fenomena sosial fundamentalisme islam

advertisement
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
FENOMENA SOSIAL FUNDAMENTALISME ISLAM
*)
Abdullah Sattar
Abstrak
Tulisan ini hendak melihat akar-akar sosial politik muncul dan
berkembangnya fenomena fundamentalisme dalam dunia Islam.
Gerakan fundamentalisme Islam setidaknya memiliki empat motif yang
menjadi arah gerakannya: sebagai gerakan pembaruan, reaksi terhadap
arus modernitas, reaksi terhadap westernisasi, dan keyakinan terhadap
agama sebagai teologi alternatif. Berpegang pada prinsip-prinsip
perlawanan (oppositionalism), penolakan terhadap hermeneutika,
penolakan terhadap pluralisme dan relativisme, serta penolakan
terhadap perkembangan historis dan sosiologis, gerakan fundamentalis
berkembang dari gerakan keagamaan menjadi gerakan politik-ideologis.
Penulis melihat kemunculan fundamentalisme di dunia Islam disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu adanya represi (penindasan) politik,
kegagalan rezim sekular dalam merumuskan kebijakan dan
mengimplementasikannya di dalam kehidupan masyarakat, respon
terhadap Barat (rasionalisasi, modernisasi, sekularisasi dan kapitalisme),
respon atas situasi politik internasional yang sering membuat dunia
Islam tersudut atau bahkan teraniaya, serangan kultural (budaya)
terhadap masyarakat Islam dan terakhir kegagalan negara-negara
dengan mayoritas penduduk beragama Islam dalam menyejahterakan
masyarakatnya.
Kata Kunci: Fundamentalisme, Islam, Barat
Pendahuluan
Agak sulit kita menelusuri term fundamentalisme di dalam Islam, apalagi
sejarahnya. Para pakar menggunakan istilah yang berbeda tentang
fundamentalisme Islam ini. Sebagian pakar menyamakan (mengaburkan)
fundamentalisme dengan Islam politik, revivalis, literalis, skripturalis, Islamis,
bahkan radikalisme dan terorisme.
Istilah fundamentalisme berasal dari Protestan, yang menunjukkan suatu
penafsiran literal, namun kreatif terhadap Bibel. Makna yang sebenarnya dari
*)
Dosen tetap pada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya
2 | Abdullah Sattar
istilah ini diasumsikan sebagai suatu sikap intelektual yang mengklaim telah
1
mendasarkan prinsip-prinsip politiknya dari teks-teks suci.
Menurut M. ‘Abid Al-Jâbirî, istilah ‘muslim fundamentalis’ awalnya
dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin Al-Afghânî.
Istilah ini, dicetuskan karena bahasa Eropa tak punya istilah padanan yang tepat
untuk menterjemahkan istilah Salafiyyah. Hingga Anwar Abdul Malik pun
memilih istilah itu sebagai representasi dari istilah Salafiyyah Al-Afghânî, dalam
bukunya Mukhtarât min Al-Adab Al-Arabi Al-Mu‘âshir, dengan tujuan
memudahkan pemahaman dunia tentangnya dengan istilah yang sudah cukup
akrab: fundamentalisme.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi. Professor filsafat
Universitas Cairo ini mengatakan bahwa term ‘muslim fundamentalis’ adalah
istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan
gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu
sering digunakan oleh banyak pemikir.
Dalam buku Al-Islâm Al-Siyasî (1987), Al-Asymawi berkata bahwa istilah
fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali ke asas
ajaran Kristen yang pertama. Term itu kemudian berkembang. Lalu disematkan
pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan
ajaran formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berpikir dan bertindak.
Hingga komunitas Islam yang berkarakter semacam itu kena imbas disebut
fundamentalis, dan istilah fundamentalisme Islampun muncul.
Musa Keilani, sebagaimana dikutip Yusril Ihza Mahendra, mendefinisikan
fundamentalisme sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat
Islam kembali kepada “prinsip” Islam yang fundamental, kembali kepada
kemurnian etika dengan cara mengintegrasikan secara positif (dengan doktrin
agama), kembali kepada keseimbangan hubungan antara manusia dengan
2
Tuhan, manusia dengan kepribadiannya sendiri.
Allan Taylor mendefinisikan fundamentalis sebagai kelompok yang
melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan,
bercorak literalis dan menekankan pada pemurnian doktrin. Sementara Patrick
Bennerman melihat kaum fundamentalis sebagai kelompok ortodoks yang
bercorak rigid dan ta’ashub yang bercita-cita menegakkan konsep keagamaan
3
dari abad XVII M, yaitu doktrin Islam dari zaman klasik.
1
Youssef M. Choueri, Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalisme, penterj.
Humaidi Syuhud dan M. Madkur (Yogyakarta: Qonun, 2003), v.
2
Yusril Ihza Mahendra, Fundamentalisme dan Modernisme Politik Islam (Jakarta:
Paramadina, 1999), 17.
3
Ibid.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
Fenomena Islam Fundamentalisme Islam | 3
Meminjam istilah Fazlur Rahman, kaum fundamentalis lebih senang
kepada slogan-slogan yang bercorak distinktif, yang pada hakikatnya mereka
sebagai kelompok “anti intelektual” dan menafikan pluralitas. Simbol atau
slogan yang sering digunakan adalah “jihad”. Dengan semboyan tersebut kaum
fundamentalis mempunyai kecenderungan membakar emosi massa yang tidak
memiliki pengetahuan yang memadai tentang doktrin teologi keagamaan, dari
pada membangun kesadaran teologis dan mencerahkan mereka mengenai
4
realitas sosial politik.
Karakteristik Fundamentalisme
Karakteristik fundamentalis, menurut Farid Esack ada tujuh ciri; yaitu
pertama, berkomitmen pada praktik keagamaan yang ketat; kedua,
berkomitmen mentaati teks; ketiga, memiliki pandangan ahistoris bahwa Islam
mampu menjawab semua persoalan umat manusia secara permanen; keempat,
berkeyakinan akan perlunya penerapan syari’at sebagai yang diyakini
fundamentalis telah dipraktikkan dalam era Nabi Muhammad Saw di Madinah;
kelima, berkomitmen untuk menegakkan negara Islam dengan kedaulatan di
tangan Tuhan; keenam, permusuhan terhadap semua yang menolak
fundamentalis dengan menyebut mereka sebagai orang yang telah memiliki
kesesatan dari pada kebenaran; ketujuh, penyangkalan terhadap kebaikan
5
apapun dalam sesuatu yang non-Islam.
Kelompok fundamentalis, secara sosial dapat dibedakan dengan
kelompok yang lain. Setidaknya mereka mempunyai beberapa ciri, misalnya,
penggunaan jalabiyah (jubah panjang), imamah (serban), isbal (celana yang
panjangnya sampai batas mata kaki), memanjangkan jenggot. Ciri ini melekat
bagi kelompok laki-laki. Sedang kelompok perempuannya memakai niqab
(pakaian panjang hitam yang menutupi seluruh tubuh). Mereka mengoraginisir
diri dalam komunitas-komunitas kecil yang terjalin secara ketat dan eksklusif.
Sebutan-sebutan anta, ana, akhi dan lain-lain yang berbau arab kental mereka
gunakan dalam percakapan sehari-hari. Mereka merindukan kehidupan persis
sepserti zaman Nabi saw dan para sahabat menjalankannya. Bagi mereka
kehidupan yang ideal adalah kehidupan sebagaimana yang dilakukan Nabi.
6
Sedang kehidupan sekarang dianggap sudah westernized.
4
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah,
Masyarakat Madani dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 312.
5
Ibid.
6
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Milita nsi dan Pencarian Identitas di Indonesia
Pasca Orde Baru (Jakarta: LP3ES & KITLV-Jakarta, 2008), 31. Haidar Ibrahim Ali
memunculkan ciri-ciri kaum fundamentalis seperti tertutup, intoleran, keras, berorientasi
ke belakang, dan menolak perubahan perkembangan. Mereka mdemiliki orientasi yang
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
4 | Abdullah Sattar
Kelompok fundamentalis juga sering melakukan ikonoklasme.
Iconoclasticism (bahasa Inggris) adalah tindakan penghancuran patung, lukisan,
monumen atau simbol-simbol (icons), baik karena alasan teologis maupun
politis. Para pelaku tindakan pengrusakan atau yang biasa disebut iconoclasts
umumnya berangkat dari pemahaman literal terhadap ajaran agama bahwa
patung, lukisan, monumen, dan benda-benda seni adalah “berhala” yang dapat
7
membuat orang beriman menjadi musyrik.
Menurut Jalaludin Rahmat-sebagaimana dikutip Muhammadun AS- ada
empat motif yang bisa dijadikan bahan mendeteksi dan mendefinisikan arah
gelombang fundamentalisme. Yakni sebagai gerakan pembaruan, reaksi
terhadap arus modernitas, reaksi terhadap westernisasi, dan keyakinan terhadap
agama sebagai teologi alternatif.
Pertama, sebagai gerakan pembaruan. Dalam konteks ini, kaum
fundamentalis ingin menggugah kembali nalar berpikir manusia yang terjebak
dalam berbagai aliran pemikiran yang terpencar, sehingga tidak mampu bersatu
membangun teologi baru yang progresif dan proyektif. Untuk itu mereka
berusaha sekuat tenaga melakukan gerakan pembaruan umatnya dengan
merujuk kembali pada ajaran dasar yang telah diyakini selama ini, kemudian
membangun gerakan progresif yang mampu menceraikan umat manusia.
Dalam dataran ini, fundamentalisme sangat bermakna posisitif, karena kaum
fundamentalis menggugah umat manusia dari kealpaannya.
Kedua, sebagai reaksi terhadap arus modernitas. Hal ini termasuk dalam
kategori pendekatan sosiologis. Atau dalam bahasa Bassam Tibi, ia digunakan
sebagai perlawanan terhadap ordo sekuler (secular orde). Itulah sebabnya
fundamentalisme sesungguhnya bukan semata-mata penghayatan agama
kembali, tetapi merupakan a prartical policy preference. Lebih berupa penekanan
pada persoalan kekuasaan politik. Dalam konteks ini, fundamentalisme tidak
hanya terjadi dalam umat Islam (sebagaimana yang berkembang selama ini),
namun bagi Tibi fundamentalisme juga telah berkembang bagi kalangan Kristen
dan gerakan religi-politik dalam konteks budaya lainnya, seperti gerakan
Khalistan di kalangan kaum Sikh atau revivalisme Hindu di India. Bahkan bagi
Tibi, fundamentalisme tidak ada kaitannya dengan Islam. Ia hidup dan
kuat ke masa lalu, dimana masa lalu dianggap sebagai zaman keemasan yang harus
dihadirkan kembali di era kini. Di samping intoleran, mereka cenderung pada kekerasan
karena keinginannya yang kuat untuk mengubah orang lain dan lingkungannya sesuai
dengan keyakinan yang dianutnya. (lihat Haidar Ibrahim Ali, “Menelusuri Sejarah dan
Makna Fundamentalisme”, dalam http//pcinu-mesir.tripod.com.Lihat juga Asep Syamsul
M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (Jakarta: Gema
Insani, 2000), 34.
7
Luthti Assyaukanie, Islam Benar Versus Islam Salah (Jakarta: Kata Kita, 2007), 155.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
Fenomena Islam Fundamentalisme Islam | 5
berkembang dalam agama-agama lain. Namun dalam perkembangannya, pers
Baratlah yang sering mengaitkannya dengan Islam. Dan, kaitan-kaitan inilah
yang sebenarnya sedang dilawan Islam, namun perlawanan mereka ternyata
banyak diselubungi oleh kepentingan-kepentingan politik yang hegemonik
juga.
Ketiga, reaksi terhadap westernisasi. Dalam konteks ini, menarik apa yang
dijelaskan Samuel Huntington bahwa telah terjadi perang peradaban (the clash
of civilization) antara Barat (The West) dan Timur (The East). Tesis Huntington
inilah yang kemudian memicu dua peradaban besar ini untuk selalu
bermusuhan setiap waktu. Barat yang merasa berkuasa selalu melancarkan
hegemoni, sementara Timur yang berada di bawah berusaha sekuat tenaga
untuk melepaskan hegemoni Barat. Kaum Timur seolah ingin memutus apapun
yang berasal dari Barat. Dalam konteks inilah kaum fundamentalis berkembang
luar biasa.
Keempat, keyakinan terhadap agama sebagai teologi alternatif. Dalam hal
ini, umat Islam sering terjebak. Kaum fundamentalis Muslim banyak tejebak
bahwa Islam sebagai agama yang akan menyelesaikan segala problem dunia.
Islam adalah agama sekaligus ideologi. Yang sering muncul di sini Islam adalah
agama yang tinggi, bahkan tidak ada yang menyaingi (al-islam ya'lu wala yu'la
alaihi), Islam sebagai agama sekaligus juga jihad (al-Islam dinun wa jihadun)
Islam selalu sesuai dengan kondisi apapun (al-islam solihun likulli zamanin wa
8
makanin), dan lain sebagainya.
Menurut Marty, ada beberapa prinsip yang dipegang teguh oleh kaum
fundamentalis; pertama, perlawanan (oppositionalism). Menurut Marty,
fundamentalisme dalam agama apa pun mengambil bentuk perlawanan-yang
sering bersifat radikal-terhadap ancaman yang dipandang membahayakan
eksistensi agama, baik dalam bentuk modernisme, sekulerisme, maupun tata
nlai Barat pada umumnya. Acuan dan tolak ukur sebuah ancaman tentu saja
adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme Islam adalah al-Qur;an,
dan pada batas-batas tertentu juga hadits Nabi saw.
Kedua, penolakan terhadap hermeneutika, dengan kata lain kaum
fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya. Teks alQur’an harus dipahami secara literal-sebagaimana adanya karena nalar
dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.
8
Muhammadun
AS,
Menghadang
Gelombang
Fundamentalisme
dalam
http://www.suarakarya-online.com. Lihat juga Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme:
Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, terj. Imron Rosyidi (Yogtakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 2000), 121-140.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
6 | Abdullah Sattar
Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum
fundamentalis, pluralitas merupakan hasil pemahaman yang keliru terhadap teks
kitab suci.
Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis.
Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan
sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literer kitab suci.
Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai as it should be,
bukan as it is. Dalam kerangka ini, masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri
dengan teks kitab suci, dan bukan sebaliknya, teks atau tafsirannya yang
mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, kaum fundamentalis
bersifat a-historis dan a-sosiologis, dan bertujuan kembali pada bentuk
masyarakat “ideal” seperti pada zaman Nabi dan kaum salaf, yang dipandang
9
sebagai pengejawantahan atas kitab suci secara sempurna.
Fenomena Sosial Fundamentalisme Islam
1. Dari Agama ke Politik
Para orentalis menganggap Islam fundamentalis
sebagaimana
fundamentalisme secara umum. Watt mengemukakan ciri-ciri bagi orang
Islam seperti: teguh, tidak mudah goyah, hilangnya pikiran perkembangan,
dan wataknya tidak berubah, Islam cukup mengambil sample dari masamasa pertama.
Gellner melihat Islam fundamentalis itu mempunyai sifat
kesederhanaan, penuh dengan kekuatan, militansi yang kadang-kadang
keras, dan gerakan menjaga masyarakat, mayoritas kehidupannya miskin,
mampu mengkondisikan masyarakat dengan kebudayaan kuno yang
terkandung
dalam
akidahnya,
serta
menunjukkan
sebab-sebab
kesengsaraannya itu disebabkan oleh penyimpangan dari jalan yang benar,
dan solusi dari semua ini adalah kembali kepada etika dan kekuatan
identitas.
Sebagian lagi berpendapat, bahwasanya fundamentalisme adalah
ideologi yang kuat pada dunia ketiga yang bergerak untuk mencapai
kemerdekaaan dari para penjajah, namun pada saat sekarang ini terkadang
sekedar menjaga identitas kebudayaan dari arus globalisasi.
Di antara orang-orang yang mempunyai pandangan dan analisis
terhadap gerakan kebangkitan Islam kontemporer seperti ini adalah mantan
Presiden Amerika Richard Nixon yang berkata dalam bukunya, Seize the
Moment, mereka adalah orang-orang yang digerakkan oleh kebencian
9
Martin E. Marty, “What is Fundamentalism? Theological Perspective”Challance (London:
t.p., 1992), 3-13.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
Fenomena Islam Fundamentalisme Islam | 7
mereka yang sangat kepada Barat. Mereka bersikukuh mengembalikan
peradaban Islam yang lampau dengan cara membangkitkan masa lalu.
Mereka bertujuan mengaplikasikan syariat Islam dan mengampanyekan
bahwa Islam adalah agama dan Negara. Dan meskipun mereka melihat masa
lalu, namun mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun bagi masa
depan. Mereka bukan orang-orang konsevatif, namun mereka adalah orang10
orang revolusioner.
Sepanjang sejarah manusia, perubahan sosial besar dan pergolakan
politik selalu diiringi kebangkitan kembali agama. Inilah fenomena sosiologis
dan sejarah yang dapat diamati melintasi batas-batas negara, suku bangsa,
dan peradaban.Selama pendudukan bangsa Mongolia atas Rusia (12371480), misalnya, Gereja Ortodoks mengalami salah satu masa
pertumbuhannya yang terbesar. Fenomena serupa juga terjadi di Amerika
Serikat pada pertengahan abad kesembilan belas di awal Revolusi Industri.
Secara sederhana, gejolak sosial mendorong orang mencari kestabilan dan
keamanan dengan kembali ke sesuatu yang mendasar dan akrab dengan
11
mereka, yaitu agama. Hal itulah yang juga dialami oleh masyarakat Muslim.
Fundamentalisme awalnya adalah gerakan keagamaan, namun
kemudian bergeser ke ranah politik. Adalah kegagalan rezim penguasa di
beberapa Negara Muslim yang mengikuti model pembangunan Barat yang
menjadi pemicu eksternal gerakan politik kaum fundamentalis. Gerakan ini
juga lahir sebagai respon terhadap kekalahan Arab dalam perang melawan
Israel tahun 1967. Dari sini kemudian muncul jargon utama kalangan
12
fundamentalis yang bergema sampai sekarang, “ Islam adalah solusi”.
James Piscatori dengan tajam mengatakan bahwa "agama, terutama
karena pada masa lalu telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
hidup dan mati dan memberikan para penganutnya hubungan moral antara
satu dengan yang lain, menjadi sarana yang memberikan orang harapan
untuk menjawab pertanyaan baru tentang cara menjadi modern, dan,
dengan melakukan hal tersebut, mungkin bisa memperoleh pandangan
umum tentang dunia yang lebih meyakinkan. Dalam hal ini, seorang Kristen
yang dilahirkan kembali dan seorang Muslim yang menutup dirinya kembali
merupakan reaksi yang sama atas fenomena umum tersebut". Berbagai
pergolakan yang berhubungan dengan modernitas, seperti yang dinyatakan
10
Muhammad Imarah, Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam
(Jakarta: Gema Insani, 1999), 19.
11
Nader
Hashemi,
Pencarian
akar
fundamentalisme
Islam,
dalam
www.commongroundnews.org.
12
Gilles Kepel, Pembalasan Tuhan: Kebangkitan Aagama-Agama Samawi di Dunia
Modern, terj. Masdar Hilmy (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 10.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
8 | Abdullah Sattar
Piscatori, sangat penting untuk memahami kebangkitan fundamentalisme
13
keagamaan.
Modernisasi, harus ditekankan, merupakan sebuah proses yang
traumatis. Barat, membutuhkan waktu ratusan tahun dan proses jatuh
bangun untuk mengembangkan berbagai institusi sekuler dan demokratis
mereka. Perang agama antar umat Kristen, penganiayaan politik,
pemusnahan bangsa, Revolusi Industri, pemerasan tenaga kerja, kebangkitan
nasionalisme, dan dua perang dunia telah menghasilkan perubahan masif
dalam segala aspek kehidupan – politik, ekonomi, intelektual, dan
keagamaan. Dewasa ini kita tengah menyaksikan proses perubahan yang
sama, berikut dampak-dampaknya, di berbagai negara berkembang. Hanya
saja perubahan-perubahan ini berlangsung lebih cepat di Dunia Muslim
(dalam paruh terakhir abad 20) dibandingkan dengan di Barat yang
berlangsung selama ratusan tahun.
Penting artinya untuk menghargai bahwa proses modernisasi yang
berlangsung di dunia Muslim sangat berbeda dalam berbagai hal. Tidak
seperti di Eropa di mana proses tersebut sebagian besar didorong dari dalam
masyarakat, dalam masyarakat Muslim, modernisasi muncul sebagai akibat
dari sentuhan kolonial dengan bangsa Eropa. Apa yang kini dilakukan oleh
umat Muslim dalam mengejar ketertinggalan mereka dari Barat merupakan
kegiatan meniru, bukan inovasi. Negara-negara Muslim di masa postkolonialisme telah terbagi secara tidak sehat ke dalam dua kubu: kelompok
elit, yang memperoleh pendidikan Barat dengan nilai-nilai sekulernya dan
kelompok mayoritas yang tak mendapatkan semua itu. Pemerintahanpemerintahan banyak dikuasai oleh rezim-rezim gerontokrasi yang terdiri
atas para lelaki berusia lanjut, sementara mayoritas penduduk mereka
berusia di bawah 30 tahun. Kebanyakan perubahan politik sejak masa
kemerdekaan formal dipaksakan dari atas ke bawah dengan melakukan
percepatan, bukan dari bawah ke atas melalui proses evolusi sosial dan
14
negosiasi demokratis dari dalam masyarakat sendiri.
Pada tahun 1935, misalnya, Reza Pahlavi (ayahanda dari Shah terakhir)
memerintahkan pasukannya turun ke jalanan Teheran untuk secara paksa
membuka–dengan ancaman bayonet–cadar yang menutupi wajah kaum
perempuan. Kebijakan ini disaingi oleh negara tetangga Turki di bawah
pimpinan Mustafa Kemal Atatürk yang dengan keras membuat masyarakat
Turki menjadi sekuler dan Barat. Dua generasi kemudian, dengan cara yang
sama otoriternya dengan pencopotan cadar monarki Pahlavi, Ayatullah
Khomeini dan revolusioner Islam-nya memaksa para perempuan Iran
13
14
Ibid.
Ibid.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
Fenomena Islam Fundamentalisme Islam | 9
memasang cadar. Demikian pula dengan kebangkitan politik Islam di Turki
yang sebagian dapat dijelaskan sebagai reaksi balasan terhadap pemaksaan
dari atas ke bawah kebijakan-kebijakan sekuler Kemal terhadap masyarakat
yang taat beragama– 99,8 % merupakan umat Muslim –hingga menghapus
karakter ke-Islam-an Turki. Dari latar belakang inilah kita seharusnya
menempatkan dan mempelajari kebangkitan fundamentalisme Islam, yaitu
sebagai sebuah fenomena sejarah.
Dalam tinjauan sosiologis, contoh kasus pikiran dan tindakan radikal
gerakan muslim fundamentalis bisa disimpulkan muncul karena penekananpenindasan. Hal ini dapat dilihat dari maraknya gerakan muslim
fundamentalis Indonesia pasca reformasi, dan munculnya Jamaah Jihad di
Mesir.
Di zaman Suharto berkuasa, gerakan muslim fundamentalis bisa
dianggap sepi. Sebab, rezim ini menganut asas tunggal dan menerapkan
undang-undang subversi. Sehingga suara-suara yang ‘melenceng’ dari
Pancasila ditebas. Dan tindakan-tindakan yang menggoyang stabilitas
nasional dihempas. Namun setelah roda reformasi bergulir, gerakan muslim
fundamentalis mulai ramai. Mereka yang tadinya tak bebas di zaman
Suharto, mulai berani unjuk gigi secara serempak. Dengan mendirikan partai
politik, LSM, majlis ta’lim, dll, dan menjual ide ke wilayah publik.
Demikian halnya dengan keadaan sosial politik yang dialami muslim
fundamentalis Mesir sebelum Jamaat Jihad didirikan. Pada bulan September
1981 pemerintahan Anwar Sadat menetapkan undang-undang subversi ‘alfitnah atthaifiyyah’. Lalu aktivis Ikhwan Muslimin yang dianggap oposan
dipenjara. Dan dalam penjara mereka mendirikan Jamaah Jihad. Kemudian
pada tanggal 6 Oktober 1981, kelompok yang berpegangan pada buku
radikal “alfaridzah al-ghaibah” karya Muhammad Abdussalam itu,
15
membunuh Presiden Anwar Sadat. Dari dua contoh kasus itu, maka cukup
tepat untuk mengatakan bahwa gerakan muslim fundamentalis, secara
sosiologis, timbul karena tertindas atau tertekan.
Masih dalam tinjauan sosiologis pula, fenomena muslim fundamentalis
ini bisa juga disimpulkan sering muncul dalam keadaan sosial-politik yang
tidak stabil. Contoh kongkretnya dapat dilihat pada kasus munculnya
Khawarij dan gerakan muslim fundamentalis Indonesia.
Pada zaman khalifah Ali, perang saudara sedang berkecamuk hebat
antara kelompok Ali dan Muawiyyah. Kedua belah fihak bersengketa
pendapat tentang masalah pembunuhan Utsman dan masalah khilafah.
Kelompok Ali bersikeras mengangkat khalifah terlebih dahulu lalu
15
Zainul Ma’arif, Menelusuri Akar Muslim Fundamentalis Analisa Kritis Paradigma
Komplek dalam http://islamlib.com/id/artikel/menggali-akar-fundamentalisme-islam
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
10 | Abdullah Sattar
menyelesaikan masalah pembunuhan. Sedangkan kelompok Muawiyyah
menuntut penyelesaian masalah pembunuhan terlebih dahulu sebelum
khalifah dipilih. Karena masing-masing telah menjadi air dengan minyak,
maka rekonsiliasi-perdamaian tak berarti lagi. Sesama muslim itu saling
bunuh. Lalu damai dengan sistem tahkim.
Dalam keadaan runyam semacam ini Khawarij yang awalnya masuk
dalam golongan Ali keluar darinya dan muncul secara independen ke
permukaan sejarah klasik Islam. Dengan latar belakang kekecewaan
mendalam atas roman ganas dua kelompok yang berseteru dan slogan “La
hukma illa allah”, mereka berpendapat bahwa Ali dan Muawiyyah kafir dan
halal darahnya. Kemudian Ali mereka bunuh, sedangkan Muawiyyah masih
tetap hidup karena pengawalan ketat.
Adapun kemunculan gerakan muslim fundamentalis Indonesia, selain
karena penekanan, sebagaimana yang diutarakan di depan, adalah karena
ketidak stabilan sosial-politik, sebagaimana yang dialami oleh Khawarij pada
awal kemunculannya.
Pada akhir pemerintahan Suharto, Indonesia mengalami krisis multi
dimensi yang cukup akut. Bidang ekonomi, sosial, politik dan etika semuanya
parah. Sehingga masyarakat resah dan kepercayaan kepada pemerintah dan
sistemnya menghilang. Hal ini dirasakan pula oleh golongan muslim
fundamentalis. Maka, setelah genderang reformasi ditabuh dan kebebasan
berkelompok terbuka lebar, mereka keluar dari persembunyian. Mendirikan
kubu-kubu, lalu berteriak mengkampanyekan penerapan syariat sebagai
solusi krisis.
Pergeseran arah orientasi gerakan kaum fundamentalis dari
keagamaan ke politik sejatinya bukan karena birahi kekuasaan, melainkan
sebagai sarana untuk menegakkan syariat Islam. Bagi kelompok
fundamentalis, Islam adalah ajaran yang syumul dan kaffah yang
mengandung elemen-elemen yang kompleks tentang kehidupan ini. Ajaran
Islam harus terkejawantahkan dalam setiap gerak langkah umatnya. Namun
ketika implementasi penegakan syariah terganggu bahkan terganjal karena
persoalan politik, maka menerobos pintu-pintu politik adalah pilihan yang
tidak dapat dihindari.
Idealnya, penguasa politik (umaro) dan penguasa keagamaan (ulama)
harus berselingkuh, berkelit dan berkelindan, saling mengisi dan saling
menguatkan. Namun dalam kenyatannya, penguasa politik sering berjalan
sendiri tanpa menggandeng penguasa keagamaan. Tatanan Negara
dibangun di atas pragmatisme semata tanpa melibatkan pemikiran
keagamaan. Terjadilah ketimpangan dan ketidakserasian. Bahkan dalam
batas-batas tertentu, kebijakan penguasa politik berseberangan secara
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
Fenomena Islam Fundamentalisme Islam | 11
diametral dengan penguasa keagamaan. Tentu sudah bisa ditebak, penguasa
keagamaan kebakaran jenggot dan marah. Bukan persoalan kepentingan
pribadi penguasa keagamaan yang dipersoalkan, melainkan kepentingan
Penguasa Tertinggi, yaitu tegaknya Syariat Allah di muka bumi ini. Maka
menjadi absah manakala penguasa keagamaan ingin merebut kekuasaan
politik, agar tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai agama
dapat dijalankan dengan baik.
Dalam penelitian yang dilakukan Qasim Zaman tahun 1997, setelah
melacak kembali data sejarah awal Islam , sampai kepada kesimpulan bahwa
tidak ada bukti yang mengindikasikan adanya pemisahan antara agama dan
politik (Negara) atau pemisahan antara ulama dan umaro. Karena itu
pemahaman yang memisahkan antara agama dan Negara dan antara ulama
dan umaro dalam sejarah awal Islam, secara ilmiah tertolak atau setidak16
tidaknya patut dipertanyakan.
Secara normatif- deduktif
maupun empiris induktif, pemikiran
maupun praktik menyangkut Negara, pemerintahan maupun politik pada
umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu
sendiri sebagai satu agama sejak awal Islam hingga kini. Realitas sejarah
yang menunjukkan konflik atau pemisahan antara ulama(agama) dan umaro
(Negara) lebih menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya.
Dengan kata lain, pemisahan tersebut terjadi justru karena penguasa politik
otoriter dan korup yang kemudian mendapat tantangan keras dari ulama
17
yang menginginkan umat tetap berada di jalur ajaran syariah.
2. Interaksi Sosial
Kepemimpinan dalam fundamentalisme, biasanya lebih bersifat
informal dari pada kelembagaan. Bagi fundamentalisme Kristen,
kepemimpinan itu berada pada para penginjil besar, penasehat, para ahli
yang dikenal konservatif dalam kecenderungan-kecenderungannya, dan para
ideologi konservatisme. Otoritas orang-orang itu, dalam fundamentalisme,
jauh lebih besar dibanding otoritas para uskup, ketua sinode dan para
pemimpin gereja lainnya, di kalangan lembaga kegerejaan, dan lebih besar
pula dibanding pengaruh para ahli al-Kitab atau teolog di kalangan
kekristenan non-fundamentalis. Fundamentalisme menekankan sang guru
18
dengan pemanutannya.
16
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara : Perspektif Modernis dan Fundamentalis
(Jakarta: Indonesia Tera, 2001), xlv.
17
Ibid.
18
James Barr, Fundamentalisme, terj. Stephen Suleeman (Jakarta: Gunung Mulia, 1996),
xvii.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
12 | Abdullah Sattar
Di dalam fundamentalisme Islam, keberadaan pemimpin dalam
kelompok mereka sangat signifikan. Pemimpin atau ketua kelompok
fundamentalis menjadi figur sentral. Ketaatan jamaah kemudian menjadi
sesuatu yang lumrah. Bahkan dalam batas-batas tertentu ketaatan ini
melampaui ketaatan kepada agama itu sendiri. Pelaku kekerasan dan
pembunuhan, termasuk bom bunuh diri adalah contoh konkret betapa
ujaran Sang pemimpin lebih suci ketimbang firman Allah Swt yang tertuang
dalam teks-teks suci. Apa yang dikatakan Sang pemimpin dianggap fatwa
yang mutlak benar dan harus diiluti. Boleh jadi adanya bay’at yang dilakukan
bagi anggota jamaah baru menjadi semacam pembenar adanya ketaatan
yang luar biasa jamaah kepada organisasi, tentu juga kepada pemimpinnya.
Ketaatan jamaah kepada pemimpin mereka bukan tanpa alasan yang
kuat. Di samping adanya bay’at yang sudah mereka lakukan, ketokohan Sang
pemimpin juga menjadi pemicu. Kharisma, kecerdasan, keteladanan, menjadi
variabel yang harus melekat pada Sang pemimpin. Bahkan dalam hal-hal
tertentu, pemimpin harus mempunyai indera keenam- ilham- yang dapat
menangkap isyarat-isyarat halus dari Allah Swt. Oleh karenya, Hasan alBanna, Sayyid Qutb, al-Mawdudi adalah sederetan pemimpin di kalangan
fundamentalis yang namanya terus berkibar dan dikenang karena
ketokohannya.
Pada sisi lain, interaksi antar kelompok sangat solid. Perasaan in group
dalam internal mereka sangat kuat. Ajaran Nabi saw bahwa umat Islam
bersaudara mereka praktikkan dan terapkan. Sayangnya, ini hanya terjadi di
dalam kelompok mereka sendiri. Sedangkan untuk orang-orang Islam di luar
kelompok mereka, mereka perlakukan berbeda. Bahkan dalam kasus-kasus
tertentu, orang-orang Islam di luar mereka dihukumi kafir, jika berbeda
haluan secara diametral di dalam pemikiran kegamaan mereka.
Aspek inovatif fundamentalisme melewati batas reinterpretasi tradisi
secara radikal. Sebagai fenomena sosial, fundamentalisme mampu
mengintegrasikan orang-orang dari beragam latar belakang sosial dan
segmen yang berbeda, untuk kemudian membentuk semacam asosiasi dan
gerakan yang didasarkan pada cita-cita dan praktik kultural keagamaan.
Berbagai lapisan masyarakat yang bergabung kemudian melebur dan
melepaskan kelasnya menjadi gerakan kultural. Dengan kata lain, ini bukan
19
kultur kelas, melainkan milieu kultural.
Suatu kelompok atau gerakan disebut milieu kultural, manakala
identitas dan persepsi kelompok terhadap rasa kebersamaan ditentukan oleh
kesamaan cita-cita sosio-moral dan kriteria non ekonomis lainnya. Dan
19
Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat
Modern (Jakarta: Erlangga, 2003), 8.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
Fenomena Islam Fundamentalisme Islam | 13
fundamentalisme merepresentasikan milieu kultural semacam itu. Karena itu,
walaupun gerakan-gerakan mereka tampak homogen, tapi tidak dalam
konteks kepentingan kelas atau status sosial ekonomi. Kenyataan inilah yang
dapat menjelaskan mengapa fokus perjuangan mereka tidak menyangkut
kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan seterusnya, tetapi lebih
berkait masalah dekadensi moral, konsumerisme, kebebasan, dan lain-lain.
Karakteristik paling spektakuler dari fundamentalisme adalah
keberhasilannya memobilisasi massa, bukan hanya dari sisi jumlah tapi juga
militansi. Tentu tidak sulit mencari penjelasannya, karena fundamentalisme
dapat dipandang sebagai fenomena keagamaan. Agama merupakan bagian
esensial dalam fundamentalisme, dilihat dari sisi kepemimpinan, ideologi,
etos, tujuan, hubungannya dengan kelompok sosial lain. Dengan sentiment
20
keagamaan, maka setiap gerakan dapat menghasilkan kekuatan dahsyat.
3. Fakta Sosial
Fundamentalisme tidak muncul dari ruang hampa. Mengikuti paham
kaum fakta sosial, bahwa radikalisme atau fundamentalisme adalah sebuah
gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Geneologi radikalisme
21
atau fundamentalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain:
pertama, tekanan politik penguasa. Fundamentalisme muncul disebabkan
oleh tekanan politik terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia,
termasuk Indonesia, fenomena radikalisme muncul karena otoriterisme.
Dalam kasus orde baru, Negara selalu membabat habis yang diidentifikasi
sebagai gerakan radikal. Baginya, radikalisme adalah musuh nomor satu dan
dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) melalui berbagai media
transformasi. Radikalisme kiri dan kanan sama saja.
Kedua, kegagalan rezim sekular dalam merumuskan kebijakan dan
mengimplementasikannya di dalam kehidupan masyarakat. Rezim sekular di
Negara-negara berkembang yang kebanyakan mengadopsi sistem
kapitalisme ternyata gagal dalam mengimplementasikan kebijakannya di
tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Kegagalan pembangunan yang
mengakomodasi teori-teori modernisasi, ternyata berdampak terhadap
ketidakpercayaan masyarakat terhadap model pembangunan yang diadopsi
dari pengalaman-pengalaman Negara Barat tersebut.
Ketiga, respon terhadap Barat. Kebanyakan isu yang diangkat ke
permukaan oleh kelompok ini adalah responnya terhadap apa pun yang
datang dari Barat. Isu tentang salibisme, moralitas permissiveness,
20
Ibid., 8-9.
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju
Kebangsaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 124-128.
21
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
14 | Abdullah Sattar
demokrasi, dan bahkan hak aasasi manusia adalah rekayasa Barat untuk
meminimalisasikan peran dan pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat.
Semua ide tentang persoalan tersebut dikemas dengan konsep modernisasi
dan sekularisasi. Modernisasi mempunyai anak kandung kapitalisme dan
materialisme. Kapitalisme yang merupakan proses akumulasi modal
didasarkan atas konsep individualisme yang dianggap bertentangan dengan
konsep Islam tentang sistem masyarakat. Sedangkan materialisme yang
menganggap bahwa materi adalah segala-galanya juga sangat bertentangan
secara diametral deng an Islam. Apalagi sekularisasi yang bermakna
pemisahan antara agama dan kehidupan dunia juga merupakan musuh Islam
yang lebih menekankan kehidupan spiritual.
Keempat, rasionalisasi yang menghasilkan modernisme dan
kapitalisme. Sebagai anak kandung rasionalisasi, modernism akan dapat
menggerogoti pilar-pilar agama yang disebabkan oleh cara berpikir yang
bertolak belakang. Agama mengagungkan berbagai keyakinan spiritual,
sementara rasionalisasi membabat habis dunia keyakinan yang dianggapnya
tidak akseptabel dan empiris. Kekuatan agama justru pada dimensi spiritual
yang tidak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Semenjak Weber
memperkenalkan konsep rasionalisasi, sebagai dasar munculnya
industrialisasi di Negara-negara Barat, maka secara tidak langsung dunia
non-industri yang kebanyakan Negara-negara Islam menjadi semacam
ledekan: bahwa Negara-negara Islam tidak maju karena belum tersentuh
rasionalisasi.
Kelima, secara politis umat Islam di dunia internasional berada di
kawasan pinggiran. Umat Islam sering diadu domba dengan kebijakankebijakan politik yang dilakukan oleh Negara-negara adi daya, terutama
Amerika Serikat dan Inggris berikut sekutu-sekutunya. Dalam permainan
global (global game) yang diperagakan Negara-negara Barat ditegaskan
bahwa Negara-negara Islam tidak boleh menjadi satu kesatuan. Mereka
harus diceraiberaikan.
Keenam, serangan kultural (budaya) terhadap masyarakat Islam.
Seperti diketahui bahwa dunia Barat adalah dunia modern dengan tingkat
kebudayaan dan teknologi canggihnya. Di era dunia tanpa batas (borderless
society) atau globalisasi, maka pengaruh Negara Barat terhadap Dunia
Ketiga –terutama Negara dan masyarakat Islam- bukan kepalang tanggung.
Melalui penetrasi budaya yang terjadi secara deras, maka dapat dipastikan
bahwa budaya timur, khususnya Islam, menjadi terpinggirkan.
Ketujuh, kegagalan Negara-negara dengan mayoritas penduduk
beragama Islam dalam menyejahterakan masyarakatnya juga menjadi
variabel penting munculnya gerakan fundamentalisme Islam. Negara yang
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
Fenomena Islam Fundamentalisme Islam | 15
mayoritas penduduknya beragama Islam di dalam kenyataannya gagal
membangun masyarakatnya karena terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme
yang sangat menggurita.
Kesimpulan
Fenomena fundamentalisme mewabah dan merambah semua kelompok
sosial masyarakat di dunia, bukan hanya kelompok keagamaan saja, apalagi
khas Islam. Namun pers Barat seringkali menuding Islam sebagai pelaku
fundamntalis. Di dalam Islam sendiri, fundamentalisme muncul dengan berbagai
varian dan kepentingan, dari yang ingin mempertahankan ajaran murni Islam
dengan menolak semua norma dari Barat hingga yang mengusung politik
sebagai lahan garapannya. Pada umumnya, interaksi antar kelompok mereka
sangat solid dan kuat, akan tetapi lemah dan longgar dengan orang di luar
kelompok mereka. Sebagian orang mungkin akan menolak fundamentalisme
Islam yang sering mengusung kekerasan karena dianggap mencoreng muka
Islam yang ajarannya kental dengan nuansa perdamaian dan keramahan.
Namun sebagian yang lain justru mendukung keberadaan fundamentalisme
Islam sebagai balancing terhadap kekuatan Barat yang selama ini
menghegemoni dunia.
Daftar Pustaka
Ali, Haidar Ibrahim. “Menelusuri Sejarah dan Makna Fundamentalisme”, dalam
http//pcinu-mesir.tripod.com
AS,
Muhammadun. Menghadang Gelombang
http://www.suarakarya-online.com
Fundamentalisme
dalam
Assyaukanie, Luthti. Islam Benar Versus Islam Salah. Jakarta: Kata Kita, 2007.
Barr, James. Fundamentalisme, terj. Stephen Suleeman. Jakarta: Gunung Mulia,
1996
Choueri, Youssef M. Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan Fundamentalisme,
penterj. Humaidi Syuhud dan M. Madkur . Yogyakarta: Qonun, 2003.
Hasan, Noorhaidi. Laskar Jihad: Islam, Milita nsi dan Pencarian Identitas di
Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: LP3ES & KITLV-Jakarta, 2008.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
16 | Abdullah Sattar
Hashemi,
Nader.
Pencarian
akar
www.commongroundnews.org.
fundamentalisme
Islam,
dalam
Imarah, Muhammad. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan
Islam. Jakarta: Gema Insani, 1999
Jurdi,
Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara,
Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
Kamaruzzaman.
Relasi Islam dan Negara : Perspektif Modernis dan
Fundamentalis. Jakarta: Indonesia Tera, 2001.
Kepel, Gilles. Pembalasan Tuhan: Kebangkitan Aagama-Agama Samawi di Dunia
Modern, terj. Masdar Hilmy. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Ma’arif, Zainul. Menelusuri Akar Muslim Fundamentalis Analisa Kritis Paradigma
Komplek
dalam
http://islamlib.com/id/artikel/menggali-akarfundamentalisme-islam
Mahendra, Yusril Ihza. Fundamentalisme dan Modernisme Politik Islam. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Marty, Martin E.. “What is Fundamentalism ? Theological Perspective”Challance.
London: t.p., 1992.
Romli, Asep Syamsul M.. Demonologi Islam : Upaya Barat Membasmi Kekuatan
Islam. Jakarta: Gema Insani, 2000.
Sirry, Mun’im A.. Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam
Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga, 2003.
Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju
Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius, 2009..
Tibi, Bassam. Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan
Dunia Baru, terj. Imron Rosyidi. Yogtakarta:PT. Tiara Wacana Yogya,2000.
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.1, April 2013
ISSN: 2089-0192
Download