1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Klasifikasi penyakit

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Klasifikasi penyakit adalah pengelompokkan penyakit-penyakit sejenis
dengan ICD-10 (International Statistical Classification of Disease and
Related Health Problems Tenth Revision) untuk istilah penyakit dan masalah
yang berkaitan dengan kesehatan. Penegakkan dan penulisan diagnosis
sesuai dengan ICD-10 merupakan tugas dan tanggung jawab dokter yang
merawat pasien. Oleh karenanya, diagnosis yang ditulis dalam rekam medis
harus lengkap atau tepat dan jelas sesuai dengan terminologi medis dan
arahan yang ada pada buku ICD-10 (Hatta, 2013).
Pencatatan diagnosis yang lengkap/tepat dan baik tersebut penting
untuk penanganan pasien yang baik dan merupakan sumber data
epidemiologi dan statistik morbiditas yang bernilai serta data statistik lain
dalam perawatan kesehatan sehingga penulisan diagnosis haruslah tepat
sesuai terminologi medis (WHO, 2010). Penggunaan/penulisan diagnosis
lebih dari satu istilah medis atau terminologi medis akan menyulitkan dalam
pengumpulan dan perolehan informasi morbiditas dan mortalitas yang akurat
dan tepat (Hatta, 2013). Dimana statistik morbiditas dan mortalitas serta
statistik kesehatan lainnya digunakan sebagai pedoman dalam pengambilan
keputusan (Huffman, 1994). Menurut Permenkes No. 27 Tahun 2014 tentang
Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA CBG’s), data
diagnosis dari rekam medis merupakan sumber data untuk pengkodean
diagnosis. Dimana, pengkodean diagnosis adalah pemberian penetapan
kode dengan menggunakan huruf dan angka atau kombinasi antara huruf
dan angka yang mewakili komponen data (Budi, 2011).
Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 377/Menkes/SK/2007 tentang
Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, seorang perekam
medis harus mampu menetapkan kode penyakit dan tindakan medis dalam
pelayanan dan manajemen kesehatan. Dan menurut Permenkes No. 27
Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups
(INA CBG’s), seorang koder mempunyai tugas dan tanggung jawab
melakukan kodefikasi diagnosis yang ditulis oleh dokter yang merawat
1
2
pasien dengan ICD-10. Selain itu, berdasarkan Kepmenkes RI Nomor
377/Menkes/SK/2007 tentang Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi
Kesehatan, seorang perekam medis harus mampu mengumpulkan diagnosis
pasien untuk memenuhi sistem pengelolaan, penyimpanan data pelaporan
untuk kebutuhan analisis sebab tunggal penyakit yang dikembangkan dan
mengklasifikasi data kode diagnosis yang akurat bagi kepentingan informasi
morbiditas dan mortalitas.
Penerapan
pengkodean
sistem
ICD-10
ini
digunakan
untuk
mengindeks pencatatan penyakit, masukan bagi sistem evaluasi dan
pelaporan diagnosis medis, memudahkan proses penyimpanan dan
pengambilan data terkait diagnosis karakteristik pasien dan penyedia
pelayanan, bahan dasar dalam pengelompokan INA-CBG’s (Indonesian
Case Base Groups) untuk sistem penagihan pembayaran biaya pelayanan,
pelaporan nasional dan internasional mortalitas dan morbiditas, tabulasi data
pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan pelayanan medis,
menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan dikembangkan
sesuai kebutuhan zaman, analisis pembiayaan pelayanan kesehatan, serta
untuk penelitian epidemiologi dan klinis (Hatta, 2013).
Hasil survei Depkes RI (2010) terhadap 15 rumah sakit yang
berpartisipasi dalam sistem case mix/INA CBG’s sebagian rumah sakit di
Indonesia (sekitar 65%) belum membuat diagnosis yang lengkap dan jelas
berdasarkan ICD-10 serta belum tepat pengkodeannya. Apabila diagnosis
dan kode yang dicantumkan pada dokumen rekam medis tidak tepat, maka
akan berdampak pada biaya pelayanan kesehatan. Keakuratan kode
diagnosis dipengaruhi oleh ketepatan penulisan diagnosis, beban kerja
coder, pengetahuan petugas rekam medis tentang bahasa terminologi
medis, dan sarana.
Ketidakakuratan kode diagnosis akan mempengaruhi data dan
informasi laporan morbiditas dan mortalitas, ketepatan tarif INA CBG’s yang
ada pada saat ini digunakan sebagai metode pembayaran untuk pelayanan
pasien JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang diselenggarakan oleh BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) di Indonesia. Terkait hal tersebut,
apabila pengkode salah mengkode penyakit, maka jumlah pembayaran
klaim juga akan berbeda. Tarif pelayanan kesehatan yang rendah tentunya
3
akan merugikan pihak rumah sakit, sebaliknya tarif pelayanan kesehatan
yang tinggi terkesan rumah sakit diuntungkan dari perbedaan tarif tersebut
sehingga merugikan pihak penyelenggara atau pasien (Suyitno, 2007).
Fahzandipour, dkk (2010), mengemukakan faktor-faktor seperti
variasi dari dokter yang mendiskripsikan diagnosis, kurang jelasnya
penulisan diagnosis (khususnya jika tulisan tangan), tidak lengkapnya
pendokumentasian rekam medis, penggunaan sinonim dan singkatan dokter
yang tidak familiar dengan dasar pendokumentasian diagnosis dan
pengalaman serta pendidikan koder dapat menyebabkan kesalahan koding
atau tidak akuratnya informasi.
Selain itu, Riskawati dan Sudra (2011) menerangkan bahwa data
penulisan istilah yang telah sesuai dengan terminologi medis sejumlah 58
(73,33%), dan disarankan pada penulisan diagnosis perlu ditulis sesuai
penulisan dalam terminologi medis untuk memudahkan tenaga kesehatan
terutama petugas koding dan untuk menyamakan bahasa medis di seluruh
dunia.
Pemilihan Rumah Sakit UGM Yogyakarta sebagai lokasi penelitian
karena Rumah Sakit UGM Yogyakarta merupakan rumah sakit pendidikan.
Selain itu, berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Rumah
Sakit UGM Yogyakarta pada bulan September 2015, bahwa dari sampel 5
berkas rekam medis pasien rawat inap masih terdapat penulisan diagnosis
dengan istilah terminologi medis yang tidak sesuai dengan ICD-10 sebanyak
3 diagnosis (60%) dan kode diagnosis yang tidak akurat sebanyak 2 kode
diagnosis (40%).
Permasalahan inilah yang mendorong penulis tertarik untuk meneliti
terkait ada tidaknya hubungan ketepatan penulisan diagnosis dengan
keakuratan kode diagnosis pasien rawat inap di Rumah Sakit UGM
Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah “Adakah
hubungan ketepatan penulisan diagnosis dengan keakuratan kode diagnosis
pasien rawat inap di Rumah Sakit UGM Yogyakarta?”
4
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum dan khusus tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan ketepatan penulisan diagnosis dengan
keakuratan kode diagnosis pasien rawat inap di Rumah Sakit UGM
Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a. Menghitung tingkat ketepatan penulisan diagnosis pasien rawat inap
berdasarkan ICD-10.
b. Menghitung tingkat keakuratan kode diagnosis pasien rawat inap
berdasarkan ICD-10.
c. Menganalisis hubungan ketepatan penulisan diagnosis dengan
keakuratan kode diagnosis pasien rawat inap di Rumah Sakit UGM
Yogyakarta.
D. Manfaat
Manfaat penelitian ini meliputi manfaat praktis dan manfaat teoritis
yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pihak rumah sakit
terutama bagian rekam medis dalam upaya pengkodean diagnosis
yang akurat dan benar.
b. Bagi Peneliti
Menambah pengalaman dan pengetahuan di bidang rekam
medis terutama dalam melaksanakan audit koding dan menentukan
kode diagnosis yang akurat.
2. Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menjadi bahan masukan dalam pembelajaran ilmu
rekam medis, meningkatkan pengetahuan tentang rekam medis dan
pengukuran kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmunya.
5
b. Bagi Peneliti Lain
Dapat menjadi acuan dan referensi bagi peneliti lain yang
akan melakukan penelitian khususnya penelitian dengan topik yang
hampir sama.
E. Keaslian
1. Hamid (2013) dengan judul “Hubungan Ketepatan Penulisan Diagnosis
dengan Keakuratan Kode Diagnosis Kasus Obstetri Gynecology Pasien
Rawat Inap di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang”
Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan
rancangan penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah
dokumen rekam medis kasus obstetri gynecology pasien rawat inap
tribulan IV tahun 2012 sebanyak 2.392 berkas. Pengambilan sampel
dengan systematic random sampling sebanyak 96 dokumen rekam
medis.
Uji
statistik
yang
digunakan
adalah
Chi-Square
dengan
menggunakan SPSS. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara
ketepatan penulisan diagnosis dengan keakuratan kode diagnosis kasus
obstetri gynecology pasien rawat inap di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
ditunjukkan dengan nilai p = 0,001.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Hamid (2013) adalah
sama-sama meneliti terkait hubungan ketepatan penulisan diagnosis
terhadap keakuratan kode diagnosis. Perbedaannya adalah pada
spesifikasi kasus yang diteliti, Hamid (2013) lebih spesifik yaitu pada
kasus obstetric gynecology sedangkan penelitian ini semua kasus pada
pasien rawat inap serta metode yang digunakan yaitu pada penelitian
Hamid (2013) menggunakan penelitian observasional analitik dengan
teknik pengumpulan data berupa observasi sedangkan penelitian ini
menggunakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan
kuantitatif
serta
teknik
pengumpulan
data
yaitu
dengan
studi
dokumentasi.
2. Disriani (2014) dengan judul “Analisis Ketepatan Kode Diagnosis dan
Kesesuaian Diagnosis Pasien Rawat Inap Pada Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit dengan Berkas Rekam Medis di Rumah Sakit
Pertamina Cirebon”
6
Penelitian Disriani (2014) menggunakan metodologi penelitian
deskriptif
dengan
pendekatan
kualitatif
dengan
rancangan
cross
sectional. Pelaksanaan pengkodean pasien rawat inap di RS Pertamina
Cirebon dilakukan oleh perawat, tidak adanya petugas khusus atau coder
yang melakukan coding penyakit pasien. Kode diagnosis pasien rawat
inap yang tepat sebesar 35% atau sebanyak 70 berkas rekam medis,
kode diagnosis pasien rawat inap yang tidak tepat sebesar 64% atau
sebanyak 129 berkas rekam medis dan kode diagnosis pasien rawat inap
yang tidak terisi sebesar 1% atau sebanyak 3 berkas rekam medis.
Diagnosis pasien rawat inap yang sesuai sebesar 43% atau sebanyak
138 diagnosis yang sesuai dan sebesar 57% atau sebanyak 182
diagnosis yang tidak sesuai. Tingginya angka ketidaktepatan kode
diagnosis dan ketidaksesuaian diagnosis pasien rawat inap disebabkan
karena faktor man atau sumber daya manusianya, tulisan dokter yang
sulit dibaca, kurangnya pengetahuan perawat tentang ICD-10, dan tidak
adanya petugas khusus untuk melakukan coding menjadi penyebab
tingginya angka ketidaktepatan kode diagnosis pasien rawat inap.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Disriani (2014) adalah
sama – sama meneliti terkait keakuratan kode diagnosis pasien rawat
inap serta rancangan yang digunakan yaitu cross sectional. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian Disriani (2014) adalah jenis penelitiannya
yaitu penelitian Disriani (2014) menggunakan metodologi penelitian
deskriptif
dengan
pendekatan
kualitatif
sedangkan
penelitian
ini
menggunakan jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan
kuantitatif. Dan hasil penelitian ini adalah ada hubungan ketepatan
penulisan diagnosis dengan keakuratan kode diagnosis pasien rawat inap
di Rumah Sakit UGM Yogyakarta dengan nilai p_value sebesar 0,01012.
3. Magfuroh (2013) dengan judul “Analisis Kode Diagnosis pada Berkas
Rekam
Medis
dan
Sistem
Informasi
Manajemen
Rumah
Sakit
berdasarkan ICD-10 Pasien Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati
Bantul”.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif dan rancangan penelitian cross sectional. Hasil dari
penelitian tersebut adalah pelaksanaan pengkodean pada berkas rekam
7
medis dan sistem informasi manajemen rumah sakit belum sesuai
dengan prosedur tetap. Dari data hasil analisis dapat diketahui bahwa
kesesuaian kode diagnosis antara berkas rekam medis dan sistem
informasi menajemen rumah sakit adalah 27,36%. Hasil analisis
ketepatan kode diagnosis tepat sampai karakter ketiga, keempat, dan
kelima sebanyak 50,44% pada berkas rekam medis dan 33,92% pada
sistem
informasi
manajemen
rumah
sakit.
Faktor-faktor
yang
menyebabkan ketidaksesuaian dan ketidaktepatan kode diagnosis pasien
rawat inap adalah faktor sumber daya manusia, prosedur tetap,
komunikasi, cara penentuan kode diagnosis, dan infrastruktur yaitu sistem
informasi manajemen rumah sakit.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Maghfuroh (2013)
terletak pada bahasannya yaitu sama - sama meneliti terkait keakuratan
kode diagnosis pasien rawat inap dan rancangan yang digunakan yaitu
cross sectional. Perbedaannya adalah pada penelitian ini menggunakan
metode penelitian observasional analitik dengan pendekatan kuantitatif,
sedangkan penelitian Maghfuroh (2013) menggunakan metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dan hasil penelitian ini adalah
ada hubungan ketepatan penulisan diagnosis dengan keakuratan kode
diagnosis pasien rawat inap di Rumah Sakit UGM Yogyakarta dengan
nilai p_value sebesar 0,01012.
4. Alfio (2014) dengan judul “Hubungan Kelengkapan Pengisian Resume
dengan Ketepatan Pembuatan Surat Keterangan Medis di RS Bethesda”.
Penelitian Alfio (2014) menggunakan metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kuantitatif dan rancangan penelitian cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah lembar resume medis yang akan
digunakan untuk pembuatan Surat Keterangan Medis dengan jumlah
sample 112 lembar resume. Analisis data menggunakan uji statistik
Spearman Rank. Hasil dari penelitian ini adalah presentase keterisian
lembar resume medis pada item identitas sebesar 99%, diagnosa
sebesar 74%, tindakan sebesar 37%, ringkasan riwayat sebesar 71%,
hasil lab sebesar 62% dan tanda tangan sebesar 55%. Ketepatan
pembuatan Surat Keterangan Medis memiliki persentase ketepatan
sebesar 75% dan persentase keterisian sebesar 25%. Berdasarkan uji
8
statistik dapat diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kelengkapan pengisian lembar resume medis dengan
ketepatan pembuatan Surat Keterangan Medis dengan p_value = 0,053.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Alfio (2014) adalah
sama-sama meneliti terkait hubungan dua variabel dan rancangan
penelitian cross sectional. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian Alfio (2014) adalah variabel yang diteliti yaitu penelitian Alfio
(2014) meneliti terkait kelengkapan pengisian resume dan ketepatan
pembuatan Surat Keterangan Medis sedangkan penelitian ini meneliti
terkait ketepatan penulisan diagnosis dan keakuratan kode diagnosis
pasien rawat inap, serta metode penelitian yang digunakan kalau Alfio
(2014) menggunakan deskriptif dengan pendekatan kuantitatif sedangkan
penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional analitik
dengan pendekatan kuantitatif. Dan hasil penelitian ini adalah ada
hubungan ketepatan penulisan diagnosis dengan keakuratan kode
diagnosis pasien rawat inap di Rumah Sakit UGM Yogyakarta dengan
nilai p_value sebesar 0,01012.
F. Gambaran Umum Rumah Sakit
Berdasarkan informasi dari website Rumah Sakit UGM, diperoleh
gambaran umum Rumah Sakit UGM Yogyakarta adalah sebagi berikut:
1. Sejarah Rumah Sakit
Rumah Sakit UGM merupakan salah satu RS PTN di Indonesia,
didirikan dengan Keputusan Rektor UGM No. 69/P/SK/HT/2010 tanggal 4
Januari 2010 dengan nama Hospital Akademik kemudian diperbaharui
dengan Keputusan Rektor UGM No. 245/P/SK/HT/2011 tanggal 1 Maret
2011 dengan nama Rumah Sakit Akademik UGM. Nama RS Akademik
Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) secara resmi telah berganti
menjadi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (RS UGM) berdasarkan
Keputusan Rektor UGM No. 749/P/SK/HT/2014 tertanggal 20 Oktober
2014. Perubahan terkait dengan organisasi lainnya adalah perubahan
struktur Organisasi dan Tata Kelola (SOTK) melalui Keputusan Rektor
UGM No.625/P/SK/HT/2014 tertanggal 1 Oktober 2014. Rumah Sakit
UGM merupakan rumah sakit tipe kelas B.
9
Rumah Sakit UGM dibangun di atas tanah seluas 44.637 m2 dan
luas total kavling bangunan 9.282,5 m2 (sekitar 20,8% dari luas tanah).
Bangunan Rumah Sakit UGM berlantai lima seluas 41.866,96 m2 dan
memiliki fasilitas area parkir 11.728 m2 (26,27%), area jalan masuk
6.182,36 m2 (13,85%) dan area taman hijau 17.444,14 m2 (39,08%).
Rumah Sakit UGM terletak di Jalan Kabupaten Lingkar Utara,
Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta, Telp. 02744530303, 0274-4530404, dan Fax. 0274-4530606.
2. Visi dan Misi Rumah Sakit
a. Visi
Visi Rumah Sakit UGM adalah menjadi rumah sakit yang
melaksanakan pelayanan dan riset yang unggul, berkelas dunia,
mandiri, bermartabat dan mengabdi kepada kepentingan masyarakat.
b. Misi
1) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dengan
mengutamakan aspek pendidikan berbasis riset dan multidisiplin;
2) Melaksanakan pelayanan kesehatan paripurna berdasarkan bukti
dan riset ilmu pengetahuan, teknologi kedokteran, dan kesehatan
lainnya;
3) Melaksanakan fungsi pendidikan untuk dokter dan tenaga
kesehatan;
4) Menyelenggarakan riset klinik dan non klinik yang berwawasan
global;
5) Melaksanakan
pengabdian
kepada
kepentingan
kesehatan
masyarakat;
6) Meningkatkan kemandirian Rumah Sakit UGM dan kesejahteraan
karyawan.
3. Motto Rumah Sakit
Motto Rumah Sakit UGM adalah “friendly and caring hospital”,
merupakan komitmen mewujudkan rumah sakit yang benar-benar
nyaman, sejuk, penuh keramahan dalam pelayanan, dan menghadirkan
nuansa yang menunjang kesembuhan pasien.
10
4. Kebijakan Mutu Rumah Sakit
Rumah Sakit UGM mencanangkan komitmen mutu “RS UGM
PRIMA”. PRIMA adalah singkatan dari:
Presisi (P): mencerminkan semangat rumah sakit dalam memberikan
pelayanan yang tepat sesuai kebutuhan pelanggan/indikasi pasien
berdasarkan bukti alamiah terkini.
Responsif (R): mencerminkan bahwa petugas RS UGM haruslah
memberikan respon pertolongan dengan cepat, dan tanggap terhadap
setiap kebutuhan pelanggan/pasien.
Integrasi (I): dimaksudkan bahwa layanan yang diberikan adalah
pelayanan yang terintegrasi, merupakan kolaborasi petugas dari berbagai
disiplin ilmu (interprofessional collaboration teamwork) yang berfokus
pada kebutuhan pasien (patient centered care).
Mutu (M): mencerminkan komitmen RS UGM untuk memberikan
pelayanan yang bermutu dan terus berupaya meningkatkan mutu
pelayanan RS UGM.
Aman (A): merupakan janji RS UGM untuk memberikan keamanan baik
dalam hal keamanan pengobatan/pelayanan (patient safety), keamanan
lingkungan, maupun keamanan dari bahaya lainnya.
5. Pelayanan
Jenis layanan yang ada di Rumah Sakit UGM Yogyakarta adalah:
a. Rawat Jalan
Poliklinik rawat jalan di Rumah Sakit UGM Yogyakarta meliputi:
1) Penyakit Dalam
2) Kesehatan Anak
3) Bedah
4) Obstetri dan Ginekologi
5) Mata
6) Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT)
7) Saraf
8) Kulit dan Kelamin
9) Kedokteran Jiwa
10) Orthopedi
11) Urologi
11
12) Penyakit Dalam (Sub Spesialis Ginjal dan Hipertensi)
13) Kesehatan Anak (Sub Spesialis Saraf Anak)
14) Rehabilitasi Medik
15) Bedah Mulut
16) Orthodonti
17) Poli Umum dan MCU
18) Poli Gigi
19) Poli Konsultasi Psikologi
b. Rawat Inap
Pelayanan rawat inap di Rumah Sakit UGM Yogyakarta
dibuka sejak 2 Februari 2013 oleh Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno,
M.Soc.Sc. yang terdiri dari ruang kelas VIP, kelas I (A & B), kelas II,
dan kelas III.
c. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
Fasilitas layanan IGD di Rumah Sakit UGM Yogyakarta meliputi:
1) Ruang triase dan periksa pasien, dengan dokter dan perawat
tersertifikasi.
2) Ruang resusitasi, dengan peralatan dan obat-obatan resusitasi
jantung paru lengkap.
3) Ruang HDNC (High Dependency Nursing Care)
4) Kamar operasi (2 kamar)
5) Kamar bersalin
6) Kamar bayi dan rawat gabung
7) Laboraturium
8) Radiologi
9) Farmasi/Apotek
10) Ambulance
d. Instalasi Rawat Intensif
Fasilitas layanan instalasi rawat intensif 24 jam di Rumah Sakit UGM
Yogyakarta meliputi:
1) 12 bed
2) Laboraturium klinik terpadu
3) Satelit farmasi
4) Radiologi
12
5) Layanan gizi
e. Layanan Hemodialisis
f.
Layanan Rehabilitasi Medik
g. Layanan Penunjang Medik
G. Gambaran
Umum
Penulisan
Diagnosis
di
Rumah
Sakit
UGM
Yogyakarta
Menurut Budi (2011), instalasi rekam medis merupakan salah satu
gerbang terdepan dalam pelayanan kesehatan dan sebagai salah satu
ukuran kepuasan pasien dalam menerima pelayanan. Ruang lingkup
instalasi rekam medis mulai dari penerimaan pasien sampai dengan
penyajian informasi kesehatan. Dimana tugas dari instalasi rekam medis ini
adalah mengumpulkan data, memproses data, dan menyajikan informasi
kesehatan. Data yang dikumpulkan berupa data sosial dan data medis. Data
sosial diperoleh ketika pasien mendaftar sebagai pasien sedangkan data
medis didapatkan setelah pasien mendapat pemeriksaan dari tenaga medis.
Data medis ini biasanya mencakup penyataan diagnosis dan prosedur.
Dokter yang merawat pasien bertanggung jawab dalam menegakkan
diagnosis pasien berdasarkan hasil laboraturium dan menuliskan diagnosis
tersebut ke dalam berkas rekam medis.
Berdasarkan hasil studi dokumentasi dan keterangan dari salah satu
dokter yang sekaligus Kepala Rekam Medis, penulisan diagnosis pasien
rawat inap di Rumah Sakit UGM Yogyakarta oleh dokter yang merawat
pasien diperbolehkan menggunakan singkatan dan simbol sesuai dengan
daftar singkatan yang telah ditetapkan oleh rumah sakit. Hal ini dikarenakan
di Rumah Sakit UGM Yogyakarta sudah ada kebijakan yang mengatur terkait
penggunaan simbol dan singkatan serta sudah disosialisasikan ke dokterdokter. Akan tetapi, terkait tatacara atau aturan penulisan diagnosis pada
berkas rekam medis pasien rawat inap belum ada kebijakan yang mengatur
sehingga penulisan diagnosis oleh masing – masing dokter berbeda.
13
H. Gambaran Umum Pelaksanaan Pengkodean Diagnosis di Rumah Sakit
UGM Yogyakarta
Berdasarkan informasi dari website Rumah Sakit UGM Yogyakarta
terdapat 19 instalasi yang ada di rumah sakit ini. Masing-masing instalasi
tersebut menjalankan kegiatan pelayanannya. Salah satu dari ke-19 instalasi
tersebut adalah Instalasi Rekam Medis. Instalasi Rekam Medis ini
menjalankan kegiatan pelayanan terkait manajemen informasi kesehatan
termasuk kegiatan pengkodean diagnosis.
Berdasarkan hasil observasi terhadap proses pengkodean diagnosis,
diperoleh hasil bahwa kegiatan pengkodean diagnosis sudah dilaksanakan
di Rumah Sakit UGM Yogyakarta. Selain itu, keterangan dari salah satu
petugas koding dan Kepala Rekam Medis Rumah Sakit UGM Yogyakarta
bahwa petugas koding di Rumah Sakit UGM Yogyakarta berjumlah 3 orang
dengan kualifikasi pendidikan lulusan Diploma III Rekam Medis dan telah
mengikuti beberapa pelatihan khusus. Kegiatan pengkodean diagnosis yang
dilaksanakan meliputi pengkodean diagnosis pasien BPJS, pengkodean
diagnosis pasien rawat jalan dan pengkodean diagnosis rawat inap.
Proses pengkodean diagnosis rawat inap dilakukan setelah proses
assembling. Petugas assembling melakukan perakitan terhadap berkas
rekam medis yang telah selesai digunakan untuk pelayanan. Kemudian
petugas assembling memberikan berkas rekam medis yang telah dirakit
tersebut kepada petugas koding untuk dilakukan pengkodean diagnosis.
Pengkodean diagnosis dilaksanakan berdasarkan Internasional
Statistical Classification of Disease and Related Health Problems Tenth
Revision (ICD-10) dan kode tindakan medis berdasarkan Internasional
Classification of Disease 9th Revision Clinical Modification (ICD-9CM).
Proses pengkodean diagnosis rawat inap tersebut menggunakan software
ICD-10 edisi tahun 2005. Buku ICD-10 edisi tahun 2005 digunakan untuk
proses pengkodean diagnosis apabila software ICD-10 tersebut mengalami
error. Penggunaan ICD-10 edisi 2005 di Rumah Sakit UGM ini dikarenakan
untuk menunjang proses asuransi. Dimana petugas koding untuk asuransi
dengan petugas koding untuk statistik masih jadi satu. Kebijakan atau SOP
yang mengatur terkait proses pengkodean diagnosis di Rumah Sakit UGM
Yogyakarta sudah ada.
14
Adapun proses pengkodean diagnosis rawat inap di Rumah Sakit
UGM Yogyakarta adalah sebagai berikut:
1. Petugas koding membaca diagnosis yang terdapat pada berkas rekam
medis.
2. Petugas koding melihat juga diagnosis dan perkembangan pasien
selama dirawat.
3. Petugas koding menanyakan ke Dokter Penanggungjawab Pasien
(DPJP) apabila terdapat diagnosis yang kurang jelas atau masih ragu.
4. Petugas koding mencari kode diagnosis menggunakan software ICD-10
dengan cara menentukan leadterm terlebih dahulu dan membuka
volume 3 yang berupa alphabetic index untuk membaca kode yang ada.
5. Petugas koding akan mengecek kode diagnosis
yang sudah
didapatkan di volume 3 pada software ICD-10 volume 1 atau daftar
tabularlis dan membaca catatan-catatan yang ada untuk menentukan
kode diagnosis yang tepat dan akurat.
6. Petugas koding menuliskan kode diagnosis pada berkas rawat inap.
7. Petugas membuka Electronic Health Record (EHR) dan login.
8. Petugas mengeklik bagian diagnosis discharge, kemudian memilih
tanggal mulai dan tanggal selesai.
9. Petugas mencari nomor rekam medis dan memilih DPJP pasien.
10. Petugas memasukan kode diagnosis pasien dan jika sudah selesai
petugas mengeklik tanda tutup.
Download