1 PENANGANAN BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

advertisement
PENANGANAN BENCANA GERAKAN TANAH
DI INDONESIA
Oleh:
Subagyo Pramumijoyo dan Dwikorita Karnawati
Jurusan Teknik Geologi, Fakulta Teknik, Universitas Gadjah Mada
1. Pendahuluan
Bencana alam seperti gerakan tanah, terutama longsor, dapat terjadi pada berbagai
skala dan kecepatan. Di alam, banjir dan longsor sering terjadi hampir bersamaan dan
disebabkan oleh hujan yang sangat lebat yang di dalam gerakan tanah disebut sebagai
unsur pemicu. Untuk meminimalkan kerugian akibat bencana tersebut maka dilakukan
usaha mengenal tanda-tanda yang mengawali gerakan tanah, atau disebut sebagai
mitigasi.
2. Proses di permukaan bumi
Lereng sebagai salah satu kenampakan penting di dalam bentang alam, di dalam
waktu yang panjang akan berevolusi dan material permukaan pada lereng akan bergerak
turun karena gaya gravitasi. Faktor-faktor dinamik proses pembentukan bentang alam
dapat dibedakan menjadi faktor pasif dan faktor aktif (gambar 1).
Faktor pasif berkaitan erat dengan keadaan lapisan bawah permukaan dan
produknya di bagian permukaan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis litologi (batuan),
kemiringan perlapisannya (perlapisan tegak, miring ataupun mendatar), strukturnya (banyak
terdapat rekahan), dan posisinya di dalam bentang alam (pada lembah, tebing ataupun
puncak).
Faktor aktif berkaitan erat dengan agen erosi, yaitu: gaya gravitasi, iklim, tektonika
aktif, dan perubahan sudut kelerengan, serta proses biologi.
Gambar 1. Dinamika proses di permukaan bumi (Campy & Macaire, 1989)
Faktor aktif: 1. Gravitasi, 2. Iklim, 3. Aksi biologi, 4. Tektonika aktif.
Faktor pasif: 5. Batuan/litologi, 6. Struktur yang telah ada, 7. Posisi di permukaan.
a: Pelapukan, b: transport sedimen.
Akibat kombinasi unsur-unsur di kedua faktor tersebut, batuan akan mengalami
degradasi menjadi tanah. Peristiwa ini biasa disebut sebagai pelapukan (weathering).
Pelapukan dapat berlangsung secara fisis maupun kimiawi. Akibat pelapukan daya kohesi
batuan menjadi berkurang dan jika tanah tersebut berada pada suatu lereng, dan akibat
gaya gravitasi, maka akan bergerak ke bawah, baik secara perlahan (creeping) ataupun
cepat (translational sliding, debris flowing, rock falling). Selanjutnya oleh agen transport (air
ataupun angin) tanah tersebut diangkut ke tempat yang lebih jauh sebagai sedimen .
1
3. Klasifikasi gerakan tanah
Pada suatu kelerengan tidak akan terjadi gerakan tanah hanya oleh satu faktor saja.
Hampir seluruh gerakan tanah terjadi oleh karena penyebab yang kompleks. Sepanjang
waktu lereng yang curam itu ada, gaya gravitasi secara terus menerus menariknya ke
bawah, dan air selalu meresap ke dalam tanah, tetapi tidak terjadi gerakan tanah pada
lereng tersebut. Kemudian datanglah faktor pemicu gerakan tanah, misal hujan yang lebat,
dan terjadilah gerakan tanah. Pemicu gerakan tanah yang lain adalah gempabumi dan
semakin umum adalah akibat ulah manusia.
Ada dua faktor penting di dalam menentukan tipe-tipe gerakan tanah, yaitu:
kecepatan gerakannya dan kandungan air di dalam materi yang mengalami gerakan tanah.
Tipe-tipe gerakan tanah tersebut adalah jatuhan (falls), aliran (flows), longsoran (slides),
dan amblesan (subsidence).
Jatuhan terjadi bila suatu masa batuan pada suatu ketinggian terpisah dari batuan
induknya, bisa oleh karena kekar (joint), bidang perlapisan, jatuh bebas dan setelah
mengenai tanah masa batuan tersebut kemudian menggelinding. Pemicu jatuhan bisa
karena hujan lebat, gempabumi dan beberapa penyebab lain.
Gambar 2. Klasifikasi gerakan tanah berdasar kecepatan dan kandungan airnya (Abbott,
2004).
Aliran adalah gerakan tanah yang berperilaku seperti fluida. Material yang mengalir
bisa berukuran bongkah sampai dengan lempung; dengan atau tanpa kandungan air.
Longsoran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu longsoran rotasional dan longsoran
planar/translational. Longsoran rotasional inilah yang umum dijumpai, longsoran bergerak
melalui bidang rotasional yang sumbunya sejajar dengan lereng batuan. Pada keadaan
tidak terjadi longsor (gambar 4a), maka akan terjadi keseimbangan antara driving force
terhadap resisting force. Jika driving force lebih besar dari resisting force maka terjadilah
longsor dan bila longsor terjadi, maka bagian kepala (head of slide pada gambar 4b) akan
turun dan pada bagian toe akan terangkat (gambar 4b). Setelah terjadi longsor pada kepala
terbentuk cekungan, air terakumulasi padanya dan air tersebut meresap ke dalamnya
sehingga kepala menjadi tidak stabil. Di samping itu, di atas kepala longsoran
2
meninggalkan tebing yang lebih curam dibanding sebelum longsor dan hal inilah yang
menyebabkan longsoran berulang kembali di tempat yang sama.
Gambar 3. Analisis stabilitas lereng pada longsoran rotasional (Abbott, 2004).
a. Sebelum terjadi longsor b. Setelah terjadi longsor
Longsoran translasional terjadi pada bidang yang lemah seperti bidang
sesar/patahan, bidang kekar, lapisan yang kaya akan lempung, atau terjadi pada batuan
keras berada di atas batuan yang lunak.
Amblesan atau tanah bergerak ke bawah bisa disebabkan oleh kompaksi sedimen
di bawahnya, pemompaan air/minyak, ataupun karena rongga di bawah tanah, jadi bukan
karena tetonika ataupun volkanisme.
4. Pemicu gerakan tanah
Gangguan yang merupakan pemicu gerakan tanah merupakan proses alamiah atau
non alamiah ataupun kombinasi keduanya, yang secara aktif mempercepat proses
hilangnya kestabilan pada suatu lereng. Jadi pemicu ini dapat berperan dalam
mempercepat peningkatan gaya penggerak/peluncur/driving force, mempercepat
pengurangan gaya penahan gerakan/resisting force, ataupun sekaligus mengakibat
keduanya.
Secara umum ganguan yang memicu gerakan tanah dapat berupa :
a. hujan
b. getaran
c. aktivitas manusia.
Hujan merupakan pemicu yang bersifat alamiah, getaran-getaran dapat bersifat
alamiah (misalnya gempabumi) ataupun non alamiah (misalnya ledakan atau getaran lalu
lintas). Aktivitas manusia seperti penggalian atau pemotongan pada lereng dan
3
pembebanan merupakan pemicu yang bersifat non alamiah. Uraian lebih lanjut tentang
pemicu gerakan tanah akan dibahas di sub bab-sub bab berikut.
4.a. Gerakan tanah yang dipicu oleh hujan
Hujan pemicu gerakan tanah adalah hujan yang mempunyai curah tertentu dan
berlangsung selama periode waktu tertentu, sehingga air yang dicurahkannya dapat
meresap ke dalam lereng dan mendorong massa tanah untuk longsor.
Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia, yaitu tipe
hujan deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama. Tipe hujan deras misalnya
adalah hujan yang dapat mencapai 70 mm per jam atau lebih dari 100 mm per hari. Tipe
hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran pada lereng-lereng yang tanahnya
mudah menyerap air (Premchit, 1995; Karnawati 1996, 1997), misal pada tanah lempung
pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi pada bulan-bulan
awal musim hujan, misalnya pada akhir Oktober atau awal November di Jawa. Tipe hujan
normal contohnya adalah hujan yang kurang dari 20 mm per hari. Hujan tipe ini apabila
berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan dapat efektif memicu
longsoran pada lereng yang tersusun oleh tanah yang lebih kedap air, misalnya lereng
dengan tanah lempung (Karnawati, 2000). Pada lereng ini longsoran terjadi mulai pada
pertengahan musim hujan, misal pada bulan Desember hingga Maret.
Khusus untuk kasus longsoran Purworejo dan Kulon Progo yang kondisi lerengnya
tertutup oleh tanah lempung pasiran, hujan deras dengan curah mencapai lebih dari 500
mm selama 3 hari merupakan pemicu longsoran.
4.b. Gerakan tanah yang dipicu oleh getaran
Getaran memicu longsoran dengan cara melemahkan atau memutuskan hubungan
antar butir partikel-partikel penyusun tanah/ batuan pada lereng. Jadi getaran berperan
dalam menambah gaya penggerak dan sekaligus mengurangi gaya penahan. Contoh
getaran yang memicu longsoran adalah getaran gempabumi yang diikuti dengan peristiwa
liquefaction. Liquefaction terjadi apabila pada lapisan pasir atau lempung jenuh air terjadi
getaran yang periodik Pengaruh getaran tersebut akan menyebabkan butiran-butiran pada
lapisan akan saling menekan dan kandungan airnya akan mempunyai tekanan yang besar
terhadap lapisan di atasnya. Akibat peristiwa tersebut lapisan di atasnya akan seperti
mengambang, dan dengan adanya getaran tersebut dapat mengakibatkan perpindahan
masa di atasnya dengan cepat.
4.c. Gerakan tanah yang dipicu oleh aktivitas manusia.
Selain disebabkan oleh faktor alam, pola penggunaan lahan juga berperan penting
dalam memicu terjadinya longsoran. Pembukaan hutan secara sembarangan, penanaman
jenis pohon yang terlalu berat dengan jarak tanam terlalu rapat, pemotongan tebing/ lereng
untuk jalan dan pemukiman merupakan pola penggunaan lahan yang dijumpai di daerah
yang longsor.
Penanaman pohon dengan jenis pohon yang terlalu berat, misalnya pohon durian,
manggis dan bambu, serta penanaman dengan jarak tanam terlalu rapat mengakibatkan
penambahan beban massa tanah yang bisa menyebabkan longsoran. Hal ini berarti akan
menambah gaya gerak tanah untuk longsor menuruni lereng. Pembukaan hutan untuk
keperluan manusia, seperti misalnya untuk perladangan, persawahan dengan irigasi,
penanaman pohon kelapa, dan penanaman tumbuhan yang berakar serabut dapat
berakibat menggemburkan tanah. Peningkatan kegemburan tanah ini akan menambah
daya resap tanah terhadap air, akan tetapi air yang meresap ke dalam tanah tidak dapat
banyak terserap oleh akar-akar tanaman serabut. Akibatnya air hanya terakumulasi dalam
tanah dan akhirnya menekan dan melemahkan ikatan-ikatan antar butir tanah. Akhirnya
karena besarnya curah hujan yang meresap, maka longsoran tanah akan terjadi.
4
Pemotongan lereng untuk jalan dan pemukiman dapat mengakibatkan hilangnya
peneguh lereng dari arah lateral. Hal ini selanjutnya mengakibatkan kekuatan geser lereng
untuk melawan pergerakan massa tanah terlampaui oleh tegangan penggerak massa tanah
dan akhirnya longsoran tanah pada lereng akan terjadi.
5. Upaya pemantauan dan mitigasi gerakan tanah
Meskipun suatu lahan atau kawasan berdasarkan kondisi alamnya rentan
(berpotensi) untuk bergerak atau longsor, potensi gerakan tanah ini dapat diminimalkan
dengan beberapa langkah berikut.
a. Identifikasi zona yang rentan bergerak
b. Identifikasi faktor kunci penyebab gerakan tanah
c. Menerapkan rekayasa untuk :
• meminimalkan pemicu atau pengaruh pemicu
• memperkuat lereng
5.a. Identifikasi zona yang rentan bergerak.
Identifikasi zona rentan bergerak merupakan langkah awal dalam tahapan
pencegahan dan atau pengendalian gerakan tanah. Identifikasi zona rentan dilakukan
dengan penyelidikan terhadap faktor-faktor pengontrol gerakan tanah. Hasil penyelidikan
kemudian dianalisis secara terpadu dan digambarkan dalam peta sebaran zona-zona
dengan tingkat kerentanan yang bervariasi. Tingkat kerentanan gerakan tanah dibedakan
menjadi: :
• kerentanan tinggi
• kerentanan menengah
• kerentanan rendah
• kerentanan sangat rendah
Semakin tinggi tingkat kerentanan suatu zona berarti semakin besar pula kemungkinan
terjadinya gerakan tanah.
Dengan diketahuinya variasi tingkat kerentanan suatu kawasan atau daerah
terhadap gerakan tanah, maka dapat disusun strategi pencegahan dan
penanggulangannya secara lebih efektif. Misal: upaya perkuatan lereng hanya
diprioritaskan pada zona dengan tingkat kerentanan tinggi saja, sedangkan untuk zona
dengan tingkat kerentanan menengah cukup dilakukan dengan penanaman vegetasi yang
bersifat memperkuat lereng. Jadi akhirnya dapat ditetapkan zona mana yang aman untuk
dikembangkan dan zona mana yang harus diproteksi.
5.b. Identifikasi faktor kunci penyebab gerakan tanah.
Faktor kunci merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap proses
terjadinya gerakan tanah, dan seringkali merupakan faktor yang paling sensitif untuk
bereaksi terhadap perubahan ekosistem. Teridentifikasinya faktor kunci ini sangat penting
dalam menetapkan teknik atau rekayasa pencegahan/ pengendalian gerakan tanah yang
efektif.
Identifikasi ini dilakukan dengan cara penyelidikan terhadap kondisi, sebaran dan
proses-proses yang dicurigai sebagai faktor penyebab gerakan tanah. Penyelidikan geologi
merupakan basis utama dalam indentifikasi ini, yang kemudian perlu diintegrasikan dengan
penyelidikan hidrologi dan penggunaan lahan. Ketelitian dalam penyelidikan ini juga
bervariasi, tergantung pada target atau produk yang ingin dicapai dari hasil penyelidikan.
Untuk produk yang berupa arahan kebijakan pengendalian kawasan di suatu wilayah
propinsi, minimal diperlukan ketelitian penyelidikan dengan skala peta 1 : 100.000. Untuk
5
wilayah kabupaten minimal diperlukan ketelitian penyelidikan dengan skala peta 1 : 50.000
hingga skala 1 : 25.000.
5.c. Menerapkan rekayasa untuk pencegahan/ pengendalian.
Sebelum rekayasa diterapkan perlu dilakukan penyelidikan lebih dahulu guna
mengetahui faktor kunci penyebab gerakan tanah. Penyelidikan harus dilakukan secara
detil (skala 1 : 10.000 hingga skala 1 : 100).
Rekayasa yang dapat diterapkan untuk meminimalkan pemicu/ pengaruh pemicu
atau untuk memperkuat lereng meliputi :
•
•
•
rekayasa teknis
rekayasa vegetatif.
kombinasi keduanya.
6. Skala ruang dan waktu pemicu longsor dan banjir
Berbagai peristiwa yang memiliki kaitan dengan longsor dan banjir, antara lain iklim,
termasuk di dalamnya kejadian El Nino yang dapat mengakibatkan kekeringan atau curah
hujan berlebihan di suatu daerah. Jika curah hujan berlebihan dari curah hujan biasa maka
bisa memicu longsor ataupun banjir. El Nino mempunyai siklus 4-10 tahunan dengan
pengaruh keruangan/spasial sampai dengan ribuan kilometer persegi dan kehadirannya
bisa dipantau melalui satelit, sehingga bisa diduga kapan El Nino memberikan curah hujan
berlebihan di suatu daerah. Saat itulah merupakan saat waspada longsor maupun banjir.
Wilayah Indonesia bagian selatan dan timur merupakan jalur gempabumi yang juga
bisa memicu longsoran. Siklus suatu gempabumi bisa puluhan sampai ratusan tahun,
namun saat terjadi hanya berlangsung beberapa menit saja dan akibatnya bisa mencakup
daerah seluas ratusan kilometer persegi. Seperti di daerah Sengir, Prambanan, telah terjadi
gerakan tanah yang mengakibatkan di daerah kepala ambles setinggi 4 meter dan di
daerah toe mengalami kenaikan beberapa meter. Hal ini terjadi sesaat setelah gempabumi
Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006.
Oleh karena itu dalam rangka upaya mitigasi bencana longsor dan banjir, perlu
kiranya dipertimbangkan arti perbedaan dimensi dari setiap peristiwa tersebut untuk
diletakkan di dalam kerangka skala waktu maupun skala ruang pemicunya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, P. L., 2004, Natural Disaster. Fourth Edition. McGraw Hill, Higher Education,
New York, 460 pp.
Campy M. & Macaire J.J. 1989. Géologie des Formations Superficielles: Géodynamique,
faciès, utilisation, Masson, Paris, 433 p.
John R. C. 1995. Coastal Geology, Manual # 1110-2-1810, Department of the Army, US
Army Corps of Engineers, Washington DC, 297 p.
Premchit J. 1995. Landslides. Asian Institute of Technology, South East Asian
Geotechnical Society, Bangkok, 21 pp.
6
Download