BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Peremajaan Biakan dan

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Peremajaan Biakan dan Kultur Padat
Peremajaan biakan dan kultur padat pada bakteri B.subtilis dan
B.thuringiensis dilakukan dengan memindahkan atau memperbarui biakan bakteri
dari biakan lama ke medium tumbuh yang baru secara berkala. Machmud (2001)
menyatakan bahwa teknik peremajaan biakan merupakan cara paling tradisional
yang digunakan peneliti untuk memelihara koleksi isolat mikroba di laboratorium.
Peremajaan biakan ini juga bertujuan untuik menyelamatkan isolat bakteri
B.subtilis dan B.thuringiensis dari kontaminasi oleh bakteri lain dan memberikan
penyegaran pada nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri.
Peremajaan kultur bakteri dengan menggunakan medium segar dengan
jenis yang sama seperti medium awal bertujuan untuk mempercepat fase adaptasi
dan mempersiapkan sel pada fase eksponensial. Bakteri yang berada dalam fase
eskponensial atau tahap propagasi ini mensintesis enzim dan mengatur
aktivitasnya sehingga mampu tumbuh lebih efisien dalam kondisi baru.
Peremajaan juga memberikan nutrisi baru bagi bakteri sehingga sel-selnya dapat
tumbuh sehat (Hartanti 2010). Nutrient agar (NA) merupakan medium yang
umum digunakan untuk mengisolasi organisme dalam kultur murni. Medium NA
dapat digunakan pada beberapa bakteri kosmopolit seperti B.subtilis dan
B.thuringiensis.
Pertumbuhan B.subtilis yang diinkubasi pada suhu 310C selama 24 jam
relatif cepat, hal ini dapat dibuktikan dengan tebalnya koloni B.subtilis pada
medium NA (Gambar 11). Cook dan Korsten (1996) menyatakan bahwa B.subtilis
memiliki waktu inkubasi optimum 24 jam. Suhu pertumbuhan B.subtilis yaitu
pada kisaran 30 - 370C. Sreekumar dan Soundrajan (2010) menyatakan bahwa
suhu optimum B.subtilis yaitu pada 350C. Susanti dan Bintari (2013) menyatakan
bahwa B.subtilis dapat tumbuh pada range pH 6.0 - 7.0. Sarikaya dan Gurgun
(1999) menyatakan bahwa pH optimum bakteri B.subtilis yaitu 7.0. Wijiyono
(2009) menyatakan bahwa B.subtilis merupakan bakteri halotoleran yang dapat
41
42
tumbuh pada berbagai salinitas yaitu mulai dari salinitas 0 - >30 ppt. Pada
salinitas >30 ppt B.subtilis dapat tumbuh dengan jumlah koloni 20.62 x 107
cfu/ml.
Adapun kondisi kultivasi B.thuringiensis tidak berbeda halnya dengan
B.subtilis yaitu dilakukan inkubasi pada suhu 310C selama 24 jam. B.thuringiensis
dapat tumbuh pada interval suhu 0 - 500C dan memiliki pertumbuhan optimum
pada suhu 400C (Mawadza et.al. 2000; Li et.al. 2006; Fan et.al. 2007 dalam Lin
et.al 2012). Selain itu, B.thuringiensis dapat tumbuh pada kisaran pH 6.4 - 7.5
(Kwalimwa 2012) dan mampu tumbuh optimum pada pH 7.0 (Kesharvazi et.al
2005). B.thuringiensis dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 20 - 50 ppt
(Phillips et.al. 2012) karena bakteri B.thuringiensis merupakan bakteri halotoleran
yang dapat mentolerir berbagai tingkat salinitas (Van-Thuoc et.al 2012).
Peremajaan
biakan
isolat
bakteri
B.subtilis
dan
B.thuringiensis
menggunakan tabung reaksi pada agar miring dan kultur padat menggunakan
cawan petri. Kultur padat dilakukan menggunakan metode goresan kuadran
(Streak quadrant). Metode ini hampir sama dengan goresan T, namun berpola
goresan yang berbeda yaitu dibagi empat daerah. Daerah 1 merupakan goresan
awal sehingga masih mengandung banyak sel mikroorganisme. Goresan
selanjutnya dipotongkan atau disilangkan dari goresan pertama sehingga jumlah
semakin sedikit dan akhirnya terpisah-pisah menjadi koloni tunggal (Gambar 11).
Dalam kultur murni, goresan T merupakan tipe goresan yang sangat tepat. Prinsip
kerjanya yaitu mengencerkan (dilusi) dan menyebarkan (dispersi) sel ketika
diinkubasi, sehingga bakteri akan membentuk koloni terisolasi yang dipisahkan.
Setelah inkubasi, terlihat dari setiap kuadran koloni bakteri yang terbentuk
mengalami perubahan hingga mendapatkan koloni tunggal (Microbiology Faculty
2010). Koloni tunggal digunakan untuk proses uji aktivitas selulolitik karena
isolatnya telah murni.
Bakteri B.subtilis yang diremajakan pada penelitian ini memiliki
karakteristik morfologis diantaranya bakteri Gram-positif (Lampiran 16),
uniseluler yang berbentuk batang dan hidup secara aerob. B.subtilis membentuk
43
tipe khusus saat dorman yang disebut endospora. Endospora terbentuk dari sel
vegetatif sebagai respon terhadap lingkungan yang ekstrim (Todar 2011)
Thimann (1955) menyatakan bahwa bakteri B.subtilis mempunyai kapsul
yang berisi polipeptida dari asam D-glutamat. Bakteri B.subtilis merupakan
bakteri berspora. Jika ditumbuhkan pada media segar yang cocok (misalnya pada
glukosa sederhana atau alanin), spora dapat segera tumbuh. Untuk pertumbuhan
sporanya, B.subtilis mengalami dua tahap. Pada tahap pertama terjadi
pembengkakan spora. Pembiakan vegetatif pada tahap ini dapat dilihat dengan
bantuan metilen biru. Pada tahap kedua dinding spora terbagi melalui bidang
ekuator, kemudian di bagian dalam terjadi pemanjangan sel vegetatif yang cepat,
membalik sampai spora bermunculan. Pertumbuhan spora B.subtilis terjadi pada
pada lingkungan dengan pH mendekati netral.
a
b
Gambar 11. Hasil Peremajaan Biakan dan Kultur Padat Isolat Bakteri
B.subtilis
a. Agar Miring
b. Agar Cawan
Isolat bakteri B.thuringiensis yang didapat dalam penelitian ini memiliki
karakteristik morfologis diantaranya merupakan gram positif berbentuk batang
(Lampiran 16). Bakteri B.thuringiensis merupakan salah satu anggota B.cereus
grup bersama dengan B.anthraxis. Bakteri B.thuringiensis mempunyai ciri khusus
yaitu kemampuannya untuk menghasilkan protein kristal protoksin intraseluler
dari kelompok δ-endotoksin sehingga dapat dibedakan dengan B.cereus. Bakteri
B. thuringiensis memiliki ukuran lebar 1,0 - 1,2 μm dan panjang 3 - 5 μm (Bravo
et al., 1998).
Koloni B.thuringiensis jika ditumbuhkan pada media padat berbentuk
bulat (Gambar 12). Koloni B.thuringiensis berbentuk oval, berwarna terang,
44
letaknya subterminal, berukuran 1,0-1,3 μm dengan tepian berkerut, memiliki
diameter 5 – 10 mm, berwarna putih, elevasi timbul dan permukaan koloni kasar
(Buchner 1981 dalam Syamsu dkk 2011). Ciri khas yang terdapat pada
B.thuringiensis adalah kemampuannya membentuk kristal bersamaan dengan
pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut
merupakan komplek protein yang mengandung toksin (d-endotoksin) yang
terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru ke luar
dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna.
a
b
Gambar 12. Hasil Peremajaan Biakan dan Kultur Padat Isolat Bakteri
B.thuringiensis
a. Agar Miring
b. Agar Cawan
4.2
Hasil Uji Aktivitas Selulolitik
Pengujian aktivitas selulolitik pada isolat bakteri B.subtilis dan
B.thuringiensis dilakukan dengan menambahkan CMC (Carboxy Methyl
Celullose) 1% pada medium nutrient agar + air laut steril. Hal ini bertujuan untuk
melihat respon dari isolat bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis terhadap substrat
selulosa (Tabel 5).
45
Tabel 5. Uji Aktivitas Selulolitik Pada Isolat Bakteri B.subtilis dan Bakteri
B.thuringiensis
Diameter Zona Bening (mm)
Diameter Koloni (mm)
Kode
Isolat
I
II
III
Rata-rata
I
II
III
Rata-rata
B.1.2 11,48 10,66 9,55
10,56
6,20 6,55 6,23
6,32
C2
19,09 20,07 18,12
19,09
7,78 7,04 6,27
7,03
Keterangan:
B.1.2 = Isolat bakteri B.subtilis
C2
= Isolat bakteri B.thuringiensis
rata-rata diameter zona bening
Indeks selulolitik (IS)
rata-rata diameter koloni
Indeks
Selulolitik
1,67
2,71
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa indeks selulolitik isolat
B.subtilis lebih kecil dibandingkan dengan indeks selulolitik B.thuringiensis. Hal
ini menunjukkan bahwa kemampuan selulolitik B.thuringiensis lebih besar
dibandingkan B.subtilis. Baik B.subtilis maupun B.thuringiensis terbukti
memperlihatkan kemampuan selulolitik yang ditunjukkan dengan terbentuknya
zona bening di sekitar koloni pada medium agar CMC dengan visualisasi
menggunakan pewarna Red Congo 0,1% (Gambar 13 dan 14). Isolat bakteri
B.subtilis memiliki nilai indeks selulolitik 1,67 mm .
Zona Bening
Koloni Bakteri
Gambar 13.
Uji Aktivitas Selulolitik Hasil Pewarnaan Red congo (Isolat B.1.2)
Isolat bakteri B.thuringiensis memiliki nilai indeks selulolitik 2,71 mm.
Besarnya nilai indeks selulolitik pada B.thuringiensis menunjukkan kemungkinan
produksi enzim endoglukanase lebih besar dibandingkan dengan bakteri
B.subtilis, sehingga berpotensi sebagai katalis yang efektif dalam proses
pembuatan bioetanol dari rumput laut.
46
Zona Bening
Koloni Bakteri
Gambar 14.
Uji Aktivitas Selulolitik Hasil Pewarnaan Red congo (Isolat C2)
CMC digunakan sebagai substrat dalam penentuan aktivitas enzim
selulase. CMC merupakan substrat paling murni dibandingkan substrat-substrat
lain seperti kertas saring, avicel dan lain-lain (Fitriani 2003). Selain itu, CMC
adalah selulosa murni yang mudah terlarut dalam medium dan mudah terhidrolisis
(amorf) dibandingkan jika selulosa yang diambil dari alam yang masih berikatan
dengan lignin dan hemiselulosa serta masih memiliki struktur yang tidak mudah
larut (kristalin) yang tinggi (Astutik 2012). CMC diketahui merupakan substrat
efektif untuk produksi enzim endoglukanase (Tae-Il et al. 2000), lebih lanjut
Zhang et.al (2006) menyatakan bahwa CMC merupakan substrat yang memiliki
spesifikasi untuk pengujian aktivitas enzim endoglukanase dibandingkan dengan
substrat selulosa yang lain.
Pada pengujian aktivitas selulolitik dengan penambahan CMC 1% sebagai
substrat selulosa pada medium kultur memberikan zona bening yang tidak tampak
secara visual, sehingga perlu dilakukan pewarnaan menggunakan red congo untuk
melihat zona bening yang dihasilkan (Ramadhan 2012).
Pewarna red congo memiliki interaksi sangat kuat dengan polisakarida
yang mengandung unit-unit β-D-Glukan seperti selulosa (Teather and Wood
1981). Kemampuan interaksi ini dijadikan indikator degradasi selulosa dalam
medium agar dengan penambahan CMC yang ditunjukan oleh adanya zona bening
di sekitar koloni mikroorganisme/ bakteri selulolitik setelah diberi pewarna red
congo (Ramadhan 2012). Pembentukan zona bening disekitar koloni bakteri
47
menunjukkan sudah tidak terdapatnya (degradasi) CMC pada daerah tersebut. Hal
ini mengindikasikan produksi enzim endoglukanase oleh isolat bakteri B.subtilis
dan B.thuringiensis untuk memecah CMC menjadi gula yang lebih sederhana
sebagai alternatif sumber karbon.
4.3
Teknik Molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan
Bioinformatik
4.3.1
Isolasi DNA Genom Bakteri
Isolasi DNA genom menggunakan Wizard® Genomic DNA Purification
Kit Promega. Isolasi DNA secara umum memiliki empat tahap, yaitu pemecahan
sel, ekstraksi DNA, presipitasi DNA dan pencucian DNA. Penggunaan Lysozyme
dan Nuclei Lysis Solution berperan dalam proses pemecahan sel dan ekstraksi
DNA sedangkan dalam tahap presipitasi digunakan menggunakan Protein
Precipitation Solution dan terakhir pengawetan pellet hasil isolasi DNA genom
menggunakan ethanol 70% dan DNA Rehydration Solution.
Sebelum masuk ke dalam tahap isolasi, hasil kultur cair disentrifugasi pada
13.000 rpm selama 2 menit untuk mengambil pellet bakteri. Hal ini bertujuan
untuk mendapatkan pellet bakteri untuk diisolasi menggunakan Wizard®
Genomic DNA Purification Kit Promega. Tahap pertama yaitu dengan
menambahkan EDTA yang berperan dalam pelemahan struktur lipid bilayer pada
dinding sel bakteri. Selain itu, EDTA juga berperan dalam mempertahankan
integritas DNA hasil isolasi dengan cara mengikat ion magnesium yang
merupakan kofaktor esensial bagi enzim nuklease yang mampu mendegradasi
DNA (Yagi et.al 1996). Tahap kedua yaitu penambahan Lysozyme untuk
menyempurnakan proses lisis dinding sel dari bakteri. Lysozyme merupakan
enzim yang berperan untuk menghidrolisis rantai polisakarida yang terdapat pada
dinding sel bakteri (Sopyan 2009). Suhu inkubasi yang digunakan yaitu selama 45
menit pada suhu 370C.
Tahap ketiga yaitu dengan menambahkan Nuclei Lysis Solution, yang
memiliki peran untuk menghancurkan dinding nukleus (pada eukariot). Pada
isolasi DNA prokariot, Nuclei Lysis Solution dapat berperan sebagai pengganti
48
senyawa kimia yang mampu merusak dinding dan membran sel. Suhu inkubasi
yang digunakan yaitu selama 5 menit pada suhu 80 0C. Tahap keempat yaitu
penambahan RNAse Solution yaitu untuk menghancurkan RNA sehingga DNA
dapat diisolasi secara utuh. Suhu inkubasi yang digunakan setelah RNAse
ditambahkan yaitu selama 30 menit pada suhu 37 0C. Setelah didapatkan DNA
secara utuh, maka dilakukan penambahan Protein Precipitation Solution untuk
membersihkan debris protein. Peran dari Protein Precipitation Solution yaitu
untuk mengendapkan protein agar DNA yang akan diekstraksi tidak
terkontaminasi oleh protein-protein sel. Cara memaksimalkan saat proses
pembersihan debris protein dengan mengikubasi on-ice selama 5 menit lalu
disentrifugasi pada 13.000 rpm selama 3 menit. DNA dipisahkan dari debris
jaringan dan protein dengan sentrifugasi dengan landasan bahwa debris sel dan
protein dengan besar molekul lebih besar akan mengendap (Angelia 2009).
Tahap ke lima yaitu supernatan yang telah dipisahkan dari debris sel dan
protein lalu ditambahkan isopropanol untuk melarutkan lemak, garam alkohol dan
mengendapkan DNA. Angelia (2009) menyebutkan bahwa Presipitasi DNA oleh
alkohol dapat dilakukan dengan etanol absolut atau isopropanol. Kedua alkohol
tersebut memiliki sifat yang berbeda, yaitu: (1) Etanol lebih volatil dibandingkan
dengan isopropanol sehingga pelet dapat dikeringudarakan tanpa vakum, (2)
Etanol lebih efektif dibandingkan isopropanol dalam melarutkan garam sehingga
garam tidak tertinggal pada pelet DNA, (3) Etanol membutuhkan 2.5 kali volume
total suspensi DNA untuk dapat mempresipitasi DNA, sedangkan isopropanol
cukup dengan 1 kali volume total, dan (4) Akibat kepolarannya, etanol lebih lama
mengendapkan DNA dibandingkan dengan isopropanol. Beberapa protokol
menyarankan etanol atau isopropanol diberikan dalam kondisi dingin (4°C) untuk
mempertahankan integritas DNA. Menurut Sambrook et.al. (1989), suhu yang
dingin (4°C) atau suhu ruang (25°C) alkohol tidak berpengaruh signifikan
terhadap hasil presipitasi DNA.
Setelah DNA mengendap, supernatan kemudian dibuang dan didapatkan
endapan DNA yang bebas dari kontaminasi debris sel, protein, ataupun substansi
lain. Pellet DNA pada sampel B.1.2 terlihat lebih banyak dibandingkan dengan
49
sampel C2. Pellet DNA hasil sentrifugasi ditambahkan ethanol 70% untuk
mencuci benang DNA. Angelia (2009) menyatakan bahwa Etanol 70-80 % akan
melarutkan garam NH3+ yang kemungkinan masih terdapat pada isolat DNA,
tanpa melarutkan asam nukleat. Sentrifugasi dilakukan kembali untuk
mengendapkan DNA. DNA yang telah murni lalu ditambahkan DNA Rehydration
Solution untuk pengawetan DNA. Dalam membantu proses rehidrasi maka
dilakukan inkubasi selama 60 menit pada suhu 650C. Setelah inkubasi, lalu DNA
didinginkan selama 5 menit dalam suhu ruang. DNA hasil isolasi dielektroforesis
untuk mengetahui kualitas ataupun kuantitas DNA (Gambar 15 dan 16).
B.1.2 M
Hasil Isolasi DNA
Genom
10.000 bp
1500 bp
1000 bp
Keterangan:
B.1.2 : Isolat Bakteri B.subtilis
M
: Marker DNA Ladder 1 kb
bp
: basepair
500 bp
Gambar. 15
Elektroforegram Hasil Isolasi DNA Genom Bakteri B.subtilis
C2
Hasil Isolasi DNA Genom
M
10.000 bp
1500 bp
1000 bp
Keterangan:
C2 : Isolat Bakteri B.thuringiensis
M : Marker DNA Ladder 1 kb
bp : basepair
500 bp
Gambar. 16
Elektroforegram Hasil Isolasi DNA Genom Bakteri B.thuringiensis
50
Pada elektroforegram hasil isolasi DNA genom B.subtilis (Gambar 15)
nampak bahwa sampel dengan kode B.1.2 terlihat adanya pita. Sedangkan, pada
elektroforegram hasil isolasi DNA genom B.thuringiensis (Gambar 16) terlihat
bahwa pita DNA sangat tipis. Pita DNA yang tipis mengindikasikan bahwa
kemungkinan kuantitas DNA genom yang terisolasi sedikit. Pada hasil isolasi
DNA genom bakteri B.subtilis (Gambar 15) dan bakteri B.thuringiensis (Gambar
16) terlihat bahwa ukuran DNA genom bakteri berada di atas 10.000 bp. Genom
bakteri diketahui berukuran 4,6 x 106 bp (Escherichia coli) (Yuwono 2005).
4.3.2
Desain Primer Gen Pengkode Endoglukanase
a.
Primer Spesifik Untuk Bakteri B.subtilis
Sekuen database gen endoglukanase dari bakteri Bacillus subtilis diunduh
dari 3 isolat diantaranya Bacillus subtilis subsp. subtilis str. RO-NN-1, Bacillus
subtilis subsp. inaquosorum KCTC 13429, dan Bacillus subtilis subsp. subtilis str.
BSP1. Pemilihan ketiga isolat ini didasarkan untuk memperbesar peluang
amplifikasi gen endoglukanase dari bakteri B.subtilis yang berasal dari strain yang
berbeda. Dari ketiga isolat tersebut, didapatkan hasil bahwa konsensus berhasil
dikonstruksi. Konstruksi konsensus merupakan kompromi sekuen diantara
database yang merepresentasikan lestarinya (conserved) gen tersebut. Hasil
konstruksi sekuen konsensus gen endoglukanase dari B.subtilis, maka pasangan
primer dari bakteri ini didesain sebagai primer spesifik menggunakan program
Primer3® yang tersedia di NCBI. Primer spesifik adalah primer yang didesain
secara spesifik dari urutan nukleotida konsensus suatu gen tanpa ada pergantian
basa atau (degenerate). Berikut primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis
(Tabel 6) hasil desain primer spesifik menggunakan program Primer3 ®.
Tabel 6. Primer Gen Endoglukanase Bakteri B.subtilis Desain Primer3
Jenis
Bakteri
Bacillus
subtilis
Sekuen Primer
F : 5’-TCAGCAGCAGGCACAAAAAC-3’
R : 5’-TTCGGTTCTGTGCCCCAAAT-3’
Tm
Product
Length
(bp)
59.90
60.18
1415
51
Berdasarkan hasil desain primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis
didapatkan hasil bahwa primer tersebut sesuai dengan syarat primer pada
umumnya, diantaranya ukuran primer 20 basa pada forward dan reverse,
komposisi basa (G+C) 50%, Tm primer forward 59.900C, Tm primer reverse
60.180C. Innis and Gelfand (1990) menyatakan bahwa syarat primer dalam PCR
diantaranya ukuran primer berkisar antara 17-28 basa, komposisi basa 50-60%
(G+C), Tm (suhu leleh) berkisar antara 55-80oC. Selain itu, primer gen
endoglukanase bakteri B.subtilis tidak mempunyai struktur sekunder yang dapat
membentuk dimer (Lampiran 1).
Berdasarkan primer yang tersaji dapat diketahui bahwa panjang amplikon
(produk PCR) primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis yaitu 1415 bp (472 aa).
Ilustrasi penempelan pasangan primer pada sekuen konsensus gen endoglukanase
bakteri B.subtilis dapat dilihat pada (Gambar 17).
1415 bp
Gambar 17.
Ilustrasi Penempelan Primer Spesifik Gen Endoglukanase Pada Sekuen
Konsensus Bakteri B.subtilis
Pada posisi penempelan primer, dianalisis keberadaan domain fungsional
dari gen tersebut. Domain fungsional yang merepresentasikan daerah sisi tapak
aktif pengikatan enzim endoglukanase diharapkan mampu teramplifikasi oleh
primer yang didesain. Daerah apitan primer sepanjang 1415 bp (472 aa) telah
mencakup daerah domain fungsional endoglukanase (BglC). Hipotesis dari
teramplifikasinya domain fungsional gen endoglukanase oleh pasangan primer ini
membuktikan bahwa gen yang diisolasi merupakan gen pengkode enzim
endoglukanase (Gambar 18).
52
472 aa
P. Forward
P. Reverse
Gambar 18.
Ilustrasi Penempelan Pasangan Primer pada Struktur Utama Domain
Fungsional Gen Endoglukanase Pada Sekuen Konsensus Bakteri B.subtilis
(Hasil Analisis Program Conserved Domain Database (CDD)-NCBI :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/wrpsb.cgi)
b.
Primer Degenerate Untuk Bakteri B.thuringiensis
Sekuen database gen endoglukanase dari bakteri B.thuringiensis diunduh
dari 3 isolat diantaranya Bacillus thuringiensis serovar thuringiensis str. T01001,
Bacillus thuringiensis serovar kurstaki str. T03a001, dan Bacillus thuringiensis
serovar tochigiensis BGSC 4Y1. Pemilihan ketiga isolat ini didasarkan untuk
memperbesar peluang amplifikasi gen endoglukanase dari bakteri B.thuringiensis
yang berasal dari strain yang berbeda. Dari ketiga isolat tersebut, didapatkan hasil
bahwa konsensus tidak berhasil dikonstruksi, yang menunjukkan kemungkinan
tidak terlalu lestarinya gen endoglukanase pada bakteri B.thuringiensis.
Dikarenakan tidak berhasilnya konstruksi sekuen konsensus gen endoglukanase
dari B.thuringiensis, maka pasangan primer didesain sebagai primer degenerate
menggunakan program CODEHOP®. Primer degenerate adalah primer yang
didesain secara degenerate dari urutan nukleotida dengan kemungkinan ada
peluang terjadinya pergantian basa. Primer gen endoglukanase bakteri
B.thuringiensis (Tabel 7) hasil desain primer degenerate menggunakan program
CODEHOP®.
53
Tabel 7. Primer Gen Endoglukanase Bakteri B.thuringiensis Desain Primer
Degenerate
Jenis
Bakteri
Sekuen Primer
F : 5'GAATTGGATTAGCAT
CTTTTTCTAATTCTws
Bacillus
nttygcngc-3'
thuringien
R : 5'sis
TGAGTTTTCTTATCA
TCTGGAACTggyttccac
ca-3'
W(A/T), S(C/G), N(A/C/T/G), Y(C/T)
Berdasarkan
hasil
desain
Lokasi
Tm
Block x24798xblA
60.8
Complement of
Block x24798xblH
primer
gen
Product
Length
(bp)
1250
61.9
endoglukanase
bakteri
B.thuringiensis didapatkan hasil bahwa primer tersebut sesuai dengan syarat
primer pada umumnya, diantaranya Tm primer forward 60.80C dan Tm primer
reverse 61.90C. Innis and Gelfand (1990) menyatakan bahwa syarat primer dalam
PCR diantaranya Tm (suhu leleh) berkisar antara 55-80oC. Selain itu, primer gen
endoglukanase bakteri B.thuringiensis tidak mempunyai struktur sekunder yang
dapat membentuk dimer (Lampiran 2).
Berdasarkan primer yang tersaji diatas dapat juga diketahui bahwa panjang
amplikon (produk PCR) primer gen endoglukanase bakteri B.thuringiensis yaitu
1250 bp (417 aa). Ilustrasi penempelan pasangan primer pada sekuen hasil contig
ke tiga database gen endoglukanase bakteri B.thuringiensis dapat dilihat pada
(Gambar 19).
1250 bp
Gambar 19.
Ilustrasi Penempelan Primer Degenerate Gen Endoglukanase Pada Sekuen
Hasil Contig Ketiga Database Bakteri B.thuringiensis
54
Pada posisi penempelan primer juga dianalisis keberadaan domain
fungsional dari gen tersebut. Daerah apitan primer sepanjang 1250 bp (417 aa)
telah
mencakup
daerah
(Glyco_hydro_8_superfamily)
superfamili
dengan
salah
Glikosida
satu
Hidrolase
anggotanya
yaitu
endoglukanase. Hipotesis dari teramplifikasinya superfamili Glikosida Hidrolase
menunjukkan peluang teramplifikasinya gen endoglukanase oleh pasangan primer
ini (Gambar 20).
417 bp
P. Forward
P. Reverse
Gambar 20.
Ilustrasi Penempelan Pasangan Primer pada Struktur Utama Domain
Fungsional Gen Endoglukanase Pada Sekuen Hasil Contig Bakteri
B.thuringiensis
(Hasil Analisis Program Conserved Domain Database (CDD)-NCBI :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/wrpsb.cgi)
4.3.3
Penapisan Gen Pengkode Endoglukanase Menggunakan Metode PCR
Pada tahapan ini, sampel hasil isolasi DNA genom bakteri B.subtilis dan
B.thuringiensis diambil untuk dilakukan proses penapisan gen pengkode
endoglukanase menggunakan metode PCR. Pada proses ini digunakan komponen
reaksi PCR (Tabel 3) dan siklus PCR (Tabel 4) hasil optimasi dari penelitian
Rachim (2008).
Optimasi PCR dilakukan sebanyak 4 kali pada penapisan gen
endoglukanase bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis. Optimasi sampel bakteri
B.subtilis dilakukan pada suhu annealing 500C, 550C, dan 600C. Sedangkan
55
optimasi sampel bakteri B.thuringiensis dilakukan pada suhu annealing 450C,
500C, dan 550C. Hal ini dilakukan karena Temperatur Melting (TM) primer gen
endoglukanase dari bakteri B.subtilis maupun B.thuringiensis relatif dekat dengan
suhu optimasi yang dilakukan. TM primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis
yaitu forward 65,20C dan reverse 66,20C (Lampiran 3), sedangkan TM primer gen
endoglukanase bakteri B.thuringiensis yaitu forward 65,50C dan reverse 67,60C
(Lampiran 3). Rybicki (1996) menyatakan bahwa optimasi PCR juga diperlukan
untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu
denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah
dapat menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak
dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses penempelan primer pada
utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi atau sebaliknya suhu
yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel pada sisi genom lain yang
bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi banyak daerah tidak
spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing) ditentukan
berdasarkan primer yang digunakan, dipengaruhi oleh panjang dan komposisi
primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 5 0C di bawah suhu leleh. Secara
umum suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T) 0C.
Hasil optimasi siklus PCR menunjukkan bahwa primer gen endoglukanase
bakteri B.subtilis dapat teramplifikasi pada suhu annealing 500C, 550C, dan 600C,
sedangkan primer gen endoglukanase bakteri B.thuringiensis dapat teramplifikasi
pada suhu annealing 450C, 500C, dan 550C. Suhu annealing semakin dekat
dengan TM primer, maka semakin spesifik daerah yang teramplifikasi oleh primer
gen tersebut. Sekuen primer gen endoglukanase yang digunakan untuk bakteri
B.subtilis yaitu primer spesifik yang didesain menggunakan program Primer3®
(Tabel 6), sedangkan sekuen primer gen endoglukanse yang digunakan untuk
bakteri B.thuringiensis yaitu primer degenerate yang didesain menggunakan
program CODEHOP® (Tabel 7). Primer gen endoglukanase bakteri B.subtilis
memiliki target amplikon 1.415 bp, sedangkan primer gen endoglukanase bakteri
B.thuringiensis memiliki target amplikon 1.250 bp. Primer merupakan komponen
56
paling penting dalam reaksi PCR karena berperan sebagai pemula pada proses
sintesis (William et.al 1990 dalam Ain 2011) dan menentukan daerah genom yang
akan diamplifikasi.
Hasil
amplifikasi dengan PCR dipisahkan dengan
elektroforesis gel agarosa dan secara langsung divisualisasikan setelah pewarnaan
dengan EtBr (Gambar 21 dan 23).
M B.1.2
---
10.000 bp
2000 bp
1500 bp
1000 bp
Amplikon Gen
Endoglukanase
Bakteri B.subtilis
500 bp
Gambar. 21
Elektroforegram Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.subtilis Suhu
Annealing 600C (B.1.2)
Keterangan:
B.1.2 : Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.subtilis
M
: Marker DNA Ladder 1 kb
: Kontrol Negatif
bp
: basepair
Pada Gambar 21, menunjukan bahwa pita dari produk amplikon berada
pada ukuran diantara 1000 dan 1500 bp sesuai dengan target saat desain primer
spesifik menggunakan program Primer3® yaitu 1415 bp. Sehingga sampel hasil
amplifikasi tersebut dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu sekuensing.
Sebelum dilakukan sekuensing, terlebih dahulu dilakukan purifikasi produk
amplikon oleh 1st BASE (Gambar 22).
57
2.000 bp
1.500 bp
1.000 bp
750 bp
500 bp
250 bp
Keterangan:
1
: Kode Bakteri B.1.2
1kb
: Marker DNA Ladder 1 kb
bp
: basepair
Gambar. 22
Hasil Purifikasi Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.subtilis (B.1.2) Oleh
1st BASE
Pada Gambar 22 menunjukkan hasil purifikasi pita produk amplikon yang
akan disekuensing berada pada ukuran ~1500 bp. Ukuran tersebut berada pada
posisi yang sama dengan posisi pita pada elektroforegram hasil PCR.
M
C2
--
10.000 bp
2000 bp
1500 bp
1000 bp
Amplikon Gen
Endoglukanase Bakteri
B.thuringiensis
500 bp
Keterangan:
C2
: Amplikon Gen Endoglukanase
Bakteri B.thuringiensis
M
: Marker DNA Ladder 1 kb
: Kontrol Negatif
bp
: basepair
Gambar. 23
Elektroforegram Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.thuringiensis
Suhu Annealing 550C (C2)
58
Pada Gambar 23, menunjukan bahwa pita dari produk amplikon berada
pada ukuran diantara 1000 dan 1500 bp sesuai dengan target saat desain primer
degenerate menggunakan program CODEHOP® yaitu mendekati ukuran 1250 bp,
sehingga sampel hasil amplifikasi tersebut dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya
yaitu sekuensing. Sebelum dilakukan sekuensing, terlebih dahulu dilakukan
purifikasi produk amplikon oleh 1st BASE (Gambar 24).
2.000 bp
1.500 bp
1.000 bp
750 bp
500 bp
250 bp
Gambar. 24
Hasil Purifikasi Amplikon Gen Endoglukanase Bakteri B.thuringiensis (C2)
oleh 1st BASE
Keterangan:
1
: Kode Bakteri C2
1kb
: Marker DNA Ladder 1 kb
bp
: basepair
Pada Gambar 24 menyatakan bahwa hasil purifikasi pita produk amplikon
yang akan disekuensing berada pada ukuran ~1.500 bp. Ukuran tersebut berada
pada posisi yang sama dengan posisi pita pada elektroforegram hasil PCR.
4.3.4
Analisis Hasil Sekuensing Gen Pengkode Endoglukanase
Hasil amplifikasi PCR (amplikon) gen endoglukanase bakteri B.subtilis
dan B.thuringiensis kemudian disekuensing. Pada tahapan ini, sekuensing
dilakukan menggunakan 1st BASE. Pada prosesnya, sekuensing dilakukan dengan
59
menggunakan primer forward dan reverse gen endoglukanase dari masing-masing
template.
Hasil sekuensing (Lampiran 22 dan 24) berupa urutan basa-basa
nukleotida penyusun DNA gen dari sampel bakteri yang dikarakterisasi secara
molekuler. Sekuensing merupakan proses pembacaan urutan basa (nukleotida)
dari suatu molekul DNA. Secara umum proses sekuensing mendasarkan
metodenya pada prinsip sekuensing Sanger. Molekul DNA pada awalnya
diamplifikasi sesuai dengan target menggunakan suatu pasangan primer. Pada
proses
pembacaan
urutan
basa,
digunakan
molekul
dideoxynucleoside
triphosphate (ddNTP) yang dilabel dengan suatu unsur radio aktif (pada umumnya
32
P) atau molekul fluorescen sebagai terminator penghubung untuk mendeteksi
basa yang sesuai. Pada tahap akhir proses sekuensing, dilakukan elektroforesis
masing-masing bagian template molekul DNA dan hasilnya didokumentasi dalam
bentuk autoradiografi atau langsung terhubung dengan detektor fluorescen pada
sekuenser DNA otomatis (Primrose and Twyman 2006).
Jenis data hasil sekuensing yang diperoleh pada penelitian ini berupa data
kromatogram dan urutan nukleotida sekuen forward dan reverse yang harus
diolah menggunakan perangkat/program BioEdit® (Lampiran 21). Data yang
diperoleh dari hasil penggunaan program BioEdit® digunakan sebagai data dasar
untuk diolah kembali pada multiple aligment (pensejajaran berganda) dengan
database sekuen yang ada di GeneBank dengan NCBI BLAST pada level
nukleotida dan dapat diakses di website http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/blast.cgi.
Penggunaan pensejajaran berganda bertujuan untuk mensejajarkan dan
mencocokan hasil sekuensing yang diperoleh dari hasil penelitian dengan data
yang telah ada di GeneBank. Analisis ini dilakukan untuk memastikan bahwa
hasil sekuensing dari penelitian ini benar-benar merupakan sekuen dari gen
endoglukanase bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis. Setelah didapatkan
konsensus dari sekuen primer forward dan reverse, maka setelah itu dilakukan
analisis BLASTX untuk konfirmasi awal terhadap masing-masing hasil
sekuensing sehingga dapat diketahui apakah gen target merupakan gen
endoglukanase atau bukan. Analisis awal BLASTX (Tabel 8) ini menunjukkan
60
bahwa hasil sekuensing menunjukkan tingkat homologi yang cukup tinggi dengan
gen endoglukanase bakteri B.subtilis pada basis data GeneBank.
Tabel 8. Hasil Analisis Pensejajaran Berganda (BLASTX) Urutan Sekuen
Hasil Sekuensing Template Bakteri B.subtilis dengan Data GeneBank
Protein Hasil
BLASTX
Endoglucanase
(Bacillus subtilis)
Accession
Number
Query Coverage
(%)
Max Ident
(%)
E-value
WP_017696508.1
95
92
0.0
Data hasil yang diperoleh menunjukan sekuen hasil sekuensing memiliki
tingkat kesesuaian/homologi yang tinggi dengan gen endoglukanase dari bakteri
B.subtilis dengan Query Coverage 95% dan Max Ident 92% dengan data di
GeneBank (Lampiran 23). Hasil BLASTX dari sekuen hasil sekuensing dari
template amplikon bakteri B.thuringiensis disajikan pada Tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9. Hasil Analisis Pensejajaran Berganda (BLASTX) Urutan Sekuen
Hasil Sekuensing Template Bakteri B.thuringiensis dengan Data
GeneBank
Protein Hasil
Accession
Query
Max Ident
E-value
BLASTX
Number
Coverage (%)
(%)
Endoglucanase
(Bacillus
thuringiensis
EEM47662
92
98
0.0
serovar pakistani
str. T13001)
Pada Tabel 9 terlihat bahwa sekuen hasil sekuensing memiliki tingkat
kesesuaian/homologi yang tinggi dengan gen endoglukanase dari bakteri
B.thuringiensis. Hal ini ditunjukan dengan Query Coverage 92% dan Max Ident
98% dengan data di GeneBank (Lampiran 25).
61
4.3.5 Analisis Hasil Karakterisasi In Silico Sekuen Gen Pengkode
Endoglukanase
a.
Domain Fungsional
Domain fungsional merupakan sekuen lestari yang
mencirikan suatu
kelompok gen tertentu yang memiliki karakteristik khas secara struktural. Domain
biasanya lebih panjang dari motif. Sebuah domain itu terdiri lebih dari 40 residu
dan sampai 700 residu, dengan rata-rata panjang 100 residu. Sebuah domain dapat
memiliki suatu bagian motif didalamnya dapat pula tidak mengandung motif
(Xiong 2006). Hasil analisis karakter domain fungsional dari sekuen gen
pengkode endoglukanase dari bakteri B.subtilis menunjukkan bahwa pada sekuen
gen tersebut ditemukan multi-domain BglC yang menunjukkan karakter khas gen
pengkode enzim endoglukanase pada bakteri (Gambar 25).
Gambar 25. Struktur Domain Fungsional Sekuen Gen Pengkode
Endoglukanase Bakteri B.subtilis
(Hasil Analisis Program Conserved Domain Database (CDD)-NCBI :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/wrpsb.cgi)
Pada sekuen gen endoglukanase bakteri B.subtilis juga ditemukan daerah
domain katalitik selulase (cellulase) pada residu asam amino 1-70 dan
superfamilinya yang menunjukkan karakter khas kelompok enzim selulase
62
(kelompok hidrolase 5). Daerah domain CBM3 (Carbohydrate Binding Module)
juga ditemukan pada sekuen tersebut yang menunjukkan daerah pengikatan enzim
terhadap substrat selulase (bagian dari karbohidrat) pada residu 131-212 (Gambar
26). Satu dari 6 residu glutamat (E atau Glu) yang teridentifikasi dalam sekuen
yaitu Glu211 diduga memiliki peran penting dalam analisi topologi ini. Residu
asam amino ini menjadi penanda aktifitas katalitik endoglukanase pada proses
hidrolisis selulosa (Rachim 2008; Armstrong et.al 1998 ).
10
20
30
40
50
60
MYALHFYAGT HGQFLRDKAN YALSKGAPIF VTEWGTSDAS GNGGVFLDQS REWLKYLDSK
70
80
90
100
110
120
TISWVNWNLS DKQESSSALK PGASKTGGWR LSDLSASGTF VRENILGTKD STKDIPETPA
130
140
150
160
170
180
KDKPTQENGI SVQYRAGDGS MNSNQIRPQL QIKNNGNTTV DLKDVTARYW YNAKNKGQNV
190
200
210
220
230
240
DCDYAQLGCG NVTYKFVTLH KPKQGADTYL ELGFKNGTLA PGASTGNIQL RLHNDDWSNY
250
260
AQSGDYSFFK SNTLKQRKKS HMTAPC
(a)
Catalytic domain
Substrate binding domain
Cellulase GH 5
1
CBM 3
70
100 131
212
266
Endoglucanase BglC
(b)
Gambar 26. Sekuen Asam Amino Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri
B.subtilis (a) Topologi Sekuen, (b) Struktur Domain Fungsional
: Domain Katalitik (Cellulase GH5) Residu 1-70 ; Domain
Pengikatan Substrat (CBM3) Residu 131-212, E (Glu) : Residu
Glutamat
63
Hasil analisis karakter domain fungsional dari sekuen gen pengkode
endoglukanase dari bakteri B.thuringiensis menunjukkan bahwa pada sekuen gen
tersebut ditemukan daerah domain katalitik yang merupakan daerah spesifik
Glyco Hydro 8 pada residu asam amino 30-370. Hal ini menunjukkan karakter
khas enzim pengkode kelompok hidrolase famili 8, termasuk didalamnya adalah
endoglukanase (Gambar 27).
Gambar 27. Struktur Domain Fungsional Sekuen Gen Pengkode
Endoglukanase Bakteri B.thuringiensis
(Hasil Analisis Program Conserved Domain Database (CDD)-NCBI :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/wrpsb.cgi)
Domain katalitik Glyco Hydro 8 (GH 8) merupakan daerah yang
menunjukkan karakteristik daerah fungsional kelompok enzim pengkode enzimenzim hidrolase famili 8, termasuk didalamnya adalah selulase (Gambar 28).
Gambar 28. Kelompok Domain Glyco Hydro 8 (GH 8)
(Sumber : http://www.cazy.org/GH8.html)
64
Topologi sekuen asam amino gen pengkode endoglukanase bakteri
B.thuringiensis dan struktur domain fungsionalnya disajikan pada Gambar 29.
Sebanyak 8 residu glutamat juga ditemukan pada sekuen ini
10
20
30
40
50
60
MKPFPQQVNY AGVIKPNHVT QESLNASVRS YYDNWKKKYL KNDLSSLPGG YYVKGEITGD
70
80
90
100
110
120
ADGFKPLGTS EGQGYGMIIT VLMAGYDSNA QKIYDGLFKT ARTFKSSQNP NLMGWVVADS
130
140
150
160
170
180
KKAQGHFDSA TDGDLDIAYS LLLAHKQWGS NGTVNYLKEA QDMITKGIKA SNVTNNNRLN
190
200
210
220
230
240
LGDWDSKSSL DTRPSDWMMS HLRAFYEFTG DKTWLTVINN LYDVYTQFSN KYSPNTGLIS
250
260
270
280
290
300
DFVVKNPPQP APKDFLDESE YTNAYYYNAS RVPLRIVMDY AMYGEKRSKV ISDKVSSWIQ
310
320
330
340
350
360
NKTNGNPSKI VDGYQLNGSN IGSYPTAVFV SPFIAASITS SNNQKWVNSG WDWMKNKRES
370
YFSDSYNLLT MLLYRLQLW
(a)
Catalytic domain
Glyco Hydro 8
1
30
370 379
Endoglucanase
(b)
Gambar 29. Sekuen Asam Amino Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri
B.thuringiensis (a) Topologi Sekuen, (b) Struktur Domain
Fungsional : Domain Katalitik (Glyco Hydro 8) Residu 30-370,
E: Residu Glutamat (Glu).
65
Pada sekuen gen pengkode endoglukanase bakteri B.thuringiensis tidak
ditemukan secara spesifik multi-domain BglC (endoglukanase) seperti yang
ditemukan pada endoglukanase dari bakteri B.subtilis. Hal ini dikarenakan sekuen
gen tersebut memiliki kemiripan sekuen dengan domain kelompok enzim
hidrolase yang lain seperti chitosanase (Lampiran 25) .
b.
Sisi Aktif
Sisi aktif merupakan daerah/situs yang berkaitan dengan aktifitas enzim
dalam kondisi fungsional, pada umumnya terkait juga dengan pengikatan enzim
terhadap substrat. Daerah sisi aktif juga diketahui ditandai oleh keberadaan residu
asam amino tertentu. Pada endoglukanase, residu glutamat (E atau Glu) dan residu
asam aspartat (D atau Asp) merupakan residu yang menjadi penanda aktifitas
enzim tersebut (Kawaminami et.al 1999). Pada penelusuran keberadaan sisi aktif
dari sekuen protein gen pengkode endoglukanase B.subtilis diketahui terdapat
daerah sisi aktif CBM3 yang diidentifikasi sebagai daerah pengikatan enzim
terhadap substrat selulase (Gambar 30).
Gambar 30. Daerah Sisi Aktif Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri
B.subtilis
(Sumber : http://prosite.expasy.org/cgibin/prosite/ScanView.cgi?scanfile=694856925245.scan.gz)
66
Pada penelusuran sisi aktif gen pengkode endoglukanase bakteri
B.thuringiensis juga ditemukan keberadaan sisi aktif. Sisi aktif tersebut
menunjukkan karakter sisi aktif kelompok enzim gliko-hidrolase famili 8 (GH-8)
dengan urutan sekuen asam amino ATDGDLDIAYSLLLAHKQW (Gambar 31).
Gambar 31. Daerah Sisi Aktif Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri
B.thuringiensis
(Sumber : http://prosite.expasy.org/cgibin/prosite/ScanView.cgi?scanfile=346154428423.scan.gz)
c.
Motif
Motif adalah suatu pola sekuen lestari yang berukuran pendek yang
berkaitan dengan perbedaan fungsi dari suatu protein. Pada penelusuran motif dari
sekuen protein gen pengkode endoglukanase bakteri B.subtilis, diketahui terdapat
motif dominan yaitu CBM3, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
motif protein ini menunjukkan aktifitas pengikatan substrat karbohidrat (selulosa)
oleh enzim endoglukanase. Motif-motif pendek yang lain juga ditemukan di
sepanjang
sekuen
protein,
CAMP_PHOSPHO_SITE,
diantaranya
ASN_GLYCOSYLATION,
CK2_PHOSPHO_SITE,
MYRISTYL,
dan
PKC_PHOSPHO_SITE (Gambar 32).
Motif ASN_GLYCOSYLATION merupakan daerah atau situs modifikasi
pasca translasi berupa proses penambahan glikan (disebut glikosilasi) pada daerah
67
residu aspargin (Asn), berukuran 3 asam amino (Medzihradszky 2008). Motif
CAMP_PHOSPHO_SITE
menunjukkan
daerah
terjadinya
fosforilasi
menggunakan cAMP atau cGMP, motif ini memiliki konsensus [RK](2)-x-[ST]
dan pada sekuen gen ini ditemukan dalam urutan RKKS (Deihimi 2012). Motif
CK2_PHOSPHO_SITE menunjukkan daerah tempat terjadinya fosforilasi kasein
kinase II, motif ini memiliki konsensus [ST]-x(2)-[DE] dan pada sekuen gen ini
ditemukan dalam urutan STKD, TTVD, dan TYLE (Gao and Wang 2006). Motif
MYRISTYL menunjukkan situs tempat proses miristilasi yaitu penambahan
gugus myristyl pada suatu protein diakhir proses translasi. Motif ini memiliki
konsensus G-{EDRKHPFYW}-x(2)-[STAGCN]-{P} dan pada sekuen gen ini
ditemukan dalam urutan GTSDAS, GASKTG, GTKDST, GSMNSN dan
GASTGN (Stroh et.al 2002). Motif PKC_PHOSPHO_SITE menunjukkan daerah
tempat terjadinya fosforilasi protein kinase C, motif ini memiliki konsensus [ST]x-[RK] dan pada sekuen gen ini ditemukan dalam urutan SDK, STK, TAR,
TYK, TLK (Leonard et.al 2011).
Gambar 32. Motif Sekuen Protein Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri
B.subtilis
(Sumber : http://myhits.isb-sib.ch/cgi-bin/motif_scan)
68
Penelusuran motif pada sekuen protein gen pengkode endoglukanase
bakteri B.thuringiensis menunjukkan motif protein glikohidro 8 (Glyco Hydro 8).
Motif ini diidentifikasi sebagai motif yang menjadi ciri khas kelompok enzim
golongan glikohidrolase, termasuk endoglukanase. Motif-motif pendek yang lain
juga
ditemukan
di
sepanjang
sekuen
protein,
diantaranya
Motif
ASN_GLYCOSYLATION, motif CAMP_PHOSPHO_SITE dalam urutan sekuen
KRES, motif CK2_PHOSPHO_SITE dalam urutan sekuen SYYD, SATD, SSLD
dan SGWD, motif MYRISTYL dalam urutan sekuen GTSEGQ, GMIITV,
GLFKTA,
GSNGTV,
GIKASN
dan
GSNIGS
serta
motif
PKC_PHOSPHO_SITE dalam urutan sekuen SVR, TAR, TFK, SKK, SNK, dan
SDK (Gambar 33).
Gambar 33. Motif Sekuen Protein Gen Pengkode Endoglukanase Bakteri
B.thuringiensis
(Sumber : http://myhits.isb-sib.ch/cgi-bin/motif_scan)
69
Berdasarkan hasil karakterisasi secara In Silico dari sekuen protein gen
pengkode endoglukanase pada bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis dapat
diketahui bahwa kedua sekuen protein tersebut memiliki aktifitas fungsional yang
menunjukkan peluang terekspresinya enzim endoglukanase dari kedua isolat
bakteri tersebut bila dilakukan proses ekspresi gen. Dari kedua sekuen protein
tersebut, juga diketahui memiliki kemiripan pada beberapa aspek, yang dapat
mengindikasikan lestarinya (tidak terlalu banyak terjadi mutasi) sekuen gen
endoglukanase pada genus yang sama. Matriks perbandingan karakterisasi In
Silico dari kedua gen pengkode endoglukanase tersebut disajikan pada Tabel 10.
Tabel
10.
Matriks Perbandingan Sekuen Protein Gen Pengkode
Endoglukanase Dari Bakteri B.subtilis dan B.thuringiensis
Isolat
Ukuran
Domain
Sekuen
Fungsional
B.subtilis
1151 bp/ -Cellulase
383 aa
super family
-Cellulase
-CBM_3
-BglC
B.thuringiensis 1258 bp/ Glyco_hydro
418 aa
_8
Sisi
Motif
Aktif
CBM3 -ASN_GLYCOSYLATION
-CAMP_PHOSPHO_SITE
-CK2_PHOSPHO_SITE
-MYRISTYL
-PKC_PHOSPHO_SITE
Glyco -ASN_GLYCOSYLATION
Hydro -CAMP_PHOSPHO_SITE
8
-CK2_PHOSPHO_SITE
-MYRISTYL
-PKC_PHOSPHO_SITE
Berdasarkan Tabel 10 diatas dapat diketahui bahwa kedua sekuen protein
pengkode gen endoglukanase dari kedua bakteri dalam satu genus Bacillus yaitu
B.subtilis dan B.thuringiensis masih memiliki karakter yang hampir mirip. Pada
aspek motif protein, motif-motif pendek yang ditemukan merepresentasikan
kemiripan yang sangat tinggi, hal ini mengindikasikan kekerabatan gen yang
dekat diantara kedua sekuen protein tersebut.
Download