Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana

advertisement
HUKUMAN MATI DALAM WACANA DEMOKRASI
(Analisis Perdebatan Antara Hukum Islam dan HAM di Indonesia)
ENDANG YULIANTI
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Sains Al-Qur‟an Wonosobo
ABSTRAK
Pro-kontra seputar penerapan hukuman mati tetap menjadi perdebatan
serius di kalangan masyarakat dunia, sementara di Indonesia praktek tersebut
justru masih lazim diterapkan bagi pelaku tindak pidana tertentu. Munculnya
perdebatan tentang hukuman mati pada akhirnya melahirkan setidaknya dua
kelompok besar, yaitu kelompok yang ingin menghapus hukuman mati dan
kelompok yang mendukung penerapan hukuman mati dengan mengedepankan
argumentasi masing-masing. Dalam menyikapi hal tersebut, harus dilakukan
obyektifikasi hukuman mati dalam konteks demokrasi di Indonesia dengan
mengadakan kajian secara mendalam tentang eksistensi hukuman mati dan
melepaskan diri dari pengaruh atau kepentingan yang meliputinya.
Kata kunci : pro kontra pidana mati, HAM, pidana mati
Pendahuluan
Kontroversi penerapan dan penghapusan hukuman mati (death penalty)
dalam konteks hukum Indonesia menjadi perdebatan yang hangat dalam beberapa
dekade ini. Perdebatan ini sejalan dengan dinamika hukum nasional dan
internasional yang berkembang sangat pesat serta munculnya pendekatanpendekatan baru dalam melihat dan menilai relevansi hukuman mati dalam
konteks sistem hukum, bentuk, asas negara, perubahan sosial, termasuk
teknologi.1 Meski sudah menjadi wacana klasik, pro-kontra seputar penerapan
hukuman mati2 tetap menjadi perdebatan serius di kalangan masyarakat dunia,
1
Dalam perkembangan terakhir, keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. Ini terkait
dengan pandangan „Hukum Kodrat‟ yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang
melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable
rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama
hukum atau situasi darurat, sebagai hak yang merupakan anugerah Tuhan. Pandangan lain adalah
dengan adanya perubahan konsep dari hukuman sebagai pembalasan menjadi hukuman sebagai
pendidikan dan pemasyarakatan. Penjara tidak lagi disebut sebagai rumah tahanan, tetapi lembaga
pemasyarakatan dengan asumsi bahwa para tahanan akan dididik untuk kembali ke masyarakat,
termasuk mereka yang melakukan kejahatan yang „layak‟ diberikan hukuman mati.
2
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis hukuman yang diputuskan oleh
pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat (maksimal) yang diberikan
kepada seseorang akibat perbuatannya. Lihat Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di
Dinamika Kontemporer Hukuman Mati di Indonesia -------ISBN 978-602-73912-0-8
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
termasuk di Indonesia.3 Di tengah kecenderungan global akan moratorium
hukuman mati, praktek tersebut justru masih lazim diterapkan di Indonesia.4
Bahkan, dalam kurun sebelas tahun terakhir (tepatnya pasca reformasi, 19982009), Indonesia tercatat telah mengeksekusi mati setidaknya 20 orang. Angka ini
jauh lebih besar ketimbang periode 1945-2003 yang hanya mengeksekusi mati 15
orang.5 Wajar saja, jika Indonesia, menurut catatan Amnesty International, kini
menjadi salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati
dibanding negara lain di dunia.6
Secara yuridis formal, penerapan hukuman mati di Indonesia memang
dibenarkan. Hal ini bisa ditelusuri dari beberapa pasal dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat ancaman hukuman mati.7 Di luar
KUHP, tercatat setidaknya ada 6 (enam) peraturan perundang-undangan yang
memiliki ancaman hukuman mati, semisal UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU
Anti Terorisme, UU Pengadilan HAM, UU Intelijen dan UU Rahasia Negara.8
Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati di Indonesia semakin eksis dalam tata
peraturan perundang-undangan di Indonesia.9 Lebih dari itu, eksekusi hukuman
Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), Cet. Ke-2, hlm. 2.
3
Perdebatan seputar perlu tidaknya hukuman mati di Indonesia bisa ditemukan lewat
pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Biasanya perdebatan ini mengemuka
secara sporadis di setiap peringatan hari Anti Hukuman Mati di bulan Oktober dan peringatan
HAM Sedunia di bulan Desember 2007.
4
Badan Pekerja Kontras, "Praktik Hukuman Mati di Indonesia", diakses dari
http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diunduh
pada 30 Oktober 2010.
5
William Schabas, makalah disampaikan dalam seminar Internasional, Discussion on
Death Penalty Contemporary Challenges, Delegation of European Commission and Departemen
of Philosofy Faculty of Humanities University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14
Desember 2004. Tulisan ini kemudian dikutip oleh Komnas HAM dalam websitenya
www.komnasham.go.id, diunduh pada 4 Januari 2009.
6
Sudi
Prayitno,
"Dilema
Hukuman
Mati",
dalam
http://www.legalitas.org/?q=content/dilema-hukuman-mati diunduh pada 30 Nonember 2009.
7
M. Abdul Kholiq, Penjatuhan Hukuman Pidana Mati dalam Rangka Penegakan Hukum
dan Eksistensinya dalam Pembaharuan KUHP Nasional, Skripsi S-1, Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta, 1991.
8
Lihat Badan Pekerja Kontras, "Praktik Hukuman Mati di Indonesia", diakses dari
http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diunduh
pada 30 November 2009.
9
Lihat http://www.legalitas.org/?q=content/dilema-hukuman-mati diunduh pada 30
November 2009.
130
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
mati di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat pada tahun-tahun
terakhir.10
Namun, seiring dengan maraknya gagasan humanisme atau nilai-nilai
kemanusiaan universal yang merebak seusai perang dunia kedua, adanya
hukuman mati menjadi tidak logis lagi dalam kehidupan modern saat ini.11
Dengan kata lain, menurut para pembela HAM, dinamisasi hukum pidana di dunia
saat ini telah bergeser dari teori pembalasan ke teori rehabilitasi, di mana teori
tersebut bersifat clinic treatment.12
Pada akhirnya, muncullah perdebatan di kalangan masyarakat seputar perlu
tidaknya penerapan hukuman mati di Indonesia saat ini.13 Alih-alih menemukan
titik temu atau kesepahaman, perdebatan seputar hukuman mati, justru kian
meruncing. Mereka kian kukuh dengan argumennya masing-masing, bahkan
cenderung ekstrem, baik yang mendukung atau menolak hukuman mati.14
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, penulis berasumsi bahwa ada
hal yang menarik untuk dikaji, yaitu sejauh mana demokrasi di Indonesia mampu
mengakomodasi dua kepentingan yang saling berlawanan untuk kemudian mampu
melahirkan keputusan demokratis yang bisa diterima oleh warga negara dan
masyarakat secara umum.
Perspektif HAM vis a vis Hukum Islam
Salah satu alasan yang menjadikan hukuman mati sebagai polemik dalam
wacana hukum dan HAM di dunia modern saat ini adalah anggapan bahwa
10
Pada periode Januari-Juli 2008 telah ada 6 terpidana mati yang dieksekusi. Pada
periode 18-19 Juli 2008, eksekusi terjadi dengan jarak waktu yang sangat pendek, yaitu tidak lebih
dari satu jam. Bahkan di bulan Nopember 2008, kita menyaksikan secara tidak langsung eksekusi
mati Trio Bom Bali I. Hasil keputusan sidang paripurna Komnas HAM tentang Laporan Hasil
Kajian Hukuman Mati dalam Pandangan HAM, tanggal 23-24 Sepetember 2008.
11
J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap
Pembunuhan Berencana, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 202.
12
Indriato Seno Adji, "Hukuman Mati, Antara Kebutuhan dan Perlindungan HAM",
KOMPAS, 29 Februari 2003.
13
J.E. Sahetapi, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, hlm. 215.
14
Kelompok ekstrim pertama terdiri dari kalangan aktivis HAM dan ahli hukum,
sedangkan kelompok ekstrim lainnya diisi oleh penguasa (pejabat negara), kelompok agama, dan
sebagian publik yang mengangap hukuman mati sebagai alternatif penegakkan hukum di
Indonesia. Badan Pekerja Kontras, "Praktik Hukuman Mati di Indonesia", diakses dari
http://www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia.pdf, diunduh
pada 30 November 2009.
131
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
hukuman mati itu tidak manusiawi.15 Di saat yang bersamaan, gagasan untuk
mempertahankan hukuman mati ternyata kian eksis dengan didukung fakta-fakta,
di mana kejahatan semakin kompleks dan meresahkan masyarakat.16
1.
Perspektif HAM
Munculnya gugatan terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia
secara lebih rinci didasarkan atas pemikiran sebagai berikut: Pertama,
hukuman mati saat ini tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan
masyarakat modern kerena menyerahkan keputusan hidup-mati seseorang
ke tangan hakim yang tidak luput dari kesalahan. Kedua, hukuman mati
tidak selalu efektif sebagai salah satu upaya pencegahan atau membuat
orang jera untuk melakukan kejahatan. Ketiga, atas dasar pertimbangan
kemanusiaan, hukuman mati melanggar nilai-nilai HAM yang menutup
kesempatan seorang terpidana untuk memperbaiki diri.17 Dari sini, para
aktivis HAM menilai hukuman mati merupakan bentuk peninggalan masa
lalu yang harus ditinggalkan. Meski bukan tindakan yang menentang hak
hidup secara langsung, namun penerapan hukuman mati sesungguhnya
merupakan bentuk tindak pembunuhan yang telah direncanakan atas nama
hukum (negara).18
Bagi kelompok yang kurang sepaham dengan hak asasi manusia
universal menganggap bahwa hak asasi manusia di Indonesia harus
menghormati budaya lokal dan agama yang masih menganut hukuman mati.
Di sini terjadi deviasi dalam penafsiran terhadap hak asasi manusia. Paham
hak asasi manusia yang mendasarkan pada cultural realivity kembali hidup
meskipun berbenturan dengan faham universal human rights. Penghapusan
15
Berbagai kritik yang tajam diarahkan terhadap penjatuhan hukuman mati, bahkan
muncul gerakan abolisionis yang menentang hukuman mati. Lihat Khaeron Sirin, “Liku-liku
Hukuman Mati di Indonesia”, Republika, tanggal 28 Agustus 2006.
16
Adnan Buyung Nasution dalam Muhadi Zainal, Pidana Mati Dihapuskan atau
Dipertahankan?, (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1984), hlm. 28., lihat juga M. Abdul Kholiq,
Kontroversi Hukuman Mati dan Kebijakan Regulasinya dalam RUU KUHP (Studi Komparatif
Menurut Hukum Islam), dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustium, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2007), hlm. 187.
17
Lihat Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta: Aksara Press Persada, 1985),
hlm. 99. Lihat pula Usman Hamid, "Hukuman Mati Bukan Sekadar Penerapan Hukum Positif",
Kompas, 28 Februari 2008.
18
Barda Nawawi Arief, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, (Semarang: CV Ananta, 1994), hlm. 18.
132
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
terhadap hukuman mati telah mulai ada sejak tahun 1764 yang dilakukan
oleh Cesare Beccaria dalam bukunya On Crimes and Punishment, yang
menyatakan :
“Capital punishments, was both inhumane and ineffective: an
unacceptable waepon for a modern enlighneted state to employ,
and less effective than the certainy of imprisonment. Futhermore,
that capital punishment was counterproductive if the purpose of
law was to impart a moral conception of the duties of citizens to
each other. For, if the state were to resort to killing in order to
enforce its will, it would legitimize the very behavirior which the
law sought to repress, namely thr use of deadly force to settle
disputes.”19
Dari perspektif ini, penerapan hukuman mati dapat digolongkan
sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang
berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”20.
Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 6 ayat (1)21 dan Pasal 722 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights-ICCPR)23 dan dikuatkan dengan Protokol Opsional
Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik
19
Argumen Beccaria ini sangat menarik. Pembunuhan yang banyak terjadi dan terus skan
terjadi. Penjatuhan hukuman mati oleh negara akan memberi justifikasi terhadap serangkaian
pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang partikelir, jadi teori balas dendam, an eye for an
eye mendapatkan legitimasi. Dalam kontek pemidanaan teori balas dendam ini dianggap
ketinggalan jama. Namun pemidanaan di Indonesia sebenarnya bukan didasari atas balas dendam,
tetapi rehabilitasi, reedukasi dan reintegrasi di masyarakat.
20
Karena Universal Declaration of Human Right tidak ada penjelasan, maka sumber
penjelasan tersebut ada pada pendapat para pembuatnya. Eleanor Roosevelt dan Rene Cassin, dua
orang dari perumus Universal Declaration of Human Right mengatakan bahwa hak untuk hidup
itu tidak mengenal pengecualian, dan tujuan pasal hak untuk hidup itu adalah agar kelak hukuman
mati itu dapat dihapuskan.
21
Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan
mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.
22
Pasal 7 ICCPR berbunyi, "Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara
kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina."
23
ICCPR ini masih memiliki ruang untuk hukuman mati terutama di negara-negara yang
masih menjatuhkan hukuman mati pada the most serious crimes terutama yang berkaitan dengan
kejahatan genosida. Namun apabila dibaca pada keseluruhan Pasal 6 ICCPR akan terlihat bahwa
hak untuk hidup adalah semangat yang utama yang harus dihormati sampai dia betul-betul manjadi
hak asasi yang absolut yang bersifat non-derogable dalam keadaan apapun.
133
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.24 Jadi, hukuman mati pada
dasarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan (HAM) dan
harus dihilangkan atau dihapus.25
Hukuman mati mungkin akan membuat kejahatan si pelaku
terbalaskan, setidaknya bagi keluarga korban, dan akan membuat orang lain
takut melakukan kejahatan serupa, namun hal itu jelas tidak akan dapat
memperbaiki diri si pelaku, karena kesempatan hidup sudah tidak ada lagi.
Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat
merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain,
misalnya dihukum seumur hidup atau penjara.26 Dari sinilah, hukuman mati
dinilai sudah tidak tidak efektif lagi sebagai sebuah bentuk pemidanaan
yang menjerakan, karena sistem pemidanaan modern terus mengarah ke
upaya merehabilitasi terpidana (treatment).27
2.
Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum Islam, hukuman mati merupakan bentuk hukuman
maksimal yang memiliki dasar hukum yang kuat.28 Ini menunjukkan bahwa
hukum Islam masih mempertahankan hukuman mati untuk tindak kejahatan
tertentu, di mana esensi penerapannya bertujuan untuk melindungi
kepentingan individu dan masyarakat dari tindak kejahatan yang
membahayakan sendi-sendi dasar kemanusiaan.29
Dalam hal ini, hukuman mati bisa ditemukan dalam tiga bentuk
pemidanaan, yaitu qishash, had (hudud) dan ta'zir. Dalam masalah qishash,
ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku pembunuhan yang disengaja
atau direncanakan, di mana pelaku pembunuhan yang disengaja juga harus
24
Tim Imparsial, “Jalan Panjang Menghapus Praktek Hukuman Mati; Sebuah Studi
Kebijakan di Indonesia", Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004. Tidak dapat dipungkiri bahwa
Indonesia belum meratifikasi Second Optional Protocol yang secara tegas melarang hukuman
mati., tetapi penafsiran otentik historis dari para pembuat instrumen dan hak asasi manusia akan
membawa kita kepada semangat melawan hukuman mati.
25
Tim Imparsial, Laporan Hasil Penelitian, 24 Juni 2004.
26
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, hlm. 216-217.
27
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, hlm. 99.
28
Lihat misalnya QS. Al-Baqarah: 179.
29
Lihat Abd al-Wahab al-Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1992),
hlm. 198. Lihat pula Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah Muhaimar, 1957),
hlm. 351.
134
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
menanggung balasan hukum yang sepadan yang ia perbuat.30 Dalam
masalah hudud, ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku zina
muhshan, hirabah, al-bagyu, dan riddah. Sedangkan dalam masalah ta‟zir,
ancaman hukuman mati ditujukan bagi pelaku kejahatan di luar qishash dan
hudud yang oleh negara (penguasa) dianggap sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup dan kemaslahatan masyarakat.31
Hukuman mati yang diberlakukan untuk kasus-kasus tertentu, semisal
narkoba, terorisme dan korupsi, termasuk kategori hukuman ta‟zir yang
disebut dengan „al-qatlu al-siyasi‟, yaitu hukuman mati yang tidak diatur
oleh al-Quran dan al-Sunnah, tapi diserahkan kepada penguasa atau negara,
baik pelaksanaan ataupun tatacara eksekusinya.32 Hukuman maksimal
(mati) tersebut boleh diberlakukan oleh suatu negara jika dipandang sebagai
upaya efektif menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat.33
Adanya ancaman hukuman mati dalam Islam, menurut Barda Nawawi
Arief,
pada
hakikatnya
bukanlah
sarana
utama
untuk
mengatur,
menertibkan, atau melindungi masyarakat, tetapi lebih merupakan jalan
hukum terakhir, seperti halnya amputasi dalam kedokteran yang sebenarnya
bukan obat utama, tetapi sebuah pengecualian sebagai sarana pengobatan
terakhir.34 Dengan demikian, ada kriteria-kriteria tertentu yang diatur dalam
hukum Islam yang memungkinkan suatu tindak kejahatan tersebut dapat
dijatuhi hukuman mati.35
Pergulatan Hukuman Mati dalam Aksi
30
Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri' al-Jinaiy al-Islami: Muqaranah bi al-al-Qanun alWadh'i, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), Juz I, h. 663.
31
Ahmad Fathi Bahantsi, al-Qishaashu fil Fiqhi al-Islaamie, asy-Syirkah al- „Araabiyyah
lit-Tibaa‟ah wan-Nasyr, Kairo, 1964, hlm. 11, baca pula Muhammad Rawwas Qol‟ahjie, Mu‟jam
al-Lughat al-Fuqahaa‟ („Arabie – Inklizie – Afransie), Daar an-Nafaaisi, Beirut, 1996, hlm. 287.
32
Hukuman maksimal (mati) tersebut boleh diberlakukan oleh suatu negara jika
dipandang sebagai upaya efektif menjaga ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Khaeron Sirin,
“Eksekusi Mati Trio Bom Bali”, Koran Tempo, 25 Nopember 2008.
33
Khaeron Sirin, "Eksekusi Mati Trio Bom Bali", Koran Tempo, 25 Nopember 2008.
34
Dengan kata lain, muncul semacam budaya masyarakat modern yang memandang
hubungan seksual, yang dilakukan atas dasar suka sama suka, sebagai hal normal dan hak setiap
individu yang tidak dapat dipertentangkan dengan hukum. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya, 1996), hlm. 99.
35
Muhammad Zafrullah Khan, Islam and Human Rights, (Islamabad: Islam International
Publications Ltd, 1988), hlm. 74.
135
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
Munculnya perdebatan tentang hukuman mati sebagaimana telah dijelaskan
pada akhirnya melahirkan setidaknya dua kelompok besar, yaitu kelompok yang
ingin menghapus hukuman mati dan kelompok yang mendukung penerapan
hukuman mati. Bagi kalangan yang menolak (menghapus), hukuman mati
merupakan bentuk pembunuhan yang dilegalkan oleh negara dan hal ini
melanggar hak asasi manusia, karena hak hidup adalah hak dasar yang tidak bisa
dikurangi dengan alasan apapun (non-derogable rights) oleh individu. Sedangkan
kelompok yang mendukung, hukuman mati adalah satu bentuk hukuman yang
masih dibutuhkan untuk membuat efek cegah dan mengurangi kejahatankejahatan yang tergolong besar atau luar biasa di tengah masyarakat.
1.
Gerakan Menghapus Hukuman Mati
Lembaga HAM internasional secara tegas menyatakan hukuman mati
bertentangan dengan prinsip yang diatur di dalam Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights, ICCPR).36 Para aktivis HAM dan beberapa organisasi kemanusiaan
internasional menuntut penghapusan hukuman mati, karena dinilai
melanggar hak hidup terpidana, menutup kesempatan untuk memperbaiki
kesalahan dan bersosialisasi kembali ke masyarakat.
Beberapa aktivis HAM menilai bahwa hukuman mati merupakan
hukuman klasik yang sudah ketinggalan zaman (out of date) atau bentuk
peninggalan masa lalu (a vestig of our savage past) yang harus dihindari.37
Sifat penghukuman yang keras dan represif tidak mampu memberikan solusi
bagi permasalahan pidana modern dan sudah tidak relevan lagi dengan
konteks modernitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.38
Secara umum, beberapa instrumen internasional yang melarang adanya
hukuman mati di dunia adalah:
a. Universal Declaration of Human Rights, tahun 1948, Pasal 3.
36
Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa
setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang
dapat mencabut hak itu. Tim Imparsial, Terorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi, hlm. 8.
37
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, hlm. 18.
38
William Schabas, "Islam and the Death Penalty", dalam William and Mary Bill of
Rights Journal, Desember 2000, hlm. 223.
136
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
b. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), tahun 1966,
Pasal 6.39
c. Second Optional Protocol of ICCPR aiming of The Abolition of Death
Penalty, tahun 1990.40
d. Protocol No. 6 European Convention for the Protection Human Rights
and Fundamental Freedom, 1950 (berlaku mulai 1 Maret 1985).41
e. The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998.42
Perjuangan para pembela HAM untuk menghapus hukuman mati lebih
didasarkan pada doktrin kemanusiaan, yaitu cinta kasih kepada sesama.
Dalam hal ini, hukuman mati justru akan memunculkan lingkaran
kekerasan, di mana setiap orang akan berada pada situasi ingin balas
dendam, terluka dan rasa trauma. Dalam perspektif HAM, jika kekerasan
dibalas dengan kekerasan, maka hasilnya adalah kejahatan terus menerus.
Berbeda jika, kekerasan dibalas saling memaafkan dan upaya cinta kasih.43
Jika konstitusi negara telah mengakui bahwa hak untuk hidup tidak dapat
dikurangi atas alasan apapun, maka penghapusan penerapan hukuman mati
adalah sebuah kewajiban konstitusional.44
2.
Gerakan Mendukung Hukuman Mati
Selama ini, banyak tuduhan terhadap konsep hukuman mati, utamanya
yang diatur dalam hukum Islam, yang seringkali digambarkan sebagai
sesuatu yang kejam, tidak manusiawi dan sadis.45 Kesan mengerikan di
balik hukuman mati tersebut adalah kesan populer yang menyelimuti
penerapan hukum pidana Islam di masyarakat modern ini.
Kesan ataupun kritik tersebut, yang awalnya dilancarkan oleh Barat,
bukan semata karena mereka tidak suka terhadap konsep hukuman fisik,
39
Kovenan ini merupakan derivasi dari DUHAM bahwa hak untuk hidup termasuk dalam
non derogable rights atau hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hingga 2
November 2003, tercatat 151 negara telah meratifikasi.
40
Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati. Hingga saat ini, tercatat 50
negara telah meratifikasi.
41
Instrumen ini bertujuan untuk penghapusan hukuman mati di kawasan Eropa.
42
Pasal 7 (tujuh) instrumen atau ketentuan tersebut tidak mengatur hukuman mati sebagai
salah satu cara penghukuman. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi.
43
"Eksekusi Hukuman Mati Harus Dikaji Ulang", Kompas, 28 November 2008.
44
Tim Imparsial, Praktek Hukuman mati, hlm. 21.
45
Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam, (Lahore: Kazi Publication, 1985),
hlm. 30.
137
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
tetapi lebih disebabkan perasaan moral mereka yang belum terbangun
seutuhnya.46 Adanya kritik tersebut juga dikarenakan tidak disadarinya
alasan keagamaan (spriritual) dari adanya hukuman tersebut, yaitu bahwa
hukuman bukanlah dijatuhkan secara kejam oleh seseorang kepada orang
lain, tetapi semata-mata demi melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam doktrin hukum agama (Islam) yang terlingkup dalam
maqashid al-syariah.47
Dalam hal ini, hukum Islam sangat memperhatikan nilai-nilai dasar
kemanusiaan di dunia yang terlingkup pada lima hal, yaitu agama (al-din),
jiwa (al-nafs), harta (al-mal), akal (al-aql), dan keturunan (al-nasl).
Perlindungan hak-hak ini sama sekali bukan karunia penguasa atau karunia
masyarakat, tetapi merupakan karunia Allah Swt. Demi memelihara kelima
hak dasar kemanusiaan tersebut, hukum Islam secara konsekuen
mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman pokok, sekaligus
hukuman maksimal.
Dari sinilah, para pendukung hukuman mati, yang sebagian besar
terdiri dari masyarakat Islam, mendukung penerapan hukuman mati sebagai
hukuman maksimal di Indonesia. Selain didasarkan atas doktrin keagamaan,
hukuman mati juga didasarkan alasan untuk melindungi masyarakat umum
dan menciptakan ketentraman dan kemaslahatan yang lebih luas secara lebih
efektif.
Perspektif Demokrasi
Indonesia termasuk salah satu negara yang masih mempertahankan
hukuman mati dalam sistem hukum positifnya,48 bahkan mencantumkannya
dalam banyak undang-undang.49 Hanya saja, sebagai negara yang menjunjung
tinggi nilai-nilai HAM, negara Indonesia memberlakukan hukuman mati secara
46
Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam, hlm. 31.
Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam, hlm. 32.
48
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati, hlm. 75.
49
Terkait hak asasi manusia termaktub dalam Bab XA Pasal 28A UUD 1945
(amandemen). Dalam perspektif yang holistik Pasal 28A dan Pasal 28I ini adalah pasal-pasal yang
berada dalam satu payung hak asasi manusia yang dalam teori yang dikenal sebagai „nonderogable rights‟ sesuai dengan frasa „hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun‟. Jadi, hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikompromikan dengan hakhak yang lain, dan karena hak untuk hidup tersebut bersifat „paramount‟, hak untuk hidup adalah
puncak hak asasi yang merupakan induk dari semua hak asasi yang lain.
47
138
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
khusus, hati-hati, dan selektif.50 Penerapan hukuman mati ini secara filosofis
diakui dan diakomodasi oleh konsep negara hukum Pancasila, meski nantinya bisa
saja hukuman mati bersifat esepsional ataupun pidana bersyarat.51
Dalam hal ini, penetapan hukuman mati dalam beberapa UU di Indonesia
pada dasarnya telah melalui pembahasan di lembaga legislatif, yang notabene
adalah para wakil rakyat, sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Jika
hukuman mati tetap dipertahankan, maka itulah pilihan bangsa Indonesia yang
harus dihormati dan dipatuhi. Jika hukuman mati itu tidak disetujui lagi, maka
rakyatlah yang harus menghapusnya, bukan para ahli, apalagi pihak (negara) lain.
Menurut van Bemmelen, mengutip pendapat J.J. Rousseau, pada dasarnya
hukum secara menyeluruh bersandar pada suatu perjanjian masyarakat yang di
dalamnya dinyatakan kehendak bersama.52 Jika terdapat tingkah laku yang
menurut kehendak bersama tersebut harus dipidana, maka hal itu sejak awal harus
diuraikan atau ditulis dalam undang-undang. Penguraian yang rinci dimaksudkan
untuk menghindari pelanggaran kebebasan individu, sebab dalam perjanjian
masyarakat, setiap orang hanya bersedia melepaskan sebagian kecil kebebasannya
ke dalam wadah bersama itu.53 Begitu pula dengan hukuman mati. Sekiranya
hukuman mati tersebut masih layak diberlakukan dan diterima oleh kehendak
bersama, maka hukuman tersebut harus dituangkan dalam bentuk hukum tertulis
(undang-undang).
Hal itu berarti bahwa ketentuan hukuman mati dalam undang-undang di
negara Indonesia pada dasarnya telah sesuai dengan teori perjanjian masyarakat
ataupun konsitusi. Maka, sangat relevan mengaitkan ketentuan Pasal 28A dan
Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 dengan Pasal 28J UUD 1945. Dalam hal ini, Pasal
28J UUD 1945 menentukan:
50
Menurut Mardjono Reksodiputro, hukuman mati di Indonesia saat ini masih diperlukan
tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hatihati, selektif dikhusus pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majlis hakim”.
Lihat Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat
Hakim Konstitusi, (Jakarta: Gramedia Kompas, 2007), h. 335.
51
Artinya, dalam jangka waktu tertentu seseorang yang dijatuhi pidana mati, misalnya,
dievaluasi selama beberapa tahun, terserah lima atau sepuluh tahun. Kalau dia menunjukkan
perilaku yang baik dan positif, bisa diubah menjadi pidana seumur hidup.
52
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I; Hukum Pidana Material Bagian Umum,
(Bandung: Bina Cipta, 1987), Edisi Indonesia, hlm. 50.
53
Ibid., hlm. 51
139
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
1.
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.54
Dengan demikian, ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945
tersebut keberlakuannya dibatasi oleh ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Karena itu,
untuk melindungi kepentingan hukum nasional yang lebih besar, seharusnya
dalam memahami ketentuan pidana atau hukuman mati di Indonesia tidak hanya
membaca ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I UUD 1945, tetapi harus pula
memperhatikan dan mengaitkannya dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945.
Dengan demikian, perdebatan hukuman mati dalam konteks demokrasi
hendaknya lebih ditempatkan sebagai komoditas politik hukum ketimbang
persoalan "ideologis-keagamaan" tertentu (Islam). Munculnya dukungan kuat dari
kalangan masyarakat terhadap eksistensi penerapan hukuman mati di Indonesia
harus ditempatkan dalam konteks demokrasi, bukan dalam kerangka perjuangan
ideologis. Artinya, hukuman mati yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah
hasil dari proses-proses politik hukum dan demokrasi modern.
Masa Depan Hukuman Mati
Dalam konteks politik hukum dan demokrasi, hukum Islam merupakan
salah satu pilar penting, selain hukum Barat dan hukum Adat, dalam pembentukan
sistem hukum di Indonesia. Karenanya, wajar dan sah jika hukum Islam ikut andil
dan memperjuangkan hukuman mati untuk tetap eksis di Indonesia.55 Di sisi lain,
para aktivis HAM yang mengusung nilai-nilai humanisme juga berkepentingan
54
Lihat Pasal 28J UUD 1945 hasil Amandemen.
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa,
1996), Ed. II, hlm. 33.
55
140
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
untuk menghilangkan hukuman mati dari ketentuan hukum dan perundangundangan di Indonesia demi melindungi hak hidup warga negara secara mutlak.56
Sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih
berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski
tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.57 Dalam
hal ini, adanya ancaman hukuman mati dimaksudkan untuk memberi efek
psikologis dan shock therapy bagi masyarakat.58
Adanya ketentuan hak hidup dalam konstitusi kita dapat dibatasi dan bahkan
dihilangkan pelaksanaannya dengan syarat: a). Sesuai dengan undang-undang; b).
Sesuai dengan pertimbangan moral; c). Sesuai dengan nilai agama; dan d). Sesuai
dengan keamanan dan ketertiban umum. Jadi, hukuman mati tetap diperlukan
karena tindakan dari pelaku sendiri yang tidak lagi memperhatikan aspek
kehidupan yang berperikemanusiaan (Sila kedua dari Pancasila) dan kehidupan
yang penuh dengan berkeadilan sosial (Sila kelima dari Pancasila).
Ke depan, pemberlakuan hukuman mati hendaknya tidak diperbandingkan
atau dihadapkan (vis a vis) dengan nilai HAM pelaku tindak pidana itu, tetapi
harus dilihat dari kepentingan masyarakat banyak.59 Artinya, adanya hukuman
mati di Indonesia harus dimaknai bahwa kita, sebagai sebuah komunitas bangsa,
memang telah sepakat untuk memberikan hukuman tersebut.
Penutup
Kajian analisis terhadap hukuman mati di Indonesia tentunya tidak bisa
dipisahkan dengan konteks demokrasi di Indonesia. Keterkaitan antara keduanya
tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini, mengkaji penerapan hukuman mati akan
berujung pada produk yang berupa peraturan perundang-undangan yang notabene
merupakan konsekuensi logis dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
56
Secara kasat mata, gagasan dan perjuangan untuk menghapus hukuman mati di
Indonesia bisa dilihat dari arah perjuangan yang selama ini dilakukan oleh Komnas HAM dan
Kontras (komisi untuk orang hilang dan korban kekerasan) dan lembaga Imparsial (lembaga yang
bergelut di bidang perjuangan HAM).
57
Khaeron Sirin, "Liku-liku Hukuman Mati", Republika, 29 Agustus 2006.
58
Hal ini disebabkan hukuman badan yang diberlakukan selama ini seringkali masih
belum efektif untuk memberi efek psikologis dan shock therapy bagi masyarakat, khususnya
pelaku
tindak
pidana
korupsi.
http://nasional.kompas.com/read/xml/2008/11/28/11000584/indonesia.masih.butuh.hukuman.mati
59
http://nasional.kompas.com/read/xml/2008/11/28/11000584/indonesia.masih.butuh.hukuman.mati.
Diunduh pada tanggal 6 Juli 2011.
141
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
Menyikapi adanya perdebatan bahkan pertentangan, kita perlu melakukan
obyektifikasi hukuman mati dalam konteks demokrasi di Indonesia. Artinya, perlu
dilakukan kajian secara mendalam tentang eksistensi hukuman mati dengan
melepaskan diri dari pengaruh atau kepentingan yang meliputinya, baik itu agama
(Islam) ataupun HAM. Dalam hal ini, hukuman mati mesti ditempatkan dalam
perspektif yang lebih luas dan lintas kepentingan, sehingga ketika hukuman mati
itu diterapkan atau tidak diterapkan, maka hal itu tidak berarti mengalahkan atau
menindas salah satu kepentingan. Kajian hukuman mati ini tentunya dilakukan
dengan menggunakan bingkai demokrasi dan demokratisasi yang diharapkan bisa
melahirkan analisis dan gagasan yang tidak lepas dari nilai-nilai demokrasi di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Indriato Seno, "Hukuman Mati, Antara Kebutuhan dan Perlindungan
HAM", KOMPAS, tanggal 29 Februari 2003.
Adnan Buyung Nasution dalam Zainal, Muhadi, 1984, Pidana Mati Dihapuskan
atau Dipertahankan?, Yogyakarta, Hanindita Offset.
al-Khalaf, Abd al-Wahab, 1992, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kuwait, Dar al-Qalam.
Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijakan dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Semarang, CV Ananta.
Asshiddiqie, Jimly, 1996, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung,
Angkasa.
Audah, Abd al-Qadir, 1992, al-Tasyri' al-Jinaiy al-Islami: Muqaranah bi al-alQanun al-Wadh'i, Beirut, Muassasah al-Risalah.
Bahantsi, Ahmad Fathi, 1964, al-Qishaashu fil Fiqhi al-Islaamie, asy-Syirkah al„Araabiyyah lit-Tibaa‟ah wan-Nasyr, Kairo.
Hamid, Usman, "Hukuman Mati Bukan Sekadar Penerapan Hukum Positif",
Kompas, 28 Februari 2008.
Hamzah, Andi dan Simanglipu, A., 1985, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu,
Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Khan, Muhammad Zafrullah, 1988, Islam and Human Rights, Islamabad, Islam
International Publications Ltd.
142
Endang Yulianti, Hukuman Mati dalam Wacana Demokrasi
Kholiq, M. Abdul, 2007, Kontroversi Hukuman Mati dan Kebijakan Regulasinya
dalam RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam), Jurnal
Hukum Ius Quia Iustium, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia.
Qol‟ahjie, Muhammad Rawwas, 1996, Mu‟jam al-Lughat al-Fuqahaa‟ („Arabie –
Inklizie – Afransie), Beirut, Daar an-Nafaaisi.
Salmi, Akhiar, 1985, Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta, Aksara Press Persada.
Sahetapi, J.E., 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati
terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta, Rajawali.
Sirin, Khaeron, “Liku-liku Hukuman Mati di Indonesia”, Republika, tanggal 28
Agustus 2006.
van Bemmelen, J.M., 1987, Hukum Pidana I; Hukum Pidana Material Bagian
Umum, Bandung, Bina Cipta.
William Schabas, "Islam and the Death Penalty", dalam William and Mary Bill of
Rights Journal, Desember 2000.
Zahrah, Muhammad Abu, 1957, Ushul al-Fiqh, Kairo, Maktabah Muhaimar.
____________, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra
Aditya.
____________, “Eksekusi Mati Trio Bom Bali”, Koran Tempo, 25 Nopember
2008.
Karya Ilmiah
_____________, 1991, Penjatuhan Hukuman Pidana Mati dalam Rangka
Penegakan Hukum dan Eksistensinya dalam Pembaharuan KUHP
Nasional, Skripsi S-1, Yogyakarta, Fakultas Hukum UII.
_____________, makalah disampaikan dalam seminar Internasional, Discussion
on Death Penalty Contemporary Challenges, Delegation of European
Commission and Departemen of Philosofy Faculty of Humanities
University of Indonesia, di Hotel Mandarin Jakarta, 14 Desember
2004.
143
Download