7 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Konsep Sistem Pendidikan Untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas mengenai sistem pendidikan, maka perlu mengetahui hakekat sistem dan hakekat pendidikan. a. Hakekat Sistem Sukarna (1991:13) mengemukakan bahwa sistem merupakan suatu kumpulan pendapat-pendapat, prinsip-prinsip yang membentuk suatu kesatuan yang berhubungan satu sama lain. Menurut Abu Daud Busroh (1989:7), “Sistem adalah suatu susunan atau tatanan berupa suatu struktur yang terdiri dari bagianbagian atau komponen-komponen yang berkaitan satu dengan yang lainnya secara teratur dan terencana untuk mencapai tujuan”. Sistem itu ditempatkan pada ketelitian waktu dan ruang dari struktur dan prosesnya. Sistem yang terbentuk atau sengaja dibentuk berguna untuk mencapai tujuan tertentu, terdapat bagian-bagian yang mempunyai fungsi masing-masing dalam rangka mencapai tujuan sistem. Jika dilihat dari bagian-bagian atau komponen-komponen itu sendiri, juga merupakan sistem tersendiri yang mempunyai sub-sub bagian atau komponen dalam lingkungan sistem lebih besar. Hal ini sejalan dengan pandapat Pamuji S. (1992:9) yang menyatakan bahwa sistem adalah: Suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen yang pada gilirannya merupakan sistem itu sendiri yang mempunyai fungsi masing-masing yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain merupakan pola, tata, norma tertentu dalam rangka mencapai tujuan. Dari beberapa pengertian sistem di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem adalah keseluruhan dari susunan atau tatanan yang mempunyai fungsi dan saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. 7 8 b. Hakekat Pendidikan Dalam arti yang sederhana, pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang berada dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan dapat diartikan suatu usaha bersama dalam proses terpadu dan terorganisir untuk membantu manusia mengembangkan diri serta menyiapkan diri guna mengambil tempat dalam pengembangan diri dan dunianya di hadapan Sang Pencipta (Mariatmadja, 1986:19). Redja Mudya Rahardjo (2001:13) mengemukakan bahwa “Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup”. Crow and Crow dalam Hasbullah (1999:13) mengartikan pendidikan sebagai proses dimana pengalaman atau informasi diperoleh sebagai hasil dari proses belajar. Pengertian pendidikan selalu mengalami perubahan meskipun secara essensial tidak jauh berbeda. Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:69) bahwa: Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapaun maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya. Dari berbagai pengertian pendidikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengalaman belajar atau bimbingan yang diberikan dengan sengaja di segala lingkungan oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam pertumbuhannya baik jasmani maupun rohani agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakat serta di hadapan Sang Pencipta. Sistem pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 12003 tentang sistem pendidikan nasional adalah suatu keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 9 Hasbullah (1991:123) menyatakan bahwa suatu sistem pendidikan terdiri dari komponen-komponen atau bagian-bagian yang menjadi inti dari proses pendidikan. Adapun komponen-komponen atau bagian-bagian tersebut terdiri dari: 1) Tujuan, merupakan cita-cita pendidikan yang berfungsi untuk memberikan arah terhadap semua kegiatan dalam proses pendidikan. 2) Peserta didik, fungsi dari peserta didik adalah sebagai obyek yang sekaligus sebagai obyek pendidikan. Sebagai obyek karena peserta didik tersebut menerima perlakuan-perlakuan tertentu, tetapi dalam pandangan pendidikan modern, peserta didik lebih dekat dikatakan sebagai subyek atau pelaksana pendidikan. 3) Pendidik berfungsi sebagai pembimbing, pengarah, untuk menumbuhkan aktivitas peserta didik dan sekaligus sebagai pemegang tanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. 4) Alat pendidikan, adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang berfungsi untuk mempermudah atau mempercepat tercapainya tujuan pendidikan. 5) Lingkungan, maksudnya adalah lingkungan sekitar yang dengan sengaja digunakan sebagai alat dalam proses pendidikan. Berfungsi sebagai wadah atau lapangan terlaksanakannya proses pendidikan. Sistem pendidikan mengandung pula proses pendidikan yang bekerja langsung atau tidak langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut Francis Bacon dalam Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:134) “Tujuan pendidikan adalah mengusahakan agar manusia dapat menguasai benda-benda, meningkatkan kekuatan manusia dengan penggunaan ilmu pengetahuan”. Sedangkan tujuan pendidikan menurut John Locke yang dikutip oleh Ngalim Purwanto (1991:131) adalah pembentukan watak, perkembangan manusia sebagai kebutuhan moral, jasmani dan mental. Seorang ahli pendidikan, Langeveld dalam Abu Ahmadi (1991:103) mengemukakan macam-macam tujuan pendidikan antara lain: 10 1). Tujuan umum, merupakan tujuan yang menjiwai pekerjaan mendidik dalam segala waktu dan keadaan. Tujuan umum ini dirumuskan dengan memperhatikan hekekat kemanusiaan yang universal. 2). Tujuan khusus, tujuan khusus merupakan pengkhususan dari tujuan umum yang didasarkan pada beberapa hal yaitu: a) Terdapatnya perbedaan lingkungan keluarga dan masyarakat b) Tedapatnya perbedaan individual anak didik. c) Perbedaan yang berhubungan dengan tugas lembaga pendidikan. d) Perbedaan yang berhubungan dengan pandangan atau falsafah hidup bangsa. 3). Tujuan tidak lengkap, adalah tujuan yang hanya mencakup salah satu dari aspek kepribadian, jadi tujuan tidak lengkap ini merupakan bagian dari tujuan umum yang melingkupi perkembangan seluruh aspek kepribadian. 4). Tujuan sementara, merupakan perjalanan untuk mencapai tujaun umum. Tujuan sementara tidak apat dicapai secara sekaligus, karenanya perlu ditempuh setingkat. Tingkatan demi tingkatan yang diupayakan untuk menuju tujuan akhir itulah yang dimaksud dengan tujuan sementara. 5). Tujuan insidental, merupakan tujuan yang bersifat sesaat, karena adanya situasi yang terjadi secara kebetulan. Tujuan ini tidak terlepas dari tujuan umum. 6). Tujuan intermidier, merupakan tujuan perantara dan merupakan tujuan yang dilihat sebagai alat dan harus dicapai terlebih dahulu demi kelancaran pendidikan selanjutnya. Tujuan yang paling tepat untuk pendidikan di Jepang adalah tujuan yang insidental, yaitu tujuan yang bersifat sesaat, karena adanya situasi yang terjadi secara kebetulan. Sistem pendidikan di Jepang mengalami perubahan dari sistem pendidikan tradisional yaitu pada masa Tokugawa berubah menjadi sistem pendidikan modern pada masa Meiji. Sistem pendidikan ini berubah lagi pada saat Jepang berada di bawah pendudukan Ameruka Serikat. Dengan demikian tujuan pendidikan berubah dari masa pra perang yang berdasar pada maklumat 11 kekaisaran ke pasca perang yang berdasar pada konstitusi Jepang tahun 1946. Tujuan yang berdasar pada maklumat kekaisaran adalah untuk menciptakan manusia ideal, yaitu seorang warga negara yang patuh pada kaisar, sedangkan tujuan pendidikan adalah membangun rakyat yang berdaulat dan mengembangkan nilai-nilai untuk menciptakan perdamaian. Tujuan pendidikan di Jepang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan tahun 1947 Pasal 1 yaitu: Pendidikan harus bertujuan mengembangkan orang seutuhnya, usaha sekuatkuatnya mendidik rakyat supaya sehat jasmani dan rohani, mencintai kebenaran dan keadilan, menghormati nilai individu, menghormati kerja dan mempunyai kesadaran akan tanggung jawab sedalam-dalamnya serta berjiwa bebas sebagai pembina suatu negara dan masyarakat yang penuh kedamaian (Cumming William K, 1984:41). 2. Konsep Modernisasi JW. Schroorl (1982:1) mengemukakan bahwa “Modernisasi adalah suatu proses transformasi perubahan dalam masyarakat dalam segala aspek-aspeknya”. Kemudian menurut Soeryono Soekanto (1982:357) bahwa “Modernisasi adalah transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau kehidupan sebelum modern dalam arti tekhnologi serta organisasi sosial; ke arah pola-pola politik ekonomi yang menandai negara-negara Barat yang stabil”. M. Francis Abraham (1991:188), mengartikan bahwa “Modernisasi merupakan suatu proses untuk menuju perkembangan dunia modern. Konsep modernisasi juga digunakan untuk menyebut transformasi total, pergantian sistem, perubahan yang menyeluruh atau secara singkat sebagai tanggapan terhadap perubahan”. Yahya Muhaimin dan Collin Mac Andrews (1982:125) mengemukakan bahwa: Modernisasi adalah gejala yang universal dan kompleks. Modernisasi ditandai dengan keyakinan akan pentingnya pengelolaan yang rasional dan ilmiah. Modernisasi tergantung pada penerapan tenaga kerja manusia secara sistematis, mantap dan terarah dalam pengelolaan secara rasional lingkungan fisik dan sosial manusia demi mencapai tujuan. 12 Dari definisi yang dikemukakan para ahli di atas maka dapat penulis simpulkan, bahwa modernisasi adalah transformasi kultural oleh manusia dari kehidupan yang tradisional menuju pola-pola politik, ekonomi dan sosial modern. Proses modernisasi dapat dimulai dari kelompok masyarakat berkasta dari berbagai jenis masyarakat petani dan masyarakat yang sudah berada di berbagai tingkat. Kelompok-kelompok ini mungkin berbeda keberhasilannya dalam menerapkan modernisasi, tergantung dari sumber-sumber yang dimiliki serta usaha-usaha yang dilakukan. Proses modernisasi di Jepang berbeda dengan proses modernisasi di negara Barat. Proses modernisasi di negara Barat merupakan proses pertarungan antara negara dengan gereja. Di Jepang pada masa Meiji, negara juga bertindak dalam lembaga agama, negara tidak hanya mengatur organisasi agama saja, tetapi juga menetapkan apa yang boleh diajarkan ada apa yang dilarang, sehingga hasilnya negara dengan leluasa dapat memaksakan modernisasi fisik dalam kehidupan masyarakat, tanpa kritik dari para pemuka agama dan cendekiawan. Dalam memodernisasikan Jepang, Meiji juga menumbuhkan sikap Jepang yang anti Asia, karena Asia hanya merupakan sumber alam yang dapat dimanfaatkan Jepang dalam mengejar modernisasi ekonomi dan industri. Jepang mempunyai pandangan bahwa orang-orang beradab hanya ada di utara sedangkan di selatan hanya ada sumber alam saja, sehingga bangsa Jepang berorientasi ke negaranegara Eropa dalam memodernisir dirinya. Modernisasi dalam makna keseluruhan menunjuk pada proses perubahan yang mencakup tiga dimensi yaitu: (a) dimensi yang menunujuk pada perubahan atau penyesuian dari nilai-nilai pokok suatu masyarakat dalam menanggapi tuntutan jaman; (b) dimensi yang berupa transformasi maupun penerapan nilainilai baru itu ke dalam kehidupan politik, ekonomi maupun kebudayaan masyarakat yang bersangkutan; (c) dimensi yang menunjuk pada aspek-aspek tekhnologi. Adapun tipe-tipe modernisasi menurut M. Francis Abraham (1991:189) adalah sebagai berikut: 13 a. Modernisasi indogen, merupakan modernisasi evolusioner yang didorong oleh kekuatan-kekuatan sosial dari dalam, dan berakibat adanya kematian feodalisme, perluasan industrialisasi dan ekspansi kolonisasi mendorong ke arah pertumbuhan ekonomi, mobilitas sosial mencakup transfer keuasaan potensial secara progresif. b. Modernisasi terarah, merupakan suatu perubahan yang sengaja didorong, direncanakan dan dipimpin oleh badan-badan administrasi negara yang terpusat. c. Modernisasi hibrida, merupakan bentuk modernisasi akulturatif yang menggabungkan tindakan-tindakan yang mengarah pada proses evolusioner. Nilai-nilai yang berkembang dari warisan kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya dari masyarakat yang bersangkutan yang menuju modernisasi terlebih dahulu harus menyesuaikan nilai-nilai pokok suatu masyarakat dalam menanggapi tunututan jaman. Syarat-syarat modernisasi (Soeryono Soekanto, 1982:349) antara lain: a. Cara berfikir yang ilmiah, hal ini menghendaki suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang terencana dengan baik. b. Sistem administrasi negara dengan baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi. c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu badan atau lembaga tertentu. d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara menggunakan alat-alat komunikasi massa. e. Tingkat organisasi yang tinggi, disatu pihak berarti disiplin dan dilain pihak berarti pengurangan kemerdekaan. f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanan perencanaan. Bertolak dari syarat-syarat modernisasi tersebut, jika dihubumgkan dengan kondisi Jepang, negara itu memang mempunyai syarat-syarat untuk modernisasi. Setelah Restorasi Meiji, pendidikan di Jepang maju dengan pesat, hal ini disebabkan oleh kesadaran bangsa Jepang untuk mengejar ketinggalannya 14 dengan Barat dan adanya Undang-Undang wajib belajar. Dalam modernisasi tersebut ada sentralisasi wewenang dalam perencanaan perubahan sosial, karena dalam modernisasi tersebut ada satu tokoh yang memegang peranan sebagai pusat dalam usaha memajukan Jepang, yaitu Kaisar Meiji. Akibat yang dirasakan dari proses modernisasi/industrialisasi antara lain (Astrid S. Susanto, 1983:182): (a) bidang agraria mengalami kesukaran-kesukaran; (b) bidang agraria mengalami kesukaran-kesukaran; (c) bidang agraria mengalami kesukarankesukaran; (d) produksi agraria masih tergantung dari individu; (e) kurang adanya tenaga terlatih yang semakin diperlukan khususnya dalam jangka panjang; (d) makin tinggi dan besarnya spesialisasi; (e) semakin ikut campurnya negara dalam produksi managemen; (f) meningkatnya konsumsi dalam aneka barang produksi; (g) adanya perpindahan/mobilitas kerja dalam masyarakat. 3. Mobilitas Sosial a. Pengertian Mobilitas Sosial Pengertian mobilitas mencakup mobilitas kelompok dan mobilitas individu. Kedua tipe mobilitas tersebut sering berlangsung secara bersamaan, walaupun suatu kelompok orang miskin melahirkan seorang yang terkenal. Semakin tinggi status suatu kelompok, semakin banyak pula jumlah orang yang berhasil mencapai kedudukan yang tinggi. Mobilitas yang berarti kesiapsiagaan untuk bergerak atau gerak perubahan yang terjadi di antara warga masyarakat baik secara fisik maupun secara sosial dapat menimbulkan gerak sosial atau mobilitas sosial. Menurut Soerjono Soekanto (1982:249) gerak sosial atau social mobility adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompok. Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas ke kelas sosial lainnya. Masyarakat yang berkelas sosial terbuka adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi; masyarakat yang berkelas sosial tertutup adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang rendah (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1992:36). 15 Menurut Ransford dalam Kamanto Sunarto (2000:89) bahwa “social mobility refers to the movement of individuals or groups-up or down within a social hierarchy”. Definisi Ransford mengenai mobilitas sosial tersebut mengacu pada individu maupun kelompok. Kemudian Bruce J. Cohen (1983:268) mengemukakan bahwa “Mobilitas sosial menunjuk kepada perpindahan individuindividu dari status sosial ke status sosial yang lain. Perpindahan ini bisa naik atau turun, atau tetap pada tingkat yang sama tetapi dalam pekerjaan yang berbeda”. Berdasarkan definisi-definisi mengenai mobilitas sosial di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa mobilitas sosial adalah peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu. Prospek mobilitas tergantung pada jumlah kedudukan yang berstatus tinggi, yang tergantung pula perubahan tekhnologi dan pertumbuhan ekonomi. b. Tipe-Tipe Mobilitas Sosial Menurut Bruce J. Cohen (1993:270), ada beberapa tipe dalam mobilitas sosial antara lain: (1) Mobilitas vertikal yaitu perubahan status individu karena berpindah dari satu kelas sosial ke kelas sosial yang lain; (2) Mobilitas horizontal ialah perpindahan sosial pada tingkat yang sama. Individu yang berganti pekerjaan menunjukkan mobilitas horizontal apabila bergantian tersebut mempengaruhi status sosialnya; (3) Mobilitas antar generasi adalah mobilitas yang terjadi antar generasi; (4) Mobilitas intra generasi merupakan perubahan-perubahan dalam status sosial individu atau kelompok individu dalam generasi yang sama. Menurut Wila Huky (1982:140) terdapat tiga tipe mobilitas sosial yaitu: (1) mobilitas sosial vertikal artinya gerakan orang perorangan atau grup dalam masyarakat dari satu stratum ke stratum di atas atau di bawahnya; (2) mobilitas sosial horizontal artinya gerak orang perorangan dan grup dari satu posisi ke posisi yang lain dalam stratum yang sama; (3) mobilitas sosial secara geografis, di sini terjadi gerak orang perorangan atau grup dari satu tempat secara geografis ke 16 tempat yang lain. Adanya perpindahan secara geografis ini dapat menghasilkan mobilitas sosial vertikal maupun horizontal. Menurut Soerjono Soekanto (1982:249), tipe-tipe mobilitas sosial yang prinsipil ada dua macam, yaitu gerak sosial vertikal dan gerak sosial horizontal. Gerak sosial yang vertikal adalah sebagai perpindahan individu atau obyek sosial dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajad. Sedangkan gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu atau obyekobyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial yang lainnya yang sederajat. Gerak sosial horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang atau suatu obyek sosial. Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto, Adham Nasution (1979:137) berpendapat bahwa ada dua macam tipe mobilitas sosial yaitu mobilitas sosial horizontal dan mobilitas sosial vertikal. Mobilitas vertikal dapat naik atau turun dan jalan ke mobilitas ini antara lain melalui perkawinan, pendidikan, kekayaan dan kemampuan atau kecakapan khusus. Mobilitas yang terjadi di Jepang sebagai akibat dari perubahan sistem pendidikan yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Meiji merupakan mobilitas secara vertikal. Masyarakat Jepang pada umumnya menganggap bahwa latar belakang pendidikan sebagai salah satu ukuran terpenting kedudukan sosial seseorang. Secara nyata dapat dilihat bahwa para lulusan universitas yang langsung memperoleh pekerjaan akan menaikkan status sosial mereka dalam masyarakat. Dalam memperoleh pekerjaan, seorang tamatan sekolah menengah tidak dapat bersaing dengan lulusan universitas. Menurut Pitirim A. Sorokin dalam Soerjono Soekanto (1982:252), mobilitas vertikal mempunyai saluran-saluran dalam masyarakat yang disebut dengan social circulation. Saluran yang terpenting adalah angkatan bersenjata, lembaga keagamaan, sekolah, organisasi politik, ekonomi dan keahlian. Mobilitas sosial vertikal lebih penting untuk dijadikan landasan bagi pembangunan. Oleh karena itu, perlu adanya prinsip-prinsip umum bagi mobilitas sosial vertikal (Soerjono Soekanto, 1982:251). Prinsip-prinsip umum tersebut antara lain: 17 1) Hampir tidak ada masyarakat yang sifat sistem lapisannya mutlak tertutup, dimana sama sekali tak ada gerak sosial yang vertikal. 2) Meskipun proses gerak sosial dapat dilakuklan sebebas-bebasnya, tak mungkin ada stratifikasi sosial yang menjadi ciri tetap dan umum dari setiap masyarakat. 3) Gerak sosial vertikal mempunyai ciri-ciri sendiri dalam setiap masyarakat. 4) Laju gerak sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan pekerjaan adalah berbeda, tidak ada kecenderungan yang kontinu perihal bertambah atau berkurangnya laju gerak sosial. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial Mobilitas sosial sangat dipengaruhi oleh proses pembangunan yang sedang berlangsung. Menurut Wila Huky (1982:143) ada beberapa faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial antara lain: (1) perubahan kondisi sosial; (2) ekspansi teritorial dan gerak populasi; (3) pembatasan komunikasi; (4) pembagian kerja; (5) tingkat fertilitas yang berbeda. Sedangkan menurut Prijono Herijanto (1997:94), beberapa hal penting yang dapat mempengaruhi mobilitas sosial antara lain: 1) Industrialisasi dan perdagangan bebas yang akan mendorong meningkatnya mobilitas penduduk, khususnya pola mobilitas non permanen. 2) Revolusi dalam tekhnologi informasi didukung dengan kemajuan sarana prasarana transportasi akan memberikan berbagai kemudahan bagi masyarakat kelas menengah dan kelas atas yang semakin besar jumlahnya. 3) Kebijaksanaan pembangunan daerah dan pembangunan pedesaan yang dilengkapi dengan penanggulangan kemiskinan termasuik gerakan pembangunan keluarga modern dengan suasana kota di desa, akan semakin digalakkan. 18 4) Penurunan jumlah dan pertumbuhan penduduk dikaitkan dengan bertumbuhnya ekonomi yang bervariasi antar daerah dan antar wilayah, akan menimbulkan arus mobilitas tenaga kerja antar wilayah. Tingkat mobilitas pada masyarakat modern ditentukan oleh faktor terstruktur dan faktor-faktor individu (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1992:56). Faktor-faktor terstruktur antara lain termasuk jumlah kedudukan tinggi yang tersedia, perbedaan fertilitas, dan penunjang serta penghambat mobilitas yang ada dalam masyarakat. Faktor-faktor individu yang berkaitan dengan mobilitas mencakup perbedaan kemampuan, perbedaan perilaku yang menunjang mobilitas (pendidikan, kebiasaan kerja, pola penundaan kesenangan, kemampuan ‘cara bermain” dan kesenjangan nilai), serta faktor keberuntungan. Dalam kenyataannya, terdapat juga faktor-faktor yang menghalangi atau menghambat terjadinya mobilitas sosial (Wila Huky, 1982:141) antara lain: 1) Perbedaan rasial dan agama yang kaitannya dengan status sosial merupakan faktor penting terciptanya sistem kelas tertutup, dan tidak memungkinkan mobilitas sosial vertikal. 2) Diskriminasi kelas dalam sistem kasta terbuka dapat menjadi perintang mobilitas ke atas, seperti melalui pembatasan keanggotaan dalam organisasi tertentu. 3) Kelas-kelas sosial yang menjadi sub kultur orang perorangan yang berkembang sejak kecil dan mengalami proses sosialisasi dapat menjadi pembatas mobilitas ke atas. 4) Kemiskinan dapat membatasi kesempatan bagi orang-orang untuk berkembang dan mencapai kemajuan sosial. 5) Perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat berpengaruh dalam prestasi, kekuasaan, status sosial dan kesempatan-kesempatan untuk meningkat, sehingga menimbulkan adanya perbedaan mobilitas ke atas. Faktor-faktor struktur seperti penurunan perusahaan industri, stagnasi ekonomi dan penurunan produktivitas, penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi dan perubahan teknologi cenderung meningkatkan jumlah orang yang harus kehilangan status kelas sosial. Faktor-faktor individu yang mencakup pendidikan, 19 kebiasaan kerja dan lain sebagainya menentukan siapa yang harus mengalami penurunan status (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1992:49). B. Kerangka Berpikir Sistem pendidikan Masa Tokugawa Kebijakan sistem pendidikan Mori Arinori Sistem pendidikan Era Meiji Sistem pendidikan masa pendudukan AS Demokratisasi pendidikan Modernisasi Mobilitas sosial Pertumbuhan ekonomi dan industri 20 Keterangan: Sebelum Restorasi Meiji, yaitu pada masa Pemerintahan Tokugawa (1607-1867), bangsa Jepang dibawah kekuasaan Shogun. Pemerintah Shogun membiarkan rakyat tetap bodoh dan patuh tidak memperhatikan pendidikannya. Menjelang akhir pemerintahan Tokugawa pendidikan rakyat mendapat sedikit perhatian dengan memperbolehkan rakyat memasuki sekolah-sekolah Samurai. Sistem pendidikan yang dilakasanakan pada masa Tokugawa masih bersifat tradisional. Pemerintah Tokugawa belum membentuk suatu lembaga yang khusus mengenai masalah pendidikan. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan hanya terbatas bagi kaum ningrat. Sementara rakyat dengan biaya sendiri menyelenggarakan pendidikan tanpa ada perhatian dari pemerintah Tokugawa. Namun dengan demikian, sistem pendidikan Tokugawa telah melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang mampu merubah Jepang menjadi bangsa modern. Sistem pendidikan yang dilaksanakan selama periode Tokugawa tersebut sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang dilaksanakan pada masa Meiji. Restorasi Meiji pada tahun 1868 merupakan langkah awal bangsa Jepang dalam sejarahnya telah mengalami dua kali perubahan yaitu pada masa Restorasi Meiji dan pada masa pendudukan Amerika Serikat. Pada saat pemerintah Meiji mulai dilaksanakan perubahan sistem pendidikan yang tradisional yaitu pada masa Tokugawa menjadi sistem pendidikan yang modern untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara Barat. Perubahan sistem pendidikan itu sesuai dengan dinamika masyarakat Jepang yang semakin maju dan modern. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan terbuka bagi seluruh rakyat tanpa membedakan status sosial mereka dalam masyarakat. Pada tahun 1885 Mori Arinori diangkat sebagai Menteri Pendidikan Jepang yang pertama. Mori Arinori dikenal sebagai menteri yang tegas dan berfikir maju, sehingga berperan penting dalam merumuskan kebijakan-kebijakan baru. Sistem pendidikan yang dirumuskan Mori dijadikan sebagai dasar pelaksanaan sistem pendidikan Jepang pada masa akhir Perang Dunia II. Mori sebagai menteri pendidikan telah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam bidang pendidikan modern. Dalam menyusun kebijakan tersebut, ilmu pengetahuan dan 21 teknologi Barat dijadikan sebagai kurikulum utama sedangkan pendidikan moral yang berorientasi kepada penegakan institusi kekaisaran dijadikan pegangan utama. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II menyebabkan negara Jepang berada di bawah pendudukan tentara Sekutu khususnya Amerika Serikat. Pendudukan Amerika Serikat di Jepang selama 7 tahun telah membawa perubahan radikal dan mendasar dalam bidang pendidikan. Sistem pendidikan Jepang yang diwarnai faham militerisme dan ultra nasionalistik sebelum Perang Dunia II sangat ditentang oleh pemerintah pendudukan Amerika Serikat. Sistem pendidikan dianggap telah ikut mendorong Jepang dalam mengembangkan politik ekspansionismenya. Untuk itulah pemerintah pendudukan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan sistem pendidikan Jepang yang lebih demokratis. Selama masa pendudukan, pemerintah Amerika Serikat melakukan demokratisasi dalam bidang pendidikan. Ide demokratasi sistem pendidikan dilaksanakan secara paksa oleh pemerintah pendudukan. Dalam rangka merealisasikan demokratisasi pendidikan, maka dibentuklah komite pembaharuan pendidikan pada bulan Maret 1946. Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah pendudukan untuk mengubah sistem pendidikan ternyata menghadapi berbagai rintangan dari pemerintah Jepang sendiri. Demokratisasi pendidikan tidak semuanya berhasil, namun demikian perubahan sistem pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Amerika Serikat ikut berperan dalam memodernisasi bangsa Jepang. Sistem pendidikan secara tidak langsung telah membantu dalam mobilitas sosial. Pada masa Jepang feodal terjadi pengelompokkan kelas sosial dalam masyarakat. Dengan jatuhnya pemerintahan feodal pada tahun 1868 dan dimulainya industrialisasi sistem kelas sosial yang berdasarkan keturunan dihapuskan. Pemerintah Meiji segera menghapus hirarki status prajurit, petani, tukang, pedagang dan memutuskan berlakunya sistem baru yang menyatakan bahwa ke-4 golongan tersebut secara hukum sama kedudukannya. Masyarakat Jepang pada umumnya mengganggap bahwa latar belakang pendidikan sebagai salah satu ukuran terpenting dalam kedudukan sosial seseorang. Proses 22 industrialisasi yang semakin maju pada masa sesudah perang telah memunculkan suatu kelas baru yaitu kelas setelan abu-abu (pakaian seragam orang gajian). Kelas setelan abu-abu juga sering disebut Salaryman (orang yang digaji) dan para sosiolog menamakan mereka White Collar (pegawai kantoran). Kelas Salaryman merupakan hasil dari sistem pendidikan dimana mereka adalah pelajar-pelajar lulusan sekolah yang bekerja pada suatu perusahaan. Perekonomian Jepang yang mulai bangkit setelah Restorasi Meiji tidak bisa lepas dari peran sistem pendidikan yang telah dibuka untuk seluruh rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi setelah Restorasi Meiji tersebut didukung oleh usaha-usaha pemerintah Jepang dalam meningkatkan kualitas manusianya, terutama melalui pendidikan formal. Pendidikan telah memberikan sumbangannya dalam menciptakan buruh yang berkualitas. Pendidikan mendorong lebih banyak pekerja yang melek huruf dan lebih produktif. Pertumbuhan ekonomi Jepang secara perlahan menunjukkan kemajuan arus industrialisasi meningkat dengan pesat terutama setelah terjadi Perang Dunia II.