PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT SALAH TANGKAP (Kajian

advertisement
PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT SALAH TANGKAP
(Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy)
Oleh:
FAHRURROZI
NIM. 104045101547
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/ 2010 M
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT
yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan
kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelelahan yang menerpa. Atas rahmat dan
karunia dari Mu, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan di warnai dengan
ujian, emosi, kesabaran, dan kekuatan. dan juga salawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat.
Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari
bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Prof. DR. H. Amin Suma, SH., MA., MM.
2. Ketua program studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi M.Ag dan
sekretaris program studi Jinayah Siyasah Ibu Sri Hidayati, M.Ag atas
kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis.
3. Kepada para dosen yang telah memberi ilmu, tenaga, dan waktu yang luar
biasa bagi penulis selama ini.
4. Kepada pegawai perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah yang telah
membantu penulis mencari buku dalam pembuatan skripsi ini.
5. Kepada para pembimbing skripsi, Bapak H. Zubir Laini, SH, dan Bapak Dr.
Nurul Irfan, Yang telah memberikan saran, masukan, dan pengarahan yang
luar biasa bagi proses skripsi ini.
6. Kepada Kedua Orang tua tercinta, Ayahnda H. Abdul Rammat dan Ibunda
Halimah yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan
menghargai ilmu, memberikan dukungan do’a yang tidak pernah putus juga
telah memberikan kepercayaan yang besar bagi Anakmu (penulis).
7. Kepada adikku yang masih belum beranjak dewasa, Ahmad Maulana rizqi.
Terima kasih telah memberikan suasana yang berbeda setiap harinya di
rumah. Semoga skripsi ini dapat memberikan inspirasi untuk kamu agar dapat
menyelesaikan pendidikan dengan baik.
8. Kepada teman-teman alumni Pon Pes Darussalam Bogor khususnya alumni ke
IX Al-Adiyaat.
9. Kepada teman-teman sekelas : Amin, Epi, Zaelani, Hijrah, Finalto, Devison,
Komson, Azis, Rifa’i, Riko, Husni, Agus, Hilmi, Johan, Nandez, Iwek, Irna,
Puti, Zulfa, Novi, dan Reva.
10. Kepada seluruh dosen yang memberi dorongan dan semangat penulis dalam
pembuatan skripsi ini.
11. Kepada seluruh guru-guru yang pernah mengajar penulis. Skripsi ini
merupakan bentuk terima kasih dan penghargaan tertinggi penulis atas jasajasa para guru selama ini.
12. Kepada rental Elok dan rental Cemara khususnya buat Bang Nanang yang
membantu penulis dalam pengetikan dari awal hingga selesai.
13. Kepada Fitriyani terima kasih telah memberikan masukan-masukan yang
berharga bagi penulis. Smoga apa yang penulis cita-citakan tercapai. Amin...
Demikian ucapan terima kasih dari penulis dan penulis berharap semoga
segala kebaikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga berharap,
semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi inspirasi bagi
generasi berikutnya.
Jakarta,
10 Januari
2010 M
25 Muharram 1431 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................
5
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................
7
C. Manfaat dan Tujuan ..................................................................
8
D. Kajian Pustaka ..........................................................................
8
E. Metode Penelitian .....................................................................
9
F. Sistematika penulisan................................................................ 10
BAB II
TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM
POSITIF
A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana........................................ 12
B. Tujuan Pemidanaan................................................................... 21
C. Sanksi Dalam Hukum Pidana Jenis dan Macam-Macamnya ...... 25
D. Pencemaran Nama Baik dan Sanksinya Menurut Hukum Positif 29
BAB III
PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jinayah dan Jarimah................................................. 39
B. Macam-macam dan Jenis-Jenis Jarimah .................................... 42
C. Uqubah Macam dan Tujuannya Dalam Hukum Islam................ 55
D. Pencemaran Nama Baik dan Jenis Sanksinya Menurut Hukum
Islam......................................................................................... 62
E. Kasus Hadis Al-Ifki dan Kaitannya Dengan Pencemaran Nama
Baik .......................................................................................... 65
BAB IV
SALAH TANGKAP DAN PENCEMARAN NAMA BAIK
A. Pengertian Salah Tangkap ......................................................... 77
B. Sebab Terjadinya Salah Tangkap .............................................. 78
C. Akibat Salah Tangkap ............................................................... 83
D. Macam-Macam Perlindungan Hak Korban................................ 84
E. Kasus Salah Tangkap ................................................................ 86
F. Analisis Pebandingan .................................................................. 91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................... 91
B. Saran-saran ............................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia yang memiliki serta kesempurnaan dibandingkan dengan
makhluk lainnya telah mendorong untuk mencari jalan yang lurus dan terang agar
kehidupan mereka senantiasa dipenuhi kesejahteraan dan kemakmuran. Untuk itu
dibuatlah suatu rumusan yang dikenal dengan istilah Hukum, yakni kumpulan dan
aturan-aturan hidup dan kehidupan.
Akan tetapi semenjak terjadinya krisis moneter pada masa orde baru
tahun 1998 menyebabkan perekonomian di Indonesia tidak stabil sehingga ada
sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan tindak pidana seperi pencurian,
pembunuhan , perampokan dan lain-lain. Maka dari karena itu, tugas penertiban
hukum pada masa yang akan datang tidak terlepas dari penggunaan metode dan
cara-cara penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum. Baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, Polisi (aparat hukum) pada masa yang akan datang
tidak terlepas dari tugas yang paling utama yaitu menjaga ketertiban.1
Oleh karena itu, untuk terciptanya pelaksanaan pembangunan nasional
yang terencana dan terarah tentunya perlu didukung oleh peran serta secara aktif
dari semua lapisan masyarakat serta aksi dan reaksi dari aparat pemerintah dalam
1
Siswanto Sunarso. Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia. (Bandung, PT Citra Aditia
Bakti. 2005). Cet ke 1. hal. 162
kerangka penegakan hukum. Dengan kata lain pembangunan nasional dapat
terwujud, salah satunya melalui, proses pengintegrasian antara upaya penegakan
hukum dengan keseluruhan kebijaksanaan sosial. 2 Setiap anggota masyarakat
tentu memiliki berbagi kepentingan yang beraneka warna dan yang dapat
menimbulkan bentrokan satu sama lain. Jika bentrokan ini terjadi, maka
masyarakat menjadi guncang. Keguncangan ini sebeberapa mungkin harus
dihindarkan. Untuk ini, hukum menciptakan berbagai hubungan tertentu dalam
masyarakat.
Hubungan-hubungan ini di antara orang-orang perorangan, atau antara
berbagai kelompok orang-orang. Atau antara suatu kelompok dan seorang oknum
tertentu, atau antara masyarakat seluruhnya di satu pihak. Dalam mengatur suatu
hubungan ini, hukum bertujuan menyeimbangkan di antara berbagai kepentingan.
Imbangan ini tidak terutama terletak pada dunia rohaniah di tengah-tengah
Masyarakat (Magisch evecuscht). Janganlah sampai suatu kepentingan telantar di
samping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuannya seluruhnya, hanya
kalau masyarakat mewujudkan neraca yang lurus, dapat dikatakan ada
keselamatan dan kebahagiaan di dalam masyarakat yang bermanfaat. Kelurusan
neraca masyarakat ini hanya dapat tercapai, kalau hukum yang mengaturnya itu
dilaksanakan, dihormati dan tidak dilanggar.3
2
Didik dan Lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan
Reaita, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.) hal. 18
3
Wirjono Projodikro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Rafika Aditama)
hal. 15-16
Pelanggaran dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah
perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah
yang dilarang dan diancam dengan pidana. 4
Dalam hubungan ini, kesalahan
merupakan faktor bagi pertanggungjawaban pidana. Ada tidaknya kesalahan,
terutama penting bagi penegak hukum untuk menentukan apakah yang melakukan
tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya dapat dipidana.5
Walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku
kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia dengan hak
asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum
ada putusan Hakim yang menyatakan pelaku bersalah.
Tujuan diberikannya perlindungan hukum kepada si pelaku kejahatan
adalah untuk menghormati hak asasi pelaku kejahatan agar nasibnya, tidak
terkatung-katung, adanya kepastian hukum bagi si pelaku serta menghindari
perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selama ini banyak berkembang
pemikiran bahwa dengan telah diadilinya pelaku kejahatan dan selanjutnya pelaku
menjalani hukuman, maka perlindungan terhadap pelaku dianggap sudah selesai. 6
Seiring dengan meluasnya pernyataan Internasional tentang hak asasi
manusia di berbagai belahan dunia, Indonesia sebagai negara yang berlandaskan
hukum (Recht Staat), dan bukan berdasarkan kekuasaan (macht staat)
4
Moeljetno. Asas-Asas Hulum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta. 2002,) hal. 130
Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggunjwaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisah Tindak Pidana
dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta, Pranada Media, 2006,) hal. 19
6
Didik dan Lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan
Reaita, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.) hal. 20
5
memberikan jaminan hak asasi terhadap warga negara untuk menjalankan
aktivitas sehari-hari jaminan terhadap hak asasi ini tercantum dalam Undangundang dasar 1945 dan dalam batang tubuh Undang-undang 1945.
Jaminan tentang hak asasi bukan hanya diberikan kepada masyarakat yang
bebas saja, tetapi terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, yang pada hakikatnya,
merupakan pengurangan terhadap hak asasi manusia, dibatasi wewenang oleh
Undang-undang. Jaminan mengenai hak asasi tersangka tertuang dalam Undangundang Nomor 45 Tahun 1970 Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi “pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.7
Tetapi salah atau tidaknya tersangka, hukum lebih mengutamakan pada
pengakuannya, untuk pembuktian aparat penegak hukum mengambil jalan pintas
dengan melakukan penganiayaan terhadap tersangka. Tersangka dipaksa mengaku
bahwa ia melakukan tindak pidana, penyiksaan tetap dilakukan bila tersangka
tidak mengakui perbuatan tindak pidana yang ia lakukan. Akhirnya tersangka
lebih baik mengakui secara terpaksa karena di dalam penjara mereka akan
mendapat siksaan kembali.
Namun demikian, perlu dimaklumi bahwa para penegak hukum adalah
manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan. Tindakan penangkapan dan
penanahan sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi
tegaknya keadilan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Kadang-kadang
7
KUHP (Surabaya, Karya Anda, tth), hal. 256
mereka memberi perlakuan seseorang yang belum jelas kesalahannya, sehingga
tersangka menderita, baik secara fisik maupun mental.8
Sering sekali profesionalisme Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan
aparat hukum lainnya yang terlibat dalam penyelesaian perkara hukum semakin
ramai dibahas oleh media massa, selain soal korupsi juga soal salah tangkap yang
dilakukan oleh aparat kepolisian. Wacana tersebut bukan hanya perbincangan di
kalangan para elit, tetapi juga semakin ramai mewarnai opini masyarakat.
Terdapat kerisauan harapan atas kinerja aparat kepolisian dan aparat hukum
lainnya agar dapat lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.
Kasus salah tangkap semakin ramai dibahas seiring dengan pengakuan
Riyan si jagal dari Jombang yang telah membunuh Ashrory, sebenarnya kematian
Ashrori telah membawa tiga orang pelaku yang di antaranya bernama Maman,
Imam Hambal, dan David, tersangka telah divonis 17 dan 12 tahun penjara oleh
hakim pengadilan negeri Jombang. Peristiwa tersebut mengungkap suatu catatan
bahwa aparat kepolisian (Polres Jombang) telah melakukan salah tangkap atas
pembunuhan Asrori pada bulan Mei 2007.
Ternyata, kasus salah tangkap dan menghukum mereka yang sama sekali
tidak bersalah sudah merupakan rahasia umum di negeri ini. Berbagai kasus
sebelumnya juga pernah santer diperbincangkan, kisah sedih dialami. Sengkon
dan Karta Tahun 1974 yang dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh
8
Hal 128.
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil,2001) Cet ke 2,
merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap
korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di desa Bojong, Bekasi. Hal serupa
terjadi pada Budi Harsono di Bekasi pada tahun 2002 yang dipaksa mengaku oleh
oknum polisi agar mengakui pembunuhan ayah kandungnya sendiri. 9
Kita berharap pimpinan kepolisian menindak tegas terhadap oknum polisi
yang bersalah melakukan kesalahan penangkapan, apalagi melakukan kekerasan
terhadap yang korban tidak bersalah. Kejadian salah tangkap dan salah
menghukum menjadi salah satu alasan utama penolakan hukuman mati oleh
pendapat kontra hukuman mati (obolisionis) alangkah berbahaya pelaksanaan
hukuman mati bila ternyata terpidana tidak bersalah, di mana sistem hukum
Negara kita yang masih lemah, terlebih aparatnya masih tidak profesional seperti
saat ini.
Oleh karena itu para korban salah tangkap dan salah hukum berhak
mengajukan upaya hukum, seperti permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada
mahkamah agung dengan mengerahkan bukti baru (Novum) serta gugatan ganti
rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur didalam KUHAP. Para korban yang tidak
bersalah sebaiknya mendapatkan ganti rugi yang layak dari negara dan bila perlu
ganti rugi tersebut dibebankan kepada para penegak hukum yang terlibat dalam
peradilan sesat atas diri korban.10
9
http://www.gp-anshor.org/tajuk/salah-tangkap-dan-kesalahan-berjamaah.Html.Senin 25 mei
2009
10
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salahtangkapdansalahmenghukum
Adanya kasus salah tangkap dan salah menghukum ini telah sampai ke
tengah-tengah pers dan telah disampaikan kepada masyarakat luas setelah
diketahui bahwa ternyata tersangka tidak bersalah akan tetapi nama tersangka
telah tersebar luas atau telah tercemar.
Dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk
mengajukan skripsi yang berjudul. “Pencemaran Nama Baik Akibat Salah
Tangkap” (Kajian Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Positif) karena
pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk kejahatan yang dapat membunuh
karakter seseorang. sehingga hal ini sangat menarik untuk dibahas dan diangkat
sebagai judul skripsi.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat
batasan permasalahan, yaitu kasus salah tangkap yang terjadi di Kota Bekasi pada
tahun 1947 dan tahun 2002.
Untuk memudahkan pembahasan proposal ini maka penulis mencoba
merumuskan masalah ini sebagai berikut
1. Apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik ?
2. Apa yang dimaksud salah tangkap ?
3. Bagaimana perlindungan hak-hak korban dalam kasus salah tangkap ?
4. Apa perbedaan dan persamaan dari hukum Islam dan hukum positif tentang
“pencemaran dan salah tangkap” ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan di atas maka dapat diakui bahwa
tujuan umum dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui definisi pencemaran nama baik
2. Untuk mengetahui definisi salah tangkap
3. Untuk mengetahui perlindungan hah-hak korban dalam salah tangkap
4. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari hukum islam dan hukum
positif tentang “Pencemaran dan Salah Tangkap”.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah agar para aparat lebih hati-hati
dalam melakukan penyidikan, untuk mengetahui bagaimana perlindungan hakhak korban yang dilakukan oleh pemerintah serta sangsi yang akan dikenakan
kepada Aparat Kepolisian serta untuk mengetahui pandangan hukum pidana islam
dan hukum pidana positif
D. Kajian Pustaka
Penulis akan membuat kajian pustaka dengan tujuan untuk mengkaji
materi-materi yang terdahulu yang memiliki tema yang berkaitan dengan tema
yang dipilih oleh penulis dan materi atau karya-karya tersebut adalah skripsiskripsi yang berjudul pencemaran nama baik oleh media massa (pers), karangan
Hidayatullah, 2004. yang paling utama yang dikaji adalah perlindungan terhadap
pekerjaan pers serta adanya kebebasan pers, dan skripsi yang berjudul
perlindungan hukum Bagi tersangka kekerasan oleh aparat, karangan Handriyo
Akbarullah, 2006. yang paling utama dikaji adalah bahwa pentingnya
perlindungan bagi hak-hak setiap manusia terutama pada tersangka yang sering
adanya kekerasan dalam penyidikan baik secara fisik dan mental.
Dilihat dari karya-karya di atas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa belum ada yang membahas mengenai pencemaran nama baik
akibat salah tangkap, kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
E. Metode Penelitian
1. Teknik Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data yang kemudian
dianalisakan dan diuji kebenarannya dengan cara mengumpulkan sumbersumber yang berkaitan dengan aspek permasalahan yaitu dengan cara
mengambil buku-buku, pendapat para ahli, surat kabar, majalah, internet, dan
lain-lainnya.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data, yaitu data yang
bersumber dari data primer dan data sekunder yang kedua-duanya berbentuk
kitab-kitab dan buku-buku baik bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Yang
di maksud data primer adalah Al-tasyri’ Al-jina’i Al-Islami Muqoronan
Bilqonun Al-wad’i, karangan Abdul Qadir Al-Audah, KUHP karangan
Moeljatno, KUHAP, Urgensi perlindunagn kejahatan antara norma dan
realita, karangan Dikdik M.arief Mansur dkk, dan Pencemaran Nama Baik
dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika, karangan Tjiptro
Lesman. Adapun yang dimaksud data sekunder adalah kitab-kitab, bukubuku, serta literature yang berhubungan dengan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang digunakan baik primer atau sekunder
yang sebagian besar data yang diperoleh melalui kitab-kitab, buku-buku,
pendapat-pendapat para ahli hukum, dokumen-dokumen dan sebagainya yang
ada relevansinya dengan masalah pokok yang terdapat dalam masalah ini.
Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan
skripsi ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi
yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan, maka pembahasan
skripsi “pencemaran nama baik akibat salah tangkap” ini akan disusun dalam lima
bab dan masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I
:
Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
:
Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak
pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana positif.
BAB III
:
Berisi landasan teori yang membahas tentang pengertian tindak
pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana Islam.
BAB IV
:
Berisi tentang pengertian salah tangkap, sebab-sebab terjadinya
salah tangkap serta akibat yang akan dirasakan akibat dari salah
tangkap,
BAB V
:
Merupakan bab penutup
yang
berisikan kesimpulan dari
permasalahan skripsi dan saran, dan di mana pada akhir terdapat
pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II
TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF
A. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang
dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya yaitu straf.
Hukuman merupakan istilah umum untuk segala macam sanksi, baik perdata,
administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang
berkaitan dengan hukum pidana.11
Oleh karena itu “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus. Maka,
perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan
ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khusus. Untuk memberikan gambaran yang lebih
luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana:
1. Menurut Profesor Sudarto. yang dimaksud dengan hukum pidana adalah,
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Menurut Profesor Ruslan Soleh, Pidana adalah reaksi atas delik. Dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat
delik itu.12
11
. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994). Cet. Ke-2, h.
27.
12
. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni,
2005). H. 2
3. Dan menurut Profesor Van Hemel, arti dari pidana atau straf menurut hukum
positif dewasa ini adalah, suatu yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.13 Jadi, pidana
merupakan suatu bentuk penderitaan yang dikenakan dengan sengaja oleh
kekuasaan yang berwenang kepada pelanggar peraturan.
Pada kalimat “tindak pidana” terdiri dari dua kata yakni “tindak” dan
“pidana”.dalam kamus bahasa Indonesia kata “tindak” mempunyai arti:
perbuatan.14 Sedangkan kata “pidana” mempunyai arti: kejahatan (tentang
pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya).15
Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit, Terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar
dan feit. Ternyata “straf” diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kalimat
“baar” diterjemahkan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata “feit”
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.16 Telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
13
. P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Amrico, 1994), Cet. Ke-
4, h. 49.
14
. Dep dik but ,Kumus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 984.
. Ibid, h. 681.
16
. Adami Chzawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) h. 69.
15
1. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum.
2. Peristiwa pidana.
3. Perbuatan pidana.
4. Tindak pidana.
5. Delik.17
Perumusan Simon yang dikutip oleh S.R. Sianturi dalam bukunya,
merumuskan bahwa : “Een Strafbare Feit” adalah suatu handeling (tindakan atau
perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan
dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab. 18
Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana Kumpulan Kuliah,
memakai istilah tindak pidana, karena istilah tindak pidana (tindakan), mencakup
pengertian melakukan atau berbuat (actieve handling) dan atau pengertian tidak
melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passieve handling).19
Dalam hal ini dapat diambil suatu kesimpulan tentang rumusan tindak
pidana (delik) :
1. Suatu perbuatan manusia (menselijke handelingen) hendelingen bisa bersifat
een doen ( perbuatan ) dan een nalaten ( mengabaikan ).
17
. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerannya, (Jakarta: Alumni
ahaem petehem, 1996,), Cet. Ke-4, h. 200.
18
. Ibid, h. 201.
19
. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Balai Lektur
Mahasiswa, Tth), h. 70.
2. Perbuatan (handelingen) yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
3. Perbuatan (handelingen) itu harus dilakukan oleh orang ( seseorang ) yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Dari pengertian-pengertian Strafbaar Feit yang dikumukakan oleh para
pakar hukum pidana, diperoleh makna bahwa Strafbaar Feit sama dengan delik,
sama dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan istilah lain salinannya. Namun
dari segi materi Strafbaar Feit terdapat 2 (dua) pendapat yakni: ada pendapat yang
menyatukan unsur perbuatan dan unsur tanggung jawab Strafbaar Feit dalam satu
golongan dan pendapat lain yang memisahkan unsur perbuatan dan unsur
tanggung jawab Strafbaar Feit dalam 2 (dua) golongan, atau dengan kata lain ada
beda pandangan mengenai materi Strafbaar Feit sehingga ada garis pemisah
antara 2 (dua) aliran, yaitu20:
1. Aliran Monisme, antara lain Simon yang merumuskan Strafbaar Feit sebagai
eene strafbaar getseld, onrechtmatige, met schuld in verband staande
handeling van een toerekeningsvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh
hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh
orang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas
perbuatannya). Menurut aliran ini unsur Strafbaar Feit meliputi unsur-unsur
perbuatan (lazim disebut unsur objekif) yaitu unsur melawan hukum dan
20
. Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, ( Jakarta :
Pradnya Paramita, 1997 ), Cet. Ke-1, h.18.
unsur tidak ada alasan pembenar maupun unsur-unsur tanggung jawab (lazim
disebut unsur subjektif), yaitu unsur mampu bertanggung jawab, unsur
kesalahan sengaja dan atau alpa, unsur tidak ada alasan pemaaf. Oleh karena
manunggalnya unsur perbuatan dan unsur si pembuat, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa, Strafbaar Feit adalah sama dengan syarat-syarat
pemberian pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika terjadi
Strafbaar Feit, maka pasti si pembuatnya dapat dipidana.
2. Aliran Dualisme antara lain Moelyanto, yang merumuskan perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam
dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Menurut aliran ini
perbuatan pidana menurut wujudnya atau sifatnya adalah melawan hukum dan
perbuatan yang merugikan dalam arti bertentangan dengan atau menghambat
terlaksananya tatanan dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan
adil. Karena diadakan pemisahan antara perbuatan (lazim disebut golongan
subjektif), yang meliputi unsur melawan hukum, unsur tidak ada alasan
pembenar, dan dari si pembuat, (lazim disebut golongan subjektif) meliputi
unsur mampu bertanggung jawab, unsur kesalahan : sengaja dan atau alpa dan
unsur tidak ada alasan pemaaf.
Kedua aliran itu ada kesamaan pendapat, bahwa delik harus mencocoki
perumusan Undang-undang, sehingga dapat digambarkan dalam suatu skema,
sebagai berikut21:
UNSUR DELIK
Aliran Monisme
1.
2.
3.
4.
5.
Aliran Dualisme
Melawan hukum
Mampu bertanggung jawab
Kesalahan ; sengaja atau alpa
Tidak ada alasan pembenar
Tidak ada alasan pemaaf
1.
Golongan obyektif
a. Melawan hukum
b. Tidak ada alasan pembenar
2.
Golongan subyektif
a. Mampu bertanggung jawab
b. Kesalahan ; sengaja atau alpa
c. Tidak ada alasan pemaaf
Syarat pemberian pidana
Dalam pandangan dualisme, Karena pemisahan unsur perbuatan dan unsur
si pembuat, maka konsekuensinya jika yang tidak terbukti unsur objektif, maka
bunyi amar putusan ialah bebas (vrijspraak). Namun jika yang tidak terbukti
unsur subjektif, maka amar putusan berbunyi : dilepas dari tuntutan (ontslag van
rechtsvervologing). Jika semua unsur terbukti, maka si pelaku dipidana. Jadi hal
itu, apabila yang terbukti unsur objektif yaitu unsur melawan hukum, namun jika
si pelaku tidak mampu dipertanggung jawabkan, maka ia harus dilepaskan dari
tuntutan. Dengan kata lain : perbuatannya itu tetap melawan hukum akan tetapi si
21
. Ibid., h. 19.
pelaku misalnya sakit jiwa ( pasal 44 KUHP ), karena itu ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam hal ini Satochid Kartanegara dalam bukunya Hukum Pidana
Kumpulan Kuliah Bagian I, telah menjelaskan unsur-unsur delik pada dua
bagian:22
1. Unsur-unsur yang objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar dari
manusia, yaitu berupa :
a. Suatu tindak tanduk, jadi suatu tindakan.
b. Suatu akibat tertentu (een bepaaldgejolg).
c. Keadaan ( omstendungheid ).
Yang kesemuanya ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
a. Suatu tindak-tanduk atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang. Seperti sumpah palsu (meineed) pasal 242.
Dalam perbuatan ini yang merupakan unsur objektif dan yang dilarang
dan diancam dengan hukuman adalah : memberikan keterangan palsu
dalam sumpah. Memalsukan Surat, pasal 263 (unsur objektif, pemalsuan).
Pencurian, pasal 362 unsur objektif, mengambil (wegnemen).
b. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, seperti di antaranya : pembunuhan pasal 338, didalam
22
. Satochid Kartanegara. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Balai Literatur
Mahasiswa, Tth), h. 73-75
perbuatan ini yang merupakan unsur objektif adalah akibat (gevolg)
perbuatan seseorang yaitu : matinya orang lain. Dan penganiayaan pasal
351, yang dimaksud dengan perbuatan ini adalah : yang mengakibatkan
sakit pada badan atau cidera pada orang lain, unsur objektifnya :
mengakibatkan sakit dan cidera orang lain.
c. Hal-hal khusus yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan undangundang, misalnya : menghasut pasal 160, unsur objektifnya adalah
dilakukannya perbuatan itu di depan orang banyak (umum). Melanggar
kesusilaan umum pasal 281, unsur objektifnya dalam pasal ini adalah
apabila perbuatan ini dilakukan di depan umum.
2. Unsur-unsur yang subjektif, yakni berupa diantaranya
a. Toerekenungsvatbarheid (dapat dipertanggung jawabkan)
b. Schuld (kesalahan)23.
Dari penjelasan semua di atas dapat diambil secara ringkas tentang unsurunsur-unsur tindak pidana yakni :
1. Subyek
2. Kesalahan
3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)
4. Suatu tindakan aktif atau pasif yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang atau perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam
dengan pidana.
23
. Satochid Kartanegara. Hukum Pdana Kumpulan Kuliah Bagian 1, h.73-75
5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur-unsur obyektif lainnya)24.
Oleh karena itu penggunaan istilah “perbuatan pidana” dengan pengertian
sebagai aliran atau teori “dualisme”, sedangkan penggunaan istilah “tindak
pidana” dengan pengertian sebagai aliran atau teori “monisme”.
Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan yang juga dapat dijadikan suatu
dasar atau pedoman bahwa :
1. Tiada pidana, tanpa telah terjadi suatu tindakan yang terlarang dan diancam
pidana oleh undang-undang.
2. Tiada pidana, tanpa kesalahan.
3. Tiada pidana, tanpa sifat melawan hukum (dari tindakan tersebut).
4. Tiada pidana, tanpa adanya subjek (petunjuk yang ditentukan).
5. Tiada pidana, tanpa adanya unsur-unsur objektif lainnya.
Jadi apabila dari salah satu dari berbagai unsur-unsur tindak pidana itu
tidak ada atau hilang atau kurang maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu
bukan merupakan suatu tindak pidana. Tetapi apabila suatu peristiwa telah
memenuhi unsur-unsur dari suatu delik, dalam hal ini unsur-unsur dari delik
tersebut disusun terlebih dahulu seperti tersebut di atas. Jika ternyata sudah
cocok maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana
yang telah terjadi yang (dapat) dipertanggung jawabkan pidananya kepada
subjeknya.
24
. R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapanya, (Jakarta: Alumni
ahaem petehaem, 1996), Cet. Ke-4, h.2007.
B. Tujuan Pemidanaan
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin
dicapai dengan suatu pemidnaan, yaitu:25
1. Untuk memperbaiki pribadi penjahatnya itu sendiri.
2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan.
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang
dengan cara-cara lain yang sudah tidak diperbaiki lagi.
Dalam literatur bahasa Inggris, tujuan pidana dapat disingkat dengan tiga
R dan satu D. Tiga R itu adalah reformation, yang berati memperbaiki atau
merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat,
restraint,
maksudnya
mengasingkan
pelanggaran
dari
masyarakat
dan
restrtribution ialah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan
kejahatan. Sedangkan satu D ialah deterence yang terdiri individual deterence dan
generale deterence (pencegahan khusus dan pencegahan umum) yang berarti
menjera atau mencegah. Sehingga, baik terdakwa sebagai individu maupun orang
lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan
kejahatan, karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.26
25
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000), Cet. Ke-1 h.52.
26
. A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,
(Jakarta: Akademika Pressido, 1983), Cet. Ke-1 h. 19.
Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan
pidana, yaitu:27
1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Untuk mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikan orang yang baik dan berguna.
3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.28
Kerangka di atas menimbulkan beberapa teori yang berupa pertanyaan,
yakni apa hakekat dan tujuan pemidanaan?. Di antara para penulis barat yang
menganut pelbagai teori hukum pidana atau strafrechts theorien mendasarkan
pikirannya pada persoalan-persoalan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu
hukuman pidana. Teori-teori hukum pidana ada hubungan erat dengan subjectief
strafrecht (jus paniendi), sebagai hak atau wewenang untuk menentukan dan
menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief strafrecht (jus punale), sebagai
peraturan hukum positif yang merupakan hukum pidana. 29
27
. Aruan Sakitjo dan Babang Poenomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana
Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990) Cet. Ke-1h. 70.
28
. Zaenal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP,
(Jakarta: Elsam, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005), h. 13.
29
. A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia. h.
24-26.
1. Teori Absolut Atau Mutlak (tujuan)
Menurut teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,
tidak boleh tidak dan tanpa tawar menawar. Seorang mendapat pidana
karena telah melakukan kejahatan.30 Teori pembalasan membenarkan
pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana, sehingga
terhadap
pelakunya
mutlak
pembalasan terhadap
dijatuhkan
tindakan tersebut.31
pidana
yang
Penjatuhan
merupakan
hukum
itu
berdasarkan pembalasan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh
seseorang. Dasar hukumnya terletak pada kejahatan itu sendiri yang
mengakibatkan hukum itu.32
Namun terdapat perbedaan dalam hal
mencegah kejahatan yakni
1) ada yang berpendapat agar pencegahan di tujuan kepada umum yang
disebut prevensi umum. Hal ini dapat dilakukan dengan ancaman
hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman.Ada yang
2) Berpendapat agar prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri.
Selain itu timbul perbedaan pendapat mengenai cara mencegah
kejahatan, di antaranya dengan cara:
1) menakut-nauti yang ditujukan terhadap umum
30
. Ibid, h. 25.
. R.S. Sianturi dan Mopang L Panggabean Hukum Penitensia di Indonesia,(Jakarta: Almni
Ahaem-Petehaem, 1996) Cet. Ke-1, h. 40.
32
. Samidjo, Pengntar Hukum Indonesia, Bandung: CV. Amrico, 1985), Cet. Ke-3 h. 153.
31
2) memperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar menginsafi atau
tidak mengulangi perbuatannya
3) melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan hidup.
Kemudian muncul teori relatif modern yang antara lain di utarakan
oleh Frans Von Liszt, Van Hamel, dan D. Simons. Mereka mengutarakan
bahwa untuk menjamin ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan
yang mengandung larangan dan keharusan. Peraturan dimaksud untuk
mengatur hubugan antar individu di dalam masyarakat, membatasi hak
perseorangan agar mereka dapat hidup aman dan tentram, untuk itu negara
menjamin agar peraturan- peraturan itu senantiasa dipatuhi masyarakat
dengan memberi hukuman pada pelanggarnya.
2. Teori-teori Felatif atau Nisbi (balasan)
Teori ini mengatakan bahwa dasar hukuman harus dicari dari
kejahatan itu sendiri, karena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi
orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi
penderitaan.
Para pakar penganut teori ini anatara lain:
1) Immanuel Kant
Immanual kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar
hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah
menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu
merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Di
sini hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang etis.
2) Hegel
Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatau
kenyataan kemerdrkaan. Olehnkarena itu, kejahatan merupakan
tantangan terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi
balasan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding.
3) Herbart
Menurut Herbart, kejahatan menimbulkan perasaan tidakenak
pada orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu, pelaku
kejahatan harus diberi hukuman sehingga masyarakat merasa puas.
4) Stahl
Menurut Sthal bahwa hukum adalah suatau yang diciptakan
oleh tuhan. Karena kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap
perikeadilan tuhan, untuk menindaknya negara diberi kekuasaan
sehingga dapat melenyapkan atau memberi penderitaan bagi pelaku
kejahatan.
5) Jean Jackues Rousseau
Pokok pangkal pemikran Rossseau adalah bahwa manusia
dilahirkan dengan memiliki hak dankemerdrkaan penuh. Akan tetapi,
manusia di dalam hidupnya memerlukan pergaulan. Di dalam
pergaulan itu jika setiap orang ingin mempergunakan hak dan
kemerdekaannya secara penuh, akan timbul kekacauan. Untuk
menghindarkan kekacauan itu, setiap orang dibatasi hak dan
kemerdekaannya. Artinya, setiap orang menyerahkan sebagian dari
hak dan kebebasannya kepada negara. Dengan diperolehnya hak-hak
itu, negara harus dapat mengancam setiap arang yang melanggar
peraturan. Jadi, setiap hukuman telah disetujui oleh semua orang
termasuk pelaku kejahatan.33
3. Teori Gabungan
Teori ini merupakan penggabungan dari dua teori, yakni teori
mutlak atau pembalasan dan teori relatif atau pencegahan. Teori ini yang
dianut di Indonesia.34 dengan menelaah teori-teori di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah
1) menjerakan penjahat
2) membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si penjahat
3) memperbaiki pribadi si penjahat
Pada hakikatnya, ketiga hal tersebut menjadi dasar di adakannya
sanksi pidana. Akan tetapi, membinasakan penjahat masih menjadi
masalah perdebatan para pakar. Sebagian negara memang telah
33
. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jkarta: Sinar Grafika, 2002)
34
. Samidjo, Op. Cit., h. 154.
h. 105.
menghapuskan
hukaman
mati,
tetapi sebaian
lagi
masih
dapat
menerapkannya.35
Adapun tujuan hukuman dalam hukum positif, menurut A. Hanafi, tujuan
hukuman adalah:36
1. Fase balasan perseorangan (Vengeance-Privee atau al-Intiqomul-fardi)
2. Fase Balasan Tuhan (Vengeance Divine atau al-Intiqomul Ilahi)
3. Fase kemanusiaan (Humanitaire atau al-‘ashrul-Insani)
4. Fase keilmuan (scientifique atau al-‘asrul-‘ilmi)
Dari sekian pendapat yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat tujuan
penjatuhan hukuman atau pemidanaan adalah agar pelaku tindak kejahatan
menjadi jera (sadar) dan supaya orang lain yang belum pernah merasakannya bisa
mengambil pelajaran penting bahwa setiap tindak pidana yang melanggar
peraturan hukum akan dikenakan sanksi. Hal ini lebih dipertimbangkan demi
ketertiban sosial dan keharmonisan bersama dalam pranata sosial.
C. Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jenis Dan Macam-Macamnya
Sanksi pidana dalam hukum pidana positif dibagi menjadi dua bagian
yaitu berupa hukuman pokok dan hukuman tambahan. Sebagaimana yang
tercantum dalam KUHP Pasal 10 yang berbunyi sebagai berikut:37
35
36
h. 4.
. Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. H. 107.
. A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-5
1. Pidana pokok
a. Hukuman mati
b. Hukuman penjara
c. Hukuman kurungan
d. Hukuman denda
e. Hukuman tutupan
2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Hukuman Pokok
1. Hukuman mati
Hukuman mati adalah hukuman yang dilakukan dengan mengambil
jiwanya pelaku yang melanggar undang-undang pidana. Hukuman mati
biasanya digelar di lapangan yang luas dan dapat dilihat oleh masyarakat dari
berbagai tempat. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang melihat hukuman
mati tidak
melakukan perbuatan kejam yang
akan
mengakibatkan
dijatuhkannya hukuman mati. Mengutip pendapat Mr. JE Jonkers, Wirdjono
Prodjodikoro mengemukakan ada empat golongan kejahatan dalam KUHP
diancam dengan hukuman mati, yaitu:
37
. Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bumi Aksara, Jakarta 1999),
Cet. Ke-20, h.5-6.
a. Kejahatan berat terhadap kemanan negara (Pasal 130, 105, 111 ayat 2, 124
ayat 3, 129
b. Pembunuhan berencana (Pasal 130 ayat 3, 140 ayat 3, 340).
c. Pencurian dan pemerasan dalam keadaan memberatkan (Pasal 365 ayat 4,
dan Pasal 368 ayat 2).
d. Bajak laut, perampokan di pantai, perampokan di tepi laut, dalam air
surut, dan perampokan di sungai, dilakukan dalam keadaan tersebut (Pasal
444).
Pelaksanaan (eksekusi) hukuman mati sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 11 KUHP berbunyi: “pidana mati dijalankan oleh algojo atas
penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada
tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
2. Hukuman penjara
Kedua
hukuman
ini
sama-sama
menghilangkan
kemerdekaan
seseorang untuk sementara waktu atau seumur hidup. Perbedaan yang sangat
jelas adalah hukuman penjara dijatuhkan karena tindak pidana berat,
sedangkan hukuman kurungan dijatuhkan pada tindak pidana ringan.
Perbedaan-perbedaan pokok hukuman penjara dan kurungan adalah sebagai
berikut:38
38
. Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco,
1989, Cet. Ke-6. 169.
a. Menurut Pasal 12 ayat 2 KUHP, lamanya hukuman penjara adalah
sekurang-kurangnya (minimum) satu hari dan selama-lamanya lima belas
tahun, maksimum lima belas tahun dilampaui dalam hal gabungan tindak
pidana, recidive, atau dalam berlakunya Pasal 52 KUHP (Pasal 12 ayat 3).
Menurut Pasal 18 ayat 1 KUHP, lamanya hukuman kurungan (hectenis)
adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun,
dengan kemungkinan maksimum satu tahun empat bulan dengan aturanaturan yang sama (Pasal 18 ayat 2).
b. Menurut Pasal 19 ayat 2 KUHP, kepada seorang hukuman kurungan
diberi pekerjaan ringan.
c. Menurut Pasal 21 KUHP, orang hukuman kurungan harus dijalani dalam
daerah propinsi (gewest) tempat si terhukum berdiam.
d. Menurut Pasal 23 KUHP, orang hukuman kurungan boleh memperbaiki
nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Sedangkan persamaan dari hukuman penjara dan hukuman kurungan
adalah sebagai berikut:39
a. Menurut Pasal 20 KUHP dalam putusan hakim yang menjatuhkan
hukuman penjara atau kurungan selama tidak lebih dari satu bulan, dapat
ditentukan bahwa kepada mereka oleh jaksa dapat diizinkan, di luar jamjam bekerja pulang ke rumah masing-masing.
39
. Ibid., h. 170
b. Tidak boleh bekerja di luar tembok rumah-rumah penjara, yang sekarang
dinamakan rumah-rumah pemasyarakatan, yaitu:
1) Orang-orang yang dipenjara seumur hidup
2) Orang perempuan
3) Orang yang mendapat sertifikat dokter
c. Menurut Pasal 26 KUHP, apabila menurut hakim alasan berdasarkan atas
keadaan pribadi atau keadaan kemasyarakatan, maka dapat ditentukan
bahwa kepada seorang hukuman penjara atau kurungan tidak diberi
pekerjaan di luar tembok rumah-rumah pemasyarakatan.
3. Hukuman tambahan
Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah dari hukuman
pokok kalau dalam putusan hakim ditetapkan hukuman tambahan. Misalnya
seorang yang melakukan tindak pidana tertentu oleh hakim diputuskan dengan
hukuman penjara dan dicabut hak pilih maupun hak memilih dalam pemilihan
umum. Para ahli hukum berpendapat sub-sub sistem hukuman di atas
sederhana. Sifat kesederhanaan ini terletak pada gagasan, bahwa berat
ringannya hukuman tergantung pada berat atau ringannya suatu tindak pidana.
Mengenai sistem hukum ini Wirdjono Prodjodikoro berpendapat
dalam menentukan suatu hukuman harus berhati-hati dalam menyesuikan
system hukuman di Indonesia yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman,
selama belum ada system yang baik dan benar sesuai dengan keadaan bangsa
Indonesia, kiranya dipertahankan system seperti ini. 40
D. Pencemaran Nama Baik Dan Sanksinya Menurut Hukum Positif
Di Amerika dan di Ingris dikenal istilah “defarmation” (dari kata kerja to
defame yang artinya Menghina, menista) to defame bisa diartikan (merusak atau
menodai reputasi seseorang ataupun sekelompok orang dengan cara-cara yang
tidak baik seperti pernyataan yang tidak berdasarkan fakta).41
Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai
defamation, slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation)
diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis).42
Dalam pebuatan defarmation, suatu pernyataan dipermasalahkan karena di
pernyataan itu telah mengakibatkan tercemarnya atau ternodanya nama baik
seseorang.
Masalah libel sebenarnya mempunyai sejarah ribuan tahun, tepatnya pada
kerjaan romawi. Tatkala itu dikenal dalam bahasa latin yang disebut libelli famosi
yang berarti publikasi yang bersifat menghina dengan tujuan merusak pribadi
seseorang. Pada awal era republik Roma, penguasa membuat suatu peraturan
perundang-undangan yang disebut “Twelve Table”. Dengan undang-undang ini,
40
. Wirdjono Prodjodikoro, Op. Cit, h. 163.
. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan
Amerika, (Jakarta: Rika Pres, 2005), h.27.
42
. http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/PncemaranNama.pdf
41
siapa saja yang terbukti membuat tulisan yang bersifat menghina dapat dikenakan
hukuman sangat berat ketentuan ini, menurut sejarawan kenamaan Romawi,
Tacitus, tidak dijalankan lagi pada tahun-tahun akhir republik Roma.baru masa
kekaisaran Agustus (63 SM), peradilan terhadap pelaku libelli famosi
dilakksanakan lagi.43
Setelah mendapatkan bisikan dan sejumlah pembantu dekatnya tentang
adanya undang-undang anti penghinaan, Kaisar Agustus segera memerintahkan
supaya semua barang cetakan yang bersifat menghina dibakar dan sebagian
pengarangnya diadili. Salah satu ketentuan dalam undang-undang tersebut,
menyatakan pengarang Libellus FamosiI harus dikutuk (intestabillis). Hukuman
mati bukan saja dikenal kepada pembuatnya, tapi juga mereka yang terbukti telah
menyimpannya, atau mereka yang tidak segera memusnahkannya setelah
mendapatkannya.44
Raja-raja yang berkuasa di Eropa, khususnya Jerman, setelah kerajaan
Romawi runtuh, juga mengikuti tradisi kaisar Romawi, yaitu menjatuhkan
hukuman keras terhadap mereka yang tidak percaya pada Tuhan, atau
menganjurkan pandangan yang bertentangan dengan pendapat penguasa, atau
menghasut rakyat untuk memberontak. Raja Konstantinus Agung, misalnya,
mengeluarkan titah yang melarang beredarnya tulisan tulisan Porphiry dan Anus.
Raja Accadius memerangi buku-buku Eunomian (tahun 398) dan Raja
43
44
. Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik…, OP. Cit, h. 27.
. Ibid, OP. Cit, h. 27
Theodosius memberangus kaum Nestorian (tahun 435). Raja Justinian malah
memimpin langsung gerakan penghancuran atas karya-karya tulisan yang bernada
menghina terhadap kekuasaan. Para paus di Roma juga bertindak sama. Mereka
mengklaim mempunyai kewenangan untuk mengawasi publikasi yang berisikan
ajaran agama Kristen. Kewenangan itu malah menambah ke universitasuniversitas. Paus Leo I membakar buku-buku Manichaean (tahun 446)
Semua itu terkait dengan isu penghinaan dan fitnah. Artinya, buku-buku
itu tulisan yang dilarang, kemudian dimusnahkan, dinilai oleh penguasa berisikan
ajaran-ajaran sesat yang meracuni penduduk.45
Sedangkan di Indonesia istilahlah pencemaran nama baik menurut KUHP
“menyerang kehormatan orang lain” istilah ini baru muncul sekitar pertengahan
tahun 70-an.
Jika kita simak rekaman delik-delik pers yang terjadi pada dekade tahun
50-an, misalnya , istilah yang paling sering dipakai adalah”menghina”, disusul
dengan istilah “memfitnah”. Misalnya, Menteri tenaga kerja dan pekerjaan umum
pada pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Ir H. Loah, pernah
menggugat
Ny.
Fuhri
Mierop
(Pemimpi
redaksi
Nieve
Courant
di
Surabaya).46Menteri menggugat suatu berita yang dipublikasi di Koran yang
dianggap menghina martabatnya. Pengadilan Surabaya mengabulkan gugatan Ir.
45
46
. Ibid, h. 28.
. I. N. Soebagio, Sejarah Pers Di Indonesia, ( Jakarta: Dewan Pers, 1977), h. 17.
Laoh. Ny. Mierop dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 171 ayat (2)
KUHP dan dihukum denda sebesar Rp. 200,- subsider kurungan badan 3 minggu.
Pasal 171 ayat (2) KUHP dicabut pada tahun 1946, diganti dengan UU no.
1 tahun 1946 yang dalam pasal XIV berbunyi:
Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan
yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat
menyangka bahwa berita atau pembertahuan itu adalah bohong, dihukum penjara
selama 3 tahun.
Di Banjarmasin, pada triwulan ketiga 1953, para anggota redaksi dua surat
kabar ditangkap karena artikel-artikel yang dianggap menghina para pejabat
setempat.47 Asnawi Musa, pemimpin redaksi Tekad dipenjara selama beberapa
hari, sementara menunggu sidang pengadilan. Pemimpin redaksi yang lain, A.
Djohansjah dari Tugas, dikenai hukuman kerja keras bersama para narapidana
biasa. Namun, Djohansjah kemudian dibebaskan setelah timbul protes dari
kalangan pers.
Baru-baru ini kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh dua
anggota ICW (Indonesia Corruption Watch) yakni Lilian Deta Arta Sari dan
Emerson Yuntho yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal
(Bareskrim) Mabes Polri. Keduanya dituduh melakukan pencemaran nama baik
terhadap pejabat negara Kejaksaan Agung. Kasus itu bermula saat peringatan Hari
47
. Edward Cecil Smith, Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, (Jakarta: Graditi Pers,
1990), h. 140-141.
Antikorupsi sedunia tanggal 9 Desember 2008. Kejaksaan Agung mengklaim
telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 8 triliun dan 18 juta dolar Amerika
Serikat dari berbagai kasus korupsi di seluruh Indonesia dalam rentang waktu
2004-2008.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ICW merilis data
tandingan bahwa uang yang diselamatkan instansi kejaksaan hanya Rp. 382,67
juta, sedangkan sisa dari jumlah yang diklaim Kejaksaan belum dikembalikan ke
kas negara. Oleh karena itu, KP2KKN (Komite Penyelidikan dan Pemberantasan
Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) antikorupsi di Jateng yang tergabung dalam Cintai Indonesia Cintai KPK
Jawa Tengah meminta agar Kapolri segera mengeluarkan surat penghentian
penyidikan perkara (SP3) atas kasus tersebut.
Jika mengacu pada Pasal 311 KUHP Tentang Pencemaran Nama Baik,
tidak bisa dikenakan dalam kasus ini, sebab unsur dalam pasal tersebut mengacu
pada Pasal 310 KUHP. Di mana unsur Pasal 310, 311-316 KUHP hanya bisa
dikenakan terhadap seseorang atau individu bukan institusi atau organisasi.48 Dan
pada akhirnya kasus tersebut ditutup.
Delik penghinaan, secara khusus, diatur dalam Bab XVI kitab undangundang hukum pidana (KUHP) yang terdiri atas dua pasal, yakni Pasal 310
sampai Pasal 312. Tindak kejahatan “penghinaan”, menurut R. Soesilo adalah
48
.http://www.republika.co.id/berita/82319/Penetapan_Tersangka_Anggota_ICW_
Pengalihan_ Isu
“menyerang kehormatan nama baik seseorang”. Akibatnya , yang diserang merasa
malu “kehormatan” yang diserang hanya mengenai kehormatan tentang nama
baik, bukan “kehormatan dalam lapangan seksual” atau kehormatan yang
dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu
birahi kelamin. Perbuatan yang menyinggung kehormatan seseorang dalam
bidang seksual tidak termasuk dalam kejahatan “penghinaan”, akan tetapi masuk
pada kejahatan “kesopanan” atau kejahatan “kesusilaan” yang diatur dalam Pasal
281 sampai Pasal 303 KUHP.49
Soesilo membagi kejahatan penghinaan dalam 6 kategori:
1. Menista Dengan lisan (Pasal 310):
Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang
dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud
yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4.500,2. Menista dengan tulisan (Pasal 310):
a. Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan di tempat umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu
dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-
49
. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, (Bogor:
poleteia, 1990), h.225
lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,b. Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata
bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau
lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri (KUHP
134 s, 142 s, 207,311 s, 319 s, 483, 488)
3. Memfitnah (Pasal 311):
a. Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan,
dalam hal ini diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada
dapat membuktikan dan tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya
tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman selamalamanya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam Pasal 35
No.1-3 (KUHP 312 s, 316, 319, 488).
4. Penghinaan ringan (Pasal315):
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tiada bersifat menista atau
menista dengan tulisan, yang dilakukan seseorang baik di tempat umum
dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun di hadapan orang itu sendiri
dengan lisan atau dengan perbuatan, begitu pun dengan tulisan yang
dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan,
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (KUHP 134 s, 142 s, 310, 316, 319,
488)
5. Mengadu dengan memfitnah (Pasal 317):
a. Barang siapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan
surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar negeri
tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi
tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam (Pasal 35,
No. 1-3 KUHP 72 220, 310, 488).
6. Menyuruh dengan memfitnah (Pasal 318):
a. Barang siapa dengan sengaja dengan melakukan suatu perbuatan,
menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan suatu
perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
b. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut pada Pasal 35
No 1-3 (KUHP 319, 488).50
Unsur-unsur kejahatan menista seperti diatur di dalam Pasal 310 ayat (1)
adalah:
1. Menuduh seseorang.
2. Melakukan perbuatan tertentu.
50
. Ibid , h. 226-227.
3. Dengan maksud.
4. Tuduhan itu tersiar untuk diketahui banyak orang.
Sedangkan unsur-unsur kejahatan menghina seperti diatur dalam Pasal
310 ayat 2 (dua) adalah semua unsur yang terdapat pada tindak kejahatan menista
ditambah satu unsur lagi, yaitu “tuduhan itu diketahuinya tidak Benar” Artinya ,
ada kesengajaan menista.51
Dari yang telah diuraikan, penulis lebih sepakat bahwa salah satu kunci
perbuatan mencemarkan nama baik adalah reputation. Menghina atau merusak,
menodai reputasi, atau nama baik atau nama baik seseorang atau sekelompok
orang dengan tidak Fair seperti menyebarluaskan pernyataan yang tidak
berdasarkan fakta. Yang ada dalam masyarakat terhadap seseorang reputasi atau
nama baik lebih banyak berbicara tentang karakter atau kepribadian seseorang.
Maka jika kepribadian seseorang yang positif dihadapkan dengan stigma buruk, ia
akan merasa malu dan tersinggung.
Reputasi seseorang bisa baik bisa buruk, yang menentukan baik-buruknya
reputasi seseorang adalah masyarakat. Maka setelah nama baik seseorang
tercemar si pembuat dikenai hukuman pidana yang tertera dalam KUHP BAB
XVI Tentang Penghinaan.
51
. Ibid, h.229.
BAB III
PIDANA DAN TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jinayah dan Jarimah
Dalam kaidah hukum Islam, pengertian pidana termuat dalam Fiqh
Jinayah. Di dalamnya terhimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau
kejahatan manusia berbagai sasaran yang menyangkut badan, jiwa, harta benda,
kehormatan, nama baik, Negara, tatanan hidup dan lingkungan hudup. Di sinilah
letaknya agama Islam sangat menghomati dan mengakui keberadaan manusia
dengan menimbang segala kelebihan maupun kekurangannya.
Dalam mempelajari fiqh jinayah, ada istilah penting yang terlebih dulu
harus dipahami sebelum menggali materi selanjutnya. Pertama adalah jinayah dan
kedua mengenai jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan
arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif (sinonim) bagi
istilah lainnya. Singkat kata, keduanya bermakna tunggal. Meski begitu,
keduanya
berbeda
dalam
penerapannya.
Dengan
demikian,
kita
patut
memperhatikan dan memahami agar penggunaannya tidak keliru.
Abdu Qodir Audah dalam kitabnya At-Tasyri Al-jinai Al-Islami
Muqoronan Bilqonun Al-wad’i menjelaskan arti kata jinayah sebagai berukut:52
52
. Abdul Qodir Audah, At- Tasyri Al-jinai Al-Islami Muqoronan Bilqonun Al-wad’i, (kairo
mesir, 1968), Juz 1 h. 67
‫ا ا اء اآ
وا‬
+‫ ذ‬- ‫ "! ﻥ أو‬#$‫ ا‬%&‫ )م " 'اء و‬#$ ‫ا‬
Artinya: “jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek
seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu pebuatan
yang diharamkan syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, atau
sebagainya.”
Pengertian
jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian
jinayah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek atau
dosa. Maka jarimah adalah:53
7$‫ أو ﺕ‬1)‫ ﺏ‬3" 4‫'رات " زﺝا‬0)
Artinya: “larangan –larangan syara (yang apabila dikerjakan) diancam Allah
SWT. Dengan hukuman Had atau Ta’zir.”
Dalam hukum pidana Islam, apa yang mendorong untuk menganggap
sesuatu sebagai jarimah ialah kerena perbuatan itu dapat merugikan tata aturan
masyarakat, atau kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan kehidupan
anggota-anggota masyarakat bendanya atau nama baiknya atau perasaanperasaannya atau ketimbang lain yang harus dihormati dan dipelihara.
Adapun unsur-unsur umum dari pada tindak pidana dalam hukum Islam,
dibagi menjadi tiga yaitu:54
1. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat
menghukuminya (rukun syar’i). Dalam perundang-undangan kita istilah ini
disebut juga dengan unsur formil.
53
. Ibid, h. 66
. Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam, (bandung:
Penerbit Angkasa, 1993), Cet. Ke-2. h. 81.
54
Adanya nash
yang
melarang perbuatan dan mengancam hukuman
terhadapnya sesuai dengan kaidah ushul fiqh:55
)‫ "! ﺕ‬#1‫ء ا<ﺏ ;'م ا‬9‫ ا‬: #9‫ا‬
Artinya: “Pada dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan
sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukan keharamannya.”
=‫< ﺝ و<";'ﺏ ﺏ ﻥ‬
Artinya: “Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash
(aturan)”
2. Melakukan pebuatan perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan
melakukan pebuatan atau tidak melakukan pebuatan (rukun madi). Dalam
perundang-undangan kita unsur ini disebut dengan unsur materil.
3. Hendaknya pelaku tindak pidana kejahatan itu mukallaf atau bertnggung
jawab atas tindakan pidana itu. (rukun adabi). Dalam perundang-undangan
kita disebut dengan unsur moril.
Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap
macam jarimah (tindak pidana atau delik). Di samping itu, terdapat unsur kasus
yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak tedapat pada jarimah yang lain.
Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak
akan ditemukan pada jarimah lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil)
harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan
nyawa orang lain dalam kasus pembunuhan.56
55
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000), Cet. Ke-1 h. 52.
56
. Ibid, h. 53.
B. Macam-Macam dan Jenis-Jenis Jarimah
Pidana itu dapat dikatagorikan menjadai beberapa macam tergantung
kepada sudut pandang kita terhadapnya. Tapi penulis mencoba menjelaskan
pidana berdasarkan tindak pidana (jarimah) yang dilakukan pembuat . berikut
penjelasannya:
1.
Pidana Hudud, yaitu sanksi pidana yang ditetapkan untuk jarimah hudud.
Ada beberapa poin penting di dalam menegakkan pemidanaan dalam jarimah
hudud, yaitu:
a. Asas legalitas, di mana setiap perbuatan yang dilakukan harus ada nash
yang melarangnya. Ini disebabkan agar ketika seseorang pembuat
perbuatan yang dilarang tidak dihukum atas perbuatannya di masa lalu
yang ditetapkan sebagai jarimah di kemudian hari.
b. Prinsip kehati-hatian, ketika hudud akan diterapkan harus dengan penuh
kehati-hatian. Hudud tidak dapat dijatuhkan bila ditemukan keragu-raguan
(syubhat). Karena akan menjadi lebih baik, pada saat membebaskan orang
bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Di sini berlaku
kaidah
“Adlaruuatu
Tubiihu
Al-Mahdzuraat”
(keadaan
darurat
memperbolehkan melakukan yang dilarang), di mana terjadi delimatis
akibat dari kergu-raguan timbul.
c. Prinsif pembuktian yang akurat, prisif ini menjamin bahwa penjatuhan
atas pidana hudud benar-benar tepat sasaran, yakni memang mengenai
orang yang memang layak maendapatkannya. Pembuktian merupakan
aspek penting dalam jarimah hudud, karena pembuktian yang akurat harus
dilakukan sebelum putusan dijatuhkan. Karena putusan dapat diambil
ketika si pembuat dinyatakan sah dan meyakinkan terbukti bersalah atas
perbuatan yang dilakukan. 57
Berikut ini perincian pidana dalam jarimah hudud:
a. pidana Zina
1) Unsur-Unsur Zina
a) persetubuhan yang diharamkan, di dalam persetubuhan ini dapat
diukur, apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam
farji (pagina) walaupun sedikit. Dan juga, tetap dianggap zina
walaupun ada penghalang tipis yang tidak menghalang perasaan
dan kenikmatan bersenggama. Persetubuhan haram itu tetap
dianggap zina jika dilakukan oleh seseorang dengan orang lain
yang bukan miliknya atau bukan pasangannya yang sah.
b) Adanya kesengajaan atau niat melawan hukum, unsur ini
terpanuhi
apabila
pelaku
melakukan
suatu
perbuatan
(persetubuhan) pedahal ia mengetahui bahwa wanita yang di
setubuhi adalah wanita yang haram baginya.58
2) Bentuk Pidana Zina
57
. Muhammad Ichsan dan M Endriyo Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif
(Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiah Yogyakarta, 2008), h. 123-125.
58
. Ibid, h. 126-128.
a) Pidana dera, pidana dera sebanyak sertus kali diancam atas
perbuatan zina yang dilakukan oleh ghair muhsan (belum kawin).
Ketentuan ini didasarkan pada firman allah SWT dalam surat Annur Ayat 2:
☺ !"#$
)* &'( %$
☺ 1
+,-.
;< 9: 6578 5 234
(;@?$!
!=>?
BC@D
9:+
J8D
EFGHI
2⌧LM:N
☺ 1⌧(
/‫)ا'ر‬
(5P?$!☺D
HO#$
( 4 :24
Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu berman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan orang-orang beriman.” (Q.S.An-nur/
24 : 4)
b) Pidana pengasingan (tagrib), hukuman pengasingan ini dikenakan
selama satu tahun selain nukuman jilid kepada pembuat zina ghair
muhsan (belum kawin).
c) Pidana rajam, pidana rajam adalah pidana mati dengan jalan
dilempari dengan batu. Dan yang dikenakan adalah pembuat zina
muhsan (telah menikah), baik laki-laki maupun perempuan.
Apabila perbuatan zina antara laki-laki yang muhsan (telah
menikah) dengan perempuan yang ghair muhsan (belum kawin).
Maka bila laki-laki berlaku pidana rajam. Sedangkan untuk
perempuan berlaku pidana dera. Demikian pula bila terjadi
sebaliknya.59
b. Pidana Qazaf (menuduh orang berzina)
Pidana qazaf dikenakan hukuman dera sebanyak 80 kali, dan tidak
diterima persaksian pembuatnya (hukuman tambahan). Hukuman tersebut
dijatuhkan apabila berisi kebohongan, akan tetapi jika berisi kebenaran
maka qazaf dapat di buktikan, dengan cara-cara sebagai berikut:
1) Dengan saksi, saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah
qazaf. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat saksi dalam jarimah
zina. Yaitu: balig, berakal, dapat berbicara, adil, Islam, dan tidak
terhalang menjadi saksi. Adapun jumlah saksi kurang lebih empat
orang.
2) Dengan pengakuan, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya
pengakuan dari pelaku (penuduh), bahwa dia telah menuduh orang lain
melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam
majelis pengadilan.
59
199.
.Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam. (Bandung: Bulan Bintang, 2005), h. 197-
3) Dengan sumpah, menurut imam Syafi’i jarimah qadzaf bisa
dibuktikan dengan sumpah apanila tidak ada saksi dan pengakuan.
Caranya adalah: orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang
yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan
penuduhan. 60
c. Pidana Syurbul Khamr (minum-minuman keras)
Jarimah khamr dijatuhkan pidana 80 kali dera. Namun pendapat
imam Syafi’i, hukuman jarimah khamr adalah 40 dera sebagai hukuman
had, sedang 40 kali dera lainnya tidak termasuk pidana had, melainkan
sebagai pidana takzir. Di mana hukuman tersebut baru dijatuhkan bila
dipandang perlu oleh hakim atau penguasa.
d. Pidana Sariqah (Pencurian)
Pencurian diancam potong tangan (dan kaki), sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat Al-maidah ayat 38. dan unsur-unsur dalam
jarimah pencurian, adalah:
1) Pengambilan secara diam-diam
2) Barang yang diambil itu berupa harta
3) Harta tersebut milik orang lain
4) Adanya niat melawan hukum
e. Pidana Hirabah (perampokan)
60
. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 68.
Ada empat macam pidana yang dapat dijatuhkan terhadap jarimah
hirabah, yaitu:
1) Pidana mati, pidana ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan
(pembegal, penyamun) apabila ia melakukan pembunuhan. Pidana
tersebut adalah pidana had.
2) Pidana mati disalib, pidana ini dijatuhkan apabila pengganggu
keamanan melakukan pembunuhan disertai dengan merampas harta
benda. Jadi pidana tersebut dijatuhkan atas perbuatan membunuh dan
mecuri secara bersama-sama.
3) Pidana pemotongan anggota badan, pidana ini dijatuhkan atas
pengganggu keamanan jika ia mengambil harta tetapi ia tidak
melakukan pembunuhan. Pemotongan disini dilakukan dengan
memotong tangan kanan dan kaki kiri si pembuat secara sekaligus
(selang-seling)
4) Pidana pengasingan, pidana ini dijatuhkan apabila pengganggu
keamanan hanya menkut-nkuti orang yang melintas tapi tidak
mengambil harta dan tidak pula membunuh. Mengenai cara lamanya
pengasingan, menurut pendapat fuqaha sama dengan pengasingan
dalam jarimah zina.
f. Pidana Riddah (murtad)
Hukuman bagi oarng yang melakukan Riddah ada tiga macam , Yaitu:
1) Pidana Pokok, pidana pokok untuk jarimah riddah adalah pidana mati.
Ini sesuai dengan hadis Nabi SAW.:61
4‫ل ر'ل ا‬: :‫ " &ل‬4‫ ا‬DE‫و" إﺏ "
س ر‬
I‫ )روا‬I'!&: ‫ل د‬1‫ ﺏ‬.!‫ "! و‬4‫ ا‬D!
(‫ري‬L
‫ا‬
Artinya: “dari ibnu ‘abbas ra berkata: bersabda Rosulullah SAW,
barang siapa menukar agamanya, maka kamu bunuhlah
dia”. (H. R. Al-Bukhari).62
Bahwasanya pidana mati adalah berlaku umum untuk setiap orang
yang murtad, baik ia laki-laki maupun prempuan, tua maupun muda.
Akan tetapi sebelum melaksanakan pidana tersebut diberikan
kesempatan bagi terdakwa untuk bertaubat ada tiga hari tiga malam.63
Dan taubatnya cukup dengan mengucapkan “dua kali syahadat”
2) pidana pengganti, pidana pengganti untuk jarimah riddah berlaku
dalam dua keadaan, yaitu:
a) Apabila pidana pokok gugur akibat taubat, maka hakim mengganti
dengan pidana Takzir yang sesuai dengan keadaan pelaku
61
62
. Ibid.
. Abi Abdullah Muhammad bin Ismail, Kitab Sahih Bukhori, (Bairut: Dar Al-Fikr, t.th), Jilid
8. h 50.
63
. A. Jazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 166.
perbuatan tersebut. Seperti: cambuk, penjara, denda, atau
dipermalukan di depan umum.
b) Apabila pidana pokok gugur akibat syubhat, karena menurut
pendapat Imam Abu Hanifah, seorang wanita dan anak-anakyang
murtad tidak dihukum mati. Akan tetapi dipenjara dengan
hukuman yang tidak terbatas dan keduanya kembali kepada agama
Islam.64
3) Pidana Tambahan, pidana tambahan bagi orang murtad dengan cara
penyitaan dan perampasan harta. Menurut Imam Ahmad, Malik dan
Syafi’i apabila seorang murtad meninggal atau dibunuh, maka
hartanya menjadi milik bersama dan tidak boleh diwarisi oleh
siapapun. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, harta tersebut boleh
diwarisi yang beragama Islam.
g. Pidana Bughat (pemberontakan)
Jarimah pemberontakan dikenakan pidana mati, hukuman ini
bersumber dari firman Allah SWT dalam surat Al-hujurat ayat 49. Syariat
mengambil tindakan keras terhadap jarimah pemberontakan, karena jika
tidak demikian ditakutkan terjadi fitnah, kekacauan serta ketegangan yang
akhirnya menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di masyarakat.65
64
65
. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 130.
. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 207.
2. Pidana Kisas - Diyat. Yaitu pidana yang ditetapkan untuk jarimah kisas-diat
yang oleh syariat Islam ada lima macam:
a. Kisas. Merupakan pidana bagi pembunuhan sengaja dan pencideraan
sengaja. Di mana cara pemidanaannya disamakan atau
seperti seperti
perbuatan jahat yang dilakukan oleh pembuatnya. Seperti firman Allah SWT
dalam surat Al-baqarah ayat 178-179 dan surat Al-maidah ayat 45. Sebagai
contoh, jika sipelaku pembunuh maka pidana dibunuh dan bila ia
mencederakan orang lain mak ia akan dicederakan.
Kisas merupakan bentuk pidana yang menawarkan keadilan sejati, di mana
pembuat jarimah diberi balasan yang sesuai ataupun setimpal dengan
perbuatan jahatnya. Ancaman pidana yang diterapkan pada qisas berupa
pembalasan (prevention) sebagai ciri khasnya, memberikan daya cegah
(prevention) dan efek jera (deterrent effect) yang luar biasa. Ada tiga sebab
yang menggugurkan qisas, yaitu:
1) Hilangnya tempat atau objek qisas, yang dimaksud objek qisas di sini
adalah jiwa pelaku (pembunuh) atau anggota badan pelaku yang sama
dengan objek telah hilang. Di mana kehilangan tersebut dapat
disebabkan berbagai sebab, seperti, sakit, musibah, hukuman. Apabila
objek qisas tidak ada maka dengan sendirinya qisas gugur. Namun yang
menjadi permasalahan adalah apakah wali korban atau korban mendapat
diat. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, jika qisas gugur
maka korban tidak mendapat diat, karena hak korban dalam qisas adalah
bersifat asli. Sedang Imam Syafi’i dan Ahmad Bin Hambal berpendapat
bahwa jika hilangnya objek qisas maka korban berhak mendapat atau
memilih diat, jika apapun sebab hilangnya objek qisas. 66
2) pengampunan, korban atau walinya diberi wewenang atau hak untuk
mengampuni pidana qisas. Maka ia memaafkan si pelaku maka gugurlah
qisas tersebut. Pemberian apapun di sini bisa dengan Cuma-Cuma atau
dengan membayar diat kepada korban atau walinya. Jika kondisi pada
apapun dengan membayarkan diat, menurut Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah, bukan marupakan ampunan, melainkan akad damai karena
ampunan tersebut membutuhkan kerelaan pelaku untuk membayar diat.
3) Akad damai atau perdamaian (shulh). Perdamaian yang dilakukan oleh
korban dengan pelaku dapat berlangsung, sehingga dengan demikian
qisas menjadi gugur. Korban, atau walinya boleh meminta imbalan yang
sama dengan diat atau lebih.
b. Diyat, yakni pidana berupa kewajiban membayar ganti rugi dengan
besaran tertentu kepada pihak korban untuk kasus penganiayaan ataupun
pembunuhan. Setatus diyat sendiri bisa merupakan hukuman pokok (main
punishment) dan hukuman pengganti (substitutive punishment). Diat
adalah pidana yang mempunyai satu batasan. Artinya hakim tidak berhak
mengurangi atau menambahi jumlahnya. Diat itu merupakan hukuman
untuk pembunuhan sengaja, pembunuhan serupa sengaja, pembunuhan
66
. Alie Yafi, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Judul Asli: At- Tastri Al-jinai Al-Islami
Muqoronah Bilqonun Al-wad’i, Pengarang, Abdul Qodir Audah, (Jakarta: Karisma Ilmu, 2007), jilid 3,
h. 64.
serupa sengaja dan pembunuhan salah, akan tetapi kadarnya berbeda. Pada
umumnya diyat itu 100 ekor unta. Tetapi di dalam diyat dapat terjadi
pemberatan dan peringanan, dan yang membedakan bukan jumlahnya
tetapi macam dan umur unta tersebut. Pembedaan tersebut, disebut diyat
mughalladzah
menyerupai
(yang
sengaja
diperberat)
bagi
dan
mukhaffafah
diyat
pembunuhan
(yang
sengaja
dan
diperingan)
diperuntukan pembunuhan tersalah.
c. Kaffarat, adalah pidana pokok berupa memerdekakan seorang hamba
yang beriman. Apabila tidak ditentukan hamba dan tidak mempunyai
sebanyak hamba tersebut, maka digantikan dengan berpuasa dua bulan
berturut-turut. Pidana berpuasa tersebut sebagai pidana pengganti.
d. Pencabutan Hak mawaris, merupakan pidana tambahan bagi jarimah
pembunuhan, selain pidana pokoknya yaitu mati, apabila antara orang
yang membunuh dengan korbannya ada hubungan keluarga. Dasar
hukumnya adalah sabda Rasulullah SAW.:67
:‫ &ل‬3" 4‫ ا‬E‫ ر‬I1‫ " أﺏ " ﺝ‬M$ ‫" " اﺏ‬
#‫ ;ﺕ‬.!‫ "! و‬4‫ ا‬D! 4‫&ل ر'ل ا‬
N ‫ااث‬
(D;‫ارا‬1‫ اء وا‬I‫)روا‬
Artinya: “dari ‘Amru ibni Su’aiba dari bapanya dari kakenya ra berkata:
bersabda Rosulullah SAW, tidak ada bagian warisan sama
67
. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islas, h. 207.
sekali bagi orang yang membunuh” (H. R, Nasai dan darul
qutni).68
e. Pencabutan hak menerima wasiat, pidana ini merupakan pidana pidana
tambahan. Di mana seorang pembunuh tidak mendapatkan apapun dari
warisan ataupun juga wasiat.69
3. Pidana Takzir. Adalah pidana yang ditetapkan untuk segala jarimah takzir.70
Hal penting dalam pidana ta’zir adalah bahwa jarimah takzir tidak ditentukan di
dalam Nash begitupun dengan pemidanaannya. Walaupun seperti itu tetap saja
dalam penjatuhan pidanannya tidak boleh melewati ataupun tidak berdasarkan
syar’i. dalam artian tetap dalam koridor syar’i. bentuk pidana takzir adalah
sebagai brikut:71
a. Pidana Mati
Imam Hanafi membolehkan sanksi takzir dengan hukuman mati dengan
syarat bila perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, Imam Malik juga
membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir tertinggi, ia memberi
contoh sanksi bagi orang yang melakuakan kerusakan di muka bumi, Imam
Syafi’i juga membolehkan hukuman mati.72
68
. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Al-Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 201), cet- 3. h. 302.
69
. Muhammad Ichsan dan Mendriyo susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, h. 169.
70
. Alie Yafi, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid 3, h. 24.
71
. Jimly Assiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia; (Bandung: Angkasa. 1996) h.
143.
72
. A. Jazuli, Fiqh Jinayah, h. 188.
b. Pidana Dera
Hukuman jilid dalam jarimah hudud, baik perzinaan maupun tuduhan zina
dan sebagainya telah disepakati oleh para ulama. Batas terendah bagi
hukuman jilid dalam takzir termasuk masalah ijtihad, oleh karena itu wajar
bila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Hanya saja demi
kepastian hukum, maka Ulil Amri berhak menentukan batas terendah
hukuman, karena masalah jinayah itu bekaitan dengan kemaslahatan umat.73
c. Pidana Penjara, ada dua macam pidana penjara:
1) Pidana Penjara terbatas (ada kurun waktunya), batas terendahnya ialah
satu hari sedangkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan. Biasaya
pidana penjara terbatas ini dikenakan untuk jarimah takzir biasa atau
kejahatan biasa.
2) Pidana penjara tidak terbatas. Para ulama sepakat bahwa pidana ini
dikenakan bagi pelaku kejahatan yang membahayakan dan mereka yang
biasa melakukan jarimah. Kurun waktu tidak ditentukan terlebih dahulu,
berarti dapat berlangsung terus menerus sampai mati atau terjadi tobat
dan memperbaiki dirinya.
3) Pidana Pengasingan, pidana pengasingan ini diperlukan karena
ditakutkan perbuatan sipelaku dapat berdampak buruk terhadap
Masyarakat
(menarik
orang
membahayakan orang lain).
73
. Ibid.h. 192.
lain
untuk
melakukannya
atau
4) Pidana Ancaman, Teguran, dan Peringatan.
5) Pidana Denda, diterapkan pada jarimah takzir seperti pencurian. Di
mana seorang yang mencuri buah yang masih tergantung di pohon yang
didenda dua kali dengan harga buah tersebut.
C. Uqubah Macam Dan Tujuannya Dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam dikenal adanya prinsip atau asas pembebanan hukum
(taklif hukum). Pembebanan hukum kepada setiap subyek hukum selalu
mengandung tiga asas penting, yaitu:
1. Asas peniadaan kesulitan (‘Adam Al-harj),
2. Asas pembebanan berangsur-angsur (Al-tadrij fi Al-tasyri’) dan
3. Asas meringankan beban (Taqlil Al-takalif)
Asas pertama dimaksud bahwa dibebankannya kewajiban dalam hukum
Islam bagi siapa saja yang ingin beriman kepada Allah adalah untuk meringankan
beban mereka dari kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh tradisi masyarakat
sebelum Islam. Sedangkan asas yang kedua adalah bahwa tidak serta merta
hukum Tuhan yang diterapkan dalam Al-qur’an harus dilaksanakan sekaligus.
Yang terakhir bahwa diterapkannya ketentuan hukum Islam itu dimaksud untuk
meringankan beban para subyek hukum yang beriman, khususnya bila
dibandingkan dengan beban yang diwajibkan oleh tadisi hukum sebelumnya.74
74
. Jimli Asy-syiddiqey, Ibid. h. 56.
Uqubah atau sanksi hukuman dalam sistem hukum pidana Islam terbagi
kepada tiga kategori utama yaitu uqubah hudud, uqubah qisas dan diat dan
uqubah takzir.75 Di bawah ini perincian berat ringannya hukuman adalah:
1. Jarimah Hudud. Yakni jarimah hukuman yang diancam dengan hukuman had,
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak
Tuhan. Pengertian hak tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan baik oleh perseorangan (yang menjadi korban jarimah), ataupun
oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. 76 Dengan demikian, maka
hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi.
Jarimah hudud yang termasuk dalam golongan jarimah yang menjadi hak
Allah SWT, identik dengan hak jamaah atau hak masyarakat. Oleh karena itu
jarimah hudud yidak mengenal pemaafan atas perbuatan jarimah, baik oleh
perseorangan yang menjadi korban jarimah (mujna alaih) maupun oleh
negara.77
2. Jarimah Qisas atau Diyat, pengertian jarimah qisas sama halnya dengan
pengertian jarimah hudud, yakni suatu tindak pidana yang dikenai sanksi qisas
dan diyat yang hukumannya telah ditentukan jenisnya maupun besar
hukumannya. 78 Sementara yang membedakan hanyalah jarimah qisas atau
diyat merupakan hak perseorangan atau hak adami yang membuka
75
. http://yogiikhwan.blogspot.com/2008/04/uqubah.html
. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 7.
77
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (fiqh jinayah), h. 26.
78
. Ibid, h. 27.
76
kesempatan pemaafan bagi si pembuat jarimah oleh orang yang menjadi
korban, wali, atau ahli warisnya.
3. Jarimah Takzir. Yang termasuk jarimah ini ialah perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan satu atau beberapa hukuman takzir. Secara atimologi takzir
berarti at-ta’dib, artinya memberi pengajaran. Sedangkan secara terminology
takzir merupakan suatu bentuk jarimah, yang bentuk atau macam jarimah
serta hukuman (sanksi) jarimah ini ditentukan penguasa. 79 Jadi, jarimah ini
berbeda dengan jarimah hudud dan qisas atau diyat yang macam jarimah atau
bentuk hukumannya telah ditentukan oleh syara’. Tidak ditentukan macam
dan hukuma pada jarimah takzir sebab jarimah ini berkaitan dengan
perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya. Maksud pemberian hak
penentuan jarimah-jarimah ta’zir kepada penguasa, ialah agar mereka dapat
mengaturmengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya,
serta bisa menghadapi sebaik-baiknya terhadap keadaan mendadak. 80
Adapun tujuanya adalah, sang pencipta Alam sungguh sangat Bijaksana
dan Maha Adil. Allah SWT, sebagai pembuat kebijakan hukum pastilah
menyimpan fungsi, manfaat dan target dalam setiap keputusannya. Tujuan pokok
penjatuhan hukuman dalam Syari’at Islam ialah mencegah (Ar-radu wa Az-zajru)
dan pengajaran serta pendidikan (Al-ishlah wa Al-tahdzib).81
79
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (fiqh jinayah), h. 30.
. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 9.
81
. Ibid, h.255.
80
Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus melakukannya di samping
pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar ia tidak melakukan jarimah
sebab ia dapat mengetahui bahwa hukuman yang dilaksanakan terhadap orang
yang melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian, maka kegunaan
pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak
mengulangi perbuatannya dan memohon orang lain untuk tidak melakukannya
pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Tujuan jangka pendek adalah
mengarahkan penjahat untuk mencegahnya kembali melakukan kejahatan dan
mencegah orang lain dari mengikutinya, tujuan jangka panjang ialah menjaga
kemaslahatan masyarakat.
Hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh Al-Quran hanya terhadap
beberapa jenis kejahatan saja, sedangkan untuk kejahatan lainnya Al-Quran hanya
memberikan norma-normanya saja, maka untuk menentukan jenis hukumannya
Al-Quran memberikan dasar-dasar yang umum pula, yaitu bahwa hukuman itu
harus sebanding dengan apa yang dikerjakannya, sebagaimana firman Allah
dalam Al-Quran :
2ST8U ST8U (R(
(40 :42 /‫'رى‬Q‫ )ا‬VW!X#$
Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa ( Asssyura/ 42 : 40 )”.
Dan hukuman pidana Islam tidak mengenal pertanggung jawaban kolektif,
tetapi menganut pertanggung jawaban individual sebagaimana firman Allah :
[(\]^⌧
☺+
YZDL(
4
(38 : 74/R 1‫`'_ )ا‬a4
Artinya: “Setiap jiwa terikat dengan apa yang dilakukannya (Al-Mudatsir/
74:38)”
Pertanggung jawaban individual ini dapat memperbaiki penjahat untuk
tidak melakukan atau mengulangi kejahatannya lagi dan ini merupakan tujuan
hukuman jangka pendek dalam hukuman pidana Islam. Seperti dalam
pembunuhan disengaja apabila si pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga si
korban, maka si pembunuh dikenakan diyat yang cukup berat yang harus dibayar
oleh si pembunuh sendiri, diyat ini menyatakan penjara bagi pelaku. Sementara
itu Ahmad Hanafi mengemukakan mengenai penjatuhan dalam hukum pidana
Islam, ialah untuk pencegahan, pengajaran, pendidikan, baik pelakunya sendiri
maupun bagi masyarakat pada umumnya. 82 Adapun tujuan jangka panjang
hukuman dalam hukum pidana Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia
dan kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan
mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat
yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.83
Adapun untuk merealisirnya harus mengandung jaminan atas tiga hal
sebagai berikut :
82
83
. Ibid, hal.225.
. M. Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum.
1. Terjaminnya kebutuhan pokok.
2. Terjaminnya kebutuhan sekunder.
3. Terjaminnya kebutuhan pelengkap. 84
Hal yang bersifat pokok bertitik tolak untuk memilih lima ( 5 ) perkara
yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta85. Agama merupakan tujuan utama
hukum Islam sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia
dan di dalam agama Islam selain dari komponen-komponen akidah yang
merupakan pegangan hidup setiap muslim serta akhlak yang merupakan sikap
hidup seorang muslim, terdapat juga syari’at yang merupakan jalan hidup seorang
muslim baik dalam berhubungan dengan tuhannya maupun berhubungan dengan
manusia lainnya dalam bermasyarakat. Untuk memelihara jiwa agar terjamin
kelangsungan hidupnya, hukum Islam mensyari’atkan untuk memperoleh sesuatu
yang dapat memelihara jiwa dengan mensyari’atkan qisas, diyat, serta kafarat
(tebusan) terhadap orang yang menganiaya jiwa. Untuk menjaga dan memelihara
keturunan, Islam mensyari’atkan had (dera) bagi laki-laki atau perempuan yang
berzina, juga had bagi pelaku penuduh zina. Untuk menjaga harta, hukum Islam
mengharamkan pencurian dan memberikan hukuman had kepada pelaku
pencurian baik laki-laki maupun perempuan.86
84
. Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam ( Bandung : Risalah, 1983 ),
Terjemahan, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996, Cet.V, hal.53.
85
. Ibid.
86
. Ibid. hal 140.
Hal bersifat sekunder adalah adanya tuntutan diyat (denda tebusan) kepada
keluarga terbunuh pada jurusan ayah, untuk meringankan pembunuhan tidak
sengaja. Hukum Islam juga menolak hukuman had karena adanya keraguan dan
memberikan hak kepada orang tua si terbunuh untuk mengampuni si pembunuh
dari pelaksanaan qisas.
Hal yang merupakan kebutuhan pelengkap
ialah diharamkannya
membunuh anak-anak dan hukum wanita dalam peperangan, dilarang penyiksaan,
khianat, dilarang membuka aib orang hidup atau mati. Hal demikian berkaitan
erat dengan akhlak yang telah ditetapkan oleh Islam untuk mengajarkan hal-hal
yang dapat mendidik individu dan masyarakat banyak.
Apabila ketiga kebutuhan tersebut dilaksanakan secara terpadu, niscaya
apa yang dicita-citakan oleh hukum pidana Islam yaitu kemaslahatan bagi umat
manusia akan menjadi kenyataan.
Tujuan hukum ialah mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat, baik di
dunia maupun di akhirat, menolak kemudharatan dan mewujudkan keadilan yang
mutlak. Orang yang memperhatikan kesempurnaan kandungan syari’at Islam bagi
kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat, dan kedatangan syari’at
tersebut dengan keadilan yang sempurna maka tidak ada kemaslahatan lain selain
yang dikandung oleh syari’at Islam. 87
Oleh karena itu tujuan hukuman dalam hukum Islam adalah untuk
menegakkan hukum Allah di dunia dalam rangka melakukan ibadah kepada Allah
87
. Hasbi Ash-Shiddiqq, Falsafah Hukum Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1983 ), h.123.
dari apa yang diperintahkan-Nya, sehingga mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
D. Pencemaran Nama Baik Dan Jenis Sanksinya Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya dalam hukum pidana Islam tidak terdapat sanksi khusus
yang terkait dengan pencemaran nama baik, oleh karena itu penulis mengqiyaskan
atau menganalogikan masalah tersebut ke dalam tindak Takzir.
Adapun pengertian takzir adalah hukuman pendidikan atas dosa-dosa yang
telah dilakukan oleh pelaku jarimah yang belum ditentikan hukumannya oleh
syara’. Dalamjarimah takzir terdapat beberapa hukuman yaitu:
a. Pidana Mati
Imam Hanafi membolehkan sanksi takzir dengan hukuman mati dengan
syarat bila perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, Imam Malik juga
membolehkan hukuman mati sebagai sanksi takzir tertinggi, ia memberi
contoh sanksi bagi orang yang melakuakan kerusakan di muka bumi, Imam
Syafi’i juga membolehkan hukuman mati.88
b. Pidana Dera
Batas terendah bagi hukuman jilid dalam takzir termasuk masalah ijtihad,
oleh karena itu wajar bila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ulama. Hanya saja demi kepastian hukum, maka Ulil Amri berhak
88
. A. Jazuli, Fiqh Jinayah, h. 188.
menentukan batas terendah hukuman, karena masalah jinayah itu bekaitan
dengan kemaslahatan umat.89
a. Pidana Penjara, ada dua macam pidana penjara:
1). Pidana Penjara terbatas (ada kurun waktunya), batas terendahnya ialah
satu hari sedangkan batas tertingginya tidak ada kesepakatan
Dalam tindak pidana yang diancam hukuman takzir adalah setiap tindak
pidana selain tindak pidana hudud, qisas dan diyat, karena hukuman ini telah
ditantukan hukumannya dalam syara. 90
Adapun jenis-jenis hukuman jarimah takzir yang berkaitan dengan
pencemaran nama baik akibat salah tangkap
1. Hukuman Pengasingan, kaitan hukuman pengasingan dengan pencemaran
nama baik akibat salah tangkap karena, pebuatan tersebut dapat
membahayakan dan merugikan orang lain, adapun masa hukuman
pengasingan tersebut tidak lebih dari satu tahun.
2. Hukuman Denda, sanksi denda ini bisa merupakan hukuman pokok yang
dapat digabungkan dengan sanksi lainnya. Hanya saja syariat tidak
menentukan batas tertinggi dan rendah bagi hukuman denda ini. 91
3. Nasihat, hukuman nasihat ini seperti halnya hukuman peringatan dan
dihadirkan di depan sidang pengasdilan, merupakan hukuman yang
89
. Ibid.h. 192.
. Alie Yafi, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 84
91
. Ahad Jazuli, fiqih jinayah, h. 209
90
diterapakn untuk pelaku-pelaku pemulka yang melakukan tindak pidana,
bukan karena kebiasaan melainkan karena kelalaian.
4. Pengucila, hukuman takzir berupa pengucilan ini diberlakuakan apabila
membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat
tesebut.
5. Pemecatan (Al-‘azl), hukuman ini adalah berupa melarang seseorang dari
pekerjaanya dan memberhentikannya dari tugas atau jabatan yang di
pegangnya sebagai akibat pemberhentian dari pekerjaannya itu.
6. Pengumuman Kesalahan Secara Terbuka (Tasyhir), adalah mengumumkan
kesalahan pelaku kehadapan masyarakat umum lawat media massa, baik
media cetak maupun elektronik, antara lain penayangan gambar atau
wajah penjahat di layer televise.
E. Kasus Hadis Al-Ifki Dan Kaitannya Dengan Pencemaran Nama Baik
Hadisul ifki adalah “berita bihong” yang sangat berbahaya, baik jika
dilihat dari segi makna maupun kandungan dan tujuannya.92 Yaitu berita murahan
dan tuduhan keji yang disebarluaskan oleh sekelompok orang yahudi dan kaum
munafik terhadap seorang putri suci, putri seorang shiddiq, yaitu istri seorang
Rasulullah yang suci. Dialah kekasih yang dekat di hati Rasulullah SAW,
92
. Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-Kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais Al-qorny,
(Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005), h. 194.
bernama Aisyah binti Abu bakar Shiddiq. Dialah istri Rasulullah dan merupakan
istri yang paling dicintainya.
Haditsul Ifki atau “berita bohong” yang dimaksudkan oleh para musuh
Islam untuk melukai perasaan Rasulullah SAW dengan cara melemparkan
tuduhan palsu terhadap istrinya yang sangat terhormat.93
Aisyah ra menceritakan kisah berita bohong besar tersebut, yang
diriwayatkan oleh az-Zuhri dari ‘Urwah dan lain-lain dari riwayat Aisyah ra
beliau berkata: “Biasanya Rasulullah SAW apabila hendak bepergian jauh
melakukan undian bagi istri-istrinya, maka siapa saja di antara mereka yang
bagiannya (undiannya) keluar atas namanya maka dialah yang mendapat bagian
ikut pergi bersama beliau. Pada suatu ketika, Nabi akan pergi dalam suatu
peperangan, lalu beliau melakukan undian dan yang keluar adalah bagian atas
namaku. Maka aku pun ikut pergi bersamanya (mendampinginya) sesudah ayat
tentang wajib hijab diturunkan. Aku pada saat itu dibawa di dalam sekedup (di
atas punggung unta) dan di situlah aku tinggal. Kami pun berjalan hingga
Rasulullah SAW selesai dari misi peperangannya dan beliau pun kembali. Dan
sudah terasa dekat dari kota madinah, maka pada suatu malam beliau
mengizinkan (para sahabatnya) untuk berangkat (pulang). Maka aku pun bangkit
(untuk buang hajat) ketika mereka diizinkan untuk pulang hingga pasukan itu
93
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section=
kj073&idjudul=1990
telah berlalu.94 Seusai buang hajat aku kembali kepada untaku, kemudian aku raba
dadaku dan ternyata kalungku terputus karena terenggut kukuku (dan hilang).
Maka aku kembali (ke tempat buang hajat) sambil mencari kalungku yang
terjatuh hingga makan waktu cukup lama. Lalu pada saat itu sekelompok orang
yang biasa menuntun untaku datang menuju unta yang dipunggungnya ada
sekedupku (tempat dudk di atas unta) dan mereka langsung menggiringnya
dengan mengira bahwa aku ada di dalamnya. Rata-rata perempuan pada masa itu
ringan, tidak gemuk, karena kami biasa makan sesuap makanan saja, sehingga
ketika mengangkat sekedupku ke atas punggung unta tidak merasa bahwa aku
tidak ada di dalamnya dan mereka pun langsung membawanya. Sementara pada
saat itu aku masih remaja di bawah umur sedangkan unta telah pergi bersama
mereka. Kalungku baru aku temukan sesudah para pasukan berjalan jauh, maka
dari itu aku pergi ke bekas tempat mereka singgah (bermalam) dan di sana tidak
ada seseorang. Lalu aku menuju bekas persinggahanku, karena dalam dugaanku
mereka pasti akan mencariku di sini.95
Ketika aku sedang duduk menunggu, aku pun tertidur. Pada saat itu ada
seorang sahabat Nabi bernama Shafwan bin Mu’atthal As-Sulami Adz-Dzakwani,
bertugas sebagai orang yang memeriksa di belakang pasukan hingga kemalaman
dan pada keesokan harinya ia berada di dekat persinggahanku. Lalu ia melihat
warna kehitam-hitaman tampak seperti manusia yang sedang tidur dan ia pun
94
. Ibid.
. Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, tth),
Judul Asli: Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim Lin nisa. h. 200.
95
menghampirinya (aku) dan langsung mengenalku di saat ia melihatku,96 dan itu
sebelum diwajibkan hijab (tabir). Akupun terbangun karena ucapan “istirja’-nya
di saat melihatku. (Istirja’ adalah ucapan: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiu’un).
Maka aku langsung menutup wajahku dengan jilbabku, demi Allah, ia tidak
berbicara kepadaku dengan satu katapun, dan aku tidak mendengar satu kata pun
selain istirja’-nya tadi. Lalu ia turun dan mendudukkan untanya (supaya aku naik
untanya). Maka aku naik ke untanya dan ia pun mengendalikannya, hingga kami
dapat mengejar para pasukan setelah mereka singgah beristiraha di madinah.97
Aisyah melanjutkan: orang yang melihat mereka mulai membicarakan
menurut pendapat masing-masing;98 dan tokoh yang menyebarluaskan dosa besar
ini ada Abdullah bin Ubai bin Salul (seorang tokoh munafik yang tidak jujur).
Setibanya kami di Madinah aku jatuh sakit selama satu bulan karena berita
bohong itu, dan orang-orang banyak terlibat dalam hasutan para penyebar berita
bohong itu, sedangkan aku tidak sadarkan diri dan makin membuatku tidak
menentu di masa sakitku adalah bahwasanya aku tidak melihat lagi dari
Rasulullah SAW kelembutan yang selama ini selalu aku melihatnya mana kala
aku sedang sakit, dan beliau hanya memberikan salam bila masuk menjengukku
96
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section
=kj073&idjudul=1990
97
. Zaini Dahlan, Dkk, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap, 1990),
Jilid-6, h. 604.
98
. Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, h. 201.
lalu bertanya, “Bagaimana kamu”, lalu pergi. Itulah yang membuatku makin
merasa bimbang.99
Aku tidak merasakan adanya keburukan kecuali setelah aku sembuh dan
masih dalam keadaan lemah. Aku keluar bersama Ummi Masthah menuju
Manashi’, yaitu tempat kami buang air. Kami tidak keluar ke sana kecuali pada
malam hari, dan itu sebelum kami menggunakan dinding pelindung (untuk buang
air), karena kami sama seperti orang-orang Arab lainnya dalam hal buang air
besar, yaitu membuang air besar di padang yang jauh (gha’ith). Kemudian, seusai
buang hajat aku dan Ummi Masthah kembali dengan jalan kaki. (Ummi Masthah
adalah putri Abu Dirham bin Abdil Mutthalib bin Abdi Manaf, sedangkan ibunya
adalah anak dari Shakhar bin ‘Amir, bibinya Abu Bakar Siddik, putranya bernama
Masthah bin Utsatsah). Tiba-tiba Ummi Masthah tersandung karena kainnya dan
berkata, “Celaka Masthah!” Maka aku bertanya, “Alangkah buruknya apa yang
kamu katakan! Apakah kamu mencela orang yang telah ikut dalam perang
Badar?” Ia menjawab, “Wahai saudaraku, apakah kamu belum mendengar apa
yang ia katakan?” Aku bertanya, “Apa yang telah ia katakan?” Lalu Ummi
Masthah menceritakan kepadaku bahwa Masthah ikut membicarakan apa yang
dibicarakan oleh para penyebar berita bohong itu. Maka aku pun bertambah
sakit.100
99
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section
=kj073&idjudul=1990
100
. Ibid
Sekembalinya aku ke rumah, Rasulullah SAW masuk menjengukku dan
berkata, “Bagaimana kamu?” Aku berkata kepada beliau, “Izinkan aku datang
kepada kedua ibu-bapakku.” Pada saat itu aku ingin mengecek berita dari pihak
mereka (orang tuaku). Maka Rasulullah mengizinkan dan akupun pergi menemui
ibu dan ayahku. Di rumah aku bertanya kepada ibuku, “Wahai ibuku, apa yang
sedang dibicarakan oleh banyak orang saat ini?” Ibu menjawab, “Wahai anakku,
tahan dirimu atas peristiwa ini, karena demi Allah, jarang ada perempuan cantik
yang mempunyai suami yang sangat mencintainya, sedangkan ia mempunyai
banyak
madu
(istri-istri
suami
yang
lain)
melainkan
mereka
selalu
memojokkannya.” Aku berkata, “Maha suci Allah, sungguh manusia telah
membicarakan masalah ini?” Maka aku pun menangis pada malam itu hingga
pagi, air mata terus bercucuran tiada henti dan tidak dapat tidur. Pagi harinya pun
aku tetap menangis.101
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Ali bin Abi
Thalib dan Usamah ra ketika wahyu belum kunjung turun untuk minta pendapat
kepada mereka berdua tentang perpisahan beliau dengan istrinya.
Aisyah menceritakan: Adapun Usamah, menganjurkan sesuai dengan
pengetahuannya akan kebersihan istrinya dan dengan dasar pengetahuannya
bahwa Nabi sangat mencintai mereka, seraya berkata: “Mereka adalah
keluargamu wahai Rasulullah, dan kami, demi Allah, tidak mengenal mereka
101
. Ibid.
kecuali sebagai orang-orang baik”. 102 Sedangkan Ali bin Abi Thalib, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, Allah tidak mempersulit dirimu, dan perempuan selain dia
(Aisyah) masih sangat banyak. Engkau hanya minta carikan kepada salah seorang
perempuan, niscaya ia mencarikannya.”
Aisyah melanjutkan: Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil
Barirah seraya bersabda, “Wahai Barirah, apakah engkau melihat padanya
(Aisyah) ada sesuatu yang meragukanmu?” Barirah menjawab, “Tidak, demi
Tuhan yang telah mengangkatmu dengan haq sebagai Nabi, jika engkau melihat
darinya (Aisyah) sesuatu, maka campakkanlah kepadanya. Dia kan cuma seorang
remaja belia yang masih di bawah umur, dan bisanya hanya tidur saja, lalu
membiarkan hidangan keluarganya sehingga datang ayam memakannya.”
Aisyah menuturkan: Semenjak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pergi dan meminta kerelaan orang-orang untuk menindak Abdullah bin
Ubai bin Salul seraya bersabda sambil berdiri di atas mimbar, “Siapa yang
mendukungku untuk menghukum orang yang telah menyakiti aku dengan
mencemarkan keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengenal keluargaku selain
sebagai orang yang baik. Dan sesungguhnya mereka menyebutkan seseorang
yang tidak aku ketahui kecuali sebagai orang baik, dan ia tidak pernah datang
kepada keluargaku kecuali bersamaku.”
102
. http://soaljawab.wordpress.com/2007/11/03/hadis-ifki1-ujian-sedih-kepada-ummul
-mukminin-aisyah-ra/
Lanjut Aisyah: Maka Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berdiri seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, Aku, demi Allah, aku mendukungmu untuk
menghukumnya. Kalau dia berasal dari suku Aus, maka kita penggal lehernya,
dan kalau ia berasal dari saudara kami, suku Khazraj, maka kami tunggu apa
perintahmu terhadapnya, niscaya kami lakukan.”
Kemudian Sa’ad bin Ubadah ra bangkit dia adalah pemuka suku Khazraj
dan merupakan seorang lelaki shalih, namun fanatisme kesukuannya sangat
tinggi- seraya berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Tidak benar kamu! Demi Allah,
kamu tidak boleh membunuhnya dan tidak akan mampu melakukannya.”
Kemudian, Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu (keponakan Sa’ad bin Mu’adz)
berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, “Kamu yang tidak benar! Demi Allah, kami
pasti membunuhnya, kamu adalah orang munafik, karena membela orang-orang
munafik.” Maka kedua suku Aus dan Khazraj ini pun naik darah, hingga hampir
saja mereka berbunuhan. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
masih berada di atas mimbar dan melunakkan emosi mereka hingga akhirnya
mereka diam dan kemudian beliau turun (dari mimbar).103
Aku pada hari itu menangis tiada henti dan air mataku pun terus berlinang
dan tidak merasakan tidur sedikit pun juga. Pada malam berikutnya pun aku
masih terus menangis dengan air mata bercucuran dan tidak dapat tidur hingga
pada keesokan harinya ayah dan ibuku mendampingiku. Sungguh, aku telah
103
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section
=kj073&idjudul=1990
menangis dua malam satu hari hingga aku mengira bahwa tangisan itu akan
membelah hatiku. Ketika ayah dan bundaku duduk di sisiku, sementara aku
sedang menangis, seketika ada seorang perempuan dari kaum Anshar minta izin
masuk, maka aku pun mengizinkannya. Lalu ia duduk sambil menangis
bersamaku. Ketika kami dalam keadaan seperti itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam masuk kepada kami lalu duduk, padahal ia tidak pernah duduk di sisiku
semenjak hari disebarluaskannya berita bohong itu. Sudah sebulan lamanya beliau
tidak menerima wahyu berkenaan dengan perihalku ini. Beliau ber-tasyahhud
ketika duduk, lalu bersabda, “Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku
tentang kamu, bahwa begini dan begitu. Maka jika kamu benar-benar bersih dari
tuduhan itu, niscaya Allah membebaskan kamu dari tuduhan. Dan jika kamu
benar-benar telah melakukan dosa, maka minta ampunlah kamu kepada Allah
dan bertobatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya apabila seorang hamba
mengakui dosanya lalu bertobat, niscaya Allah menerima tobatnya.” Setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai mengutarakan ucapannya maka air
mataku kering (berhenti) hingga aku tidak merasa ada setetes pun.104
Kemudian aku berkata kepada ayahku, “Berbicaralah kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mewakiliku sebagai jawaban ucapannya.” Ayahku
berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang akan aku katakan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lalu aku berkata kepada Ibuku,
“Berbicaralah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewakiliku sebagai
104
. Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, h. 203.
jawaban ucapannya.” Ibuku berkata, “Demi Allah, aku pun tidak tahu apa yang
akan aku katakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Aisyah menuturkan: “Aku pada saat itu masih remaja belia, aku belum
mempunyai banyak bacaan (hafalan) Al-Qur’an. Maka aku berkata (kepada
Rasulullah), “Demi Allah, sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau
telah mendengar pembicaraan yang sedang menjadi buah bibir banyak orang, dan
itu telah tertancap di dalam dirimu, bahkan engkau mempercayainya. Jika aku
katakan bahwa sesungguhnya aku bersih dari tuduhan itu, maka engkau tidak
akan mempercayaiku. Dan jika aku mengakui kepadamu bahwa tuduhan itu
benar, padahal Allah mengetahui bahwa tuduhan itu palsu dan aku bersih darinya,
niscaya engkau mempercayaiku. Maka, demi Allah, Aku tidak menemukan
perumpamaan lain bagiku dan bagimu selain Ayah Yusuf (Nabi Ya’qub) di mana
ia berkata: “Maka Sabar itulah yang terbaik, dan Allah tempat aku meminta
pertolongan terhadap apa yang kalian katakan.”
Pada saat itu Allah menurunkan firman-Nya surat 11,
.... ُْYِْ ٌَ
ْ]ُ" ِ+ْ:ِ^ِْ‫إِ̀ن ا`_َِ ﺝَءُوا ﺏ‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kamu juga…” (Dan ayat-ayat lanjutannya).
Lalu setelah ayat tentang pembebasan ‘Aisyah, diturunkan Abu Bakar AsShiddiq radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya selalu memberi nafkah kepada
Misthah bin Utsatsah karena hubungan kerabat dekat dan kefakirannya, ia
berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memberinya nafkah lagi selama-lamanya,
karena ia turut serta menyebarkan berita bohong yang dituduhkan terhadap
Aisyah radhiyallahu ‘anha.” Maka kemudian Allah menurunkan ayat:105
‫ اْ;ُْ َﺏ‬Dِ‫ْﺕُ'ا أُو‬bُ ْ‫َِ أَن‬$`‫ُْ وَا‬Yِْ ِ#ْcَْ‫ِ أُوُ' ا‬#َ‫ْﺕ‬dَ ََ‫و‬
َ‫'ن‬e
ِ)ُ‫ُْ'ا وََْ]َْ)ُ'ا أََ ﺕ‬$ََْ‫ِ ا!`ِ و‬#ِ
َ Dِ: َِِ‫َﺝ‬3ُْ‫وَاََْآَِ َا‬
(22 : 24 /‫َُ'رٌ رٌَِ )ا'ر‬- ُ`!‫ُْ وَا‬Yَ ُ`!‫أَنْ ََِْ ا‬
Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan
hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur/ 24: 22).106
Maka setelah itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku
benar-benar sangat suka kalau Allah mengampuni aku.” Maka ia pun kembali
memberi nafkah kepada Misthah sebagaimana biasanya, bahkan beliau berkata,
“Demi Allah, aku tidak akan mencabut (pemberian nafkah ini) darinya selamalamanya.”
Aisyah
radhiyallahu
‘anha
menuturkan:
Rasulullah
SAW
juga
menanyakan tentang aku kepada Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha seraya
berabda, “Wahai Zainab, apa yang engkau ketahui (tentang Aisyah) dan apa
yang telah kamu lihat.” Zainab menjawab, “Ya Rasulullah, aku selalu
memelihara pendengaran dan mataku, demi Allah, aku tidak mengetahui tentang
dia kecuali baik-baik saja.”
105
Dialah (Zainab) di antara istri-istri Rasulullah
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section
=kj073&idjudul=1990
106
. M. Qurais Shihab. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian A-Qur’an ,(Jakarta:
Lentera Hati, 2007), Cet-8, h. 310.
shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu menyaingi aku, dan Allah melindunginya
dengan ke-wara’annya.
Aisyah juga menuturkan, “Namun saudara perempuannya selalu
melancarkan serangan terhadapnya, maka dari itu ia binasa (mendapat hukuman)
bersama-sama para penyebar berita bohong itu.” 107
Kisah di atas menjelaskan betapa dahsyatnya pengaruh atau akibat buruk
yang timbul dari tindakan pencemaran harga diri, kehormatan dan nama baik. Dan
dari sini kita dapat mengetahui betapa pentingnya hukuman yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT terhadap siapa saja yang telah memperpanjang lidahnya untuk
melontarkan tuduhan keji, pencemaran kehormatan terhadap orang lain, dan jelas
sekali berhubungan sekali dengan pencemaran nama baik.
BAB IV
107
. http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_section
=kj073&idjudu l=1990
SALAH TANGKAP DAN PENCEMARAN NAMA BAIK
A. Pengertian Salah Tangkap
Salah tangkap terdiri dari dua kata “salah” dan “tangkap” menurut kamus
lengkap bahasa Indonesia “salah” adalah, tidak benar atau tidak mengenai
sasaran.108 Sedangkan kata “tangkap” adalah, memegang atau mendapati.109 Jadi
yang dimaksud dengan “salah tangkap” adalah, tidak mengenai sasaran. “salah
tangkap” di sini lebih cocok diartikan dengan, salah menetapkan tersangka dalam
suatu kasus.110
Ketika berkas-berkas perkara berita acara, alat bukti, barang bukti ini
adalah pekerjaan kepolisian dari kepolisian dinyatakan sudah lengkap oleh
kejaksaan, maka kejaksaan menyiapkan penuntutan untuk mengajukan tersangka
ke depan pengadilan (menjadi terdakwa). Apabila hakim merasa sudah tersedia
cukup bukti bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan tersebut, keluarlah vonis
hukuman penjara. Dilihat dari prosesnya, maka tahapan-tahapan tersebut saling
tergantung satu sama lain. Apabia terjadi kesalahan atau kekeliruan di tingkat
kepolisian, kemudian tetap diproses lebih lanjut, maka vonis yang diberikan pun
bisa salah, terdakwapun dipenjara akibat perbuatan yang tidak pernah dilakukan.
B. Sebab Terjadinya Salah Tangkap
108
. Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: tth), hal. 978.
. Dep Dik Nas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
Cet- 3, h. 1139.
110
. http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=41587
109
Ada beberapa sebab timbulnya salah tangkap dalam penegakan hukum.
Salah satunya adalah pelaksanaan hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) yang
kurang diiringi dengan semangat satu sistem terpadu oleh para penegak hukum.
Meskipun secara prinsip terdapat pembagian fungsi, tugas, dan wewenang
masing-masing penegak hukum, dalam pelaksanaannya mensyaratkan secara
mutlak adanya keserasian dan koordinasi antar instansi penegak hukum.
Syarat mutlak tersebut tertuang dalam konsepsi "integrated criminal
justice system" yang memandang proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu
rangkaian kesatuan, sejak penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara, hingga
pada penyelesaian di tingkat lembaga pemasyarakatan. Belakangan ini sistem
tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan sehingga yang terlihat adalah hubungan
yang kurang memperlihatkan rangkaian kesatuan sehingga kurang menjamin
kesatuan pelaksanaan hukum acara pidana.
Terlihat pada saat terjadi dugaan salah tangkap (error in persona),
terdapat kecenderungan tanggung jawab tertumpah hanya pada aparat penyidik
sebagai penanggung jawab awal dalam proses pidana. Padahal, kegiatan
penyidikan sebagai suatu subsistem berjalan dalam satu proses terkait dengan
subsistem lain dalam bentuk koordinasi sinkronisasi instansional dan fungsional.
Awal dari suatu proses pidana adalah penyidikan yang menempatkan Polri
sebagai penanggung jawab utama terutama di bidang tindak pidana umum.
Penyidikan yang diawali dan didahului dengan langkah teknis penyelidikan
menyeleksi secara cermat, apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sebagai suatu sistem yang
mengutamakan hak asasi manusia dan kesamaan kedudukan dalam hukum, maka
peningkatan
penyelidikan
ke
proses
penyidikan
harus
juga
selalu
mempertimbangkan hal tersebut.
Sebagai hasil penyelidikan yang ditingkatkan ke penyidikan, maka begitu
masuk ke tingkat penyidikan dibuatlah laporan dimulainya penyidikan ditujukan
kepada penuntut umum atau kejaksaan. Dengan adanya laporan tersebut,
kejaksaan secara awal telah mengetahui adanya proses penyidikan di kepolisian.
Meskipun penyidikan adalah tanggung jawab kepolisian, dengan laporan
dimulainya penyidikan tersebut tanggung jawab proses dalam satu sistem mulai
berlangsung, meski dengan tingkat tanggung jawab formal yang berbeda. Dengan
laporan tersebut, penuntut umum mulai mengetahui kegiatan penyidikan termasuk
identitas tersangka meskipun belum secara fisik.111
Tidak kalah penting adalah hubungan penyidik dengan penasehat hukum.
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan
hukum dari seorang penasehat hukum atau lebih. Bantuan hukum ini diberikan
pada setiap tingkat pemeriksaan yang dilakukan sejak berlangsungnya
penyidikan. Bahkan pada perkara dengan tindak pidana yang diancam dengan
pidana lima belas tahun atau lebih, pidana mati wajib didampingi oleh penasehat
hukum. Termasuk yang diancam pidana lima tahun atau lebih dan ternyata tidak
mempunyai penasehat hukum, dapat ditunjuk penasihat hukum dengan biaya
111
. http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=41587
cuma-cuma. Dari kordinasi dan sinkronisasi tersebut makin jelas bahwa dengan
satu sistem terpadu, maka informasi tentang data tersangka dan perbuatan pidana
yang disangkakan tidak semata menjadi "milik" penyidik.
Meskipun
hubungan
tersebut
berlangsung
baru
dalam
bentuk
administratif, hubungan tersebut telah melahirkan secara moral dan hukum
keikutsertaan dalam tanggung jawab, minimal yang terkait dengan seseorang
yang terkena upaya paksa dan terancam dengan suatu hukuman. Hubungan
administratif antara penyidik dan penuntut umum tersebut pada saatnya akan
menjadi lebih nyata di saat penyidik menyerahkan berkas perkara tahap kedua
yang disertai tersangka dan alat buktinya.
Hukum acara pidana telah memungkinkan dan memberi jalan antara lain
dengan adanya ketentuan pemeriksaan tambahan berdasarkan petunjuk yang
diberikan oleh penuntut umum. Mondar-mandirnya berkas perkara antara
penyidik dan penuntut umum yang selama ini dinilai sebagai suatu hambatan dan
kekurangan, namun dari segi mengemban tanggung jawab satu sistem dapat
dipahami, sepanjang berlangsung tidak berlebihan dan merugikan.
Pada penyerahan berkas perkara tahap kedua, tersangka akan dihadapkan
bersama alat bukti kepada penuntut umum. Meskipun identitas dan data perbuatan
tersangka telah diketahui penuntut umum namun pengenalan secara fisik baru saat
itu. Seharusnya, bila terjadi kesalahan dalam penetapan tersangka, saat itu dapat
diketahui.
Pengenalan secara jelas identitas dan data perbuatan tersangka oleh
penasehat hukum berlangsung lebih awal, yaitu pada saat mendampingi sebagai
penasehat hukum pada tingkat penyidikan. Bila ternyata ada dugaan kesalahan
dalam penetapan tersangka, dapat pula segera diketahui dan segera dilakukan
langkah koreksi.
Meskipun tahap-tahap proses pidana tersebut telah jelas diatur dalam
hukum acara pidana (KUHAP), bila pelaksanaannya berlangsung tanpa disertai
niat bersama untuk terpadu dalam satu sistem, maka apa yang terlihat dan terjadi
semata hubungan instansional yang cenderung hanya mengutamakan keberhasilan
masing-masing dan bukan keberhasilan bersama dalam satu sistem. Oleh karena
itu, hukum acara pidana memberi dasar yang fundamental untuk penyidikan yang
berbeda dengan hukum acara terdahulu (HIR) antara lain perlindungan hak asasi
manusia, perlakuan yang layak disertai kewajiban memberi perlidungan dan
pengayoman kepada tersangka dan pengetatan pengawasan. Dasar yang
fundamental tersebut bukan saja menjadi pedoman petugas penyidik, tetapi juga
seluruh aparat penegak hukum.
Melihat ketergantungan dan perluasan tanggung jawab tersebut rasanya
sulit terjadi kesalahan penetapan tersangka dalam suatu kasus pada tingkat
penyidikan yang selanjutnya membias pada tingkat berikutnya. Kejadiannya, bila
benar terjadi pada saat penyidikan, dapat dicegah dan penyidikan dapat
diberhentikan, dan itu hanya mungkin bila hubungan terutama dengan penuntut
umum dan penasehat hukum koordinasi dan sinkronisasinya berlangsung efektif.
Sebaliknya, bila setelah proses berlangsung ternyata terjadi kesalahan
dalam penentuan tersangka atau terdakwa, maka tidaklah berlebihan bila
dipertanyakan sampai di mana semua petugas bersama penyidik berperan waktu
itu sesuai dengan tanggung jawabnya dalam pelaksanaan satu proses pidana yang
terpadu.
Dari segi perlindungan hak asasi individu, baik terhadap korban maupun
terhadap si pelanggar, maka peristiwa salah penentuan tersangka adalah hal yang
sangat fatal dan sangat memprihatinkan. Hal tersebut dapat mengarah pada
keraguan masyarakat luas terhadap kemampuan profesional, integritas moral, dan
kesungguhan penegakan hukum. Tanpa usaha nyata untuk mengatasinya, dapat
mengancam goyahnya kepastian hukum serta merosotnya wibawa hukum. 112
Banyaknya kasus salah tangkap, peradilan sesat yang terjadi di Indonesia
tidak dapat dipungkiri terjadi karena minimnya profesional dan kinerja aparat
hukum sebagai akibat antara lain:
1. Lemahnya pengawasan dan SDM di lingkungan aparat hukum di Indonesia.
2. Keterlambatan proses revisi legislasi yang memproteksi hak asasi manusia
dalam prosedur acara pidana (KUHAP) dan KUHP; dan
3. Tidak diimplementasikannya secara efektif konvensi menentang penyiksaan
yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1998 turut berkontribusi pada
maraknya kasus-kasus salah tangkap.113
112
113
. Ibid.
. http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10783
C. Akibat Salah Tangkap
Menyidik kasus pidana memang bukan perkara yang gampang. Di tengah
segala keterbatasan, polisi lebih suka mengejar pengakuan tersangka. Caranya,
antara lain, melalui paksaan, ancaman, bahkan tidak sedikit yang berujung pada
kekerasan dan siksaan.114 Sudah menjadi pengetahuan umum praktik penyiksaan
tahanan serta kekerasan oleh kepolisian sering menghiasi keseharian tugas
kepolisian. Harapan terhadap kepolisian sebagaimana bunyi Pasal 13 UU No 2
Tahun 2002, yaitu ”Kepolisian RI bertugas memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Komite Anti penyiksaan PBB dalam laporannya, 5-7 Mei 2008,
menyatakan, praktik penyiksaan yang melanggar HAM di Indonesia cenderung
meluas meski Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi
konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. 115 Dan kejahatan kemerdekaan
orang, pada Pasal 335 kejahatan terhadap orang diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.116
1.barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan,
tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu
114
. http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/15/1/154323/komnas-hambebaskan-korban-salah-tangkap
115
. http://koran.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah.
menghukum
116
. http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/58/Salah-Tangkap_Hukum_yang_Salah-Kaprah
Salah-Tangkap Juga Dapat Dipidana!
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai
ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. 117
Untuk menghindari dari salah tangkap, kekerasan dan penyiksaan di
tingkat penyidik polisi (aparat) harus meningkatkan profesionalitas dan
kredibilitas mereka, baik dari segi teknis maupun dari sisi yuridis. Jika tidak
meningkatkan poin-poin tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi
salah tangkap yang mengakibatkan, tercemarnya nama baik seseorang karena
telah tersebar isu bahwa orang dialah yang melakukan tindak pidana. mengalami
luka batin maupun fisik dari kekerasan dan penyiksaan di tingkat penyidik. 118
D. Macam-Macam Perlidungan Hak Korban
Kasus salah tangkap adalah kasus pelanggaran HAM yang sistematis dan
termasuk jenis kejahatan amat serius. Karena itu, penanganannya harus bersifat
extra ordinary. Para korban dapat pula menuntut para penegak hukum yang salah
menghukum secara pidana dan perdata, misalnya karena penganiayaan sesuai
dengan Pasal 351 KUHP dan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan
hukum.119 Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan kebenaran
haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara tanpa harus malu, tanpa mesti
117
. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP, Di Lengkapi Yurisprudensi Mahkamah
Agung Dan Hoge Raad, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Cet, Ke-9, h204.
118
. http://www.mediaindonesia.com/read/2008/12/12/48989/70/13/Kasus_Salah_Tangkap_
dan_Asas_Legalitas
119
. http://koran.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah.
menghukum
ditekan publik, wajib melaksanakan asas legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan
merehabilitasi nama baik warga yang menjadi korban salah tangkap. 120
Adapun Arti dari ganti rugi dan rehabilitasi, dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Ganti Rugi, Pasal 1 Butir 22 dari Undang-Undang Nomor 8 1981
memberikan batasan atau definisi ganti kerugian. Ganti kerugian adalah: hak
seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa
imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. Untuk dapat menentukan secara tepat kapan tuntutan ganti
kerugian harus dilancarkan, karena salah tangkap, salah tahan, salah
penerapan hukum.121 Kemudian tentang tuntutan ganti kerugian ini diatur
lebih lanjut dalam Pasal 95 Ayat 3 Tahun 1981 yang mengatakan bahwa:
“tututan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 diajukan oleh
terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang
mengadili perkara yang bersangkutan.122
2. Rehabilitasi, Pasal 1 Butir 23 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
memberikan batasan atau definisi tentang rehabilitasi. Rehabilitasi adalah: hak
120
. http://www.mediaindonesia.com/read/2008/12/12/48989/70/13/Kasus_Salah_Tangkap_
dan_Asas_Legalitas
121
. Nawawi, Teknik dan Strategi Membela Perkara Pidana, (Jakarta: Fajar Agung, 1987),
Edisi Ke- 2, h. 32.
122
. Ibid.
seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang. Selanjutnya berdasarkan Pasal 97 Ayat 1 dari UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981, bahwa seseorang berhak memperoleh
rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari
segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan humum
tetap.123
E. Kasus Salah Tangkap
Duduk perkaranya bisa diuraikan bahwa ada sebuah perampokan dan
pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa
Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk
Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.
Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti
Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani
berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tidak tahan menerima siksaan polisi,
keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita
polisi dari pada bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon
123
. Ibid, h. 39.
divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan pengadilan
tinggi Jawa Barat. Pada akhirnya merekapun bebas dari penjara, karena polisi
telah menangkap perampok sekaligus pembunuh Sulaiman-Siti Haya.124
Kasus yang mirip dengan Sengkon dan Karta pada tahun 1974 kembali
terulang. Budi Harjono 27 disangka membunuh ayah kandungnya sendiri. Budi
pun harus menjalani pahit getirnya menjadi seorang tahanan selama enam bulan
di Rumah Tahanan Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi dan Lembaga
Pemasyarakatan Bulak Kapal. Empat tahun kemudian kebenaran terkuak. Masin,
mantan pekerja bangunan di rumah keluarga almarhum Ali Harta Winata, ayah
kandung Budi, tertangkap. Ia mengaku sebagai pembunuh pemilik Toko Material
Trubus pada tahun 2002.125
Tepatnya 17 November 2002 sekitar pukul 02.00. Ali Harta ditemukan
tewas secara mengenaskan di kamar mandi rumahnya di Jalan Raya Hankam
Jatiwarna, Pondok Gede, Bekasi.
Ia tewas dengan luka tulang hidung patah, memar di kepala belakang, dan
cekikan tangan di lehernya. Kematian Ali Harta itu didahului kejadian tragis.
Menurut Eni, istri almarhum, pukul 22.00 menjelang kejadian, ia dan Ningsih 19,
pembantu rumah tangganya, tengah memasak. Karena mengantuk, Ningsih tidur
lebih awal. Tidak lama kemudian, Ali Harta bangun untuk menyelesaikan
pekerjaan administrasi toko seperti biasanya.
124
125
. http://dekade80.blogspot.com/2009/04/sengkon-dan-karta-sebuah-ironi-keadilan.html
. http://forum.wgaul.com/showthread.php?t=50761
Menjelang tengah malam, Eni pergi tidur. Ali tetap sibuk dengan
pekerjaannya. "tidak lama Eni tidur, dia lihat bayangan lelaki berkelebat. Orang
itu masuk kamar.
Tiba-tiba saja pelipis Eni dipukul dengan balok kaso. Eni merasa sakit
bukan kepalang, tetapi sebelum ia sadar pukulan kedua mendarat di bagian
rahangnya hingga tak sadarkan diri. Ketika sadar, ia sudah berada di Unit Gawat
Darurat Rumah Sakit UKI, Jakarta Timur. Saat ini terpasang sembilan pen pada
tulang pelipis dan rahang Eni.
Menurut Budi, dia terbangun karena sayup-sayup mendengar teriakan
ibunya. Ia lalu mendapati ibunya bersimbah darah. Ningsih juga ikut terbangun
ketika Budi berteriak, "Ada maling memukul mamah!" Sebelumnya dia
mendengar suara seorang lelaki menyuruh temannya ’cepat...cepat’, tetapi ningsih
biarkan. Lalu dia dengar teriakan Budi.
Menurut Ningsih, saat itu ia juga melihat Budi kebingungan mencari
ayahnya. Dicari keluar, hingga ke kebun sebelah, tetap tak ketemu. Lalu ia
meminta tolong tetangganya dan ramailah rumah itu. Tetangga menemukan Ali
Harta tewas di kamar mandi. “ningsih disuruh bilang bahwa dia melihat Budi
turun dari tangga, lalu menyeret ayahnya ke kamar mandi. Padahal dia tidak
melihat Budi menyeret ayahnya.
Penyiksaan terhadap Budi berbeda lagi. Selain menjadi sasaran pukulan,
Budi dipaksa mengaku bahwa dia yang membunuh ayahnya sendiri. Skenario
pembunuhan versi polisi waktu itu adalah bahwa sebelum pembunuhan terjadi,
Eni terlibat pertengkaran dengan suaminya. Ali Harta memukul Eni dengan balok
dan Budi membantu ibunya. Karena kalap, Budi pun menghabisi orangtuanya
sendiri. Padahal, kata Budi, yang terjadi tidaklah demikian. Enam bulan berlalu
dengan penuh kepahitan. Majelis hakim perkara tersebut memutuskan terdakwa
Budi bebas dari segala tuntutan. Di tengah derita stigma masyarakat Budi sebagai
pembunuh ayahnya, Polda Metro menangkap Masin. Lelaki itu adalah bekas kuli
bangunan di rumah Eni sebelum akhirnya dia diberhentikan dari pekerjaannya
empat hari sebelum pembunuhan terjadi.126 Setelah penulis menelusuri masalah
atau kasus salah tangkap tersebut di Pengadilan Negeri Bekasi, benar-benar ada,
sehigga penulis mendapatkan bukti yang menguatkan kasus di atas, berupa
putusan hakim pengadilan negeri bekasi, yang akan di lampirkan setelah akhir
bab.
Dari yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwasannya salah
tangkap bisa mengakibatkan tercemarnya nama baik seseorang, luka lahir dan
luka batin, yang disebabkan adanya penyiksaan saat penyidikan. Sebagai contoh
di atas kasus Sengkon dan Karta, dan kasus Budi Harjono, yang tidak lepas dari
paksaan, siksaan oleh polisi. Yang mengakibatkan tercemarnya nama baik
tersangka, kerena kasus tersangka telah menyebar ke masyarakat lewat media
surat kabar atau elektronik, bahwa dialah yang melakukan kejahatan tersebut.
Kurang profesionalisme para penegak hukum yang menyebabkan terjadinya salah
tangkap, dari polisi di tingkat penyidikan, jaksa, dan hakim.
126
. Ibid.
Apabila dihubungakan dengan hukum Islam, kasus salah tangkap atau
salah menghukum, dapat dikatagorikan ke dalam masalah syubhat, yang berakibat
gugurnya hukuman hudud terhadap tersangka disebabkan adanya bukti yang kuat
bahwa bukan tersangka yang berbuat jarimah. Seharusnya qadhi atau hakim lebih
berhati-hati dalam memvonis tersangka, hakim lebih baik salah dalam memaafkan
dari pada salah dalam memberikan hukuman. Untuk aparat penegak hukum atau
polisi yang telah melanggar aturan-aturan hukum seperti penganiayaan terhadap
tersangka harus mengganti rugi atas perbuatan mereka, dalam hukum Islam
terdapat konsep hukuman qisas yang apabila ada anggota badan yang hilang atau
luka akibat perbuatan orang lain harus dibalas dengan perbuatan yang yang sama,
seperti hidung dengan hidung, gigi denan gigi, telinga dengan telinga dan
seterusnya.
F. Analisis Perbandingan
1. Persamaan antara hukum pidana islam dan hukum pidana positif
Pada dasarnya, tujuan dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
adalah memberikan kedamaian dan keamanan serta melindungi kepentingan
masyarakat.
Persamaan kedua penerapan hukuman pada hukum pidana islam dan
hukum pidana positif adalah dengan tujuan agar dapat mengendalikan situasi dan
masyarakat serta untuk menimbulkan rasa kesadaran bagi para pelakunya agar
tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Persamaan ketiga adalah dalam hukum pidana Islam sama-sama menaruh
perhatian yang sangat besar mengenai pencemaran nama baik terlebih lagi
penganiayaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada saat menyelidiki
kasus, karena pencemaran nama baik bisa menurunkan harkat dan martabat
tertuduh yang bisa mengancam jiwa tertuduh.
Persamaan kelima hukum Islam dan hukum Positif sangat mengancam
bagi orang yang melakukan penganiayaan yang mengancam jiwa seseorang
khususnya yang dibahas pada skripsi ini yaitu penganiayan atau kekerasan yang
dilakukan oleh polisi di tingkat penyelidikan.
Persamaan berikutnya mengenai sangsi bagi pelaku (polisi) pencemaran
nama baik akibat salah tangkap, mempunyai kesamaan hukuman dalam hukum
pidana positif dengan hukum pidana Islam antara lain: sama-sama diasingkan
atau dimutasi.
2. Perbedaan Hukum Pidana Islam Dengan Hukum Pidana Positf
Perbadaan antara hukum Islam dengan hukum Positif antara lain:
Tinjauan umum dari tindak pidana pencemaran nama baik akibat salah
tangkap, dalam hukum Islam tindak pidana pencemaran nama baik akibat salah
tangkap tidak dibahas secara terperinci, sedangkan dalam hukum Positif diatur
secara terperinci didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab
XVI tantang penghinaan.
Pebedaan yang kedua adalah mengenai sanksi yang dikenakan kepada
pelaku pencemaran nama baik, dalam hukum Islam tidak terdapat yang menjadi
pokok dalam menentukan sanksi melainkan dimasukan kedalam tindak pidana
takzir, sedangkan dalam hukum pidana positif terdapat sanksi yang terperinci
tentang pencemaran nama baik yang temuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan yang
diangkat di dalam skripsi ini, maka penulis telah mengambil beberapa
kesimpulan, yaitu
1. Perbuatan pencemaran nama baik atau mencemarkan kehormatan orang
mempunyai arti yang sama dengan perbuatan menista seperti yang diatur
dalam Pasal 130 KUHP. Tentu perbuatan pencemaran nama baik adalah suatu
perbuatan yang melanggar hukum, baik itu dengan lisan maupun dengan
tulisan. Yang menyerang kehormatan seseorang yang mengakibatkan
rusaknya nama baik atau reputasi seseorang, dengan menyebarkan berita yang
tidak sesuai dengan fakta, dan menyebarkan berita tersebut kepada khalayak
ramai yang bisa menimbulkan kerugian bagi pihak yang bersangkutan.
2. Hukum Islam memandang bahwa tindak pidana Pencemaran nama baik
adalah perbuatan yang diharamkan, penulis menggolongkan perbutan
pencemaran nama baik dalam jarimah qazaf ( pebuatan menuduh zina).
3. Salah tangkap adalah salah menetapkan tersangka dalam suatu kasus. Kasus
salah tangkap oleh jajaran kepolisian terhadap orang yang disangka
melakukan tindak pidana membuktikan bahwa aparat penegak hukum tidak
profesional dan cenderung memaksakan diri untuk memenuhi target
pengungkapan dan penuntasan terhadap suatu kasus. Kasus salah tangkap ini
sudah seringkali terjadi di lingkungan polisi, bukan hanya terhadap orang
yang disangka pelaku kriminal. Ini membuktikan kinerja polisi di lapangan
tidak profesional dan hanya untuk memenuhi target saja. Untuk kasus-kasus
yang banyak mendapat sorotan masyarakat polisi sering bertindak tidak sesuai
prosedur dan memaksakan diri untuk segera menuntaskan kasus tersebut
sehingga berdampak pada salah tangkap. Ada sejumlah kasus yang
diindikasikan polisi merekayasa termasuk dalam keterangan tersangka di
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan tekanan-tekanan maupun intimidasi
sehingga orang tersebut terpaksa mengakui BAP meskipun itu bukan
perbuatannya. Maka tersangka salah tangkap berhak menuntut kepada aparat
tertentu dengan meminta ganti rugi dan rehabilitasi nama baik.
B. Saran-saran
1. Agar pemerintah segara bertindak tegas kepada para penegak hukum (polisi)
yang malas-malasan dalam tugasnya, sehigga tidak akan terjadi lagi kasuskasus salah tangkap, bila perlu diberhentikan dari tugasnya atau di pecat
menjadi pelindung masyarakat.
2. Agar semua pihak memperhatikan atau bersikap jeli dengan adanya tindak
pidana, dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi yang merugikan pihakpihak tertentu, dan bertindak menurut hukum yang telah diatur oleh undangundang.
3. Agar polisi atau penyidik tidak bertindak semena-mena kepada terdakwa demi
menjauhkan dari tindakan-tindakan kekerasan kepada tersangka agar tidak
menimbulkan luka-luka.
4. Kepada penegak hukum agar memberi hak-hak tersangka kasus salah tangkap
dengan seadil-adilnya demi mengangkat harkat martabat tersangka salah
tangkap.
DAPTAR PUSTAKA
Dari Buku-Buku
Al-qur’an Al-Karim
Abdul Quodir Audah. Al-tasyri’ al-Jinai’ al-Islami Muqaronah bi al-qonun al-Wad’i.
Bairut. 1992
Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-Kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais Alqorny, Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005.
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail A-bukhari, Kitab Sahih Bukhori, t.t.: Daran
Nahra Al-naili, t.th, Juz- 4
Adami Chzawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas
Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
A. Jazuli. Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Rajawali
Pres. Jakarta 1997
Ahmad Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Bandung: Bulan Bintang 2005.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Ahmad Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Bandung : Risalah, 1983.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994. Cet. Ke-2.
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986.
A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tujuan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,
Jakarta: Akademika Pressido, 1983, Cet. Ke-1.
Barda Nawawi Arif. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti,
2003
Aruan Sakitjo dan Babang Poenomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Cet. Ke-1.
Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju KepadaTiada
Pertanggunjwaban Pidana Tanpa Kesalahan, Tinjauan Kritis Terhadap
Teori Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta,
Pranada Media, 2006.
Chazawi. Adami Drs. Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, Jakarta, 2002, cet 1.
Dikdik dan lisatis Gustom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma
dan Reaita, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2008.
Dep dik but ,Kumus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Edward Cecil Smith, Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, (Jakarta: Graditi Pers,
1990), h. 140-141.
Frista Artmanda W, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jombang: tth.
Hasbi ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. Ramadhani. Bandung 1975
I. N. Soebagio, Sejarah Pers Di Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977.
Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al-Qur”an Wanita, Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara,
tth, Judul Asli: Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim Lin nisa.
Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam,
bandung: Penerbit Angkasa, 1993, Cet. Ke-2.
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta : Pradnya Paramita, 1997 , Cet. Ke-1.
Muhammad Ichsan dan M Endriyo Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif
Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiah Yogyakarta, 2008.
M. Husen, Harun. Surat Dakwaan Teknik penyusunan, fungsi, dan Permasalahannya,
Jakarta, Rieneka Cipta, 1994.
M. Qurais Shihab. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian A-Qur’an
,(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet-8.
M. Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Terjemahan,
Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996, Cet.5.
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT.
Alumni, 2005
Moeljetno. S.H. Asas-Asas Hulum Pidana, Jakarta, PT Rineka Cipta. 2002,
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta
1999, Cet. Ke-20.
Nawawi. Taktik dan Strategi Membela Perkara Pidana. Jakarta, Fajar Agung, 1986.
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiinayah), Bandung: CV. Pustaka Setia,
2000, Cet. Ke-1.
R.S. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerannya, Jakarta:
Alumni ahaem petehem, 1996, Cet. Ke-4.
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya,
Bogor: poleteia, 1990.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 1, Balai Lektur
Mahasiswa, Tth.
Siswanto Sunarso. Wawwasan Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung, PT Citra
Aditia Bakti. 2005. Cet ke 1.
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP, Di Lengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung Dan Hoge Raad, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003,
Cet, Ke-9.
Sudirman Teba, Hukum Media Massa Nasional, Banten: Pustaka Irvan, 2007.
Taqiyudin Abu Bakar Al-Husaini.Kiayatul Ahyar. penrjemah: A. Zaidun. A. Ma’ruf
Asrori. PT. Bina Ilmu.Surabaya 1997.
Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik Dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan
Amerika, Jakarta: Rika Pres, 2005.
P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: CV. Amrico, 1994, Cet.
Ke- 4.
Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: PT.
Eresco, 1989, Cet. Ke-6.
Zaenal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP,
Jakarta: Elsam, Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, 2005.
Zaini Dahlan, Dkk, Al-Qur’an Dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap,
1990), Jilid-6.
Adapun dari Wabsites Atau dari Internet
www.Google.com.
www.Yahoo.com.
www.okezone.com.
www.wilkypedia.com.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah.me
nghukum Senin 25 mei 2009
http://www.gp-anshor.org/tajuk/salah-tangkap-dan-kesalahanberjamaah.Html.Senin25mei 2009
http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/PncemaranNama.pdf
http://www.republika.co.id/berita/82319/Penetapan_Tersangka_Anggota_ICW_Peng
alihan_ Isu
http://yogiikhwan.blogspot.com/2008/04/uqubah.html
http://rubiatul.blogspot.com/2008/12/qadzaf.html
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2098&parent_sect
ion=kj073&idjudul=1990
http://soaljawab.wordpress.com/2007/11/03/hadis-ifki1-ujian-sedih-kepada-ummulmukminin-aisyah-ra/
http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=41587
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=10783
http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/10/15/1/154323/komnas-hambebaskan-korban-salah-tangkap
http://koran.kompas.com/read/xml/2008/09/06/00140018/salah.tangkap.dan.salah.
menghukum
http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/58/Salah-Tangkap_Hukum_yang_SalahKaprahSalah-Tangkap Juga Dapat Dipidana!
http://www.mediaindonesia.com/read/2008/12/12/48989/70/13/Kasus_Salah_Tangka
p_ dan_Asas Legalitas
http://dekade80.blogspot.com/2009/04/sengkon-dan-karta-sebuah-ironi-keadilan.html
http://forum.wgaul.com/showthread.php?t=50761
Download