mendukung untuk pertumbuhan rumput laut tidak melebihi 30 cm/detik.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
Ko l o n o
Peta I n d eks
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
-1
Pa d a b a le
-1
S EL AT MAKA SSA R
-4
Ke p. S al ab an gk a
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-6
Pa k u
Po
W a ru w a ru
LA U T FL O RE S
11 9
P. P aku
La k o m b u lo
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
Bu a j a n gk a
-7
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
5
Ko b u ru
-
G aris pa n tai
10
Jala n lain
Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
tS
la
Se
Se b a r a n A ru s ( cm /s )
5 - 10
10 - 1 5
Ka l e ro a n g
Bu to n
P. K a lero an g
Bel uk ar
3°3'40"
a
ab
al
Ja w i ja w i
Dar at S u law e si
Hu t an
La ut
P em u kim an
-
a
10
k
ng
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
-5
Bo e ta l is e
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
Ba k a la
Le m o
0
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
P. T a din an g
3°00'
P. B ap a
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
5
1
P. K a ra ntu
15 - 2 0
20 - 2 5
25 - 3 0
30 - 3 5
Te ga l/L ad an g
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
5
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
15
-
2
25
0
-
3
20
0
-
2
LA U T B A N D A
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
M A'S I TA S AR I
C 2 510 501 21
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
U
P E TA S E B A R A N K E C E P A TA N A RU S
36
Gambar 6 Peta Sebaran Kecepatan Arus
P ro gr a m S t ud i
P en g elo laa n S u mb e rda ya P esis ir d an L au t an
S eko la h P asc asa rjan a
Ins ti tu t P ert an ian B o g or
Bo g or
2007
37
4.3.4 Kecerahan dan Kedalaman Perairan
Kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan. Kecerahan
perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya yang masuk kedalam kolom
air. Kecerahan perairan yang ideal untuk kegiatan budidaya rumput laut adalah
lebih dari 1 m. Semakin tinggi nilai kecerahan maka semakin dalam penetrasi
cahaya matahari yang memasuki perairan dan dapat membantu dalam proses
fotosintesis.
Kecerahan perairan pada lokasi penelitian adalah 100%. Peta sebaran
kecerahan dapat dilihat pada Gambar 7, memperlihatkan bahwa perairan Gugus
Pulau Salabangka memiliki tingkat kecerahan yang sesuai untuk budidaya rumput
laut dengan nilai kedalaman optimum 15 m dan memiliki dasar perairan dengan
substrat berpasir/kerakal (Gambar 8). Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996)
bahwa kecerahan yang baik untuk kegiatan budidaya rumput laut berkisar 0,60 m
– 5 m atau dapat lebih.
Kedalaman perairan mempunyai hubungan yang erat terhadap penetrasi
cahaya, stratifikasi suhu vertikal, densitas dan kandungan oksigen serta zat-zat
hara. Semakin bertambah kedalaman maka penetrasi cahaya akan semakin
berkurang. Dalam kegiatan budidaya rumput laut, pengukuran kedalaman
dilakukan pada saat surut terendah.
Kisaran nilai kedalaman rata-rata pada lokasi penelitian antara 2,47 m –
14,20 m (Gambar 9). Variasi kedalaman dipengaruhi topografi pantai, hal tersebut
berhubungan dengan metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut.
Kedalaman terendah pada Gugus Pulau Salabangka antara 0 – 5 m dan perairan
yang sering digunakan untuk budidaya adalah gobah. Secara umum, perairan
Gugus Pulau Salabangka memiliki kedalaman yang sesuai dalam budidaya
rumput laut dengan menggunakan metode rawai. Menurut Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya (2004) bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya
rumput laut Euceheuma spp adalah 5 – 20 m dengan menggunakan metode rawai
(long line). Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan
mengoptimalkan perolehan sinar matahari.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
<
2°59'20"
10
2°59'20"
0
10
0
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
10
0
P eta I n d e ks
11 9
12 0
12 1
2
Pa d o p a d o
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
-4
Ke p. S al ab an gk a
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-5
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
Ba k a la
P. P ad ab ale
Le m o
Bo e ta l is e
-6
Bu a j a n gk a
Po
W a ru w a ru
-6
-7
Pa k u
LA U T FL O RE S
11 9
P. P aku
La k o m b u lo
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Bu n g i n ke l a
Se
a
gk
an
ab
al
tS
la
Se b a r a n K e c er a h a n (% )
Jala n set ap ak
10 0
Bel uk ar
Dar at S u law e si
Hu t an
< 10 0
Ka l e ro a n g
Bu to n
P. K a lero an g
Ja w i ja w i
3°3'40"
3°3'40"
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
S EL AT MAKA SSAR
3°1'30"
-1
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
P. T a din an g
0
3°00'
-1
P. B ap a
Pa d a b a le
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Ko l o n o
3°20'
D o ng k a l a
La ut
P em u kim an
100
P. K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
Sin g ka t an
3°5'50"
3°5'50"
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N K EC E R AH AN
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
38
Gambar 7 Peta Sebaran Kecerahan
122 °2 6'0 0"
12 2 °19 '3 0 "
12 2 °21 '4 0 "
122 °2 3'5 0"
12 2 °2 6'0 0"
G U GU S P U L A U SA B A L AN G K A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
2°59'2 0"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
Ko l o n o
P eta I n d e ks
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
-1
-1
Ke p. Sa l aba ng ka
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
-4
Ke p. S al ab an gk a
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-5
3°20'
Pa d a b a le
-2
S EL AT MAKA SSAR
P. T a din an g
3°1'30"
3°1'30"
0
3°00'
P. B ap a
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
Ba k a la
P. P ad ab ale
Bo e ta l is e
Le m o
-6
Bu a j a n gk a
-6
-7
LA U T FL O RE S
11 9
Pa k u
Po
W a ru w a ru
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
G aris pa n tai
Jala n lain
Ko b u ru
Bu n g i n ke l a
a
gk
an
ab
al
tS
la
Se
Jala n set ap ak
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Dar at S u law e si
Hu t an
Bu to n
P. K a lero an g
Ja w i ja w i
3°3'40"
3°3'40"
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
Se b a r a n Su b s tr a t
Pa s ir d an Pe c a h a n
K ar a ng
La ut
La ut
P asi r/Ke raka l
P em u kim an
P. K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
Sin g ka t an
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
3°5'50"
3°5'50"
K A B U P A TE N M O R O W A L I
L A U T B A ND A
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
12 2 °19 '3 0 "
12 2 °21 '4 0 "
122 °2 3'5 0"
U
P E T A S E B A R A N S U B S TR A T
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
39
Gambar 8 Peta Sebaran Substrat
12 2 °2 6'0 0"
122 °1 9'3 0"
122 °2 6'0 0"
20 - 5
0
>
5 - 10
1
0
10 -
20
- 10
0
> 100
> 10
0
50
2°59'20"
10
5 -
5 - 10
2°59'20"
122 °2 3'5 0"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
10
0
50
02
122 °2 1'4 0"
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
20
10 -
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
10 - 20
Ba k a la
P. P ad ab ale
Le m o
Bo e ta l is e
-4
Ke p. S al ab an gk a
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-6
Bu a j a n gk a
20
Pa k u
P. P aku
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
-5
0
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
S EL AT MAKA SSA R
> 100
3°1'30"
-1
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
-5
Pa d a b a le
-1
0
0
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
P. T a din an g
3°00'
-1
5
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
LA U T FL O RE S
11 9
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
5
-1
0
W a ru w a ru
La k o m b u lo
510
P. W a ru w ar u
Le ge n da P eta
Ko b u ru
50 - 10 0
> 10
0
G aris pa n tai
10 - 20
Po
Bu n g i n ke l a
Se
Jala n lain
Jala n set ap ak
10 - 2 0
20 - 5 0
Hu t an
La ut
P em u kim an
P. K a ra ntu
50 - 1 0 0
> 10 0
Te ga l/L ad an g
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
10 - 20
5-
Dar at S u law e si
3°3'40"
Ja w i ja w i
a
gk
3°3'40"
an
ab
al
tS
la
Bel uk ar
Bu to n
P. K a lero an g
0
1- 5
5 - 10
Ka l e ro a n g
0
-1
50
K ed ala m a n P e r air a n (m )
10
-5
3°5'50"
5 - 10
1
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
10
-2
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
0
1 - 5
122 °1 9'3 0"
50 - 10 0
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N K ED A LAM AN
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
40
Gambar 9 Peta Sebaran Kedalaman
122 °2 6'0 0"
41
4.3.5 Keterlindungan
Dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut, faktor keterlindungan perlu
pertimbangan. Hal ini untuk menghindari kerusakan sarana budidaya dan
tumbuhan rumput laut dari pengaruh angin dan gelombang yang besar.
Gugus Pulau Salabangka merupakan daerah terbuka dan terlindung dari
pengaruh gelombang dan arus, serta pengaruh angin (Gambar 10). Daerah terbuka
terdapat pada bagian utara hingga tenggara gugus ini, sedangkan bagian selatan
hingga barat terkategorikan agak terlindung sampai terlindung. Pada daerah
terbuka kecepatan arus permukaan cenderung lebih besar disebabkan oleh angin
dan gelombang dari Laut Banda, selain itu daerah ini memiliki tumbuhan karang
keras yang mengindikasikan wilayah ini mendapat pengaruh gelombang yang
lebih besar, sehingga cenderung mengakibatkan rusaknya unit-unit rumput laut.
Sedangkan pada daerah agak terlindung dan daerah terlindung dicirikan dengan
dasar perairan berpasir kasar hingga berpasir halus. Daerah agak terlindung
hingga
terlindung
disebabkan
adanya
pulau-pulau
Salabangka
sebagai
penghalang.
Berdasarkan musim keterlindungan wilayah perairan sedikit berbeda dimana
pada musim barat arus Laut Banda dari arah utara timur laut memasuki perairan
Gugus Pulau Salabangka dengan kecepatan berkisar antara 12 – 25 cm/dtk, pada
musim ini wilayah perairan terlindung dari pengaruh arus yang besar atau
mendukung untuk budidaya rumput laut. Sedangkan pada musim timur, arus dari
Laut Banda cenderung lebih besar diatas 25 cm/dtk, sehingga bagian utara Gugus
Pulau Salabangka cenderung agak terlindung hingga terbuka dari pengaruh arus,
sebaliknya pada daerah bagian selatan (Lampiran 3). Pada musim timur wilayah
perairan bagian timur cukup sesuai untuk budidaya rumput laut, bila dibandingkan
wilayah perairan bagian selatan (sesuai untuk budidaya rumput laut) (Wyritki
1961).
Menurut Sulistijo (2002) bahwa lokasi budidaya harus terlindung dari
hempasan ombak yang keras dan angin yang kuat, biasanya dibagian depan dari
rataan lokasi budidaya mempunyai karang penghalang ataupun gosong yang dapat
meredam kekuatan ombak.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
Ba k a la
Le m o
Bo e ta l is e
S EL AT MAKA SSA R
-4
Ke p. S al ab an gk a
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
Po
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
Se
an
ab
al
tS
la
K et e rlind u ng a n
T e rb u k a
Aga k T e r lind u n g
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Bu to n
P. K a lero an g
Dar at S u law e si
3°3'40"
Ja w i ja w i
a
gk
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
-1
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-5
Pa d a b a le
0
3°00'
-1
P. T a din an g
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
T e rlind u ng
Hu t an
La ut
P em u kim an
P. K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
U
P E T A D A E R A H K E T E R L IN D U N G A N
42
Gambar 10 Peta Sebaran Keterlindungan
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
43
4.3.6 Suhu
Kisaran suhu sangat spesifik dalam pertumbuhan rumput laut, disebabkan
adanya enzim pada rumput laut yang tidak berfungsi pada suhu yang terlalu
dingin maupun terlalu panas (Dawes 1981 in Amiluddin 2007). Suhu perairan
yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada rumput laut seperti dalam proses
fotosintesis, kerusakan enzim dan membran sel yang bersifat labil. Sedangkan
pada suhu rendah, membran protein dan lemak dapat mengalami kerusakan
sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel, sehingga mempengaruhi
kehidupan rumput laut (Luning 1990).
Gugus Pulau Salabangka memiliki kisaran suhu rata-rata antara 29,33 –
30,67 oC. Dari peta sebaran suhu (Gambar 11) menggambarkan bahwa daerah
dekat pantai memiliki suhu lebih tinggi dan semakin dekat daerah daratan induk
suhu semakin rendah, utamanya bagian selatan selatan Gugus Pulau Salabangka.
Fluktuasi suhu terjadi pada musim pancaroba diakibatkan kondisi cuaca terhadap
perairan. Dengan demikian, kegiatan budidaya rumput laut dapat berlangsung
pada wilayah Gugus Pulau Salabangka.
Kisaran suhu untuk pertumbuhan rumput laut antara 20 – 30 oC, dimana
daerah tersebut dibatasi antara satu kisaran pasang surut yang rendah dan
dikelilingi terumbu karang atau daerah tersebut tidak mengalami kekeringan saat
pasang surut ekstrim yang terjadi penuh atau pada bulan baru (FAO 1989).
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
2°59'20"
2°59'20"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
30 . 0 - 3 0 .5
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
31 .0
- 3 1. 5
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
Peta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
-4
Ke p. S al ab an gk a
Ba k a la
Bo e ta l is e
Le m o
-5
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
LA U T FL O RE S
11 9
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
t
la
Se
Se ba r a n Su hu ( 0 C )
32 .5 - 3 3 .0
32 - 3 2 .5
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Dar at S u law e si
Bu to n
P. K a lero an g
3°3'40"
Ja w i ja w i
Hu t an
31 .0 - 3 1 .5
La ut
P em u kim an
30 .5 - 3 1 .0
Te ga l/L ad an g
29 .5 - 3 0 .0
30 .0 - 3 0 .5
5
LA U T B A N D A
- 32 .5
Sin g ka t an
32
KA B U P AT E N M O R O W AL I
31 .5 - 3 2 .0
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
31.
5 -3
2.0
3 0.5
- 31
.0
.0
30
P. K a ra ntu
3 1.
0 -3
1.
a
.5
29
k
ng
ba
la
Sa
3°3'40"
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-6
Bu a j a n gk a
Pa k u
Po
3°5'50"
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-5
Pa d a b a le
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
S EL AT MAKA SSAR
3°1'30"
-1
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
30 . 5 - 3 1 .0
0
3°00'
-1
P. T a din an g
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
P E T A S E B A R A N S U H U P E R A IR A N
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
44
Gambar 11 Peta Sebaran Suhu
122 °2 6'0 0"
45
4.3.7 Salinitas
Nilai kisaran salinitas rata-rata pada lokasi studi antara 28,67 – 31,00 ppt,
kisaran ini tergolong normal untuk perairan di Indonesia yang mendukung
kehidupan biota perairan dan masih memenuhi syarat untuk pertumbuhan rumput
laut. Nilai terendah (28,67 ppt) yang terdapat pada lokasi studi disebabkan daerah
tersebut
merupakan
jalur transportasi
sehingga
adanya
pergerakan
air
menghambat peningkatan suhu permukaan air yang dapat mempengaruhi nilai
salinitas, dan adanya pengaruh aliran sungai terutama lokasi budidaya yang
letaknya berhadapan dengan daratan induk (bagian barat daya Gugus Pulau
Salabangka meliputi Pulau Pado-pado dan Pulau Bapa) atau terletak pada perairan
Selat Salabangka, serta variasi intensitas curah hujan baik pada musim hujan
maupun musim kemarau. Peta sebaran salinitas disajikan pada Gambar 12.
Menurut Sulistijo (2002) bahwa batas nilai salinitas terendah yang masih
dapat ditolerir untuk kehidupan rumput laut jenis Eucheuma sp. pada salinitas 28
o
/oo. Eucheuma sp. merupakan rumput laut yang bersifat stenohalin dimana jenis
ini tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi dan kisaran salinitas yang
mendukung pertumbuhan rumput laut 28 – 35 ppt. Doty (1987) menyebutkan
salinitas yang mendukung petumbuhan Eucheuma alvarezzi berkisar antara 29 –
34 ppt, sedangkan menurut Kadi dan Atmadja (1988) bahwa kisaran salinitas yang
dihendaki jenis ini 34 – 37 ppt. Penelitian yang dilakukan oleh Iksan (2005) di
Maluku Utara menunjukkan kisaran salinitas 31 – 35 ppt. Berdasarkan hal
tersebut, maka salinitas perairan Gugus Pulau Salabangka dapat dikatakan berada
dalam batas yang layak untuk pertumbuhan rumput laut. Hal ini didukung oleh
Wyrtki (1961) menyebutkan bahwa variasi kisaran salinitas perairan Laut Banda
antara lebih kecil atau lebih besar 1,4 o/oo dimana pada musim barat rata-rata
salinits permukaan ~ 33,7 o/oo, sedangkan pada musim timur 34 o/oo.
Menurut Wyrtki (1961) in Bengen dan Retraubun (2006) menyebutkan
fluaktuasi salinitas dipengaruhi angin muson dan masukan dari sungai. Nilai
salinitas tinggi terjadi pada saat musim kemarau, sedangkan pada musim hujan
nilai salinitas lebih rendah. Sedangkan fluktuasi nilai salinitas pada musim
pancaroba bervariasi dipengaruhi oleh tinggi rendah curah hujan yang terjadi.
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
GU GU S P U L A U S A B A L AN GK A
K AB U PA T E N M O R O W AL I
S U L AW E S I TE N G A H
-2
9
- 28
30 - 31
28
27
2°59'20"
2°59'20"
29
- 30
31
- 32
122 °1 9'3 0"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
Ko l o n o
P eta I n d e ks
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
Ba k a la
Bo e ta l is e
Le m o
S EL AT MAKA SSAR
-4
Ke p. S al ab an gk a
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
Po
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P . P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P . W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
Se
tS
la
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Dar at S u law e si
Bu to n
P . K a lero an g
gk
an
ab
al
3°3'40"
Ja w i ja w i
Hu t an
La ut
P em u kim an
a
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
-1
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-5
Pa d a b a le
0
3°00'
-1
P . T a din an g
P . P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
P . B ap a
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
Ka m p u h b a u
3°20'
D o ng k a l a
32 - 33
P. P ad op ad o
P . K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
Se b a r a n Sa lin it as ( p p m )
33 - 3 4
32 - 3 3
31 - 3 2
30 - 3 1
29 - 3 0
28 - 2 9
27 - 2 8
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
K A B U P A T E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
P E T A S E B A R A N S A L IN IT A S
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
46
Gambar 12 Peta Sebaran Salinitas
122 °2 6'0 0"
47
4.3.8 Derajat Keasaman/pH
Salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut, selain faktor-faktor
lingkungan lainnya adalah pH. Pada setiap organisme laut akan mempunyai
toleransi yang berbeda terhadap pH, demikian halnya dengan rumput laut. Kisaran
rata-rata nilai pH pada lokasi studi antara 7,97 – 8,30 (Gambar 13). Nilai tersebut
masih normal untuk mendukung kehidupan rumput laut. Menurut Chapman
(1962) in Amiluddin (2007) hampir semua alga dapat hidup pada kisaran pH 6,8 –
9,6, sehingga pH tidak menjadi masalah bagi pertumbuhannya .
Pada lokasi penelitian perubahan nilai pH relatif stabil dan berada pada
kisaran yang mampu ditolerir oleh rumput laut. Hal ini disebabkan antara lain
bahwa sumber bahan pencemar relatif lebih sedikit (berasal dari limbah
domestik), tidak ada industiri sebagai penyumbang terbesar terhadap perubahan
pH, dan adanya sirkulasi/pergerakan air yang baik.
Menurut Kadi dan Atmadja (1988) in Sirajuddin (2009) nilai pH yang baik
bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 – 9 dengan
kisaran optimun 7,9 – 8,3. Lebih lanjut Luning (1990) menyebutkan bahwa
peningkatan nilai pH akan mempengaruhi kehidupan rumput laut dan
kecenderungan perairan memiliki tingkat keasaman yang tinggi disebabkan
masuknya limbah organik dalam jumlah besar.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
05
8.
05
.2
- 8
0
7.
90
-
8.
2°59'20"
2°59'20"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
12 5
LA U T MAL U K U
-1
-4
Ke p. S al ab an gk a
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
-5
LA U T FL O RE S
11 9
W a ru w a ru
P. P aku
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
PPo
o
3°20'
TE LU K B O N E
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
-5
Ba k a la
Bo e ta l is e
Le m o
0
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
S EL A T MAK ASSA R
P. T a din an g
Pa d a b a le
12 2 °2 0 '
1
-1
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
3°00'
7.7
5 -7
.90
12 4
PROV. S ULA WE S I U T ARA
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
3°1'30"
3°1'30"
12 3
P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a
P. P ad ab ale
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
8. 2 0 - 8 .3 5
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
a
gk
an
ab
al
tS
la
Se
Se ba r a n p H
8.2 0 - 8 .3 5
8.0 5 - 8 .2 0
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Bu to n
P. K a lero an g
Dar at S u law e si
Hu t an
3°3'40"
3°3'40"
12 2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
Ka m p u h b a u
3°20'
D o ng k a l a
Ja w i ja w i
7.9 0 - 8 .0 5
7.7 5 - 7 .9 0
La ut
P em u kim an
Te ga l/L ad an g
P. K a ra ntu
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N pH
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
48
Gambar 13 Peta Sebaran pH
122 °2 6'0 0"
49
4.3.9 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen merupakan bagian penting dalam proses reaksi kimia dan biologi
terutama pada lingkungan perairan. Senyawa ini dihasilkan oleh tumbuhan air
sangat diperlukan untuk kelanjutan kehidupan biota perairan karena sangat
diperlukan baik hewan dan tanaman air termasuk bakteri untuk respirasi.
Nilai rata-rata kisaran oksigen terlarut pada lokasi studi antara 4,83 – 6,35
mg/l. Nilai tesebut dapat dikatakan sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Peta
sebaran DO dapat dilihat pada Gambar 14, karena Gugus Pulau Salabangka
mendapat pengaruh gelombang dan arus yang berasal dari Laut Banda, sehingga
penurunan kandungan oksigen dibawah normal jarang terjadi pada daerah ini.
Menurut Mubarak et al. (1990) bahwa sebagai tumbuhan, dalam jaringan
rumput laut terjadi proses fotosintesis dan respirasi yang masing-masing
memerlukan oksigen dan karbondioksida, kedua unsur tersebut jarang menjadi
faktor pembatas karena jumlahnya berlimpah di air laut. Oksigen berasal dari
atmosfir dan terdifusi karena angin, ombak dan arus. Sedangkan karbondioksida
merupakan gas terlarut yang berkeseimbangan dengan senyawa karbonat.
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
6. 5 0
2°59'20"
2°59'20"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
- 6 .2 5
6.
00
.2
- 6
5
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
5. 7 5 - 6 .0 0
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
5. 5 0 - 5 .7 5
11 9
12 0
12 1
2
Pa d o p a d o
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
- 5 .5 0
Ba k a la
P. P ad ab ale
Le m o
Bo e ta l is e
-4
Ke p. S al ab an gk a
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
Po
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
Se
5. 2 5 - 5 .5 0
an
ab
al
tS
la
6.5 0 - 6 .2 5
Bel uk ar
Bu to n
P. K a lero an g
Se b a r a n Ok s ig e n T e r la ru t (m g /l)
6.0 0 - 6 .2 5
Ka l e ro a n g
3°3'40"
Ja w i ja w i
a
gk
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
S EL AT MAKA SSA R
3°1'30"
-1
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
-5
Pa d a b a le
5. 25
0
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
P. T a din an g
3°00'
-1
Tg . K ees a ha
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
LA U T MAL U K U
P. B ap a
5.
00 5 .2 5
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Ko l o n o
3°20'
D o ng k a l a
P. K a ra ntu
Dar at S u law e si
5.7 5 - 6 .0 0
Hu t an
5.5 0 - 5 .7 5
La ut
P em u kim an
5.2 5 - 5 .5 0
Te ga l/L ad an g
5.0 0 - 5 .2 5
4.7 5 - 5 .0 0
4 .7
55
.0
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
0
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
U
P E T A S E B A R A N O K S IG E N T E R L A R U T (D O )
50
Gambar 14 Peta Sebaran Oksigen Terlarut (DO)
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
51
4.3.10 Nutrient
Kesuburan dan kelimpahan stadia reproduksi alga dapat dipengaruhi oleh
kondisi kandungan nitrat (N) dan fosfat (P). Kedua unsur tersebut diperlukan
untuk pertumbuhan, reproduksi dan pembentukan cadangan makanan. Umumnya
fosfat dapat diserap rumput laut dalam bentuk orto-fosfat sedangkan nitrogen di
perairan diserap dalam bentuk nitrat. Kisaran nitrat yang mendukung kehidupan
organisme laut adalah 0,001 – 5 mg/l (Luning 1990).
Kisaran rata-rata kandungan nitrat pada lokasi penelitian antara 0,23 – 0,52
mg/l. Nilai nitrat terendah (0,23 mg/l) terdapat pada bagian utara timur laut Pulau
Paku dimana daerah ini berhadapan langsung dengan Laut Banda dan kandungan
nitrat dianggap bukan merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan rumput
laut khususnya pada Gugus Pulau Salabangka. Sedangkan nilai tertinggi terletak
pada sebelah barat daya Gugus Pulau Salabangka.
Menurut Anggoro (1983) in Kamlasi (2008), nitrat dapat menjadi faktor
pembatas jika kosentarasi < 0,1 ppm dan > 4,5 ppm. Adapun peta sebaran nitrat
dapat dilihat pada Gambar 15.
Fosfat merupakan unsur penting dalam aspek kehidupan tumbuhan air
seperti algae, kandungan fosfat pada lokasi penelitian rata-rata berkisar antara
0,36 – 0,75 mg/l. Nilai fosfat tertinggi terletak pada barat daya gugus pulau
Salabangka sedangkan nilai fosfat terendah terletak pada bagian utara timut laut
Pulau Paku. Sebaran kandungan fosfat disajikan pada Gambar 16. Hal ini
disebabkan adanya pengaruh dari aliran Sungai Mata Uso sebagai sumber fosfat
dari daratan. Kadar fosfat pada lokasi penelitian dapat dikatakan masih sesuai
untuk petumbuhan rumput laut. Menurut Wardoyo (1978) in Fatmawati (1998)
bahwa kandungan fospat dalam perairan lebih besar dari 0,2 mg/l adalah perairan
dengan kesuburan sangat subur.
Menurut Fritz (1986) in Iksan (2005) menyebutkan bahwa perairan
memiliki kandungan nutrient dalam bentuk ortofosfat yang melimpah, tetapi
karena senyawa ini dimafaatkan langsung oleh tanaman akuatik sehingga
kecenderungan keberadaan ortofosfat di perairan cepat habis. Kondisi perairan
kekurangan
ortofosfat
berdampak
dibandingkan dengan kekurangan nitrat.
terhadap
tanaman
akuatik,
apabila
0
0.
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
0
0.
40
.5
- 0
.4
- 0
35
122 °2 6'0 0"
1
0
0.5-
0.55
2°59'20"
45
122 °2 3'5 0"
2°59'20"
0.
122 °2 1'4 0"
-0
.4
5
122 °1 9'3 0"
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
-4
S EL AT MAKA SSA R
35
0.
30
0.
Ba k a la
Bo e ta l is e
Le m o
Ke p. S al ab an gk a
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
0.3
5 -0
.40
W a ru w a ru
P. W a ru w ar u
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
Po
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
Ko b u ru
G aris pa n tai
Bu n g i n ke l a
Se
an
ab
al
tS
la
Ka l e ro a n g
Bu to n
P. K a lero an g
Se ba r a n N O 3 (m g/l)
Jala n lain
Jala n set ap ak
0.5 5 - 0 .6 0
Bel uk ar
0.5 - 0 .5 5
Dar at S u law e si
3°3'40"
Ja w i ja w i
a
gk
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
-1
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-5
Pa d a b a le
0
3°00'
-1
P. T a din an g
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
0.4 5 - 0 .5 0
Hu t an
La ut
P em u kim an
P. K a ra ntu
Te ga l/L ad an g
0.4 0 - 0 .4 5
0.3 5 - 0 .4 0
0.3 0 - 0 .3 5
0.2 0 - 0 .2 5
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N N O 3
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
52
Gambar 15 Peta Sebaran NO3
122 °2 6'0 0"
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
-0
.7
2°59'20"
2°59'20"
0 .7
- 0.8
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
0 .6
0. 5 - 0 .6
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
0. 4
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
- 0 .5
12 0
12 1
2
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
Ba k a la
Bo e ta l is e
Le m o
S EL AT MAKA SSAR
-4
Ke p. S al ab an gk a
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
LA U T FL O RE S
11 9
Po
W a ru w a ru
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Bu n g i n ke l a
Se ba r a n PO 4 (m g /l)
0.
Ja w i ja w i
a
3
0.
3°3'40"
k
ng
ba
la
Sa
Bel uk ar
Dar at S u law e si
Hu t an
5
Bu to n
P. K a lero an g
0.7 - 0 .8
0.6 - 0 .7
-0
.6
t
la
Se
Jala n set ap ak
Ka l e ro a n g
La ut
P em u kim an
.4
-0
P. K a ra ntu
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-6
Bu a j a n gk a
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
3°1'30"
3°1'30"
-1
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-5
Pa d a b a le
0
3°00'
-1
P. T a din an g
P. P ad ab ale
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
0
P. B ap a
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
0.5 - 0 .6
0.4 - 0 .5
0.3 - 0 .4
Te ga l/L ad an g
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
U
PET A S EB AR A N P O 4
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
53
Gambar 16 Peta Sebaran PO4
122 °2 6'0 0"
54
4.3.11 Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut
Secara umum, ekosistem pesisir dan laut di Gugus Pulau Salabangka
meliputi hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang (Gambar 17).
Terumbu karang dan padang lamun merupakan ekosistem yang lebih
mendominasi wilayah ini.
Keberadaaan mangrove pada Gugus Pulau Salabangka dalam kondisi relatif
baik, dengan luas sekitar 148,929 ha dapat dijumpai pada daerah yang terlindung
dari hempasan ombak, terdapat pada substrat berpasir dan lebih didominasi oleh
jenis Avecenia, serta memiliki tingkat kerusakan rendah karena tidak
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Berbeda dengan mangrove, luasan padang lamun pada daerah ini sekitar
999,838 ha. Keberadaan lamun lebih banyak dijumpai pada substat berpasir dan
kondisi yang cukup baik. Jenis lamun yang dijumpai di perairan ini adalah jenis
Enhalus.
Terumbu karang pada wilayah ini memiliki luas 807,529 ha, pada beberapa
lokasi terumbu karang banyak mengalami kerusakan karena aktivitas manusia
seperti pemboman, peracunan, penambangan karang dan lain-lain. Akan tetapi
beberapa lokasi masih dalam kondisi baik.
Dengan profil kawasan yang relatif lebih dangkal dan kegiatan pemanfaatan
relatif lebih tinggi, serta kondisi lingkungan yang fluktuatif, sehingga kondisi
karang banyak mengalami kerusakan. Tutupan karang mati berkisar antara 5 – 40
%, sedangkan tutupan rubble (pecahan karang) berkisar antara (5 – 55 %) dan
pasir (5 – 30 %). Karang keras dapat dijumpai pada Gugus Pulau Salabangka
bagian utara dengan tutupan sekitar 15 %, berupa spot-spot diantara hamparan
pasir dan pecahan karang, utamanya pada kedalaman 5 – 10 m. Bentuk
pertumbuhan dari karang keras didominasi oleh bentuk Acropora Tabulate,
Acropora Branching dan massive coral (Anonim 2001).
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
GU GU S P U L A U SA B A L AN GK A
K AB U PA T EN M O R O W AL I
S U L AW E SI TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
D o ng k a l a
Ko l o n o
P eta I n d e ks
11 9
12 0
12 1
2
Pa d o p a d o
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor e n de
PROV. S ULA WE S I U T ARA
1
P ROV. GO RONT ALO
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
LA U T MAL U K U
-4
Ke p. S al ab an gk a
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
Le m o
Bo e ta l is e
-5
-6
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
Bu a j a n gk a
-7
Pa k u
Po
W a ru w a ru
LA U T FL O RE S
11 9
P. P aku
La k o m b u lo
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
Le ge n da P eta
P. W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
t
la
Se
Ka l e ro a n g
Bu to n
P. K a lero an g
Bel uk ar
3°3'40"
k
ng
ba
la
Sa
Ja w i ja w i
Dar at S u law e si
Hu t an
Se ba r a n Ek o sis te m P e s isir
Ma n g ro ve
La m un
K ar a ng
La ut
P asi r/Ke ral
a
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
Ba k a la
P. P ad ab ale
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
3°20'
Pa d a b a le
-1
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
P. T a din an g
S EL A T MAK ASSA R
3°1'30"
3°1'30"
-1
Tg . K ees a ha
3°00'
P. B ap a
0
3°00'
0
P. K a ra ntu
P em u kim an
Te ga l/L ad an g
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA B U P AT E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
M A'S I TA S AR I
C 2 510 501 21
122 °1 9'3 0"
122 °2 1'4 0"
122 °2 3'5 0"
122 °2 6'0 0"
U
P E T A S E B A R A N E K O S IS T E M P E S IS IR
55
Gambar 17 Peta Sebaran Ekosistem Pesisir Gugus Pulau Salabangka
P ro gr a m S t ud i
P en g elo laa n S u mb e rda ya P esis ir d an L au t an
S eko la h P asc asa rjan a
Ins ti tu t P ert an ian B o g or
Bo g or
2007
56
Tutupan karang hidup dengan persentase sekitar 65 % terdapat diantara
bagian barat Gugus Pulau Umbele dan Gugus Pulau Salabangka bagian timur,
pada kedalaman kurang dari 4 m. Kepadatan karang terjadi hanya pada bagian
tepian terumbu saja dan pada kedalaman lebih dari 4 m banyak ditemui karang
yang mengalami kematian. Bentuk pertumbuhan pada daerah tersebut didominasi
oleh Acropora Tabulate, Acropora Branching, dan Acropora Foliose (Anonim
2001).
Gugus Pulau Salabangka bagian utara sampai timur banyak ditemui karang
yang hancur/rusak. Hal ini disebabkan oleh pengeboman dan pembiusan dalam
penangkapan ikan karang. Keanekaragaman ikan karang juga banyak dijumpai,
terdiri 34 jenis dari 15 famili (Lampiran 5). Kelompok biota lain yang dapat
ditemukan pada wilayah ini antara lain teripang, bintang laut, kima, dan berbagai
organisme moluska lainnya.
4.4
Pemanfaatan Lingkungan dan Sumberdaya Gugus Pulau Salabangka
Perkembangan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Morowali masih
terbatas. Kabupaten ini memiliki potensi sumberdaya hayati dan belum
termanfaatkan secara optimal tersebar pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Usaha perikanan beroperasi dalam usaha perikanan budidaya laut, perikanan
tangkap dan perikanan air payau. Potensi perikanan berada pada wilayah pesisir
dan laut, meliputi Kecamatan Bungku Tengah, Bungku Selatan, Bungku Utara,
Menui Kepulauan dan Petasia, dengan total panjang garis pantai 350 km. Terdapat
2 kecamatan yakni Kecamatan Bungku Selatan dan Menui Kepulauan memiliki
karateristik perikanan yang beragam dibandingkan kecamatan lainnya, dengan
potensi pengembangan meliputi potensi perikanan tangkap (pelagis, demersal dan
ikan karang) dan budidaya (laut dan payau). Secara spasial, pemanfaatan ruang
perairan di Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Gambar 18.
12 2 °19 '3 0 "
12 2 °21 '4 0 "
122 °2 3'5 0"
12 2 °2 6'0 0"
GU G U S P U L A U SA L A B AN GK A
K A B U P AT E N M O R O W A L I
SU L A W ES I T EN GA H
2°59'2 0"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
Ko l o n o
P eta I n d e ks
11 9
12 0
12 1
2
Pa d o p a d o
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o tor en de
PROV. S ULA WE S I U T ARA
1
P ROV. GO RONT ALO
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
0
LA U T MAL U K U
-1
Ke p. Sa l aba ng ka
3°00'
-1
P. B ap a
0
3°00'
D o ng k a l a
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-4
Ke p. S al ab an gk a
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
Ba k a la
Le m o
Bo e ta l is e
-5
-6
Bu a j a n gk a
LA U T FL O RE S
11 9
Po
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
3°20'
TE LU K B O N E
-5
Pa d a b a le
P. P ad ab ale
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P. P aku
Le ge n da P eta
La k o m b u lo
P. W a ru w ar u
G aris pa n tai
Jala n lain
Jala n set ap ak
Ko b u ru
Bu n g i n ke l a
a
gk
an
ab
al
tS
la
Se
Dar at S u law e si
Hu t an
Ka l e ro a n g
Bu to n
P. K a lero an g
Ja w i ja w i
Pe m a nf at a n Pe r a ira n
B ud ida y a R um pu t La u t
(8 6 5,4 9 ha )
Pe m e liha r aa n T er ip a ng
(3 ,03 h a )
Pe m e liha r aa n Ik a n
(3 ,48 h a )
La ut
P em u kim an
Te ga l/L ad an g
3°3'40"
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
3°20'
-3
S EL AT MAKA SSAR
3°1'30"
P. T a din an g
3°1'30"
Tg . K ees a ha
P asi r/Ke raka l
P. K a ra ntu
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a le ro a n g, B A K OS U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey la p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
3°5'50"
3°5'50"
Sin g ka t an
KA BU P ATE N M O R O W A L I
L A U T B A ND A
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
12 2 °19 '3 0 "
12 2 °21 '4 0 "
122 °2 3'5 0"
12 2 °2 6'0 0"
U
P E T A P E M A N F A TA N R U A N G P E R A IR A N
57
Gambar 18 Peta Pemanfaatan Ruang Perairan di Gugus Pulau Salabangka
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
58
4.4.1 Perikanan
Produksi perikanan Kabupaten Morowali terdiri dari perikanan laut dan
perikanan darat. Tercatat pada tahun 1999, produksi perikanan laut terbesar
dihasilkan dari Kecamatan Bungku Selatan dengan total produksi 1.452.000 ton.
Meskipun demikian, ketersedian sarana produksi perikanan tangkap pada wilayah
ini masih terbatas meliputi kapal motor, perahu motor, dan perahu tak bermotor,
berjumlah 1.326 buah. Alat tangkap yang digunakan masih sederhana berupa alat
pancing (pukat, pancing gurita, lobster, udang tombak, pancing tuna), jaring
insang dan jaring angkat serta bubu (Anonim 2004a; Anonim 2004b).
Berdasarkan data BPS 2003, hasil produksi perikanan Kecamatan Bungku
Selatan mengalami peningkatan, terutama pada hasil laut jenis ikan jika
dibandingkan dengan jenis hasil laut lainnya seperti rumput laut, teripang dan
lainnya (Gambar 19). Dengan demikian, peningkatan jenis hasil perikanan laut
selain ikan, masih dapat dikembangkan dan dapat menjadi salah satu sumber
pendapatan masyarakat dan pemasukan bagi pemerintah daerah.
3000
Hasil Produksi (Ton)
2500
2000
1500
1000
500
0
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Tahun
Ikan
Rumput Laut
Teripang
Lainnya
Gambar 19 Produksi Hasil Laut Kecamatan Bungku Selatan
59
Pada Gambar 19 menunjukkan bahwa produksi hasil laut lebih didominasi
oleh ikan (1527-2675 ton), kemudian rumput laut (27-70 ton) dan teripang (11-50
ton), dan lainnya (21-26 ton). Saat ini pengembangan pemeliharaan ikan dalam
keramba mulai dikembangkan secara tradisional.
Sebelumnya penangkapan ikan menggunakan bom dan racun telah
mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang, hingga saat ini aktivitas
penangkapan ikan dengan cara tidak ramah lingkungan mengalami penurunan
dimana masyarakat dengan kegiatan ekonomi utama mencari ikan mulai
melakukan aktvitas lain seperti budidaya rumput laut, pemeliharaan ikan dalam
keramba dan budidaya teripang
4.4.2 Budidaya Rumput Laut
Salah satu kegiatan pemanfaatan sumberdaya pada pulau kecil adalah
budidaya rumput laut. Pada lokasi studi, kegiatan ini telah berlangsung lama
(sejak tahun 1980), tetapi sebelum tahun 1995 kegiatan ini hanya dilakukan oleh
sebagian masyarakat terutama masyarakat nelayan yang memiliki modal yang
cukup besar. Peran pemerintah yang tidak sepenuhnya memperhatikan kegiatan
tersebut, berakibat pada semakin sedikitnya masyarakat yang melakukan kegiatan
penanaman rumput laut, selain itu sarana transportasi yang kurang memadai
sehingga kegiatan ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat nelayan
dan tidak menjadi sumber pendapatan yang utama.
Setelah tahun 1995, pihak pemerintah mulai memberikan respon yang
cukup baik bagi masyarakat setempat dalam kegiatan penanaman rumput.
Meskipun demikian, semakin panjangnya rente ekonomi dalam usaha budidaya
rumput laut, berakibat pada semakin sulitnya para petani rumput laut dalam
memperoleh harga yang pantas terhadap hasil rumput laut. Dari 253 reponden
yang melakukan kegiatan penanaman rumput laut kurang lebih 64 persen menjual
hasil panen mereka ke penampung/pengumpul, 18% ke pedagang, 8% di koperasi,
sedangkan yang menjual hasi panen ke tengkulak dan lainnya masing-masing
sebesar 5 persen. Kisaran harga rumput laut kering antara Rp.4.000 – Rp.4.700
per kg pada tingkat lokal, sedangkan pada tingkat pengusaha harga komoditi ini
sebesar Rp.5000. Alur penjualan rumput laut dapat dilihat pada Gambar 20.
60
Kegiatan penanaman rumput laut didasarkan pada pengetahuan masyarakat
dari generasi sebelumnya. Sebelumnya, penanaman rumput laut menggunakan
metode rakit apung dari bambu karana keterbatasan modal dalam penyediaan
bahan tersebut, sehingga metode penanaman rumput laut di Gugus Pulau
Salabangka mengalami perubahan yaitu menggunakan metode longline, dengan
pertimbangan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan metode
rakit apung. Sebagian besar hasil panen di jual dalam bentuk kering, kemungkinan
hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya harga rumput dan juga tidak di
dukung dengan sarana perhubungan laut.
R p .4 .7 0 0
P e ta n i R u m p u t L a u t
R p.4 .0 0 0 - R p.4 .2 0 0
P e n g u m p u l K e c il
(d e sa )
K o p e ra si
N e la y a n
R p .4 .5 0 0
P e n g u m p u l B e sa r (a n ta r d e sa )
R p .5 .0 0 0
P e n g u sa h a d i
K e n d a ri
Gambar 20 Alur Penjualan Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka
Adanya indikasi meningkatnya pemanfaatan perairan untuk budidaya
rumput laut dimana tidak adanya penetapan aturan terhadap besarnya luas lahan
yang dimanfaatkan, penetapan luas perairan budidaya lebih didasarkan besarnya
jumlah modal pembudidaya. Hasil survei menunjukkan bahwa 98 persen luas
perairan budidaya yang dimiliki berdasarkan besarnya jumlah modal, dan
berdasarkan lainnya 2 %.
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Identifikasi Kesesuian Ruang Perairan untuk Budidaya Rumput Laut
Gugus Pulau Salabangka merupakan daerah pesisir terdiri dari pulau-pulau
kecil, memiliki bentuk pulau yang relatif lebih kecil (< 2.000 ha) dan terbentuk
dari pengangkatan terumbu karang, kurangnya ketersediaan air tawar, memiliki
ekosistem (terumbu karang, padang lamun dan mangrove), dan memiliki
ketersediaan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat,
serta wilayah ini juga memiliki kepadatan penduduk yang rendah dengan
pemukiman berada pada daerah pantai.
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya khususnya sektor perikanan meliputi
perikanan tangkap, budidaya rumput laut, pemeliharaan teripang, dan keramba
jaring apung. Untuk budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif sumber
mata pencaharian masyarakat dengan pemanfaatan secara tradisional.
Upaya peningkatan kesejehteraan masyarakat oleh pemerintah daerah mulai
dilakukan melalui pemberian bantuan dalam kegiatan di sektor perikanan seperti
penyediaan modal untuk budidaya rumput laut, akan tetapi belum adanya
pengelolaan dalan kegiatan ini, dapat berakibat pada pemanfaatan lahan perairan
untuk budidaya rumput laut yang melebihi kapasitas ruang ekologi Gugus Pulau
Salabangka.
Dalam identifikasi ruang perairan melalui pendekatan Ecological Footprint
(EF) didasarkan pada kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply) ruang
perairan. Sebagaimana disebutkan oleh Schaefer et.al (2006) perhitungan ruang
ekologi dibagi kedalam dua bagian yaitu permintaan terhadap sumberdaya (EF
demand) dan ketersediaan sumberdaya (biocapacity/BC ).
5.1.1 Kebutuhan Ruang Perairan
Dalam pendekatan EF, kebutuhan ruang perairan merupakan ruang perairan
yang dibutuhkan untuk budidaya rumput laut, dimana dapat dilihat berdasarkan
tiga komponen yaitu tingkat konsumsi, produktivitas, dan impor-ekspor.
Sebagaimana disebutkan oleh Haberl et.al (2001) in Adrianto (2004b)
62
bahwa terdapat tiga komponen digunakan dalam perhitungan EF yang meliputi
komponen populasi, produktivitas (yield) baik lokal maupun regional dan
komponen ruang ekologi (Impor-Ekspor)
a. Tingkat Konsumsi
Tingkat konsumsi (Domestic Extraction/DE) merupakan salah satu
komponen dalam perhitungan EF. DE menunjukkan bahwa suatu populasi akan
memanfaatkan sumberdaya (rumput laut) untuk menghasilkan barang yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Secara spesifik pemafaatan
ruang di Gugus Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut. Sebagaimana
disebutkan Chambers et.al (2001) bahwa berbagai aspek yang mendukung
kehidupan merupakan fungsi dari konsumsi.
Dalam perhitungan ini, DE rumput laut didasarkan pada hasil produksi
pemanfaatan perairan saat ini (Lampiran 6). Tingkat Konsumsi rumput laut Gugus
Pulau Salabangka disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Tingkat Konsumsi Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka
No
1
2
3
4
5
6
Nama
Pulau
Pembudidaya
(Kapita)
Produksi
(Ton/Tahun)
Tingkat Konsumsi (DE)
(Ton/Kapita)
Paku
Waru-waru
Kaleroang
Padabale
Pado-pado
Pulau Bapa
Jumlah
255
182
29
62
60
69
657
49,82
73,13
10,40
3,99
19,46
14,28
171,09
0,20
0,40
0,36
0,06
0,32
0,21
1,55
Sumber : Hasil Analisis (2007)
Tabel 5 menunjukkan bahwa produksi rumput laut di Gugus Pulau
Salabangka sangat bervariasi, dengan jumlah total sebesar 171,09 ton/tahun dan
total pembudidaya adalah 657 kapita. Produksi rumput laut tertinggi terdapat
Pulau Waru-waru sebesar 73,13 ton per tahun dan jumlah pembudidaya 182
kapita, sedangkan produksi terendah di Pulau Padabale 3,99 ton per tahun dengan
jumlah pembudidaya sebesar 62 kapita.
63
Berdasarkan jumlah produksi saat ini, konsumsi rumput laut berkisar antara
0,06 – 0,40 ton/kapita, dengan total konsumsi rumput laut Gugus Pulau
Salabangka adalah 1,55 ton per kapita atau sebesar 1.019,41 ton se tahun.
Penyebab rendahnya konsumsi rumput laut disebabkan bentuk permintaan rumput
laut terkatogorikan dalam bentuk bahan baku yaitu rumput laut bentuk kering.
b. Produktivitas
Dapat dikatakan bahwa produktivitas rumput laut di Gugus Pulau
Salabangka lebih dipengaruhi oleh faktor kondisi perairan untuk pertumbuhan
rumput laut dan topografi pantai. Selain itu, budidaya rumput laut dilakukan di
Gugus Pulau Salabangka didasarkan pada pengalaman masyarakat, sehingga
untuk meningkatkan hasil produksi dilakukan melalui menambah luas perairan
sesuai dengan jumlah modal yang dimiliki.
Berdasarkan data BPS (2003) nilai produksi komoditas perikanan, terutama
rumput laut di Kecamatan Bungku Selatan berkisar antara 70 ton (2,48 %) dari
total komiditas perikanan (2820 ton se tahun). Nilai produksi rumput laut Gugus
Pulau Salabangka dalam satu tahun terakhir (2007) sebesar 171,09 ton
dibandingkan tahun 2003. Adapun tingkat produktivitas rumput laut Gugus Pulau
Salabangka disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Produktivitas Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
No Nama Pulau
1
2
3
4
5
6
Paku
Waru-waru
Kaleroang
Padabale
Pado-pado
Pulau Bapa
Jumlah
Luas Perairan
(Ha)
Produksi
(Ton/Tahun)
Produktivitas
(Ton/Ha)
14,85
10,00
1,64
2,85
3,03
4,83
37,18
49,82
73,13
10,40
3,99
19,46
14,28
171,09
3,35
7,32
6,36
1,40
6,43
2,96
27,82
Sumber : Hasil Analisis (2007)
Tabel 6 memperlihatkan bahwa produktivitas lokal rumput laut terendah
terdapat di Pulau Padabale 1,40 ton/ha dan tertinggi di Pulau Waru-waru sebesar
7,32 ton/ha. Sedangkan produktivitas regional Gugus Pulau Salabangka adalah
4,60 ton/ha. Rendahnya produktivitas Pulau Padabale dikarenakan beberapa faktor
selain topografi areal budidaya rumput laut relatif lebih datar dengan kisaran
kedalaman 1 – 5 meter, juga terletak pada daerah agak terlindung dari aktivitas
64
gelombang dan arus. Sedangkan tingginya produktivitas di Pulau Waru-waru
disebabkan wilayah perairan mendukung untuk pertumbuhan rumput laut,
letaknya lebih terlindung dari gelombang dan arus sehingga penanaman dapat
dilakukan sepanjang tahun.
Secara umum, produktivitas regional rumput laut di Gugus Pulau
Salabangka sangat rendah. Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas
antara lain daerah lokasi budidaya merupakan lokasi daerah penangkapan ikan
(menggunakan potas, racun dan bom), kondisi perairan dipengaruhi oleh musim
yang berpengaruh terhadap pola tanam rumput laut dan topografi pantai yang
relatif lebih datar dengan kedalaman 1-5 meter serta kondisi substrat menentukan
metode budidaya yang digunakan. Lebih lanjut menurut Hidayat (1994) dalam
luasan 1 hektar budidaya rumput laut dengan mengunakan metode apung produksi
rumput laut yang dihasilkan 504 ton berat basah atau 67,2 ton berat kering.
c. Impor-Ekspor
Dalam kegiatan ekonomi, PPK memiliki karatersitik tersendiri dimana
adanya saling ketergantungan antara satu pulau dengan pulau yang lain dalam
memenuhi kebutuhan suatu komiditas dan memiliki ketergantungan terhadap
subsidi dari luar. Demikian halnya Gugus Pulau Salabangka, terjadi interaksi baik
secara ekologi, sosial maupun ekonomi antara satu pulau dengan pulau yang lain.
Diantaranya terdapat kegiatan pemafaatan sumberdaya perikanan berupa
pemasaran hasil-hasil perikanan seperti ikan, rumput laut dan teripang. Khusus
rumput laut hasil pemanfaatan hanya terbatas pada bahan mentah berupa rumput
laut yang telah dikeringkan. Adrianto (2005) menjelaskan bahwa upaya
peningkatan ketahanan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan daya dukung antar
pulau. Dalam pendekatan EF, yang dimaksud komponen ruang ekologi adalah
kegiatan impor – ekspor suatu komoditas. Lebih jelasnya kegiatan impor – ekspor
rumput laut di Gugus Pulau Salabangka disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21 menunjukkan bahwa adanya kegiatan impor – ekspor rumput
laut di Gugus Pulau Salabangka sebesar 5,15 ton/ha. Pada gugus ini, terdapat tiga
pulau pengekspor rumput laut antara lain Pulau Padabale (3,51 ton/ha) dengan
tujuan Pulau Waru-waru, Pulau Bapa (1,24 ton/ha) dengan tujuan ekspor Pulau
65
Paku dan Pulau Waru-waru (0,40 ton/ha) dengan tujuan Pulau Paku. Sedangkan
Pulau paku, Waru-waru dan Pado-pado termasuk pulau pengimpor rumput laut
(penerima ekspor).
4,50
4,00
3,50
Ton/Ha
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
Paku
Waru-waru
Kaleroang
Padabale
Pado-pado
Pulau Bapa
Pulau
Impor
Ekspor
Gambar 21 Impor-Ekspor Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
Kegiatan impor-ekspor menunjukkan bahwa adanya ketergantungan
kegiatan ekonomi antara pulau dalam Gugus Pulau Salabangka, sehingga perlu
adanya kerjasama dan keterpaduan terkait dengan pengelolaan ruang, khususnya
dalam pengembangan budidaya rumput laut secara berkelanjutan sesuai dengan
daya dukung lingkungan.
Dari hasil perhitungan tiga komponen EF diperoleh bahwa secara lokal
kebutuhan ruang ekologi mengalami kekurangan dan kelebihan. Lebih jelasnya
estimasi kebutuhan ruang untuk budidaya rumput laut disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22 menunjukkan adanya pulau yang mengalami kekurangan ruang
perairan dalam pemanfaatan sumberdaya (Padabale dan Pulau Bapa), dimana nilai
EF bernilai negatif dan ada pula yang mengalami kelebihan (Paku, Waru-waru,
Kaleroang dan Pado-pado) dimana EF bernilai positif. Hal ini sesuai dengan
pendapat Wackernagel dan Ress (1996) bahwa indikasi ruang ekologis mengalami
kekurangan atau kelebihan, ditunjukkan dengan nilai negatif atau positif total
ruang ekologis. Dengan jumlah pembudidaya saat ini (657 orang). Estimasi
kebutuhan ruang ekologis disajikan pada Tabel 7.
66
1,00
0,50
EF (ha/kapita)
0,00
-0,50
Paku
Waru-waru
Kaleroang
Padabale
Pado-pado
Pulau Bapa
-1,00
-1,50
-2,00
-2,50
-3,00
Pulau
Gambar 22 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut
Gugus Pulau Salabangka
Tabel 7 Estimasi Kebutuhan Ruang Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau
Salabangka
No
Nama Pulau
1
2
3
4
5
6
Paku
Waru-waru
Kaleroang
Padabale
Pado-pado
Pulau Bapa
Jumlah
Ecological Footprint Rumput
Laut (Ha/Kapita)
EF Rumput Laut (Ha)
0,37
0,76
0,06
-2,46
0,09
-0,35
4,10
1.044,78
745,69
118,82
254,03
245,83
282,71
2.691,85
Sumber : Hasil Analisis (2007)
Tabel 7 menunjukkan bahwa total ruang ekologi untuk budidaya rumput
laut adalah 2.691,85 ha (4,10 ha/kapita), dimana kebutuhan ruang perairan untuk
budidaya bervariasi antara pulau. Kebutuhan ruang perairan tertinggi adalah pulau
Paku (38,81 %) dengan pembudidaya 255 orang, sedangkan yang terendah adalah
Pulau Kaleroang (4,41%) dengan pembudidaya 29 orang. Dengan demikian,
kebutuhan rumput laut di Gugus Pulau Salabangka dibandingkan rata-rata
produksitivitas dunia adalah 161,51 ha.
67
5.1.2 Ketersediaan Ruang Perairan
Secara geografis ruang perairan Gugus Pulau Salabangka memiliki luas
23.510,09 ha. Ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut diperoleh
dari hasil analisis kesesuaian perairan menggunakan SIG (Tabel 8). Analisis
kesesuaian ini didasarkan pada kriteria umum secara ekologi mendukung
pertumbuhan rumput laut dari hasil tumpang susun parameter fisika kimia,
selanjutnya hasil analisis berupa ruang perairan yang sesuai berdasarkan prasyarat
ekologi menentukan ketersediaan ruang (biocapacity) untuk budidaya rumput laut.
Secara spasial, perairan Gugus Pulau Salabangka untuk pengembangan rumput
laut dikelompok dalam tiga kategori yaitu kelas sangat sesuai (S1), kelas sesuai
(S2) dan kelas tidak sesuai (N) sebagaimana disajikan pada Gambar 23.
1 2 2 °1 9 '3 0 "
1 2 2 °2 1 '4 0 "
1 2 2 °2 3 '5 0 "
1 2 2 °2 6 '0 0 "
GU GU S P U L A U S A B A L AN GK A
K AB U PA T E N M O R O W AL I
S U L AW E S I TE N G A H
2°59'20"
2°59'20"
1
0
1
2 km
S kal a 1 : 80. 000
Tg . L a bo
P. P ad op ad o
P eta I n d e ks
Ko l o n o
11 9
12 0
12 1
2
Tg . K a da ng a
Ka m p u h b a u
12 2
12 3
12 4
12 5
1
PR O V . SU L A WE SI T EN G A H
0
-4
Ke p. S al ab an gk a
Ba k a la
Le m o
Bo e ta l is e
P ROV. SUL A WE SI S EL AT AN
-4
P ROV. S ULA WES I T E NGGA RA
TE LU K B O N E
-5
-6
Bu a j a n gk a
LA U T FL O RE S
11 9
W a ru w a ru
PR O V . SU L A WE SI T EN G G A R A
-6
-7
Pa k u
Po
12 0
12 1
12 2
12 3
-7
12 4
12 5
12 2 °0 0 '
12 2 °2 0 '
P . P aku
La k o m b u lo
Le ge n da P eta
P . W a ru w ar u
Ko b u ru
G aris pa n tai
Jala n lain
Jala n set ap ak
Bu n g i n ke l a
t
la
Se
K es e s ua i a n L a h a n
Sa n g a t Se s u a i
Se s u a i
Ka l e ro a n g
Bel uk ar
Bu to n
P . K a lero an g
Dar at S u law e si
Hu t an
3°3'40"
ka
ng
ba
la
Sa
3°3'40"
-3
LA U T BA N D A
-5
Pa d a b a le
Ke p. Sa l aba ng ka
-2
P ROV. SUL A WES I B ARAT
-3
S EL AT MAKASSA R
3°1'30"
-1
PROV. S UL A WE S I T ENGAH
-2
3°20'
3°1'30"
P . T a din an g
0
3°00'
-1
P . B ap a
P . P ad ab al e
12 2 °2 0 '
PROV. S ULA WE S I U T ARA
P ROV. GO RONT ALO
LA U T MAL U K U
Tg . K ees a ha
12 2 °0 0 '
2
LA U T SU LA W E SI
1
Tg . L o t or en de
3°00'
Pa d o p a d o
3°20'
D o ng k a l a
Ja w i ja w i
Ti d a k S e s u a i
La ut
P em u kim an
Te ga l/L ad an g
P . K a ra ntu
Su m b e r :
1. P e ta R u p a B u m i In d on e s ia , le m b ar 2 2 1 2- 5 4
K a l e ro a n g, B A K O S U R TA N AL , ta h u n 1 9 9 2
2. S u r v ey l a p a n ga n t a h u n 2 0 0 6
1
3°5'50"
-5
3°5'50"
Si n g ka t an
K A B U P A T E N M O R O W AL I
LA U T B A N D A
P : P u la u
Tg : T a n ju ng
10
-2
0
MA ' SIT A S A R I
C 2 5 1 0 5 0 12 1
1 2 2 °1 9 '3 0 "
1 2 2 °2 1 '4 0 "
U
P E T A K E S E S U A IA N L A H A N B U D ID A Y A R U M P U T L A U T
1 2 2 °2 3 '5 0 "
1 2 2 °2 6 '0 0 "
Pr o g r a m S tu d i
Pe n g e lo la a n S u m b er d a y a Pe s is ir d an L a u ta n
Se k o la h P as c a s a rja n a
In s titu t Pe r ta n ia n B o g or
B o g or
20 0 7
68
Gambar 23 Peta Kesesuaian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
69
Tabel 8 Kesesuian Perairan Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
No
1
2
3
Kesesuaian Perairan
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
Jumlah
Luas (Ha)
2.854,16
8.969,50
11.686,43
23.510,09
Sumber : hasil analisis spasial
Tabel 8 menunjukkan bahwa kesesuaian perairan untuk pengembangan
budidaya rumput laut meliputi dua kategori yaitu (i) kelas sangat sesuai (12,14 %)
dan kelas sesuai (38,15 %). Total ketersediaan ruang untuk budidaya rumput laut
11.823,66 ha, dengan membandingkan terhadap rata-rata produksi dunia maka
luas pemanfaatan budidaya setiap kategori kesesuaian adalah 171,25 ha dan
538,17 ha. Dengan demikian, total ketersediaan ruang budidaya adalah 709,42 ha.
Estimasi ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut pada wilayah
ini, disajikan pada Gambar 24.
14000
12000
Luas (Ha)
10000
8000
6000
4000
2000
0
Biocapacity
Kesesuaian Perairan
Gambar 24 Estimasi Ketersediaan Ruang Budidaya Rumput Laut
Gugus Pulau Salabangka
Gambar 24 menunjukkan areal optimum untuk budidaya rumput laut
(709,42 ha) atau sesuai dengan biocapacity (BC), dengan asumsi pembudidaya
tetap, maka ketersediaan ruang budidaya rumput laut per kapita adalah 1,08 ha.
Berdasarkan identifikasi kesesuaian ruang perairan Gugus Pulau Salabangka
(Gambar 25) untuk budidaya rumput laut menunjukkan bahwa secara ekologis
ruang perairan wilayah ini mengalami surplus, dengan kata lain bahwa kebutuhan
ruang lebih kecil terhadap ketersediaan ruang perairan untuk budidaya rumput laut
70
(161,51 ha < 709,42 ha). Sebagaimana disebutkan dalam WWF (2005) bahwa
suplus ekologi menunjukkan terdapat sisa ruang ekologi terhadap tingkat
permintaan sumberdaya dalam suatu waktu tertentu atau disebut undershoot
dimana tingkat konsumsi terhadap sumberdaya dibawah dari kemampuan ruang
dalam menghasilkan sumberdaya.
800
700
Luas (Ha)
600
500
400
300
200
100
0
Ecological Footprint
Biocapacity
Gambar 25 Perbandingan Ecological Footprint dan Biocapacity
Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
5.2
Daya Dukung Ruang Ekologi untuk Pengembangan Rumput Laut
Secara umum, Gugus Pulau Salabangka memiliki potensi sumberdaya
khususnya perikanan. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya didaerah ini
antara lain budidaya rumput laut, teripang, perikanan tangkap dan keramba jaring
apung. Hal ini di dukung dengan kondisi perairan yang cukup baik dan
ketersediaan yang cukup besar, namun saat ini pemanfaatan sumberdaya belum
optimal. Imlikasinya terlihat dengan tingkat pendapatan yang masih rendah.
Berdasarkan hasil analisis ruang ekologis dengan pendekatan EF, diperoleh
bahwa daya dukung ruang ekologis untuk pengembangan budidaya rumput laut
berdasarkan tingkat kebutuhan ruang ekologi belum optimal dan memiliki tingkat
keberlanjutan. Belum optimalnya tingkat pemanfaatan sumberdaya PPK untuk
budidaya rumput laut ditunjukkan dengan ketersediaan ruang perairan lebih besar
dibandingkan tingkat pemanfaatan saat ini (1,08 ha /kapita > 0,06 ha/kapita),
sebagaimana disajikan pada Gambar 26.
71
1,20
Biocapacity
Ha/Kapita
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
Existing
0,00
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Luasan (Ha)
Gambar 26 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Pemanfaatan Ruang untuk
Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
Beberapa penyebab belum optimalnya pemanfaatan ruang untuk budidaya
rumput laut antara lain kondisi lingkungan perairan yang dipengaruhi oleh musim,
keterbatasan modal, dan rendahnya harga rumput laut. Terkait kondisi lingkungan
dimana perairan Gugus Pulau Salabangka dipengaruhi oleh musim (musim barat
dan musim timur) dengan bentuk topografi pantai relatif lebih datar sehingga
berpengaruh terhadap pola tanam, selain itu pemanfaatan perairan yang tidak
ramah lingkungan (penangkapan ikan menggunakan racun dan bom; pengambilan
karang) berakibat menurunnya kualitan peraian yang mempengaruhi pertumbuhan
biota (rumput laut).
Secara sosial, budidaya rumput laut telah dilakukan sejak lama dimana
kegiatan ini dilakukan hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan
rendahnya dukungan pemerintah terhadap kegiatan tersebut menyebabkan usaha
ini dilakukan berdasarkan kemampuan (modal) pembudidaya. Berdasarkan hasil
wawancara menyebutkan sumber modal untuk usaha budidaya rumput laut berasal
dari modal sendiri (71,15 persen), pinjaman ke pengumpul (19,16 %), koperasi
(2,77) dan lainnya (6,32 %). Sebagimana disebutkan bahwa budidaya rumput laut,
baik dalam bentuk usaha rumah tangga maupun badan usaha, memerlukan modal
antara lain untuk pengadaan bahan dan bibit yang jumlahnya ditentukan oleh
metode, luas area budidaya dan target produksi serta upah tenaga kerja (Anonim
1990).
72
Secara ekonomi rendahnya harga rumput laut berkisar antara Rp.3.800 –
Rp.4.700 di tingkat pembudidaya menyebabkan kegiatan ini bersifat usaha
sampingan. Namun, adanya permintaan pasar untuk budidaya rumput laut, banyak
masyarakat mulai melakukan budidaya rumput laut. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa bahwa 79,45 persen pembudidaya melakukan budidaya
rumput laut sebagai pekerjaan utama dan 20,55 % sebagai pekerjaan sampingan.
Adapun bentuk permintaan rumput laut terkatogorikan dalam bentuk bahan baku
yaitu rumput laut bentuk kering.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa perairan Gugus Pulau Salabangka
mengalami surplus dan memiliki tingkat keberlanjutan untuk pengembangan
budidaya rumput laut berdasarkan tingkat kebutuhan rumput laut lebih kecil
dibandingkan daya dukung ruang untuk budidaya rumput laut (0,25 ha/kapita <
1,08 ha/kapita) (Gambar 27).
1,20
Biocapacity
Ha/Kapita
1,00
0,80
0,60
0,40
Ecological
Footprint
0,20
0,00
0
100
200
300
400
500
600
700
800
Luasan (Ha)
Gambar 27 Daya Dukung Ruang Ekologi terhadap Tingkat Kebutuhan Ruang
untuk Budidaya Rumput Laut Gugus Pulau Salabangka
Beberapa faktor menunjukkan keberlanjutan budidaya rumput laut di Gugus
Pulau Salabangka antara lain adanya upaya pemerintah daerah terhadap kegiatan
budidaya rumput laut antara lain peran pemerintah dalam penegakkan hukum
terkait dengan pemanfaatan ruang perairan yang tidak ramah lingkungan, bantuan
pemerintah berupa modal pada kelompok-kelompok pembudidaya berdasarkan
batas administasi desa, lingkungan perairan yang mendukung untuk budidaya
dimana tidak adanya industri sebagai sumber pencemaran, dan berdasarkan
73
Undang – Undang No.27 tahun 2007 bahwa pemanfaatan perairan pesisir
diberikan dalam luasan dan waktu tertentu dengan mempertimbangkan
kepentingan kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, maka
pengembangan budidaya rumput laut dapat diterapkan sesuai dengan biocapacity
perairan Gugus Pulau Salabangka.
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan analisis ruang ekologis pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk
budidaya rumput di Gugus Pulau Salabangka, dapat disimpulkan :
1. Identifikasi kesesuaian ruang perairan menunjukkan ruang perairan Gugus
Pulau Salabangka sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut.
2. Estimasi daya dukung ruang perairan untuk pengembangan budidaya rumput
laut di Gugus Pulau Salabangka menunjukkan ruang perairan Gugus Pulau
Salabangka mengalami surplus dan memiliki tingkat keberlanjutan dimana
tingkat kebutuhan ruang lebih kecil dibandingkan ketersediaan ruang perairan
untuk budidaya rumput laut.
6.2
Saran
1. Berdasarkan analisis ruang ekologis seyogyanya kebutuhan ruang Gugus
Pulau Salabangka untuk budidaya rumput laut adalah 1,08 ha/kapita untuk
pemanfaatan ruang yang optimal dan dapat berkelanjutan sesuai dengan
kapasitas/ketersediaan ruang perairan.
2. Perlu penataan ruang laut dan gugus pulau kecil di Gugus Pulau Salabangka,
Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L. 2004a. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang
Berkelanjutan (Sustainable Small Islands Develompment and Management).
Working Paper, PKSPL-IPB.
Adrianto L. 2004b. Fisheries Resources Appropriation as Sustainability Indicator
: An Ecological Footprint Approach. Working Paper, PKSPL-IPB.
Adrianto L. 2005. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Working
Paper, PKSPL-IPB.
Adrianto L. 2006a. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan : Tantangan
Riset dan Akademik. Mukernas Himpunan Mahasiswa Teknologi Kelautan
Indonesia, Bogor 16 Januari 2006. PKSPL-IPB
Adrianto L. 2006b. Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi
Sumberdaya Pesisir dan Laut (Sinopsis). PKSPL-IPB
Adrianto L. 2006c. Model Ekonomi Ekologi Pulau-Pulau Kecil. Bahan Kuliah
Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Amarullah. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Perairan Teluk Tamiang Kabupaten
Kota Baru Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma
cotonii). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Amiluddin, NM. 2007. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput
Laut Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice-Ice di Perairan
Pulau Pari Kepulauan Seribu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Anonim. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumpu Laut. Kerjasama Departemen
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian
dan pengembangan Perikanan dengan Internasional Develompment
Reasearch Centre.
. 2001. Laporan Akhir Penelitian Potensi Kelautan Kabupaten Morowali
Propinsi Sulawesi Tengah. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Morowali
Propinsi Sulawesi Tengah dengan Laboratorium Geomorfologi dan
Managemen Pantai (LGMP) Universitas Hasanuddin Makassar.
. 2004a. Kajian Daerah Kabupaten Morowali.
. 2004b. Profil Pulau-Pulau Kecil di Morowali Sulawesi Tengah. Fakultas
Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Makassar
76
. 2004c. Petunjuk Teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Eucheuma Spp.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Pembudidaya. 8 – 12
hal.
Anwar E, Rustiadi E. 2000. Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Kebijakan Ekonomi Bagi Pengendalian Terhadap Kerusakannya. Makalah
yang disajikan pada Lokakarya Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis Pengelolaan Sumberdaya Alam. Jakarta.
Aslan IM. 1998. Budidaya Rumput Laut Indoensia. Penerbit : Kanisius
Yogyakarta. 144 hal.
Bengen DG. 2003. Definisi, Batasan dan Realitas Pulau-pulau Keci. Makalah
disampaikan dalam seminar sehari ”Validasi Jumlah Pulau-pulau dan
Panjang Garis Pantai di Indonesia”. Jakarta.
Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan
Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan
Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).
Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonimi Pengembangan Budidaya Rumput Laut
di Kepulauan Seribu (Studi Kasus di Gugusan Pulau Pari). [Tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Kecamatan Bungku Selatan Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali.
Chamber N, Simmons C, Warckernagel M. 2001. Sharing Nature’s Interest
Ecological Footprint as an Indicator of Sustainability. Earthscan
Publications Ltd, UK.
[DisKanLut] Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten Morowali. 2008. Profil
Perikanan Kabupaten Morowali. Dinas Perikanan Kelautan Kabupaten
Morowali, Bungku.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap bidang pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Modul Sosialisasi Tata Ruang
Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, edisi 2003. Departemen Kelautan dan
Perikanan, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat
Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ditjenkan. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Eucheuma
Cottonii Spp. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen
77
Cottonii Spp. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Ditya YC. 2007. Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan
Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten.
[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 30-31 hal.
Doty MS. 1987. The Production and Use of Eucheuma In Case Studies of Seven
Commercial Seaweed Resources. Editor MS Doty, JF Caddy. B Sante Lices.
FAO Technical Paper No 281 FAO Roma. P 123 – 161.
[FAO] Food Agriculture Organization. 1989. Site Selection for Eucheuma spp.
Farming. http://www.fao.org/
Fatmawati. 1998. Studi Kesesuaian Budidaya Rumput Laut (Eucheuma) di
Wilayah Perairan Laut Kab. Kota Baru Kalimantan Selatan. [Tesis].
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Hardjowigeno S, Widiatmaka AS, Yogaswara. 2001. Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono SH. 1994. Metode Analisis Air Laut,
Sedimen dan Biota. Buku 2. Jakarta: P3-O LIPI.
Indriani H, Sumarsih E. 1999. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput
Laut. Jakarta: Penerbit Swadaya.
Iksan KH. 2005. Kajian Pertumbuhan Reproduksi Rumput Laut (Eucheuma
cottonii), dan Kandungan Keraginan pada Berbagai Bobot dan Asal
Thallus di Perairan Desa Guruaping Oba Maluku Utara. [Tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jawatan Hidro-Oseanogravi TNI AL. 2007. Daftar Pasang Surut (Tide Tables)
Kepulauan Indonesia (Indonesian Archipelago) Tahun 2007. Jakarta.
Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut (Algae). Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kadi A. 2004. Rumput Laut Nilai Ekonomis dan Budidayanya. Jakarta: Pusat
Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kamlasi Y. 2008. Kajian Ekologi dan Biologi untuk Pengembangan Budidaya
Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten
Kupang Propinsi Nusa Tenggra Timur. [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Luning K. 1990. Sea Weeds Their Environment, Biogeography,and
Ecophysiology. A Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons, Inc.
78
Ludvianto B. 2001. Ragam Mengurangi Ancaman terhadap Keanekaragaman
Hayati dengan Konsep “Tapak Ekologi”. Ragam Warta Kehati.
Mubarak H. 1981. Kemungkinan-Kemungkinan Budidaya Rumput Laut di
Kepulauan Aru, Maluku. Preparatory Assistance Seafarming – Indonesia
(UNDP/FAO – INS/80/005). Training Workshop on Seafarming.
Mubarak H et al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan Pertanian,.
Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali. 2004. Pola Dasar Pembangunan
Daerah Kabupaten Morowali Tahun 2002 – 2007. Pemerintah Daerah
Kabupaten Morowali.
Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung:
Penerbit Informatika Bandung.
Purwandani A. 2001. Peta Benua Maritim Indonesia.
Puslitbangkan. 1991. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma sp) dengan Rakit dan
Lepas Dasar. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
Badan Penelitian Pengembangan Pertanian.
Radiarta IY, Wardoyo SK, Priono B, Praseni O. 2003. Aplikasi Sistem Informasi
Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk
Ekas, Nusa Tenggara Barat. J Penelitian Perikanan Indonesia Vol 9: 68.
Schaefer F, Luksch U, Steinbach JC, Hanauer J. 2006. Ecological Footprint and
Biocapacity The World’s Ability to Regenerate Resource and Absorb Waste
in a Limited Time Periode. Working Paper and Studies. European
Communities. P 5 – 7.
Sirajuddin M. 2009. Analisa Ruang Ekologi untuk Pengelompokan Zona
Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk
Waworanda Kabupaten Bima. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Soebagio. 2005. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut
Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat melalui
Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. [Disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sulawesi – Pantai Timur. 1987. Peta Kedalaman Tanjung Dongkala hingga
Labengke Skala 1:200.000. Jakarta: Tentara Nasional Indonesia-Angkatan
Laut Dinas Hidro-Oseanografi.
Sulistijo, Atmadja WS. 1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut di
Indonesia. Jakarta: Puslitbang-Oseanografi LIPI.
79
Sulistijo. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur pada
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta.
Syahputra Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Keraginan Budidaya Rumput
Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan
Perlakuakn Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Trisakti B, Sucipto UH, Sari J. 2004. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Sebagai Tahap Awal Pengembangan Budidaya Laut dan Wisata Bahari di
Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian
LAPAN. Jakarta.
UNEP, CBD. 2004. Integrated Marine and Coastal Area Management (IMCAM)
Approaches for Implementing The Convention on Biological Diversity. CBD
Technical Series No.14. Secretariat of the Convention Biological Diversity
Venetoulis J, Chazan D, Gaudet C. 2004. Ecological Footprint of Nationas.
Sustainability Indicators Program. www.RedefiningProgress.org. P 7.
Venetoulis J, Talbert J. 2008. Refining The Ecological Footprint. J. Environ Dev
Sustain 10: 441. http://www.springer.com. [15 Desember 2008].
Wackernagel M, Rees W. 1996. Our Ecological Footprint: Reducing Human
Impact on the Earth. New Society Publishers, Philadelphia, PA.
Wardoyo STH. 1975. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan. PSLH-IPB. Bogor.
Warren-Rhodes K, Koenig A. 2001. Analysis Ecosystem Appropriation by Hong
Kong and its Implications for Sustainable Development. J. Ecological
Economics 39: 350. Elsevier Science B.V.
Wang S, Bian X. 2007. Synthesis Evaluation with Entri-Array-Polygon Method to
Ecological Economic System of Funing County in Jiangsu Provice. Environ
Monit Assess 127. P 539. http://www.springer.com. [15 Desember 2008]
Wilson J, Anielski M. 2005. Ecological Footprint of Canadian Municipalities and
Regions. The Canadian Federation of Canadian Municipalities. Canada. P 8.
WWF. 2005. Europe 2005 The Ecological Footprint. World Wide Fund for
Living Planet (WWF) European Policy Office, Brussels Belgium. P 20 – 21.
Wyritki K. 1961. Physichal Oceanography of Southest Asian Waters. Naga
Report, Vol 2. La Jolla, California.
Lampiran
80
Lampiran 1
Metode Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia
Metode Pengukuran Kecepatan Arus (cm/dtk)
Pengukuran kecepatan arus permukaan dilakukan dengan layang-layang arus
(drift float) (lihat Gambar ) dan stop watch, sedangkan arah arus diperoleh dengan
menggunakan kompas geologi. Kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan
VVVV
=
dimana
ssss tttt
persamaan Kreyzig, (1993, dalam Rasyid, 2000) :
V = Kecepatan arus (m/det)
s = jarak/panjang tali (meter)
t = Waktu yang ditempuh tali (detik)
Pengukuran Kecepatan Arus
Metode Pengukuran Kecerahan dan Kedalaman (m)
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk yang diikatkan
pada tali kemudian diturunkan perlahan-lahan kedalam perairan hingga tidak
telihat lagi, selanjutnya lakukan hal serupa sampai kedalam perairan saat secchi
disk terlihat. Kedua nilai kedalaman saat secchi disk tidak terlihat dan saat secchi
disk terlihat ditambahkan kemudian dibagi 2 (dua) merupakan tingkat kecerahan
perairan .
Nilai kecerahan dalam skala cm dikonversikan kedalam nilai persen dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
81
Kecerahan Perairan (%) =
Nilai Kecerahan (cm)
x100%
Kedalaman (cm)
Karena nilai kedalaman perairan untuk budidaya rumput laut di Gugus Pulau
Salabangka dapat terlihat atau tampak dasar perairan sehingga pengukuran
kedalaman diperoleh dari pengukuran kecerahan.
Metode Pengukuran Suhu Perairan (oC)
Suhu permukaan perairan diukur dengan menggunakan termometer batang.
Sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas piala, selanjutnya termometer batang
dimasukkan kedalam sampel air. Air raksa dalam termometer batang
menunjukkan nilai suhu permukaan perairan dalam satuan oC
Metode Pengukuran Salinitas (ppt)
Pengukuran salinitas permukaan menggunakan salinometer. Sampel air laut
dimasukkan kedalam gelas ukur berskala, kemudian termometer dimasukkan
kedalam gelas ukur hingga tenggelam. Salinometer akan tenggelam sampai batas
tertentu. Nilai skala salinometer pada batas permukaan sampel air menunjukkan
nilai salinitas permukaan perairan dalam satuan ppt.
Pengukuran Salinitas
Metode Pengukuran pH
Paramater derajat keasaman/pH air laut diukur dengan menggunakan pH meter.
Alat ini memiliki sensor, dimana sensor dimasukkan kedalam wadah berisi
sampel air laut. Selanjutnya pembacaan nilai pH yang terdapat pada layar.
Metode Pengukuran Oksigen Terlarut (mg/l)
Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode titrasi
jodometri yang pertama kali diperkenalkan oleh Winkeler (1888) in Hutagalung
82
et.al (1997). Sampel air laut dimasukkan kedalam botol terang (Gambar 27 (a))
telah diikat dengan larutan MnSO4 sebanyak 2 ml, selanjutnya ditambahkan 2 ml
NaOH + KI agar membentuk endapan kuning dan 8 ml H2SO4 untuk melarutkan
endapan yang terbentuk. Setelah itu, larutan dalam botol terang dimasukkan
kedalam elenmeyer sebanyak 100 ml (Gambar 27 (b)) kemudian dititrasi dengan
Na2S2O3 5 H2O 0,025 N (Gambar 27 (c)) sampai larutan kuning kecoklatan
berubah menjadi kuning muda. Kemudian ditambahan 2 – 3 tetes indikator
amilum sampai warna kuning muda menjadi biru. Larutan kembali dititrasi
dengan Na2S2O3 5 H2O 0,025 N sampai warna biru menjadi bening, jumlah
Na2S2O3 5 H2O 0,025 N terpakai merupakan nilai yang digunakan dalam
perhitungan DO dengan rumus sebagai berikut :
DO =
ml Na 2 SO4 × 0,16 × 1000
1000
(a)
(b)
(c)
Pengukuran Oksigen Terlarut
Metode Pengukuran Nitrat dan Fosfat
Sampel air untuk analisis kadar Nitrat dan Fosfat diambil pada kedalaman dekat
permukaan. Sampel air kemudian dimasukkan kedalam botol sampel untuk
selanjutnya dianalisis di laboratorium. Penentuan kadar fosfat dan nitrat
menggunakan metode APHA (1989)
83
Lampiran 2
Peta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL Jakarta tahun 1987
Lampiran 3
-1
Peta Sebaran Arus di Perairan Laut Banda
121
122
12 3
124
-1
-1
m /s
1 21
12 2
123
124
-1
-1
m /s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
0
0
1
1
2
2
3
0
0
1
121
122
12 3
124
1 21
12 2
123
124
121
122
123
m/s
124
P eta Sebaran A rus D i Perairan Laut B a nda
P eta Sebaran A rus D i Perairan Laut B a nda
P eta Sebaran A rus Di Perairan Laut B a nda
K eterangan :
Keterangan :
Keterangan :
,
B ula n : D esem b er
Su m ber : P eta B enua M aritim Indonesia (P ur w andani 2001 )
,
B ulan : J anuari
S um ber : P eta B enua M aritim Indonesia (P ur wandani 2001 )
,
Bulan : Februari
Sum ber : P eta Benua Maritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
Musim Hujan : DesemberDesember-JanuariJanuari-Februari
84
Lampiran 3 (Lanjutan)
-1
121
122
123
124
-1
0
0
1
-1
m/s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
2
2
3
-1
m/s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
121
122
123
124
121
122
123
124
121
122
123
m/s
124
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Keterangan :
Keterangan :
Keterangan :
,
Bulan : M aret
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
,
Bulan : April
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
,
Bulan : M ei
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
Musim Pancaroba : MaretMaret-AprilApril-Mei
85
Lampiran 3 (Lanjutan)
-1
121
122
123
124
-1
-1
m/s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
2
2
3
0
0
1
-1
m/s
121
122
123
124
-1
0
0
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
121
122
123
124
121
122
123
124
121
122
123
m/s
124
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Keterangan :
Keterangan :
Keterangan :
,
Bulan : Juni
,
B ulan : J uli
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
Sum ber : P eta B enua M aritim Indones ia (P ur wandani 2001 )
,
B ulan : A gustu s
Sum ber : P eta B enua M aritim Indones ia (P ur wandani 2001 )
Musim Panas : JuniJuni-JuliJuli-Agustus
86
Lampiran 3 (Lanjutan)
-1
121
122
123
124
-1
-1
0
0
1
m/s
121
122
123
124
-1
121
-1
m/s
122
123
124
-1
0
0
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
0
0
1
1
2
2
3
121
122
123
124
121
122
123
121
124
122
123
m/s
124
Peta Sebaran A rus Di P erairan Laut B a nda
Peta Sebaran A rus Di Perairan Laut Ba
B a nda
Peta Sebaran A rus Di Perairan Laut Ba
B a nda
Keterangan :
Keterangan :
Keterangan :
,
B ulan : S eptem ber
Sum ber : Peta Benua M aritim Indonesia (Pur wandani 2001 )
,
Bulan : O ktober
Sumber : Peta Benua M aritim Indonesia (Purw
(Purw andani 2001 )
,
Bulan : November
Sumber : Peta Benua M aritim Indonesia (Purw
(Purw andani 2001 )
Musim Pancaroba : SeptemberSeptember-OktoberOktober-November
87
Lampiran 4
Stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Hasil Pengukuran Rata-Rata Parameter Lingkungan Untuk Budidaya Rumput Laut di Gugus Pulau Salabangka
Kecerahan
(m)
3,83
14,20
2,97
5,70
2,47
3,30
2,97
2,50
6,97
2,83
2,67
2,75
3,00
7,00
7,17
Kedalaman
(m)
3,83
14,20
2,97
5,70
2,47
3,30
2,97
2,50
6,97
2,83
2,67
2,75
3,00
7,00
7,17
Kecepatan Arus
(cm/dtk)
11,75
7,39
13,27
12,61
6,91
6,80
6,90
7,24
12,50
17,71
17,32
17,16
17,39
12,33
12,12
Salinitas
(ppt)
30,67
31,00
28,00
28,33
28,33
28,67
29,67
29,67
30,67
30,33
29,67
29,33
28,67
29,33
29,33
Suhu (oC)
pH
DO (mg/l)
30,67
30,33
30,00
30,67
30,00
29,67
29,67
30,00
30,67
30,00
29,67
29,33
29,67
30,00
30,67
8,23
8,28
8,30
8,02
8,15
8,12
8,10
8,15
8,15
8,00
8,13
7,97
8,12
8,15
8,12
5,13
5,49
6,35
6,12
5,20
5,22
5,33
5,83
5,40
4,83
4,83
5,37
6,12
4,92
4,83
Nitrat
(ppm)
0.33
0,33
0,37
0,53
0,33
0,34
0,33
0,23
0,33
0,34
0,33
0,33
0,37
0,37
0,37
Phospat
(ppm)
0,43
0,54
0,56
0,75
0,56
0,45
0,45
0,45
0,43
0,45
0,36
0,36
0,36
0,45
0,46
88
89
Lampiran 5
Keanekaragaman Ikan Karang Kabupaten Morowali
No
1.
Family
Holocentridae (Kelompok Ikan Taget)
2.
Serranidae (Kelompok Ikan Target dan
Major)
3.
4.
Apogonidae (Kelompok Ikan Target)
Lutjanidae (Kelompok Ikan Target)
5.
Haemulidae(Kelompok Ikan Target)
6.
7.
8.
Mullidae (Kelompok Ikan Target)
Ephippidae (Kelompok Ikan Target dan
Indikator)
Chaetodontidae (Kelompok Ikan Indikator)
9.
10.
Pomacanthidae (Kelompok Ikan Indikator)
Pomacentridae (Kelompok Ikan Indikator)
11.
Labridae (Kelompok Ikan Major dan Target)
12.
13.
14.
Scaridae (Kelompok Ikan Target dan
Indikator)
Zamclidae (Kelompok Ikan Major )
Acanthuridae (Kelompok Ikan Target)
15.
16.
Siganidae (Kelompok Ikan Target)
Balistidae (Kelompok Ikan Target)
Species
Myripristis berndti
M. adusta
M. vittata
Sargocentron caudimaculatum
S. spiniferum
Pseudanthis hypselosoma
P. pleurotaenia
P. dispar
P. squamipinnis
P. tuka
Cephalopholis miniata
Cephalopholis sp.
Epinephelus caeruleopunctatus
Epinephelus sp.
Gracilla albomarginata
Apogon nigrofasciatus
Lutjanus fulvus
L. gibbus
L. fulviflamma
Macolor niger
Pterocaesio tile
Plectorhinchus lineatus
P. orientalis
Parupeneus bifasciatus
Platax teira
Chaetodon auriga
C. klenii
Forcipiger flavissimus
Hemitaurichthys polylepis
Heniocho\us pleurotaenia
Pygoplites diacanthus
Abudefduf sp.
Chromis margaritifer
Prennas biaculeatus
Amphiprion peridereion
Chrysiptera para sema
Dascyllus spp.
Pamacentrus nigromanus
P. moluccensis
Neoglyphidodon nigrosis
Labroides dimidiatus
Caranx spp.
Scarus schlegeli
Ctenochaetus striatus
Zebrasoma scopas
Zanclus cornutfus
Siganus corallinus
Odonus niger
90
Lampiran 6
Data Luas Lahan dan Produksi Rumput Laut
No Nama Desa Responden Luas Lahan (m2) Produksi (Kg/Tahun)
1
Kaleroang
2
Paku
3
Buajangka
4
Lakombulo
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
1.125
675
1.125
1.013
375
150
150
105
360
900
225
300
375
188
750
375
750
325
250
375
3.900
450
248
1.590
2.400
318
6.000
600
2.160
600
300
150
375
188
281
563
263
150
188
300
1.125
675
750
188
150
150
700
500
750
150
450
675
900
700,00
400,00
666,67
600,00
333,33
100,00
100,00
93,33
320,00
533,33
100,00
133,33
55,56
27,78
111,11
55,56
111,11
216,67
166,67
83,33
1.300,00
266,67
146,67
530,00
800,00
141,33
2.200,00
266,67
720,00
266,67
88,89
66,67
122,22
55,56
125,00
166,67
97,22
44,44
83,33
133,33
333,33
200,00
111,11
55,56
44,44
100,00
233,33
333,33
500,00
100,00
100,00
150,00
200,00
91
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Nama Desa
5
Bungingkela
6
Jawi-jawi
Responden
Luas Lahan (m2)
Produksi (Kg/Tahun)
R9
R10
R11
R12
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
R19
R20
R21
R22
R23
R24
R25
R26
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
R19
R20
R21
R22
R23
1.350
450
450
500
600
450
875
600
375
1.050
600
1.050
900
1.050
875
750
875
600
600
375
600
450
400
750
875
450
250
600
450
300
225
225
225
180
450
675
675
675
675
675
450
720
135
225
120
450
450
450
450
270
450
450
675
400,00
100,00
100,00
666,67
100,00
75,00
145,83
100,00
62,50
175,00
100,00
262,50
150,00
175,00
145,83
125,00
145,83
100,00
100,00
62,50
100,00
75,00
66,67
125,00
145,83
60,00
41,67
100,00
75,00
50,00
66,67
66,67
50,00
40,00
133,33
150,00
200,00
200,00
200,00
200,00
133,33
160,00
30,00
50,00
17,78
133,33
133,33
133,33
133,33
80,00
133,33
100,00
200,00
92
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Nama Desa
7
Koburu
8
Waru-waru
9
Po
Responden
Luas Lahan (m2)
Produksi (Kg/Tahun)
R24
R25
R26
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
R19
R20
R21
R22
R23
R24
R25
R26
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
R19
R20
R21
R22
R1
R2
450
135
270
263
225
360
360
105
315
270
270
360
225
250
375
300
180
180
540
828
345
938
440
600
990
225
240
225
600
420
570
450
420
450
450
450
750
480
540
360
450
420
360
450
450
450
600
420
450
300
600
550
1.250
133,33
30,00
80,00
466,67
300,00
240,00
240,00
70,00
210,00
180,00
180,00
240,00
150,00
166,67
250,00
200,00
120,00
60,00
180,00
368,00
204,44
555,56
195,56
266,67
440,00
100,00
80,00
400,00
200,00
130,67
532,00
420,00
392,00
420,00
420,00
435,00
233,33
480,00
504,00
336,00
420,00
392,00
360,00
420,00
420,00
420,00
560,00
336,00
420,00
280,00
560,00
366,67
833,33
93
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Nama Desa
10
Waru
11
Padabale
Responden
Luas Lahan (m2)
Produksi (Kg/Tahun)
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
R19
R20
750
1.000
900
450
400
700
1.000
750
500
500
1.000
750
600
350
150
800
300
450
600
315
750
450
600
900
400
180
225
750
225
250
375
1.000
850
400
280
120
550
320
150
1.800
400
1.000
400
300
440
300
400
272
400
240
1.200
240
400
500,00
666,67
600,00
300,00
266,67
466,67
666,67
500,00
333,33
333,33
666,67
500,00
400,00
233,33
100,00
533,33
200,00
300,00
400,00
210,00
500,00
300,00
400,00
600,00
266,67
120,00
150,00
500,00
150,00
166,67
250,00
666,67
566,67
700,00
400,00
666,67
600,00
333,33
100,00
100,00
93,33
320,00
533,33
100,00
47,62
33,33
15,00
122,22
53,33
20,00
144,00
66,67
100,00
94
Lampiran 6 (Lanjutan)
No
Nama Desa
12
Pado-pado
13
Pulau bapa
Jumlah
Responden
Luas Lahan (m2)
Produksi (Kg/Tahun)
R21
R22
R23
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
R19
R20
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R9
R10
R11
R12
R13
R14
R15
R16
R17
R18
253
240
520
200
750
750
750
400
500
500
500
750
500
150
650
240
850
225
750
180
180
600
360
500
648
90
540
540
960
1.260
1.500
1.013
563
1.125
225
300
405
1.120
225
1.500
280
300
142.972
20,00
86,67
29,17
500,00
500,00
500,00
266,67
333,33
333,33
333,33
500,00
333,33
100,00
433,33
160,00
566,67
100,00
500,00
120,00
120,00
400,00
53,33
333,33
144,00
30,00
120,00
90,00
160,00
210,00
888,89
450,00
333,33
500,00
133,33
50,00
90,00
149,33
100,00
200,00
46,67
30,00
62.768,12
Download