Kotbah pada Perjamuan Kudus penutupan semester FTh UKDW

advertisement
"Apa semuanya ini percuma?" Kotbah pada Perjamuan Kudus
penutupan semester FTh UKDW, Selasa, 8 MEI 2012
“Apa semuanya ini percuma? “Kotbah pada kebaktian Perjamuan Kudus penutupan semester
FTh UKDW, Selasa, 8 Mei 2012, jam 7.30-9.00
Teks: Wahyu 14:6-13
Nas: Wahyu 14:13, “Berbahagialah orang-orang yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini”.
1. Sepanjang semester ini setiap minggu kita bersama-sama telah berusaha memahami
kitab Wahyu dalam Pemahaman Alkitab, atau yang sekarang disebut “Diskusi
Teologis”. Yang menarik kali ini adalah bahwa yang membawakan bahan adalah
mahasiswa (s1, s2 dan s3), sedangkan yang memberi tanggapan adalah para dosen.
Saya tidak bermaksud memberi rangkuman atas bahan-bahan yang sudah diberikan
sebelumnya. Dalam pendahuluan ini saya hanya memberi sedikit kesan saya, bahwa
agaknya kita semua tidak terlalu “happy” dengan kitab Wahyu. Tetapi tidak usah
merasa terlalu bersalah karena hal ini, sebab memang tradisi Reformasi tidak pernah
terlalu “happy” dengan kitab Wahyu. Pada jaman sebelum reformasi Calvin, di
Muenster terjadilah pemberontakan kaum Anabaptis, yang menganggap bahwa kiamat
sudah dekat dan kerajaan Allah sudah akan tiba, sehingga suasana menjadi kacau. Hal
ini sudah diceritakan oleh pak Paulus (yang adalah keturunan Anabaptis), jadi tidak
akan saya ulangi lagi. Saya hanya mau membagikan bahwa reformator Calvin si
penulis buku yang menjadi standard untuk orang Calvinis, yaitu Institutio Religionis
Christianae, mengalamatkannya kepada raja Perancis, Francois I, sebagai sebuah usaha
membela diri, yaitu bahwa orang Calvinis tidak sama dengan orang Anabaptis yang
suka memberontak itu (Hal ini dapat anda baca dalam pendahuluan buku tsb yang
berupa sebuah surat kepada sang raja. Di situ dia tidak menyebut secara eksplisit
kaum Anabaptis, tetapi dar i deskripsinya mengenai orang-orang yang dianggapnya
pengacau itu kita bisa menduga bahwa yang dimaksudkannya adalah kaum
Anabaptis). Kalau orang Anabaptis menggunakan kitab Wahyu, orang Calvinis tidak
menggunakan kitab Wahyu. Namun patut dicatat bahwa sesudah peristiwa Muenster,
kaum Anabaptis secara total berubah haluan: kalau tadinya mereka violent sekarang
mereka non-violent, dan non-violent itu dijadikan ukuran mutlak apakah seseorang itu
Anabaptis atau tidak.
2. Sejak itu orang Calvinis tidak atau jarang menggunakan kitab Wahyu. Apalagi ketika
pada abad 19, orang di USA (kaum “Millerites”) mulai menggunakan lagi kitab Wahyu
untuk menghitung-hitung kapan jadinya kiamat, lebih-lebih lagi orang Calvinis tidak
membaca kitab Wahyu dan mempersalahkan semua pembaca kitab Wahyu sebagai
“salah mengerti” kitab Wahyu. Karena selalu saja ada orang yang happy dengan kitab
Wahyu dan rasa happy ini berkembang menjadi hobby menghitung kapan datangnya
hari kiamat, maka secara hermeneutis, orang Calvinis tidak mempedulikan kiamat.
Mereka mengakui bahwa Kristus akan datang untuk kedua kalinya dan akan
menghakimi orang yang hidup dan yang mati, tetapi kapan itu terjadi masa bodohlah
dan ngapain mikirin kiamat kayak orang yang nggak ada kerjaan. Nah, ada juga orangorang yang tidak senang kepada kitab Wahyu bukan karena membuka kesempatan
untuk menyongsong kiamat, tetapi karena isinya terlalu violent: hukuman-hukuman
terhadap lawan-lawan Anak Domba digambarkan dengan fantasi yang bermandikan
darah, dunia penuh dengan mayat-mayat yang bergelimpangan seperti di ladang
pembantaian. Yesus yang di dalam Injil-Injil adalah Mesias Pembawa Damai yang tidak
melawan ketika dikerasi, di dalam kitab Wahyu berubah menjadi Anak Domba yang
dari dibantai menjadi pembantai. John Dominic Crossan yang terkenal itu dalam
bukunya God and Empire misalnya mengajak pembaca kembali saja kepada Yesus
sejarah, daripada menyembah Kristus iman yang sudah dikonstruksikan secara sangat
kejam di dalam kitab Wahyu. Nah, sekarang pertanyaannya adalah apa memangnya
nggak ada lagi hikmah yang bisa diambil dari kitab Wahyu untuk keperluan
pembangunan iman kita sekarang ini? Saya yakin kok masih ada, meskipun andaikata
kita tidak lagi memperhatikan tema kiamat dan tema kekerasan di dalam kitab
tersebut.
3. Salah satu tema positif yang sering digali adalah ketabahan dan/atau ketekunan, yang
dalam bahasa Yunani disebut hupomone. Salah seorang mahasiswa STT DW (sewaktu
belum menjadi fakultas) telah menulis skripsi dari kitab Wahyu, kemudian skripsi itu
dibukukan dengan judulTeologi Ketabahan (sekarang penulisnya telah menjadi
pendeta yang termasyur di ibukota). Jadi dalam menghadapi pelbagai macam
tantangan berat, bahkan tantangan maut, yang diharapkan dari jemaat Kristus adalah
kemampuan untuk bertahan, tabah dalam penderitaan. Kebetulan satu ayat sebelum
nas kita, yaitu Wahyu 14:12 mengemukakan hal itu, “yang penting di sini ialah
ketekunan orang-orang kudus, yang menuruti perintah-perintah Allah dan iman
kepada Yesus”. Tetapi ayat selanjutnya yaitu nas kita berbicara mengenai mereka yang
sudah mati, tetapi berbahagia. Bagaimana menghubungkan ketekunan atau ketabahan
dengan kematian? Tentu saja anda bisa mengatakan bahwa kematian dapat berkaitan
dengan ketabahan, karena kalau mati, kita akan mendapatkan ganjaran yang istimewa
dari Tuhan, yaitu kebahagiaan. Tetapi saya pikir ketabahan hanya bermakna kalau
dihubungkan dengan orang hidup bukan dengan orang mati. Maka di sini saya
mencoba melengkapi pemikiran mengenai ketekunan dan ketabahan itu dengan tema
kematian.
4. Seperti telah diinformasikan dalam presentasi para penyaji dan penanggap, konteks
historis kitab Wahyu adalah ketujuh jemaat yang berada di Asia Kecil. Ketujuh jemaat
berada di tujuh kota Yunani yang bersifat federasi (Yun: koinoon) dan merupakan
koloni Romawi. Di sekolah kita belajar bahwa dijajah itu tidak baik, selalu diperas
habis oleh si penjajah. Ya memang umumnya begitu, tetapi kadang-kadang kalau yang
dijajah pintar, koloni bisa juga memanfaatkan si pengkoloni. Usahakan aja agar kita
meniru Roma sampai habis-habisan, lebih Roma daripada Roma, sehingga mereka
terbuai dan dalam keadaan seperti itu kita bisa membujuk mereka untuk
mendapatkan keuntungan-keuntungan bisnis dan finansial yang aduhai. Begitulah
ketujuh kota itu melakukan kebijakan menjilat kepada Roma. Semua penguasa Roma
diangkat menjadi dewa dan di kota-kota itu didirikanlah pusat-pusat pemujaan kaisarkaisar Roma. Tentu saja semua penduduk federasi harus bersatu dalam menjilat ini,
tidak boleh ada yang mbalelo. Nah, ketujuh jemaat ini mengalami pergumulan:
menyembah kaisar atau menyembah Tuhan? Ya tentu saja menyembah Tuhan, tetapi
kalau begitu harus menghadapi kemarahan koloni. Dalam beberapa tulisan mengenai
penganiayaan terhadap jemaat pada zaman kaisar Nero dan Domitianus, ada yang
mengoreksi gambaran kita mengenai penganiyaan tsb: jangan diartikan bahwa ada
sebuah program politik yang berkesinambungan dari pihak kaisar berupa
penganiayaan terhadap jemaat Kristen. Penganiayaan-penganiayaan tsb bersifat
sporadis dan lebih banyak berupa tekanan mental daripada fisik. Koreksi ini betul,
namun andaikata penganiayaan tsb sporadis, apakah lalu berarti ringan? Saya kira
tidak. Tanyakanlah kepada teman-teman pendeta dan majelis yang mengalami sendiri
penyerbuan massa ke gereja mereka dan membakar gereja itu di hadapan mata
mereka. Saya terus: penganiayaan Nero dan Domitianus bersifat sporadis, tetapi
penganiayaan dari bangsa sendiri di federasi tujuh kota itu (jadi dalam konteks Asia
Kecil dan bukan dalam konteks keseluruhan kekaisaran Romawi) tidak bersifat
sporadis melainkan berkesinambungan, dan banyak korban yang jatuh. Di teks-teks
yang merujuk kepada ketujuh jemaat hal itu dapat dilihat : di jemaat Smirna
nampaknya ada saingan yaitu jemaat Yahudi yang melapor kepada yang berwajib
mengenai sikap jemaat Smirna, sehingga mereka terancam akan menderita, namun
diimbau agar setia sampai mati (Wahyu 2:10). Di jemaat Pergamus ada satu korban
yang mati dibunuh di hadapan jemaat yaitu si Antipas (Wahyu 2:13). Di sini dan di
jemaat Tiatira ada tekanan supaya mereka ambil bagian dalam makanan yang
dipersembahkan pada berhala (baca: kaisar yang didewakan )(Wahyu 2:20). Jemaat
Sardis tinggal sisa-sisa, dan sisa-sisa itupun sudah hampir mati (Wahyu 3:2). Begitu
banyak korban yang jatuh sehingga jemaat menjadi bingung dan putus asa dan
bertanya-tanya apakah semuanya ini percuma saja? Seruan mereka ditampung oleh si
pelihat yang bernama Yohanes di Wahyu 6:10:”…Berapa lamakah lagi, ya Penguasa
yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami
kepada mereka yang diam di bumi?” Berhadapan dengan pertanyaan teodise ini,
teologi ketabahan tidak bisa memberi jawab dan karena itu tidak bisa dijadikan tema
kitab Wahyu. Pertanyaan teodise ini harus dijawab dengan statement atau paling tidak
penguraian yang bersifat teodise pula. Itulah yang dilakukan oleh penulis kitab Wahyu
dengan membayangkan si pelihat Yohanes sedang melihat surga dan apa yang
diputuskan di dalam surga mengenai masa depan dunia ini: Kejahatan adalah sesuatu
yang kongkret dan selalu ada di dalam dunia ini. Tidak heran karena kalau ada Kristus
maka selalu juga ada Antikristus atau si Jajal. Tetapi meskipun kejahatan merupakan
sesuatu yang kongkret dan mendominasi dunia ini, kejahatan tidak kekal dan tidak
bisa mengalahkan kebaikan. Bahkan keadilan akan ditegakkan: mereka yang tadinya
melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak bersalah, akan mengalami kekerasan
yang sama sebagai hukuman terhadap kejahatan yang mereka lakukan. Dalam logika
apokaliptik mulai dari zaman PL sampai PB, kejahatan yang mendominasi dunia selalu
berakhir, karena Tuhan mengakhiri sejarah dunia ini secara tiba-tiba. Kita
mengatakannya kiamat, tetapi secara positif, akhir dari dunia ini berarti akhir dari
kejahatan. Nah ini yang penting: akhir dari kejahatan adalah ditumpasnya kejahatan.
5. Orang beriman harus memisahkan diri dari dunia yang jahat itu. Ada garis batas yang
amat tajam antara kejahatan dan kebaikan, antara “kita” dan “mereka”. Katakanlah
mirip suasana revolusioner, di mana “kita” bertolakbelakang dengan “mereka”
(meskipun sama-sama manusia). Di kitab Wahyu mereka yang dianggap “kita” adalah
semua jemaat yang sudah mati karena penganiayaan, yang jumlahnya diwakili oleh
angka 144.000. Jadi orang beriman di dalam konteks kisah kitab Wahyu sudah
memisahkan diri dari dunia yang jahat melalui kematian mereka sebagai syahid. Itulah
sebabnya mereka disebut sebagai orang yang berbahagia seperti dikatakan dalam nas
kita. Bukan itu saja, bahwa mereka yang mati itu kemudian dimuliakan di surga dan
boleh bergabung dengan paduan suara surgawi yang bernyanyi nyanyian Musa dan
nyanyian Anak Domba seperti juga yang akan kita nyanyikan nanti dalam Doa Syukur
Agung, merupakan tanda bahwa penderitaan dan kematian warga jemaat bukan
merupakan hukuman Tuhan terhadap mereka melainkan sebuah pembenaran Tuhan
terhadap mereka. Mereka yang mati adalah bukan benih gereja seperti kata seorrang
bapa gereja, melainkan wakil gereja, yang telah berhasil mempertahankan kebenaran
sampai bersedia mati untuk itu. Jadi bukan negara yang benar mentang-mentang dia
berkuasa melainkan gerejalah yang benar! Itu bisa kita lihat di Wahyu 13, dan sejak itu
Wahyu 13 merupakan teks penting bagi siapa saja yang berhadapan dengan negara
atau pemerintah yang mengangkat dirinya menjadi seperti Tuhan dalam kuasa yang
totaliter sifatnya, dan merupakan pengimbang yang baik terhadap Roma 13 yang
menganjurkan orang beriman agar setialah kepada para penguasa karena mereka
adalah hamba Allah. Di Indonesia, kita mewarisi Roma 13 dari suasana spiritual jaman
penjajahan. Mestinya karena sekarang jaman poskolonial, teologi kita harusnya teologi
poskolonial, dan untuk itu Wahyu 13 bisa menjadi inspirasi!
6. Dalam praktek pemisahan total di antara kebaikan dan kejahatan tidak pernah bisa
berhasil. Yesus sudah memberitahukan hal itu kepada jemaat melalui perumpamaan
lalang dan gandum. Tetapi nampaknya bagi pelihat Yohanes, keadaan sudah gawat,
cabut aja deh, biar gandum ikut tercabut, gpp… Bagi pelihat Yohanes, sudah tiba masa
menuai, dan tuaiannya adalah dunia yang penuh orang jahat, yang disabit oleh Anak
Manusia yang mengendarai kuda sambil mengayun-ayunkan sabit (Wahyu 14:14-20).
Apakah jemaat selain yang 144.000 itu akan ikut tersabit? Ya nggak, karena yang
144.000 itu mewakili seluruh jemaat yang masih hidup. Mereka mati supaya yang lain
hidup. Maka konsep orang-orang kudus yang sudah mati menjadi penting dalam
rangka mempertahankan pemisahan total di antara yang baik dan yang jahat. Tetapi
seperti sudah saya kemukakan dalam makalah saya mengenai “Skenario Kemenangan
Akhir: fungsi gambar dan simbol di Wahyu 12-15” dan sudah dibagikan juga (dibaca
nggak ya?), bahasa kitab Wahyu bersifat retoris dan harus dipahami sebagai retorik.
Isinya adalah skenario mengenai masa depan dan bukan mengenai masa depan itu
sendiri. Namun pembenaran Allah terhadap umat yang menderita dan mati dapat kita
hubungkan dengan pembenaran Allah terhadap Yesus sebagai orang yang tidak
bersalah namun menderita dan mati, dan pembenaran Tuhan terhadap Ayub dan
Hamba Tuhan di dalam Perjanjian Lama, yang menderita sebagai orang yang tidak
bersalah. Mungkin dalam kitab Wahyu tidak ada tema utama, tetapi ada beberapa
tema, dan salah satu tema penting adalah pembenaran Tuhan terhadap penderitaan
dan kematian umatNya. Mungkin saya tidak happy dengan tema kiamat dan kekerasan
akibat hukuman Tuhan di dalam kitab Wahyu, tetapi dengan tema pembenaran Tuhan
terhadap umatNya, yang merupakan wujud dari perhatian dan solidaritasnya terhadap
penderitaan manusia, saya happy. Mari datanglah, ya Tuhan, Maranatha, Amin.
Wisma Labuang Baji,Yogyakarta, 22 April 2012.
Download