NURUL CHAERANI - Repository | UNHAS

advertisement
1
KERAPATAN, FREKUENSI DAN TINGKAT PENUTUPAN
JENIS MANGROVE DI DESA COPPO KECAMATAN BARRU
KABUPATEN BARRU
SKRIPSI
NURUL CHAERANI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
2
KERAPATAN, FREKUENSI DAN TINGKAT PENUTUPAN
JENIS MANGROVE DI DESA COPPO KECAMATAN BARRU
KABUPATEN BARRU
Oleh :
NURUL CHAERANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh Gelar Sarjana
pada
Jurusan Perikanan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
3
Judul Skripsi
: Kerapatan, Frekuensi dan Tingkat Penutupan Jenis
Mangrove Di Desa Coppo Kecamatan Barru Kabupaten
Barru
Nama Mahasiswa : Nurul Chaerani
Nomor Pokok
: L 211 07 016
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Skripsi telah diperiksa
dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam Ali, MS
NIP. 1955 01 14 1983 01 1 001
Dr. Ir. Hadiratul Kudsiah, M.Pi
NIP. 1967 11 06 2006 04 2 001
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Ketua Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan
Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MS
NIP. 1961 12 01 1987 03 2 002
Prof.Dr.Ir.Sharifuddin Bin Andy Omar,
M.SC
Tanggal Lulus :
Oktober 2011
NIP. 1959 02 23 1988 111 001
4
ABSTRAK
NURUL CHAERANI. L211 07 016. Kerapatan, Frekuensi dan Tingkat
Penutupan Jenis Mangrove di Desa Coppo Kec Barru Kab Barru Dibawah
Bimbingan Syamsu Alam Ali Sebagai Pembimbing Utama dan Hadiratul
Kudsiah Sebagai Pembimbing Anggota
Penelitian ini telah dilakukan di Desa Coppo, Kecamatan Barru
Kabupaaten Barru. Pada bulan mei-juni 2011. Pemilihan lokasi penelitian
dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa
lokasi tersebut adalah salah satu daerah hutan mangrove.
Penelitian ini bertujuan membandingkan kerapatan, frekuensi, dan tingkat
penutupan jenis mangrove dengan kepadatan gastropoda di mangrove muara
sungai dengan mangrove pemukiman. Pengukuran ekosistem mangrove
menggunakan transek kuadrat 10x10 m. Kepadatan gastropoda, kualitas air, dan
tekstur tanah menggunakan transek kuadrat berukuran 1x1 m.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan mangrove tertinggi
ditemukan pada daerah pemukiman yaitu jenis Sonneratia sp, sedangkan jenis
Xylocarpus granatum ditemukan kerapatan yang relatif lebih kecil baik pada
daerah muara sungai maupun daerah pemukiman, untuk frekuensi jenis
mangrove cenderung lebih besar pada daerah muara sungai dibanding daerah
pemukiman, Tingkat penutupan jenis mangrove memberikan proporsi nilai yang
hampir seimbang baik di daerah pemukiman maupun di daerah muara sungai.
Gastropoda yang ditemukan ada 11 jenis, ada dua spesies yang tidak ditemukan
di daerah pemukiman tetapi, ditemukan pada daerah muara sungai yaitu Badeva
blosvilley dan strombus labiatus. Kualitas fisika kimia perairan pada daerah
pemukiman dan daerah muara sungai memiliki nilai yang masih tergolong
normal. Suhu perairan berkisar 270C, salinitas antara 30-33ppt, dan oksigen
terlarut memiliki nilai Do 5,1 pada lokasi muara sungai dan yang terendah
terdapat pada lokasi pemukiman dengan nilai 2,2 pada saat surut. Pada lokasi
pemukiman terdapat substrat lempung liat berpasir sedangkan pada lokasi
daerah muara sungai terdapat substrat pasir berlempung.
5
RIWAYAT HIDUP
NURUL CHAERANI, lahir di Ujung Pandang
pada tanggal 03 Agustus 1989, merupakan anak
kelima dari lima bersaudara dari pasangan
(ALM). Ir. H. Achmad Sadarang dan Hj. Radiah
Abubakar, SH. Pendidikan formal yang telah
dilalui adalah pendidikan SDN Inpres Kampus
Unhas tamat tahun 2001. Kemudian melanjutkan
ke sekolah Menengah Pertama Negeri 12
Makassar
tamat
tahun
2004.
Setelah
itu
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri
14 Makassar tamat tahun 2007. Pada Tahun 2007 penulis diterima sebagai
Mahasiswa Jurusan Perikanan, Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin melalui
jalur SPMB.
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke Hadirat ALLAH SWT karena atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak hal
yang terjadi berkat kuasa-Nya sehingga segala sesuatunya dimudahkan.
Salawat dan salam tak lupa kita ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW dan keluarganya.
Skripsi ini berjudul “Kerapatan, Frekuensi dan Tingkat Penutupan Jenis
Mangrove di Desa Coppo Kec Barru Kab Barru”, dibawah bimbingan Bapak Prof.
Dr.Ir..Syamsu Alam Ali,MS dan Ibu Dr.Ir.Hadiratul Kudsiah, M.Pi. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan
perikanan program studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Laporan penelitian ini berisi uraian tentang membandingkan kerapatan,
frekuensi, dan tingkat penutupan jenis mangrove, membandingkan jumlah jenis
gastropoda, dan membandingkan beberapa parameter kualitas air dan sedimen
antara daerah pemukiman dan muara sungai.
Disadari sepenuhnya bahwa meskipun tulisan ini telah disusun dengan
usaha yang semaksimal mungkin, namun bukan mustahil bila di dalamnya
terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulis dengan kerendahan hati
akan menerima setiap saran dan kritik untuk perbaikan dari semua pihak demi
kesempurnaan laporan ini dan untuk pelajaran dimasa yang akan datang.
7
Harapan penulis semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua. Akhir kata semoga ALLAH SWT memberikan balasan yang setimpal
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengembangan diri
dikemudian hari dan senantisa menunjukkan jalan yang terbaik untuk kita serta
dapat menuntun kita untuk terus bekerja dengan tulus, Amin.
Makassar, Oktober 2011
Penulis
8
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah,
segala
puji
bagi
Allah,
tiada
kata
yang
mampu
mengkhiaskan rasa syukur atas semua yang telah di berikan-Nya dalam
mengiringi derap langkah penulis menyusun lembar demi lembar laporan ini
hingga akhir. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana pada Jurusan Perikanan Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Dalam Penulisan laporan ini mulai dari tahap penyusunan proposal
sampai pada saat perbaikan, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Olehnya itu, dari dalamnya lubuk hati, dengan niat suci karena
cinta dan tulusnya hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam Ali, MS dan Dr. Ir. Hadiratul Kudsiah, M.Pi.
selaku dosen pembimbing dan penulis anggap sebagai orang tua atas
ketulusannya memberikan bimbingan dan informasi serta dengan penuh
pengertian telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan
kepada penulis sejak awal hingga akhir selesainya skripsi ini.
2. Dr. Ir. Lodewyk S. Tandipayuk, MS, Ir. Muh. Arifin Dahlan, M.S, dan Ir.
Abdul. Rahim Hade, M.Si. selaku dosen penguji dan orang tua bagi
penulis yang telah banyak memberikan saran dan kritik dalam
penyempurnaan skripsi ini dan selama kuliah di Jurusan Perikanan
Program
Studi
Manajemen
Sumberdaya
Perairan
memberikan pandangan hidup dan pelajaran bagi penulis.
telah
banyak
9
3. Ir. Muh. Arifin Dahlan, M.S. sebagai penasehat akademik atas segala
nasehat dan bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan di
Jurusan Perikanan Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Universitas Hasanuddin.
4. Dr. Nita Rukminasari, S.Pi, MP. selaku Ketua Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan, Staf Pengajar di
lingkungan
Jurusan
Perikanan
yang
telah
banyak
memberikan
pengetahuan , bimbingan dan arahan selama penulis menempuh
pendidikan serta seluruh staf Pegawai dan Administrasi Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan.
5. Kepada kedua orang tuaku tercinta (Alm). Ir. H. Achmad Sadarang dan
Hj. Radiah Abubakar, SH yang telah melahirkan serta membesarkan
penulis dengan penuh kasih sayang dan doa yang terus mengalir untuk
keberhasilan penulis dalam meraih tujuan hidup. Kakak penulis (Rachmat
Achmad, Marlina Achmad, S.Pi, M.Si, dan Fachrul, S.Pi, M.Si,
Mardiana Achmad, S.Hut, dan Wahyuningsih Achmad, SP) yang
selalu menyemangati dan memberi dukungan untuk penulis. Kepada
keluarga besar penulis khususnya Tante Hj. Haniah Abubakar yang
telah memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis.
6. Ponakan Tersayang Untuk
Muh. Faqih Ubaidillah yang selalu
memberikan canda dan tawa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
7. “SiZtaH ChAn 07” (Susiana,S.Pi, Syamsuriani, Rizka Ramli, Amirah
Aryani,S.Pi, A.Muttia Tungke, Andi Hikmah Adriani, dan Waode Nur
fitriana) untuk semua waktu yang berharga dan atas persaudaraan yang
diberikan kepada penulis.
10
8. Saudara-saudara seperjuangan teman angkatan “MSP 2007” yang selalu
mengisi keseharian penulis dan tiada hentinya memberikan bantuan,
pengalaman berharga yang tak terlupakan selama kurang lebih 4 tahun
bersama kalian. Penulis menjadi tahu arti persaudaraan sebenarnya.
9. Susiana, S.Pi terima kasih atas masukan yang telah diberikan, kenangan
dan pengalaman bagi penulis.
Penulis memohon kepada ALLAH SWT, atas bantuan, bimbingan
dan dorongan dari semua pihak, kiranya mendapatkan imbalan yang
setimpal dari ALLAH SWT. Jazakumullah Khairan Katsiran, semoga
ALLAH memberikan yang lebih dari bantuan yang diberikan.
Menyadari keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, dengan
penuh kerendahan hati penulis mengakui skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya
membangun tetap penulis harapkan dari pembaca demi kesempurnaan
skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap agar tugas akhir ini dengan kekurangan
dan kelebihan yang terkandung di dalamnya tidak hanya menjadi
kumpulan kertas usang dan berdebu yang berjudulkan karya ilmiah dan
tidak digunakan, tetapi memberikan sebuah nilai bagi ilmu pengetahuan
dan dijadikan referensi dalam penelitian selanjutnya. Semoga ALLAH
SWT memberikan rahmat-Nya bagi kita semua. Amiennn.
Makassar, Oktober 2011
Nurul Chaerani
11
DAFTAR ISI
Halam
an
HALAMAN JUDUL.................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
ii
RINGKASAN...........................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP....................................................................................
iv
KATA PENGANTAR................................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................
vi
DAFTAR ISI.............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL......................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
x
BAB.I PENDAHULUAN............................................................................
1.1 Latar Belakang............................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian.........................................................................
3
1.3 Kegunaan Penelitian....................................................................
3
BAB.II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
12
2.1 Definisi, Jenis, dan Penyebaran Mangrove..................................
4
2.2 Habitat dan Ekosistem Mangrove................................................
4
2.3 Fungsi dan Potensi Mangrove.....................................................
5
2.4 Degradasi Mangrove....................................................................
7
2.5 Luas dan Komposisi Hutan Mangrove..........................................
8
2.6 Faktor Pembatas Pertumbuhan Mangrove...................................
8
2.7 Morfologi dan klasifikasi Gastropoda............................................
11
2.8 Kualitas air....................................................................................
13
BAB.III METODOLOGI PENELITIAN.........................................................
3.1 Waktu dan Tempat........................................................................
13
3.2 Alat dan bahan............................................................................
14
3.3 Prosedur Penelitian......................................................................
14
3.4 Analisa Vegetasi Mangrove..........................................................
17
BAB.IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................
4.1 Kerapatan jenis, Frekuensi, dan Tingkat Penutupan
Jenis Mangrove.............................................................................
20
4.2 Kepadatan jenis gastropoda di Ekosistem Mangrove..................
23
13
4.3 Kualitas air...................................................................................
25
4.4 Tekstur tanah...............................................................................
27
BAB.V KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................
5.1 Kesimpulan...................................................................................
27
5.2 Saran............................................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
14
DAFTAR TABEL
No.
Teks
Halaman
1. Klasifikasi Sedimen Pantai Berdasarkan Skala
Wentworth............................................................
9
2. Kerapatan jenis, frekuensi, dan Tingkat
Penutupan Jenis Mangrove................................
20
3. Kepadatan Gastropoda Pada Muara Sungai dan
Pemukiman..........................................................
24
4. Data Kualitas Air Pada Lokasi Muara Sungai
dan Pemukiman pada Pasang Surut................
25
15
DAFTAR GAMBAR
NO.
Teks
Halaman
1. Lokasi Penelitian..................................................................
15
2. Plot atau Transek kuadrat yang digunakan dalam
penelitian...............................................................................
16
3. Kepadatan Gastropoda Pada Lokasi Pemukiman Dan
Muara
Sungai.....................................................................................
24
4. Fraksi Tekstur Tanah Pada Lokasi Pemukiman Dan Muara
Sungai......................................................................................
27
16
DAFTAR LAMPIRAN
NO.
Teks
1. Data Spesies Jenis mangrove Pada Lokasi Pemukiman..............
33
2. Data Spesies Jenis Mangrove Pada Lokasi Muara Sungai...........
34
3. Data Tekstur Tanah...........................................................................
35
4. Jenis Mangrove.................................................................................
36
5. Jenis Gastropoda..............................................................................
37
Halaman
17
l. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan
wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang
memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup
besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki
wilayah
tersebut
menimbulkan daya
tarik bagi
berbagai
pihak untuk
memanfaatkan secara langsung karena secara sektoral memberikan sumbangan
yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya perikanan, kehutanan, industri,
pariwisata dan lain-lain (Dahuri, 2001).
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah
pesisir yang mempunyai peran sangat penting dalam mendukung produktivitas
perikanan, sebagai nursery ground (tempat pembesaran) dan spawning
ground (tempat pemijahan) bagi beragam jenis biota air. Disamping itu juga
sebagai penahan erosi pantai, pencegah intrusi air laut ke daratan,
pengendali banjir, merupakan perlindungan pantai secara alami mengurangi
resiko dari bahaya tsunami dan juga merupakan habitat dari beberapa jenis satwa
liar (burung, mamalia, reptilia dan amphibia) (Othman, 1994).
Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah keragaman jenis yang
tertinggi di dunia. Secara spasial, penyebaran mangrove di Indonesia berada di
wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus
mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar
3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun
1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi
degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar per
18
tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak,
penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2001).
Luas ekosistem mangrove yang terdapat di Sulawesi Selatan pada
tahun 1982 sekitar 66.000 ha, kemudian pada tahun 1993 mengalami
penambahan sekitar 57,6 % (sekitar 104.030 ha). Sedangkan hasil
pemantauan terakhir (Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi lahan 1994), bahwa
ekploitasi hutan mangrove di Sulawesi Selatan sekitar 78.022 ha, umumnya
tidak memperhatikan kelestarian lingkungan dan kondisi ekologis hutan
mangrove. Dari 78.022 ha luas hutan mangrove yang telah dieksploitasi,
sekitar 40.000 ha atau sekitar 38 % di konversi jadi tambak, sedangkan
sekitar 38.022 ha atau sekitar 37 % di manfaatkan untuk keperluan lain
seperti : kayu bakar, bahan industry dan kebutuhan lainnya. Berdasarkan
estimasi
hanya
30
%
yang
produktif
sedangkan
sisanya
terlantar.
Sebagaimana kita ketahui ekosistem mangrove merupakan tempat pemijahan
dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, termasuk ikan dan udang
yang hidup secara alami di wilayah tersebut.
Kabupaten Barru secara administratif terdiri dari lima kecamatan yang
berada di wilayah pantai, dengan luas sekitar 113.02 ha. Sedangkan luas
mangrove dari lima kecamatan: kecamatan Tanete Rilau 62,10 ha, kecamatan
Barru 52,70 ha, kecamatan Balusu 45,35 ha, kecamatanSoppeng Riaja 73,30 ha
dan kecamatan Mallusetasi 41,82 ha dengan total keseluruhan 265,27 ha, yang
aktual atau masih kondisi baik 32,38 ha dan yang
kritis 232,89 ha (Dinas
Kehutanan Barru 2009).
Kawasan hutan mangrove di Desa Coppo Kecamatan Barru Kabupaten
Barru merupakan daerah yang mempunyai potensi pengembangan perikanan
khususnya budidaya tambak yang cerah. Untuk mendukung hal tersebut maka
dilakukan penelitian tentang kerapatan, frekuensi dan tingkat penutupan
19
mangrove, sehingga dalam pemanfaatan sumberdayanya dapat dikelola secara
tepat dengan memperlihatkan dan mempertahankan kelestariannya.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Membandingkan kerapatan, frekuensi, dan tingkat penutupan jenis mangrove
antara daerah pemukiman dan muara sungai.
2. Membandingkan kepadatan Jenis gastropoda antara daerah pemukiman dan
muara sungai.
3. Membandingkan beberapa parameter kualitas air dan sedimen antara daerah
pemukiman dan muara sungai.
1.3 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah diharapkan menjadi bahan informasi
tentang pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Selain itu juga diharapkan
menjadi langkah awal pengambilan kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove
bagi kepentingan pengembangan perikanan.
20
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi, Jenis, dan Penyebaran Mangrove
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam atau salinitas (pasang surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies
(Magne, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Magne kemudian menggunakan
istilah mangal apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan mangrove untuk
individu tumbuhan. Mangrove sering diterjemahkan sebagai komunitas hutan
bakau, sedangkan tumbuhan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuhan
yang hidup di hutan pasang surut tersebut. Jenis-jenis pohon Mangrovenya
seperti Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp dan Ceriops
sp.
Mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988 dalam Huda,
2008).
Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon (seperti Avicennia, Sonneratia,
Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Exoecaria, Xylocarpus, Aegiceras,
Scyphypora, dan Nypa) yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut lumpur (Bengen, 2004).
2.2 Habitat dan Ekosistem Mangrove
Karakteristik habitat mangrove yakni: (1) umumnya tumbuh pada daerah
intertidal yang jenis tanah berlumpur atau berpasir; (2) daerah yang tergenang air
laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat
21
pasang
purnama,
frekuensi
genangan
menentukan
komposisi
vegetasi
mangrove; (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; (4) terlindung
dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat (Huda, 2008).
Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah
dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada
di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah
tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar
mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati
ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi (Anonim, 2003).
Ekosistem
mangrove
sangat
penting
artinya
dalam
pengelolaan
sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil. Mangrove berperan sebagai filter
untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan
sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Selain itu,
ekosistem ini juga berfungsi dalam mengolah limbah melalui penyerapan
kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat mencegah pencemaran dan
kontaminasi di perairan sekitarnya (Huda, 2008).
2.3 Fungsi dan Potensi Mangrove
Ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain: (1) sebagai pelindung
pantai dari hempasan ombak, arus, dan angin; (2) sebagai tempat berlindung,
berpijah, atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota; (3)
sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus); (4) Sebagai
sumber bahan baku industri; (5) pemasok larva ikan, udang, dan biota laut
lainnya; (6) tempat pariwisata (Huda, 2008).
Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources
atau flow resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan
ekologis). Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan
22
penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu
sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai
jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas
perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa
negara. Secara garis besar, manfaat ekonomis dan ekologis mangrove adalah :
a. Manfaat ekonomis, terdiri atas :
1) Hasil berupa kayu, seperti: kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar,
arang, serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu
2) Hasil bukan kayu
 Hasil hutan ikutan, seperti: tannin, madu, alkohol, makanan, obat-obatan,
dll.
 Jasa lingkungan (ekowisata)
b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik
bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagaia jenis
fauna, diantaranya :
 Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
 Pengendali intrusi air laut
 Habitat berbagai jenis fauna
 Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai
jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
 Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi
 Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)
 Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe
hutan lain (Anonim, 2003).
Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir
di sebagian besar-walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove
yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan
23
dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan
ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove
berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan
lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan
biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan
berkurang secara nyata (Anonim, 2003).
2.4 Degradasi Mangrove
Kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk penentuan kekritisan lahan
mangrove dapat melalui dua teknik penilaian yaitu dengan teknologi GIS dan
inderaja (citra satelit), dan
survei langsung di lapangan (terestris) (Anonim,
2006).
Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi.
Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat
ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang
musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung
wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung
sejumlah kehidupan seperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa
burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan
dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan
mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa
liar, dan sekaligus mengurangi keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak
stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap
tanaman pertanian darat dan pedesaan (Anonim, 2003).
24
2.5 Luas dan Komposisi Hutan Mangrove
Struktur mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan
negara lainnya. Dapat ditemukan mulai dari tegakan Avicennia dengan
ketinggian 1 -2 meter pada pantai yang tergenang air laut, sehingga tegakan
campuran Bruguiera, Rhizophora, Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30 meter.
Di daerah pantai terbuka, dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia
alba, sementara itu sepanjang sungai yang memiliki kadar salinitas yang lebih
rendah umumnya ditemukan Nypa sp. dan Sonneratia sp. Sejauh ini di Indonesia
tercatat sedikitnya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis
palma, 19 jenis pemanjat. 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku
(Bengen, 2001).
2.6 Faktor Pembatas Pertumbuhan Mangrove
Faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi satu sama lain secara kompleks
akan menghasilkan asosiasi jenis yang juga kompleks. Dimana distribusi individu
jenis tumbuhan mangrove sangat dikontrol oleh variasi faktor-faktor lingkungan
seperti tinggi rata-rata air, salinitas, pH, dan pengendapan (Hasmawati, 2001)
1. Suhu
Pada perairan tropik suhu permukaan air laut pada umumnya 27°C - 29°C.
Pada perairan yang dangkal dapat mencapai 34°C. Di dalam hutan bakau sendiri
suhunya lebih rendah dan variasinya hampir sama dengan daerah-daerah pesisir
lain yang ternaung .
2. Pasang Surut
Pasang surut adalah naik turunnya air laut (mean sea level) sebagai gaya
tarik bulan dan matahari. Untuk daerah pantai fenomena seperti ini merupakan
proses yang sangat penting, yang tidak dapat diabaikan oleh manusia dalam
usahanya untuk memanfaatkan, mengelola maupun melestarikan daerah pesisir.
25
Pengaruh aktifitas pasang surut di daerah muara sungai sangat besar
karena pasut bukan hanya merubah paras laut dengan merubah kedalamannya,
melainkan dapat pula sebagai pembangkit arus yang dapat mentranspor
sedimen. Selain itu pasut juga berperan terhadap proses-proses di pantai,
seperti penyebaran sedimen dan abrasi pantai. Pasang naik akan menimbulkan
gelombang laut dimana sedimen akan menyebar di dekat pantai, sedangkan bila
air laut surut akan menyebabkan majunya sedimentasi ke arah laut lepas
(Kaharuddin, 1994)
3. Substrat (sedimen).
Sedangkan Anwar dkk. (1984), menyatakan bahwa lahan yang terdekat
dengan air pada areal hutan mangrove biasanya terdiri dari lumpur dimana
lumpur diendapkan. Tanah ini biasanya terdiri dari kira-kira 75% pasir halus,
sedangkan kebanyakan dari sisanya terdiri dari pasir lempung yang lebih halus
lagi. Lumpur tersebut melebar dari ketinggian rata-rata pasang surut sewaktu
pasang berkisar terendah dan tergenangi air setiap kali terjadi pasang sepanjang
tahun. Klasifikasi sedimen pantai disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Sedimen Pantai Berdasarkan Skala Wentworth
Diameter Butiran
Kelas Ukuran Butiran
Mm
Skala Phi
Boulder (Berangkal)
>256
<-8
Cobbe (kerikil kasar)
45 -256
(-6) – (-8)
Pebble (kerikil sedang)
4 – 64
(-2) – (-6)
Granule (kerikil halus)
2–4
(-1) – (-2)
Very Coarse Sand (Pasir sangat halus)
1–2
0 – (-1)
Coarse Sand (pasir sedang)
0,5 – 1
1–0
Medium Sand (Pasir sedang)
0,23 – 1
2- 1
Fine Sand (pasir halus)
0,125 – 0,25
3–2
Very Fine Sand (pasir sangat halus)
0,062 – 0,125
4–3
Silt (debu)
0,0039 – 0,062
8–4
Clay (lumpur)
< 0,0039
>8
Sumber : Hutabarat dan Evans, 1985
26
4. Kecepatan Arus
Arus merupakan perpindahan massa air dari suatu tempat ke tempat lain
di sebabkan oleh sebgaian faktor seperti hembusan angin, perbedaan densitas
atau pasang surut. Faktor utama yang dapat menimbulkan arus yang relatife kuat
adalah angin dan pasang surut. Arus yang disebabkan oleh angin pada
umumnya bersifat musiman dimana pada suatu musim arus mengalir ke suatu
arah dengan tetap pada musim berikutnya akan berubah arah sesuai dengan
perubahan arah angin yang terjadi (Hasmawati, 2001)
Selanjutnya, Hasmawati (2001) menyatakan bahwa kecepatan arus
secara tak langsung akan mempengaruhi substrat dasar perairan. Berdasarkan
kecepatannya maka arus dapat dikelompokkan menjadi arus sangat cepat (>1
m/dt), arus cepat (0,5-1 m/dt), arus sedang (0,1-0,5 m/dt) dan arus lanibat (<0,1
m/dt).
5. Salinitas
Pohon mangrove tahan terhadap air tanah dengan kadar garam tinggi,
tetapi pohon-pohon mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di air tawar
(Anwar,dkk,.1984).
Ketersediaan
air
tawar
dan
konsentrasi
salinitas
mengendalikan efesiensi matabolik (metabolic efficiency) vegetasi hutan
mangrove. Walaupun spesies vegetasi mangrove memiliki mekanisme adaptasi
yang tinggi terhadap salinitas, namun kekurangan air tawar menyebabkan kadar
garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam
kelangsungan hidupnya (Dahuri, 2003).
.
6. Derajat keasaman (pH)
Derajat
keasaman
untuk
perairan
alami
berkisar
antara
4-9
penyimpangan yang cukup besar dari pH yang semestinya, dapat dipakai
sebagai petunjuk akan adanya buangan industri yang bersifat asam atau basa
yaitu berkisar antara 5-8 untuk air dan untuk tanah 6 - 8,5 dan kondisi pH di
27
perairan mangrove biasanya bersifat asam, karena banyak bahan-bahan organik
di kawasan tersebut. Nilai pH ini mempunyai batasan toleransi yang sangat
bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut,
alkalinitas dan stadia organisme (Hasmawati, 2001).
2.7. Morfologi dan Klasifikasi Gastropoda
Nybakken (1992) menyatakan empat kelompok organisme yang dominan
menyusun fauna makro didaerah sublitoral, yaitu filum Mollusca, filum
Echinodermata, filum Polycheta, dan filum crustacea. Filum mollusca sendiri
meliputi jenis-jenis siput, kerang-kerangan, dan oktupus. Mollusca mempunyai
bentuk tubuh yang beranekaragamam dari bentuk silindris seperti cacing dan
tidak mempunyai cangkang sampai bentuk hampir bulat tanpa kepala dan tutup
cangkang.
Kata gastropoda diambil dari bahasa latin, gastro (perut) dan poda (kaki)
(Pachenik, 1998). Kelas gastropoda sendiri terbagi dalam 3 sub-kelas, menurut
Russel-Hunter (1983). Yaitu:
1. Sub-kelas
Prosobranchia,
yang
terdiri
atas
3
ordo
;
Archaeogastropoda, Mesogastropoda, dan Neogastropoda.
2. Sub-kelas Opisthobranchia terdiri atas 8 ordo ; Chepalaspidae,
Pyramidellacea,
Acocchlidioidea,
Anapidea
atau
Aplysiacea,
Notaspidea, Saccoglossa, Thecosomata, dan Gymnosomata.
3. Sub-kelas Pulmonata terdiri atas 2 ordo ; Basommathopora,
Stylommathopora.
Di dalam ekosistem mangrove, filum molusca, khususnya kelas gastropoda
merupakan kelompok yang terbesar. Diantara kelas-kelas lain, kelas gastropoda
mempunyai anggota terbanyak dan merupakan kelas yang paling sukses dan
menguasai berbagai habitat yang bervariasi (Barnes, 1988). Diperkirakan sekitar
40.000 sampai 75.000 spesies, hidup sebagai keong dan menyebar mulai dari air
28
laut, tawar, dan darat. Sekitar 75%-80% filum molusca adalah kelas gastropoda
(Pechenik, 1998).
Kelas gastropoda lebih umum disebut siput atau keong dan merupakan
kelompok molusca dengan keong cangkangnya berbentuk tabung yang
melingkar seperti spiral. Gastropoda merupakan molusca paling kaya akan jenis.
Di indonesia terdapat ± 1500 jenis (Nontji, 2003). Menurut Pechenik (1998) kelas
gastropoda memiliki 2 ciri utama yaitu:
1. Massa visceral dan sistem pencernaan (nervous) yang dapat berputar
90-1800 (peristiwa perputaran torsi) terjadi sejak pembentukan embrio.
2. Memiliki pelindung Proteinaceous pada kaki (operculum) yang mana
digunakan oleh perut yang bersegmen untuk berjalan. Tubuhnya
dilengkapi dengan cangkang yang berbentuk kerucut dari tabung yang
melingkar.
Untuk mengelompokkan hewan dasar adalah dengan melihat hubungan
mereka dengan tempat hidupnya. Semua hewan yang hidup diatas permukaan
dasar laut dikenal sebagai organisme epifauna dan yang hidup dengan cara
menggali lubang pada permukaan dasar laut dikenal sebagai organisme infauna
(Hutabarat dan Evans, 1988).
2.8.
Kualitas Air
Air menjadi substansi sentral dalam pengelolaan ekosistem karena sifat
istimewa air yang tidak dimiliki unsur lain, beberapa diantaranya adalah:
1. Air mempunyai panas jenis tinggi dan lebih besar dari kebanyakan unsur lain,
menjadikannya pengendali suhu permukaan bumi yang sangat efektif.
2. Air memiliki viskositas yang rendah sehingga mampu menjadi media transpor
dan ditranspor dengan murah. Sifat ini mnyebabkan transportasi di air paling
ringan hambatannya. Fauna akuatik mudah dan bebas bergerak dalam air.
29
3. Air dapat berada dalam tiga fase pada suhu dan tekanan di udara, di
permukaan tanah, dan di dalam bumi.
4. Air dengan tiga fase dapat bertindak sebagai sarana transfer energi dari satu
lokasi ke lokasi lainnya.
5. Air mempunyai tegangan permukaan yang tinggi dan sifat meniskus adhesif
sehingga memegang peranan penting dalam kehidupan biota.
6. Dalam proses di atas berlangsung pula penguapan air gabungan evaporasi
dan transpirasi. Panas yang dipakai dalam proses penguapan ini ikut
mengatur suhu udara sehingga lingkungan lebih sejuk.
7. Air adalah sumber tenaga potensial untuk pembangkit tenaga listrik maupun
mekanis dan sering dinyatakan sebagai sumber daya terbaru.
8. Air adalah pelarut yang termasuk paling baik, hampir seluruh kehidupan
manusia dan seluruh ekosistem memanfaatkan air sebagai media pelarut,
baik untuk membersihkan maupun untuk melarutkan kotoran.
9. Karena air itu “basah” ia dapat melekat ke hampir semua unsur lain sehingga
menjadikannya pelarut universal. Apabila tersedia waktu yang cukup
(panjang) air dapat melarutkan hampir semua unsur di permukaan bumi.
10. Sebagian besar tubuh kita terdiri air (Hehanusa, 2004)
30
Kementerian Lingkungan Hidup telah menetapkan suatu Baku Mutu Air
Laut sebagai upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat
mencemari dan atau merusak lingkungan laut dengan tujuan untuk menjaga
kelestarian fungsi lingkungan laut. Baku Mutu Air Laut tersebut tertuang dalam
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004.
Baku
Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau
komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut.
Penetapan Baku Mutu Air Laut tersebut
meliputi Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan, Wisata Bahari dan Biota
Laut.
31
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Coppo, Kecamatan Barru, Kabupaten
Barru,
Propinsi
Sulawesi
Selatan.
Pemilihan
lokasi
dilakukan
dengan
pertimbangan bahwa lokasi tersebut adalah salah satu daerah hutan mangrove.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Sampai Juni 2011.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
32
3.2. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah roll meter, coolbox, termometer,
refraktometer, pH meter,
camera digital, formalin 10%, pipa paralon, buku
identifikasi mangrove dan gastropoda
3.3. Prosedur Penelitian
a. Penentuan Stasiun
Zona pengamatan ditetapkan ditetapkan secara purposive pada 2 lokasi
yang berbeda. pada kawasan mangrove dekat pemukiman (Zona l) dan pada
kawasan mangrove dekat Muara sungai (Zona ll). Masing-masing zona dibuat 3
stasiun dimana setiap stasiun terdiri dari 3 plot masing- masing berukuran
10x10m2. (di dalam plot berukuran 10x10m2 digunakan untuk mengetahui jumlah
jenis, jumlah individu, diameter batang dan untuk mengetahui kerapatan jenis,
frekuensi, dan tingkat penutupan jenis mangrove. Selanjutnya didalam plot
10x10m di buat plot ukuran 1x1 m digunakan untuk mengetahui jenis kepadatan
gastropoda, tekstur tanah dan kualitas air).
b. Pengambilan Data
Masing-masing sub stasiun dengan ukuran 10x10 m menggunakan plot
transek 1x1m untuk, gastropoda, serta kualitas air dan tekstur tanah.
Gambar 2. Plot atau transek kuadrat yang digunakan dalam penelitian
33
 Teknik Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh gastropoda pada setiap stasiun dilakukan dengan
menghitung jumlah gastropoda yang terdapat dalam transek yang berukuran
1x1m2 pada ekosistem mangrove, pada setiap stasiun pengamatan
dilakukan 3 kali pengulangan pengambilan sampel. Pengambilan dilakukan
pada air laut surut rendah. Contoh Organisme selanjutnya diawetkan dalam
larutan formalin (10%) agar tidak mudah rusak sehingga memudahkan
dalam mengidntifikasi jenis gastropoda dengan melihat buku idntifikasi.
 Tekstur Tanah
Sedimen hanya diambil pada waktu surut dengan menggunakan
pipa paralon. Contoh sedimen diambil pada stasiun yang sama dengan
pengambilan contoh air. Sedimen diambil kurang lebih 500 gram selanjutnya
dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan dalam cool box untuk selanjutnya
Sampel tanah yang telah diambil di setiap stasiun diuji di Laboratorium Tanah,
untuk melihat fraksi pasir, debu dan liat.
 Pengukuran Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan dengan dua cara yaitu secara
insitu dan pengukuran di laboratorium. Pengukuran secara insitu dengan
cara mengambil contoh air pada masing-masing stasiun pengamatan.
Parameter kualitas air yang diukur dilapangan meliputi suhu, pH,
sedangkan untuk parameter kualitas air yang diukur di laboratorium
seperti oksigen terlarut (Do) dan salinitas.
34
3.4. Analisis Vegetasi Mangrove
Data vegetasi mangrove yang di dapat dari lapangan selanjutnya dianalisis
unrtuk mengetahui kerapatan jenis dan penutupan jenis (Bengen 2001) dengan
formulasi sebagai berikut :
1. Kerapatan Jenis (Di)
𝐷𝑖 =
𝑛𝑖
𝐴
Dimana :
Di
= Kerapatan Jenis
ni
= Jumlah total tegakan jenis i
A
= Luas total areal pengambilan contoh
2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi)
𝑛𝑖
𝑛
𝑅𝐷𝑖 = ∑ 𝑥 100%
Dimana :
Di
= Kerapatan Relatif
ni
= Jumlah total tegakan jenis i
∑𝑛
= Jumlah total tegakan seluruh jenis
Fi
= Frekuensi jenis i
Pi
= Jumlah plot yang ditemukan jenis i
∑𝑃
= Jumlah plot yang diamati
3. Frekuensi jenis (Fi)
𝑃𝑖
𝐹𝑖 = ∑ 𝑃
Dimana :
4. Frekuensi relatif jenis (RFi)
𝐹𝑖
𝐹
𝑅𝐹𝑖 = ∑ 𝑥 100%
Dimana :
RFi
= Frekuensi relatif jenis i
Fi
= Frekuensi jenis i
∑𝐹
= Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
35
5. Penutupan Jenis (Ci)
𝐶𝑖 =
∑ 𝐵𝐴
𝐵𝐴 =
𝐴
𝜋DBH2
4
𝐷𝐵𝐻 =
CBH
𝜋
Dimana :
Ci
= Penutupan jenis
DBH
= Diameter pohon jenis i
𝜋
= 3,14
A
= Luas total area pengambilan contoh
CBH
= Lingkaran pohon setinggi dada (cm)
6. Penutupan Relatif Jenis (RCi)
Ci
𝐶
𝑅𝐶𝑖 = ∑ 𝑥 100%
Dimana :
RCi
= Penutupan relatif Jenis
Ci
= Luas area penutupan jenis i
∑𝐶
= Luas total area untuk seluruh jenis i
36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Kerapatan jenis, Frekuensi, dan Tingkat penutupan jenis mangrove
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan (Lampiran 1 dan 2) diperoleh
nilai kerapatan relatif (Rdi), frekuensi (Rfi), dan tingkat penutupan (Rci). setiap
jenis mangrove (Lampiran 4) yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kerapatan Relatif, Frekuensi, dan Tingkat Penutupan Jenis Mangrove
di Desa Coppo, Kabupaten Barru
Rata-Rata
Rdi (%)
Jenis Mangrove
Rata-Rata
Rfi (%)
Rata-Rata
Rci (%)
Muara
sungai
Pemukiman
Muara
sungai
Pemukiman
Muara
sungai
Pemukiman
Avicennia
marina
1
1
3,33
3
11,33
8,3
Sonneratia sp
49,33
55,33
37,67
31
65,67
58
Bruguiera
gymnorrhiza
15,33
18,33
21
31
6,33
12,67
Rhizophora
stylosa
34
25
37,67
31
16,67
20
Xylocarpus
granatum
0
0,33
0
3
0
0,67
Total
100
100
100
100
100
100
Pada Tabel 2 menunjukkan kerapatan relatif jenis tumbuhan mangrove di
pemukiman cenderung lebih tinggi dibanding di muara sungai, sebagai contoh
jenis Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza (Lampiran 4). Untuk kerapatan
relatif jenis Sonneratia sp di pemukiman dan muara sungai masing-masing
adalah 55,33% dan 49,33%, sedangkan kerapatan relatif
jenis Bruguiera
gymnorrhiza di pemukiman dan muara sungai adalah 18,33% dan 15,33%.
Kerapatan Jenis merupakan perbandingan jumlah tegakan jenis terhadap luasan
area tertentu. Semakin banyak tegakan yang diperoleh maka nilai kerapatan
jenis semakin besar.pada lokasi pemukiman diperoleh nilai kerapatan jenis
tertinggi adalah Sonneratia sp 2000 individu/m2.(Lampiran 1) Kemungkinan ini
37
disebabkan karena kondisi substrat yang umumnya terdiri dari lumpur berpasir
dan sebagian juga terdapat substrat pasir yang memiliki lapisan lumpur. Hal ini
sesuai pendapat Parawansa (2007) yang mengatakan bahwa ketergantungan
terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh genus Sonneratia sp, yaitu merupakan ciri
umum untuk tanah berlumpur dalam. Sedangkan pada lokasi muara sungai
diperoleh kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizophora stylosa 2100 individu/m2.
(Lampiran 2).
Secara umum distribusi vegetasi mangrove di lokasi penelitian tidak
menunjukkan adanya zonasi tegas. Karena pada sebagian besar lokasi
pengamatan, ditemukan vegetasi mangrove yang saling berbaur satu sama lain.
Kecuali pada bagian yang berbatasan dengan pantai, Jenis Rhizophora stylosa
umumnya berada di sepanjang garis pantai. (Sultan, 2001) mengemukakan
bahwa ketidaksamaan urutan zonasi kemungkinan disebabkan oleh kondisi
lokasi, misalnya jenis tanah, sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir
bisa sangat berbeda yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh diatas
lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa
tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya, bahkan ada pula
hutan bakau yang tumbuh diatas tanah bergambut.
Berbeda dengan kerapatan relatif, untuk frekuensi jenis mangrove di
daerah muara sungai cenderung lebih besar dibanding yang berada di
pemukiman (Tabel 2).
Hal ini ditunjukkan oleh jenis Avicennia marina,
Sonneratia, Rhizophora stylosa dengan nilai frekuensi jenis di muara sungai
adalah 3,33%, 37,67%, dan 37,67%. Pramudji (2001) dalam Mar’fuah (2005)
mengatakan bahwa pada tanah lumpur dan lembek didominasi oleh jenis
mangrove,
contohnya
jenis
mangrove
Rhizophora
apiculata,
Bruguiera
gymnorrhiza, lumnitzera littorea. sedangkan hutan mangrove yang tumbuh alami
mempunyai daya adaptasi morfologi yang tinggi terhadap lingkungan yang ada
38
disekitarnya yang dapat menahan sediment yang terbawa oleh sungai akibat
banjir serta memperlihatkan adanya zonasi. Keadaan ini juga diperkuat oleh
pernyataan Dahuri (2003) dalam Mardanus (2007) , hutan mangrove merupakan
tipe hutan tropika yang khas, tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai
yang dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di
wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya
banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara
sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di
wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dan arus pasang surut kuat,
karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang
diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya.
Untuk tingkat penutupan jenis mangrove memberikan proporsi nilai yang
hampir seimbang baik di pemukiman maupun di muara sungai (Tabel 2). Untuk
tingkat penutupan dua jenis mangrove yakni Avicennia marina dan Sonneratia sp
di muara sungai lebih tinggi dibanding di pemukiman masing-masing adalah
8,33% dan 65,67%.
Sedangkan dua jenis mangrove lainnya yaitu Bruguiera
gymnorrhiza dan Rhizophora stylosa memiliki nilai tingkat penutupan jenis di
pemukiman lebih tinggi dibanding di muara sungai yakni 12,67%, dan 20%.
39
4.2. Kelimpahan Jenis Gastropoda di Ekosistem Hutan Mangrove
Hasil penelitian ditemukan 11 jenis gastropoda (Lampiran 5). di mangrove
dekat muara sungai ditemukan 10 spesies. Sedangkan pada lokasi dekat sekitar
pemukiman ditemukan 9 spesies gastropoda. dua spesies yang tidak ditemukan
di daerah pemukiman tetapi, ditemukan pada daerah muara sungai yaitu Badeva
blosvilley dan Strombus labiatus. Karena jenis ini ditemukan dalam keadaan
menempel pada akar dan batang pohon yang masih mudah sehingga masih
kurang makanan yang didapatkan atau mengikuti arus pasang surut sehingga
tidak ditemukan dalam jumlah sedikit (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan pendapat
Dharma (1988) bahwa sebagian dari gastropoda hidup didaerah hutan bakau,
ada yang hidup diatas tanah yang berkumpul atau tergenang dengan air, ada
pula yang menempel pada akar atau batangnya. Sebaliknya ada satu spesies
yang tidak ditemukan pada daerah muara sungai tetapi ,ditemukan pada daerah
pemukiman yaitu Euchelus atratus.
Melimpahnya jenis Cerithidea cingulata (Tabel 3) pada lokasi penelitian
antara lain disebabkan oleh adaptasi hidup yang lebih dibanding jenis yang lain.
Jenis Cerithidea cingulata ini memiliki cangkang tebal dan kuat, sehingga apabila
mendapat gangguan mudah untuk berlindung serta tetap di tempat. Dimana
banyak ditemukan pada daerah muara sungai yang menerima pasokan lumpur
dan pasir. Hal ini sesuai pendapat Nontji(1993) bahwa hutan mangrove
merupakan tipe hutan yang khas yang terdapat disepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut, sehingga keberadaanya
selalu melimpah.
40
Tabel 3. Kepadatan gastropoda pada daerah muara sungai dan pemukiman
Lokasi muara
Lokasi
No
Spesies
sungai
pemukiman Total
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Cerithidea cingulata
Chicoreus capucinus
Clypeomorus
subbreviutus
Strombus labiatus
Monodonta labio
Faunus ater
Terebralia sulcato
Terebralia palustris
Teloscopium telescopium
Euchelus atratus
Jumlah
16
14
12
10
8
6
4
2
0
4
0
4
15
10
25
7
5
11
6
4
10
5
0
5
6
3
9
7
5
12
5
7
12
5
5
10
5
6
11
0
5
5
65
50
104
Terebralia sulcato
Terebralia palustris
Faunus ater
Monodonta labio
Strombus labiatus
Clypeomorus…
Chicoreus capucinus
Cerithidea cingulata
Badeva blosvilley
Lokasi muara
Euchelus atratus
2
Badeva blosvilley
Teloscopium…
1
Lokasi pemukiman
Gambar 3. Kepadatan Gastropoda Pada Lokasi Muara Sungai dan Pemukiman
41
4.3.Kualitas Air
Tabel.4.Data kualitas air pada lokasi muara sungai dan pemukiman pada pasang
surut
Lokasi
Pemukiman
Muara Sungai
Stasiun
Suhu
Salinitas
Do
Suhu
Salinitas
Do
(0C)
(ppt)
(ppm)
(0C)
(ppt)
(ppm)
l.surut
27
31
2,6
27
31
5,1
ll. surut
27
31
2,2
27
30
4,5
lll. surut
27
32
2,9
27
32
5,1
l. pasang
27
31
4,5
27
32
4,5
ll. pasang
27
32
5,4
27
32
5,1
lll. pasang
27
32
5,1
27
33
4,8
Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan
molusca.
Kehidupan
organisme
dalam
suatu
ekosistem
dipengaruhi oleh faktor fisika tempat hidupnya. Perubahan suhu dapat menjadi
isyarat bagi organisme untuk memulai dan mengakhiri berbagai aktivitas
(Nybakken, 1992).
Berdasarkan Tabel 4 diatas, hasil pengukuran suhu pada lokasi
pemukiman dan lokasi muara sungai adalah 270C dan umumnya tiap stasiun
sama. Ini disebabkan karena faktor waktu pengambilan sample dan kondisi
cuaca serta pengaruh dari kerapatan mangrove. Kisaran suhu yang terdapat
pada lokasi pemukiman dan muara sungai merupakan kisaran yang layak dalam
mendukung pertumbuhan makrozoobenthos. Hal ini seperti yang dikemukakan
Mudjiman (1981) bahwa pertumbuhan organisme benthos memerlukan suhu
dengan kisaran 25-360C.
Kenaikan
suhu
dapat
meningkatkan
laju metabolisme
air,
akibat
meningkatnya laju metabolisme akan meningkatkan komsumsi oksigen dalam air
menjadi berkurang. Suhu juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari,
pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis
42
dan juga oleh faktor penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh ditepi
(Barus, 2002).
Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya kandungan
garam-garam mineral yang menyusun suatu perairan yang ikut mempengaruhi
kehidupan molusca (gastropoda) pada hutan mangrove. Hutan mangrove dapat
tumbuh pada kisaran salinitas 38 ppt tetapi kisaran optimal untuk pertumbuhan
mangrove adalah 30-37 ppt.(Anonim, 2003)
Dari hasil pengamatan pada 2 lokasi yaitu pemukiman dan muara sungai,
diperoleh salinitas secara berturut-turut adalah 33, 32, 31 dan 30 ppt. Dan
umumnya tiap stasiun pada lokasi pemukiman dan muara sungai terdapat
perbedaan salinitas yang tidak jauh berbeda,faktor yang mempengaruhi hal ini
adanya masukan air tawar yang disebabkan oleh hujan lokal yang terjadi pada
saat pengukuran dilokasi pengamatan yang menyebabkan salinitas menurun.
Nilai salinitas kedua lokasi tersebut masih termasuk dalam kisaran salinitas
perairan air laut ± 30ppt yang masih menunjang kehidupan organisme laut yang
hidup didalamnya (Nontji, 1993).
Oksigen adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk menunjang
organisme karena berkaitan erat dengan proses metabolisme makanan yang
diperlukan untuk kehidupan organisme itu sendiri. Oksigen terlarut (DO)
merupakan suatu nilai yang menunjukkan banyaknya oksigen yang terkandung
dalam setiap liter air laut. Kelarutan oksigen dan gas-gas lainnya diperairan
dipengaruhi oleh suhu dan salinitas, meningkatnya suhu menyebabkan
kandungan oksigen bertambah. Bertambahnya kedalaman akan menurunkan
kelarutan oksigen (Effendi, 2003). Kisaran oksigen yang bagus untuk bisa
menunjang kehidupan suatu ekosistem berkisar antara 3,2-4,5 mg/L.
Pada hasil pengukuran di lokasi pemukiman dan muara sungai, nilai Do
tertinggi terdapat pada lokasi muara sungai dengan nilai 5,1 dan yang terendah
43
terdapat pada lokasi pemukiman dengan nilai 2,2. Hal ini berhubungan dengan
substrat yang kandungan pasirnya relatif tinggi dimana terbentuk pori udara yang
memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air yang
berada diatasnya. Dan untuk nilai Do yang lebih rendah ini disebabkan oleh suhu
dan salinitas yang lebih tinggi.
PH pada daerah lokasi pemukiman dan muara sungai berkisar antara
6,67-7,00. Kisaran derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan organisme
adalah antara 5,6-8,3 (Nybakken, 1992). Dengan demikian kisaran derajat
keasaman pada setiap lokasi hutan mangrove di Desa Coppo masih merupakan
nilai yang layak untuk pertumbuhan dan kehidupan makrozoobenthos.
4.4.Tekstur Tanah
Berdasarkan hasil identifikasi sampel Tekstur Tanah yang dilakukan
dilaboratorium ilmu tanah Fakultas Pertanian Unhas dapat dilihat pada gambar 4
29
Tekstur Hydrometer
Pemukiman Liat (%)
Tekstur Hydrometer
Pemukiman Debu (%)
57.6
13.3
Tekstur Hydrometer
Pemukiman Pasir (%)
Gambar 4.Fraksi Tekstur Tanah Pada Lokasi Pemukiman
Pada lokasi pemukiman terdapat substrat lempung liat berpasir,(Lampiran
3) terdiri dari liat 29%, debu 13,3%, dan pasir 57,6%. Substrat lumpur (debu+liat)
cenderung untuk mengakumulasi bahan organik yang menunjukkan bahwa
cukup banyak tersedia makanan yang potensial untuk organisme penghuni
substrat berlumpur (Nybakken, 1988).
44
Jenis substrat berlumpur merupakan habitat yang cocok bagi hewan
peliang dan kurang disukai oleh jenis gastropoda (Sujadi, 1971). (Nybakken,
1988) menyatakan bahwa substrat berlumpur merupakan tempat berlimpahnya
partikel organik halus yang mengendap di dasar perairan, dimana dapat
menghambat pernapasan organisme benthik.
Pada lokasi pengamatan di muara sungai terdapat substrat pasir
berlempung, (Lampiran 3) yang terdiri dari 9,6%, debu 7,6%, dan pasir 82,6%.
Menurut pengamatan Nybakken (1992)
bahwa tipe substrat berpasir
memudahkan mollusca kelompok infauna untuk mendapat suplay nutrien dan air
yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Tipe substrat berpasir juga akan
memudahkan menyaring makanan yang diperlukan dibandingkan dengan tipe
substrat berlumpur. Untuk lokasi muara sungai yang mendominasi adalah fraksi
pasir berlempung. Hal ini dimungkinkan karena pada lokasi muara sungai
dijumpai genangan air yang cukup luas pada tempat terbuka.
9.6
7.6
Tekstur
Hydrometer Muara
sungai Liat (%)
Tekstur
Hydrometer Muara
sungai Debu (%)
82.6
Tekstur
Hydrometer Muara
sungai Pasir (%)
Gambar 5.Fraksi tekstur tanah pada lokasi muara sungai
45
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil Penelitian di Desa Coppo Kec. Barru Kab. Barru menunjukkan
Bahwa :
1. Kerapatan relatif jenis tumbuhan mangrove jenis Sonneratia sp dan
Bruguiera gymnorrhiza di pemukiman cenderung lebih tinggi dibanding
di muara sungai.
2. Frekuensi relatif jenis tumbuhan mangrove jenis Avicennia marina,
Sonneratia sp, dan Rhizophora stylosa di daerah muara sungai
cenderung lebih besar di banding yang berada di pemukiman.
3. Tingkat Penutupan jenis Mangrove memberikan proporsi nilai yang
hampir seimbang baik di pemukiman maupun di daerah muara sungai
4. Badeva blosvilley dan Strombus striatus spesies gastropoda yang tidak
ditemukan di daerah pemukiman tetapi ditemukan pada daerah muara
sungai.
5. Pengukuran suhu pada lokasi pemukiman dan lokasi muara sungai
adalah 270C, dari hasil pengamatan pada 2 lokasi yaitu pemukiman dan
muara sungai diperoleh salinitas yang tidak jauh berbeda. Sedangkan
untuk nilai Do tertinggi terdapat pada lokasi muara sungai.
5.2. Saran
Perlunya dilakukan program penyuluhan lebih lanjut ke masyarakat
mengenai arti penting dan fungsi hutan mangrove dalam upaya mencegah
terjadinya kepunahan hutan mangrove di Desa Coppo, Kec.Barru
Kab.Barru.
46
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Pengelolaaan Kawasan Hutan Mangrove yang Berkelanjutan.
Dalam “Seminar Pengelolaan Hutan Mangrove Denpasar, Bali 8
September 2003”.
Anonim. 2006. Laporan Akhir: Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove Wilayah
Balai Pengelolaan DAS Pemali-jratun Provinsi Jawa Tengah Tahun
Anggaran 2006. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali-jratun Provinsi
jawa tengah. Departemen Kehutanan. Jawa Tengah.
Barnes, R. D. 1988. Invertebrates Zoology.Fifth edition W.B. saunders Company
Philadelphia, London, Toranto.
Barus, T.A. 2001. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan
Danau. Program Studi Biologi. Medan : Fakultas MIPA USU.
Bengen, D. G., 2001. Pedoman teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Cetakan Kelima. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan, Institut Pertanian Bogor Bogor.
Bengen, DG. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. PKSPL. Institut Pertanian Bogor.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells). PT. Sarana
Graha, Jakarta.
Dahuri, Dkk. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R., 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Effendi H. 2003. Telaah Kaulitas air Bagi Pengelolaan SumberDaya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
Hutabarat, S. Dan S.M.Evans, 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Hasmawati, M. 2001. Studi Vegetasi Hutan mangrove di Pantai Kuri Desa
Nisombalia, kecamatan marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Skripsi Jurusan ilmu kelautan dan Perikanan. Makassar.
Huda, N. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di
Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi.
Tesis.
Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Hutabarat. S., dan S. M. Evans, 1985. Pengantar Oseanografi. University
Indonesia Press. Jakarta.
47
Kaharuddin, 1994. Marine Sediment and Preparation. Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Makassar.
Mudjiman, A. 1981. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Marfuah, 2005. Komposisi dan Profil Hutan Mangrove di Kawasan Teluk Betung
Kabupaten Pesisir Selatan. {Skripsi} Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Bung Hatta.
Mardanus, M. 2007. Identifikasi dan Vegetasi dan Zonasi Mangrove di Kawasan
Pesisir Sungai Pinang Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta
Nontji, A. 2003. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia,
Jakarta.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut. Gy: Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan
Oleh. Eidman M, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukarjo S;
Jakarta: Penerbit PT. Garmedia
Othman, M.A. 1994. Value of mangroves in coastal protection. hydrobiologia,
285:277- 282.
Pechenik J.A. 1998. Biology Of The Invertebrates.
Parawansa, I. 2007. Pengembanagan Kebijakan Pembangunan Daerah Dalam
Pengelolaan Hutan Mangrove di Teluk Jakarta Secara Berkelanjutan
{Disertasi}. IPB. Bogor.
Russel-Hunter, W.D. 1983.A Biology Of Lower Ivertebrates. The Macmillan, New
York Collier-Macmillan Limited London.
Sudjadi, 1971. Analisa Tanah. Litbang Tanah.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pongelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta.
Sultan, A. 2001. Studi Tentang Kerapatan dan Frekuensi Jenis Hutan Mangrov di
Pantai Pasir Putih Kec. Bola Kab. Wajo Skripsi. Universitas Hasanuddin
Makassar. Indonesia.
48
49
Lampiran 1. Data Spesies Jenis Magrove pada Lokasi Pemukim
Stasiun
Spesies
l
Avicennia marina
0
0
0
0
Sonneratia
60
38
12
114
Bruguiera gymnorrhiza
22
12
4
11
CBH
DBH
BA
(Di)
(Rdi)
(Fi)
(Rfi)
(Ci)
(Rci)
INP
0
0
0
0
0
0
0
2000
59
1
33
3797
78
170
733
22
1
33
376
8
63
Rhizophora stylosa
19
17
5
22
633
19
1
33
724
15
67
Xylocarpus granatum
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Total
101
3367
100
3
100
4898
100
300
ll
Avicennia marina
4
26
8
55
133
3
0
9
1828
25
37
Sonneratia
82
37
12
111
2733
55
1
27
3694
51
133
Bruguiera gymnorrhiza
21
17
5
22
700
14
1
27
737
10
52
Rhizophora stylosa
40
18
6
26
1333
27
1
27
864
12
66
Xylocarpus granatum
2
7
2
4
67
1
0
9
130
2
12
Total
149
4967
100
4
100
7253
100
300
Lll
Keterangan
n
Avicennia marina
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sonneratia
56
31
10
8
1867
52
1
33
255
47
132
Bruguiera gymnorrhiza
21
13
4
3
700
19
1
33
108
20
73
Rhizophora stylosa
31
22
7
5
1033
29
1
33
183
33
95
Xylocarpus granatum
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Total
108
3600
100
3
100
546
100
300
:
CBH
DBH
BA
Di
: Lingkaran Pohon Setinggi Dada
: Diameter Batang Pohon jenis
: Basal Area
: Kerapatan Jenis
Fi
Rfi
Ci
: Frekuensi Jenis
: Frekuensi Relatif Jenis
: Penutupan Jenis
Rci
INP
n
: Penutupan Relatif Jenis
: Nilai Penting
: Jumlah Individu
50
Lampiran 2. Data Spesies Jenis Mangrove pada Lokasi Muara Sungai
Stasiun
Spesies
n
CBH
DBH
BA
(Di)
(Rdi)
(Fi)
(Rfi)
(Ci)
(Rci)
INP
l
Avicennia marina
2
37
12
109
67
3
0
10
3631
34
48
Sonneratia
35
42
13
137
1167
58
1
30
4568
43
132
Bruguiera gymnorrhiza
6
20
6
30
200
10
1
30
1009
10
50
Rhizophora stylosa
17
22
7
40
567
28
1
30
1321
13
71
Xylocarpus granatum
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
total
60
2000
100
3
100
10529
100
300
ll
lll
Keterangan
Avicennia marina
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sonneratia
51
40
13
128
1700
49
1
33
4257
70
152
Bruguiera gymnorrhiza
37
14
5
16
1233
36
1
33
538
9
78
Rhizophora stylosa
16
22
7
39
533
15
1
33
1284
21
70
Xylocarpus granatum
0
0
0
0
total
104
Avicennia marina
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3467
100
3
100
6079
100
300
0
0
0
0
0
0
0
0
Sonneratia
44
46
15
171
1467
41
1
50
5685
84
175
Bruguiera gymnorrhiza
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Rhizophora stylosa
63
20
6
32
2100
59
1
50
1075
16
125
Xylocarpus granatum
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
total
107
3567
100
2
100
6760
100
300
:
CBH
DBH
BA
Di
: Lingkaran Pohon Setinggi Dada
: Diameter Batang Pohon jenis
: Basal Area
: Kerapatan Jenis
Fi
Rfi
Ci
: Frekuensi Jenis
: Frekuensi Relatif Jenis
: Penutupan Jenis
Rci
INP
n
: Penutupan Relatif Jenis
: Nilai Penting
: Jumlah Individu
51
Lampiran 3. Data Tekstur Tanah
L
LOKASI PENGAMATAN
PEMUKIMAN
MUARA SUNGAI
TEKSTUR HYDROMETER
TEKSTUR HYDROMETER
Liat
Debu
Pasir
Kelas
Liat
Debu
Pasir
Kelas
(%)
(%)
(%)
Tekstur
(%)
(%)
(%)
Tekstur
22
20
58
LLB
10
10
80
PB
Ll
33
10
57
LLB
4
11
85
PB
Lll
32
10
58
LLB
15
2
83
PB
Rataan
29
13,3
57,6
9,6
7,6
82,6
STASIUN
Ket : LLB : Lempung Liat Berpasir
PB : Pasir Berlempung
52
Lampiran 4. Jenis mangrove
a. Bruguiera gymnorrhiza
b. Sonneratia sp
C. Rhizophora stylosa
d. Xylocarpus granatum
e. Avicennia marina
53
Lampiran 5 .Jenis Gastropoda
a.
Telescopium telescopium
C. Faunus ater
E. Monodonta labio
B. Terebralia palustris
D. Strombus mutabilis
F. Chicoreus capupinus
54
G. Cylpeomorus subbreviatus
i.
Badeva blosvilley
K. Euchelus atratus
H.
Cerithidea cingulata
J. Terebralia sculata
55
56
Download