4 Laporan Studi Pustaka (KPM 403) PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) DESA HERNALDI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Partisipasi Perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, 2014 Hernaldi NIM. I34110020 iii ABSTRAK HERNALDI. Partisipasi Perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa. Di bawah bimbingan TITIK SUMARTI Partisipasi perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) desa masih sangat rendah. Rendahnya partisipasi tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti rendahnya akses perempuan terhadap informasi, perempuan dipersepsikan memiliki kewajiban dalam pekerjaan domestik sehingga akan muncul isu beban ganda, pendominasian partisipasi dari kaum elit (pemerintah desa), ketimpangan hak perempuan dalam akses pendidikan, dan masih kuatnya budaya patriarki. Tujuan dari penulisan studi pustaka ini yaitu untuk menganalisis hubungan faktor yang mempengaruhi dengan tingkat partisipasi perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa. Partisipasi perempuan dalam pembangunan adalah berperanaktifnya perempuan dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan, dan memperoleh hasil atau resiko dari keseluruhan tindakan yang berkait dengan upaya pembangunan yang dilaksanakan. Untuk menganalisis seberapa besar partisipasi perempuan dalam musrenbang, Arnstein (1969) menawarkan suatu teori yang disebut dengan teori The Ladder of Participation. Teori tersebut membagi tingkatan partisipasi dalam delapan tangga atau tingkatan dengan karakteristik partisipasi di setiap tangga yang berbeda. Delapan tingkatan partisipasi tersebut adalah manipulasi, terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredam kemarahan, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Kata Kunci : gender, musrenbang, partisipasi perempuan ABSTRACT HERNALDI. Women's Participation in Development Planning Meeting (Musrenbang) Rural. Supervised by TITIK SUMARTI Women's participation in development planning (musrenbang) is still very low. The low participation rate is caused by several things such as women's lack of access to information, women perceived to have liabilities in domestic work so it would appear the issue of double burden, the participation of elite domination (government), the inequality of women's rights in access to education, and the strong patriarchal culture. The purpose of this study is to analyze the relationship between the factors that affect the level of women's participation in the Development Planning Meeting (Musrenbang) rural. Women's participation in development is active role of women in decision making process, implementation of decisions, and get the results or the risk of the overall action related to the development efforts undertaken. To analyze how much the participation of women in these forums, Arnstein (1969) offer a theory called the theory of The Ladder of Participation. The theory divides the level of participation in the eight stairs or level with the participation in every household characteristics are different. Eight levels of participation is manipulation, therapy, conveying information, consultation, reducer anger, partnership, delegation of authority, and community supervision. Keyword : gender, musrenbang, women's participation iv PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) DESA Oleh Hernaldi I34110020 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Hernaldi Nomor Pokok : I34110020 Judul : Partisipasi Perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Dr Ir Titik Sumarti MC, MS Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal Pengesahan: _______________ vi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Partisipasi Perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa”. Meskipun seringkali penulis mengalami kesulitan, namun berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan studi pustaka ini dengan tepat waktu. Laporan studi pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa studi pustaka dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapan terimakasih kepada Dr. Titik Sumarti MC, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada orang tua tercinta Bapak Hernalis dan Ibu Ratna Damayanti yang selalu memberikan semangat serta doa kepada penulis. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman SKPM 48, para junior serta senior di Departemen SKPM sebagai teman berdiskusi dan pemberi motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan laporan studi pustaka ini. Akhirnya penulis berharap nantinya studi pustaka ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami tentang Gender dan Pembangunan, terutama tentang Partisipasi Perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa. Bogor, 2014 Hernaldi NIM. I34110020 vii DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... viii PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................................... 1 Tujuan Tulisan.................................................................................................................... 2 Metode Penulisan ............................................................................................................... 3 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA......................................................................... 4 1. Mengukur Tingkat Partisipasi Masyarakat Kota Bekasi Dalam Penyusunan APBD Melalui Pelaksanaan Musrenbang 2010 ....................................................................... 4 2. Pelaksanaan Hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kapuas Kabupaten Sanggau ...................................................................................................... 6 3. Perbandingan Perencanaan Pembangunan Partisipatif dengan Perencanaan Pembangunan Daerah ................................................................................................... 9 4. Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif di Kabupaten Kendal .................. 11 5. Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten ....................... 13 6. Pemberdayaan Perempuan dalam Dimensi Pembangunan Berbasis Gender ............ 15 7. Analisis Ketimpangan Gender dalam Proses Pembangunan (Sebuah Tinjauan Sosiologi Historis terhadap Partisipasi Perempuan di Bidang Pendidikan) ............... 17 8. Studi Kebijakan Pembangunan Daerah Berperspektif Gender di Kabupaten Lampung Tengah ........................................................................................................................ 19 9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Perempuan Beraktivitas dalam Partai Politik ......................................................................................................................... 21 10. Membuka Ruang Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan ................................ 23 11. Pemberdayaan Perempuan Desa dalam Pembangunan (Studi Kasus Perempuan di Desa Samboja Kuala, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara) ............ 25 12. Pendidikan dan Pemajuan Perempuan : Menuju Keadilan Gender ............................ 27 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 30 Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan ................................................................... 30 Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) ................................................. 33 Kajian Gender dalam Pembangunan ................................................................................ 34 Faktor-Faktor Pengaruh Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan ............................ 35 Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang ...................................................................... 37 SIMPULAN .......................................................................................................................... 39 Hasil Rangkuman dan Pembahasan ................................................................................. 39 Usulan Kerangka Analisis Baru ....................................................................................... 40 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi ................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 42 LAMPIRAN.......................................................................................................................... 44 Riwayat Hidup.................................................................................................................. 44 viii DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Hubungan Konseptual “Mengukur Tingkat Partisipasi Masyarakat Kota Bekasi Dalam Penyusunan APBD Melalui Pelaksanaan Musrenbang 2010” .................................5 Gambar 2. Hubungan Konseptual “Pelaksanaan Hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kapuas Kabupaten Sanggau”...............................................8 Gambar 3. Hubungan Konseptual “Perbandingan Perencanaan Pembangunan Partisipatif dengan Perencanaan Pembangunan Daerah”.....................................................................10 Gambar 4. Hubungan Konseptual “Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif di Kabupaten Kendal”...............................................................................................................12 Gambar 5. Hubungan Konseptual “Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten”.....................................................................................................14 Gambar 6. Hubungan Konseptual “Pemberdayaan Perempuan dalam Dimensi Pembangunan Berbasis Gender”..........................................................................................16 Gambar 7. Hubungan Konseptual “Analisis Ketimpangan Gender dalam Proses Pembangunan (Sebuah Tinjauan Sosiologi Historis terhadap Partisipasi Perempuan di Bidang Pendidikan)”............................................................................................................18 Gambar 8. Hubungan Konseptual “Studi Kebijakan Pembangunan Daerah Berperspektif Gender di Kabupaten Lampung Tengah”............................................................................20 Gambar 9. Hubungan Konseptual “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Perempuan Beraktivitas dalam Partai Politik”........................................................................................22 Gambar 10. Hubungan Konseptual “Membuka Ruang Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan”.....................................................................................................................24 Gambar 11. Hubungan Konseptual “Pemberdayaan Perempuan Desa dalam Pembangunan (Studi Kasus Perempuan di Desa Samboja Kuala, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara)”......................................................................................................................26 Gambar 12. Hubungan Konseptual “Pendidikan dan Pemajuan Perempuan: Menuju Keadilan Gender”................................................................................................................29 Gambar 13. Delapan Tangga Partisipasi Arnstein ..............................................................30 Gambar 14. Kerangka Analisis ...........................................................................................41 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat desa secara tradisi memiliki pembagian kerja dimana laki-laki dalam kegiatan produktif (nafkah) dan perempuan dalam kegiatan reproduktif (rumah tangga). Berdasarkan penelitian Khotimah (2009) pola pembagian kerja masyarakat industri tidak jauh berbeda dengan pola masyarakat agraris. Peran domestik masih cenderung diberikan kepada perempuan, karena partisipasi perempuan masih dihargai lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan yang masuk di dalam lingkaran profesional dan eksekutif jumlahnya masih sangat kecil. Laki-laki dominan di sektor profesi yang memiliki status lebih tinggi, seperti teknik, arsitek, dokter, kontraktor, manajer, dll. Laki-laki cenderung mendominasi industri hulu yang upahnya lebih tinggi, sementara perempuan cenderung bergulat di industru hilir, yang menangani proses akhir dari sebuah produk (finishing), yang upah produktivitasnya lebih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Foilyani (2009) tidak jauh berbeda, ia menunjukkan bahwa sifat kehalusan dan ketelatenan yang merupakan ciri khas perempuan dijadikan alasan untuk pemberian pekerjaan yang marginal sehingga meletakkan posisi perempuan pada pekerjaan yang kurang penting dan gaji yang relatif rendah. Aktivitas perempuan secar konsisten menyangkut hal yang kurang berbahaya, tidak membutuhkan konsentrasi tinggi, serta hanya memerlukan sedikit latihan dan keterampilan. Menurut Ruslan (2010) sekalipun partisipasi perempuan dalam pembangunan kelihatan mengalami peningkatan, sebagian besar pengamat menganggap bahwa perempuan, dalam banyak hal, tetap sebagai pihak yang dirugikan dalam proses pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah karena model-model pembangunan yang dirancang dan dipergunakan tidak selalu memperhatikan relasi yang ada di antara perempuan dan laki-laki.. Menurut penelitian Listyaningsih (2010), rendahnya keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan telah terjadi sejak di tingkat paling bawah dalam strata pemerintahan yang ada, yaitu di tingkat RT, RW dan Desa. Rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan terlihat pula dalam bidang ketenagakerjaan, diantaranya mengacu data BPS 2009. Disebutkan jumlah angkatan kerja sebanyak 113,74 juta orang, yang bekerja sebesar 104,49 orang, sebagai penganggur pada 2008 perempuan 9,3 persen dan laki-laki 7,6 persen. Selain itu, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dari 450 ribu sampai dengan 700 ribu selama 2005-2008. Jumlah TKI perempuan mencapai 68,5 persen pada tahun 2005 dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 77 persen (Djalal 2010: 89). Berdasarkan analisis dan proyeksi tenaga kerjasektor pertanian oleh kementrian pertanian, didapatkan data bahwa tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin laki-laki sektor pertanian tahun 2009 mencapai 61,37 persen, kembali meningkat pada tahun 2010 sebesar 61,45 persen dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 61,52 persen, sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 61,32 persen. Sementara tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin perempuan pada tahun 2009 mencapai 38,63 persen, pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 38,55 persen, dan pada tahun 2011 turun sebesar 38,48 persen, sedangkan pada tahun 2012 tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin perempuan mengalami peningkatan sebesar 38,68 persen. Menurut Kalyanamitra (2011) 70.954 dari 73.843 Kepala Desa berjenis kelamin laki-laki, artinya hanya ada 2.888 atau 3,91 persen perempuan yang berhasil menjadi 2 Kepala desa, Sementara untuk Bupati dan Walikota, data menunjukkan bahwa hanya terdapat 10 atau 2,27 perempuan yang menjadi Bupati/Walikota, dari 440 orang diseluruh Indonesia. Sedangkan untuk Wakil Bupati/Walikota, hanya terdapat 12 atau 2,72 persen dari 440 Wakil Bupati dan walikota yang terdata3. Untuk Jabatan Gubenur, terdapat 1 atau 3,03 persen perempuan dari 33 propinsi (dari propinsi Banten), demikian juga untuk jabatan Wakil Gubenur, hanya terdapat 1 atau 3,03 persen perempuan dari 33 propinsi (dari Jawa Tengah). Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan untuk mendorong partisipasi perempuan dalam pembangunan. Menurut Darmastuti et al. (2012) untuk menyusun kebijakan yang responsif gender dibutuhkan pula para pengambil kebijakan yang memiliki kepekaan gender. Dalam implementasi kegiatan pemerintahan di Kabupaten Lampung Tengah, masih terdapat permasalahan terkait dengan pengambilan kebijakan yang responsif gender seperti: a) banyak diantara para pejabat dan pegawai pada umumnya yang belum memiliki pengetahuan tentang gender dan pembangunan; b) belum tumbuhnya perhatian terhadap pentingnya aspek gender dalam merancang sebuah kebijakan pembangunan; c) masih belum memadainya jumlah para pengambil kebijakan yang peka gender. Menyadari perlunya penegakkan keadilan dalam perbaikan kualitas hidup penduduk terutama perempuan, maka pemerintah pada tahun 2000 mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di segala bidang pembangunan beserta pedoan pelaksanaannya yang “... mengintruksikan kepada semua pejabat, termasuk Gubernur, Bupati, Walikota untuk melaksanakan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengevaluasian PUG atas kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kewenangan masing-masing”. Telah disinggung pula dalam Pasal 3 UU No. 11 Tahun 2005 dan Pasal 3 Undang-undang No. 12 Tahun 2005 disebutkan pula bahwa “… Negara menjamin hak yang sederajat antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik” (Hubeis 2010). Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) desa telah melibatkan masyarakat, mulai dari tingkat RT, RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok pemuda, dan beberapa stakeholder lainnya. Berdasarkan penelitian Supadmi et al. (2013) dalam setiap tahapan musrenbang, keterwakilan masyarakat dapat dikatakan sudah cukup memadai. Pada saat musrenbangdes/kelurahan, misalnya hadir anggota BPD sebagai wakil masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dan wakil dari setiap kelompok masyarakat. Demikian juga pada saat musrenbang tingkat kecamatan, tokoh-tokoh masyarakat juga hadir. Pada saat musrenbang tingkat kabupaten, hadir tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Namun demikian, keterwakilan dalam bentuk kehadiran saja sebenarnya belum cukup menjamin aspirasi dari bawah tersampaikan atau menjadi bagian dari pengambilan keputusan di tahap selanjutnya. Berdasarkan pemaparan tersebut apakah proses Musrenbang telah memerhatikan suara perempuan? Apakah masih terdapat isu gender dalam pelaksanaan musrenbang? Untuk menjawab hal tersebut maka penulis mengangkat permasalahan umum dari tulisan ini yaitu bagaimana tingkat partisipasi perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa? Tujuan Tulisan Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka tujuan penulisan studi pustaka ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam Musrenbang desa dan untuk menganasisis tingkat partisipasi perempuan dalam 3 Musrenbang desa. Tujuan tulisan dengan judul Partisipasi Perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa, yaitu: 1. Mengidentifikasi konsep partisipasi perempuan desa dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). 2. Mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi perempuan desa dalam pembangunan. 3. Menganalisis hubungan antara faktor yang mempengaruhi dan tingkat partisipasi perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini adalah penelaahan serta analisis data sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Hal pertama yang dilakukan yaitu pengumpulan berbagai data sekunder berupa hasil penelitian, seperti jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan buku-buku terkait gender, partisipasi perempuan dan musrenbang. Data sekunder akan diringkas dan dilakukan analisis dan sintesis terhadap hasil ringkasan (ikhtisar). Berdasarkan hasil analisis dan sintesis, maka disusunlah kerangka pemikiran yang menjadi dasar perumusan masalah untuk penelitian yang akan dilakukan. 4 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Mengukur Tingkat Partisipasi Masyarakat Kota Bekasi Dalam Penyusunan APBD Melalui Pelaksanaan Musrenbang 2010 : 2011 : Jurnal : Elektronik : Wahyu Ishardino Satries ::: Jurnal Kybernan : 2 (2) : 89-130 : https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc =s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0C CMQFjAB&url=http%3A%2F%2Fejournalunisma.net%2Fojs%2Findex.php%2Fkybernan% 2Farticle%2Fdownload%2F356%2F325&ei=BB0 uVOy6L4QuASujIGQBA&usg=AFQjCNHdh9kMs66F2lzzk JjdJyaByW94Ug&bvm=bv.76802529,d.c2E : 02 Oktober 2014, pukul 16.39 WIB Ringkasan : Tjipto Atmoko, menyatakan bahwa partisipasi publik dalam kebijakan pembangunan di negara-negara yang menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia sudah sejak lama terimplementasi. Konsep partisipasi baru dibicarakan pada tahun 60-an dengan alasan karena lembaga internasional mempromosikan partisipasi dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Landasan hukum dalam keikutsertaan berpartisipasi di masyarakat Indonesia tertuang dalam UUD’45 yang menyebutkan bahwa partisipasi adalah hak dasar warga Negara. Local Government Support Program (LGSP) mengadakan evaluasi penyelenggaraan Musrenbang di tingkat kabupaten/kota sejak tahun 2007 hingga 2009. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran tahunan, untuk memperoleh gambaran perkembangan kinerja pelaksanaan musrenbang, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong atau yang menjadi kendala pencapaian kinerja. Metode yang digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat Kota Bekasi adalah metode penelitian deskriptif analisis. Tujuan dari penelitian deskriptif yaitu untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta serta karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari implikasi (Syaifuddin Azwar, 2009). Derajat partisipasi Kota Bekasi diukur berdasarkan teori yang dipaparkan oleh Sherry Arnstein dalam teori the ladder of partisipation, membagi tingkatan partisipasi masyarakat ke dalam 8 tangga atau tingkatan dengan karakteristik 5 partisipasi di setiap tangga yang berbeda. Delapan tingkatan partisipasi tersebut adalah manipulasi, terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredam kemarahan, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Terdapat fakta yang menarik dari data yang telah diolah baik dalam bentuk jumlah responden (sejumlah 50 orang) maupun dari presentase responden yang diwawancarai. Tanggapan responden terhadap pernyataan terkait dengan informasi pelaksanaan, undangan musrenbang, sosialisasi jadwal musrenbang, masyarakat dapat memberi usulan program secara langsung, adanya dialog selain membicarakan murembang, partisipasi aktif dalam mengawasi pembangunan, tingkat kepercayaan pemda terhadap masyarakat, dan sarana bagi masyarakat dapat disimpulkan rendah. Seluruh pernyataan tersebut tidak ada yang melebihi angka (20%), artinya partisipasi masyarakat di Kota Bekasi belum terpenuhi dalam pelaksanaan musrenbang. Di dalam skala penilaian pun dijelaskan bahwa angka 0 persen - 19 persen dinilai sebagai kondisi yang Sangat tidak baik. Kondisi ini menggambarkan bahwa forum Musrenbang sebagai wadah penyaluran aspirasi masyarakat Kota Bekasi yang merupakan amanah konstitusi seperti tertuang dalam UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional belum berjalan optimal di Kota Bekasi dan masyarakat sebagai stakeholder perencanaan pembangunan belum sepenuhnya diberikan akses untuk berpartisipasi. Analisis: Penelitian ini menjelaskan tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pelaksanaan forum Musrenbang tahun 2010. Peneliti sudah menjelaskan tentang musrenbang secara lengkap mulai dari syarat keberhasilan musrenbang, prinsip-prinsip penyelanggaraan musrenbang, dan tujuan serta konsep musrenbang. Untuk mengetahui seberapa besar partisipasi dalam masyarakat, penelitian ini menggunakan 8 tangga atau tingkatan dengan karakteristik partisipasi di setiap tangga yang berbeda. Delapan tingkatan partisipasi tersebut adalah manipulasi, terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredam kemarahan, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. Adapun faktor yang menghambat partisipasi masyarakat Bekasi dalam musrenbang yaitu kurangnya akses masyarakat terhadap informasi yang seharusnya dilakukan oleh pemda Bekasi kepada seluruh masyarakat Bekasi. Terdapat pula kelebihan dari tulisan ini, yaitu pembaca dapat dengan mudah membayangkan fenomena rendahnya partisipasi masyarakat Kota Bekasi dalam pelaksanaan forum Musrenbang tahun 2010. Dalam melakukan analisis dari data yang telah didapatkan, penulis hanya mengaitkan satu variabel partisipasi saja. Sehingga pisau analisis dalam penelitian ini sangat terbatas. Selain itu penulis hanya menggunakan satu teori partisipasi oleh Sherry Arnstein dalam teori the ladder of partisipation saja. Karena penulis hanya menganalisis satu variabel yaitu partisipasi masyarakat saja, alangkah lebih baik apabila penulis menganalisis berdasarkan teori partisipasi menurut beberapa ahli. Selain itu, penulis kurang menggambarkan peran seluruh stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan forum Musrenbang tahun 2010. Akses terhadap informasi Partisipasi dalam musrenbang Gambar 1. Hubungan Konseptual “Mengukur Tingkat Partisipasi Masyarakat Kota Bekasi Dalam Penyusunan APBD Melalui Pelaksanaan Musrenbang 2010” 6 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Pelaksanaan Hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kapuas Kabupaten Sanggau : 2013 : Jurnal : Elektronik : Utin Sri Ayu Supadmi, AB. Tangdililing, dan Mahyudin Syafei :: Pontianak, Universitas Tanjungpura : Jurnal Tesis : 1-13 : http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpmis/article/vi ew/1677/pdf : 12 Maret 2014 Ringkasan : Implementasi kegiatan Musrenbang pada tingkat Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau tahun 2010, menunjukkan hasil yang kurang maksimal karena tidak diusulkannya kembali kegiatan yang belum terlaksana di tahun berikutnya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah : “faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pelaksanaan hasil Musrenbang di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau belum sesuai dengan usulan kegiatan”. Dengan sub-sub permasalahan antara lain : a) implementasi kebijakan pembangunan hasil Musrenbang di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau, b) faktorfaktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pembangunan hasil Musrenbang di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara, dengan mewawancarai subyke penelitian. Wawancara tidak dilakukan secara ketat dalam arti penulis memberikan kesempatan kepada responden untuk memberikan penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan tanpa dibatasi; teknik dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan mencari informasi dari catatan atau dokumen yang ada dan yang dianggap relevan dengan masalah penelitian. Dalam pelaksanaannya musrenbang masih dirasa cukup memprihatinkan, karena hasil yang diperoleh kurang sejalan dengan apa yang direncanakan oleh masyarakat. Akar masalahnya yaitu terletak pada anggaran yang tidak memadai. Tetapi dalam prosesnya, keterwakilan masyarakat dapat dikatakan sudah cukup memadai. Pada saat musrenbangdes/kelurahan, misalnya, hadir anggota BPD sebagai wakil masyarakat, tokohtokoh masyarakat dan wakil dari setiap kelompok masyarakat. Demikian juga pada saat musrenbang tingkat kecamatan, tokoh-tokoh masyarakat juga hadir. Pada saat musrenbang tingkat kabupaten, hadir tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Namun demikian, keterwakilan dalam bentuk kehadiran saja sebenarnya belum cukup menjamin aspirasi dari bawah tersampaikan atau menjadi bagian dari pengambilan keputusan di tahap selanjutnya. Selain itu pemahaman yang belum merata juga terjadi dalam proses implementasi Musrenbang ini. 7 Perencanaan yang partisipatif mutlak diperlukan agar kebutuhan masyarakt dapat di prioritaskan sehingga terciptanya kesejahteraan. Usulan rencana pembangunan di Kecamatan Kapuas hampir semuanya sama, sebagian besar menyangkut hal fisik. Namun dalam implementasinya tidak semuanya dapat terealisasikan. Diperkirakan hanya sekitar 50 persen-75 persen saja aspirasi masyarakat dari seluruh kegiatan pembangunan yang masuk dalam dokumen akhir. Salah satu usulan masyarakat desa yang diakomodir adalah peningkatan sarana jalan berupa pengerasan jalan, sementara usulan penting lainnya yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan tidak termasuk kegiatan yang dibiayai APBD. Dalam pelaksanaan musrenbang masih terdapat faktor yang mempengaruhi hasil dari musrenbang tersebut. Pertama, Faktor keakuratan usulan kegiatan. Ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan dalam Musrenbang kecamatan merupakan rumusan elite kelurahan dan desa, sehingga partisipasi masyarakat yang sesungguhnya masih jauh dari harapan. pemerintah kelurahan masih mendominasi perumusan kegiatan prioritas yang akan diusulkan dalam Musrenbang selanjutnya. Kedua, faktor minimnya pendampingan, Kurangnya pendamping atau fasilitator desa yang mampu dan kompeten untuk melaksanakan perencanaan partisipatif menyebabkan prioritas kegiatan terkadang tidak bisa terakomodir dalam sebuah perencanaan pembangunan. Ketiga, Agar masyarakat tidak kecewa dengan keikusertaan dalam Musrenbang, maka perlu adanya transparansi terhadap pelaksanaan Musrenbang dimana usulan kegiatan yang sudah disusun mulai dari bawah akan muncul dalam mata anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Kabupaten Sanggau. Ini menyebabkan banyaknya usulan program masyarakat yang hilang di tengah jalan. Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab masyarakat enggan terlibat aktif dalam Musrenbang yang diadakan oleh pemerintah baik di tingkat kelurahan dan kecamatan, karena sebagian besar masyarakat kecewa dengan rencana usulan program kegiatan yang diajukan tidak kunjung terealisasi. Keempat, faktor anggaran, jumlah dana yang dianggarkan untuk pembangunan hasil kegiatan musrenbang masih kurang mencukupi, hal ini dikarenakan banyak program yang harus dijalankan, artinya bahwa semua kegiatan yang sudah diprioritaskan tidak semuanya dapat terlaksana dalam satu tahun anggaran. Analisis: Penelitian ini menjelaskan proses kegiatan Musrenbang serta hasil nyata dari kegiatan tersebut di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau tahun 2010. Dalam implementasinya masyarakat secara umum sudah terlibat, namun implementasi dari rencana yang telah disusun tadi belum berjalan secara lancar dan pendapat serta aspirasi masyarakat kurang diperhatikan dalam dokumen akhir atau recana akhir pembangunan. Dalam pelaksanaan musrenbang terdapat pula hambatan seperti kurangnya pemahaman warga tentang pelaksanaan musrenbang, kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan hambatan biaya yang tidak mencukupi. Hambatan ini diduga karena sebagian besar prioritas masyarakat ada pada fisik, seperti pengerasan jalan. Terdapat fenomena mengherankan dalam pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau tahun 2010 yaitu, kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan tidak termasuk pada kegiatan yang dibiayai sehingga kebutuhan yang seharusnya menjadi prioritas tidak dapat terlaksana. 8 Kurangnya pemahaman masyarakat Kurangnya sosialisasi Impementasi musrenbang Biaya tidak memadai Gambar 2. Hubungan Konseptual “Pelaksanaan Hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kapuas Kabupaten Sanggau” 9 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Perbandingan Perencanaan Pembangunan Partisipatif dengan Perencanaan Pembangunan Daerah : 2012 : Jurnal : Elektronik : Syapriadi :: Riau, Universitas Negeri Riau : Jurnal Demokrasi dan Otonomi Daerah : 10(1):1-66 : http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JDOD/article/ download/944/937 : 02 Oktober 2014 Ringkasan : Musrenbang merupakan koordinasi berbagai pihak dalam implementasi kebijakan desentralisasi untuk menghasilkan pembangunan daerah yang berkelanjutan, keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah sangat penting untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, kebijakan pembangunan yangharus mengutamakan kepentingan masyarakatdan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara optimal. Perencanaan Pembangunan Partisipatif (PNPM-MPd) adalah pembangunan yang dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM). Dimana masyarakat dilibatkan mulai dari proses, pelaksanaan sampai kepada pelestarian pembangunan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalis perbandingan perencanaan pembangunan partisipatif dengan perencanaan pembangunan daerah di Desa Sungai Beringin dan Desa Rawa Bangun Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan induktif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang non hipotesis sehingga dalam rangka penelitiannya bahkan tidak perlu merumuskan hipotesisnya. Metode penelitian deskriptif adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan gambaran keseluruhan objek penelitian secara akurat. Dalam pelaksanaan pembangunan partisipatif dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut : a) MAD Sosialisasi merupakan pertemuan antar desa untuk sosialisasi awal tentang tujuan prinsip, kebijakan, prosedur maupun hal-hal yang berkaitan dengan PNPMMP, serta untuk menentukan kesepakatan-kesepakatan antar desa dalam melaksanakan PNPM-MP; b) Musdes Sosialisasi merupakan musyawarah masyarakat desa sebagai ajang sosialisasi yang dilaksanakan segera setelah MAD Sosialisasi. Musyawarah ini juga masih merupakan bagian dari kegiatan Sosialisasi PNPM Mandiri Desa di desa; c) Penggalian gagasan adalah proses untuk menemuken gagasan-gagasan kegiatan atau kebutuhan masyarakat dalam upaya mengatasi permasalahan kemiskinan yang dihadapi dan mengembangkan potensi yang ada di masyarakat; d) Musyawarah Desa Khusus Perempuan (MKP) dihadiri oleh kaum perempuan dan dilakukan dalam rangka membahas gagasangagasan dari kelompok-kelompok perempuan dan menetapkan usulan kegiatan yang merupakan kebutuhan desa. 10 Musrenbang sendiri hanya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) seperti Kepala Desa, Camat, Kepala-kepala SKPD, Bappeda, Eksekutif dan Legislatif. Sedangkan pada perencanaan pembangunan partisipatif melibatkan masyarakat, kaum perempuan, rumah tangga miskin perangkat desa, BPD, LPM dan Tokoh masyarakat lainnya. Partisipasi masyarakat pada pembangunan daerah sedikit sekali dikarenakan masyarakat hanya sebagai penikmat sesaat dan partisipasi lebih banyak dikuasai oleh elit-elit politik. Berbeda halnya dengan pembangunan partisipatif, masyarakat dilibatnya secara utuh sehingga mereka merasa puas karena proses pelibatan sepenuhnya sebagai pelaku pembangunan, dan pada akhirnya akan terciptanya rasa memiliki dari massyarakat terhadap pembangunan tersebut. Analisis: Keberhasilan musrenbang ditentukan oleh partisipasi masyarakat mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi/monitoring dan tahap menikmati hasil. Penelitian ini menjelaskan tentang perbedaan yang signifikan antara implementasi perencanaan pembangunan daerah dengan perencanaan partisipatif. Pada perencanaan pembangunan daerah peran masyarakat sangat minim sekali bahkan dalam tulisan tidak nampak sama sekali peran masyarakat, hanya kaum elit politik saja yang terlibat didalamnya. Sedangkan pada pembangunan partisipatif melibatkan seluruh masyarakat mulai dari tahap perencanaan hingga tahap menikmati hasil sehingga masyarakat merasa puas karena mereka dilibatkan secara utuh. Terdapat hal unik yang ditemukan dalam pembangunan partisipatif, yaitu terdapatnya musyawarah desa khusus perempuan (MKP) yang dihadiri oleh kaum perempuan dan dilakukan dalam rangka membahas gagasan-gagasan dari kaum perempuan untuk menetapkan usulan kegiatan yang merupakan kebutuhan desa. Partisipasi kaum elit (pemerintah desa) Partisipasi masyarakat dalam musrenbang Gambar 3. Hubungan Konseptual “Perbandingan Perencanaan Pembangunan Partisipatif dengan Perencanaan Pembangunan Daerah” 11 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif di Kabupaten Kendal : 2010 : Jurnal : Elektronik : Oktaviani Adhi Suciptaningsih :: Kudus, Universitas Sunan Muria Kudus : Jurnal Komunitas : 2(2):66-73 : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunita s/article/view/2276/2340 : 02 Oktober 2014 Ringkasan : Politik harus bicara soal partisipasi dan keterwakilan antara perempuan dan lakilaki, politik bukan saja bicara soal adu kekuatan atau adu pengaruh yang cenderung menguntungkan segelintir orang. Partisipasi dan keterwakilan yang dimaksud adalah bagaimana politik mendorong dan mengakomodasi keberagaman masyarakat yang selama ini terpinggirkan, tak terkecuali perempuan. Sistem politik harus menghapus berbagai jenis diskriminasi dan subordinasi yang secara sengaja atau tidak sengaja dilakukan terhadap kelompok masyarakat terbesar tersebut. Perempuan harus mampu terlibat langsung dalam politik sebagaimana keterlibatan laki-laki dalam dunia tersebut, tetapi pada kenyataannya keterwakilan perempuan dalam posisi strategis sangatlah rendah. Ketertinggalan perempuan di bidang ekonomi, pendidikan, ketenagakeijaan, kesejahteraan sosial dan lainnya harus dibaca sebagai akibat ketimpangan keterwakilan perempuan dalam perumusan kebijakan publik. Permasalahan penelitian ini difokuskan pada partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif dan peran perempuan dalam penentuan kebijakan dalam lembaga legislatif di kabupaten Kendal. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif fenomenologis, yakni bagian dari metode kualitatif yang mengandung nilai sejarah dalam perkembangannya. Fenomenologi digunakan untuk mengetahui deskripsi peranan partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif secara universal, di antaranya menjelaskan latar belakang partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif, maksud partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif dan sebab akibat partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif tersebut. Peneliti menggunakan sudut pandang kelas, ras dan budaya etnis Jawa. Oleh karenanya dalam situasi yang multikultural tersebut mendasarkan penelitian pada seperangkat ide-ide, kerangka teori (ontologi) yang menentukan seperangkat pertanyaan, metode (epistemologi) yang kemudian diselidiki (metodologi/ analisis) dengan cara yang spesifik. Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif di Kabupaten Kendal,dari enam partai politik yang terdapat dalam lembaga legislatif di kabupaten Kendal yakni PDIP, PKB, PPP, PAN, GOLKAR dan Demokrat, hanya PDIP dan GOLKAR saja yang mempunyai wakil Anggota dewan perempuan. Keterwakilan perempuan yang sangat rendah dalam lembaga legislatif di kabupaten Kendal tidak lepas dari kendala-kendala 12 yang menghambat, diantaranya adalah: kendala sistem politik yakni: kelaziman model maskulin mengenai kehidupan politik dan badan-badan pemerintahan (laki-laki mendominasi politik, memformulasi aturan permainan politik, dan menentukan standar untuk evaluasi, bahkan kehidupan politik diatur oleh norma-norma dan nilai-nilai laki-laki). Kendala sosial budaya. Masyarakat Kabupaten Kendal masih terikat kuat oleh budaya Jawa yang cenderung patriarki. Kendala psikologis : perempuan takut berkuasa, karena beberapa parpol Islam menunjukkan keberatannya atas partisipasi perempuan pada aspek politik. Sehngga kendala ini terus berlanjut dari generasi ke generasi selanjutnya Kendala sosial ekonomis, yakni adanya pemiskinan perempuan. Hambatan juga muncul dengan adanya peran ganda perempuan, bahkan dalam banyak kasus multi ganda yakni sebagai ibu rumah tangga, pekerja dan masyarakat profesional. Tidak terdapat waktu yang memadai dengan banyak peran tersebut untuk memasuki dunia politik. Analisis: Penelitian ini mengungkapkan tentang eksistensi perempuan dalam dunia politik dengan dijelaskan pula berbagai hambatan yang dihadapi perempuan. Partisipasi perempuan ditentukan oleh motivasi perempuan, dan budaya patriarki. Terdapat suatu pernyataan menarik dari penelitian ini terkait faktor utama penghambat partisipasi perempuan dalam dunia politik yaitu budaya Jawa yang bersifat Patriarki. Artinya kendala utama dari keterlibatan perempuan dalam dunia politik yaitu terletak pada kebudayaan yang selama ini diwariskan dari generasi ke generasi sehingga perempuan tersubordinasi dengan sendirinya di dunia politik. Secara umum penelitian ini sudah cukup baik, karena sudah dapat menjawab secara terperinci tentang permasalahan utama yang akan diangkat. Dalam penelitian ini sudah terdapat GRQ(general research question), namun belum ditemukannya SRQ (spesific research question) sehingga pembaca harus menganalisis sendiri SRQ apa yang sebenarnya diteliti oleh penulis. Motivasi (psikologis) Partisipasi Perempuan dalam dunia politik Budaya Patriarki Gambar 4. Hubungan Konseptual “Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif di Kabupaten Kendal” 13 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten : 2010 : Jurnal : Elektronik : Listyaningsih :: Serang, Universitas Sultan Agung Tirtayasa : Jurnal Administrasi Publik : 1(2):143-166 : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4 9017&val=4026&title : 02 Oktober 2014 Ringkasan : Tema besar yang sering muncul dalam pembangunan dan politik adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam proses perumusan kebijakan publik di pusat hingga daerah. Realitas partisipasi politik kaum perempuan di lembaga legislatif sejak tahun 1999 hingga 2004 yang baru berkisar pada angka 8,8 persen di tingkat pusat, 6,6 persen di tingkat Provinsi, dan 2 persen di tingkat Kabupaten/kota. tersebut. Angka tersebut sedikit meningkat di tahun 2009 yaitu sebesar 11 persen di pusat dan 18,8 persen di tingkat Provinsi Banten, serta pada tingkat kabupaten dan kota rata-rata 13,7 persen. (Bappeda Prov. Banten, 2010). Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Adapun data yang digunakan untuk analisis adalah pertama, data primer yang diperoleh melalui kegiatan wawancara dan dan observasi. Dan kedua, data sekunder yang diperoleh melalui dokumentasi dan kajian pustaka. Seringkali perempuan hanya dijadikan pelengkap dalam dunia politik. Situasi rapat yang sangat maskulinitas, lengkap dengan berbagai humor selera laki-laki yang kebanyakan mengeksploitasi seksualitas perempuan, secara psikologis kebanyakan membuat perempuan tidak betah berlama-lama dalam forum-forum tersebut. Artinya hal tersebut mempengaruhi aspek psikologis dari perempuan. Menurut para informan terdapat adanya persepsi publik yang menggejala luas dikalangan perempuan bahwa seolah wajib hukumnya bagi perempuan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti: PKK, Posyandu, dan majelis taklim, termasuk pula arisan. Persepsi ini menjadi semacam nilainilai baru yang mentradisi, dan itu dipahami sebagai obligative duty, bahwa istri kepala desa misalnya, harus otomatis harus menjadi ketua tim penggerak PKK. Demikian pula dengan perangkat-perangkat desahingga tingkat RT/RW. Di lingkungan pekerjaan, istri seorang kepala kantor otomatis harus menjadi ketua Dharma Wanita. Penyebab utama rendahnya partisipasi perempuan dalam politik dan pembangunan dibanten yaitu faktor kultural dan struktural. Faktor kultural ini terbagi pula atas 3 : a) 14 aktivitas-aktivitas politik yang cenderung dilakukan pada malam hari dianggap bertentangan dengan kultural yang ada dalam masyarakat dan bagi perempuan dianggap pula bertentangan dengan kodrat; b) kegiatan domestik cenderung dikaitkan dengan kewajiban perempuan sehingga menyebabkan berkurangnya kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam sektor-sektor publik; c) pandangan agama yang membatasi perempuan karena peran tersebut cenderung telah diwakili oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Sedangkan faktor kultural yang dimaksud adalah terjadinya ketidakpekaan terhadap gender yang terjadi di partai politik dan realitas kebanyakan perempuan di Banten berpendidikan rendah. Kendala yang disebabkan oleh faktor struktural ini merupakan kendala pelengkap dari faktor utama penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan yaitu faktor kultural. Analisis: Penelitian ini menjelaskan tentang ketimpangan partisipasi perempuan dalam bidang politik mulai dari tingkat lokal hingga tingkat pusat, namun yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah warga Banten. Selain itu dijelaskan pula hambatanhambatan yang dihadapi oleh perempuan dalam berpartisipasi dalam politik dan pembangunan di banten secara kultural (budaya) dan struktural (pendidikan). Hambatan yang dimakud yaitu perempuan dianggap tidak lazim keluar malam, pekerjaan dometik cenderung diwajibkan kepada perempuan, dan pandangan agama yang membatasi peran perempuan di dunia publik. Penelitian ini sudah menggunakan sudut pandang gender dalam analisisnya, dibuktikan dengan adanya perbandingan angka partisipasi perempuan dan laki-laki di lembaga legislatif. Akan tetapi tidak ada data yang menjelaskan sampai tahap mana partisipasi yang dimaksudkan itu. Jadi alangkah lebih baiknya apabila penulis menggunakan pisau analisis gender seperti teknik analisis Harvard, Moser. atau Longwe sehingga tergambar dengan jelas sampai pada tahap mana ketimpangan dalam partisipasi perempuan yang dimaksud. Selain itu penulis tidak menyimpulkan data kuantitatif tentang hasil wawancaranya tersebut terkait dengan partisipasi perempuan dalam politik dan pembangunan di Banten sehingga kesimpulan yang diambil telah melalui dasar data yang valid. Saya kurang setuju dengan metode yang dilakukan oleh penulis yang sepenuhnya menggunakan metode kualitatif. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu sosial dan ilmu alam sudah tidak dapat dipisahkan dan saling ketergantungan. Artinya apabila kita membicarakan ilmu alam sudah pasti kita memakai ilmu sosial, begitu juga apabila kita ingin melakukan penelitian di bidang sosial kita membutuhkan data-data serta teknik teknik yang lebih bersifat ilmu alam. Begitu pula dengan data kualitatif, dalam penelitian kita harus memadukan data kualitatif dengan data kuantitatif agar hasilnya dapat lebih dipercaya dan valid. Kultural (budaya) Partisipasi perempuan dalam politik Struktural (Pendidikan) Gambar 5. Hubungan Konseptual “Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pembangunan Di Banten” 15 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Pemberdayaan Perempuan dalam Dimensi Pembangunan Berbasis Gender : 2010 : Jurnal : Elektronik : Murniati Ruslan ::: Jurnal Musawa : 2(1):79-96 : http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc= s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0C C8QFjAC&url=http%3A%2F%2Fmusawa.iainpa lu.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2014%2F05%2F7.pembe rdayaanperempuan.pdf&ei=ajcyVK7TDML18QWXxYL4 Bw&usg=AFQjCNFJ9VezH7XqDi6Dm9JydEKYUsCuA&bvm=bv.7680252 9,d.c2E : 06 Oktober 2014 Ringkasan : Permasalahan yang dihadapi perempuan dimulai dari level yang paling rendah yaitu level rumah tangga, lingkungan, ekonomi, serta level politik. Perempuan sangat rentan terhadap terjadinya gejolak yang memproduk ketidakstabilan pada ranah publik. Satusatunya cara yang rasional untuk membebaskan perempuan dari permasalahan tersebut adalah dengan memberdayakan perempuan tidak saja dari kemiskinan, tetapi juga dari kebodohan, dan keterbelakangan yang merupakan sejumlah faktor menghambat mereka dalam mengembangkan diri untuk menjadi subjek dalam pembangunan nasional. Pemerintah Indonesia telah memerhatikan perempuan melalui program-program pembangunan. Namun, berbagai kalangan menilai bahwa walaupun banyak kebijakan dan program pembangunan untuk perempuan tetap saja masih menyisakan persoalan lama bahkan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Pada tahun 1985 data dari UNICEF/ESCAP menunjukkan, sepertiga penduduk perempuan yang aktif secara ekonomi tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah, dibandingkan dengan laki-laki yang besarnya hanya 15 persen. Persoalan utama lain adalah bahwa meskipun tingkat pendaftaran masuk sekolah tinggi (sekitar 91% anak-anak masuk sekolah dasar) baik laki-laki maupun perempuan, jumlah untuk perempuan terus-menerus menurun di tingkat pendidikan lebih tinggi. Selain itu, yang lebih banyak drop out atau putus sekolah adalah perempuan. Terdapat kesamaan antara pendekatan antara negara-negara barat dengan pendekatan gender yang terdapat di Indonesia. Terdapat persepsi dari kedua pandangan tersebut yang menjelaskan bahwa keterlibatan perempuan di dalam ranah publik merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesetaraan gender pada khususnya dan pembangunan pada umumnya. 16 Langkah strategis yang perlu dilakukan dalam rangka pemberdayaan perempuan adalah memberikan dukungan yang menjadikan setiap perempuan sebagai fokus perhatian dan arena pengabdian. Contohnya yaitu dengan mengolah usaha-usaha yang dapat menjadi panjatan sebagai sarana dan titik tolak untuk mengolah bahan baku dan segala yang bisa dimanfaatkan dari lingkungan sekitarnya. Robert Chambers menjelaskan dalam penelitiannya “putting the last first” (mendahulukan yang terakhir). Paradigma ini menempatkan kelompok yang paling rentan, yakni kaum perempuan, anakanak, dan manusia lanjut usia, pada kedudukan yang istimewa. Artinya, memberikan prioritas kepada kelompok tersebut untuk mengembangkan diri dan keluarganya agar kelak mereka dapat terbebas dari ketidakberdayaan, kemiskinan, kebodohan, dll. Hal ini tentu merupakan pilihan bijak karena pada kenyataan, kemiskinan yang mendera lebih dari satu milyar manusia itu sebagian besar di antaranya adalah kaum perempuan. Analisis: Penelitian ini menjelaskan tentang permasalahan yang dihadapi perempuan Indonesia dalam segala aspek kehidupan, mulai dari aspek ekonomi, rumah tangga, lingkungan, dan politik. Dalam penelitian ini juga dibahas tentang konsep gender, kesetaraan gender, sejarah perjuangan kaum perempuan dan upaya-upaya untuk pemerdayaan perempuan. Penelitian ini menekankan upaya-upaya pembanguan pada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena ketidakberdayaan, kemiskinan, dan kebodohan telah merasuk pada sendi-sendi kehidupan sebagian besar perempuan sehingga harus segela dimusnahkan. Kritik dari jurnal ini adalah terlalu banyaknya kutipan yang diambil sehingga sangat minimnya pendapat yang dilontarkan oleh penulis. Tidak ada bab yang menjelaskan tentang pandangan dan pembahasan penulis terkait judul yang diangkat tersebut. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pemberdayaan yang dibagi menjadi tiga kekuatan yaitu, powerto (kekuatan untuk berbuat), powerwith (kekuatan untuk membangun kerjasama dan powerwithin, yaitu kekuatan dalam diri pribadi manusia Rumah tangga Ekonomi Partisipasi perempuan dalam pembangunan Sosial Gambar 6. Hubungan Konseptual “Pemberdayaan Perempuan dalam Dimensi Pembangunan Berbasis Gender” 17 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Analisis Ketimpangan Gender dalam Proses Pembangunan (Sebuah Tinjauan Sosiologi Historis terhadap Partisipasi Perempuan di Bidang Pendidikan) : 2012 : Jurnal : Elektronik : Zusmelia ::: Jurnal Pelangi : 5(1): 1-12 :http://ejournal.stkip-pgrisumbar.ac.id/index.php/pelangi/article/view/1ANALI SIS : 06 Oktober 2014 Ringkasan : Hak-hak perempuan Indonesia telah diakui dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segenap warga negara memiliki persamaan kedudukan di hadapan hukum” (pasal 27). Salah satu bentuk pengaplikasian pengakuan tersebut pada tahun 1990, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan konvensi ILO No. 100 mengenai tekad akan kesetaraan gaji untuk pekerjaan yang sama. Pada tahun 1978, untuk pertama kalinya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) memasukkan satu bab yang khusus membahas peran perempuan dalam pembangunan nasional dan menciptakan jabatan Menteri Muda untuk Urusan Perempuan yang kemudian berubah menjadi departemen penuh tahun 1983 (Mishra, 2001). Dalam kebijakan, asumsi, ataupun pendokumentasian terlihat adanya sikap ambigu. Dalam survey-survey resmi, diasumsikan bahwa kepala rumah tangga adalah laki-laki sekalipun yang menjadi kepala rumah tangga adalah seorang janda. Disamping itu, pembangunan di Indonesia terutama pada masa Orde Baru, cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang dianggap sebagai salah satu cara/peluang mengejar ketertinggalan dan memacu pertumbuhan. Padahal kegiatan tersebut malah berpengaruh pada perempuan baik di segi pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Dalam berbagai kaskus ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki, faktor agama ternyata cukup berperan. Faktor agama tersebut sangat berperan dalam mempengaruhi perempuan berpartisipasi di bidang pendidikan. Apabila dilihat dari perbedaan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, perempuan desa dan pekotaan mendominasi sektor perdagangan dan industri. Sedangkan untuk bidang konstruksi dan komunikasi didominasi oleh laki-laki. Semakin jelas bahwa gejala ini mengindikasikan dan sangat erat kaitannya dengan partisipasi wanita di bidang pendidikan (yang rendah dibanding laki-laki), akibatnya perempuan lebih banyak bekerja di sektor pertanian dan menjadi buruh. Sedangkan laki-laki dengan pendidikan yang baik dapat lebih berpartisipasi di dunia kerja yang lebih baik. Partisipasi wanita yang rendah di bidang politik, publik, ekonomi dan kesehatan cenderung disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Dan pendidikan yang rendah tersebut 18 telah dijelaskan sebelumnya bahwa disebabkan oleh budaya. Sehingga terdapat hubungan yang cukup jelas bahwa akar utama dari rendahnya partisipasi perempuan di segala bidang adalah oleh faktor budaya. Berdasarkan data dari Ratio Gender (P/100 L) Penduduk Indonesia yang Sekolah Menurut Kelompok Umur dan Tempat Tinggal, tahun 1971-1990. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kecil tingkat partisipasi anak perempuan dibanding anak laki-laki. Kecenderungan rendahnya angka partisipasi perempuan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, seperti yang diungkapkan Franklin (2002), dalam artikelnya yang berjudul “The Changing Status of Women in Asia Societies” sampai sekarang ini di sebahagian besar negara-negara Asia, masih sedikit wanita yang melanjutkan sekolah ke tingkat secondary school atau ke tingkat universitas. Juga masih sedikit wanita yang bekerja di luar rumah (sektor publik). Analisis : Jurnal ini mejelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kecil tingkat partisipasi anak perempuan dibanding anak laki-laki. Sehingga perempuan cenderung termarginalkan dan tersubordinasikan kedalam pekerjaan yang kurang menggunakan keterampilan dengan upah yang tentunya lebih rendah dibandingkan pekerjaan-pekerjaan laki-laki. Apabila dianalisis, faktor utama dari penyebab partisipasi perempuan yang masih rendah itu adalah budaya. Karena dalam bacaan dijelaskan bahwa penyebabnya adalah pendidikan. Kemudian dalam isi jurnal telah dibahas pula pendidikan perempuan yang maisih relatif rendah tersebut disebabkan karena masih banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan laki-laki lebih diutamakan dibandingkan dengan perempuan. Variabel untuk mengukur ketimpangan gender yang terjadi yaitu melalui partisipasi perempuan dalam di bidang pendidikan. Faktor penghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan yaitu pendidikan yang rendah, agama dan budaya. Kritikan pada jurnal ini yaitu tidak terdapatnya metode penelitian. Selain itu jurnal in diterbitkan pada tahun 2012, tetapi kutipan yang berupa data-data dari BPS masih sangat lama. Dalam daftar pustaka dituliskan bahwa data tersebut didapatkan melalui data BPS tahun 2000-2002. Sungguh sangat jauh antara tahun terbit jurnal dengan data yang diambil. Sehingga alangkah lebih baiknya jika penulis mengutip dari data BPS yang terbaru dan terupdate. Pendidikan Agama Partisipasi perempuan dalam pembangunan Budaya Gambar 7. Hubungan Konseptual “Analisis Ketimpangan Gender dalam Proses Pembangunan (Sebuah Tinjauan Sosiologi Historis terhadap Partisipasi Perempuan di Bidang Pendidikan)” 19 8. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Studi Kebijakan Pembangunan Daerah Berperspektif Gender di Kabupaten Lampung Tengah : 2012 : Jurnal : Elektronik : Ari Darmastuti, Endry Fatimaningsih, Teuku Fahmi :: Lampung, Universitas Lampung : Jurnal Sosiologi : 14(1):33-45 : http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi /article/view/157/168 : 06 Oktober 2014 Ringkasan : Keberhasilan suatu pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia (SDM). Artinya, semakin baik kualitas manusia maka keberhasilan pembangunan akan lebih mudah tercapai. Rendahnya kualitas SDM yang tersedia akan mendorong tingkat apresiasi masyarakat dalam program pembangunan. Berdasarkan data BPS Lampung Tengah tahun 2009, diketahui bahwa angka melek huruf penduduk dewasa adalah 93,08 persen. Artinya masih terdapat sekitar 7 persen penduduk yang buta huruf. Apabila dikonversikan ke jenjang pendidikan, maka secara rata-rata penduduk Lampung Tengah baru menduduki kelas 1 SMP. Untuk menyusun kebijakan yang reponsif gender dibutuhkan pula para pengambi kebijakan yang memiliki kepekaan gender. Kenyataannya, pemerintahan Kabupaten Lampung Tengah masih memiliki permasalahan : a) banyak diantara para pejabat dan pegawai pada umumnya yang belum memiliki pengetahuan tentang gender dan pembangunan; b)belum tumbuhnya perhatian terhadap pentingnya aspek gender dalam merancang sebuah kebijakan pembangunan ; c) masih belum memadainya jumlah para pengambil kebijakan yang peka gender. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif berperspektif gender yang dipadukan dengan wawancara secara mendalam. Besarnya dana anggaran program pemberdayaan perempuan pada tahun 2010 di Lampung tengah hanya 4,1 persen dari dana yang dialokasikan untuk BPP dan KB. Hasil tersebut tentu menunjukkan masih kecilnya komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang responsif gender. Komitmen politik terhadap pengembangan kapasitas perempuan yang masih rendah terebut juga dapat dibuktikan dengan baru ada satu Perda tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja yang mendukung PUG, yaitu dengan dibentuknya badan PP dan KB. Faktor penghambat terlaksananya PUG di Lampung Tengah yaitu: a) masih belum jelasnya payung hukum pelaksanaan PUG di Tingkat Kabupaten; b) komitmen untuk pengarusutamaan gender masih terjadi secara individual saja, terutama bagi mereka yang pernah mengikuti pelatihan gender. Tetapi karena orang yang telah megikuti pelatihan gender tersebut bukan merupakan pengambil kebijakan, maka pengetahuannya tersebut sama sekali tidak berpengaruh terhadap institusi; c) belum optimalnya peran kelompok 20 kerja PUG di Kabupaten Lampung Tengah; d) belum terdapatnya mekanisme pendataan data teripilah menurut jenis kelamin dalam berbagai aspek seperti kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, dan industri; e) SKPD-SKPD belum menggunakan alat analisis gender dalam proses penyusunan perencanaan program/kegiatan. Analisis : Penelitian ini menjelaskan tentang kebijakan pembangunan di Kabupaten Lampung Tengah yang dilihat melalui perspektif gender. Ternyata kesadaran kesetaraan gender dari kebijakan yang ada di daerah ini masih sangat rendah. Adapun faktor penghambat terlaksananya PUG di Lampung Tengah yaitu kebijakan yang belum jelas, belum banyak orang yang mengetahui konsep gender, belum optimalnya peran kelompok kerja PUG di Kabupaten Lampung Tengah, belum terdapatnya mekanisme pendataan data teripilah menurut jenis kelamin, dan SKPD-SKPD belum menggunakan alat analisis gender. Kritikan terhadap jurnal ini yaitu tidak ada kesimpulan yang menyatakan bahwa kebijakan pembangunan di Kabupaten Lampung Tengah telah sampai pada tahap mana, apakah telah sampai pada tahap reponsif gender, sensitif gender, netral gender, bias gender, atau bahkan baru sampai pada tahap buta gender. Kinerja Pemerintah : - Pembuatan kebijakan - Pemahaman konsep gender - Mekanisme pendataan data terpilah menurut jenis kelamin Implementasi Musrenbang Gambar 8. Hubungan Konseptual “Studi Kebijakan Pembangunan Daerah Berperspektif Gender di Kabupaten Lampung Tengah” 21 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Perempuan Beraktivitas dalam Partai Politik : 2009 : Jurnal : Elektronik : Nurhamni ::: Jurnal Academica : 1(1):77-94 : http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/academica /article/view/2340/1525 : 06 Oktober 2014 Ringkasan : Berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini, bahwa sumberdaya potensial yang harus dimanfaatkan adalah perempuan dan diperkirakan dapat menjawab tantangan yang ada selama ini. Selain itu, jumlah perempuan di Indonesia sekitar 52 persen. Perempuan harus dapat menjadi perencana, pelaksana, dan pemantau segala bentuk pembangunan yang ada, untuk itu perempuan harus memiliki kemampuan dan kemauan agar dapat bersaing dengan laki-laki. Motivasi perempuan dalam berpartisipasi pada partai politik ada dua, yaitu motivasi eksternal dan motivasi internal. Motivasi internal jika dikaitkan dengan teori Maslow ada 5 kebutuhan yaitu kebutuhan dasar, keamanan, sosial, penghargaan dan pengembangan diri. Sedangkan motivasi ekternal dapat dilihat pada motivasi yang bersumber dari lingkungan sendiri yaitu keluarga dan motivasi di luar lingkungan adalah teman. Berdasarkan definisi dari beberapa ahli terkait dengan partisipasi politik dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan partisipasi tersebut maka kebutuhan dan kepentingan mereka akan tersalur atau sekurang-kurangnya diperhatikan dan bahwa sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan-tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Partai politik memiliki beberapa fungsi: a) dapat dikatakan sebagai jembatan, artinya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dapat dijelaskannya kepada lapisan masyarakat oleh partai politik tersebut; b) partai politik dilihat dari fungsinya sebagai rekrutmen politik yaitu merupakan proses melalui mana partai politik mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik; c) partai politik berfungsi sebagai sarana pengatur konflik pada saat terjadi pertikaian antara suku, etnis, status dan sosial ekonomi atau agama, makapartai politik berusaha untuk mengatur sedemikian rupa sehingga akibat-akibat negatifnya dapat diminimalisir. Politik harus selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Lagi pula politik menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok termasuk partai politik, karena paratai politik merupakan sarana untuk berpartisipasi seseorang dalam bentuk kelompok yang terorgansir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Partisipasi masyarakat dalam hal ini perempuan tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diusahakan secara terus menerus atau kontinyu dan diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu perlu upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan khususnya pada 22 pembangunan politik. Alex S. Nitisemito (1979) menulis mengenai cara-cara meningkatkan partisipasi, sebagai berikut: a) mengikutsertakan mereka secara langsung dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan; b) menjelaskan tentang maksud dan tujuan keputusan perencanaan yang akan dikeluarkan; c) meminta tanggapan dan saran tentang keputusan dan perencanaan yang akan dikeluarkan; d) meminta informasi tentang segala sesuatu dari mereka dalam usaha membuat keputusan dan perencanaan. Apabila masyarakat terutama perempuan telah berpartisipasi, maka langkah selanjutnya adalahberusaha meningkatkan kadar keikutsertaannya agar semakin tinggi, seperti halnya perempuan dimana eksistensi perempuan ditengah masyarakat ini masih sitematis, dalam arti masih terdapat perbedaan sudut pandang tentangkeberadaan perempuan dalam kaitannya dengan peran serta tanggung jawab langsung sebagai anggota masyarakat. Analisis : Jurnal ini menjelaskan tentang faktor yang menjadi penghambat dalam meningkatkan motivasi perempuan. Faktor yang menghambat perempuan dalam beraktivitas pada partai politik adalah tingkat kemampuan dan pemahaman sebagian perempuan masih relatif kurang tentang dunia politik, dukungan dana, dan sosialisasi dari pemerintah yang relatif kurang. Setelah ini dalam penelitian ini juga dijelaskan beberapa definisi, seperti definisi dari politik. Dalam bacaan dijelaskan bahwa politik harus menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Definisi tersebut sangatlah menarik untuk dibahas dan tentunya sangat kontroversial. Kenyataan yang terjadi di Indonesia belakangan ini bahwa politik cenderung dikaitkan dengan kepentingan pribadi. Bahkan politik telah mewabah pula ke dunia pertelevisian. Televisi diduga merupakan alat politik dari beberapa orang. Kepentingan masyarakat cenderung dikesampingkan, sehingga politik yang dimaksudkan dalam definisi diatas belum terlaksana dengan baik di Indonesia. Kritik yang diberikan ada jurnal ini yaitu, tidak terdapatnya rumusan masalah, tujuan, serta metode penulisan yang akan digunakan dalam penelitian. Sehingga pembaca kebingungan untuk memahami maksud dari tulisan ini. Selain itu, jurnal ini diterbitkan pada tahun 2009, namun masih saja ada literature dari tahun 1981. Alangkah lebih baik jika penulis menyertakan literature yang terbaru dan terupdate. Kemampuan dan pemahaman perempuan Dukungan dana Partisipasi perempuan dalam politik Sosialisasi pemerintah Gambar 9. Hubungan Konseptual “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Perempuan Beraktivitas dalam Partai Politik” 23 10. Judul : Membuka Ruang Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan Tahun : 2009 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Triana Sofiani Nama Editor :Kota dan Nama Penerbit : Pekalongan, STAIN Pekalongan Nama Jurnal : Forum Muwazah Volume (edisi): hal : 1(1):63-72 Alamat URL :http://e-journal.stainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/download/280/251 Tanggal Diunduh : 02 Oktober 2014 Ringkasan : Model pembangunan yang dijalankan di Indonesia masih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (Economic Growt), sentralistik, cenderung eksploitatif dan menindas perempuan. Perempuan tidak terwakili secara proporsional, bahkan proyekproyek pembangunan yang diperuntukan bagi perempuan, justru menjadikan perempuan semakin termarginalkan. Perempuan hanya dijadikan sebagai objek, bukan subjek/pelaku pembangunan. Padahal apabila partisipasi perempuan dalam pembangunan sudah relatif baik maka pembanguna tersebut akan berjalan dengan baik pula. Namun realitas tersebut kurang dirasakan oleh sebagian besar perempuan, fakta ini dianggapnya sebagai kejadian alamiah. Sehinga tidak heran apabila ada suatu pembangunan maka perempuan cenderung masa bodoh atau menolak secara tidak langsung. Pendekatan yang paling sesuai untuk menciptakan ruang bagi perempuan dalam pembangunan adalah pendekatan GAD (Gender And Development). Pendekatan ini dilakukan dengan cara melihat perempuan sebagai subyek pembangunan, agen perubahan dengan menitikberatkan pada pola hubungan yang setara perempuan dan laki-laki. Pendekatan ini, lebih bersifat bottom up, sehingga pengalaman dan pemahaman yang berasal dari perempuan menjadi entry point dari proses pembangunan. Masalah gender dalam pembangunan yang diindikasikan melalui 4 indikator makro, antara lain: a) tingkat pendidikan rata-rata; b) pendapatan perkapita; c) Indeks daya beli; dan d) Indeks Pembangunan Manusia. Indikator-indikator tersebut untuk keperluan pengukuran peran gender dalam pembangunanpartisipatif, dimana masih terjadinya berbagai permasalahan peran, misalnya: adanya dikhotomi peran perempuan dan laki-laki. Perempuan bekerja di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik; beban kerja ganda (double burdens); tingkat partisipasi dalam pembangunan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Dijelaskan bahwa ada tiga elemen penting yang menjadi fokus pengukuran pembangunan manusia, yaitu: (1) Panjang umur (longevity). Indikatornya adalah tingkat harapan hidup (life expectancy). Hidup yang panjang dinilai berharga, serta sejumlah manfaat tidak langsung lainnya seperti gizi yang memadai, dan kesehatan yang baik adalah berkaitan erat dengan tingkat harapan hidup yang tinggi; (2) Pengetahuan (knowledge). Indikatornya tingkat melek huruf (literacy rate); dan (3) Standar hidup yang pantas (decent living standards). Indikator yang dipakai adalah pendapatan per kapita yang digabung 24 dengan daya beli (purchasing power) yang disesuaikan dengan perndapatan perkapita riel dari Pendapatan Bruto Domestik (GDP). Ukuran partisipasi perempuan dalam pembangunan dapat dilihat dari: a) pelaku/ pelaksana, perempuan tidak lagi sebagai obyek tetapi subyek pembangunan. Misalnya perempuan merupakan pelaku/ pelaksana pembangunan; b) pengendali, perempuan terlibat langsung terhadap pengendalian dari pelaksanaan kegiatan pembangunan; c) pengambil keputusan, partisipasi perempuan langsung terlibat dalam pengambilan keputusan suatu kegiatan pembangunan. Misalnya : sebagai ketua pelaksana kegiatan pembangunan; d) penasehat, partisipasi perempuan dalam pembangunan tidak hanya terbatas pada pelaku, pengendali dan pengambilan keputusan saja tetapi lebih tinggi lagi sebagai penasehat dalam proses pembangunan; e) penerima manfaat pembangunan, hasil pembangunan juga harus bisa dinikmati oleh perempuan, hal ini memberi indikasi bahwa pembangunan yang direncanakan sudah mempertimbangkan perempuan sebagai penerima manfaat pembangunan. Untuk mewujudkan peran perempuan dan laki-laki (mitrasejajar) yang harmonis, maka perempuan harus mengejar berbagai ketinggalan dari laki-laki dengan berbagai langkah yang ditempuh. Langkah yang dimaksud adalah peningkatan kemampuan perempuan, peningkatan kedudukan perempuan, peningkatan akses perempuan dalam pembangunan, peningkatan kesejahteraan perempuan, peningkatan kemandirian perempuan, peningkatan ketahanan mental dan spiritual. Analisis: Jurnal ini membahas tentang ketimpangan partisipasi yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam pembangunan. Ketimpangan yang sebenarnya terjadi membudaya di kalangan masyarakat dianggap perempuan sebagai hal yang alamiah. Jurnal ini menjelaskan pula upaya-upaya yang bisa dilakukan perempuan agar mampu mengejar berbagai ketertinggalannya dari laki-laki. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 4 indikator makro, antara lain: a) tingkat pendidikan rata-rata; b) pendapatan perkapita; c) Indeks daya beli; dan d) Indeks Pembangunan Manusia. Upaya yang harus dilakukan perempuan agar tidak tertinggal dari laki-laki dibahas pula dalam jurnal ini, upaya yang dimaksud adalah peningkatan dalam hal kemampuan perempuan, kedudukan perempuan, akses perempuan dalam pembangunan, kesejahteraan perempuan, kemandirian perempuan, dan ketahanan mental dan spiritual. Kritikan terhadap jurnal ini yaitu tidak adanya tujuan dan rumusan masalah. Sehingga pembaca kesulitan untuk memahami maksud dari tulisan ini. Kemudian pembahasan yang ada kurang mampu menjawab judul yang penulis angkat. Kemampuan dan kedudukan perempuan Akses dan kemandirian perempuan Partisipasi perempuan dalam pembangunan Ketahanan mental dan spiritual Gambar 10. Hubungan Konseptual “Membuka Ruang Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan” 25 11. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Pemberdayaan Perempuan Desa dalam Pembangunan (Studi Kasus Perempuan di Desa Samboja Kuala, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara) : 2009 : Jurnal : Elektronik : Farida Hydro Foilyani ::: Jurnal Wacana : 12(3):592-608 : http://wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/vi ew/154/131 : 06 Oktober 2014 Ringkasan : Pentingnya mengatasi masalah pemberdayaan perempuan disebabkan oleh kenyataan bahwa perempuan belum dapat berdaya karena berbagai faktor. Faktor yang dimaksud ada yang bersifat eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti sosial-budaya, kebijakan pemerintah, perundang-undangan dan peraturan pelak-sanaannya yang berlaku, faktor geografis, dan kecenderungan-kecenderungan global seperti politik, ekonomi, teknologi komunikasi, dan lain-lain serta faktor-faktor yang bersifat internal seperti persepsi dan konsep diri perempuan, motivasi, stres kerja, aspirasi pekerjaan, dan karakteristik-karakteristik individu lainnya. Namun pada saat ini fenomena bahwa perempuan bterlibat dalam sektor publik sudah tidak aneh lagi, bahkan sudah menjadi tuntutan yang pada akhirnya akan menaikkan harkat perempuan yang sebelumnya selalu dianggap hanya sebagai pengurus anak, suami dan rumah tangga semata-mata. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan: (1) latar belakang kehidupan sosial perempuan di desa Samboja Kuala, (2) upaya yang dilakukan perempuan di desa Samboja Kuala dalam memenuhi kebutuhannya, (3) upaya yang dilakukan untuk memberdayakan perempuan di Desa Samboja Kuala. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan bentuk studi kasus, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi, yaitu model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kehalusan dan ketelatenan yang merupakan ciri khas perempuan dijadikan alasan untuk pemberian pekerjaan yang marginal sehingga meletakkan posisi perempuan pada pekerjaan yang kurang penting dan gaji yang relatif rendah. Aktivitas perempuan secar konsisten menyangkut hal yang kurang berbahaya, tidak membutuhkan konsentrasi tinggi, serta hanya memerlukan sedikit latihan dan keterampilan. Perempuan di Desa Samboja tidak mampu untuk mengelola usaha ekonomi sehingga usaha mereka hanya terbatas pada tataran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tetapi tidak berkembang untuk yang lainnya, misal mengembangkan usaha (ekspansi usaha) untuk meningkatkan pendapatan yang lebih besar lagi. Apabila diperhatikan selama ini pendekatan yang diterapkan oleh pemerintah dalam mengatasi kemiskinan selalu menggunakan pendekatan ekonomi semata, seperti 26 bantuan permodalan, subsidi, dan semacamnya. Dalam jangka pendek memang tampak efektif, akan tetapi dalam jangka panjang tidak akan bisa menyelesaikan masalah kemiskinan sampai pada akarnya. Kondisi masyarakat yang sangat agamis dapat digambarkan dari berbagai masyarakat lebih tertarik menyekolahkan anaknya dipendidikan keagamaan dari pada kependidikan umum seperti SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi. Kebanyakan anak-anak dan anak muda lebih suka ikut membantu orang tuanya pergi ke laut untuk menangkap ikan dibanding mereka pergi ke sekolah. Umumnya kaum perempuan Desa Samboja Kuala bekerja sebagai buruh pembuat ikan kering atau sebagai buruh penimbang ikan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dengan upah Rp. 5.000,-/hari, sebagai pengrajin bambu untuk keranjang ikan, berusaha di sektor informal seperti buka warung kecil atau toko kelontong skala kecil, kios rokok atau kios bensin, selebihnya menganggur atau menjadi ibu rumah tangga untuk mengasuh anak-anak. Perempuan miskin di Desa Samboja tidak sedikit yang melakukan nikah diusia muda dan sedikit yang bertahan dalam hubungan pernikahannya tersebut sehingga banyak yang bercerai. Fenomena ini merupakan salah satu fenomena ketidakberdayaan perempuan di Desa Samboja. Dalam menghadapi realita ini penguasa setempat masih belum berpartisipasi, serta belum adanya program terpau dengan instansi yang dilakukan secara nyata dan berkelanjutan. Analisis : Penelitian ini menjelaskan tentang upaya yang dilakukan perempuan di Desa Samboja untuk memenuhi kebutuhannya. Upaya tersebut tentunya bersifat produktif, agar aktivitas yang dilakukan perempuan dapat lebih dihargai dibandingkan mereka hanya melakukan aktivitas domestik saja. Walaupun perempuan di desa ini telah berperan dalam perekonomian keluarga tetapi masih saja terdapat diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi dalam pekerjaan. Terdapat pula hambatan yang dihadapi perempuan dalam pembangunan yang terbagi menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti sosial-budaya, kebijakan pemerintah, perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya yang berlaku, faktor geografis, dan kecenderungan-kecenderungan global seperti politik, ekonomi, teknologi komunikasi, dan lain-lain serta faktor-faktor yang bersifat internal seperti persepsi dan konsep diri perempuan, motivasi, stres kerja, aspirasi pekerjaan, dan karakteristik-karakteristik individu lainnya Faktor eksternal : - Sosial budaya - Kebijakan pemerintah - Geografis - Ekonomi Faktor internal : - Persepsi dan konsep diri perempuan - Motivasi Partisipasi perempuan dalam pembangunan Gambar 11. Hubungan Konseptual “Pemberdayaan Perempuan Desa dalam Pembangunan (Studi Kasus Perempuan di Desa Samboja Kuala, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara)” 27 12. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Diunduh : Pendidikan dan Pemajuan Perempuan : Menuju Keadilan Gender : 2008 : Jurnal : Elektronik : Ariefa Efianingrum :: Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta : Jurnal Fondasia :: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s &source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB8 QFjAA&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsi tes%2Fdefault%2Ffiles%2FArtikel%2520Fondasia %25202008.pdf&ei=HUgyVIqBL4aa8QW_loKICg& usg=AFQjCNFYk5x-TgYXwTWQeYkKV_1DHwUTQ&bvm=bv.76802529,d.dGc : 06 Oktober 2014 Ringkasan: Pendidikan sesungguhnya merupakan hak asasi manusia, namun saat ini masih banyak pihak yang menganggap bahwa memperoleh pendidikan bukan merupakan suatu hak asasi, terutama bagi perempuan. Padahal setiap manusia dilahirkan sama dan sudah pasti sama-sama meliki akses terhadap sumberdaya seperti pendidikan, pengambilan keputusan, kesehatan, dan pelayanan penting lainnya. Untuk mencapai keberlangsungan pembangunan yang sesuai dengan yang diharapkan perlu pula adanya upaya kesetaraan dalam pendidikan. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk memberantas buta huruf, tetapi masih saja banyak anak-anak, remaja, dan dewasa yang tidak berpendidikan. Data kuantitatif bisa dilihat dari negara-negara di Asia Selatan, diperkirakan hanya 94 anak perempuan bersekolah dasar dibandingkan 100 anak lakilaki. Di dunia, di antara 100 anak yang terpaksa keluar dari sekolah dasar, 85 persen nya adalah perempuan (Jurnal Perempuan No. 50, 2006:10). Seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri, gender merupakan konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perubahan yang dimakud tersebut tidak secara instan, melainkan terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Kesamaan antara konsep gender dan konsep seks mutlak diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun pada kenyataannya perbedaan tersebut menjadi dasar dalam hal pembedaan gender sehingga melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan. Praktik-praktik budaya seolah-olah menghambat partisipasi anak perempuan dalam bersekolah. Bahkan dalam banyak masyarakat muncul pernyataan bahwa menyekolahkan anak laki-laki lebih menguntungkan dibandingkan dengan menyekolahkan anak 28 perempuan. Untuk meningkatkan kepekaan guru bagi perempuan perlu pembaharuan dan peninjauan ulang kurukulum, peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, mengintegrasikan gender sebagai mata ajaran khusus dalam pelatihan untuk guru-guru di sekolah, memasukkan kesadaran akan kesetaraan gender dalam pendidikan melalui sekolah, dan mendorong masyarakat mengirim anak-anak perempuan mereka ke sekolah secara teratur, untuk memberi rasa aman. Dengan demikian, hambatan-hambatan tradisional lambat laun akan hilang. Meskipun dalam proses pembangunan perempuan dapat berpartisipasi secara aktif, tetapi dalam prakteknya banyak sekali hambatan yang dijumpai. Walaupun kita telah memiliki berbagai instrumen hukum dan kebijakan pemajuan perempuan yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, serta sudah adanya perbaikan kondisi dan situasi perempuan, namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari diskriminasi yang luas dan kekerasan terhadap perempuan di semua bidang, termasuk pendidikan, masih sering terjadi. Berikut beberapa gambaran tentang ketertinggalan perempuan terhadap laki-laki: a) tingkat pendidikan perempuan dibandingkan laki-laki masih rendah. Data Susenas Tahun 2003 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum sekolah jumlahnya 2 kali lipat penduduk laki-laki (11,56 % berbanding 5,43 %). Penduduk perempuan yang buta aksara sekitar 5,48 persen. Rata-rata lamanya sekolah pada perempuan adalah 6,5 tahun, sedangkan laki-laki adalah 7,6 tahun; b) angka kematian ibu hamil/melahirkan (AKI) masih tinggi, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Prevalensi anemia pada ibu hamil masih lebih dari 50 persen; c) keterwakilan perempuan di DPR masih rendah. Hanya 11,6 persen dan di DPD hanya 19,8 persen; d) partisipasi perempuan dalam jabatan publik juga masih rendah. Dapat dilihat dari rendahnya persentase perempuan PNS yang menjabat sebagai eselon I, II, dan III yang hanya 12 persen; e) masih banyak peraturan/perundangan serta pelaksanaannya yang bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan; f) masih kuatnya budaya patriarkhi sebagian besar masyarakat, sehingga masyarakat belum berpartisipasi secara maksimal dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan; g) tingkat kemiskinan penduduk yang tinggi, sebagian besar adalah perempuan, termasuk perempuan kepala keluarga, janda, dan lanjut usia. Analisis: Jurnal ini menjelaskan tentang pentingnya mengintegrasikan perempuan dalam dunia pendidikan. Tentunya dengan melihat fakta berupa data-data terkait dengan gambaran ketertinggalan perempuan terhadap laki-laki. Data tersebut seperti tingkat pendidikan perempuan yang masih rendah, AKI (angka kematian ibu), dll. Kunci utama penghambat partisipasi perempuan di dalam dunia pendidikan adalah budaya. Terdapat pernyataan menarik dalam jurnal ini yaitu “...dalam banyak masyarakat muncul pernyataan bahwa menyekolahkan anak laki-laki lebih menguntungkan dibandingkan dengan menyekolahkan anak perempuan”. Fenomena ini sungguh sangat ironi karena masyarakat Indonesia sebagian umum masih tetap menggunakan perbedaan jenis kelamin sebagai penentu hak terhadap akses sumberdaya. Keritikan terhadap jurnal ini yaitu tidak adanya tujuan dan rumusan masalah. Sehingga pembaca kesulitan untuk memahami maksud dari tulisan ini. Selain itu datayang terdapat dalam jurnal ini kurang lengkap. Judul jurnal ini yaitu pendidikan dan pemajuan perempuan. Tetapi data yang terdapat dalam jurnal baik dari pendahuluan hingga penutup hanya menyangkut kesenjangan, diskriminasi, dan kurangnya partisipasi perempuan dalam pembangunan. Alangkah baiknya jika terdapat data yang menyebutkan peningkatan 29 keterlibatan perempuan dalam pembangunan. Terdapat cukup banyak teknik pengutipan yang salah dari jurnal ini. Penulis hanya mengutip dengan menyebutkan alamat url dari data yang diperoleh saja tanpa menyebutkan nama dan tahun dari pembuat url terebut seperti http://www.wikipedia , http://www.duniaesai.com/gender/gender2.htm dan http://duniaesai.com/gender/gender8.htm. dalam jurnal ini juga tidak terdapat metode penulisan. Pendidikan perempuan masih rendah dibanding laki-laki Peraturan yang bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan Partisipasi perempuan dalam pembangunan Kuatnya budaya patriarki Kemiskinan penduduk tinggi Gambar 12. Hubungan Konseptual “Pendidikan dan Pemajuan Perempuan : Menuju Keadilan Gender” 30 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan Sofiani (2009) mengemukakan definisi dari partisipasi dengan definisi dari partisipasi perempuan dalam pembangunan. Partisipasi perempuan adalah peran serta perempuan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian serta evaluasi dan pelestarian pembangunan. Sedangkan partisipasi perempuan dalam pembangunan adalah berperan–aktifnya mereka dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan, dan memperoleh hasil atau resiko dari keseluruhan tindakan yang berkait dengan upaya pembangunan yang dilaksanakan. Mariam Budiardjo (1981) dalam Nurhamni (2009) partisipasi politik adalah Kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, dimana kegiatannya tersebut dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Untuk mengetahui seberapa besar partisipasi dalam masyarakat, Arnstein (1969) dalam Satries (2011) menawarkan suatu teori yang disebut dengan teori The Ladder of Participation yaitu suatu gradasi atau pentahapan partisipasi masyarakat. Ia membagi partisipasi menjadi delapan tahap. Kedelapan tahap ini merupakan alat analisis untuk mengidentifikasi partisipasi masyarakat. Tahapan tersebut dapat dilihat dalam gambar delapan tangga partisipasi Arnstein: Pengawasan Masyarakat Pendelegasian Kekuasaan Kekuasaan Masyarakat Kemitraan Peredaman Kemarahan Tokenisme Konsultasi Menyampaikan Informasi Terapi Non-Partisipasi Manipulasi Gambar 13. Delapan Tangga Partisipasi Arnstein 31 Masyarakat akan mengikuti alur secara bertingkat dari tangga pertama sampai tangga ke delapan dengan logika sebagai berikut: a. Tangga pertama yaitu manipulasi atau penyalahgunaan serta tangga kedua terapi (perbaikan) tidak termasuk dalam konteks partisipasi yang sesungguhnya. Di dalam hal ini masyarakat terlibat dalam suatu program, akan tetapi sesungguhnya keterlibatan mereka tidak dilandasi oleh suatu dorongan mental, psikologis, dan disertai konsekuensi keikutsertaan yang memberikan kontribusi dalam program tersebut. Masyarakat pada posisi ini hanyalah menjadi obyek dalam program. b. Tangga ketiga, pemberian informasi dilanjutkan tangga ke empat konsultasi dan tangga kelima peredaman kemarahan/ penentraman adalah suatu bentuk usaha untuk menampung ide, saran, masukan dari masyarakat untuk sekedar meredam keresahan masyarakat. Oleh karena itu, tangga ini masuk dalam kategori tokenisme (pertanda). Sesungguhnya penyampaian informasi atau pemberitahuan adalah suatu bentuk pendekatan kepada masyarakat agar memperoleh legitimasi publik atas segala program yang dicanangkan. Konsultasi yang yang disampaikan hanyalah upaya untuk mengundang ketertarikan publik untuk mempertajam legitimasi, bukan untuk secara sungguh-sungguh memperoleh pertimbangan dan menegetahui keberadaan publik. Tangga kelima adalah peredaman yang intinya sama saja dengan kedua tahap sebelumnya. Selanjutnya Arnstein menyebutnya sebagai tingkat penghargaan atau formalitas. c. Menurut Arnstein baru pada tangga keenam inilah terjadi partisipasi atau kemitraan masyarakat. Pada tahap ini masyarakat telah mendapat tempat dalam suatu program pembangunan. Pada tangga ketujuh sudah terjadi pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada masyarakat. Yang terakhir masyarakat sudah dapat melakukan kontrol terhadap program pembangunan. Tahap inilah yang disebut dengan partisipasi atau dalam peristilahan Arnstein sebagai kekuasaan masyarakat. Lebih jauh lagi, dalam konteks toleransi masyarakat terhadap kaum perempuan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, menurut para informan terdapat adanya persepsi publik yang menggejala luas dikalangan perempuan bahwa seolah wajib hukumnya bagi perempuan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti: PKK, Posyandu, dan majelis taklim, termasuk pula arisan. Persepsi ini menjadi semacam nilainilai baru yang mentradisi secara turun temurun. Istri kepala desa sudah pasti harus menjadi ketua tim penggerak PKK. Demikian puladengan perangkat-perangkat desahingga tingkat RT/RW. Di lingkungan pekerjaan, istri seorang kepala kantor otomatis harus menjadi ketua Dharma Wanita, demikian pula dengan istri-istri pegawai negeri biasa (Listyaningsih 2010). Posisi perempuan dalam dunia politik harus pula dipertimbangkan. Politik bukan saja bicara soal adu kekuatan atau adu pengaruh yang cenderung menguntungkan segelintir orang. Politik juga harus bicara soal partisipasi dan keterwakilan, baik partisipasi perempuan maupun partisipasi laki-laki. Partisipasi dan keterwakilan yang dimaksud dalam pernyataan tersebut adalah bagaimana politik memiliki kemauan untuk mendorong dan mengakomodasi keberagaman masyarakat yang selama ini terpinggirkan, tak terkecuali perempuan. Sistem politik harus menghapus berbagai jenis diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi yang secara sengaja atau tidak sengaja telah membudaya dalam kelompok masyarakat tersebut. Namun pada kenyataannya, keterwakilan perempuan dalam lembagalembaga strategis pembuat keputusan sangatlah rendah. Ketimpangan ini mengakibatkan perempuan sebatas sebagai penerima kebijakan tanpa memiliki akses dan kontrol untuk memberikan masukan, kritik atau perubahan kebijakan. Ketertinggalan perempuan di bidang ekonomi, pendidikan, ketenagakeijaan, kesejahteraan sosial dan lainnya harus 32 dibaca sebagai akibat ketimpangan keterwakilan perempuan dalam perumusan kebijakan publik (Suciptaningsih 2010). Rendahnya keterlibatan perempuan dalam proses pemerintahan telah terjadi sejak di tingkat paling rendah dalam strata pemerintahan yang ada, yaitu di tingkat RT, RW dan Desa. Sebagai bagian dari warga masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, umumnya para informan menyoroti persoalan keterbatasan kesempatan kaum perempuan untuk terlibat dalam forum-forum publik di lingkungannya, di samping secara teknis juga diakui kungkungan peran domestik yang dialami oleh mereka di dalam rumah tangga turut berperan besar dalam membatasi peran eksternal mereka, sehingga peran-peran tersebut secara tidak langsung diserahkan sepenuhnya pada laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Selain kendala teknis tersebut, para informan pun umumnya sependapat bahwa komitmen para pelaku kebijakan untuk melibatkan perempuan belum dimiliki oleh para pimpinan di tingkat RT, RW dan Desa. Gambaran tentang rendahnya komitmen tersebut termanifestasi dalam surat undangan yang hampir selalu berbunyi “Kepada Yth., Bapak Roni ” atau “Kepada Yth., Bapak Ahmad”, di samping penggunaan sebutan “Ibu Yatno” atau “Ibu RW” untuk menggambarkan istri Bapak Yatno dan istri Bapak Ketua RW, bukan menyebut eksistensi diri individu yang bersangkutan, seperti “Ibu Romlah” sebagai nama istri Bapak Yatno, atau “Ibu Rodiah” sebagai nama istri Bapak Ketua RW (Listyaningsih 2010). Kenyataanya praktik politik tentang kesetaraan gender ternyata masih menemui jalan berliku bagi kaum perempuan Indonesia. Contohnya saja kuota 30 persen yang diberikan kepada perempuan sebagai calon anggota legislative, teori tersebut nampaknya tidak semulus pada penerapan di lapangan. Kuota tersebut hanya diberlakukan di tataran pencalonan dan tanpa sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota tersebut. Sedangkan urusan penomoran urutan caleg berada di tangan pimpinan partai politik yang didominasi oleh laki-laki. Inilah yang menyebabkan partisipasi perempuan di politik masih tergolong rendah (Djalal 2010). Menurut Efianingrum (2008) meskipun dalam proses pembangunan perempuan dapat berpartisipasi secara aktif, tetapi dalam praktiknya banyak sekali hambatan yang dijumpai. Walaupun kita telah memiliki berbagai instrumen hukum dan kebijakan pemajuan perempuan yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, serta sudah adanya perbaikan kondisi dan situasi perempuan, namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari diskriminasi yang luas dan kekerasan terhadap perempuan di semua bidang, termasuk pendidikan masih sering terjadi. Berikut beberapa gambaran tentang ketertinggalan perempuan terhadap lakilaki: a) tingkat pendidikan perempuan dibandingkan laki-laki masih rendah. Data Susenas Tahun 2003 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum sekolah jumlahnya 2 kali lipat penduduk laki-laki (11,56 % berbanding 5,43 %). Penduduk perempuan yang buta aksara sekitar 5,48 persen. Rata-rata lamanya sekolah pada perempuan adalah 6,5 tahun, sedangkan laki-laki adalah 7,6 tahun; b) angka kematian ibu hamil/melahirkan (AKI) masih tinggi, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Prevalensi anemia pada ibu hamil masih lebih dari 50 persen; c) keterwakilan perempuan di DPR masih rendah. Hanya 11,6 persen dan di DPD hanya 19,8 persen; d) partisipasi perempuan dalam jabatan publik juga masih rendah. Dapat dilihat dari rendahnya persentase perempuan PNS yang menjabat sebagai eselon I, II, dan III yang hanya 12 persen. e. Masih banyak peraturan/perundangan serta pelaksanaannya yang bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan; f) masih kuatnya budaya patriarkhi sebagian besar masyarakat, sehingga masyarakat belum berpartisipasi secara maksimal dalam 33 meningkatkan kualitas hidup perempuan; g) tingkat kemiskinan penduduk yang tinggi, sebagian besar adalah perempuan, termasuk perempuan kepala keluarga, janda, dan lanjut usia. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Musrenbang adalah forum perencanaan (Program) yang diselenggarakan oleh lembaga publik, yaitu pemerintah desa, bekerjasama dengan warga dan para pemangku kepentingan lainnya. Musrenbang yang bermakna akan mampu membangun kesepahaman tentang kepentingan dan kemajuan desa, dengan cara memotret potensi dan sumber-sumber pembangunan yang tersedia baik dari dalam maupun luar desa. Pembangunan tidak akan bergerak maju apabila salah satu saja dari tiga komponen tata pemerintahan (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan atau berfungsi. Karena itu Musrenbang juga merupakan forum pendidikan warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan, tidak hanya laki-laki perempuan pun harus menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan tersebut (Syapriadi 2012). Musrenbang merupakan satu tahapan dari rangkaian proses perencanaan dan penganggaran tahunan daerah. Sehingga masih terdapat serangkaian tahapan yang perlu dilalui, yaitu musrenbang provinsi, Rapat Koordinasi Pusat,Musrenbang nasional, tahapan perumusan dan pembahasan KUA, PPAS, RAPBD, dan APBD. Oleh karena itu, efektivitas musrenbang kabupaten/kota di dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat akan sangat ditentukan oleh sejauh mana tahapan yang telah disebutkan di atas konsisten terhadap hasil kesepakatan musrenbang yang dituangkan kedalam RKPD. Sehingga tidak mengherankan bahwa Musrenbang pada berbagai tingkatan tersebut akan saling mempengaruhi pada kebijakan yang akan diambil (Satries 2011). Pelaksanaan musrenbang harus menekankan konsep partisipatif secara utuh, artinya suara masyarakat lebih mempengaruhi hasil musrenbang dibandingkan dengan suara elit politik. Sedangkan data yang diperoleh berdasarkan hasih penelitian Syapriadi (2012) bahwa musrenbang sendiri hanya melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) seperti Kepala Desa, Camat, Kepala-kepala SKPD, Bappeda, Eksekutif dan Legislatif. Hal ini tentunya berlawanan dengan tujuan penyelenggaraan dan prinsip penyelenggaraan musrenbang yang dikemukakan oleh Satries (2011). Pada poin pertama dari tujuan penyelenggaraan musrenbang, Satries (2011) menyebutkan bahwa musrenbang dilakukan untuk mendorong pelibatan para pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan perencanaan (RKPD). Sedangkan pada prinsip pelaksanaan musrenbang Satries (2011) mengemukakan bahwa: a) musrenbang merupakan demand driven process artinya aspirasi dan kebutuhan peserta musrenbang berperanan besar dalam menentukan keluaran hasil musrenbang; b) bersifat inkusif artinya musrenbang melibatkan dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua stakeholders untuk menyampaikan masalahnya, mengidentifikasi posisinya, mengemukakan pandangannya, menentukan peranan dan kontribusinya dalam pencapaian hasil musrenbang.Secara umum tujuan penyelenggaraan musrenbang yaitu: a) mendorong pelibatan para pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan perencanaan (RKPD); b) mengidentifikasi dan membahas isu-isu dan permasalahan pembangunan dan pencapaian kesepakatan prioritas pembangunan daerah yang akan dilaksanakan pada tahun rencana; c) optimalisasi pemanfaatan dana yang tersedia terhadap kebutuhan pembangunan; d) menfasilitasi pertukaran (sharing) informasi, pengembangan konsensus 34 dan kesepakatan atas penanganan masalah pembangunan daerah; e) menyepakati mekanisme untuk mengembangkan kerangka kelembagaan, menguatkan proses, menggalang sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi issu dan permasalahan prioritas pembangunan daerah; f) menggalang dukungan dan komitmen politik dan sosial untuk penanganan issu dan permasalahan prioritas pembangunan daerah. Adapun Prinsip- Prinsip Penyelenggaraan Musrenbang yaitu: a) merupakan demand driven process artinya aspirasi dan kebutuhan peserta musrenbang berperanan besar dalam menentukan keluaran hasil musrenbang; b) bersifat inkusif artinya musrenbang melibatkan dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua stakeholders untuk menyampaikan masalahnya, mengidentifikasi posisinya, mengemukakan pandangannya, menentukan peranan dan kontribusinya dalam pencapaian hasil musrenbang; c) merupakan proses berkelanjutan artinya merupakan bagian integral dari proses penyusunan rencana daerah (RKPD); d) bersifat strategic thinking process artinya proses pembahasan dalam musrenbang distrukturkan, dipandu, dan difasilitasi mengikuti alur pemikiran strategis untuk menghasilkan keluaran nyata; menstimulasi diskusi yang bebas dan fokus, dimana solusi terhadap permasalahan dihasilkan dari proses diskusi dan negosiasi; e) bersifat partisipatif dimana hasil merupakan kesepakatan kolektif peserta musrenbang; f) mengutamakan kerjasama dan menguatkan pemahaman atas issu dan permasalahan pembangunan daerah dan mengembangkan konsensus; g) bersifat resolusi konflik artinya mendorong pemahaman lebih baik dari peserta tentang perspektif dan toleransi atas kepentingan yang berbeda; menfasilitasi landasan bersama dan mengembangkan kemauan untuk menemukan solusi permasalahan yang menguntungkan semua pihak (mutually acceptable solutions) (Satries 2011). Dalam penelitian Supadmi et al. (2013) implementasi kegiatan Musrenbang pada tingkat Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau tahun 2010, menunjukkan hasil yang kurang maksimal. Bukti dari kurang maksimalnya kegiatan Musrenbang tersebut adalah tidak diusulkannya kembali kegiatan yang belum terlaksana di tahun berikutnya. Seharusnya kegiatan yang belum terlaksana harus dievaluasi penyebab/hambatannya agar di tahun mendatang program tersebut dapat terlaksana sesuai rencana. Kemudian dalam pelaksanaannya, musrenbang masih dirasa cukup memprihatinkan, karena hasil yang diperoleh kurang sejalan dengan apa yang direncanakan oleh masyarakat. Akar masalahnya yaitu terletak pada anggaran yang tidak memadai. Kajian Gender dalam Pembangunan Seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri, gender merupakan konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perubahan yang dimakud tersebut tidak secara instan, melainkan terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Kesamaan antara konsep gender dan konsep seks mutlak diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun pada kenyataannya perbedaan tersebut menjadi dasar dalam hal pembedaan gender sehingga melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan (Efianingrum 2008). 35 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Foilyani (2009) menunjukkan bahwa sifat kehalusan dan ketelatenan yang merupakan ciri khas perempuan dijadikan alasan untuk pemberian pekerjaan yang marginal sehingga meletakkan posisi perempuan pada pekerjaan yang kurang penting dan gaji yang relatif rendah. Aktivitas perempuan secar konsisten menyangkut hal yang kurang berbahaya, tidak membutuhkan konsentrasi tinggi, serta hanya memerlukan sedikit latihan dan keterampilan. Perempuan di Desa Samboja tidak mampu untuk mengelola usaha ekonomi sehingga usaha mereka hanya terbatas pada tataran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tetapi tidak berkembang untuk yang lainnya, misal mengembangkan usaha (ekspansi usaha) untuk meningkatkan pendapatan yang lebih besar lagi. Apabila diperhatikan selama ini pendekatan yang diterapkan oleh pemerintah dalam mengatasi kemiskinan selalu menggunakan pendekatan ekonomi semata, seperti bantuan permodalan, subsidi, dan semacamnya. Dalam jangka pendek memang tampak efektif, akan tetapi dalam jangka panjang tidak akan bisa menyelesaikan masalah kemiskinan sampai pada akarnya. Menurut Hubeis (2009) sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap pekerjaan domestik sebagai kewajiban perempuan. Pada saat bersamaan anggapan ini diikuti tuntutan keterlibatan aktif perempuan di ranah publik. Akibatnya kemudian terjadi kecenderungan modifikasi pencitraan peran perempuan dalam keluarga di era millenium, dimana perempuan cenderung memilih salah satu dari bentuk peran berikut : 1. Perempuan sebagai manajer rumah tangga (RMT), menjalankan peran tradisional yang bekerja di sector reproduktif. Sehingga timbul kerisauan adanya persepsi bahwa peran menejer RMT bukan wujud partisipasi konkret manusia pembangunan. Alasannya, karena tidak menghasilkan sesuatu yang dapat diukur, misalnya ekonomi (rupiah, produk) 2. Perempuan sebagai pekerja dan menejer rumah tangga, memiliki kecenderungan menjalankan peranganda. Perempuan dituntut untuk mampu membagidiri, dan mengalokasikan waktu demi 4-K (kemantapan, keselarasan, keserasian dan keseimbangan) keluarga. Dampaknya, perempuan dengan dual roles seperti ini harus bekerja dari matahari belum terbit sampai matahari terbenam. 3. Perempuan sebagai pekerja profesional, umumnya berperan egalitarian dan kontemporer. Fenomena ini memerlukan kepedulian hakiki dari laki-laki agar tidak terjadi benturan dan konflik kepentingan. Sehingga tentu saja controversial dengan nilai agama dan budaya yang berlaku. Faktor-Faktor Pengaruh Partisipasi Perempuan Dalam Pembangunan Menurut Satries (2011) dan Supadmi et al. (2013) faktor yang menghambat partisipasi masyarakat dalam musrenbang yaitu kurangnya akses masyarakat terhadap informasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat. Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suroso et al. (2014), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keaktifan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal (terdiri dari usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan penduduk, lamanya tinggal) dan faktor eksternal (terdiri dari komunikasi dan kepemimpinan). Menurut Sofiani (2009) posisi perempuan dalam pembangunan memang seharusnya ditempatkan sebagai partisipan atau subjek pembangunan bukan sebagai objek sebagaimana yang terjadi selama ini sehingga perempuan dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Realitas menunjukan bahwa posisi perempuan masih sebagai objek pembangunan, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pertama, masih kuatnya faktor sosial dan budaya patriarki yang menempatkan 36 laki-laki dan perempuan pada posisi yang beda; kedua, masih banyak perundang-undangan, kebijakan dan program pembangunan yang belum peka gender; ketiga, kurang adanya sosialisasi ketentuan hukum yang menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan secara menyeluruh; keempat, belum adanya kesadaran gender di kalangan para perencana dan pengambil keputusan; kelima, belum lengkapnya data pilah yang memaparkan posisi perempuan dan laki-laki secara jelas dalam bidang pembangunan di semua departemen; keenam, belum maksimalnya kesadaran, kemauan dan konsistensi perempuan itu sendiri dan; ketujuh, kurangnya pengetahuan perempuan terhadap tujuan dan arah pembangunan, sehingga perempuan kurang respon, masa bodoh atau menolak secara tidak langsung dari program-program pembangunan. Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Legislatif di Kabupaten Kendal,dari enam partai politik yang terdapat dalam lembaga legislatif di kabupaten Kendal yakni PDIP, PKB, PPP, PAN, GOLKAR dan Demokrat, hanya PDIP dan GOLKAR saja yang mempunyai wakil Anggota dewan perempuan. Minimnya keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif di kabupaten Kendal tentu disebabkan pula oleh kendala-kendala yang menghambat gerak langkah perempuan dalam berpartisipasi, diantaranya adalah: kendala sistem politik yakni: kelaziman model maskulin mengenai kehidupan politik dan badanbadan pemerintahan (laki-laki mendominasi politik, memformulasi aturan permainan politik, dan menentukan standar untuk evaluasi, bahkan kehidupan politik diatur oleh norma-norma dan nilai-nilai laki-laki); kendala sosial budaya, masyarakat Kabupaten Kendal masih terikat kuat oleh budaya Jawa yang cenderung patriarki, kendala psikologis : perempuan takut berkuasa, karena beberapa parpol Islam menunjukkan keberatannya atas partisipasi perempuan pada aspek politik. Kendala sosial ekonomis, yakni adanya pemiskinan perempuan. Hambatan juga muncul dengan adanya peran ganda perempuan, bahkan dalam banyak kasus multi ganda yakni sebagai ibu rumah tangga, pekerja dan masyarakat profesional. Tidak terdapat waktu yang memadai dengan banyak peran tersebut untuk memasuki dunia politik. (Suciptaningsih 2010). Menurut Listyaningsih (2010) hambatan-hambatan yang dihadapi oleh perempuan dalam berpartisipasi dalam politik dan pembangunan di banten secara kultural (budaya) dan struktural (pendidikan). Hambatan yang dimakud yaitu perempuan dianggap tidak lazim keluar malam, pekerjaan dometik cenderung diwajibkan kepada perempuan, dan pandangan agama yang membatasi peran perempuan di dunia publik. Hal yang sisama didapatkan oleh Efianingrum (2008), praktik-praktik budaya seolah-olah menghambat partisipasi anak perempuan dalam berekolah. Bahkan dalam banyak masyarakat muncul pernyataan bahwa menyekolahkan anak laki-laki lebih menguntungkan dibandingkan dengan menyekolahkan anak perempuan. Untuk meningkatkan kepekaan guru bagi perempuan perlu pembaharuan dan peninjauan ulang kurikulum, peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, mengintegrasikan gender sebagai mata ajaran khusus dalam pelatihan untuk guru-guru di sekolah, memasukkan kesadaran akan kesetaraan gender dalam pendidikan melalui sekolah, dan mendorong masyarakat mengirim anak-anak perempuan mereka ke sekolah secara teratur, untuk memberi rasa aman. Dengan demikian, hambatan-hambatan tradisional lambat laun akan hilang. Dalam penelitian Supadmi et al. (2013) dalam pelaksanaan musrenbang masih terdapat faktor yang mempengaruhi hasil dari musrenbang tersebut. Pertama, Faktor keakuratan usulan kegiatan. Ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan dalam Musrenbang kecamatan merupakan rumusan elite kelurahan dan desa, sehingga 37 partisipasi masyarakat yang sesungguhnya masih jauh dari harapan. pemerintah kelurahan masih mendominasi perumusan kegiatan prioritas yang akan diusulkan dalam Musrenbang selanjutnya. Kedua, faktor minimnya pendampingan, Kurangnya pendamping atau fasilitator desa yang mampu dan kompeten untuk melaksanakan perencanaan partisipatif menyebabkan prioritas kegiatan terkadang tidak bisa terakomodir dalam sebuah perencanaan pembangunan. Ketiga, Agar masyarakat tidak kecewa dengan keikusertaan dalam Musrenbang, maka perlu adanya transparansi terhadap pelaksanaan Musrenbang dimana usulan kegiatan yang sudah disusun mulai dari bawah akan muncul dalam mata anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Kabupaten Sanggau. Ini menyebabkan banyaknya usulan program masyarakat yang hilang di tengah jalan. Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang Partisipasi perempuan dalam musrenbang masih sangat rendah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan PATTIRO di Kota Semarang, dalam Musrenbangkel rata-rata tingkat partisipasi perempuan hanya 10 persen, semuanya berasal dari Tim Pengerak PKK dan 19 dari 20 ketua Tim Pengerak PKK adalah isteri Lurah. Bahkan, tingkat partisipasi perempuan di Kelurahan Karang Ayu adalah 0 persen, yang berarti semua peserta Musrenbangkel adalah laki-laki. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang, terutama perempuan, karena masyarakat masih beranggapan bahwa rencana pembangunan ialah urusan elit, mulai dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Provinsi dan pusat. Hal itu menjadi alasan mengapa perempuan enggan menghadiri pertemuan yang membahas rencana pembangunan. Malah mereka meminta pengurus PKK untuk menjadi wakil dalam pertemuan tersebut (Kalyanamitra 2011). Apabila kita ingin melihat partisipasi perempuan dalam musrenbang, kita harus pula melihat partisipasi perempuan dalam dunia politik. Menurut Listyaningsih (2010) perempuan seringkali hanya dijadikan pelengkap dalam dunia politik. Situasi rapat yang sangat maskulinitas, lengkap dengan berbagai humor selera laki-laki yang kebanyakan mengeksploitasi seksualitas perempuan, secara psikologis kebanyakan membuat perempuan tidak betah berlama-lama dalam forum-forum tersebut. Apabila kita mengacu pada data tersebut, dapat diambil sebuah hubungan bahwa partisipasi perempuan dalam pembangunan, termasuk partisipasi dalam musrenbang masih tergolong rendah. Banyak penyebab yang mendukung pernyataan tersebut. Masyarakat desa sebagian besar menganggap perempuan berkewajiban untuk bekerja di dapur (reproduktif) sedangkan laki-laki cenderung untuk bekerja diluar rumah (produktif). Berdasarkan penelitian Foilyani (2009), sifat kehalusan dan ketelatenan yang merupakan ciri khas perempuan dijadikan alasan untuk pemberian pekerjaan yang marginal sehingga meletakkan posisi perempuan pada pekerjaan yang kurang penting dan gaji yang relatif rendah. Sekalipun perempuan bekerja diluar rumah sebagai wanita karier, tetap saja pekerjaan rumah tangga (domestik) dianggap sebagai kewajiban perempuan. Hal inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan isu beban kerja ganda. Selain itu, isu kewajiban dalam pekerjaan domestik juga akan menyebabkan waktu perempuan sangat sedikit untuk beraktivitas diluar rumah. Jangankan untuk beraktivitas diluar, biasanya perempuan memiliki waktu tidur yang lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki walaupun samasama bekerja. Bagi perempuan yang memiliki beban kerja ganda, ia terpaksa hanya memiliki waktu istirahat yang sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini bisa juga menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam musrenbang. 38 Menurut Kalyanamitra (2011) peserta Musrenbang hanya dari kalangan elit dan tidak mewakili kelompok marjinal. Perempuan, sebagai kelompok yang berkepentingan, menyampaikan aspirasinya dalam Musrenbang jarang diikut-sertakan. Dalam forum tersebut perempuan, tak banyak kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat. Padahal, ketika berbicara soal partisipasi tak hanya kehadiran namun bagaimana mereka yang hadir dapat menyampaikan apa yang menjadi aspirasinya dan didengarkan. Suasana juga turut mempengaruhi keberanian perempuan untuk menyatakan pendapatnya. Ketika forum dikuasai laki-laki, maka perempuan menjadi enggan untuk berbicara. Akhirnya, apa yang menjadi aspirasi mereka tidak tersampaikan 39 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Agar pembangunan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, harus dilibatkannya partisipasi masyarakat secara penuh baik perempuan maupun laki-laki. Apabila perempuan tidak dilibatkan dalam program-program pembangunan, ia hanya akan menjadi beban pembangunan. Begitu pula sebaliknya, apabila perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan, ia akan menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Pada kenyataannya partisipasi perempuan dalam pembangunan masih sangat rendah dan biasanya hanya berasal dari ibu-ibu anggota PKK saja. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, rendahnya akses perempuan terhadap informasi. Kedua, sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa perempuan lebih pantas untuk bekerja di dapur. Masyarakat yang beranggapan seperti itu artinya masih membagi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin bukan berdasarkan potensi. Ketiga, masih terdapatnya anggapan bahwa perencanaan pembangunan ialah urusan elit, mulai dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Provinsi dan pusat. Keempat, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa menyekolahkan anak laki-laki akan lebih menguntungkan dibandingkan menyekolahkan anak perempuan. Pernyataan seperti itu tentunya merupakan pernyataan yang sama sekali tanpa dasar yang jelas. Bagaimana partisipasi perempuan dapat meningkat apabila peran mereka dalam dunia pendidikan saja masih dibatasi oleh berbagai alasan yang kurang masuk akal. kelima, adanya persepsi yang membudaya pada masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh kuatnya budaya patriarki. Persepsi tersebut tentunya akan menimbulkan diskrimnasi bagi perempuan. Contohnya konkritnya yaitu kepala keluarga yang sudah pasti dipersepsikan laki-laki, walaupun dalam keluarga tersebut yang mencari nafkah adalah perempuan. Contoh lain seperti persepsi masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak boleh pulang malam. Sehingga persepsi semacam itu akan menghambat perempuan dalam berkarier sehingga dapat memengaruhi partisipasinya dalam pekerjaan, termasuk pula partisipasi dalam dunia politik. Pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah kurang berjalan secara efektif dan kurang menyentuh kebutuhan dasar dari masyarakat. Program pembangunan selama ini cenderung mengatasi permasalahan secara sementara dan lebih menekankan pada aspek ekonomi saja, contohnya seperti bantuan permodalan. Bantuan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi manja dan memiliki tingkat keberlanjutan yang sangat kecil. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) merupakan forum perencanaan (Program) yang diselenggarakan oleh lembaga publik, yaitu pemerintah desa, bekerjasama dengan warga dan para pemangku kepentingan lainnya. Artinya harus terdapat sinergi dan partisipasi aktif antara berbagai stakeholer seperti masyarakat, pemerintah, dan swasta. Untuk menganalisis seberapa besar partisipasi perempuan dalam musrenbang, Arnstein (1969) menawarkan suatu teori yang disebut dengan teori The Ladder of Participation. Teori tersebut membagi tingkatan partisipasi dalam delapan tangga atau tingkatan dengan karakteristik partisipasi di setiap tangga yang berbeda. Delapan tingkatan partisipasi tersebut adalah manipulasi, terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredam kemarahan, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. 40 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi Berdasarkan hasil rangkuman dan pembahasan diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana partisipasi dan posisi perempuan Indonesia di dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)? 2. Faktor internal dan eksternal apa sajakah yang menentukan tingkat partisipasi perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa? 3. Bagaimana hubungan faktor yang mempengaruhi dan tingkat partisipasi perempuan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa? Usulan Kerangka Analisis Baru Faktor utama yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam musrenbang adalah faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya memiliki indikator seperti sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa perempuan lebih pantas untuk bekerja di dapur, masih terdapatnya anggapan bahwa perencanaan pembangunan ialah urusan elit, mulai dari RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Provinsi dan pusat, sebagian besar masyarakat menganggap bahwa menyekolahkan anak laki-laki akan lebih menguntungkan dibandingkan menyekolahkan anak perempuan, dan adanya persepsi yang membudaya pada masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh kuatnya budaya patriarki. Sedangkan indikator lain yang bisa membantu dalam menjelaskan partisipasi perempuan dalam pembangunan adalah melalui teknik analisis Harvard. Teknik ini terbagi menjadi tiga, yaitu menganalisis akses perempuan terhadap informasi, kontrol perempuan terhadap pengambilan keputusan, dan penerima manfaat yang dirasakan perempuan dari hasil musrenbang. Partisipasi perempuan dalam Musrenbang tentunya tidak akurat apabila kita hanya mempertimbangkan hal yang sudah disebutkan diatas. Karakteristik dari perempuan itu sendiri sangat mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam musrenbang. Karakteristik yang dimaksud adalah Usia, Tingkat Pendidikan, Jenis Pekerjaan, Tingkat Penghasilan penduduk, Lamanya tinggal. Untuk mengukur partisipasi perempuan dalam musrenbang, apakah perempuan telah berpartisipasi secara aktif, atau hanya hadir dan duduk mendengarkan saja, atau bahkan perempuan sama sekali tidak hadir diukur melalui indikator yang dijelaskan oleh Arnstein. Arnstein (1969) menawarkan suatu teori yang disebut dengan teori The Ladder of Participation. Teori tersebut membagi tingkatan partisipasi dalam delapan tangga atau tingkatan dengan karakteristik partisipasi di setiap tangga yang berbeda. Delapan tingkatan partisipasi tersebut adalah manipulasi, terapi, menyampaikan informasi, konsultasi, peredam kemarahan, kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat. 41 Kebijakan yang bias gender dan diskriminatif pada perempuan Faktor Kultural : - Perempuan wajib dalam pekerjaan domestik - Masih kuatnya budaya patriarki (perempuan dilarang pulang malam) Faktor Struktural : - Akses terhadap informasi - Kontrol terhadap keputusan - Penerima manfaat dari hasil musrenbang - Pendominasian partisipasi dari kaum elit - Ketimpangan hak perempuan dalam akses pendidikan Karakteristik Perempuan : - Usia - Tingkat Pendidikan - Jenis Pekerjaan - Tingkat Penghasilan penduduk - Lamanya tinggal - Motivasi Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang Delapan Derajat Arnstein : - Manipulasi - Terapi - Menyampaikan informasi - Konsultasi - Peredam kemarahan - Kemitraan - Pendelegasian kekuasaan - Pengawasan masyarakat Gambar 14. Kerangka Analisis 42 DAFTAR PUSTAKA Darmastuti A, Fatimaningsih E, Teuku F. 2012 Studi Kebijakan Pembangunan Daerah Berperspektif Gender di Kabupaten Lampung Tengah. [Internet]. [Diunduh 06 Oktober 2014]; 14(1):33-45. Dapat diunduh dari: http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/article/view/157/168 Efianingrum A. 2008. Pendidikan dan Pemajuan Perempuan : Menuju Keadilan Gender. J Fondasia. [internet]. [Diunduh 06 Oktober 2014]; Dapat diunduh dari : http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja& uact=8&ved=0CB8QFjAA&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefa ult%2Ffiles%2FArtikel%2520Fondasia%25202008.pdf&ei=HUgyVIqBL4aa8QW_ loKICg&usg=AFQjCNFYk5x-TgYXwTWQeYkKV_1DHwUTQ&bvm=bv.76802529,d.dGc Ekawati S. 2010. Partisipasi perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan (studi deskriptif kualitatif tentang partisipasi perempuan dalam musyawarah perencanaan pembangunan di Kelurahan Joyosuran, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta). [skripsi]. [Internet]. [Diunduh 02 Oktober 2014]. Surakarta(ID): Universitas Sebelas Maret. Tersedia pada: http://eprints.uns.ac.id/3065/1/148721608201011471.pdf Foilyani FH. 2009. Pemberdayaan Perempuan Desa dalam Pembangunan (Studi Kasus Perempuan di Desa Samboja Kuala, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara). J Wacana. [Internet]. [Diunduh 02 Oktober 2014]; 12(3):592-608. Tersedia pada: http://wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/view/154/131 Kalyanamitra. 2011. Menelisik Partisipasi Perempuan dalam Musrenbang.: Paper Kajian terhadap Kebijakan-Kebijakan Terkait. Kementerian Pertanian. Analisis dan Proyeksi Tenaga Kerja Sektor Pertanian 2013-2019. Khotimah K. 2009. Diskriminasi gender terhadap perempuan dalam sektor pekerjaan. J studi gender & anak. [Internet]. [Diunduh 16 September 2014]. 4(1):158-180. Tersedia pada: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49166&val=3910 Listyaningsih. 2010. Partisipasi perempuan dalam politik dan pembangunan di Banten. J Administrasi Publik. [Internet]. [Diunduh 02 Oktober 2014]; 1(2):143-166. Tersedia pada: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=49017&val=4026&title Nurhamni. 2009. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Perempuan Beraktivitas dalam Partai Politik . [Internet]. [Dikutip 06 Oktober 2014]; 1(1):77-94. Dapat diunduh dari: http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/academica/article/view/2340/1525 Ruslan M. 2010. Pemberdayaan Perempuan dalam Dimensi Pembangunan Berbasis Gender. J Musawa. [Internet]. [Dikutip 06 Oktober 2014]; 2(1):79-96. Dapat diunduh dari: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja &uact=8&ved=0CC8QFjAC&url=http%3A%2F%2Fmusawa.iainpalu.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2014%2F05%2F7.pemberdayaan- 43 perempuan.pdf&ei=ajcyVK7TDML18QWXxYL4Bw&usg=AFQjCNFJ9VezH7XqDi6Dm9JydEKYUsCuA&bvm=bv.76802529,d.c2E Satries WI. 2011. Mengukur tingkat partisipasi masyarakat Kota Bekasi dalam penyusunan APBD melalui pelaksanaan Musrenbang 2010. J Kybernan. [Internet]. [Diunduh 01 Oktober 2014]; 2(2):89-130. Tersedia pada: https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja &uact=8&ved=0CCMQFjAB&url=http%3A%2F%2Fejournalunisma.net%2Fojs%2Findex.php%2Fkybernan%2Farticle%2Fdownload%2F356%2 F325&ei=BB0uVOy6L4QuASujIGQBA&usg=AFQjCNHdh9kMs66F2lzzkJjdJyaByW94Ug&bvm=bv.7680 2529,d.c2E Sofiani T. 2009. Membuka ruang partisipasi perempuan dalam pembangunan. J Muwazah. [Internet]. [Diunduh 02 Oktober 2014]; 1(1):64-72. Tersedia pada: http://ejournal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/download/280/251 Suciptaningsih OA. 2010. Partisipasi perempuan dalam lembaga legislatif di Kabupaten Kendal. J Komunitas. [Internet]. [Diunduh 02 Oktober 2014]; 2 (2): 66-73. Tersedia pada: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2276/2340 Supadmi USA, Tangdililing AB, Syafei M. Pelaksanaan hasil musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau J Tesis. [internet]. [Diunduh 01 Oktober 2014]; 1-13. Tersedia pada: http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpmis/article/view/1677/pdf Suroso H, Hakim A, Noor I. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan di Desa Banjaran Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik. J Wacana. [internet]. [Diunduh 22 Oktober 2014]; 17(1):7-15. Tersedia pada: Syapriadi. 2012. Perbandingan perencanaan pembangunan partisipatif dengan perencanaan pembangunan daerah. J Demokrasi & Otonomi Daerah. [Internet]. [Diunduh 02 Oktober 2014]; 10(1):1-66. Tersedia pada : http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JDOD/article/download/944/937 Zusmelia. 2012. Analisis Ketimpangan Gender dalam Proses Pembangunan (Sebuah Tinjauan Sosiologi Historis terhadap Partisipasi Perempuan di Bidang Pendidikan). J Pelangi. [Diunduh 06 Oktober 2014]; 14(1):33-45. Dapat diunduh dari: http://ejournal.stkip-pgri-sumbar.ac.id/index.php/pelangi/article/view/1ANALISIS 44 LAMPIRAN Riwayat Hidup Hernaldi dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 Juli 1993 adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Hernalis dan Ratna Damayanti. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK Tunas Muda tahun 1999-2000, SD Negeri Pengadilan I tahun 20002005, SMP Negeri 6 Kota Bogor tahun 2005-2008, SMA Negeri 1 Sungai Tarab 20082011. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selain aktif dalam kegiatan perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan di luar kegiatan perkuliahan. Penulis pernah bekerja sebagai Staf Perpustakaan Nasional pada tahun 2013, mengajar private Matematika dan Math Sekolah Dasar Sukadamai 3 kelas 4 dan 5 pada tahun 2013, mengaajar private Matematika dan Fisika SMP Negeri 8 Bogor kelas 12 pada tahun 2014-sekarang, bergabung dalam divisi LO pada tim DBL (Development Basketball League) pada tahun 2013, asisten praktikum Mata Kuliah Berfikir Menuli Ilmiah dan Komunikasi Bisnis pada tahun 2013-sekarang.