Artikel: PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS DI TINGKAT SEKOLAH DASAR Judul: PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS DI TINGKAT SEKOLAH DASAR Bahan ini cocok untuk Perguruan Tinggi bagian IPS / SOCIAL SCIENCE. Nama & E-mail (Penulis): Arief Achmad Mangkoesapoetra Saya Guru di SMAN 21 Bandung Topik: Model Pembelajaran Tanggal: 16 Agustus 2005 Menyongsong Diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi : PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS DI TINGKAT SEKOLAH DASAR Oleh : Drs. ARIEF ACHMAD MSP., M.Pd. Pendahuluan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) secara nasional akan diimplementasikan pada tahun pembelajaran 2004-2005, meskipun semenjak digulirkan (2001) sudah ada beberapa sekolah yang memberlakukannya, dalam bentuk uji coba atau menjadi pilot project dari Depdiknas. Gaung KBK kiranya sudah menggema ke seluruh pelosok persada tanah air tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), khususnya di kalangan pendidikan. Demikian halnya harapan yang sama ditujukan bagi KBK pendidikan IPS di tingkat SD. Tulisan ini mencoba memberikan deskripsi tentang hal-hal apa saja yang perlu diketahui, dipahami, dan diimplementasikan dari KBK IPS di tingkat SD itu. Pendidikan IPS untuk Sekolah Dasar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD harus memperhatikan kebutuhan anak yang berusia antara 6-12 tahun. Anak dalam kelompok usia 7-11 tahun menurut Piaget (1963) berada dalam perkembangan kemampuan intelektual/kognitifnya pada tingkatan kongkrit operasional. Mereka memandang dunia dalam keseluruhan yang utuh, dan menganggap tahun yang akan datang sebagai waktu yang masih jauh. Yang mereka pedulikan adalah sekarang (=kongkrit), dan bukan masa depan yang belum bisa mereka pahami (=abstrak). Padahal bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep seperti waktu, perubahan, kesinambungan (continuity), arah mata angin, lingkungan, ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan, permintaan, atau kelangkaan adalah konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD. Berbagai cara dan teknik pembelajaran dikaji untuk memungkinkan konsep- konsep abstrak itu dipahami anak. Bruner (1978) memberikan pemecahan berbentuk jembatan bailey untuk mengkongkritkan yang abstrak itu dengan enactive, iconic, dan symbolic melalui percontohan dengan gerak tubuh, gambar, bagan, peta, grafik, lambang, keterangan lanjut, atau elaborasi dalam kata-kata yang dapat dipahami siswa. Itulah sebabnya IPS SD bergerak dari yang kongkrit ke yang abstrak dengan mengikuti pola pendekatan lingkungan yang semakin meluas (expanding environment approach) dan pendekatan spiral dengan memulai dari yang mudah kepada yang sukar, dari yang sempit menjadi lebih luas, dari yang dekat ke yang jauh, dan seterusnya : dunia-negara tetangganegara-propinsi-kota/kabupaten-kecamatan-kelurahan/desa-RT/RW-tetanggakeluarga-Aku. Pola Pendekatan Lingkungan yang Semakin Meluas Pembelajaran IPS SD akan dimulai dengan pengenalan diri (self), kemudian keluarga, tetangga, lingkungan RT, RW, kelurahan/desa, kecamatan, kota/kabupaten, propinsi, negara, negara tetangga, kemudian dunia. Anak bukanlah sehelai kertas putih yang menunggu untuk ditulisi, atau replika orang dewasa dalam format kecil yang dapat dimanipulasi sebagai tenaga buruh yang murah, melainkan, anak adalah entitas yang unik, yang memiliki berbagai potensi yang masih latent dan memerlukan proses serta sentuhan-sentuhan tertentu dalam perkembangannya. Mereka yang memulai dari egosentrisme dirinya kemudian belajar, akan menjadi berkembang dengan kesadaran akan ruang dan waktu yang semakin meluas, dan mencoba serta berusaha melakukan aktivitas yang berbentuk intervensi dalam dunianya. Maka dari itu, pendidikan IPS adalah salah satu upaya yang akan membawa kesadaran terhadap ruang, waktu, dan lingkungan sekitar bagi anak (Farris and Cooper, 1994 : 46). Pendidikan IPS dalam Struktur Program Kurikulum (KBK) SD Pendidikan IPS SD disajikan dalam bentuk synthetic science, karena basis dari disiplin ini terletak pada fenomena yang telah diobservasi di dunia nyata. Konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian dari synthetic science ditentukan setelah fakta terjadi atau diobservasi, dan tidak sebelumnya, walaupun diungkapkan secara filosofis. Para peneliti menggunakan logika, analisis, dan keterampilan (skills) lainnya untuk melakukan inkuiri terhadap fenomena secara sistematik. Agar diterima, hasil temuan dan prosedur inkuiri harus diakui secara publik (Welton and Mallan, 1988 : 66-67). IPS SD diprogramkan dalam bentuk pelajaran Sejarah bersama-sama Kewargaanegara (Citizenship) dengan alokasi waktu 3 jam pelajaran setiap minggu, dan Ilmu Sosial (Social Sciences) sebanyak 3 jam pelajaram setiap minggu sejak kelas III, IV, V, dan VI. Kemungkinan besar alasan pembagian seperti ini dilandasi oleh pertimbangan, bahwa tiga tradisi besar IPS (Social Studies) adalah good citizenship, social sciences, dan reflective inquiry. Tema-tema IPS SD yang Perlu Mendapat Perhatian Secara gradual, di bawah ini akan diungkapkan beberapa tema IPS SD yang perlu mendapat perhatian kita bersama, antara lain : (1) IPS SD sebagai Pendidikan Nilai (value education), yakni : � Mendidikkan nilai-nilai yang baik yang merupakan norma-norma keluarga dan masyarakat; � Memberikan klarifikasi nilai-nilai yang sudah dimiliki siswa; � Nilai-nilai inti/utama (core values) seperti menghormati hak-hak perorangan, kesetaraan, etos kerja, dan martabat manusia (the dignity of man and work) sebagai upaya membangun kelas yang demokratis. (2) IPS SD sebagai Pendidikan Multikultural (multicultural eduacation), yakni � Mendidik siswa bahwa perbedaan itu wajar; � Menghormati perbedaan etnik, budaya, agama, yang menjadikan kekayaan budaya bangsa; � Persamaan dan keadilan dalam perlakuan terhadap kelompok etnik atau minoritas. (3) IPS SD sebagai Pendidikan Global (global education), yakni : � Mendidik siswa akan kebhinekaan bangsa, budaya, dan peradaban di dunia; � Menanamkan kesadaran ketergantungan antar bangsa; � Menanamkan kesadaran semakin terbukanya komunikasi dan transportasi antar bangsa di dunia; � Mengurangi kemiskinan, kebodohan dan perusakan lingkungan. Metode Pembelajaran IPS SD Sesuai dengan karakteristik anak dan IPS SD, maka metode ekspositori akan menyebabkan siswa bersikap pasif, dan menurunkan derajat IPS menjadi pelajaran hafalan yang membosankan. Guru yang bersikap memonopoli peran sebagai sumber informasi, selayaknya meningkatkan kinerjanya dengan metode pembelajaran yang bervariasi, seperti menyajikan cooperative learning model, role playing, membaca sajak, buku (novel), atau surat kabar/majalah/jurnal agar siswa diikutsertakan dalam aktivitas akademik. Tentu saja guru harus menimba ilmunya dan melatih keterampilannya, agar ia mampu menyajikan pembelajaran IPS SD dengan menarik. Penutup Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur program kurikulum KBK, yang menyangkut pembelajaran IPS berikut pembagiannya menjadi Kewarganegaraan (Citizenship) dan Sejarah serta Ilmu Sosial, masih belum jelas kerangka berfikir berikut landasannya. Landasan permasalahan yang menyangkut kondisi kemasyarakatan membebani IPS SD dengan tekanan-tekanan dalam bentuk tuntutan keinginan dan harapan yang tidak sesuai dengan tingkat kematangan fisik, mental, dan intelektual siswa SD, dan berada di luar jangkauan peraihannya. Bagi guru, tekanan dan tuntutan melaksanakan program baru ini juga tidak kecil. Mereka harus dipersiapkan agar mampu menyajikan ilmu sosial untuk jenjang Sekolah Dasar dengan metode-metode pembelajaran yang beragam. DAFTAR PUSTAKA Bruner, J. (1978). The Process of Educational Technology. Cambridge : Harvard University. Farris, P.J. and Cooper, S.M. (1994). Elementary Social Studies. Dubuque, USA : Brown Communications, Inc. Weton, D. A and Mallan, J.T. (1988). Children and Their World. Boston : Houghton Mifflin Coy. Saya Arief Achmad Mangkoesapoetra setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). . CATATAN: Artikel-artikel yang muncul di sini akan tetap di pertanggungjawabkan oleh penulis-penulis artikel masing-masing dan belum tentu mencerminkan sikap, pendapat atau kepercayaan Pendidikan Network. Home Profil Metris Artikel FAQ 0pportunities Peningkatan oleh: Jurusan Jalan Bandung Mutu Matematika Pembelajaran Iwan Institut Ganesha Matematika Teknologi Maret di SD Pranoto Bandung Sepuluh 40132 1999 Abstrak ======= Kita tentunya harus akui bersama bahwa kurikulum sekolah kita terutama matematika di SD tidaklah ideal. Permasalahan utamanya bukanlah miskinnya materi pada kurikulum tersebut, tetapi justru sebaliknya. Kurikulum itu sangat gemuk. Banyak pakar mengusulkan untuk menghapuskan materi pada kurikulum tersebut. Ini tentunya tidak secara otomatis akan menyelesaikan masalah. Mungkin malahan melahirkan permasalahan baru yang lebih runyam. Pada tulisan ini, kami mengajukan suatu langkah strategis selain dengan pemangkasan kurikulum. Langkah ini dapat dimanfaatkan oleh para anak didik, guru, dan orang tua agar anak-anak kita mampu bernalar secara aktif, kreatif, dan kritis melalui proses pembelajaran matematika yang bermutu. 1 Permasalahan dalam ============================================ Pembelajaran Matematika Pada dasarnya kita ketahui bersama bahwa matematika senantiasa ada pada semua kurikulum sekolah. Entah itu tingkat Taman Kanak-kanak sampai tingkat Perguruan Tinggi, matematika senantiasa termasuk salah satu materi yang tercakup dalam kurikulum. Perlukah anak-anak kita di SD belajar matematika? Untuk apakah kita belajar matematika? Belajar matematika adalah sesuatu yang cukup. Ini merupakan suatu syarat kecukupan. Mengapa? Karena -ini untuk menjawab pertanyaan kedua- dengan belajar matematika, kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif. Pendapat ini didukung pendapat dari Dudley di [1]. Sekaligus pada saat yang sama, kita akan mengamati keberdayaan matematika (power of mathematics) dan tentunya menumbuhkembangkan kemampuan learning to learn. Jadi, kecuali untuk mendapatkan daya matematika itu sendiri sebagai alat penyelesai permasalahan dalam kehidupan nyata, kita belajar matematika sebagai suatu wahana yang memfasilitasi kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan peningkatan kepercayaan diri dalam bermatematika. Tentunya kemampuan bernalar yang dipunyai anak didik melalui proses belajar matematika itu akan meningkatkan pula kesiapannya untuk menjadi lifetime learner atau pemelajar sepanjang hayat. Pendapat bahwa seseorang yang belajar matematika akan menjadi pemelajar yang lebih baik bukanlah mitos. Pendapat ini didukung dengan fakta yang dikemukakan di [3] bahwa sebanyak 83 persen siswa yang belajar Geometri dan Aljabar di AS melanjutkan ke college. Ini jauh lebih tinggi dibanding siswa yang tidak belajar hal itu, yaitu hanya 36 persen yang melanjutkan ke college. Perbedaan di atas lebih mencengangkan lagi pada siswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Ternyata, perbandingannya 71 persen lawan 27 persen. Sekarang, kurikulum matematika yang kita gunakan saat ini padat dengan materi. Guru terbebani dengan target untuk menyelesaikan beban materi yang sangat besar. Jika ada dua guru bertemu, yang akan menjadi -bahan pembicaraan adalah sampai di mana pembahasan materi di kelasnya. Bukan mendiskusikan bagaimana menyampaikan suatu materi dengan menarik. Yang terakhir ini sudah tidak sempat lagi diperbincangkan. Dan, tidak relevan dengan keadaan seperti sekarang. Proses pembelajaran matematika yang disediakan di sekolah akibatnya tidak berjalan secara optimal. Mungkin jadi lebih tepatnya, yang ada hanyalah proses pengajaran matematika, bukan pembelajaran. Dalam pelajaran matematika yang seharusnya kita belajar bernalar, telah diubah menjadi pelajaran menghafal. Sangat aneh jika pelajaran matematika diberikan dengan guru yang ceramah di depan kelas atau "berbicara" dengan papan tulisnya, sedangkan muridnya hanya mencatat. Lalu, murid itu akan menghafal semua yang dicatatnya. Dan, pada saat ulangan nanti, murid itu cukup "memuntahkan" kembali info yang dicatatnya atau ditelannya. Ini semua terjadi hampir di setiap kelas. Ini jelas mengasingkan aktivitas bermatematika yang benar dengan pelajaran matematika. Permasalahan lainnya yang perlu disinggung di sini adalah persepsi yang berkembang pada diri anak didik bahwa matematika adalah sesuatu ilmu pengetahuan yang tidak ada manfaatnya. Ini tentunya sangat menyedihkan. Matematika memang suatu ilmu yang abstrak. Mungkin pula sulit dicerna. Ini wajar. Namun, kita sebagai guru haruslah senantiasa berupaya menunjukkan relevansi matematika dalam kehidupan nyata. Ini suatu keharusan. Dengan mekarnya persepsi tentang tidak relevannya atau tak bermanfaatnya matematika, motivasi belajar matematika anak didik menjadi turun. Atau malahan menjadi hilang. Akibatnya, banyak dari anak-anak kita itu menghafal matematika. Ini sangat mengasingkan kebermatematikaan yang benar dari pelajaran matematika di SD. Tidak cukup kita sebagai guru mengatakan bahwa materi dalam matematika itu akan dimanfaatkan kelak. Atau, lebih parah lagi, kita janganlah menyatakan bahwa materi yang kita pelajari ini memang saat sekarang belum ada gunanya, namun akan dimanfaatkan di masa mendatang. Jauh lebih baik jika kita berupaya menunjukkan keberdayaan matematika dengan mengaitkannya pada permasalahan sederhana sehari-hari kita. Memang ini artinya mensyaratkan guru harus belajar. Namun, bukankah memang seorang guru haruslah seorang pemelajar sepanjang hayat? Malah, kita sebagai orang tua pun harus senantiasa belajar. Karena, memang hanya dengan belajar lah kita dapat survive. Selain itu, seperti kata Sekretaris Pendidikan Amerika Serikat, Riley, di [3], bahwa --almost theoretical a every job knowledge today and increasingly skills that demands require a combination of learning throughout lifetime.-- 2 ========== Dari 1. 2. 3. 4. Strategi paragraf-paragraf di belajar matematika belajar matematika untuk kurikulum yang sekarang tidak persepsi yang atas, untuk menghayati menunjang salah kita cermati belajar keberdayaan dua butir tentang bahwa: bernalar; matematika; di atas; matematika. Sekarang, tentu saja kita dapat mengikis kurikulum yang ada sehingga tinggal, mungkin, sepertiganya. Ini mudah. Namun, apakah kita dapat membayangkan apa yang akan diajarkan oleh para guru kita? Apakah guru kita sudah siap mengisi waktu yang lowong tersebut? Kalau para guru kita belum siap untuk berkreasi untuk merekacipta pelajaran untuk mengisi jam-jam yang lowong tersebut, anak-anak kita juga tidak akan belajar dengan efektif. Waktunya banyak yang terbuang dengan percuma. Ini tentunya menjadi masalah yang runyam pula. Kami sendiri sangat setuju dengan perampingan kurikulum, namun demikian perampingan ini perlu penelaahan yang seksama. Tidak dapat dikerjakan secara terburu-buru. Perlu masukan dari banyak pihak. Dalam tulisan ini, kita coba melihatnya dari sudut lain. Kita coba berupaya meningkatkan proses pembelajaran matematika dengan kurikulum yang ada. Artinya, kita perlu mencari peluang agar anak-anak kita tetap belajar matematika yang mampu meningkatkan kemampuan bernalarnya, sekaligus meningkatkan apresiasinya terhadap keberdayaan matematika. Secara umum, strategi yang harus diambil guru dan juga orang tua adalah mengikuti materi yang dicanangkan pada kurikulum. Itu kita ikuti. Hanya, metode pembelajaran yang diterapkan harus diubah. Atau malah harus dicari alternatifnya. Ini penting, karena kita tidak ingin menimbulkan perbenturan yang rumit jika harus mengajarkan materi yang berlainan dengan kurikulum yang telah ditentukan. Dari setiap materi ajar yang diberikan di kelas, guru harus senantiasa merencanakan dengan rinci tentang pendekatan yang akan diterapkan untuk memperkenalkan sampai menyampaikan materi , tersebut. Juga harus dipersiapkan ilustrasi-ilustrasi yang menunjang serta meningkatkan motivasi anak didik dalam pembelajaran materi termaksud. Sedangkan kita orang tua di rumah harus meluangkan waktu yang sangat cukup untuk anak-anak kita. Kita tidak cukup melepaskan semua aktivitas belajarnya pada anak-anak kita atau pembantu rumah tangga kita. Malahan, kita harus menjadi mitra dari guru di sekolah. Sekarang, bagaimana kita dapat bermitra dengan baik? Peluang diskusi tentang materi ajar di ruang kelas saat ini sangat kurang. Ini seharusnya dapat dipenuhi di rumah. Penyampaian informasi dari materi ajar itu mungkin secara umum diberikan di kelas, namun demikian, pemahaman sampai analisis yang mendalam perlu dilakukan di rumah. Dan, di sini orang tua mempunyai peran yang besar. Berikut ini diberikan beberapa ilustrasi materi ajar yang pasti sudah kita kenal semua dari GBPP [2]. Di sini, kita akan melihat beberapa alternatif penyampaian materi ajar yang mungkin dicoba di kelas, serta bahan diskusi yang perlu dicoba kita semua di rumah. 2.1 ================ Ilustrasi I Satu materi ajar yang paling menonjol dalam pengajaran matematika di SD adalah berhitung. Dalam program pengajaran kelas III caturwulan 3, misalnya, para siswa belajar perkalian 4 = = = x 23 (4x20) 80 = 4 * (20 + + 92 + (4x3) 12 3) (1) (2) (3) (4) Materi ajar ini baik, karena siswa diajak untuk melihat penyederhanaan permasalahan. Namun, jika kita hanya mengajarnya sebatas prosedur ini, maka anak didik kita tidak bernalar mengapa hal ini boleh dilakukan. Kecuali itu, prosedur itu didapat anak didik karena diberitahu oleh gurunya. Sebaiknya, anak didik itu mencari sendiri pola yang memberikan 'conjecture' atau dugaan bahwa memang diperbolehkan mengelompokkan perhitungan tersebut. Jadi, sifat atau ide matematika itu berasal dari siswa itu sendiri. Selain itu, para anak didik perlu diajak berdiskusi tentang matematika. Mereka perlu diajak berbahasa matematika untuk memecahkan permasalahan. Untuk itu, materi ajar di atas dapat pula disampaikan dengan suatu modifikasi. Misalnya, disampaikan dengan pertanyaan berikut jika 4 x 22 = 88, maka 4 x 23 = (5) Lalu kita dapat minta setiap anak menceritakan argumennya. Sedangkan kita orang tua yang menyediakan proses pembelajaran di rumah juga dapat mengajukan bahan-bahan diskusi tersebut. Ini akan meningkatkan daya nalar anak- anak 2.2 ================ kita. Ilustrasi II Siswa di kelas III pada caturwulan 3 belajar penjumlahan bilangan dari 0 sampai dengan 100. Mereka sering diminta menemukan nilai uang logam kedua, jika uang logam pertama adalah Rp. 50,00 dan jumlah uang keseluruhan adalah Rp. 75,00. Atau, dalam pernyataan matematika, siswa diminta menemukan " titik-titik" , sehingga 50 + ...= 75. (6) Jenis pertanyaan ini sangat standard. Jawabnya hanyalah satu. Para siswa hanya dapat menjawab benar atau salah. Mereka tidak dapat mendiskusikan jawabnya secara kritis. Pernalaran kreatif juga tidak mekar. Sangat lain jika kita kedepankan permasalahannya dengan cara lain. Misalnya, asumsikan kita mempunyai dua buah uang logam di dalam kantung. Jika uang logam itu merupakan pecahan Rp.25,00, atau Rp. 50,00, berapakah uang kita? Dengan cara inipara siswa belajar berpikir alternatif. Mereka sudah terbiasa dengan problem solving. Selanjutnya, kita dapat mengajukan pertanyaan seperti: mungkinkah jumlah uang kita Rp. 25,00? 2.3 ================= Ilustrasi III Siswa SD kita sangat kurang dikenalkan dengan estimasi. Padahal, kita tahu bahwa estimasi merupakan satu hal yang sangat penting dalam matematika. Untuk ini, kita dapat mendiskusikan misalnya: jika kita mempunyai 27 batang lidi dan setiap 5 batang lidi kita ikat, maka ada berapa ikat batang lidi? Anak SD kelas dua sebenarnya sudah harus bekerja dengan jenis estimasi seperti ini. Mereka harus sudah terbiasa dengan permasalahan seperti ini. Yang perlu pula ditumbuhkembangkan di sini adalah " sense" dari bilangan pecahan. Misalnya, kita memberikan bujur sangkar terbuat dari kertas putih pada tiap siswa yang sebagian telah sengaja kita "kotori" dengan tinta. Selanjutnya, setiap siswa diminta untuk mengestimasi seberapa besar dari bujur sangkarnya yang terkena tinta tersebut. Kegiatan ini juga akan meningkatkan kemampuan siswa dalam pengukuran. Di sini, para siswa sebaiknya diajak berbahasa dengan menggunakan kata-kata matematika seperti " kira-kira" , " lebih besar" , dan "lebih kecil". 3. ========== Penutup Secara ringkas, para guru dan orang tua perlu berupaya agar anak-anak kita bernalar dalam pelajaran matematika. Mereka dapat meningkatkan pernalaran kritis dan kreatif mereka melalui proses belajar matematika. Untuk itu, guru dan orang tua perlu merancang bahan belajar dengan baik, sehingga anakanak kita, di samping menyerap materi ajar, mampu bernalar. Dalam prosesnya, anak didik kita akan masuk dalam wacana dengan bahasa matematika yang tegas. Ini merupakan suatu kesempatan yang baik bagi anak-anak kita untuk belajar berbahasa dengan pernalaran yang benar dengan pengungkapan yang tepat. Jika para guru di kelas dan orang tua di rumah mampu menyediakan proses pembelajaran matematika yang bermutu seperti di atas, maka anak-anak kita akan mampu bernalar secara kritis, aktif, dam kreatif. Tentunya ini mengharuskan kita semua untuk belajar secara berkelanjutan. Artinya, kita semua harus berupaya menumbuhmekarkan masyarakat kita untuk menjadi masyarakat pemelajar sepanjang hayat. Daftar ============== Pustaka [1] Dudley, U., Is Mathematics Necessary?, The College Mathematics Journal, Vol. 28, No.5, 1997, 360-364. [2] Kurikulum Pendidikan Dasar, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar, Mata Pelajaran:Matematika, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. [3] Riley, R. W ., The State of Mathematics Education: Building A Strong Foundation for the 21st Century, Notices of the AMS, Apri11998, 487-491. BACK Copyright © 2006 www.sigmetris.com. All Rights Reserved. Home Profil Metris Artikel FAQ 0pportunities Cara Mengajar Operasi PEMBAGIAN Pembagian adalah konsep matematika utama yang seharusnya dipelajari oleh anak-anak setelah mereka mempelajari operasi penambahan, pengurangan dan perkalian. Biasanya operasi pembagian mulai diperkenalkan pada kelas tiga di sekolah dasar hampir bersamaan dengan pengajaran Perkalian, tepatnya adalah Perkalian diajarkan terlebih dahulu baru kemudian Pembagian dan kemudian keduanya akan diajarkan secara paralel. Para orang tua mungkin ingin memahami bagaimana caranya mengajarkan ketrampilan pembagian ini secara benar kepada anak-anak mereka. Metode untuk mengajarkan Pembagian pada tahap awal yang paling sesuai adalah dengan menghubungkan ke konsep Pengurangan, yaitu dengan memandang pembagian sebagai pengurangan beruntun (24/4 = 6 artinya adalah 24 –4 –4 – 4 –4 – 4 –4 = 0). Karena dengan pendekatan pengurangan beruntun ini, si anak dapat menggunakan pemahaman yang telah didapat selama mempelajari operasi pengurangan untuk selanjutnya digunakan mempelajari Pembagian. Cara selanjutnya untuk mengajarkan operasi Pembagian adalah dengan memandang Pembagian sebagai Invers Perkalian (20/5 = ? ó 5 * ? = 20). Cara pengajaran Pembagian sebagai Invers Perkalian dilakukan setelah siswa telah memahami operasi perkalian dengan cukup baik. Dengan kedua cara di atas diharapkan siswa mampu melihat hubungan yang erat antara pembagian dengan ke tiga operasi dasar aritmatika yang lain. Ada beberapa tahap untuk mengajarkan anak-anak mengenai konsep pembagian ini. Tahap-tahap ini bergantung pada kemampuan (bukan pada umur) anak tersebut secara unik sehingga tidak dapat dipaksakan dalam proses pengajarannya. Untuk memudahkan, cara pengajaran operasi pembagian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pengenalan pembagian, tahap pembagian tradisional, tahap pembagian mental. Yang nantinya akan dibahas secara terinci satu demi satu. 1. Tahap Pengenalan Pembagian Dalam tahap ini, diperkenalkan terlebih dahulu konsep Pembagian sebagai Pengurangan Beruntun dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan menggunakan wadah telur (atau wadah lain yang dalamnya bersekat-sekat), dan dengan menggunakan kelereng untuk mengajarkan operasi pembagian, misalnya 12/4. Langkah pertama adalah ambil duabelas kelereng, dan meminta siswa untuk membilangnya. Kemudian ambil 4 (empat) kelereng dan di masukkan ke dalam ruangan dalam wadah telur tersebut, ulangi terus hal ini dan letakkan dalam ruangan yang berbeda sampai keduabelas kelereng tersebut habis (12 – 4 – 4 – 4 = 0). Jika hal ini telah selesai, maka hitunglah jumlah ruangan dari wadah telur yang terisi 4 (empat) kelereng tersebut, yaitu sebanyak 3 (tiga) ruangan. Akhirnya siswa dijelaskan bahwa jumlah ruangan yang terisi kelereng tersebut adalah jawaban dari soal pembagian 12/4, yang sama dengan 3. Cara alternatif yang lain untuk mengajarkan operasi pembagian dengan menggunakan kertas berpetak dan pensil berwarna. Misalkan untuk mengajarkan 12/4, di sini siswa diminta untuk mewarnai 12 (duabelas) kotak. Kemudian siswa diminta memotong empat kotak-empat kotak sampai 12 (duabelas) kotak tadi habis. Hasil potongannya kemudian dihitung jumlahnya, yang merupakan solusi dari masalah pembagian 12/4 tersebut, yang sama dengan 3 (tiga). Selanjutnya untuk mengenalkan konsep Pembagian sebagai Invers Perkalian, susun ulang lagi tiga bagian dari empat kotak - empat kotak tersebut sampai membentuk 12 (duabelas) kotak semula [3*4 = 12]. Proses pengajaran ini terus dibolak-balik sampai siswa mengerti makna dari konsep Invers. Sebagai Keterangan tambahan, cara mengajarkan fakta-fakta pembagian dapat menggunakan gambar-gambar benda nyata dalam bentuk soal secara berulang-ulang. Selanjutnya sebagai keterangan notasi pembagi yang sering digunakan adalah a/b atau a ÷ b ,dimana a disebut Pembilang / Yang Dibagi dan b adalah Penyebut / Pembagi. 2. Tahap Pembagian Tradisional Pada tahap ini tentunya dimulai dengan penulisan operator pembagian ( ÷ ). Yang menjadi masalah paling pokok dalam mengajarkan operasi pembagian adalah mengajarkan Pembagian Dasar dengan penyebut (denominator) 1 (satu) s.d 9 (sembilan) TANPA RESIDU terlebih dahulu. Baru kemudian Pembagian Dasar dengan penyebut (denominator) 1 (satu) s.d 9 (sembilan) dengan RESIDU. a. Cara Mengajarkan Pembagian dengan pembagi 0 (nol), 1 (satu), 2 (dua) dan 3 (tiga) 1. Dibagi dengan bilangan 0 (nol) Bilangan pembilang tidak akan dapat dibagi dengan bilangan 0 (nol) karena tidak mungkin untuk membuat 0 kelompok dari sebuah bilangan. 2. Dibagi dengan bilangan 1 (satu) Sembarang bilangan dibagi dengan bilangan 1 (satu), hasilnya adalah bilangan itu sendiri. Jika kita membagi dengan bilangan 1 (satu) berarti akan mempunyai satu kelompok benda saja maka semua benda akan termuat dalam satu kelompok tersebut 3. Dibagi dengan bilangan 2 (dua) dan 3 (tiga) Contoh dari pembagian dengan Pembilang 2 (dua) dan 3 (tiga) sebagai berikut: 0÷2=0 10 ÷ 2 = 5 2÷2=1 12 ÷ 2 = 6 0÷3=0 15 ÷ 3 = 5 3÷3=1 18 ÷ 3 = 6 2 (Dua) 4÷2=2 14 ÷ 2 = 7 3 (Tiga) 6÷3=2 21 ÷ 3 = 7 6÷2=3 16 ÷ 2 = 8 8÷2=4 18 ÷ 2 = 9 9÷3=3 24 ÷ 3 = 8 12 ÷ 3 = 4 27 ÷ 3 = 9 Cara ini diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada b. Cara Mengajarkan Pembagian dengan pembagi 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam) Contoh dari pembagian dengan Pembilang 4 (empat), 5 (lima), dan 6 (enam) sebagai berikut: 0÷4=0 20 ÷ 4 = 5 4÷4=1 24 ÷ 4 = 6 0÷5=0 25 ÷ 5 = 5 5÷5=1 30 ÷ 5 = 6 0÷6=0 30 ÷ 6 = 5 6÷6=1 36 ÷ 6 = 6 4 (empat) 8÷4=2 28 ÷ 4 = 7 5 (lima) 10 ÷ 5 = 2 35 ÷ 5 = 7 6 (enam) 12 ÷ 6 = 2 42 ÷ 6 = 7 12 ÷ 4 = 3 32 ÷ 4 = 8 16 ÷ 4 = 4 36 ÷ 4 = 9 15 ÷ 5 = 3 40 ÷ 5 = 8 20 ÷ 5 = 4 45 ÷ 5 = 9 18 ÷ 6 = 3 48 ÷ 6 = 8 24 ÷ 6 = 4 54 ÷ 6 = 9 Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada c. Cara Mengajarkan Pembagian dengan pembagi 7 (tujuh), 8 (delapan), dan 9 (sembilan) Contoh dari pembagian dengan Pembilang 7 (tujuh), 8 (delapan), dan 9 (sembilan) sebagai berikut: 0÷7=0 35 ÷ 7 = 5 7÷7=1 42 ÷ 7 = 6 0÷8=0 40 ÷ 8 = 5 8÷8=1 48 ÷ 8 = 6 0÷9=0 45 ÷ 9 = 5 9÷9=1 54 ÷ 9 = 6 7 (tujuh) 14 ÷ 7 = 2 49 ÷ 7 = 7 8 (delapan) 16 ÷ 8 = 2 56 ÷ 8 = 7 9 (sembilan) 18 ÷ 9 = 2 63 ÷ 9 = 7 21 ÷ 7 = 3 56 ÷ 7 = 8 28 ÷ 7 = 4 63 ÷ 7 = 9 24 ÷ 8 = 3 64 ÷ 8 = 8 32 ÷ 8 = 4 72 ÷ 8 = 9 27 ÷ 9 = 3 72 ÷ 9 = 8 36 ÷ 9 = 4 81 ÷ 9 = 9 Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada d. Cara Mengajarkan Pembagian Puluhan dengan Residu.(Cara Umum) Untuk mengajarkan Pembagian dengan Residu (atau Pembagian secara Umum) cara yang paling efektif adalah dengan notasi Kurung Bagi (Division Bracket). Misalnya untuk soal 43 ÷ 7, sebagai berikut: - Letakkan Pembagi/ Penyebut (7) sebelum notasi Kurung Bagi dan letakkan bagian yang Dibagi/ Pembilang dibawah notasi Kurung Bagi tersebut.. ___ 7 ) 43 - Uji digit pertama dari yang Dibagi (4), yang lebih kecil dari 7 maka tidak bias dibagi dengan bilangan 7 untuk mendapatkan hasil baginya. Kemudian pandang dua digit pertama dari yang Dibagi (43) dan tentukan berapa banyak 7 dapat membaginya. Dalam hal ini 42 memenuhi syarat tersebut (6*7 = 42). Selanjutnya letakkan 6 di atas Notasi Kurung Bagi. __6_ 7 ) 43 Kalikan 6 dengan 7 dan letakkan hasilnya (42) dibawah yang dibagi (43). __6_ 7 ) 43 42 Selanjutnya tarik garis bawah 42, dan kurangkan 42 ini dengan yang dibagi (43). Tuliskan hasilnya (43-42 = 1) dibawah garis bawah tersebut. __6_ 7 ) 43 42 1 Karena hasil selisihnya (1) lebih kecil daripada Pembagi (7) maka selesailah proses pembagiannya. Dan bilangan 1 (satu) ini adalah Residu dari pembagian di atas, solusi pembagian tersebut ditulis sebagai 6 1/7 atau dapat ditulis juga sbb: __6 R 1_ 7 ) 43 42 1 Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada. e. Cara Mengajarkan Pembagian secara Umum Secara umum ketika Pembagi mempunyai digit lebih dari satu, prosedur pembagian tradisional adalah sama dengan sebelumnya tetapi mungkin kita membutuhkan lebih banyak corat-coret untuk melakukan operasi perkalian dalam langkah pendugaan (guessing) pada proses pembagian tersebut ______ Sebagai contoh akan dihitung 14 ) 7434 , dengan langkah-langkah sbb: - Karena bilangan 7 dalam 7434 lebih kecil dari pada 14, maka dilihat bilangan 74. Untuk mencari berapa banyak kelipatan 14 yang paling mendekati 74 terkadang harus melakukan beberapa langkah pendugaan. Cek sampai mendapatkan kelipatan 14 maksimum yang masih lebih kecil dari 74. 2 × 14 = 28 5 × 14 = 70 4 × 14 = 56 6 × 14 = 84 Dari tabel perhitungan, dapat dilihat kelipatan 14 yang sesuai untuk mendekati 74 adalah 5, sehingga: _5____ 14 ) 7434 70__ 434 - Ulangi langkah diatas, sekarang pandang angka 43 dari 434. Dan lakukan perkalian untuk menduga kelipatan dari 14 yang sesuai, sbb: 2 × 14 = 28 3 × 14 = 42 4 × 14 = 56 Dari tabel perhitungan, dapat dilihat kelipatan 14 yang sesuai untuk mendekati 43 adalah 3, sehingga: _53___ 14 ) 7434 70__ 434 42_ 14 - Ulangi langkah diatas, sekarang pandang angka 14, , dapat dilihat kelipatan 14 yang sesuai adalah 1, sehingga: _531__ 14 ) 7434 70__ 434 42_ 14 14 0 Karena sisa pembagian telah mencapai 0 (nol), maka proses pembagian telah selesai tanpa Residu. Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada. Kemudian kita masuk ke dalam digit bilangan yang lebih tinggi misalnya ratusan, ribuan dan seterusnya. 3. Tahap Pembagian Mental Perhitungan Mental adalah cara menghitung dengan hanya menggunakan Otak manusia, tanpa dengan bantuan peralatan yang lain. Dalam penelitian didapatkan kesimpulan bahwa perhitungan mental ini dapat meningkatkan kepercayaan diri, kecepatan merespon, ingatan dan daya konsentrasi pada para praktisinya. Kunci utama dalam Pembagian secara mental adalah Ingatan (memori) dalam melakukan Perkalian Mental yang sudah diluar kepala. Serta Visualisasi (visualization) dari proses manipulasi operasi pembagian Berdasarkan cara memvisualisasinya, Pembagian Mental dapat dibagi dalam dua kategori: A. Visualisasi Langsung (Direct Visualization) Di sini konsep Metode Horisontal mulai berperan secara dominan. Pengenalan Konsep Asosiasi Posisi dengan menggunakan Notasi Pagar adalah esensial untuk menggunakan visualisasi secara langsung ini. Kata ‘langsung’ di sini artinya adalah kita langsung bermain dengan konsep abstrak dari Angka tanpa menggunakan peralatan bantuan. Mula-mula siswa diajarkan menghitung pembagian dengan metode horisontal dengan Notasi Pagarnya secara tertulis, selanjutnya mereka dilatih untuk membayangkan (memvisualisasi) proses manipulasi yang telah dilakukannya. Perlu diperhatikan bahwa Operasi Pembagian merupakan operasi yang paling sukar dibandingkan ketiga operasi dasar aritmatika yang lain (pertambahan, pengurangan dan perkalian). Hal ini dikarenakan dalam proses pembagian terdapat langkah Pendugaan (guessing), sehingga untuk melakukan proses pembagian yang efektif tidak hanya sekedar menguasai prosedur pembagian saja tetapi siswa harus dapat melihat POLA yang dapat memudahkan proses pembagian tersebut. Hal ini dapat diajarkan melalui pelatihan yang intens dan berulang-ulang. Contoh: a. Cara mengajarkan Pembagian Mental yang Umum (sebagai contoh 837 ÷ 3) Untuk melakukan proses pembagian secara efektif dibutuhkan kemampuan untuk menghitung perkalian dengan cepat, yaitu mengalikan Pembagi (3) dengan bilangan dari 1 s.d 9. [Perhatikan ini hanya merupakan penambahan yang berurutan, jadi jika perhitungan mental telah dikuasai akan cepat dikerjakan] Selanjutnya diajarkan bagaimana Notasi Pagar bekerja pada bilangan yang Dibagi (837), perhatikanlah bilangan tersebut, mulai dari bilangan paling kiri yaitu 8 sampai dengan bilangan paling kanan yaitu 7. Digit bilangan paling kiri yi 8 dapat didekati dengan 6 (3*2), selanjutnya bilangan 3 dapat dibagi 3 (3*1), dan terakhir 7 dapat didekati dengan 6 (3*2) sehingga notasi pagarnya dapat ditulis sbb: (8 | 3 | 7) ÷ 3 = (8/3 | 3/3 | 7/3) = (2 | 1 | 2) + 201 / 3 = 212 + 201/3 Selanjutnya perhatikan bilangan residunya (201), dimana bilangan 20 dapat didekati dengan 18 (3*6) dan bilangan 1 tidak bias didekati lagi karena lebih kecil dibandingkan bilangan pembagi, sehingga didapat: 212 + 201/3 = 212 + (20/3 | 1/3) = 212 + (6 | 0) + 21 / 3 = 272 + 21/3 Yang dapat langsung diselesaikan menjadi 272 + 21/3 = 272 +7 = 279 Jadi disini terdapat tahap-tahap manipulasi sebagai berikut: 1. Menyisipkan Notasi Pagar ke dalam Bilangan yang Dibagi (837) seoptimal mungkin (837) = (8 | 3 | 7) 2. Selanjutnya melakukan operasi pembagian di dalam Notasi Pagarsehingga didapat: (8/3 | 3/3 | 7/3) = 212 + 201/3 3. Ulangi prosedur 1 dan 2 untuk bilangan residu yang dihasilkan sampai menghasilkan residu yang kurang dari bilangan Pembagi Sehingga didapat jawabannya adalah 279 KETERANGAN: Perhatikan pola perhitungan yang tetap konsisten untuk setiap soal yang ada yaitu mulai dari Kiri ke Kanan Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada sampai dapat menghitung tanpa harus mencorat-coret pada kertas. Kemudian kita masuk ke dalam digit bilangan yang lebih tinggi. b. Cara mengajarkan Pembagian Mental yang Berpola (sebagai contoh 34170 ÷ 17) Perhatikanlah bilangan yang Dibagi (34170), mulai dari bilangan paling kiri yaitu 3 sampai dengan bilangan paling kanan yaitu 0. Dua digit bilangan paling kiri yi 34 dapat dibagi 17, selanjutnya bilangan 17 dapat pula dibagi 17, sehingga notasi pagarnya dapat ditulis sbb: (34 ||| 170) ÷ 17 = (34/17 ||| 170/17) = (2 ||| 10) Sehingga hasilnya adalah (2 ||| 10) = 2010 Jadi disini terdapat tahap-tahap manipulasi sebagai berikut: 1. Menyisipkan Notasi Pagar ke dalam Bilangan yang Dibagi (34170) seoptimal mungkin 2. Selanjutnya melakukan operasi pembagian di dalam Notasi Pagar (34/17 ||| 170/17) Sehingga didapat jawabannya adalah 2010 KETERANGAN: Perhatikan pola perhitungan yang tetap konsisten untuk setiap soal yang ada yaitu mulai dari Kiri ke Kanan Cara ini kemudian diulang-ulang untuk berbagai variasi soal yang ada sampai dapat menghitung tanpa harus mencorat-coret pada kertas. Kemudian kita masuk ke dalam digit bilangan yang lebih tinggi. B. Visualisasi Objek (Visualization with Object) Biasanya objek yang digunakan disini adalah sempoa (abacus). Disini sempoa digunakan untuk membantu proses visualisasinya, terutama digunakan bagi mereka yang belum mengetahui konsep Asosiasi Posisi dan bagi mereka yang kesulitan untuk memvisualisasikan sesuatu yang abstrak seperti Angka Desimal. Dalam kenyataannya cara Visualisasi dengan menggunakan objek sempoa ini hanya sesuai untuk diajarkan pada anak-anak saja. Dan kurang sesuai untuk diajarkan pada remaja atau orang dewasa karena umumnya remaja dan orang dewasa sudah mempunyai konsep bilangan dan operasinya yang mapan dalam benaknya sehingga merasa kesulitan/bosan harus belajar lagi menghitung bilangan dari awal dengan menggunakan sempoa. (Untuk mempelajari secara lengkap Metode Sempoa dapat http://groups.yahoo.com/group/metode_horisontal/files/takashikojima1.pdf ) dilihat pada Contoh: a. Cara mengajarkan Pembagian Mental yang Umum (sebagai contoh 837 ÷ 3) Disini terdapat tahap-tahap manipulasi sebagai berikut: 1. Tentukan batang bilangan 837 pada batang FGH dan 3 pada batang A. 2. Dekati bilangan 8 dari 837 dengan 6 (3*2), simpan kelipatannya (2) pada batang D. Kemudian kurangi 8 dengan 6 (8-6=2) pada batang F. Selanjutnya pandang residu pada batang FG (23), dekati bilangan 23 dengan 21 (3*7), simpan kelipatannya (7) pada batang E. Dan Kurangkan 23 dengan 21 (23-21 = 2) 3. Selanjutnya pandang residu pada batang GH sekarang yang memuat bilangan 27, bilangan ini akan habis dibagi dengan 3 (3*9 = 27). Simpan kelipatannya (9) pada batang F. Kurangkan 27 dengan 27 (27-27=0). 4. Karena residu sudah sama dengan nol maka proses pembagian selesai. Hasilnya adalah pada batang DEF yaitu 279. KETERANGAN: Perhatikan pola perhitungan yang tetap konsisten untuk setiap soal yang ada yaitu mulai dari Kiri ke Kanan b. Cara mengajarkan Pembagian Mental yang Berpola (sebagai contoh 34170 ÷ 17) Untuk kasus seperti ini Metode Sempoa tidak efisien karena harus melakukan langkahlangkah perhitungan yang panjang. Padahal jika dikenali polanya, dapat dilakukan operasi pembagian yang singkat dengan Metode Horisontal. BACK Copyright © 2006 www.sigmetris.com. All Rights Reserved. http://www.sigmetris.com/artikel_5.html VIRTUCLASS | DIGISOURCE | DIGILIB | FKIP | UNLA Menu Utama Home Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Redaksi Keterampilan Sosial Hubungi Kami Ditulis oleh Erliany Syaodih Menu Educare Volume 1 Volume 2 Volume 3 Volume 4 Volume 5 Cari Artikel Penulis: DR. Erliany Syaodih, Dra., M.Pd. (dosen tetap pada Universitas Langlangbuana. Saat ini beliau menjabat Sekretaris Program Pasca Sarjana Universitas Langlangbuana). Abstrak: Pelaksanaan pembelajaran kooperatif merupakan langkah implementasi dari rencana pembelajaran kooperatif, berisi rincian dari prosedur pembelajaran. Sama dengan pada prosedur ada empat langkah utama yang merupakan sintaks dari model pembelajaran kooperatif hasil pengembangan, yaitu langkah: orientasi, eksplorasi, pendalaman dan penyimpulan. Langkah Orientasi atau kegiatan awal pembelajaran merupakan langkah untuk mendorong kelas memusatkan perhatian terhadap pembelajaran; Langkah Eksplorasi atau kegiatan inti pertama, merupakan langkah untuk mengajak dan mendorong siswa untuk mencari dan menemukan fakta, pengetahuan, masalah dan pemecahan; Langkah Pemantapan atau kegiatan inti kedua, merupakan langkah untuk memperdalam, memperluas, memantapkan, memperkuat penguasaan materi dan kemampuan yang telah dicapai pada langkah eksplorasi; dan Langkah Penyimpulan atau kegiatan akhir pembelajaran, merupakan langkah untuk menyimpulkan atau merangkumkan dan menegaskan tentang apa yang telah dipelajari. Kata Kunci: pembelajaran kooperatif, keterampilan sosial, Student TeamsAchievement Divisions, Teams-Games Tournament (TGT), Jigsaw. A. Pendahuluan Memasuki milenium ketiga dewasa ini, bangsa Indonesia dihadapkan pada permasalahan multi dimensi yang menyentuh berbagai tatanan kehidupan mendasar manusia. Bukan hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, namun juga aspek sosial, budaya dan ahlak. Krisis pada aspek sosial khususnya sudah sampai pada bentuk yang cukup memprihatinkan. Penyimpangan perilaku sosial tidak hanya diperlihatkan oleh para siswa tetapi juga para mahasiswa, bahkan orang dewasa dalam bentuk perilakuperilaku kekerasan, pemaksaan kehendak, pengrusakan, konflik antar kelompok serta tawuran. Berbagai bentuk kemiskinan sosial juga banyak diperlihatkan, seperti miskin pengabdian, kurang disiplin, kurang empati terhadap masalah sosial, kurang efektif berkomunikasi serta kurang disiplin. Hal itu menunjukkan adanya permasalahan pribadi dan sosial di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi (Supriadi, D. 1997: 48). Pada kalangan siswa sekolah dasar dan menengah, seperti juga masyarakat pada umumnya gejala masalah pribadi dan sosial ini juga tampak dalam perilaku keseharian. Sikap-sikap individualistis, egoistis, acuh tak acuh, kurangnya rasa tanggung jawab, malas berkomunikasi dan berinteraksi atau rendahnya empati merupakan fenomena yang menunjukkan adanya kehampaan nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya dalam menghadapi kondisi yang demikian, pendidikan dapat memberikan kontribusi yang cukup besar. Pendidikan dapat memberikan kontribuasi dalam mengatasi masalah sosial sebab pendidikan memiliki fungsi dan peran dalam meningkatkan sumber daya manusia. Sumber daya manusia dapat menjadi kekuatan utama dalam mengatasi dan memecahkan masalah sosial-ekonomi yang dihadapi, tetapi juga dapat menjadi faktor penyebab munculnya masalah-masalah tersebut. Naisbitt (dalam Fong 1999) menegaskan bahwa “ Education and traning must be a major priority, they are the keys to maintaining competitiveness”. Sumber daya manusia yang berkualitas, dengan pegangan norma dan nilai yang kuat, kinerja dan disiplin tinggi yang dihasilkan oleh pendidikan yang berkualitas dapat menjadi kekuatan utama untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Sebaliknya sumber daya manusia yang tidak berkualitas, lemah dalam pegangan norma dan nilai, rendah disiplin dan kinerja yang dihasilkan oleh pendidikan yang kurang berkualitas dapat merupakan pangkal dari permasalahan yang dihadapi. Meskipun begitu strategis kedudukan pendidikan untuk perubahan suatu bangsa namun bangsa kita belum cukup optimis untuk mengandalkan posisi tersebut karena pada kenyatannnya kondisi dan hasil pendidikan kita belum memadai. Kondisi tersebut nampak dari kecilnya kemampuan sumber daya manusia Indonesia untuk berkompetisi dengan bangsa lain. Data yang dipublikasikan oleh United Development Index (HDI) sangat memprihatinkan karena dari tahun 1996 dimana posisi Indonesia berada pada peringkat 102 terus menurun hingga pada tahun 2000 berada pada peringkat 109, berada satu tingkat ditas Vietnam padahal negara – negara ASEAN lain berada pada peringkat jauh di atas Indonesia.. Kondisi tersebut dipengaruhi banyak faktor. Dilihat dari latar belakang pendidikan gambaran sumber daya manusia memang belum menggembirakan.Sebagian besar angkatan kerja kita (53%) tidak berpendidikan, diantara yang berpendidikan 34 % berpendidikan dasar, 11% berpendidikan menengah dan baru 2 % berpendidikan tinggi. (Budiono, 1997). Dari segi kualitas, juga masih memprihatinkan,.sebagai indikator beberapa perguruan tinggi ternama Indonesia (UGM,UI,UNDIP, UNAIR) misalnya, menduduki peringkat di bawah 40 dalam urutan universitas berkualitas di Asia. (Asia Week: 2000). Walaupun dari segi kebijakan (dalam bentuk UU, peraturan pemerintah) sudah lengkap dan mengalami penyempurnaan namun tdak berarti ada keterjaminan peningkatan kualitas pendidikan. Persoalan pendidikan di Indoensia selayaknya dilakukan serempak pada seluruh wilayah oleh semua pihak secara profesional, namun cara tersebut sangat sulit dilakukan sehingga perlu ada prioritas. Tanpa mengurangi arti dan pentingnya jalur dan jenis pendidikan lain, pendidikan dasar, khususnya pada tingkat sekolah dasar memiliki posisi sangat strategis karena menjadi landasan bagi pendidikan selanjutnya. Pendidikan dasar yang bermutu akan memberikan landasan yang kuat bagi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yang bermutu pula. Sekolah Dasar juga memiliki populasi terbesar (sekitar 30 juta orang) dibandingkan dengan siswa SLTP dan SLTA. Secara khusus, peranan pendidikan dasar bagi pengembangan anak dan remaja dirumuskan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006, bahwa pendidikan dasar bertujuan: meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Tujuan tersebut dicapai melalui proses pembelajaran dalam kelompok mata pelajaran: (1) Agama dan akhlak mulia, (2) Kewarganegaraan dan Kepribadian, (3) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (4) Estetika, (5) Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan. Baik tujuan pendidikan maupun kelompok mata pelajaran pada pendidikan dasar, pada dasarnya diarahkan pada pengembangan pribadi siswa, kemampuan hidup bermasyarakat dan kemampuan untuk melanjutkan studi. Ketiga aspek pengembangan tersebut saling terkait dapat dibedakan tetapi sulit untuk dipisahkan. Semua mata pelajaran yang diberikan pada Sekolah Dasar memberikan sumbangan terhadap pengembangan ketiga aspek tersebut, tetapi bobotnya tidak sama. Secara umum pengembangan pribadi lebih banyak berkenaan dengan penguasaan segi agama dan akhlak mulia, kepribadian, estetika, jasmani, olah raga dan kesehatan. Kemampuan kemasyarakatan banyak berkenaan dengan kewarganegaraan dan kepribadian, sedang kemampuan melanjutkan studi banyak berkenaan dengan penguasaan pengetahuan dan teknologi. Semua mata pelajaran walaupun bobotnya berbeda-beda dapat berperan dalam mengatasi atau mengurangi masalah dan perilaku penyimpangan sosial dan pribadi tetapi mata pelajaran Ilmu pengetahuan Sosial dan Pendidikan Kewarganegaraan memegang peran yang lebih besar. Kemampuan pribadi dan sosial berkenaan dengan penguasaan karakteristik, nilai-nilai sebagai pribadi dan sebagai warga masyarakat serta kemampuan untuk hidup bermasyarakat. Penguasaan karakteristik dan nilai-nilai pribadi dan warga masyarakat banyak dikembangkan dalam Pendidikan Kewarganegaraan, sedang kemampuan untuk hidup bermasyarakat banyak dikembangkan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada jenjang pendidikan dasar memfokuskan kajiannya kepada hubungan antar manusia dan proses membantu pengembangan kemampuan dalam hubungan tersebut. Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikembangkan melalui kajian ini ditujukan untuk mencapai keserasian dan keselarasan dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan IPS sudah lama dikembangkan dan dilaksanakan dalam kurikulumkurikulum di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan ini tidak dapat disangkal telah membawa beberapa hasil, walaupun belum optimal. Secara umum penguasaan pengetahuan sosial atau kewarganegaraan lulusan pendidikan dasar relatif cukup, tetapi penguasaan nilai dalam arti penerapan nilai, keterampilan sosial dan partisipasi sosial hasilnya belum menggembirakan. Kelemahan tersebut sudah tentu terkait atau dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama proses pendidikan atau pembelajarannya, kurikulum, para pengelola dan pelaksanaanya serta faktor-faktor yang berpengaruh lainnya. Beberapa temuan penelitian dan pengamatan ahli memperkuat kesimpulan tersebut. Dalam segi hasil atau dampak pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial atau IPS terhadap kehidupan bermasyarakat, masih belum begitu nampak. Perwujudan nilai-nilai sosial yang dikembangkan di sekolah belum nampak dalam kehidupan sehari-hari, keterampilan sosial para lulusan pendidikan dasar khususnya masih memprihatinkan, partisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan semakin menyusut. Banyak penyebab yang melatarbelakangi mengapa pendidikan IPS belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Faktor penyebabnya dapat berpangkal pada kurikulum, rancangan, pelaksana, pelaksanaan ataupun faktor-faktor pendukung pembelajaran. Berkenaan dengan kurikulum dan rancangan pembelajaran IPS, beberapa penelitian sebelumnya memberi gambaran tentang kondisi tersebut. Hasil penelitian Balitbang Depdikbud tahun 1999 menyebutkan bahwa “ Kurikulum 1994 tidak disusun berdasarkan basic competencies melainkan pada materi, sehingga dalam kurikulumnya banyak memuat konsep-konsep teoretis” (Boediono, et al. 1999: 84). Hasil Evaluasi Kurikulum IPS SD Tahun 1994 menggambarkan adanya kesenjangan kesiapan siswa dengan bobot materi sehingga materi yang disajikan dianggap terlalu sulit bagi siswa, kesenjangan antara tuntutan materi dengan fasilitas pembelajaran dan buku sumber, kesulitan manajemen waktu, serta keterbatasan kemampuan melakukan pembaharuan metode mangajar (Depdikbud, 1999). Dalam implementasi materi Muchtar, SA. (1991) menemukan IPS lebih menekankan aspek pengetahuan, berpusat pada guru,mengarahkan bahan berupa informasi yang tidak mengembangkan berpikir nilai serta hanya membentuk budaya menghafal dan bukan berpikir kritis. Dalam pelaksanaan Soemantri,N. (1998) menilai pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga siswa kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal menurut Sumaatmadja, N. (1996: 35) guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat siswa karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS. Selanjutnya Como dan Snow (dalam Syafruddin, 2001:3) menilai bahwa model pembelajaran IPS yang diimplementasikan saat ini masih bersifat konvensional sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan secara optimal. Dengan pembelajaran seperti itu maka perbedaan individual siswa di kelas tidak dapat terakomodasi sehingga sulit tercapai tujuan–tujuan spesifik pembelajaran terutama bagi siswa berkemampuan rendah. Model pembelajaran IPS saat ini juga lebih menekankan pada aspek kebutuhan formal dibanding kebutuhan riil siswa sehingga proses pembelajaran terkesan sebagai pekerjaan administratif dan belum mengembangkan potensi anak secara optimal. Berdasarkan hal-hal di atas nampak, bahwa pada satu sisi betapa pentingnya peranan pendidikan IPS dalam mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan sosial agar para siswa menjadi warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang baik namun di pihak lain masih banyak ditemukan kelemahan dalam pembelajaran IPS, baik dalam rancangan maupun proses pembelajaran. Untuk mengatasi masalahmasalah tersebut diperlukan penelitian berkaitan dengan pembelajaran IPS. Salah satu upaya yang memadai untuk itu adalah dengan melakukan pengembangan model pembelajaran yang mampu meningkatkan keterampilan sosial. Menggunakan model pembelajaran keterampilan sosial diharapkan dapat ditingkatkan sasaran instruksional berupa keterampilan sosial namun juga sasaran ikutan berupa pengetahuan IPS. B. Batasan dan Rumusan Masalah Penelitian ini diarahkan pada pengembangan model pembelajaran. IPS di sekolah dasar. Pada jenjang tersebut kajian IPS bersifat umum, belum disajikan dalam bentuk teoritis-konseptual. Kalaupun disajikan baru dasar-dasarnya saja dengan pengorganisasian materi menggunakan model ” broadfield” atau bidang studi dimana ada terkandung aspek-aspek sejarah, geografi, ekonomi atau budaya dan politik tetapi terintegrasi dalam tema-tema. Keberhasilan pembelajaran IPS dipengaruhi banyak faktor, yaitu input, proses dan output sebagai suatu sistem. Komponen input mencakup raw input (masukan mentah), instrumental input (masukan instrumental) dan environmental input (masukan lingkungan). Komponen proses berkenaan dengan pembelajaran teori, pembelajaran praktek, pengelolaan kelas, pemberian tugas dan latihan, bimbingan siswa, evaluasi serta manajemen pembelajaran sedangkan komponen output berkenaan dengan perubahan positif atau perkembangan yang dicapai setelah melakukan proses pembelajaran. Dengan begitu banyaknya variabel yang melatarbelakangi dan mempengaruhi keberhasilan pembelajaran maka untuk bahan dasar pengembangan model akan digunakan beberapa variabel yang secara konseptual paling dominan memberi kontribusi data dalam pengembangan model, khususnya pada studi pendahuluan. Variabel-variabel yang secara khusus akan diteliti tersebut adalah komponen guru, siswa, konteks atau lingkungan serta desian dan proses pembelajarannya. Pada komponen guru, variabel yang akan diteliti dibatasi pada latar belakang pendidikan dan latihan yang pernah diikuti, pengetahuan, keterampilan dan motivasi dalam pembelajaran IPS. Dalam komponen siswa akan dibatasi pada motivasi belajar, pengetahuan dan keterampilan dalam bidang sosial saat ini. Komponen konteks atau lingkungan dibatasi pada sarana dan prasarana pembelajaran, media dan sumber belajar yang ada. Pada komponen proses pembelajaran dibatasi pada model atau metode pembelajaran yang digunakan, mencakup disain dan implementasinya. Mengacu pada Kurikulum Sekolah Dasar tahun 2004 dan sejalan dengan KTSP, pendidikan IPS di sekolah dasar diarahkan pada penguasaan pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan siswa sebagai warga negara Indonesia. Dengan sasaran yang sangat luas tersebut, mengacu pada latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas maka penelitian ini akan dibatasi pada penguasaan keterampilan sosial. Penelitian dibatasi pada satu tingkat saja, yaitu kelas 5 Sekolah Dasar, dengan pertimbangan bahwa dari sisi perkembangan kemampuan sosial,siswa sudah mampu menjalin hubungan dengan teman sebaya karena pada usia tersebut ikiatan sebaya sangat kuat. Pada tingkatan tersebut siswa juga sudah mendapatkan pelajaran IPS minimal dua tahun sehingga dipandang cukup memiliki dasar umum pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan sosial. Berdasarkan latar belakang dan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, penelitian ini difokuskan pada pengembangan model pembelajaran yang memberi kontribusi memadai untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Secara khusus diarahkan untuk a) menemukan model dan model desain yang memadai, b) model implementasi, serta c) faktor pendukung, kelebihan dan hambatan dalam implementasi model pembelajaran tersebut. C. Metodologi Penelitian Penelitian ini difokuskan pada pengembangan model pembelajaran dalam bidang IPS yang diarahkan pada peningkatan keterampilan sosial siswa Sekolah Dasar. Pengembangan suatu model pembelajaran terkait dengan segi dan aspek yang akan dikembangkan ; pada mata pelajaran apa, segi atau aspek tersebut akan dikembangkan ; pada siapa, jenjang dan jenis pendidikan mana serta bagaimana kondisinya? Untuk mengakomodasi pertanyaan tersebut dengan karakteristik sebagaimana digambarkan di atas maka digunakan metode penelitian dan pengembangan atau Research and Development yang disederhanakan atas tahapan studi pendahuluan, pengembangan dan uji validasi. Penelitian dilakukan pada kelas lima Sekolah Dasar, mengambil lokasi di Kota Bandung. Penentuan sampel pada studi pendahuluan menggunakan teknik stratafied cluster random sampling berdasarkan lokasi kecamatan dan sekolah sehingga diperoleh 25 sekolah dengan variasi katagori kluster. Pengembangan model pembelajaran dilakukan pada dua sekolah (satu SD negeri dan satu SD swasta) untuk uji coba terbatas dan tiga sekolah (dua SD negeri dan satu SD swasta) untuk uji coba luas sedangkan untuk uji validasi dilaksanakan pada enam sekolah, yaitu tiga SD sebagai kelompok eksperimen dan tiga SD lain untuk kelompok kontrol dengan variasi katagori baik, cukup dan sedang. Pelaksanaan penelitian dilakukan atas tiga tahap, yaitu studi pendahuluan yang meliputi studi kepustakaan dan survai, pengembangan model yang meliputi uji coba terbatas dan uji coba luas serta pengujian hasil yang dilaksanakan melalui eksperimen. Pada tahap studi pendahuluan data dikumpulkan menggunakan metode survai dengan tehnik observasi, angket dan wawancara serta studi dokumenter. Tahap pengembangan nmenggunakan metode penelitian tindakan yang dikembangkan atas kegiatan penyusunan rencana, pelaksanaan, evaluasi dan penyempurnaan pembelajaran. Pada tahap ini juga dilakukan evaluasi terhadap proses dengan cara observasi dan evaluasi hasil berbentuk tes. Selanjutnya, pada tahap pengujian, dengan menggunakan metode eksperimen pengumpulan data dilakukan dengan tehnik observasi berbentuk sekala untuk menilai peningkatan keterampilan sosial siswa dan tes tertulis berbentuk pilihan ganda untuk menilai hasil belajar dalam penguasaan materi (pengetahuan) IPS. Analisis data yang digunakan pada tahapan studi pendahuluan adalah analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif.Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis data angket utnuk dicari frekuensi dari setiap jawabannya sehingga diperoleh gambaran kecenderungan umum kondisi dan potensi di lapangan. Data kualitatif dari hasil wawancara, observasi dan studi dokumenter digunakan sebagai pelengkap data sehingga diperoleh gambaran objektif dan menyeluruh tentang kondisi dan implementasi pembelajaran IPS di sekolah. Data hasil observasi pada tahap pengembangan model dianalisis secara kualitatif. Hasilnya dikomunikasikan dengan para guru untuk penyempurnaan rancangan dan pelaksanaan pembelajaran selanjutnya.Data hasil berupa nilai tes IPS pada uji coba terbatas dan luas dianalisis dengan uji t dengan menggunakan program SPSS versi 12. Perolehan data kualitatif dalam bentuk skor nilai tes awal dan tes akhir keterampilan sosial pada uji validasi diolah menggunakan uji t dengan SPSS versi 12 sehingga terlihat perbedaan hasil antara keduanya pada masing-masing kelompok. D. Temuan Penelitian 1. Model Pembelajaran yang Dihasilkan Model pembelajaran yang dihasilkan adalah Pembelajaran Kooperatif sebagai pengembangan dari perpaduan Student Teams-Achievement Divisions (STAD) atau Pembelajaran Peningkatan Prestasi Tim (PPPT); Teams-Games Tournament (TGT) atau Pembelajaran Permainan Tim (PPT); Jigsaw atau Permainan Keahlian Tim (PKT) dari Slavin dan Pembelajaran Kooperatif dari A.Lie. Perbandingan langkah-langkah pembelajaran dari masing-masing model diilustrasikan sebagai berikut: 2. Model Desain Pembelajaran Model desain pembelajaran menyajikan rencana pembelajaran dan prosedur pembelajaran. a. Rencana pembelajaran Rencana pembelajaran berisi komponen-komponen yang sama dengan rencana pembelajaran sebagaimana digunakan di sekolah, yang biasa disebut rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), tetapi memiliki spesifikasi untuk mengajarkan tema atau topik-topik IPS yang menekankan keterampilan sosial. Enam komponen dari rencana pembelajaran tersebut.adalah: 1) Tema/topik, berisi nama tema/topik yang akan diajarkan. Tema/topik tersebut diambil dari kurikulum (silabus) IPS pada semester yang sesuai bagi pembelajaran keterampilan sosial, bermakna dan dekat dengan kehidupan / keseharian siswa. 2) Tujuan Pembelajaran, merupakan sasaran yang akan dicapai dalam pembelajaran. Tujuan tersebut berisi rumusan kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh para siswa. Tujuan pembelajaran terbagi dua, yaitu tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Tujuan pembelajaran umum, berisi rumusan kompetensi dasar berkenaan dengan topik yang akan diajarkan, sedang tujuan pembelajaran khusus, berisi rumusan indikator-indikator dari topik yang akan diajarkan. 3) Materi Pembelajaran, merupakan isi atau substansi bahan yang akan diajarkan, yang menunjang penguasaan kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran ini hanya memuat garis-garis besar bahan ajaran yang merupakan rincian dari topik pembelajaran. 4) Model Pembelajaran, berisi rumusan tentang model pembelajaran kooperatif dengan variasi metode yang akan digunakan. Jenis metode yang digunakan dalam setiap pertemuan tidak selalu sama, disesuaikan dengan topik dan kompetensi yang akan dicapai. Metode-metode tersebut pada umumnya merupakan metode yang berisi kegiatan yang mengaktifkan siswa (seperti bekerja dan diskusi kelompok, presentasi, menanggapi, mengemukakan pendapat, memimpin), dalam berbagai kegiatan kelompok, bersifat inkuiri atau diskaveri yang bermakna. Meskipun demikan tidak berarti tidak boleh menggunakan metode yang bersifat ekpositori dan klasikal, kalau diperlukan sesuai topik dan kompetensi yang akan dicapai metode-metode tersebut juga dapat digunakan. 5) Media dan Sumber Pembelajaran, berisi rumusan tentang media atau alat bantu pembelajaran yang digunakan untuk membantu memperjelas atau mempermudah penguasaan materi atau kompetensi yang ingin dicapai. Media pembelajaran dapat menggunakan media yang sudah ada di sekolah atau diadakan oleh guru dan siswa. Sumber pembelajaran dapat berupa buku, majalah dan bahan cetak lain, bahan elektronik, orang atau nara sumber, dan sumber pembelajaran yang ada di lingkungan masyarakat. 6) Evaluasi Pembelajaran, merupakan kegiatan untuk mengukur dan menilai pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Evaluasi ini meliputi evaluasi proses dan evaluasi hasil pebelajaran. Evaluasi proses ditujukan untuk menilai perilaku atau keterampilan sosial siswa dalam berbagai kegiatan pembelajaran, seperti bekerja dan diskusi dalam kelompok kecil, kelompok sedang, kelompok besar dan dalam kelas. Evaluasi hasil ditujukan untuk mengukur dan menilai tingkat penguasan siswa dalam kompetensi dan materi yang dirumuskan dalam tujuan. Pengukuran menggunakan kuis, tes obyektif dan uraian. b. Prosedur Pembelajaran. Prosedur pembelajaran berisi langkah-langkah umum dan rincian singkat dari metode atau kegiatan model pembelajaran kooperatif. Prosedur ini dibuat untuk membantu mempermudah guru dalam menguasai dan melaksanakan langkah-langkah pembelajaran kooperatif. Dalam prosedur ini ada empat langkah utama, yaitu langkah: orientasi, eksplorasi, pendalaman dan penyimpulan. Langkah orientasi berisi kegiatan: pengenalan, dan pengkondisian; langkah eksplorasi berisi kegiatan: menyimak penjelasan, membaca bahan, bekerja atau berdiskusi kelompok, dan bekerja atau diskusi antar kelompok; langkah pemantapan berisi kegiatan: bekerja kelompok secara kelas, beriskusi kelas dan tes tertulis ; langkah penyimpulan berisi kegiatan: pembuatan kesimpulan dan pemberian tugas. 3. Implementasi Model Pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran merupakan langkah implementasi dari rencana pembelajaran kooperatif, berisi rincian dari prosedur pembelajaran. Sama dengan pada prosedur ada empat langkah utama yang merupakan sintaks dari model pembelajaran kooperatif hasil pengembangan, yaitu langkah: orientasi, eksplorasi, pendalaman dan penyimpulan. a. Langkah Orientasi atau kegiatan awal pembelajaran merupakan langkah untuk mendorong kelas memusatkan perhatian terhadap pembelajaran. Langkah ini berisi kegiatan: 1) Curah pendapat, apersepsi atau menghubungkan materi baru dengan yang sudah dikuasai. 2) Pengkondisian kelas berisi penciptaan situasi, pemberian motivasi dan penjelasan tentang langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan. b. Langkah Eksplorasi atau kegiatan inti pertama, merupakan langkah untuk mengajak dan mendorong siswa untuk mencari dan menemukan fakta, pengetahuan, masalah dan pemecahan. Dalam proses pencarian tersebut siswa berlatih mengembangkan keterampilan berinteraksi, berpartisipasi, berkomunikasi. Kegiatankegiatan utama yang dilakukan dalam langkah eksplorasi adalah: 1) Siswa menyimak penjelasan dari guru tentang bahan yang akan dipelajari 2) Secara individual dan kelompok siswa membaca tentang topik yang akan dipelajari.. 3) Bekerja kelompok: mengerjakan tugas, latihan, menjawab soal yang diberikan, menyiapkan bahan untuk penyajian. 4) Diskusi kelompok: mengemukakan pengetahuan atau pendapat, mengajukan tanggapan, mempertahankan pendapat, memberikan penilaian. 5) Bekerja antar kelompok: memadukan hasil pekerjaan kelompok, 6) Diskusi antara kelompok: penyajian hasil kerja kelompok, kompetisi dalam menganggapi, memberikan jawaban, siswa/guru memberikan penilaian, mengadakan penyempurnaan. c. Langkah pemantapan atau kegiatan inti kedua, merupakan langkah untuk memperdalam, memperluas, memantapkan, memperkuat penguasaan materi dan kemampuan yang telah dicapai pada langkah eksplorasi. Kegiatan-kegiatan utama yang dilakukan pada langkah ini meliputi: 1) Kerja kelompok kelas: memadukan hasil kerja antar kelompok, mengadakan penyempurnaan, menyiapkan bahan penyajian. 2) Diskusi kelas: bergiliran atau berkompetisi memberi penjelasan dan tanggapan, guru dan/atau siswa memberi penilaian. 3) Melalui tanya-jawab guru mengajak siswa memadukan hasil kerja dan diskusi kelas. 4) Evaluasi dalam bentuk tes tertulis bentuk obyektif atau uraian. d. Langkah Penyimpulan atau kegiatan akhir pembelajaran, merupakan langkah untuk menyimpulkan atau merangkumkan dan menegaskan tentang apa yang telah dipelajari. Langkah penyimpulan berisi kegiatan: 1) Guru menyimpulkan materi dan kemampuan yang telah dipelajari dan dilatihkan. 2) Guru menegaskan pentingnya materi dan kemampuan yang telah dipelajari dalam pendidikan dan kehidupan yang akan datang. 4. Faktor Pendukung Model Pembelajaran Efektifitas pembuatan rancangan dan implementasi model pembelajaran ini sangat didukung oleh berbagai faktor sebagai berikut: a. Guru, berkenaan dengan kemapanan guru dalam berbagai aspek, di antaranya kualifikasi pendidikan, potensi dan kondisi, persepsi terhadap profesi dan tugas mengajar serta kemampuan dan kecakapan menyelenggarakan serta mengelola pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik model pembelajaran. b. Siswa, berkenaan dengan karakteristik, potensi, minat, kemampuan dan persepsinya terhadap pembelajaran kooperatif serta pelajaran IPS. c. Sarana-prasarana, sumber belajar, media dan alat bantu belajar, berkenaan dengan ketersediaan, keberfungsian dan kreatifitas penyajian dan pemanfaatanya oleh guru. d. Ukuran, kondisi dan suasana kelas. Ukuran berkaitan dengan luas dan pemanfaatan ukuran kelas; kondisi kelas berkenaan dengan penataan sarana dan prasarana di kelas sehingga kondusif untuk pembelajaran kooperatif sedangkan suasana kelas berkenaan dengan iklim belajar dan kegiatan kerjasama dalam pembelajaran. e. Waktu. Efektivitas implementasi model pembelajaran kooperatif membutuhkan waktu yang memadai dengan pemanfaatan yang optimal dan bermakna. 5. Kelebihan Model Pembelajaran yang Dihasilkan Model pembelajaran kooperatif hasil pengembangan memiliki kelebihan dibandingkan dengan model pembelajaran biasa (ekspositori) dalam dua aspek yang menjadi sasaran pembelajaran, yaitu penguasaan: keterampilan sosial dan pengetahuan. Kelebihan dari model pembelajaran ini diperlihatkan oleh perbedaan tingkat penguasan yang cukup berarti dari hasil tes akhir dibandingkan dengan hasil tes awal, baik dalam aspek keterampilan sosial maupun pengetahuan IPS. Temuan tersebut diperkuat oleh hasil analisis perbedaan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen atau yang menggunakan model pembelajaran kooperatif memiliki tingkat penguasaan dalam aspek keterampilan sosial dan pengetahuan yang lebih tinggi dan perbedaannya cukup berarti dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dalam tes awal pasangan-pasangan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang berarti, atau perbedaannya berarti tetapi jauh lebih kecil dibandingkan dengan pada tes akhir. a. Penguasaan keterampilan sosial 1) Setelah belajar dengan menggunakan model pembelajaran koperatif, penguasaan keterampilan sosial lebih tinggi. Skor rata-rata (mean) hasil tes akhir lebih besar dan berbeda secara signifikan dibandingkan dengan hasil tes awal. 2) Perbedaan tersebut diperkuat oleh hasil uji perbedaan dengan kelompok kontrol. Dalam setiap pasangan sekolah eksperimen dengan sekolah kontrol diperoleh hasil bahwa skor rata-rata keterampilan sosial dari sekolah-sekolah kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata skor sekolah kelompok kontrol, dengan perbedaannya sangat berarti. 3) Model pembelajaran kooperatif memberikan hasil lebih baik dalam pengembangan keterampilan sosial, di antaranya karena menggunakan berbagai variasi kegiatan pembelajaran kelompok sehingga banyak memberikan kesempatan untuk berlatih keterampilan sosial. Hal itu berarti bahwa model pembelajaran kooperatif cocok digunakan untuk pengembangkan keterampilan sosial. 4) Adanya kecenderungan bahwa implementasi model pembelajaran kooperatif memberikan dampak yang berragam (variatif) terhadap keterampilan sosial siswa, terutama pada siswa dari sekolah kategori menengah. Dengan demikian model pembelajaran kooperatif ini memiliki ”kelenturan medan” sehingga dapat digunakan pada berbagai tingkat kemampuan siswa. Penguasaan pengetahuan 1) Dalam aspek pengetahuan sebagai dampak pengiring dari pembelajaran aspek keterampilan sosial, sekolah-sekolah yang menjadi kelompok eksperimen, memperlihatkan perbedaan yang sangat berarti antara tes awal (pes test) dengan tes akhir (post test). 2) Perbedaan tersebut diperkuat oleh hasil uji perbedaan dengan kelompok kontrol. Dalam setiap pasangan sekolah eksperimen dengan sekolah kontrol diperoleh hasil bahwa skor rata-rata sekolah-sekolah dari kelompok eksperimen (yang menggunakan model pembejaran kooperatif) hasilnya lebih tinggi dari skor rata-rata sekolah kelompok kontrol (yang menggunakan model pembelajarn biasa), dan perbedaannya sangat signifikan atau berarti. 3) Penguasaan hasil belajar pada aspek pengetahuan lebih homogen dibandingkan dengan dalam aspek keterampilan sosial. 4) Tingkat heterogenitas pencapaian aspek pengetahuan cenderung lebih menonjol pada kelompok eksperimen dibanding kelompok kontrol, hal itu menandakan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatif cenderung memberi keragaman hasil dalam aspek pengetahuan. 5) Model pembelajaran kooperatif lebih unggul dari pembelajaran biasa karena para siswa banyak melakukan variasi kegiatan dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Melalui berbagai variasi kegiatan belajar tersebut mereka melakukan pengulangan, perluasan, pendalaman dan penguatan terhadap penguasaan materi pengetahuan yang dipelajari, sedang dalam pembelajaran biasa yang bersifat ekspositori, siswa hanya mengalami atau melakukan satu atau dua kegiatan belajar saja, sehingga tidak atau kurang terjadi pengulangan, perluasan, pendalaman dan penguatan penguasaan. 6. Hambatan dan Optimalisasi Pelaksanaan Ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif. Pertama, karena belum biasa guru tidak langsung dapat melaksanakan model pembelajaran kooperatif secara efektif, mereka membutuhkan penyesuaian atau latihan dalam pertemuan pertama, tetapi pada pertemuan berikutnya dapat lebih efektif. Kedua, karena belum biasa para siswa juga membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kegiatan yang baru. Guru dituntut untuk lebih meningkatkan disiplin belajar terutama kebiasaan siswa berbicara dan bekerja lebih efisien. Ketiga, kegiatan-kegiatan kelompok yang mengaktifkan siswa membutuhkan waktu belajar yang relatif lebih lama. Masalah ini dapat diatasi dengan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu, penentuan target sasaran dan waktu untuk setiap kegiatan, pengawasan dan perintah untuk segera mengakhiri sesuatu kegiatan dan berpindah ke kegiatan lainnya. Keempat, adalah kelengkapan media dan sumber. Masalah ini merupakan masalah umum yang dihadapi oleh sekolah, dapat diatasi dengan meningkatkan kerjasama dengan unsur pimpinan dan komite sekolah, dan peningkatan upaya guru mengembangkan sendiri media dan sumber belajar. 7. Beberapa Prinsip Dasar yang Ditemukan Berdasarkan berbagai pengamatan terhadap pembelajaran, mengkaji dan menyimpulkan temuan-temuan, ditemukan beberapa prinsip dasar atau dalil yang dapat dirumuskan berkenaan dengan model pembelajaran kooperatif. a. Belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa. b. Penguasaan materi pelajaran lebih meningkat dengan menggunakan pembelajaran kooperatif. c. Pembelajaran yang menggunakan kegiatan kelompok yang bervariasi dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. d. Kegiatan berkelompok lebih efektif jika pengelompokkan dilakukan dengan kegiatan yang kreatif. e. Penguasaan siswa dalam materi pelajaran meningkat melalui penggunaan kegiatan pembelajaran yang mengaktifkan siswa. f. Siswa lebih cepat menyesuaikan diri dengan kegiatan pembelajaran bila didahului dengan langkah orientasi. g. Wawasan pengetahuan siswa lebih luas melalui penggunaan kegiatan eksplorasi. h. Penguasaan pengetahuan siswa lebih kuat melalui kegiatan pendalaman dan penguatan. i. Penyimpulan diakhir pelajaran memperkuat pengusaan siswa dalam materi yang dipelajari. E. Rekomendasi Temuan-temuan dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak yang berperan dalam pengembangan konsep, pengelolaan, dan pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan IPS, baik pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. 1. Untuk guru Guru adalah pelaksana terdepan dari kurikulum dan pembelajaran. Guru-guru Sekolah Dasar dapat menggunakan hasil-hasil dari penelitian ini untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran IPS. Hasil-hasil dari studi pendahuluan dapat dijadikan bahan perbandingan dengan kondisi yang ada di sekolahnya, kemudian dijadikan titik tolak peningkatan mutu pembelajaran. Guru-guru kelas V dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dalam penelitian ini di kelasnya. Untuk topik-topik yang sama dengan topik yang dikembangkan dalam penelitian ini, rencana pembelajarannya dapat langsung digunakan, dengan terlebih dahulu membaca dan memahaminya secara cermat. Untuk topik-topik lain dalam pelajaran IPS di kelas V dapat langsung digunakan dengan didahului oleh beberapa penyesuaian sejalan dengan tema atau topik yang akan diajarkannya. Model pembelajaran ini juga dapat digunakan di kelas IV dan kelas VI dengan beberapa penyempurnaan sesuai dengan karakteristik dan tingkat kemampuan siswa. Sebenarnya model pembelajaran ini juga dapat digunakan di kelas III, tetapi membutuhkan perhatian guru yang lebih intensif di dalam pelaksanaanya, sebab siswa kelas III kemampuannya masih terbatas, perhatiannya mudah goyah, keterampilan bekerja samanya masih perlu dikembangkan, sehingga membutuhkan pengendalian, pengawasan, dan bimbingan belajar yang lebih intensif. Didahului dengan penyusunan rencana yang memadai dan sesuai dengan kontek serta potensi siswa, efektifitas penerapan model ini terkait erat dan sangat didukung oleh kemauan dan kemampuan guru untuk mengembangkan berbagai inovasi dan kreatifitas dalam pembelajaran. Bentuk kreatifitas atau inovasi guru dapat dikembangkan dengan mengembangkan berbagai variasi metode atau kegiatan, variasi pengelolaan sarana dan prasarana yang ada atau dihadirkan di kelas, variasi media, prasarana atau alat bantu belajar, pengkondisian tempat duduk, variasi pengelompokkan anak atau urutan pembelajaran itu sendiri. Semakin kaya improvisasi guru kegiatan pembelajaran semakin merangsang siswa untuk terlibat karena menarik dan tidak membosankan. Pembiasaan penggunaan model pembelajaran kooperatif cukup meringankan tugas guru karena memfokuskan pembelajaran pada kegiatan siswa. Dalam kondisi demikian guru dapat mengoptimalkan berbagai kekuatan dan potensi siswa atau suasana di sekitar siswa. 2. Untuk Kepala Sekolah Kepala sekolah adalah pengelola dan sekaligus juga pemimpin di sekolah. Inovasi dan upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan guru, harus diarahkan, didorong, dibantu dan difasilitasi oleh kepala sekolah. Untuk membantu memfasilitasi inovasi yang dilakukan guru, terlebih dahulu kepala sekolah harus menguasai model atau acuan tersebut. Bentuk fasilitas utama dari kepala sekolah yang dibutuhkan dalam implementasi model pembelajaran kooperatif berkenaan dengan dukungan saat mengimplementasikan kurikulum sehingga guru merasa leluasa dalam mengembangkan berbagai inovasi dan kreatifitas mengajar. Keterikatan sasaran hasil sebagaimana menjadi kendala saat ini harus difahami secara proporsional sehingga target guru mengajar tidak terbebani hanya pada satu sasaran. Dukungan kedua berkenaan dengan ketersediaan, kecukupan serta keberfungsian berbagai sarana, prasarana serta sumber belajar karena efektifitas pembelajaran kooperatif didukung oleh komponen tersebut. Semakin lengkap semakin memudahkan guru dalam membangun pembelajaran kooperatif karena terbukti dengan contoh dan alat bantu realita kemampuan kerjasama dan hasil belajar siswa relatif lebih efektif. Model pembelajaran kooperatif dapat dijadikan salah satu contoh model dan juga acuan oleh kepala sekolah dalam mendorong, membina dan memfasilitasi inovasi dan peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran di sekolahnya. Dengan acuan model pembelajaran kooperatif yang dihasilkan dalam penelitian ini, Kepala Sekolah dapat mendorong penggunaannya pada topik lain di kelas V, pada tingkatan kelas lain di sekolahnya atau menginformasikan keunggulannya kepada pada kepala sekolah lain baik untuk pembelajaran IPS maupun mata pelajaran lain yang berkarakteristik materi cocock dengan model ini. 3. Untuk Dinas Pendidikan Kepala sekolah hanya bertugas dan bertanggung jawab terhadap inovasi yang diadakan di sekolahnya. Untuk inovasi dan peningkatan mutu pendidikan pada sekolah yang lebih luas menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Pendidikan, tingkat kecamatan, kota atau kabupaten dan tingkat propinsi. Disamping memberi dukungan langsung untuk membantu mempermudah dalam memfasilitasi berbagai kebutuhan belajar siswa, Dinas Pendidikan juga dapat mensosialisaikan model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan dalam penelitian ini sebagai model dan acuan dalam pelaksanaan inovasi dan peningkatan mutu pendidikan pada tingkat kecamatan, kota/kabupaten dan propinsi, khususnya dalam pembelajaran IPS di kelas V. Model ini juga dapat digunakan pada kelas III, IV dan kelas VI dengan beberapa penyesuaian. 4. Untuk LPTK Keberadaan program studi Pengembangan Kurikulum pada tingkat pasca sarjana di LPTK merupakan wadah yang sangat memadai untuk melakukan berbagai penelitian berkenaan dengan model-model pembelajaran yang inovatif untuk berbagai sasaran pembelajaran.. Mengefektifkan sarana penyusunan penelitian akhir dalam bentuk thesis dan disertasi oleh siswa pasca, program studi maupun PPS dapat menghimpun temuan-temuan tersebut sehingga terintegrasi sehingga menjadi produk ilmiah yang dapat disosialisasikan kepada berbagai pihak terkait. Dengan cara ini maka tidak ada kemandegan rantai informasi ilmiah kepada masyarakat. Secara khusus Model pembelajaran kooperatif yang dihasilkan dalam penelitian ini, juga dapat menjadi masukan bagi perguruan tinggi yang melaksanakan pendidikan guru (LPTK). Agar guru-guru memiliki kemampuan dalam melakukan Inovasi dan pengembangan dalam pembelajaran, maka sebaiknya inovasi dan pengembangan yang akan dilakukan di sekolah telah diberikan dan dilatihkan pada LPTK. Guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK sebaiknya telah memiliki kesiapan dalam melakukan inovasi. Model pembelajaran kooperatif yang dihasilkan dapat menjadi salah satu model dan acuan dalam pembekalan kepada para calon guru. 5. Untuk Peneliti Selanjutnya Penelitian ini berkenaan dengan pembelajaran IPS di kelas V dengan fokus pengembangan keterampilan sosial. Hasil penelitian menemukan bahwa model pembelajaran yang cocok dan cukup efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial di kelas V adalah pembelajaran kooperatif. Penelitian ini cukup terbatas, hanya mengembangkan model pembelajaran bagi pengembangan keterampilan sosial di kelas V. Masih terbuka kesempatan bagi para peneliti lain untuk meneliti hal lainnya, seperti model: pembelajaran kooperatif pada kelas-kelas lainnya di sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama dan lanjutan atas, pembelajaran koopertif pada mata-mata pelajaran lainnya, model pembelajaran lain untuk mengembangkan keterampilan sosial. Keberhasilan implementasi model ini juga memerlukan berbagai dukungan, bukan hanya kemauan dan kemampuan peneliti untuk menggali dengan tepat berbagai potensi bacaan dan hasil penelitian sebelumnya, juga kemampuan melakukan atau mengembangkan inovasi dan kreatifikas untuk model pembelajaran, kecukupan waktu dan kemampuan untuk melakukan pendekatan, kerjasama serta pelatihan bagi para guru sebelum mengimplementasikan model di sekolah yang dijadikan objek penelitian. Dengan ketepatan pendekatan tersebut maka beberapa hambatan yang terjadi bisa teratasi. Daftar Pustaka Adisukarjo, S. (2005). Horizon Pengetahuan Sosial 5 B. Jakarta: Yudhistira. Al. Muhtar,S. (2006). Pengembangan Berfikir dan Nilai dalam Pendidikan IPS. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri. Banks, JA. & Ambrose, A.C. (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New York: Longman,Inc. Baar, Sarth and Shermis. (1978). The Nature of the Social Studies. Palm Spring California: ETC Publications. Bell,B.(1993). Children’s Science,Constructivism and Learning in Science. Australia: Dekin University. Bloom, B.S. (1976). Human Characteristicts and School Learning. New York: Mc Graw-Hill Book. Boediono,M. et, al. (1990). Menyongsong Globalisasi: Loncatan Konseptua & Kepemimpinan Intelektual. Mimbar Pendidikan. IX. Bandung: IKIP Bandung. . .........., (1997). Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.. Bogdan R. and Biklen, SK. (1992). Qualitative and Research for Education: An Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn and Bacon. Cartledge, Cr. And Milburn, J. f. (1992). Teaching Social Skill to Children: Innovative Approach. New York: Pergemon Press. Chaplin, J.R. & Messick, R.G. (1992). Elementary Social Studies: A Practical Guide. New York: Longman. Chauhan, S.S. (1979). Innovation in Teaching –Learning Process. New Delhi: Vikas Publishing House PVT,Ltd. Combs,M. L. & Slaby,D.A. (1977). Social Skill Training With Children.. New York: Plennum Press. Djahiri, K. (1997). Membina PIPS, IPS dan PPS yang Menjawab Tantangan Hari Esok, Jurnal Pendidikan E. Sosial I /1993. Bandung: Forum Komunikasi FPIPS/PS Indonesia Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi SD dan MI. Jakarta. . .......... (1999). Hasil Evaluasi Kurikulum 1994 untuk SD. Jakarta. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Depdikbud Daftar Pustaka dan Sumber Bacaan lainnya ada pada redaksi. < Sebelumnya [ Kembali ] All Rights Reserved 2008 http://educare.e-fkipunla.net Dikelola oleh Pusat Pengembangan dan Peningkatan Pembelajaran Elektronik. FKIP Universitas Langlangbuana.