PERKEMBANGAN DIPLOMASI LUAR NEGERI JEPANG DI ASEAN PASCA PERANG DUNIA II (Studi Tentang Sejarah Diplomasi Jepang Dari 1970 sampai 1997) Rina Sukmara dan Yusy Widarahesty Dosen Muhammadiyah Prof.Dr Hamka dan Dosen Universitas Al Azhar Indonesia ABSTRACT This research specifically conducted by Japan’s effort to take place in international relation specially with South East Asia regions. This research includes qualitative research with descriptive analysis. It also used diplomacy Theory through economy and culture. The target of this research are to show the development of Japan’s foreign policy in ASEAN in post war era from 1970s until 1997s . A study about Japan long history with South Esat Asia relations can be seen by three basic orientations in Japanese foreign policy toward the region: first, Japanese policy toward South East Asia until the mid-1960s, with its emphasis on Japan’s economic diplomacy; second, a policy shift from economic diplomacy to regional development in South Esat Asia; third Japan try to use cultural dilomacy as soft power diplomacy in the way to promotes Japan’s relations with the South Esat Asia regions. Key words: Development, Diplomacy, Foreign Policy, Japan, ASEAN PENDAHULUAN K.J.Holsti dalam Internasional politics (1984:82) menjelaskan bahwa diplomasi adalah usaha suatu negara-bangsa untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya di kalangan masyarakat internasional. Semenjak berakhirnya masa feodal di Jepang, perubahan dan perkembangan dari karakter politik luar negeri Jepang mengalami beberapa perkembangan yang tujuannya tidak terlepas dari kepentingan yang ingin dicapai dari kelompok pemerintah Jepang pada khususnya dan untuk memperoleh kesejahteraan rakyat pada umumnya. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk merubah dan menentukan arah diplomasinya di lingkungan internasional. sehingga dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya Jepang seringkali mengalami berbagai macam perubahan dan perkembangan dalam menentukan karakter diplomasinya agar sesuai dengan perkembangan zaman di lingkungan internasional. Secara Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 281 umum arah kebijakan luar negeri yang berubah tersebut tentunya merupakan pengaruh dari sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan dalam negeri Jepang sendiri. Karena dalam sejarah dunia, Jepang pernah dikenal sebagai salah satu negara dengan kekuatan militer yang kuat di masa perang Dunia berlangsung, maka bukanlah tugas yang mudah bagi Jepang untuk merubah citra baru tersebut kepada masyarakat internasional. Berbagai kecurigaan dan rasa takut dari negara-negara bekas jajahan Jepang akan kembalinya Jepang bertindak seperti pada masa kejayaan militerismenya di masa perangpun merupakan faktor penting sebagai penentu keberhasilan diplomasi Jepang di lingkungan internasional. Akhirnya berdasarkan perjalanan sejarah, perkembangan diplomasi Jepang mengalami pasang surut dan ketidakstabilan yang dipengaruhi baik dari faktor internal Jepang sendiri maupun faktor eksternal. Seperti pada saat memasuki tahun 1970-an ketika Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang begitu dahsyat. Pada saat itu Jepang secara cukup konsisten melakukan diplomasi ekonomi dengan cara menjadi mitra dagang dengan negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Namun kebijakan Jepang ini dianggap hanya untuk mementingkan kemakmuran Jepang saja dengan mengabaikan kepentingan negara-negara berkembang yang menjadi mitra dagang Jepang pada saat itu. Akhirnya pada saat itu Jepang dituduh sebagai negara ‚„„animal economic„„ yaitu hanya memikirkan bagaimana cara memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sampai puncaknya pada tahun 1973-1974 Jepang dilanda protes besar-besaran di beberapa negara seperti Korea Selatan, Thailand dan juga termasuk diantaranya Indonesia. Di Indonesia sendiri peristiwa tersebut dikenal dengan ‚„„peristiwa malari„„yaitu malapetaka lima belas januari. Untuk itu kemudian para elit pemerintah Jepang berpikir keras untuk merubah haluan kebijakan luar negerinya agar dapat lebih diterima kembali dengan negara-negara di lingkungan internasional. Dengan adanya perubahan dan berbagai tantangan yang terjadi baik di dalam negeri maupun di lingkungan internasional, maka sangat menarik untuk melihat bagaimana upaya yang dilakukan Jepang dalam menjalankan diplomasi luar negerinya setelah berakhirnya Perang Dunia II. Penlitian ini sendiri bertujuan untuk menjelaskan perkembangan karakter diplomasi luar negeri Jepang pasca Perang Dunia II yaitu dari periode 1970 sampai tahun 1997. Di samping itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menganalisa berbagai perubahan yang terjadi dalam karakter diplomasi Jepang tersebut. Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 282 KAJIAN PUSTAKA 1 Sejarah Diplomasi Jepang Ozawa Ichiro dalam (1993: 113-114), menyatakan bahwa setelah Perang Dunia II Jepang menetapkan Lima pokok garis besar politik luar negerinya sebagai upaya menstabilkan hubungan internasional yang berlangsung antar negara-negara di seluruh kawasan internasional. Lima pokok garis besar tersebut adalah; 1. Memperhatikan kepentingan nasionalnya, yaitu menjadikan tujuan dasar dari politik luar negeri Jepang adalah untuk kepentingan dalam negeri Jepang sendiri. 2. Partisipasi global, artinya sebagai negara maju Jepang memiliki tanggung jawab untuk ikut serta membangun kerjasama internasional yang tidak sebatas pada permasalahan ekonomi saja tetapi juga politik. 3. Tujuan-tujuan diplomatik, yaitu menjadikan Jepang sebagai negara yang kuat yang memiliki tujuan diplomasi yang mapan dengan cara mengembangkan kemampuan strategi untuk mencapainya. 4. Aliansi Amerika Serikat-Jepang, yaitu Jepang harus kembali mempertahankan hubungannya dengan AS sebagai tonggak untuk mewujudkan keamanan dan kemakmuran negara Jepang. 5. Kawasan Asia-Pasifik, yaitu Jepang harus mengakui arti penting kawasan Asia Pasifik. Di mana hal ini merupakan bentuk diplomasi “pilar kembar” Jepang sebagai anggota dalam komunitas Asia-Pasifik dan juga kelompok negara-negara demokrasi maju. Menurut Eiji Oguma professor dari Universitas Keio Japan (Contemporary Japan from the Perspective of Post-War Japanese History, 2008; 1), menjelaskan bahwa Jepang setelah perang Dunia II mengalami tiga perkembangan periode. Yaitu periode setelah perang Dunia II pertama (First Post War) dari tahun 1945 sampai tahun 1954, dimana keadaan ekonomi Jepang pada saat ini mengalami keterpurukan akibat kalah perang yang kondisinya jauh lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Kehidupan pertanian, pekerja, dan populasi telah mengalami perubahan sejak era Meiji dimulai. Dan pada tahun 1954 jumlah pekerja dari lulusan Universitas ternama Jepang yaitu seperti Kyoto Uiversity misalnya hanya sebanyak 13% saja. Artinya pada masa ini Jepang sedang tumbuh menjadi negara berkambang di Asia. Periode yang ke dua yaitu periode setelah perang Dunia II kedua (Second Post War), yaitu dari tahun 1955 sampai tahun 1991. pada periode ini Jepang dengan sangat cepat Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 283 mempromosikan pertumbuhan ekonomi baik untuk kebijakan dalam dan luar negerinya. Hal ini ditunjukan dengan bergabungnya Jepang menjadi anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada tahun 1963, dan Jepang masuknya kedalam tiga besar negara yang memperoleh GNP (Gross National Product) tertinggi. Pada masa ini Jepang mengalami perubahan secara drastis dari negara agrikultur menjadi negara industri, dan dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan. Oguma menjelaskan bahwa masyarakat Kota Jepang pada periode 1945 hanya berkisar 28%, tetapi pada tahun 1970-an populasi dari masyarakat kota Jepang meningkat menjadi 72%. Kemudian periode yang ketiga (Third Post War) yaitu dari tahun 1992 sampai sekarang. Dimana pertumbuhan ekonomi hanya meningkat sekitar 2% saja, dan jumlah pengangguran meningkat dari 5% menjadi 10%. Sistem jaminan pekerja seumur hidup Jepang mulai hancur, dan sebagai gantinya pekerja paruh waktu meningkat tajam. Pada tahun 1965 sampai 1980-an 86% kehidupan masyarakat Jepang rata-rata berada di kelas menengah, namun saat ini jurang antara kaya dan miskin meningkat Terkait perubahan kondisi dalam negeri Jepang setelah perang Dunia II yang dijelaskan di atas tersebut, tentunya akan berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Jepang di lingkungan internasional. Kondisi tersebutlah yang menjadi faktor penentu dari arah kebijakan diplomasi Jepang. William R. Nester. (1992:47), menggambarkan bentuk dari gaya diplomasi Jepang adalah sebagai berikut. “The Japanese approach to diplomatic negotiation is dominated by a philosophy of risk minimalization and confrontation avoidance. And so does in Japanese diplomacy its economic power is a strategic instrument that must give maximum benefit to Japan interests.” Diplomasi ekonomi yang dijalankan Jepang semenjak tahun 1980-an merupakan bentuk usaha pemerintahan Jepang dalam upaya membangkitkan negaranya yang kalah akibat perang. Jepang meyakini bahwa dalam pencapaian perolehan-perolehan ekonomi telah memainkan peranan yang penting dalam menjalankan diplomasinya di dunia internasional. Bagi Jepang memperkuat negaranya dengan meningkatkan kemakmuran ekonomi akan lebih mempermudah Jepang dalam melakukan proses tawar menawar dalam upaya memenangkan diplomasi di lingkungan internasional. Diplomasi ekonomi telah dimulai Jepang pada masa 1980-an sampai 1990, di mana Jepang mulai mengkonsentrasikan pemberian bantuan untuk program pengembangan di Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 284 Asia. Adapun beberapa tujuan dari diplomasi ekonomi yang dilakukan Jepang yaitu sebagai: 1 1) Policy Articulation; yaitu suatu bentuk artikulasi kebijakan yang bertindak sebagai saluran untuk mengartikulasikan dan menerapkan kebijakan nasional. Hal ini untuk mengartikulasikan, kebijakan Jepang yang mana telah di mulai untuk dirumuskan dari pertengahan tahun 1980-an. 2) Legitimization of controversial policies; Untuk legitimasi kebijakan kontroversial yang terjadi di dalam negeri Jepang, Yaitu kebijakan Jepang dalam upaya menengahi resiko diplomatik dengan menyalurkan kebijakan sampai organisasi multilateral, yang dijadikan suatu siasat bermanfaat untuk kedua-duanya baik secara internasional dan secara domestik. 3) Fulfillment of international responsibilities as a nonmilitary; Untuk pemenuhan tanggung-jawab internasional Jepang melalui gerakan nonmiliter, kebijakan ini menggunakan perasaan cinta damai yang kuat di dalam semangat Jepang dan juga sebagai upaya menghapus ketakutan negara-negara lain terhadap tumbuhnya peran militer Jepang di daerah kawasan dan sebagai upaya politik global. 4) Enhancement of inadequate national resources; karena perolehan sumber daya nasional Jepang yang tidak cukup. Jepang mungkin adalah negara kreditur dunia paling besar, tetapi itu saja masih belum cukup, oleh karenanya Jepang harus berjuang keras untuk mengatasi defisit anggaran yang besar. 5) Compensation for diplomatic and policymaking shortcomings; Untuk menjalankan diplomasi strategis politik Jepang sehabis perang, dan memperkecil gap yang besar dalam hubungannya dengan negara-negara lain. 6) Globalization of diplomacy without sacrificing the priority; untuk menjalankan globalisasi diplomasi tanpa mengorbankan prioritas. Jepang dapat terlibat dalam beban global yang dikontribusikannya sampai kepada bank dunia dan bank pembangunan regional pada waktu yang bersamaan, dan juga tidak meninggalkan perhatiaannya pada Asia. 7) Greater independence within an American policy framework; untuk memperoleh kemerdekaan yang lebih besar di dalam suatu Kerangka Kebijakan Amerika. 1 Dennis T. Yasutomo, The New Multilateralism in Japan’s Foreign Policy, St. Martin Press, New York, 1995 hal. 62-63 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 285 Jepang harus meninggalkan ketergantungan tradisionalnya pada Amerika Serikat, yaitu dengan membentuk suatu kepercayaan diri nasional yang baru. 8) Enhancement of national prestige. Untuk Meningkatkan gengsi nasional. Ini adalah suatu inti dari sasaran kebijakan Jepang dalam semua organisasi internasional, dengan meningkatkan penilaian yang baik secara objektif di mata seluruh organisasi internasional, sehingga status internasional Jepang meningkat dan akan memperkuat posisinya di seluruh organisasi internasional. Takeshi Inoguchi dalam bukunya Japan’s International Relations (1991: 18) mengatakan bahwa, setelah Perang Dunia ke-II berakhir, Jepang telah mengalami beberapa tahap perkembangan pada karakter politik luar negerinya, yaitu terdiri dari empat tahap: 1. Leaders, yaitu dimana Jepang menjalankan kebijakan luar negerinya dengan berusaha menjadi pemimpin di kawasan Asia, yang bertujuan untuk menjadi pemimpin dunia 2. Dependency, yaitu masa pendudukan Jepang oleh Amerika Serikat pasca kekalahannya pada Perang Dunia ke-II yang menghasilkan beberapa kerjasama dengan AS, sehingga Jepang menjalankan diplomasi aliansi dengan AS khususnya dalam kemiliteran. 3. Free rider’s, yaitu masa dimana Jepang mulai menjalankan kebijakannya dengan memberikan perhatian penuh terhadap upaya peningkatan ekonominya untuk memperbaiki keadaan negaranya yang kalah pada Perang Dunia II, dan Jepang berupaya seminimal mungkin menghindari resiko yang mengundang pertentangan baik dari dalam maupun dalam hubungan luar negerinya, 4. Supporter, yaitu dimana Jepang mulai memainkan peranan yang penting dalam hubungan multilateralnya dan mulai ikut mendukung segala upaya yang dilakukan PBB, untuk memperkuat perannya di mata internasional. 2 Budaya Diplomasi Jepang Menurut Micheal Blaker 2 Jepang memiliki dua karakter dalam upaya penyelesaian konflik yang juga mempengaruhi karakter diplomasi Jepang dari dahulu sampai sekarang yaitu Harmonious Cooperation 和 dan the warrior Ethic 武士道. Blaker juga memaparkan latar 2 Micheal Blaker , Japanese International Negotiating Style, “Who Wins: Bargaining Power and Success”, Columbia University Press, New York, 1977, hal 4 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 286 belakang budaya yang mempengaruhi gaya-gaya diplomasi Jepang dalam dunia internasional adalah sebagai berikut: Pengaruh budaya domestik yaitu terdiri dari: 1. Harmonies Cooperation. 和 Yaitu adanya sebuah sistem harmoni dengan konsep “gimu” yaitu kewajiban yang dilakukan karena adanya “on” yang diterima oleh individu atau masyarakat. 2. The warrior ethic. 武士道 Yaitu adanya etika militer Jepang atau “bushido”; yang membangun prinsip kesetiaan yang berdasarkan pada sistem feodalisme. Dalam mengamati pola diplomasi suatu negara tidak terlepas dari latarbelakang budaya dan sejarah yang dimiliki oleh negara tersebut. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Sawyer dan Guetzkow (1965:18), yang mengatakan bahwa, Perbedaan budaya menghasilkan Gaya negosiasi yang berbeda. Robert Jackson dan Sorensen (2005; 37), mengatakan bahwa, “sistem negara merupakan lambang historis, yang dibentuk oleh masyarakat setempat. Sistem dan nilainilai yang dimiliki oleh suatu negara dalam menjalankan hubungannya dengan negara lain tidak terlepas dari budaya dan sejarah yang dimiliki oleh negara tersebut.” Michael Blaker (1977:4-8) dalam bukunya Japanese International Negotiating Style memaparkan beberapa Gaya diplomasi Jepang sebagai berikut yaitu: 1. Jiyuu kodo (Freedom of action). Yaitu hasrat Jepang dengan kekuatannya untuk menentukan nasibnya sendiri; diplomasi ini merupakan bentuk diplomasi Jepang yang ingin menentukan kebijakan pemerintahannya secara independen dan terlepas dari segala bentuk campur tangan asing. 2. Happo bijinshugi (Looking pretty for everyone). Yaitu upaya untuk terlihat baik atau indah untuk semua orang; artinya Jepang sangat mempertimbangkan apa yang menjadi opini publik. 3. Enryo Gaiko (Restrained diplomacy). Yaitu diplomasi yang dikendalikan; dimana ada kecenderungan pemerintahan Jepang untuk selalu mengendalikan setiap kebijakan dalam pemerintahannya sehingga cenderung otoriter. 4. Kiken kaihi (Risk avoidance), diplomasi menghindari resiko; yaitu dalam mengambil kebijakan Jepang selalu mempertimbangkan dampak dan keuntungannya bagi Jepang Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 287 Blaker juga menyebutkan Lima norma-norma yang diberlakukan Jepang dalam bernegosiasi yaitu: 3 1 Overcoming domestic opposition; yaitu suatu upaya untuk menanggulangi oposisi domestik (pertentangan dalam negeri), untuk memaksimalkan otonomi dan memperkecil resiko, setiap Pemerintah Jepang merasa mengalahkan hambatan dari oposisi asing dan dalam negeri merupakan hal yang penting. Hal ini dapat terlihat pada pernyataan Kementrian Luar Negeri Jepang Mutsu Munemitsu yang menyatakan, “No matter how much we are opposed at home, we are determined to carry through unhesitantly with resolve, believing as we do in our government's determination and our true national interest” 4 2. Dispelling western resistance; yaitu suatu bentuk ketidakpercayaan Jepang terhadap campur tangan Barat, dan ini merupakan suatu bentuk sikap Jepang yang harus selalu bersikap waspada dan curiga tehadap campur tangan asing. 3. Secrecy; yaitu norma kerahasiaan yang selalu dipegang teguh Jepang dalam melakukan negosiasi, hal ini dipercayai Jepang sebagai hal yang paling krusial dalam menentukan keberhasilan negosiasi Jepang 4. Careful deliberation; deliberasi yang hati-hati, artinya Jepang harus mampu mengatasi kelemahan nasional yang menguasai Jepang, dan mengajak Jepang untuk lebih waspada, hati-hati dalam melakukan negosiasi untuk kebaikan Jepang 5. Situational adaptation; yaitu merupakan bentuk diplomasi prasyarat yang harus dilakukan Jepang dalam menjalankan kebijakannya yaitu haruslah dapat menyesuaikan diri terhadap situasi baru. Hook, Gilson, Hughes, dan Dobson Dalam Japan‟s International Relations (2005: 25) Menyebutkan beberapa macam Gaya diplomasii Jepang sebagai berikut: 1. Emperor diplomacy (Diplomasi Kaisar, yaitu melalui ajaran nasionalisme dan kesetiaan untuk mengabdi pada Kaisar dan negara) 3 4 Michael Blaker, ibid, hal.14-21 Micheal Blaker, Ibid, hal. 17 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 288 2. Resource diplomacy (Diplomasi sumber daya yaitu melalui ekonomi, teknologi, informasi dan segala sesuatu yang menunjang peningkatan kualitas sumber daya negara) 3. Gift bearing diplomacy (Diplomasi hadiah, yaitu pemberian penghargaan terhadap keberhasilan dan pengabdian yang telah dilakukan seseorang) HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Diplomasi Jepang Sebagai negara dengan sumber alam yang minim dan kondisi alam yang rawan bencana, membuat Jepang harus mencari alternatif lain agar dapat bertahan sebagai sebuah bangsa yang utuh. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri kebutuhan Jepang terhadap negara-negara ASEAN akan sumber alam dan sebagai target market ekonomi semakin kuat. Walaupun hubungan antara Jepang dengan negara-negara ASEAN sudah berlangsung pada February tahun 1974, tetapi pada prakteknya hubungan tersebut baru dapat terselenggara dengan baik pada tahun 1977 yaitu pada saat forum Jepang dan ASEAN diselenggarakan. Pada mulanya Jepang berusaha untuk mencari tempat agar diterima oleh masyarakat internasional segera setelah Jepang mendapatkan kemerdekaan negaranya pada tahun 1952. dengan susah payah Jepang mencari cara agar dapat kembali diterima dalam masyarakat internasional. Barulah kemudian Pada tahun 1970 hasil kerja keras selama 3 dekade melalui diplomasi ekonomi yang dikenal dengan ”doktrin Yoshida”, menempatkan Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Keberhasilan ”doktrin Yoshida” yang memformulasikan diplomasi ekonomi menjadi awal yang baik dalam hubungan Jepang dan negara-negara ASEAN. Kebijakan ini pun dilanjutkan dengan upaya pembayaran ganti rugi semasa perang kepada negara-negara bekas jajahan Jepang dimasa perang berlangsung. Kerjasama ekonomi ini menghasilkan kebergantungan yang sangat tinggi bagi negara-negara ASEAN terhadap peran industri Jepang. Namun diplomasi ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah Jepang menjadi senjata yang justru berbalik arah melawan Jepang, yang menuduh Jepang hanya memikirkan kepentingannya sendiri sehingga Jepang dijuluki sebagai negara ”economic animal”. Dengan demikian untuk dapat kembali menormalkan hubungan yang sudah dengan susah payah dibina oleh Jepang dengan negara-negara ASEAN, maka tahun 1977 merupakan tahun penentu bagi Jepang dalam upaya memperbaiki hubungannya dengan Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 289 negara-negara ASEAN. Untuk melanjutkan hubungannya dengan negara-negara ASEAN di masa selanjutnya Jepang mengenal tiga doktrin sebagai kelanjutan dari doktrin Yoshida, yaitu; doktrin fukuda (1977); doktrin Takashita (1987); doktrin Hashimoto (1997). Berikut adalah beberapa kutipan dari pernyataan para Pemimpin Jepang mengenai kebijakannya terhadap negara-negara ASEAN dikutip dari Sueo Sudo (2002;33); ”Today ASEAN is the focus of world attention as a group of most dynamic nations in the Asia Pacific region. The key to this achievement has been the spirit of cooperation guiding ASEAN, which I believe has its roots in the spiritual tradition of Asia that values harmony and consensus in diversity, as an Asian sharing this tradition, I take a particular pride in the accomplishments of ASEAN.” (Noboru Takeshita, December 1987) ”My pledge is that the government and people of Japan will never be sceptical bystanders in regard to ASEAN’s effort to achieve increased resilience and greater regional solidarity, but will always be with you as good partners, walking hand in hand with ASEAN.” (Takeo Fukuda, August 1997) ”Japan and ASEAN should address squarely their respective challanges, based upon the preconditions of the US presence in Asia and China’s further constructive participation in the international community. In that process, Japan and ASEAN should reform their cooperative relations, which have so far placed great weight on the economic field, into broader and deeper ones suitable for the new era.” (Ryutaro Hashimoto, January 1997) 1.1 Diplomasi Jepang Pada Masa Fukuda (1977) Pemilihan perdana menteri baru pada bulan Desember 1976, merupakan awal baru dari diplomasi Jepang di kawasan Asia Tenggara. Sebagai pemimpin yang dikenal sangat kuat dari kalangan partai LDP atau Liberal Democratic Party yaitu partai mayoritas di Jepang, perdana menteri Takeo Fukuda merupakan perdana menteri yang cukup dikenal memiliki diplomasi yang baik dikalangan negara-negara Asia Tenggara. Hal tersebut ditandai dengan beberapa kebijakannya yang benyak Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 290 berkonsentrasi untuk mempromosikan hubungan diplomasinya di kawasan Asia yang dikenal dengan ”Asia-Centered Diplomacy”. Kebijakan luar negeri Fukuda menekankan pada tiga prinsip dasar yaitu; pertama, Jepang akan menjalankan pemerintahannya dengan menggunakan kekuatan ekonomi tanpa kekuatan militer; kedua, Jepang harus bertanggung jawab dan ikut ambil bagian untuk membantu negara-negara Asia dari kebergantungan ekonomi; ketiga, Jepang harus ikut bertanggung jawab dalam upaya menyelesaikan krisis ekonomi yang dihadapi dunia dan memiliki kemampuan untuk memperbaiki keadaan ekonomi dengan menyelesaikan permasalahan dari Korea Selatan.5 Aspek penting lain yang dicanangkan oleh perdana menteri Fukuda adalah ”budaya”. Fukuda memiliki tugas yang cukup berat untuk dapat kembali membuktikan peranannya di kawasan Asia tenggara setelah masa perdana menteri sebelumnya yaitu Yoshida Shigeru. Dengan berbagai perasaan curiga yang diarahkan kepada Jepang akibat dari diplomasi ekonomi yang dicanangkan oleh perdana Menteri sebelumnya akhirnya masih banyak meninggalkan perasaan curiga dari negara-negara Asia terhadap kepentingan Jepang di kawasan Asia. Untuk menjadikan kebijakan luar negeri dari Fukuda ini berjalan dengan efektif, Fukuda perlu untuk memikirkan cara untuk memberitahukan kebijakan tersebut dengan cara yang tepat dan waktu yang tepat. Keterlibatan Fukuda dengan negara-negara Asia tenggara merupakan sesuatu yang penting, hal tersebut dikarenakan pemimpin dari faksi partai LDP sebelumnya yaitu Nobusuke Kishi telah membuka jalinan yang substansial dengan negara-negara Asia Tenggara melalui upaya pembayaran pampasan Perang. Semenjak tahun 1972 Fukuda sudah menyuarakan untuk menjalin hubungan baru dengan negara Asia Tenggara melalui hubungan kebudayaan sebagai bentuk perwujudan dari anti militernya Jepang. Dan perlunya menjalin hubungan dengan membangun rasa saling percaya berdasarkan rasa kepercayaan dan pengertian yang lebih baik lagi melalui kebudayaan. Banyak kalangan yang mengusulkan untuk segera membentuk kebijakan luar negeri Jepang menjadi sebuah doktrin, dilakukan dengan segera. Hal ini dikarenakan 5 Sueo Sudo, The International Relations of Japan and South East Asia (Forging A New Regionalisme), Routledge London, 2002, hal. 36 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 291 para pembuat kebijakan melihat kurangnya minat dan ketertarikan dari negara-negara Asia tenggara terhadap Jepang, yang diakibatkan dari sebuah peristiwa gerakan anti Jepang pada tahun 1974. Dimana gerakan tersebut merupakan sebuah reaksi balik dari diplomasi Jepang sendiri yang pada saat itu berkonsentrasi melalui penguatan ekonomi atau yang dikenal dengan ”Strhengthening Economic Power”. Yang mengakibatkan dijulukinya Jepang sebagai negara ”Economic Animal”. Faktor kedua juga dikarenakan setelah berakhirnya perang Vietnam pada tahun 1975, orientasi dari kebijakan luar negeri Jepang selalu mengikuti gaya dari kebijakan Amerika Serikat. Dengan demikian para pembuat kebijakan di era Fukuda berinisiatif untuk menjalin kembali hubungan dengan negara-negara ASEAN dengan diplomasi yang baru. Dengan begitu lahirlah sebuah prinsip dasar dari kebijakan luar negeri Jepang terhadap negara-negara ASEAN yang terdiri dari tiga prinsip yaitu; (1) Jepang menolak kekuatan militer dan berjanji untuk ikut serta berkontribusi terhadap upaya menjaga perdamaian di kawasan ASEAN, (2) Jepang akan berupaya melakukan yang terbaik untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan rasa percaya diri berdasarkan kepercayaan dari ”hati ke hati”, (3) Jepang akan menjadi partner yang sejajar bagi negara-negara ASEAN dan bekerja sama secara positif berdasarkan rasa saling percaya.6 Rasa percaya dari ”hati ke hati” yang coba diupayakan oleh Fukuda diwujudkan melalui kebudayaan. Melalui pengenalan kebudayaan, Fukuda berharap akan tercipta rasa saling percaya dan mengenal satu sama lain. Fukuda mengatakan bahwa melalui promosi kebudayaan akan dapat mendorong kemajuan ekonomi. Hal ini pun didukung oleh Tsutomu Sugiura Direktur Marubeni Research Intsitute yang menyatakan; ”Japan is finding a new place in the world, and new benefits, through the worldwide obession with its culture – especially pop culture.” (Washington Post Foreign Service, 2003: A01) Melalui doktrin Fukuda tersebutlah Jepang dapat menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengan negara-negara ASEAN dengan harapan rasa curiga yang 6 Ibid,, 36-37 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 292 selama ini dikahawatirkan dikit demi sedikit dapat terhapus dan muncul rasa saling percaya.Yoel Sano (Asia Times online, 2006), menulis ”One area in which Japan appears to be expanding its global influence is soft power...during the 1990s, more and more Japanese films, cartoons, computer games, manga (comics), fashion and food have been exported abroad. Major bookstores in the West now have large sections devoted to manga, more Japanese novels have been translated into English and more Western authors are writing novels about Japan. The number of Japanese-style eateries in the West has risen substantially, to the point where Japanese no longer staffs them.” Joseph S. Nye, dosen ahli politik internasional dari Harvard yang menemukan istilah ”Soft Power” di pertengahan tahun 1980-an membahas mengenai budaya pop kontemporer Jepang sebagai sumber ”Soft Power” Jepang yang baru. Ia melihat ’soft power‟ Jepang bukan hanya berasal dari budaya tradisional Jepang seperti Zen, Karate, tetapi juga manga, anime, dan elemen budaya lainnya. (Joseph S. Nye, ”Nihon no sofuto pawa: Sono Genkai no Kanosei” (Japan’s Soft Power; Its Limits and Potential, Gaiko Forum, 2004) 1.2 Diplomasi Jepang Pada Masa Takeshita Akhirnya pada tahun 1989 bisa dikatakan merupakan tahunnya ASEAN, karena pada saat itu ASEAN telah menjadi fokus dan perhatian dari aktivitas diplomatik internasional yang ditandai dengan maraknya kunjungan dari para pemimpin dunia ke berbagai negara-negara ASEAN. Dengan mengikuti dari doktrin Fukuda pada masa sebelumnya, perdana menteri Zenko Suzuki melakukan kunjungan ke negara-negara ASEAN pada tahun 1981. sama seperti Fukuda, Suzuki mengatakan dalam pidatonya di Bangkok yang menekankan pada tiga prinsip sebagai berikut; (1) Jepang tidak akan memainkan peranan militernya di dalam masyarakat dunia, (2) Jepang akan memainkan peranan politiknya untuk ikut menjaga upaya perdamaian dunia, (3) Jepang akan menekankan perbaikan ekonomi dalam tiga 3 hal yaitu kerjasama ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, dan peningkatan ekonomi mikro.7 7 Ibid, hal. 37 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 293 Dua tahun kemudian dari bulan Aril sampai dengan Mei tahun 1983, perdana menteri Yasuhiro Nakasone mengunjungi ASEAN. Kunjungan tersebut dilakukan sebagai bentuk promosi yang didalamnya berisi proposal diantaranya yaitu keinginan Jepang untuk meningkatkan sekitar 50% produk industrinya di negara-negara ASEAN yang dimulai pada tahun 1984. dan program dukungan serta bantuan kepada negara-negara ASEAN untuk melakukan perbaikan dan renovasi di berbagai sektor. Dan yang terakhir yaitu mengundang sekitar 150 pemuda dari negara-negara ASEAN untuk datang mengunjungi Jepang setiap tahunnya untuk memperkenalkan kerjasama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi antara Jepang dengan negara-negara ASEAN. Namun tidak lama setelah kunjungannya Nakasone segera mendapatkan tekanan dari negara-negara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya, yang menekan Jepang untuk menunjukan citranya yang juga merupakan bagian dari negaranegara Barat. Kemudian pergantian perdana menteri pada tahun 1987 melalui Noboru Takeshita diharapkan dapat mengembalikan keadaan seperti semula. Dengan menghadiri pertemuan ASEAN ke tiga di Manila, Takeshita menyatakan dalam judul pidatonya ”Japan and ASEAN a new partnership toward peace and prosperity”. 8 Melalui pertemuannya di Manila Jepang berkonsentrasi untuk menjalin hubungan yang lebih baik lagi melalui pengertian dari hati ke hati ”heart to heart. Yang tetap berkonsentrasi pada tiga prinsip dasar yaitu; untuk memperkuat kerjasama ekonomi dengan negaranegara ASEAN, kerjasama politik dengan negara-negara ASEAN, dan mempromosikan pertukaran budaya. Pada bulan April 1989, dalam kunjungannya ke Jakarta Takeshita menyatakan dalam pidatonya pentingnya negara-negara ASEAN bagi kerjasama ekonomi Jepang, berikut adalah kutipan dari isi pidatonya di Jakarta; ”soon after becoming Prime Minister of Japan, I have set forth an international cooperation initiative premised on the following three pillar is the strengthening of cooperation to achieve peace. Second is the expansion of Japan’s Official Development Assistance (ODA). And third is the strenghtening of international cultural exchange. I believe that South East Asia is one of the most important areas for this international cooperation initiative, and I intend to promote actively the initiative in this region.” 8 Ibid, hal. 38 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 294 1.3 Diplomasi Jepang Pada Masa Hashimoto Upaya diplomasi Jepang dengan negara-negara ASEAN berlanjut pada masa setelah Perang Dingin berakhir yaitu pada bulan Desember 1989. Hubungan JepangASEAN ini ditegaskan melalui pidato dari Perdana Menteri Toshiki Kaifu dalam kunjungannya ke negara-negara ASEAN pada tahun 1991 di Singapura, di mana dalam pernyataannya Kaifu menggarisbawahi pentingnya menjalin hubungan antara Jepang dengan negara-negara ASEAN, berikut adalah kutipan dari pernyataannya; ”I believe that Japan and ASEAN are becoming mature partners able to look seriously at what we can do for Asia-Pacific peace and prosperity and to think and act together for our shared goals. building upon the long years of dialogue between Japan and ASEAN, we are now able to speak frankly to each other in both of economic and political spheres. Along with continuing to work to create a climate conducive to candid dialogue in all areas, I intend to make a concreted effort for greater cooperation in all fields.”9 Pada saat Jepang menekankan bahwa Jepang tidak akan lagi memainkan peranan militer, Kaifu juga menekankan bahwa yang menjadi bagian penting dari kebijakan luar negeri Jepang saat ini adalah Jepang akan selalu berupaya untuk memainkan peranannya untuk ikut serta dalam menjaga perdamaian dan perkembangan ekonomi. Sebagai bentuk bukti bahwa Jepang benar-benar meninggalkan kekuatan militer dalam menjalin hubungan internasionalnya, Perdana Menteri Kaifu mengutarakan permintaan maafnya atas perilaku Jepang di masa Perang Dunia II. Berikut adalah pernyataan Kaifu; ”I express sincere contrition for past Japanese actions which inflicted unbearable suffering and sorrow upon a great many people of the Asia-Pacific region.” 10 Segera setelah kunjungan dari Perdana Menteri Kaifu, kaisar Akihito melakukan kinjungan diplomatiknya secara hati-hati ke negara-negara ASEAN yang dipilih secara selektif yaitu ke Thailand, Malaysia dan Indonesia. Yang dalam kunjungannya kaisar menegaskan bahwa Jepang adalah negara ”cinta damai” yang tidak akan pernah mengulang kembali cerita horor seperti pada masa Perang Dunia berlangsung. Pada akhirnya kunjungan tersebut merupakan sebuah momentum awal terjalinnya rasa kepercayaan dari 9 Ibid, hal 39 Ibid, hal 40 10 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 295 negara-negara ASEAN untuk menjalin hubungan yang erat sebagai mitra dalam berbagai bidang dengan Jepang. Kemudian Perdana Menteri Kiichi Miyazawa (1991), juga berupaya untuk menjaga hubungan internasional Jepang dengan negara-negara ASEAN, dengan melakukan kunjungan kenegaraan pada tahun 1993 ke Bankok, yang dalam kunjungannya pidato Kiichi menegaskan bahwa Jepang akan terus berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas keamanan dan ekonomi di kawasan Asia – Pasifik; ”Japan will attach particular importance to the very process of talking with the ASEAN countries. This means that Japan will think and act together with ASEAN. I am quite confident that the wisdom and vigor of the ASEAN countries become an important pillar which supports the future of the international community, at a time when the world is searching for a new international order.”11 Sueo sudo (2002; 40) Dalam kebijakan luar negerinya Miyazawa menekankan 4 point penting yaitu; 1. Mempromosikan dialog politik dan keamanan antara negara-negara Kawasan ASEAN sebagai upaya memperkuat stabilitas keamanan dan perdamaian di Asia Pasifik, dan untuk memikirkan secara serius mengenai visi dari masa depan keamanan di kawasan Asia-Pasifik. 2. Melanjutkan upaya untuk meningkatkan perekonomian negara-negara kawasan Asia Pasifik, dan mempromosikan perkembangan ekonomi yang dinamik. 3. Berupaya secara aktif untuk terus memperjuangkan hak-hak kemanusiaan sebagai bentuk demokrasi. 4. Kerjasama Jepang-ASEAN untuk mengupayakan keamanan dan kemakmuran di kawasan Asia Pasifik, dengan terus mengupayakan pengembangan strategi. Selanjutnya pada tahun 1994, yaitu masa dari Perdana Menteri Tomiichi Murayama ketika melakukan kunjungannya ke Malaysia, Singapura, Philipina dan Vietnam sebagai Perdana Menteri pertama dari partai oposisi Jepang, Murayama juga mengulangi permintaan maaf Jepang mengenai perilakunya di masa Perang Dunia berlangsung. 11 Ibid, hal.40 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 296 Puncaknya yaitu pada tahun 1997, pada masa Perdana Menteri Ryutaro Hashimoto mengajukan bentuk baru dari hubungan antara Jepang dengan negara-negara ASEAN. Lebih jauh dalam pidatonya di Singapura Hashimoto mengungkapkan, ”perlunya perubahan dan reformasi dalam menjalin hubungan yang lebih luas dan lebih dalam lagi antara Jepang dan ASEAN, Hashimoto juga mengingatkan ketika dahulu pendahulunya pernah mencanangkan ”doktrin Fukuda”, yang kemudian dilanjutkan dengan ”doktrin Takeshita”, maka kini saatnya saya akan menawarakan hal yang baru untuk kelangsungan hubungan Jepang dan ASEAN.”12 Kelangsungan hubungan Jepang dan ASEAN. Yang pertama yaitu; untuk menjalin perasaan saling pengertian yang lebih dalam lagi antara masing-masing negara; kedua, pertukaran budaya sebagai wadah dan sarana untuk saling mengenal satu sama lain; saling bekerjasama dalam upaya menyelesaikan konflik wilayah agar tercipta perdamaian dan keamanan. Lebih jelasnya Hashimoto menawarkan tiga hal penting dalam menjaga KESIMPULAN Perkembangan diplomasi luar negeri Jepang setelah Perang Dunia II, mengalami banyak perubahan citra. Upaya Jepang mencari jati diri dan mendapatkan tempat di lingkungan internasional dilakukan dengan berbagai cara agar sesuai dengan perubahan zaman. Ketika masa Perang berlangsung Jepang mengusung semangat kepenjuru negerinya agar Jepang bersiap untuk menjadi pemimpin di Asia, hal ini tercermin dalam slogan pemerintah Jepang yaitu ”Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia dan Jepang pemimpin Asia”. Selanjutnya Kemakmuran ekonomi dan kebutuhan akan sumber alam yang mendorong Jepang memutuskan untuk melakukan ekspansi dicerminkan kembali dalam slogan ”negara kaya militer kuat”. Tentunya di era modern setelah berakhirnya masa Perang Dunia II, menjadi hal yang tidak mudah bagi Jepang untuk kembali mengangkat citranya sebagai bangsa yang tidak lagi mengancam kedaulatan negara lain. Hal ini dibuktikan oleh Pedana Menteri Jepang Yoshida Shigeru yang kemudian mengusung citra Jepang sebagai negara ”cinta damai” dengan menjalankan kebijakan ekonomi. Hal itupun berhasil sebagai momentum awal dalam upaya perbaikan hubungan Jepang di lingkungan internasional khususnya dengan negara-negara ASEAN. 12 Ibid. Sueo Sudo, hal.41 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 297 DAFTAR PUSTAKA Berridge G, R, Diplomacy Theory and Practice, Palgrave Macmillan, 2005 Blaker, Michael. Japanese International Negotiating Style, “Who Wins: Bargaining Power and Success”, Columbia University Press, New York, 1977. Hill, Chrsitoper. The Changing Politics of Foreign Policy, Pelgrave Macmillan, New York, 2003. Hook, Glenn D, et al., eds. Japan’s international Relation, „Politics, Economics and Security’, Routledge Taylor and Francis Group, New York and London, 2005. Inoguchi, Takeshi. Japan’s International Relations, London, Pinter Publisher, London, 1991. Jackson, Robert. & George Sorensen. Introduction to International Relations, (terjemahan oleh Dadan Suryadipura), Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2005. Joseph S. Nye, ”Nihon no sofuto pawa: Sono Genkai no Kanosei” (Japan‟s Soft Power; Its Limits and Potential, Gaiko Forum, 2004 Mas‟oed, Mochtar. Perbandingan Sistem Politik, , Gadjah Mada University Press, Bulaksumur, Jogjakarta, 2006 Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990 Nester, William R. “Japan and The Third World”, London, Macmillan Press, 1992. Oguma Eiji Universitas Keio Japan, Contemporary Japan From The Perspective of Post-War Japanese History, 2008 Ozawa, Ichiro. Blue Print Jepang Masa Depan, Jogjakarta, PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1995 Roy, S.L. Diplomasi, Jakarta, Rajawali Press, 1991 Satow Earnest, A Guide to Diplomatic Practice”, 1957 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Sueo Sudo, The International Relations of Japan and South East Asia (Forging A New Regionalisme), Routledge London, 2002 Yasutomo, Dennis T. The New Multilateralism in Japan’s Foreign Policy, St. Martin Press, New York, 1995. Yoel Sano Asia Times online, 2006 Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011 298