ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA DALAM PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO TAHUN 2010 Syahrul Udin Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Abstrak: Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perundangundangan (UU Nomor 29 Tahuan 2009), yaitu bahasa yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut ejaan dan tanda baca, pembentukan kata, penyusunan kalimat, maupun teknik penulisannya. Penelitian tentang analisis kesalahan berbahasa Indonesia dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2010 perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran kesalahan (1) ejaan dan tanda baca, (2) pilihan kata, (3) bentukan kata, (4) susunan kalimat efektif, (5) kelogisan kalimat efektif, dan (6) implikasi kesalahan berbahasa Indonesia tersebut terhadap penggunanya. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif deskriptifanalisis isi. Dari hasil analisis data dan pembahasan diperoleh simpulan bahwa kesalahan berbahasa Indonesia dalam perda tersebut terdapat pada (1) kesalahan ejaan dan tanda baca karena perancang atau penyusun perda enggan membaca EyD, (2) kesalahan pilihan kata karena ahli bahasa tidak dilibatkan dalam perancangan atau penyusunan perda, (3) kesalahan bentukan kata karena perancang atau penyusun perda belum menguasai kaidah tata bahasa Indonesia, (4) kesalahan susunan kalimat karena perancang atau penyusun perda belum memahami pola dasar kalimat efektif bahasa Indonesia, (5) kesalahan kelogisan kalimat karena perancang atau penyusun perda belum menguasai kaidah tata bahasa indonesia, dan (6) implikasi kesalahan berbahasa dalam perda akan berdampak terhadap seluruh dokumen resmi desa di wilayah Bojonegoro karena sumber hukum pokok dokumen resmi desa adalah perda dan perbub. Kata-kata kunci: analisis, kesalahan berbahasa Indonesia Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kedudukannya semakin kuat ketika bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa resmi negara, seperti tercantum dalam Pasal 36 UUD 1945. Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul pelbagai ragam bahasa yang secara umum, berdasarkan suasana dan norma NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 71 penggunaannya, dikelompokkan menjadi ragam bahasa resmi dan ragam bahasa tak resmi (Nasucha, 2009:12). Ragam resmi umumnya ditandai dengan pemakaian unsurunsur kebahasaan yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang tinggi. Dalam penggunaannya secara lengkap, ragam resmi atau baku memiliki ciri-ciri antara lain: (a) unsur gramatikal secara eksplisit dan konsisten, (b) afiks secara lengkap, (c) pronomina resmi, (d) kata-kata baku, dan (e) penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (Setyawati, 2010:3). Peraturan perundanganundangan, termasuk peraturan daerah, seharusnya menggunakan bahasa Indonesia ragam resmi yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, yaitu “Bahasa peraturan perundangundangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun ejaannya....” Secara tegas dalam Pasal 26 UU Nomor 29 Tahun 2009 ditegaskan pula bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perundangundangan”. Dalam kenyataannya, beberapa peraturan perundang-undangan masih belum ajek mengindahkan tata bahasa Indonesia, seperti amatan Sasangka (2004) yang menyarankan peninjauan ulang UU No.10 Tahun 2004 dan Pamungkas (2010) yang menyimpulkan penulis dokumen hukum belum menguasai tata bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penelitian tentang analisis kesalahan berbahasa Indonesia dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Tahun 2010 perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kesalahan (1) ejaan dan tanda baca, (2) pilihan kata, (3) bentukan kata, (4) susunan atau urutan kalimat, (5) kelogisan kalimat, dan (6) implikasi kesalahan berbahasa dalam perda tersebut terhadap penggunanya. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh tim perancang atau penyusun Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro berikutnya. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh peneliti berikutnya dalam mengembangkan penelitian bahasa secara interdisipliner. METODE Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif karena tujuan penelitian ini mendeskripsikan kesalahan berbahasa secara alamiah, yakni fenomena kebahasaan yang benar-benar ada dalam pemakaian bahasa peraturan perundangundangan (Mahsun, 2007 dan Bogdan dan Biklen dalam Moleong, 2010). Jika dikaitkan dengan sifat data, jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Selanjutnya, jika dikaitkan dengan sumber data dan asumsi yang dibangun, penelitian ini termasuk jenis penelitian grounded research (Sugiyono, 2008:48). Kehadiran peneliti mutlak diperlukan karena keikutsertaannya sebagai instrumen (human instrumnet), sedangkan dalam prosedur pengumpulan data digunakan teknik dokumentasi dengan cara penabelan. Data penelitian diambil dari sumber data yang telah ditetapkan berdasarkan NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 72 penyampelan internal, yakni penyampelan yang mengutamakan keseringan dan keluasan penggunaan dalam Tata Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro. Sumber data yang dimaksud adalah pemakaian bahasa dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 9 Tahun 2010 tentang Desa. Analisis data dilakukan dengan model analisis isi, yakni dengan memahami fenomena kebahasaan secara utuh (Mahsun, 2007). Data dianalisis secara simultan antara reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Sebelum dianalisis, pengecekan keabsahan data perlu dilakukan dengan tigak teknik yang disarankan oleh Moleong (2010:327), yakni (1) ketekunan atau keajekan pengamatan, (2) triangulasi, dan (3) pemeriksaan sejawat. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kesalahan Ejaan dan Tanda Baca Ejaan dan tanda baca yang dipakai dalam penulisan peraturan perundang-undangan (baca: peraturan daerah), seharusnya mematuhi Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan dan Bab III UU Nomor 10 Tahun 2004, seperti yang telah dikemukakan pada pendahuluan. Dari hasil analisis data ditemukan beberapa kesalahan ejaan di bawah ini. 1) Penulisan huruf pertama kata tugas pada dokumen resmi, judul bab, dan penulisan kata pasal, seperti contoh di bawah ini. (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Tata Penyerahan Urusan Pemerintah Kabupaten/ Kota Kepada Desa (b) Persyaratan Untuk Menjadi Anggota BPD (c) ....sebagaimana dimaksud dalam pasal 92 ayat (2) Seharusnya, penulisan kata tugas Tentang Kepada, dan Untuk ditulis dengan huruf pertama kecil: tentang, kepada dan untuk. Sementara penulisan pasal, seharusnya ditulis dengan huruf pertama kapital Pasal. 2) Penulisan huruf pertama nama jabatan, lembaga pemerintahan, dan nama geografi, seperti contoh di bawah ini. (a) .... menetapkan Bakal Calon menjadi Calon Kepala Desa .... (b) .... yang memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa. (c) .... yang berlaku bagi Desa, Daerah dan Kabupaten. Menurut EyD dan UU No. 10 Tahun 2004, seharusnya kata-kata di atas ditulis dengan huruf pertama kecil, yakni bakal calon, calon kepala desa, pemerintah desa, desa, daerah, dan kabupaten karena tidak diikuti nama diri. (Jika perda yang ditetapkan telah menggunakan rujukan UU No. 12 Tahun 2011, kata atau istilah yang telah dijelaskan dalam ketentuan umum, harus diawali dengan huruf kapital). 3) Penulisan huruf pertama pada rangkaian atau rincian penjelas setelah pernyataan lengkap yang memakai tanda titik dua (:), seperti contoh di bawah ini. (a) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga harus memenuhi persyaratan lain sesuai adat istiadat yang berlaku, antara lain: NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 73 a. Aktif dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan; b. Merupakan tokoh atau panutan dalam mayarakat. Penulisan huruf pertama kata rincian penjelas, seharusnya memakai huruf kecil. Selain itu, kedudukan rincian penjelas belum dapat dikatakan sebuah kalimat (Sumadi, 2009 dan Muslich, 2010). Seharusnya, bunyi pasal tersebut ditulis sebagai berikut. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga harus memenuhi persyaratan lain sesuai dengan adat istiadat yang berlaku, antara lain: a. aktif dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan; dan b. merupakan tokoh atau panutan dalam mayarakat. 4) Penulisan kata dasar, kata depan, dan unsur serapan, seperti contoh di bawah ini. Kesalahan penulisan (a) kata dasar ditemui pada kata ijin, ijasah, dan azas; (b) kata depan ditemui pada diatas, diwilayahnya, didalam, dibidang, diluar, diantara, ditempat, dihadapan, kedepan, disamping, dan didesa; dan (c) unsur serapan ditemui pada kata insidentil, inventarisir, Nopember, spirituil, kreatifitas, prosentase, obyek, mengkoordinir, dan subyek. Jika perancang atau penyusun peraturan daerah mau membaca dan memahami isi EyD, seharusnya tidak terjadi kesalahan tersebut. Seharusnya (a) kata dasar di atas ditulis izin, ijazah, dan asas; (b) kata depan ditulis terpisah, yakni di atas, di wilayahnya, di dalam, di bidang, di luar, di antara, di tempat, di hadapan, ke depan, di samping, dan di desa; dan (c) unsur serapan ditulis insidental, inventarisir, November, spiritual, kreativitas, persentase, objek, mengkoordinasi, dan subjek. Selanjutnya, dari hasil analisis data ditemukan beberapa kesalahan tanda baca di bawah ini. 5) Penulisan tanda titik (.) pada bilangan ribuan atau kelipatannya, seperti contoh di bawah ini. 3000 jiwa, 4501 jiwa, 6500 jiwa, dan 6501 jiwa. Seharusnya ditulis 3.000 jiwa, 4.501 jiwa, 6.500 jiwa, dan 6.501 jiwa. 6) Penulisan tanda koma (,) di antara unsur-unsur dalam suatu rincian dan pemisah anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat mendahului induk kalimat, seperti di bawah ini. (b) Tugas Kepala Urusan Umum adalah melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan pelaporan sesuai bidangnya. (c) Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya Kepala Desa Wajib menyampaikan LKPJ kepada BPD. Kalimat di atas seharusnya memakai tanda koma untuk memisahkan unsur-unsur dalam rincian dan memisah anak kalimat dari induk kalimat sehingga jelas maksud kalimat tersebut. Kalimat di atas seharusnya ditulis sebagai berikut. (a) Tugas kepala urusan umum adalah melaksanakan urusan surat-menyurat, kearsipan, dan pelaporan sesuai dengan bidangnya. (b) Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepala desa wajib menyampaikan LKPJ kepada BPD. 7) Penulisan tanda hubung (-) pada kata ulang, seperti di bawah ini. NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 74 Surat menyurat dan tulis menulis. Seharusnya kata tersebut ditulis suratmenyurat dan tulis-menulis. Demikian kesalahan ejaan dan tanda baca yang ditemukan dalam perda tersebut. Yang perlu ditambahkan adalah kesalahan tersebut sebenarnya tidak terjadi pada keseluruhan penulisan. Beberapa pemakaian huruf kapital pada kata tugas sebuah dokumen resmi, bab, nama jabatan, nama geografi, dan huruf pertama penulisan rincian penjelas masih berpedoman pada EyD. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dalam perda tersebut masih belum ajek. Kesalahan Pilihan Kata dan Bentuk Kata Kesalahan pilihan kata dan bentuk kata akan berakibat tulisan tidak enak dibaca, bahkan membingungkan pembaca karena informasi yang akan disampaikan menjadi samar. Dalam konteks ini, Mustakim (1994:8) pernah menyatakan bahwa syarat-syarat yang menentukan efektif tidaknya suatu kalimat adalah (1) pemilihan bentuk kata, (2) penentuan urutan kata, (3) ketepatan pemilihan kata. Badudu (1980:18) menandaskan bahwa supaya kalimat efektif, seharusnya dipilih kata secara baik, kata yang tepat, seksama, dan lazim. Sementara Soedjito (1991:1-7) menyarankan bahwa pemilihan kata dapat dilakukan antara lain dengan memilih kata yang bernilai rasa, pemakaian kata yang bersinonim, pemakaian kata umum dan khusus, serta pemakaian kata tugas. Khusus untuk pilihan kata atau istilah ini, dalam Bab III UU Nomor 10 Tahun 2004 digunakan kata paling untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum serta digunakan kata dilarang untuk menyatakan larangan. Berdasarkan analisis data, ditemukan beberapa kesalahan pilihan kata dan bentuk kata seperti di bawah ini. (a) Rukun warga untuk selanjutnya disingkat RW adalah merupakan lembaga yang dibentuk melalui.... (b) Calon Kepla Desa terpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan Kepala Desa. (c) BPD, Kepala Desa dan atau Penjabat Kepala Desa tidak diperbolehkan duduk dalam keanggotaan panitia pemilihan. (d) Pemberhentian tetap Perangkat Desa yang terbukti melaksanakan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).... (e) Rancangan Peraturan Desa sebagaiman dimaksud dalam Pasal 139 wajib ditetapkan oleh Kepala Deasa dengan membubuhkan tanda tangan .... (f) Menginformasikan LPPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa selebaran yang ditempel pada papan pengumuman atau... (g) ..., dilakukan penyaringan melalui ujian tertulis untuk .... Pada kalimat (a) kata untuk sebaiknya dihilangkan dan diganti tanda koma (,) dan kata adalah merupakan merupakan sinonim, sebaiknya ditulis merupakan atau adalah; pada kalimat (b), kata mendapatkan lebih enak diganti dengan kata memperoleh dan kata terbanyak seharusnya diganti dengan kata paling banyak; pada kalimat (c), NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 75 kata tidak diperbolehkan seharusnya diganti dengan kata dilarang; pada kalimat (d), kata melaksanakan lebih lazim digunakan kata melakukan; pada kalimat (e), kata membubuhkan (menaruhkan atau memberikan), sebaiknya diganti dengan kata membubuhi (menaruh atau memberi); dan pada kalimat (f) bentuk kata menginformasikan adalah kata kerja sehingga kalimat tersebut tidak bersubjek, seharusnya kehadiran subjek dalam sebuah kalimat harus muncul, yakni dengan mengubah kata menginformasikan (kata kerja) menjadi penginformasian (kata benda). Kesalahan penulisan bentuk kata ditemukan pada (a) bentuk kata berimbuhan, seperti merubah, dirubah, dan mentaati, yang seharusnya ditulis mengubah, diubah, dan menaati karena kata dasarnya ubah dan taat mendapat imbuhan me-, (b) gabungan kata, seperti kerjasama, tanggungjawab, berdayaguna, dan berhasilguna, seharusnya ditulis terpisah, yakni kerja sama tanggung jawab, berdaya guna, dan berhasil guna karena keduanya merupakan gabungan kata dasar atau kata dasar dengan kata dasar berawalan yang tidak padu. Selanjutnya, penulisan pertanggung jawaban dan memindah tangankan, seharusnya ditulis serangkai: pertanggungjawaban dan memindahtangankan karena kedua kata tersebut mendapat awalan dan akhiran secara bersamaan. Berikutnya, penulisan antar desa, antar pelaku, antar ruang, antar fungsi, dan antar waktu seharusnya ditulis serangkai: antardesa, antarpelaku, antarruang, antarfungsi, dan antarwaktu karena salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi gabungan kata (Permendiknas, 2009:11). Begitu pula pemakaian kata sesuai, seharus ditulis sesuai dengan karena gabungan kata tersebut telah padu. Kesalahan Susunan Kalimat Efektif Penentuan susunan kalimat atau urutan kata adalah penempatan kata atau kelompok kata sesuai dengan fungsi yang dimilikinya. Dalam kalimat, kata atau kelompok kata yang memiliki fungsi tertentu akan menduduki pola urutan atau susunan tertentu pula. Parera (1994:52) pernah menguraikan bahwa kalimat efektif adalah kalimat atau bentuk kalimat yang dengan sengaja disusun untuk mencapai daya informasi yang tepat dan baik. Sementara Mustakim (1994:7) pernah mengatakan bahwa setiap unsur yang terdapat di dalam kalimat efektif, yang pada umumnya terdiri dari kata-kata, harus menempati posisi yang jelas dalam hubungan satu sama lain. Jadi, didalam menyusun kalimat efektif harus menempatkan kata atau kelompok kata sesuai dengan fungsinya sebab penempatan kata atau kelompok kata yang tidak sesuai dengan fungsi dan artinya akan menyebabkan kalimat tidak efektif, seperti kalimat di bawah ini. (a) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 melakukan pendaftaran penjaringan Bakal Calon Kepala Desa maupun pemilih. (b) Apabila dalam pemilihan ulang kedua tidak diperoleh calon terpilih maka dibuka pendaftaran kembali pencalonan Kepala NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 76 Desa, dengan tahapan dan mekanisme sesuai dengan ketentuan paling singkat 3 (tiga) bulan paling lama 6 (enam) bulan. (c) Calon Perangkat desa lainnya yang berasal dari Pegawai Negeri selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh ijin dari atasan yang berwenang untuk keperluan dimaksud, apabila lulus seleksi dan dilantik yang bersangkutan harus berhenti dari jabatan organiknya. Susunan kalimat (a), isi atau maksudnya samar karena penempatan kata pemilih. Maksudnya, pemilih selain harus didaftar juga harus dijaring? Apa demikian maksud kalimat tersebut? Jika yang dimasud pemilih cukup didaftar, seharusnya kalimat (a) disusun sebagai berikut (dengan mengubah ejaannya). (a) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 melakukan pendaftaran pemilih dan penjaringan bakal calon kepala desa. Pada kalimat (b), susunan kalimat tersebut menjadi tidak bersubjek. Padahal, sebuah pola dasar kalimat bahasa Indonesia minimal berpola S-P (Sumadi, 2009). Seharusnya, kalimat (b) disusun sebagai berikut. (b) Jika dalam pemilihan ulang kedua tidak diperoleh calon terpilih (Ket.), pendaftaran pencalonan kepala desa (Subjek) dibuka kembali (Pred.) dengan tahapan dan mekanisme sesuai dengan ketentuan, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lambat 6 (enam) bulan (Ket.). Susunan kalimat (c) terlalu panjang. Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 dijelaskan bahwa perumusan sebuah pasal atau ayat seharusnya jelas, tegas, dan mudah dimengerti. Kalimat (c) dapat disusun sebagai berikut. (c) Calon perangkat desa lainnya yang berasal dari pegawai negeri, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memperoleh izin dari atasan yang berwenang dan jika lulus seleksi dan dilantik, yang bersangkutan harus berhenti dari jabatan organiknya. Kesalahan Kelogisan Kalimat Efektif Kelogisan sebuah kalimat adalah kalimat yang masuk akal atau berterima. Artinya, kata-kata yang digunakan dalam kalimat tersebut menujukkan hubungan makna yang logis (Putrayasa, 2009:112-113). Kelogisan seharusnya terjadi pada proposisi, yakni pernyataan yang lengkap dalam bentuk subjekpredikat yang membentuk kalimat (Arifin, dkk., 1998:160-162). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelogisan kalimat hanya terjadi pada relasi subjek-predikat dalam tataran kalimat. Dalam penelitian ini ditemukan kesalahan kelogisan kalimat seperti di bawah ini. (a) Mekanisme dan tahapan pendaftaran Bakal Calon Kepala Desa diatur lebih lanjut oleh Bupati. (b) Materi ujian tertulis sebagaimana dimaksud pada NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 77 ayat (1) distandarkan dengan pendidikan setingkat SLTP. (c) Apabila semua bakal calon tidak mencapai standar nilai kelulusan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia menurunkan standar nilai kelulusan menjadi rata-rata 50 (lima puluh)) dari materi ujian tertulis dan nilai pengetahuan agama tidak kurang dari 50 (lima puluh) (d) Apabila Bakal Calon pada saat pelaksanaan ujian tertulis tidak dapat mengikuti ujian dinyatakan gugur. Kalimat (a) sudah menunjukkan proposisi: Mekanisme dan tahapan pendaftaran Bakal Calon Kepala Desa (Subjek) diatur lebih lanjut (Predikat) oleh Bupati (Pelengkap). Secara logika, kalimat itu secara sederhana dapat dimaknai bahwa Bupati memiliki kewenangan penuh dalam tata pemerintahan. Hanya saja, bagaimanakah cara mengaturnya? Apakah melalui ajudannya? Atau perangkat di bawahnya? Logiskah cara-cara Bupati seperti itu? Agar ada kelogisan, seharusnya kalimat tersebut ditulis sebagai berikut. (a) Mekanisme dan tahapan pendaftaran bakal calon kepala desa diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Kalimat (b) sudah menunjukkan proposisi: Materi ujian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Subjek) distandarkan (Predikat) dengan pendidikan setingkat SLTP (Ket.). Pada kalimat (b) sebenarnya telah terjadi kesalahan kelogisan karena pemilihan kata yang tidak tepat dan hilangnya kata. Maksudnya, mungkinkah materi ujian distandarkan (dibakukan) dengan pendidikan? Kalimat tersebut akan logis jika ditulis sebagaimana di bawah ini. (b) Materi ujian tulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetarakan dengan materi pendidikan setingkat SLTP. Kalimat (c) sudah menunjukkan proposi: Apabila semua bakal calon tidak mencapai standar nilai kelulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (Ket.), panitia (Subjek) menurunkan (Predikat) standar nilai kelulusan (Objek) menjadi rata-rata 50 (lima puluh) dari materi ujian tertulis dan nilai pengetahuan agama tidak kurang dari 50 (lima puluh) (Ket.). Kalimat (c) jika dinalar akan menjadi demikian bahwa nilai pengetahuan agama 51 (lima puluh satu) pun bakal calon akan lulus. Dalam dunia pendidikan, mungkinkah nilai pengetahuan agama 51 (lima puluh satu) atau 52 (lima puluh dua) siswa akan lulus? Masuk akalkah itu? Hal itulah yang patut dipertanyakan. Kalimat tersebut akan menjadi logis jika ditulis sebagai berikut. (c) Jika semua bakal calon tidak mencapai standar nilai kelulusan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia menurunkab standar nilai kelulusan menjadi rata-rata 50 (lima puluh) dari materi ujian tulis dengan nilai pengetahuan agama dan PPKn paling rendah 60 (enam puluh), sedangkan nilai bahasa Indonesia paling rendah 50 (lima puluh). Jika kalimat di atas tidak mungkin dipenuhi, lebih baik pasal di atas tidak dimunculkan dalam perda. NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 78 Selanjutnya, bunyi kalimat (d) di atas perlu ditanyakan, siapakah yang dinyatakan gugur? Oleh karena tidak ada subjeknya, kalimat tersebut bukan proposisi dan jelas tidak logis. Kalimat tersebut akan logis jika kemunculan subjek dihadirkan, seperti di bawah ini. (d) Apabila bakal calon pada saat pelaksanaan ujian tulis tidak dapat mengikuti seluruh materi ujian, yang bersangkutan dinyatakan gugur. Adanya kesalahan berbahasa Indonesia dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 9 Tahun 2010 tentu akan berimplikasi terhadap penggunanya. Misalnya, dalam pembentukan Peraturan Bupati Nomor 66 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Desa sebagai tindak lanjut perda tersebut. Meskipun Peraturan Bupati tersebut telah menggunakan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai salah satu sumber hukum, sedangkan Peraturan Daerah Bojonegoro tersebut masih digunakan sebagai salah satu sumber hukum, maka kesalahan berbahasa akan terjadi dalam Peraturan Bupati pula, seperti berikut ini. Kesalahan pemakaian huruf kapital terdapat pada contoh di bawah ini. (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggara Pemerintah Desa, .... (b) Panitia Pemilihan dilarang : a. Terlibat langsung atau tidak langsung.... b. Melakukan tindakan yang bersifat dikriminatif.... (c) .... sebagaimana dimaksud pada pasal 50 .... Seharusnya, kata yang ditulis miring di atas ditulis atas, terlibat, melakukan (huruf pertama kecil), dan Pasal. Kesalahan penulisan kata terdapat pada contoh di bawah ini. (a) .... atau ijasah atau KTP.... (b) ....diwilayah kerja kecamatan (c) ....diluar Perangkat Desa. (d) ....pada ayat (1) diatas (e) ....tinggal didesa.... Seharusnya, kata yang ditulis miring di atas ditulis ijazah, di wilayah, di luar, di atas, dan di desa karena di berfungsi sebagai kata depan, bukan awalan. Kesalahan pilihan kata terdapat pada contoh di bawah ini. (a) Peraturan Bupati Bojonegoro adalah merupakan jenis peraturan.... (b) ....suara sah terbanyak.... (c) Calon anggota BPD tidak boleh ditetapkan .... Seharusnya, kata yang ditulis miring di atas ditulis adalah atau merupakan (salah satu), paling banyak, dan dilarang. Kesalahan bentuk kata terdapat pada contoh di bawah ini. (a) ....sebagai Pengganti Antar Waktu.... Seharusnya, kata yang ditulis miring di atas ditulis Antarwaktu. Kesalahan susunan kalimat efektif terdapat pada contoh di bawah ini. (a) Apabila hanya terdapat 1 (satu) Bakal Calon Perangkat Desa Lainnya, maka dapat dilaksanakan pengisian Perangkat Desa Lainnya dengan calon tunggal NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 79 setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Kepala Desa. Seharusnya, susunan kalimat di atas disusun sebagai berikut. (a) Apabila hanya terdapat 1 (satu) Bakal Calon Perangkat Desa Lainnya, pengisian Perangkat Desa Lainnya dilaksanakan dengan calon tunggal setelah mendapat persetujuan Kepala Desa. Kesalahan kelogisan kalimat efektif terdapat pada contoh di bawah ini. (b) Apabila nilai standart kelulusan telah diturunkan menjadi ratarata 50 (lima puluh) termasuk nilai pengetahuan agama, tidak terdapat calon yang mencapai nilai dimaksud, maka panitia mengumumkan tidak terdapat calon yang lulus. Setelah pengumuman tersebut paling lama dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari maka Panitia membuka pendaftaran baru. Seharusnya, kelogisan kalimat efektif terpenuhi jika ditulis sebagai berikut. (c) Jika nilai standar kelulusan telah diturunkan menjadi rata-rata 50 (lima puluh), tidak termasuk nilai pengetahuan agama, tidak terdapat calon yang mencapai nilai dimaksud, panitia mengumumkan tidak terdapat calon yang lulus dan membuka pendaftaran ulang paling lama 14 (empat belas) hari sejak pengumuman. Implikasi lebih lanjut, sehubungan dengan kesalahan berbahasa dalam Perda Bojonegoro dan Peraturan Bupati tersebut akan berimplikasi terhadap semua dokumen resmi desa yang berada di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Hal itu terjadi karena bentuk-bentuk peraturan atau keputusan pemerintahan desa selalu merujuk pada sumber hukum Perda Bojonegoro maupun Peraturan Bupati Bojonegoro. SIMPULAN Simpulan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan pembahasan penelitian ini adalah terdapat kesalahan berbahasa Indonesia dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bojonegoro Nomor 9 Tahun 2010. Kesalahan tersebut terdapat pada (1) aspek ejaan dan tanda baca, (2) aspek pilihan kata, (3) aspek penulisan bentuk kata, (4) aspek susunan kalimat efektif, dan (5) aspek kelogisan kalimat. Kesalahan berbahasa tersebut terjadi karena perancang atau penyusun perda (a) tidak memiliki kemampuan kebahasaan, (b) enggan membaca dan memahami Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan dan Pembentukan Istilah, (c) tidak membaca secara sungguh-sungguh Bab II-III Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagai salah satu sumber hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, (d) tidak atau belum mengindahkan kaidah tata bahasa baku, dan (e) tidak melibatkan ahli bahasa sebagai pendamping. Implikasinya, terjadi kesalahan berbahasa Indonesia terhadap semua dokumen resmi desa di seluruh wilayah Bojonegoro karena dokumen tersebut merujuk pada Peraturan Daerah Bojonegoro dan Peraturan Bupati Bojonegoro. NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 80 Saran Beberapa saran perlu disampaikan kepada (1) peneliti berikutnya agar melakukan penelitian ulang pada kesalahan aspek berbahasa dalam peraturan daerah di luar Kabupaten Bojonegoro, (2) perancang atau penyusun peraturan perundangundangan memahami dan menguasai kaidah tata bahasa Indonesia baku, dan atau mengikutsertakan ahli bahasa, (3) Sekretaris Daerah Bojonegoro berkenan mengkonsultasikan ulang bentuk peraturan perundang-undangan daerah kepada ahli bahasa yang lebih mampu sebelum peraturan tersebut diundangkan, dan (4) Bupati Bojonegoro berkenan meninjau ulang keberadaan Perda Kabupaten Bojonegoro Nomor 9 Tahun 2010 terhadap beberapa ketentuan yang bertentangan dengan kaidah tata bahasa Indonesia baku. DAFTAR RUJUKAN Arifin, E. Z. 1998. Cermat Berbahasa Indonesia: untuk Pelajar, Mahasiswa, dan Guru. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Badudu, J. S. 1980. Membina Bahasa Indonesia Baku. Bandung: Pustaka Prima. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, Metode, dan Tekniknya. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Moloeng, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Cet. Ke-27. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muslich, M. 2010. Garis-garis Besar Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka utama. Parera, J. D. 1988. Sintaksis. Jakarta: Gramedia. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Salinan sesuai dengan aslinya. Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, Kepala Biro Hukum dan Organisasi. Putrayasa, I. B. 2009. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Gaya). Bandung Refika Aditama. Setyawati, N. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia: Teori dan Praktik. Cet. II. Surakarta: Yuma Pustaka. Soedjito. Kalimat Efektif. Bandung: Rosdakarya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Praturan Perundang-undangan. 2004. Jakarta: Sinar Grafika. NOSI Volume 2, Nomor 1, Februari 2014___________________________________Halaman | 81