BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Secara umum kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan emosi yang mencakup kemampuan memotivasi diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu memahami perasaan orang lain dengan efektif, dan mampu mengelola emosi yang dapat digunakan untuk membimbing pikiran untuk mengambil keputusan yang terbaik. Kecerdasan Emosional merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir dan berempati. Kecerdasan Emosional mengacu pada potensi alamiah untuk merasa, menggunakan, mengkomunikasikan, mengenal, mempelajari, mengatur dan memahami emosi-emosi (Hein, 2005). Salovey dan Mayer (2000) menjelaskan kecerdasan emosional sebagai sejumlah keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan dan meraih tujuan hidup. Kecerdasan emosional menunjuk kepada kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2007). Kecerdasan emosional adalah dasar-dasar pembentukan emosi yang mencakup keterampilan seseorang untuk mengadakan impuls-impuls dan menyalurkan emosi yang kuat secara efektif (Patton, 1997). Definisi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman tahun 2007. 2.1.2 Unsur-Unsur Kecerdasan Emosional Goleman (2007) mengemukakan bahwa terdapat lima ciri utama kecerdasan emosional yaitu kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self regulation), motivasi (motivation), empati (emphaty), dan keterampilan social (social skill) a. Kesadaran diri (self awareness) Kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri, menilai diri secara teliti, yakni mengetahui kekuatan dan batas batas diri sendiri dan percaya diri, yakni keyakinan tentang hanya diri sendiri dan kemampuan diri sendiri. Kesadaran emosi berarti tahu tentang bagaimana pengaruh emosi terhadap kinerja diri dan kemampuan menggunakan nilai dalam membuat keputusan. b. Pengaturan diri (self-regulation) Kemampuan mengendalikan emosi dan sumber daya diri sendiri. Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapainya keseimbangan dalam diri individu. Self regulation berguna untuk memberikan keseimbangan emosi bukan menekan emosi, karena setiap perasaan memiliki nilai dan makna tersendiri. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan dan ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. c. Motivasi (motivation) Dorongan untuk bekerja keras dan gigih dalam upaya meraih prestasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan prestasi diri sendiri sebelumnya atau prestasi orang lain. Dalam hal ini individu memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mampu memberikan motivasi yang positif yaitu antusiasme, gairah, optimis, dan keyakinan diri. Dengan adanya motivasi yang tinggi maka akan menciptakan kinerja yang tinggi pula, karena seseorang yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan d. Empati (emphaty) Kemampuan untuk mengindra perasaan dari perspektif orang lain. Empati berarti kemampuan untuk mengenali emosi orang lain, kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang lain. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri sendiri, jika seseorang terbuka pada emosi diri sendiri, maka dipastikan ia akan terampil dalam membaca perasaan orang lain. Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka (Goleman, 2002). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu memahamiemosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. f. Keterampilan sosial (social skill) Kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat memahami situasi dan jaringan sosial. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Terdapat lima kemampuan dalam keterampilan sosial, yaitu (a) pengaruh, yaitu terampil menggunakan perasaan efektif; (b) komunikasi, yaitu mendengarkan secara terbuka dan mengirimkan suatu pesan yang meyakinkan; (c) managemen konflik yaitu merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan; (d) kepemimpinan, yaitu mengilhami dan membimbing individu atau kelompok dan; (e) katalisator perubahan, yaitu mengawali atau mengelola perubahan. 2.1.3 Faktor Faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Emosional a. Hereditas Hereditas merupakan karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak atau segala potensi baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi sebagai pewarisan orang tua. Hereditas dapat mempengaruhi watak dan perkembangan seseorang termasuk kecerdasan maupun intelektualnya. b. Lingkungan Lingkungan ialah keadaan sekitar yang melingkupi manusia.Sehingga selain adanya faktor hereditas mungkin saja kecerdasan diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan yang berasal dari kehidupan keluarga adalah lingkungan pertama dalam mempelajari emosi. Dalam lingkungan tersebut kita belajar bagaimana menanggapi perasaan kita dan bagaimana berfikir tentang perasaan dan pilihan-pilihan apa yang kita miliki untuk bereaksi serta bagaimana membaca dan mengungkap harapan dan rasa takut. 2.2 Kinerja 2.2.1 Pengertian Kinerja Kinerja merupakan proses dari suatu pelaksaan pekerjaan secara terencana pada waktu, tempat dan organisasi tersebut, dinilai dari proses dan hasil kerja individu. Kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan (Mangkunegara, 2000) Menurut Guritno dan Waridin (2005) kinerja merupakan perbandingan hasil kerja yang dicapai oleh karyawan dengan standar yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Mathis & Jackson (2002) kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak pekerja memberikan kontribusi kepada perusahaan antara lain kuantitas, kualitas, waktu pengerjaan dan kerja sama (Miner, 2009) Simamora (1997) mengemukakan bahwa kinerja karyawan adalah tingkatan dimana para karyawan mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan. Kinerja adalah hasil hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu (Tika, 2006). Kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok untuk melakukan kegiaatan dan menyempurnakan sesuai dengan tanggung jawab dengan hasil seperti yang diharapkan (Rivai dan Basri, 2005). Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha, dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya (Sulistyani, 2003). Menurut Gibson et al. (1996) dalam Trinaningsih (2007) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode tertentu dan relatif dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja atau kinerja organisasi. 2.2.2 Faktor-Faktor Kinerja Karyawan Faktor-faktor kinerja karyawan menurut John Miner dalam Sudarmanto (2009:11) adalah kualitas kerja, kuantitas kerja, waktu pengerjaan, dan kerja sama a. Kualitas kerja adalah seberapa banyak kesalahan yang dilakukan dalam penyelesaiaan suatu pekerjaan dan keahlian atau pengetahuan tentang bidang pekerjaannya serta metode kerja, kemampuan mengemukakan ide atau gagasan, kemampuan bekerja sama dan beradaptasi b. Kuantitas kerja adalah seberapa banyak pekerjaan yang menjadi tanggung jawab dan kemampuan bekerja sesuai dengan target yang telah ditentukan oleh perusahaan c. Waktu pengerjaan adalah efektivitas penggunaan waktu dalam bekerja, serta tingkat keterlambatan karyawan dalam penyelesaian suatu pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Kemampuan karyawan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sebelum waktu yang telah ditentukan d. Kerja sama adalah kesadaran karyawan untuk dapat bekerja sama dengan orang lain sebagai suatu tim kerja. Kerjasama dilakukan sesuai dengan tanggung jawab masing-masing yang telah ditetapkan. Hal ini juga dapat mencerminkan sikap inisiatif kerja yang dimiliki karyawan. 2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja Menurut Mangkunegara (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja dalam organisasi yaitu faktor individu dan faktor lingkungan. a. Faktor individu Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik. Dengan adanya integritas yang tinggi antara kedua fungsi tersebut, maka indiviu tersebut memiliki konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiaatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. b. Faktor lingkungan organsasi Faktor lingkungan organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi yang efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yang memadai. 2.2.4 Metode Penilaian Kinerja Dalam penilaian kinerja dapat dilakukan dengan beberapa metode atau pendekatan. (Noe, 2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode pengukuran kinerja yaitu : a) Pendekatan Komparatif Pendekatan komparatif digunakan untuk membandingkan kinerja seorang karyawan dengan karyawan lainnya.Pendekatan ini menggunakan penilaian keseluruhan dari kinerja setiap individu. Dalam pendekatan komparatif terdapat 3 teknik pengukuran, antara lain ranking, forced distribution, and paired comparison. Metode ranking terbagi menjadi simple ranking dan alternation ranking. Simple ranking dilakukan oleh manajer dengan memerikan peringkat untuk karyawan pada departemennya dari yang terbaik hingga terendah berdasarkan kinerjanya. Sementara metode alternation ranking dilakukan dengan mencari di dalam daftar nama karyawan siapa yang menjadi karyawan terbaik, lalu mencoret nama tersebut dari daftar. Kemudian dari nama tersisa, manajer memilih karyawan dengan kinerja paling buruk, lalu mencoret nama tersebut dari daftar juga, dan begitu seterusnya. Dalam metode forced distribution karyawan diberikan peringkat dalam kelompok. Manajer diharuskan untuk mengelompokkan karyawan ke dalam beberapa kategori yang telah ditentukan. b) Pendekatan Atribut Pendekatan ini berfokus pada batasan tertentu dari individu yang memiliki karakteristik atau kebiasaan yang dipercaya dapat memberikan harapan kesuksesan bagi perusahaan. c) Pendekatan Perilaku Pendekatan ini dilakukan dengan berusaha mendefinisikan perilaku seorang karyawan agar lebih efektif dalam pekerjaannya. Teknik yang digunakan oleh pendekatan ini, yaitu critical incident, behaviorally anchored rating scales (BARS), behavioral observation scales (BOS), Organizational behavior modification (OBM),dan assessment centers. Critical incident dilakukan dengan mengumpulkan dan menyimpan data-data spesifik seperti kinerja efektif dan tidak efektif dari setiap karyawan. Setelah mengumpulkan data, maka karyawan diberikan umpan balik tentang hal yang baik maupun buruk yang telah dilakukannya. Umpan balik diharapkan dapat memofokuskan diri pada usaha yang akan mendukung strategi perusahaan. BARS merupakan metode yang didesain secara spesifik untuk mendefinisikan kinerja melalui pengembangan perilaku pada tiap tingkatan kinerja yang berbeda. BOS merupakan metode yang sama dengan BARS, yang membedakannya adalah metode BOS menggunakan lebih banyak perilaku sehingga dalam mendefiniskan perilaku lebih spesifik. d) Pendekatan Hasil Pendekatan ini berfokus pada pengelolaan objektif, pengukuran hasil kerja individu maupun kelompok. Dalam pendekatan ini terdapat dua teknik, yaitu Management By Objective (MBO) dan Productivity Measurement and Evaluation System (ProMES). Metode MBO mendefinisikan tujuan strategis perusahaan selama setahun. Kemudian tujuan tersebut diberikan kepada manajemen level berikutnya, dan disini manajer mendefinisikan tujuan tersebut harus dicapai perusahaan. Tujuan tersebut digunakan sebagai standart pengukuran kinerja individu sehingga kinerja individu dapat dievaluasi. Metode ProMES memiliki tujuan untuk memotivasi karyawan hingga tingkat tertinggi pada tingkatan produktivitas. Metode ini dilakukan dengan mengidentifikasi produk atau aktivitas yang ditargetkan oleh perusahaan, lalu karaywan mendefinisikan indikator produk tersebut, tahap selanjutnya karyawan memastikan adanya hubungan antara indikator yang dihitung dengan tingkat evaluasi yang diukur, dan terakhir umpan balik disediakan bagi karyawan dan kelompok kerja dengan informasi mengenai kinerja tiap tingkat secara spesifik pada setiap indikatornya. e) Pendekatan Kualitas Metode ini memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan kepuasan pelanggan.Terdapat dua karakteristik dasar yaitu orientasi terdapat pelanggan dan orientasi pada pendekatan dalam mencegah kesalahan. 2.3 Kerangka Berpikir Seiring dengan tuntutan perusahaan untuk mempunyai karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi, maka kerapkali terdapat masalah-masalah yang memungkinkan terjadinya penuruan pada kinerja karyawan. Berdasarkan data perusahaan PT “X” dan juga hasil wawancara terhadap atasan di divisi terkait, permasalahan yang kerapkali terjadi pada perusahaan yaitu karyawan sulit untuk memahami keadaan emosi diri sendiri dan juga karyawan sulit untuk mengendalikan diri ketika keadaan emosinya tidak stabil, karyawan sulit untuk menghibur diri dan kerapkali memiliki kecemasan pada saat banyaknya tuntutan kerjaan, terkadang karyawan juga sulit untuk bekerja keras dan gigih dalam mencapai suatu tujuan perusahaan, dalam hal ini terlihat bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi lebih banyak mengandalkan emosi pada diri karyawan yang akhirnya akan mempengaruhi kinerja karaywan. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2007) Masalah-masalah lain yang terjadi di divisi terkait yaitu karyawan sulit untuk memberikan gagasan-gagasan ketika diminta oleh atasan, selain itu karyawan kerapkali merasa tertekan ketika mereka dihadapi dengan tanggung jawab pekerjaan yang cukup banyak. Apabila perusahaan memberikan tugas, beberapa karyawan tidak mampu untuk menyelesaikan tugas pada waktu yang telah ditepatkan. Tidak hanya itu, ketika karyawan diminta untuk melakukan kerja sama dengan karyawan lain, maka seringkali terjadi konflik karena karyawan tidak mampu menahan emosi dan tidak sedikit terlihat antar karyawan saling memperkuat argumen masing-masing. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak pekerja memberikan kontribusi kepada perusahaan antara lain kuantitas, kualitas, kehadiran di tempat kerja dan sikap kooperatif (Miner, 2009). PT “X” menyadari bahwa karyawan pada divisi HR kerapkali mempunyai berbagai masalah dan tantangan dalam bekerja yang meliputi hal hal yang berhubungan dengan tuntutan tugas, suasana kerja yang tidak nyaman, kerjasama dengan karyawan lain, masalah masalah tersebut bukanlah suatu hal yang hanya membutuhkan kemampuan intelekutual, tetapi dalam menyelesaikan masalah tersebut kemampuan emosi atau kecerdasan emosional lebih banyak diperlukan. Maka penulis melihat berdasarkan data yang dipaparkan oleh perusahaan bahwa kinerja karyawan mungkin saja berhubungan dengan kecerdasan emosional. Setelah penulis melihat beberapa teori yang mendukung, seperti teori kecerdasan emosional dengan teori kinerja karyawan maka peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara variable kecerdasan emosional dan kinerja karyawan juga peneliti ingin melihat hanya pada divisi HR PT “X”, karena divisi HR yang berhubungan dengan pergerakan SDM. Gambar 2.1 Kerangka Berpikir