JURNAL GAYA KOMUNIKASI ANTAR WARGA ORMAS ISLAM (Studi Pada Gaya Komunikasi Antara Warga Ormas NU dan Warga Ormas Muhammadiyah Di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur) Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Diajukan Oleh: Suryo Adhi Tama D1214072 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016 1 GAYA KOMUNIKASI ANTAR WARGA ORMAS ISLAM (Studi Pada Gaya Komunikasi Antara Warga Ormas NU dan Warga Ormas Muhammadiyah Di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur) Suryo Adhi Tama Dwi Tiyanto Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The social gap can be explained that NU represents “traditionalist movement”, while Muhammadiyah denoted as “modernist movement”. It can be seen that the bias village agrarian society, and the past in NU. Instead, the city bias and contemporary industrial society can be seen in Muhammadiyah. Regarding to these issue, a study was conducted to determine how communication styles that occur in the community in the Ambulu village, both within the NU and Muhammadiyah society. To answer the problem formulation, this study uses analysis communication style and hight context / low context culture. Where the communication style as what is in the NU and Muhammadiyah society, then linked to the culture of high-level communication / low between them. Assertive communication style is done by NU and Muhammadiyah as well. These two organizations have the same communication level and balanced, no more dominant organisation among others. Passive communication styles are applied in a communications between people to people and the teenagers to the ulema (moslem theologian), or from teenagers to older people and ulema. Based on the analysis of public communication style between NU and Muhammadiyah which associated to the high context culture, it has tendency to be on the high context culture. Passive communication style that has a tendency to high context culture. The more often a person face the situation that inspires a sense of tolerance, it will influencing their social behaviour. Such behaviuor is unconsciously also used when a person communicates assertively or on the same level. Thus creating an attitude of hospitality that impact the creation of tolerance among others. Keywords : Communication style, Communication, NU, Muhammadiyah. High 1 Context and Low Context Pendahuluan Manusia diciptakan sebagai satu – satunya makhluk tuhan yang memiliki akal dan pikiran. Sejatinya manusia telah dibekali dengan potensi untuk saling bertukar pesan atau berkomunikasi antar sesama dalam menjalani hidupnya. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mampu hidup berdiri sendiri di dunia ini untuk memenuhi kebutuhnnya sehari – hari. Manusia tentu mempunyai keinginan untuk saling berinteraksi dengan individu lainnya, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam berinteraksi dan berhubungan dengan individu lainnya, manusia tidak akan bisa lepas dengan komunikasi. Untuk menjalin hubungan dan membangun interaksi sosial di masyarakat, secara tidak langsung manusia harus memiliki komunikasi yang baik dengan lawan bicaranya. Ketika berkomunikasi kita menyampaikan pesan dengan harapan penerima pesan dapat memahami maksud atau isi pesan yang kita berikan. Namun pada prakteknya tidak jarang pula tedapat kekeliuran yang terjadi dalam berkomunikasi. Menyampaikan pesan atau informasi secara egois dengan kapasitasnya sendiri tanpa memikirkan lawan bicara, pada akhirnya akan memunculkan kekelirua dalam berkomuniksi. Hal ini harus dihindari karena komunikasi senantiasa melibatkan orang lain. Asnawir dan Basyirudin Ustman (2002) menjelaskan bahwa komunikasi memiliki fungsi tidak hanya sebagai pertukaran informasi dan pesan, tapi sebagai individu dan kelompok mengenai tukar-menukar data, fakta dan ide. Agar komunikasi berlangsung efektif dan informasi yang disampaikan oleh seorang komunikan dapat diterima oleh komunikator, maka seorang komunikan perlu menetapkan pola komunikasi yang baik pula. Komunikasi yang tidak efektif menyebabkan beberapa masalah sosial seperti masalah permusuhan antar masyarakat, bunuh diri, perceraian, keretakan hubungan antara orang tua dan anak, hingga tidak jarang terjadi konflik antar suku budaya. Kemajemukan budaya yang ada pada kehidupan manusia merupakan fakta sosial dan nyata yang harus kita terima. Fakta kemajemukan budaya tersebut mengindikasikan bahwa manusia dapat dibedakan berdasarkan suku, agama, dan 2 ras. Bahkan terhadap individu pun dapat pula dibedakan dalam hal pemikiran atau dalam presepsi tertentu. Indonesia merupakan negara yang mengakui secara sah beberapa agama dan aliran kepercayaan. Dalam interaksi sosial kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan kenyataan beragam perbedaan. Kusmadewi(2010), menyatakan bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia termasuk faham agama dapat menjadi salah satu pemicu perbedaan /konflik. Apabila dilihat dari prespektif islam, dasar-dasar untuk hidup bersama di tengah-tengah masyarakat yang pluralistik secara relegius sejak semula memang telah dibangun atas landasan normatif dan historis. Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian membawa masyarakat islam untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lainnya. Pertemuan budaya dengan masyarakat lain melahirkan tarik menarik serta perkawinan masyarakat yang lainnya. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk beragama islam terbanyak didunia berdasarkan populasi dengan jumlah umat islam di Indonesia 199.959.285 jiwa atau 85,2% dari jumlah penduduk Indonesia. (www.en.wikipedia.org diakses pada 27 April 2016, Pukul 10.00 WIB ). Meskipun dengan jumlah dominan populasi penduduk yang beragama islam, indonesia berdiri bukan sebagai negara islam didunia. Keberadaan dan penyebaran islam di Indonesia tidak dapat terlepas dari organisasi islam terbesar NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Kedua ormas ini turut memberikan warna tersendiri dalam perjalanan sejarah Indonesia, terutama pada masa pra-kemerdekaan. Sejak disahkan sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, perjalanan kedua organisasi ini senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Kajian NU dan Muhammadiyah di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi 3 defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan(Qodir, 2001). Nahdlatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Kelahiran NU pada dasarnya merupakan muara perjalanan panjang sejumlah ulama pesantren di awal abad ke-20 yang berusaha mengorganisir diri dan berjuang demi melestarikan budaya keagamaan kaum muslim tradisional, di samping kesadaran untuk ikut mengobarkan semangat nasionalisme. NU menganut Ahlu al-Sunnah wa al- Jamaah, yang merujuk pada al-Qur’an, Sunnah Nabi Muhammad s.a.w dan Sunnah Khulafa’ al-Rasyidun yang secara teoritis dan faktual banyak terkait dengan konsep teologis Abu Hasan alAsy’ari dan Abu Hasan al-Maturidi serta empat mazhab dalam fiqih Islam. (Subiantoro, 2002 : 6-7) Sedangkan ormas muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Kata Muhammadiyah berasal dari kata Muhammad yaitu nama Rasulullah s.a.w, yang diberi tambahan ya’ nisbah dan ta’ marbuthah. Artinya bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi yang mengikuti jejak perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi masyarakat yang didasari ilmu keagamaan lahir untuk menjawab tantangan zaman berkaitan dengan situasi modern di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 Nopember 1912. (Noer, 1985) Sejak awal terbentuk dan berdiri, keberadaan dua organisasi ini sangat memberikan pengaruh besar di tengah – tengah masyarakat. Sampai sekarang kedua organisasi islam ini tetap menjadi wadah bernaungnya orang-orang Islam yang ingin terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan, serta sebagai bagian tak terpisahkan dari seluruh aktivitas keagamaan. Terdaulat menjadi organisasi islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat yang bergerak di bidang sosial budaya kemasyarakatan. Melakukannya dengan pendekatan yang berbeda, keduanya memiliki minat untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat dalam cakupan ruang lingkup masyarakatnya. Perbedaan tersebut 4 cukup disayangkan dengan sering dipermasalahkan dan mengakibatkan antara NU dan Muhammadiyah memiliki ruang jarak yang cukup mencolok, sehingga menjadikan kedua organisasi itu jaraknya terlalu lebar. Di provinsi Jawa Timur, interaksi sosial masyarakat NU-Muhammadiyah dapat dijumpai di beberapa tempat. Salah satu tempat berinteraksi antar warga kedua ormas ini adalah Desa Ambulu, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember – Jawa Timur. Pada masa penjajahan belanda, banyak orang dari luar yang didatangkan dan dipekerjakan untuk menanam berbagai komoditi yang dikehendaki pemerintahan kolonial. Dengan kesuburan tanah yang baik, wilayah Ambulu dapat menghasilkan komoditi berupa rempah-rempah, karet, hingga tembakau. Dimasa itu pemerintah kkolonial menamai wilayah Ambulu dengan sebutan “Ambugelu”. Karena dalam pelafalannya lidah masyarakat kurang familiar, yang terdengar hanya kata “Ambulu”. Di Desa Ambulu telah lama hidup berdampingan antara NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini hingga kini telah mempunyai perlengkapan dalam menjalankan dakwah seperti tempat ibadah, pendidikan dan berbagai usaha warga dalam mencari nafkah. Keberadaan perangkat dakwah di desa Ambulu yang terpencar-pencar, memaksa setiap individu untuk berhubungan secara langsung dengan individu-individu masyarakat lainnya. Berbagai interaksi antar individu menyebabkan perbedaan keduanya dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu tampak. Bukti adanya interaksi sosial dan toleransi antar kelompok ini tercermin dari kegiatan bersama antar warga yang sebenarnya berlainan organisasi kelompok Islam di Desa Ambulu, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember – Jawa Timur. Kerukunan yang tercipta antara NU dan Muhammadiyah nampak cukup jelas di Desa Ambulu ini. Menghormati perbedaan ajaran yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan rasa toleransi yang tinggi dalam manjalani kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya masalah doa qunut waktu shalat subuh atau jumlah rakaat shalat tarawih. Masyarakat Desa Ambulu, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember – Jawa Timur yang mayoritas adalah NU tidak akan mencela orang Muhammadiyah yang tidak menggunakan doa qunut 5 atau hanya mengerjakan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat. Mereka tetap menghargai masing-masing dan tidak mempermasalahkan apakah itu orang NU atau orang Muhammadiyah, tetapi yang penting adalah satu yaitu Islam. Diperlukan waktu yang lama dan proses yang cukup panjang hingga tercipta keadaan masyarakat yang seperti ini, bahkan harus melewati berbagai cobaan seperti konflik antar organisasi masyarakat. Gaya komunikasi yang diterapkan oleh masyarakat desa Ambulu cukup ampuh menjaga kondisi kehidupan ditengah perbedaan. Gaya komunikasi adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dan berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Perbedaan antara gaya komunikasi antara satu orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi, dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi (Ardianto, 1999). Gaya komunikasi masyarakat NU dan Muhammadiyah tidak lepas dari adanya bias konsep kehidupan yang cukup jelas dari keduanya. Melihat fenomena-fenomena diatas, peneliti tertarik untuk menulis jurnal skripsi dengan judul “GAYA KOMUNIKASI ANTAR WARGA ORMAS ISLAM (Studi Pada Gaya Komunikasi Antara Warga Ormas NU dan Warga Ormas Muhammadiyah Di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur)” Rumusan masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah tersebut sebagai berikut : 1. Bagaimana gaya komunikasi yang dilakukan warga dari kalangan ormas NU dan warga kalangan ormas Muhammadyah di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur dalam kehidupan sehari-hari? 2. Bagaimanakah pengaruh high context/low context culture terhadap gaya komunikasi warga dari kalangan ormas NU dan warga kalangan ormas Muhammadyah di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur dalam kehidupan sehari-hari? 6 3. Bagaimana efektifitas gaya komunikasi yang digunakan warga dari kalangan ormas NU dan warga kalangan ormas Muhammadyah di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur dalam kehidupan sehari-hari? Tinjauan Pustaka A. Komunikasi Komunikasi adalah pertukaran informasi, ide, sikap, emosi, pendapat, atau instruksi antar individu atau kelompok yang bertujuan untuk menciptakan sesuatu, memahami, dan mengkoordinasikan suatu aktivitas (Liliweri, 2011). Komunikasi berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Komunikasi didefinisikan sebagai “proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk merubah tingkah laku mereka” (Cangara, 1998). B. Communication Style Communication style didefinisikan sebagai a cognitive process which accumulates ‘micro behavior’ form-giving of literal content, and adds up to macro judgement. When a person communicates, it is considered an attempt of getting literal meaning across (proses kognitif yang mengakumulasikan bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro. Setiap style selalu merefleksikan bagaimana setiap orang menerima dirinya ketika dia berinteraksi dengan orang lain (Norton 1983; Kirtley&Weaver, 1999)). Heffner mengklasifikasikan ulang communication style dari (McCallister, 1992) ke dalam tiga gaya, yakni: a). Pasif (passive style), gaya seseorang yang cenderung menilai orang lain selalu benar dan lebih penting daripada diri sendiri. b). Tegas (assertive style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara tegas mempertahankan dan membela hak-hak sendiri demi mempertahankan hak-hak untuk orang lain. c). Agresif (aggresive style), gaya seorang individu yang selalu membela hakhaknya sendiri, merasa superior, dan suka melanggar hak orang lain serta mengabaikan perasaan orang lain 7 C. High/Low Context Culture Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall dalam (Liliweri, 2011) mengkaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Hall terlebih dahulu membedakan high context culture dengan low context culture. Low context culture ditandai dengan low context communication seperti pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung lugas dan berterus terang. Para penganut budaya ini mengatakan bahwa apa yang mereka maksudkan (they say what they mean) adalah apa yang mereka katakan (they mean what they say). Sebaliknya, high context culture seperti kebanyakan pesan yang bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang, pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dibalik perilaku nonverbal, intonasi suara dan gerakan tangan. D. Masyarakat NU dan Muhammadyah 1. Masyarakat NU Masyarakat Nahdlatul Ulama adalah umat islam yang berpegang teguh dengan pemahaman keagamaan yang dikenal dengan istilah Fikrah Nahdhiyah. Fikrah Nahdhiyah adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada ajaran Ahlussunah yang dijadikan landasar berpikir Nahhaul Ulama (khithah Nahdhiyin) untuk menenutukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah (perbaikan umat). Dalam merespon persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, masyarakat Nahdhatul Ulama memiliki manhaj Ahlususnnah sebagai berikut: Masyarakat NU menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al- Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat 8 madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Ciri-ciri fikrah Nahdhiyah adalah: a). Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan iātidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdhatul Ulama tidak tafrits atau ifrath. b). Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda. c). Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artiya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-ashlah). d). Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon persoalan, e). Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis) artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU. Ide dan konsep Fikrah Nahdhiyah ini pertama kali dianjurkan oleh K.H. Achmad Siddiq pada 1969 yang selanjutnya menjadi embrio gerakan Khittah pada tahun 1984. Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU (Nugroho, 2012). 2. Masyarakat Muhammadiyah Islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesame muslim maupun dengan non-muslim, dalam hubungan ketetanggaan 9 bahkan Islam memberikan perhatian sampai ke area 40 rumah yang dikategorikan sebagai tetangga yang harus dipelihara hak-haknya. Setiap keluarga dan anggota keluarga Muhammadiyah harus menunjukkan keteladanan dalam bersikap baik kepada tetangga, memelihara kemuliaan dan memuliakan tetangga, bermurah-hati kepada tetangga yang ingin menitipkan barang atau hartanya, menjenguk bila tetangga sakit, mengasihi tetangga /sebagaimana mengasihi keluarga/diri sendiri, menyatakan ikut bergembira/senang hati bila tetangga memperoleh kesuksesan, menghibur dan memberikan perhatian yang simpatik bila tetangga mengalami musibah atau kesusahan, menjenguk/melayat bila ada tetangga meninggal dan ikut mengurusi sebagaimana hak-hak tetangga yang diperlukan, bersikap pemaaf dan lemah lembut bila tetangga salah, jangan selidik-menyelidiki keburukan-keburukan tetangga, membiasakan memberikan sesuatu seperti makanan dan oleh-oleh kepada tetangga, jangan menyakiti tetangga, bersikap kasih sayang dan lapang dada, menjauhkan diri dari segala sengketa dan sifat tercela, berkunjung dan saling tolong menolong, dan melakukan amar ma'ruf nahi munkar dengan cara yang tepat dan bijaksana. Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan Agama Islam. Dalam hubungan-hubungan sosial yang lebih luas setiap anggota Muhammadiyah baik sebagai individu, keluarga, maupun jama'ah (warga) dan jam'iyah (organisasi) haruslah menunjukkan sikap-sikap sosial yang didasarkan atas prinsip menjunjung-tinggi nilai kehormatan manusia, memupuk rasa persaudaraan dan kesatuan kemanusiaan, mewujudkan kerjasama umat manusia menuju masyarakat sejahtera lahir dan batin, memupuk jiwa toleransi, menghormati kebebasan orang lain61, menegakkan budi baik, menegakkan amanat dan keadilan, perlakuan yang sama, menepati janji, menanamkan kasihsayang dan mencegah kerusakan, menjadikan masyarakat menjadi masyarakat yang shalih dan utama, bertanggungjawab atas baik dan buruknya 10 masyarakat dengan melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, berusaha untuk menyatu dan berguna/bermanfaat bagi masyarakat, memakmurkan masjid, menghormati dan mengasihi antara yang tua dan yang muda, tidak merendahkan sesama, tidak berprasangka buruk kepada sesama, peduli kepada orang miskin dan yatim, tidak mengambil hak orang lain, berlomba dalam kebaikan, dan hubunganhubungan Islam yang sebenar-benarnya. Melaksanakan gerakan jamaah dan da'wah jamaah sebagai wujud dari melaksanakan da'wah Islam di tengah-tengah masyarakat untuk perbaikan hidup baik lahir maupun batin sehingga dapat mencapai cita-cita masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Metodologi Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penulis melakukan pengamatan dilapangan mengenai kegiatan komunikasi, yang dilakukan oleh masyarakat Desa Ambulu, Kecamatan, Ambulu, Kabupaten Jember, Jawa Timur, serta mengamati perilaku masyarakat dalam melakukan interaksi kehidupan sehari-hari. Teknik pengambilan sample yang digunakan yaitu teknik Purposive Sampling dan Snowball Sampling. Teknik Purposive Sampling dilakukan pada saat peneliti mencari narasumber utama, berdasarkan data yang peneliti dapatkan. Narasumber dianggap kompeten karena memiliki peran penting dalam menjaga kerikunan dan keharmonisan antar sesama umat beragama, setelah mandapatkan narasumber utama. Narasumber dipilih dengan memetakan wilayah desa menjadi 5 bagian, yaitu barat, utara, timur, selatan, dan tengah. Narasumber dipilih sesuai keyakinan mereka sebagai golongan masyarakat NU ataupun Muhammadyah. Jumlah warga yang menjadi responden dari masing-masing ormas NU maupun ormas Muhammadiyah sebanyak 6 orang, sehingga total keseluruhannya adalah 12 orang. Rincian respondan terbagi 3(tiga) kategori, yaitu remaja 2 orang, masyarakat umum 2 orang, dan ulama 2 orang. Teknik validitas dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber. Menurut Patton dalam H.B Sutopo (2002:79), teknik ini mengarahkan peneliti 11 untuk memakai berbagai sumber data yang berbeda, guna memantapkan kebenaran pada data yang sama/sejenis, dalam mengulas data ini. Sajian dan Analisis Data A. Gaya Komunikasi yang Dilakukan Warga Dari Kalangan Ormas NU dan Warga Ormas Muhammadiyah Di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur Dalam Konteks Kehidupan Sehari-hari. Peneliti mencoba menganalisis gaya komunikasi yang ada dalam hubungan masyarakat pada masing-masing ormas NU dan ormas Muhammadiyah. Gaya komunikasi di antara lapisan masyarakat masing-masing ormas baik NU maupun Muhammadiyah ini mempunyai peranan yang cukup penting kaitannya dalam mempertahankan dan menjaga kedamaian hidup bermasyarakat di desa Ambulu yang majemuk. Analisis yang dilakukan menggunakan 3 gaya utama komunikasi gaya pasif, gaya asertif ,dan gaya agresif berdasarkan indikator yang dibuat oleh Myers-Briggs dalam (Liliweri, 2011). Berdasarkan hasil analisis dari penelitian yang sudah dilakukan mengenai Gaya Komunikasi Masyarakat NU ( Nahdlatul Ulama ) dan Muhammadiyah di desa Ambulu, Jember, Jawa Timur, dapat digambarkan dalam piramida berikut: Gambar 1. Pola Komunikasi 12 Semakin berada di puncak piramida, tingkatan berpengaruhnya dalam mengendalikan situasi yang kondusif pada lapisan masyarakat semakin tinggi dan bentuk gaya komunikasinya cenderung agresif. Begitupula sebaliknya, semakin berada pada tingkatan bawah piramida porsi pengaruh masyarakat tidak sama dengan yang ada diatasnya. Hal ini membuat lapisan masyarakat yang berada di lapisan bawah cenderung menggunakan gaya komunikasi pasif karena bentuk budaya masa lalu yang masih dipegang teguh, yaitu selalu menghormati yang lebih tua atau memilki tingkatan ilmu keagamaan yang lebih baik. Sedangkan gaya komunikasi asertif diterapkan oleh masyarakat NU dan Muhammadiyah yang berada pada tingkatan yang sama. Hal ini tentu disebabkan oleh komunikasi yang terjadi pada tingkatan yang sama bersifat seimbang, tidak ada yang lebih dominan antara satu dengan yang lainnya. B. Pengaruh high context/low context culture terhadap gaya komunikasi warga dari kalangan ormas NU dan warga kalangan ormas Muhammadyah di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur dalam konteks kehidupan sehari-hari High context culture yang terdapat dalam hubungan masyarakat NU dan Muhammadiyah di Desa Ambulu yaitu bersikap kooperatif. Bersikap kooperatif yang dimaksud adalah masyarakat NU dan Muhammadiyah di desa Ambulu Kabupaten Jember sekarang sudah bisa berbaur dan hidup berdampingan dengan baik. Disaat menjadi warga desa Ambulu, maka harus siap melepas baju sebagai NU ataupun Muhammadiyah. Akan tetapi menjadi warga Ambulu yang dapat hidup harmonis berdampingan. Masing-masing sari kedua ormas juga mengakui bahwa ketika menjelaskan sesuatu maka peranan tanda-tanda nonverbal sangat penting karena dia memperkuat pesan verbal Salah satu karakteristik komunikasi konteks tinggi adalah ketika menjelaskan sesuatu maka peranan tanda-tanda nonverbal sangat penting karena dia memperkuat pesan verbal tergambar dari pernyataan masyarakat NU maupun Muhammadiyah di desa Ambulu. Bahasa nonverbal tersebut diantaranya, mengangkat jempol, senyum dan menggelengkan atau menganggukkan kepala. 13 Dengan dukungan bahasa nonverbal ini komunikan atau penerima pesan diharapkan bisa mengetahui dan maksud dari komunikator secara jelas dan menerim pesan secara utuh. Sedangkan low context culture yang ada dalam hubungan masyarakat NU dan Muhammadiyah di Desa Ambulu yaitu mengetahui dan mengetahui sedikitsedikit tentang segala sesuatu, sikap ini hampir merata melekat pada setiap individu pada masing-masing ormas. Perjalanan ormas yang cukup panjang dan sudah berbeda generasi, membuat pemahaman sejarah atau kebiasaan di masingmasing ormas manjadi ringkas. Bagi mereka yang lebih penting adalah menjaga keharmonisan hidup beragama dan bernegara. Selain itu menerima dan memberikan informasi merupakan tujuan pertukaran komunikasi. Sebagai warga desa yang majemuk tentu banyak masalah-masalah ataupun isue-isue yang berkembang pesat ditengah-tengah masyarakat. Sudah menjadi budaya masyarakat indonesia bahwa apabila ada sebuah isue yang berkembang dan menarik untuk dibahas, maka informasi tersebut akan cepat tersebar dan semakin melebar. Disisi lain masyarakat masing-masing ormas mempercayai bahwa keputusan dan kehidupan mereka dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang tidak dapat mereka ubah atau terjadi secara kebetulan atau nasib. Tatanan lingkugan sosial keluarga tentu paling utama dalam mempengaruhi keputusan seseorang dalam memilih ormas mana yang akan ia gunakan untuk bernaung. Selanjutnya tentu lingkungan bermasyarakat mulai dari tetangga sekitar rumah. C. Efektifitas Gaya Komunikasi Warga dari Kalangan Ormas NU dan Warga Kalangan Ormas Muhammadyah di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur dalam Kehidupan Sehari-Hari. Gaya komunikasi agresif adalah gaya komunikasi yang dominan dalam hubungan masyarakat antar ormas NU dan Muhammadiyah di desa Ambulu. Dalam gaya komunikasi agresif para ulama cukup efektif dan efisien untuk dijadikan poros penggerak aksi dama antar ormas NU dan Muhammadiyah. Hal ini wajar karena seorang kiyai atau ulama tentu dipandang orang yang dapat dijadikan panutan oleh umatnya. Disaat ada kesempatan bermusyawarah 14 selalu dominan dalam berkomunikasi lumrah terjadi, mengingat lingkungan budaya jawanya yang masing kental untuk menerapkan sikap “unggah-ungguh” atau bertatakrama dengan baik. Dengan adanya presepri tersebut, maka dapat dijadikan senjata guna meredam gesekan-gesekan yang dilatar belakangi apapun. Sedangkan gaya komunikasi asertif yaitu masyarakat dapat terbuka dalam arti mereka dapat akur dengan berbagai teman dan juga bisa berbicara secara santai maupun bergurau pada teman angkatannya. Selain itu sikap konsisten dalam ranah untuk menjaga keharmonisan sesama masyarakat desa, sehingga harus benar-benar jelas dalam berkomunikasi dapat digolongkan sebagai komunikasi konteks tinggi. Gaya berkomunikasi yang humanis dan mengandalkan sejarah sebagai orang jawa yang penuh dengan sopan santun, hal ini dianggap efektif dalam menjaga kedamaian saat berkomunikasi dengan sesamanya. Komunikasi level vertikal ke atas secara pasif dan komunikasi asertif yang ada pada level horizontal sangat berpengaruh penting dalam membentuk pola pikir dan karakter masyarakat desa Ambulu. Pada level usia atau angkatan yang sama akan saling mendukung dan menjaga satu sama lain karena adanya budaya sikap humoris dan suka berguyon, sehingga membuat suasana lebih cair saat semua tertawa bersama. Selain itu didukung sikap sadar diri, tidak pernah bicara lebih dulu pada level vertikal ke atas semakin membuat suasana pada level remaja yang biasa penuh dengan rasa gengsi, menjadi kondusif jikalau pada level atas atau ulama mendinginkan dengan “wejangan” atau nasehatnya. Sebagai masyarakat jawa, tentu konteks komunikasi tingkat tinggi berperan penting dalam memberikan nasihat atau sekedar berkomunikasi dengan sesama warga desa yang memiliki latar belakang budaya ormas yang berbeda. Efisiensi saat berkomunikasi antar masyarakat sangat diperhitungkan dengan baik secara pribadi agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penerima. Sikap kooperatif dalam berkomunikasi turut menjaga perasaan masingmasing warga yang tentu berdampak pada sikap warga yang terlibat dalam komunikasi tersebut. 15 Kesimpulan Gaya komunikasi yang dilakukan warga dari kalangan ormas NU dan warga ormas Muhammadiyah di desa Ambulu, Jember, Jawa timur dalam kehiupan sehari-hari terlihat menggunakan gaya komunikasi yang bertingkat. Hal ini terlihat dengan adanya komunikasi pasif ketika remaja berkomunikasi dengan masyarakat umum yang lebih tua atau kepada kiyai. Semakin ke atas piramida, maka tingkatan pengaruhnya untuk mengendalikan keadaan dan stabilitas sosial masyarakatnya semakin tinggi. Begitupun sebaliknya, semakin ke bawah status siswa semakin rendah yang menjadikan mereka kemudian menerapkan gaya komunikasi pasif. Hal ini tentu tidak jauh-jauh dari lestarinya adat istiadat jawa untuk menghormati yang lebih tua, dan menanggap kiyai sebagau guru sekaligus panutan hidupnya. Selain komunikasi bertingkat yang dilakukan oleh masing-masing warga dari ormas NU dan ormas Muhammadiyah, terdapat pula gaya komunikasi asertif dan pasif yang dilakukan untuk menjaga kedaan yang nyaman, aman, dan kondusif. Gaya komunikasi asertif dilakukan oleh masyarakat desa Ambulu baik pada ormas NU maupun Muhammadiyah yang berada pada tingkatan yang sama karena komunikasi yang terjadi pada tingkatan yang sama bersifat seimbang, tidak ada yang lebih dominan antara satu dengan yang lainnya. Keseimbangan tersebut diperlukan untuk saling melengkapi dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki. Sedangkan gaya komunikasi pasif diterapkan dalam komunikasi seorang masyarakat biasa dan remaja kepada kiyai, atau dari remaja kepada masyarakat yang lebih tua dan kiyai. Pengaruh high context/low context culture terhadap gaya komunikasi warga dari kalangan ormas NU dan warga kalangan ormas Muhammadyah di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur dalam kehidupan sehari-hari kecenderung dipengaruhi oleh komunikasi konteks tinggi. Gaya komunikasi pasif yang memiliki kecenderungan kepada budaya konteks tinggi. Hal tersebut terlihat dari komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat disertai dengan kepatuhan dan tingkat kepercayaannya terhadap seseorang yang berada pada usia yang lebih tua atau kedudukan tertinggai, yaitu 16 kiyai. Semakin sering seseorang dihadapkan dengan situasi yang menggugah rasa toleransi, maka akan berdampak pula pada perilaku sosial masing-masing individu dalam menjalankan kehidupannya. Perilaku tersebut secara tidak sadar juga digunakan saat seseorang berkomunikasi secara asertif atau pada tingkatan yang sama. Dengan demikian akan tercipta sikap keramah-tamahan yang imbaskanya terciptanya sikap tolernsi antar sesama. Efektifitas gaya komunikasi warga dari kalangan ormas NU dan warga kalangan ormas Muhammadyah di Desa Ambulu, Jember, Jawa Timur dalam kehidupan sehari-hari cenderung turut dipengaruhi dengan etika berperilaku dalam tradisi jawa. Hal ini tercermin dari sikap saling toleransi, ramah tamah, dan saling berbagi antar sesama. Kondisi lingkungan yang sangat majemuk di Desa Ambulu membuat suasana kehidupan sehari-harinya lebih berwarna. Perbedaan yang ada ditengahtengah kehidupan memberikan nuansa yang berbeda. Hal ini tentu memberikan kesan romantisme pada setiap warganya ketika berkomunikasi, baik dengan topik pembicaraan yang seru maupun yang cukup sentimentil. Efektifitas dalam menerapkan gaya berkomunikasi agresif, asertif, dan pasif ini menjadi cukup mudah, hal ini tidak lain karena dasar budaya masyarakat ambulu yang masih menanamkan budaya jawanya dengan menerapkan sikap “unggah-ungguh” atau bertatakrama dengan baik. Dengan adanya presepri tersebut, maka dapat dijadikan senjata guna meredam gesekan-gesekan yang dilatar belakangi apapun. Saran Pemerintahan Desa Ambulu hendaknya selalu mengayomi seluruh masyarakat yang berlatar belakang apapun tanpa membedakan satu sama lain. Selalu menjaga komunikasi dengan warganya agar selalu mengetahui apa saja yang menjadi permasalahan di wilaah Desa Ambulu. Para tokoh masyarakat atau ulama hendaknya memberikan pemahaman tentang perbedaan secara berkelanjutan kepada semua lapisan masyarakat. Perkembangan jaman yang semakin mengikis rasa hormat dan saling menghargai 17 antar sesama tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi tokoh masyarakat dalam menjaga kedamaian lingkungan. Peran masing-masing orang tua dalam membimbing putra-putinya sangat diperlukan. Mengingat intensitas waktu bertemu dan bersinggungan yang cukup panjang adalah saat bersama keluarga. Tentu pengawasan dari orang tua dinilai sangat penting guna tetap menanamkan nilai-nilai budaya lokal, agar identitas bangsa ini tidak hilang termakan waktu. Daftar Pustaka Ardianto Elvinaro. (1999). Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Asnawir dan Basyirudin Ustman. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta; Ciputat Press. Cangara, Hafied. (1998). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Heffner, C.L. (1997). Conmunication Styles. Southern Illionis University Carbondale Mental Health. Web : //http:www.siu.edu/offices/counsel/talk.htm#chart. Noer, Deliar. (1985). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES Nugroho, M. Yusuf Amin. (2012). Fiqh Al-Ikhtilaf Nu-Muhammadiyah. Wonosobo Subiantoro, Rudi. (2002). Profil Lembaga sosial Keagamaan di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI Biro Hukum dan Humas. Sutopo, H.B. (2002). Metodoligi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian.Surakarta: UNS Press 18