Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan

advertisement
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
BAB III
ISU DAN PERMASALAHAN
PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN
Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang
dihadapi kawasan perbatasan, baik perbatasan darat maupun laut.
Agar penyelesaian masalah dapat lebih terarah dan tepat sasaran,
maka permasalahan yang ada dikelompokkan menjadi 6 (enam)
aspek, yaitu kebijakan, ekonomi dan sosial budaya, pertahanan dan
keamanan,
pengelolaan
sumber
daya
alam,
kelembagaan
dan
kewenangan pengelolaan, serta kerjasama antarnegara.
3.1.
Kebijakan Pembangunan
3.1.1. Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada
kawasan-kawasan tertinggal dan terisolir
Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan
masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini
tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan
kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang
padat
penduduk,
aksesnya
mudah,
dan
potensial,
sedangkan
kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan
tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.
3.1.2. Belum
adanya
kebijakan
dan
strategi
pengembangan kawasan perbatasan
GBHN
1999–2004
telah
mengamanatkan
arah
nasional
kebijakan
pengembangan daerah perbatasan yaitu “meningkatkan pembangunan
di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur Indonesia, daerah
perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada
prinsip desentralisasi dan otonomi daerah”.
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
18
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Demikian
pula
dalam
Program
Pembangunan
Nasional
(Propenas) 2000–2004 dinyatakan “program pengembangan daerah
perbatasan
bertujuan
kesejahteraan
untuk
masyarakat,
meningkatkan
meningkatkan
taraf
kapasitas
hidup
dan
pengelolaan
potensi kawasan perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan
keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain”. Sasarannya
adalah
terwujudnya
peningkatan
kehidupan
sosial-ekonomi
dan
ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan
ketertiban serta keamanan kawasan perbatasan.
Sekalipun demikian, sejauh ini belum tersusun suatu kebijakan
nasional yang memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan
kawasan perbatasan yang bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan
fungsi dan peran seluruh stakeholders kawasan perbatasan, baik di
pusat maupun daerah, secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini
mengakibatkan penanganan kawasan perbatasan terkesan terabaikan
dan bersifat parsial.
3.2.
Ekonomi dan Sosial Budaya
3.2.1. Adanya paradigma
halaman belakang’
’kawasan
perbatasan
sebagai
Paradigma pengelolaan kawasan perbatasan di masa lampau
sebagai
”halaman
belakang”
wilayah
NKRI
membawa
implikasi
terhadap kondisi kawasan perbatasan saat ini yang tersolir dan
tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya paradigma ini,
disebabkan oleh sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan
sangat
menekankan
stabilitas
keamanan.
Disamping
itu
secara
historis, hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga
pernah dilanda konflik, serta seringkali terjadinya pemberontakanpemberontakan di dalam negeri.
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
19
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan
lebih didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari
potensi
ancaman
dari
luar
(external
threat)
dan
cenderung
memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan (security
belt).
Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan kawasan
perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan melalui optimalisasi
potensi sumberdaya alam, terutama yang dilakukan oleh investor
swasta.
3.2.2. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara
tetangga
Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan yang miskin
infrastruktur
dan
tidak
memiliki
aksesibilitas
yang
baik,
umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi
pada
di negara
tetangga. Kawasan perbatasan di Kalimantan dan Sulawesi Utara
misalnya, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pada umumnya
berkiblat ke wilayah negara tetangga. Hal ini disebabkan adanya
infrastruktur yang lebih baik atau pengaruh sosial ekonomi yang lebih
kuat dari wilayah negara tetangga. Secara jangka panjang, adanya
kesenjangan
pembangunan
dengan
negara
tetangga
tersebut
berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik.
3.2.3. Sarana dan prasarana masih minim.
Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan
prasarana wilayah maupun fasilitas sosial ekonomi masih jauh dari
memadai. Jaringan jalan dan angkutan perhubungan darat maupun
laut masih sangat terbatas, yang menyebabkan sulit berkembangnya
kawasan perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan sosial maupun
ekonomi dengan wilayah lain.
Kondisi
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
prasarana
dan
sarana
20
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio dan televisi serta
sarana telepon di kawasan perbatasan umumnya masih relatif minim.
Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan
masyarakat perbatasan lebih mengetahui informasi tentang negara
tetangga
daripada
informasi
dan
wawasan
tentang
Indonesia.
Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat kesehatan
masyarakat,
sekolah,
dan
pasar
juga
sangat
terbatas.
Hal
ini
menyebabkan kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan
bersaing dengan wilayah negara tetangga.
3.2.4. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga prasejahtera.
Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi di setiap
kawasan perbatasan baik laut maupun darat. Hal ini dapat dilihat dari
tingginya jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan serta
kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan
negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor,
seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur
pendukung,
rendahnya
produktifitas
masyarakat
dan
belum
optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan perbatasan.
Implikasi lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di kawasan
perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain
melanggar
hukum
dan
potensial
menimbulkan
kerawanan
dan
ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain kegiatan ekonomi
ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik, ekonomi
dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan laut seperti
penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Kegiatan ilegal ini
terorganisir dengan baik sehingga perlu koordinasi dan kerjasama
bilateral yang baik untuk menuntaskannya.
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
21
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
3.2.5. Terisolasinya kawasan perbatasan akibat rendahnya
aksesibilitas menuju kawasan perbatasan.
Kawasan perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas
baik darat, laut, maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Di
wilayah Kalimantan dan Papua, sulitnya aksesibilitas memunculkan
kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat di
wilayah Serawak dan PNG. Minimnya asksebilitas dari dan keluar
kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu faktor yang turut
mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas
sosial ekonominya ke negara tetangga yang secara jangka panjang
dikhawatirkan akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat
perbatasan.
3.2.6. Rendahnya kualitas SDM
Sebagai dampak dari minimnya sarana dan prasarana dibidang
pendidikan dan kesehatan, kualitas SDM masyarakat di sebagian besar
kawasan perbatasan masih rendah. Masyarakat belum memperoleh
pelayanan kesehatan dan pendidikan sebagaimana mestinya akibat
jauhnya jarak dari permukiman dengan fasilitas yang ada. Optimalisasi
potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di kawasan
perbatasan akan sulit dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan,
keterampilan, serta kesehatan masyarakat merupakan salah satu
faktor utama yang menghambat pengembangan ekonomi kawasan
perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah negara tetangga.
3.2.7. Adanya aktivitas pelintas batas tradisional
Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang
sama) di beberapa kawasan perbatasan seperti di Kalimantan (Dayak
dan Melayu) dan Papua, menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas
tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
22
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
masyarakat dan kegiatan pelintas batas tradisional ini merupakan isu
sekaligus masalah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama
dan
kini
muncul
kembali
seiring
dengan
penanganan
kawasan
perbatasan darat di beberapa daerah seperti Papua dan Kalimantan
serta Timor Leste. Kegiatan lintas batas ini telah berlangsung lama
namun sampai saat ini belum dapat diatasi oleh kedua pihak (negara).
3.2.8. Adanya tanah adat/ulayat masyarakat
Di beberapa kawasan perbatasan terdapat tanah adat/ulayat
yang berada di dua wilayah negara. Tanah ulayat ini sebagian menjadi
ladang
penghidupan
yang
diolah
sehari-hari
oleh
masyarakat
perbatasan, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi hal yang
biasa dilakukan setiap hari. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua
oleh garis perbatasan, secara astronomis memerlukan pengaturan
tersendiri serta dapat menjadi permasalahan di kemudian hari jika
tidak ditangani secara serius.
3.3.
Pertahanan dan Keamanan
3.3.1. Belum disepakatinya garis-garis batas dengan negara
tetangga secara menyeluruh
Beberapa segmen garis batas baik di darat maupun di laut
belum
disepakati
secara
menyeluruh
oleh
negara-negara
yang
berbatasan dengan wilayah NKRI. Permasalahan yang sering muncul di
perbatasan
darat
adalah
pemindahan
patok-patok
batas
yang
implikasinya menyebabkan kerugian bagi negara secara ekonomi dan
lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas negara di darat
pada umumnya sudah disepakati. Permasalahan batas yang perlu
diprioritaskan penangannya saat ini adalah perbatasan laut, dimana
garis batas laut, terutama Batas Landas Kontinen (BLK) dan batas
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
23
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE), sebagian besar belum disepakati
bersama negara-negara tetangga. Belum jelas dan tegasnya batas laut
antara
Indonesia
dan
beberapa
negara
negara
tertentu
serta
ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, terhadap batas negara
di laut menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan
Indonesia maupun nelayan asing.
1. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Undang-Undang no.17 tahun 1985 tentang pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan
bahwa
batas
ZEE
Indonesia
di
segmen-segmen
perairan
yang
berhadapan dengan negara lain dan lebarnya kurang dari 400 mil laut,
maka ZEE merupakan garis median. Jika mengacu kepada konvensi
tersebut, maka batas ZEE yang merupakan garis median pada wilayah
laut yang berhadapan dengan negara-negara tetangga yaitu :
(1)
Berhadapan dengan Malaysia dan Singapura di Selat Malaka;
(2)
Berhadapan dengan Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan
timur;
(3)
Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan sebelah utara;
(4)
Berhadapan dengan Filiipina di Laut Sulawesi hingga Laut
Fillipina;
(5)
Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik;
(6)
Berhadapan dengan Australia di Laut Arafura hingga Laut Timor;
(7)
Berhadapan dengan Pulau Christmas (Australia) di Samudera
Hindia;
(8)
Berhadapan dengan Timor Leste di Selat Wetar;
(9)
Berhadapan dengan India di Laut Andaman.
Selain itu, terdapat wilayah laut yang tidak memiliki batas ZEE
yaitu di wilayah Selat Singapura yang berhadapan langsung dengan
Malaysia dan Singapura, karena lebarnya hanya sekitar 15 mil laut.
Selebihnya,
penentuan
ZEE
terutama
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
pada
wilayah
laut
yang
24
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
berhadapan dengan laut lepas, ditarik selebar 200 mil dari garis
pangkal kepulauan Indonesia.
Namun demikian, batas ZEE antara Indonesia dengan negaranegara tetangga, sebagian besar belum ditetapkan, terutama yang
berhadapan langsung dengan negara tetangga. Hal ini disebabkan
karena belum adanya kesepakatan, atau belum dilakukannya ratifikasi.
Ketidakjelasan batas ZEE tersebut menyebabkan sulitnya penegakan
hukum
oleh
aparat
dan
berpotensi
untuk
menjadi
sumber
pertentangan antara Indonesia dengan negara tetangga.
Tabel berikut ini menunjukkan status batas-batas ZEE di wilayah
perbatasan laut Indonesia.
Tabel 3.1. Status Batas-Batas ZEE antara RI dengan negara
tetangga
Batas Zona
No
Eksklusif Ekonomi
Status
Keterangan
(ZEE)
1
RI–Malaysia
Belum disepakati
Belum ada perjanjian batas
2
RI–Vietnam
Telah disepakati
3
RI–Fillipina
Belum disepakati
Belum ada perjanjian batas
4
RI–Palau
Belum disepakati
Belum ada perjanjian batas
5
RI–PNG
Belum disepakati
Tidak ada batas laut
6
RI–Timor Leste
Belum disepakati
Belum ada perjanjian batas
7
RI–India
Belum disepakati
Belum ada perjanjian batas
8
RI–Singapura
Belum disepakati
Belum ada perjanjian batas
9
RI-Thailand
Belum disepakati
Belum ada perjanjian batas
10
RI–Australia
Telah disepakati
Kesepakatan di tingkat teknis,
menunggu proses ratifikasi
ZEE di Samudera Hindia, Lauta Arafura,
dan Laut Timor
Sumber : Bakosurtanal, 2003 (diolah)
2. Batas Laut Teritorial (BLT)
BLT Indonesia lebarnya tidak melebihi 12 mil laut dari garis
pangkal yang merupakan batas kedaulatan suatu negara baik di darat,
laut, maupun udara. Sebagian besar BLT sudah disepakati oleh
negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, kecuali
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
25
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
dengan Timor Leste sebagai sebuah negara yang baru merdeka. Selain
itu diperlukan pula perundingan tri-partit antara Indonesia-MalaysiaSingapura untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian Barat dan
Timur yang lebarnya kurang dari 24 mil dan bersinggungan langsung
dengan perbatasan di ketiga negara. Mengingat pentingnya pengakuan
terhadap batas kedaulatan suatu negara, maka batas laut teritorial
antara pemerintah RI dan Timor Leste maupun three junctional point
di
Selat
Malaka
kekhawatiran
perlu
timbulnya
segera
konflik
disepakati
akibat
untuk
menghindari
pelanggaraan
kedaulatan
wilayah negara. Tabel berikut ini menunjukkan status batas laut
teritorial Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Tabel 3.2. Status Batas Laut Teritorial Indonesia
No
Batas Laut Teritorial
Status
(BLT)
1
RI – Malaysia
2
RI–Singapura
Telah disepakati
(di
sebagian Selat Singapura)
3
4
RI – PNG
Telah disepakati
Telah disepakati
RI – Timor Leste
Keterangan
Disepakati
dalam
perjanjian
Indonesia-Malaysia Tahun 1970
Disepakati
dalam
perjanjian
Indonesia-Singapura Tahun 1973
Disepakati
dalam
Perjanjian
Indonesia-PNG Tahun 1980
Perlu ditentukan garis-garis pangkal
kepulauan di Pulau Leti, Kisar, Wetar.
Belum disepakati
Liran.
Alor,
Pantar,
hingga
Pulau
Vatek, dan titik dasar sekutu di Pulau
Timor
5
RI-Malaysia-Singapura
Belum disepakati
Perlu
perundingan
bersama
(tri-
partid)
Sumber : Bakosurtanal, 2003 (diolah)
3. Batas Landas Kontinen (BLK)
Mengacu kepada Undang Undang no 1 /1973 tentang Batas
Landas Kontinen Indonesia (BLKI) serta UU no. 17/1985 tentang
pengesahan UNCLOS, BLKI ditarik sama lebar dengan batas ZEE (200
mil laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil laut dari garis
pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini berlaku di seluruh wilayah
perairan Indonesia, kecuali pada segmen-segmen wilayah tertentu
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
26
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
dimana BLK dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan
negara-negara yang berhadapan langsung dengan Indonesia, antara
lain :
(1)
Berhadapan dengan India dan Thailand di Laut Andaman;
(2)
Berhadapan dengan Thailand di Selat Malaka bagian Utara;
(3)
Berhadapan dengan Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan
serta di Laut Natuna bagian Timur dan Barat;
(4)
Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan;
(5)
Berhadapan dengan Filipina di Laut Sulawesi;
(6)
Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik;
(7)
Berhadapan dengan dengan Australia di Laut Arafura, Laut
Timor, Samudera Hindia, dan di wilayah perairan di sekitar
Pulau Christmas;
(8)
Berhadapan dengan Timor Leste di laut Timor.
Selain BLK diatas, terdapat titik-titik yang bersinggungan
dengan
tiga
negara
(three
junction
point)
secara
langsung,
kesepakatan terhadap titik-titik ini dilakukan melalui pertemuan
trialteral. Titik-titik tersebut antara lain :
(1)
Three Junction Point antara Indonesia, India, dan Thailand di
Laut Andaman;
(2)
Three Junction Point antara Indonesia, Thailand, dan Malaysia di
Selat Malaka Bagian Utara.
Sebagian BLK antara Indonesia dengan negara tetangga telah
disepakati dan telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres).
Namun demikian masih terdapat beberapa segmen wilayah laut yang
belum ditetapkan BLK-nya, karena masih dalam proses negosiasi atau
bahkan belum dilakukan perundingan sama sekali dengan negara
tetangga, antar lain BLK antara Indonesia dengan Vietnam, Filipina,
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
27
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Palau, dan Timor Leste. Tabel berikut menunjukkan status Batas
Landas Kontinen di wilayah perbatasan laut Indonesia.
Tabel 3.3.
Batas Landas
No
1
Status Batas Landas Kontinen
negara tetangga
Kontinen (BLK)
Status
RI – India
antara RI dengan
Keterangan
10 titik BLK di Lauta Andaman berikut
Telah disepakati
koordinatnya
disepakati
berdasarkan
perjanjian pada tahun 1974 dan 1977
2
RI – Thailand
Titik-titik BLK di selat Malaka maupun
Telah disepakati
Laut
Andaman
disepakati
berdasarkan
perjanjian pada tahun 1977
3
RI – Malaysia
10 titik BLK di Selat Malaka dan 15 titik di
Telah disepakati
Laut
Natuna
disepakati
berdasarkan
perjanjian pada tahun 1969
4
RI – Australia
- Titik-titik BLK di Laut Arafura dan
laut
Timor ditetapkan melalui Keppres pada
Tahun 1971 dan 1972
Telah disepakati
- Titik-titik BLK di Samudera Hindia dan di
sekitar Pulau Christmas telah disepakati
berdasarkan
perjanjian
pada
tahun
1997.
5
RI – Vietnam
Belum disepakati
Dalam proses negosiasi
6
RI – Filipina
Belum disepakati
Dalam proses negosiasi
7
RI – Palau
Belum disepakati
Belum ada proses perundingan
8
RI – Timor Leste
Belum disepakati
Belum ada proses perundingan
Sumber : Bakosurtanal, 2003
3.3.2. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana
Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban
dan penegakan hukum di perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani
secara seksama. Luasnya wilayah, serta minimnya prasarana dan
sarana
telah
menyebabkan
belum
optimalnya
aktivitas
aparat
keamanan dan kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di
kawasan perbatasan saat ini perlu ditangani melalui penyediaan
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
28
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
jumlah personil aparat keamanan dan kepolisian serta prasarana dan
sarana pertahanan dan keamanan yang memadai.
3.3.3. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran
hukum
Sebagai
konsekuensi
terbatasnya
prasarana,
sarana
dan
sumberdaya manusia di bidang pertahanan dan keamanan, misalnya
aparat
kepolisian
dan
TNI-AL
beserta
kapal
patrolinya,
telah
menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan di
darat maupun perairan di sekitar pulau-pulau terluar. Disamping itu,
lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi antara aparat
dengan para pelanggar hukum, menyebabkan semakin maraknya
pelanggaran hukum di kawasan perbatasan. Sebagai contoh, di
kawasan perbatasan darat, berbagai praktek pelanggaran hukum
seperti aktivitas pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan
barang,
dan
‘penjualan
manusia’
(trafficking
person),
serta
permasalahan identitas kewarganegaraan ganda masih sering terjadi.
Demikian pula di kawasan perbatasan laut, sering terjadi pembajakan
dan perompakan, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia
(seperti tenaga kerja, bayi, dan wanita), maupun pencurian ikan.
3.3.4. Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana perbatasan
(PLB, PPLB, dan fasilitas CIQS)
Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan
Lintas Batas (PPLB) beserta fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina,
dan Keamanan (CIQS) sebagai gerbang yang mengatur arus keluar
masuk orang dan barang di kawasan perbatasan sangat penting.
Sebagai pintu gerbang negara, sarana dan prasarana ini diharapkan
dapat mengatur hubungan sosial dan ekonomi antara masyarakat
Indonesia
Disamping
dengan
itu
masyarakat
adanya
sarana
di
wilayah
dan
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
negara
prasarana
tetangganya.
perbatasan
akan
29
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal. Namun demian,
jumlah sarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di kawasan
perbatasan masih minim.
3.4.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
3.4.1. Pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam belum optimal
Potensi sumberdaya alam yang berada kawasan perbatasan,
baik di wilayah darat maupun laut cukup besar, namun sejauh ini
upaya
pengelolaannya
belum
dilakukan
secara
optimal.
Potensi
sumberdaya alam yang memungkinkan dikelola di sepanjang kawasan
perbatasan, antara lain sumber daya kehutanan, pertambangan,
perkebunan, pariwisata, dan perikanan. Selain itu, devisa negara yang
dapat digali dari kawasan perbatasan dapat diperoleh dari kegiatan
perdagangan antarnegara.
3.4.2. Terjadinya eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya Alam
yang tak terkendali dan berkelanjutan.
Upaya
memperhatikan
optimalisasi
daya
potensi
dukung
sumber
daya
lingkungan,
alam
harus
sehingga
tidak
mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
sosial. Di sebagian besar kawasan perbatasan, upaya pemanfaatan
SDA dilakukan secara ilegal dan tak terkendali, sehingga mengganggu
keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup. Berbagai
dampak lingkungan seperti polusi asap lintas batas (hedge pollution),
banjir, longsor, tenggelamnya pulau kecil, dan sebagainya pada
umumnya
disebabkan
oleh
kegiatan-kegiatan
illegal,
seperti
penebangan liar di kawasan hutan dan pengerukan pasir di pulaupulau kecil yang tidak terkendali. Hal ini cukup sulit ditangani, karena
keterbatasan pengawasan pemerintah di kawasan perbatasan dan
belum ditegakkannya supremasi hukum secara adil dan tegas.
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
30
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
3.5.
Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan
3.5.1. Belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan
perbatasan secara integral dan terpadu.
Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara
terpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Sampai saat
ini, permasalahan beberapa kawasan perbatasan masih ditangani
secara
ad
hoc,
sementara
(temporer)
dan
parsial
serta
lebih
didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa
kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil yang
optimal. Komite-komite kerjasama penanganan masalah perbatasan
yang ada saat ini antara lain General Border Comitee (GBC) RI –
Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI – Papua New Guinea; dan
Joint Border Committee RI-UNMISET (Timor Leste).
Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat strategis
dan mendesak untuk dilakukan, karena menyangkut dengan integritas
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu hal yang turut
memberikan kontribusi terhadap belum optimalnya pengelolaan dan
penanganan permasalahan perbatasan saat ini adalah belum adanya
suatu lembaga yang secara khusus mengelola keseluruhan aspek
pengelolaan perbatasan, baik di tingkat nasional maupun di daerah.
3.5.2. Belum
jelasnya
kewenangan
kawasan perbatasan
dalam
pengelolaan
Sesuai UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
pengaturan
hukum
tentang
berada
Kabupaten.
pengembangan
dibawah
kawasan
tanggung
jawab
perbatasan
Pemerintah
secara
Daerah
Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-
pintu perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan,
keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan (CIQS).
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
31
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat mengembangkan
kawasan perbatasan selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpa
menunggu pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat. Namun
demikian
dalam
pelaksanaannya
pemerintah
daerah
belum
melaksanakan kewenangannya tersebut. Hal ini dapat disebabkan
beberapa faktor : (1) Belum memadainya kapasitas pemerintah daerah
dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penangannya
bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral,
sehingga masih memerlukan koordinasi dari institusi yang secara
hirarkis lebih tinggi; (2) Belum tersosialisasikannya peraturan dan
perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, (3)
Terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah; (4) Masih
adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam
pengelolaan kawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman
nasional sebagai international inheritance yang selama ini menjadi
kewenangan pemerintah pusat (Departemen Kehutanan).
3.6.
Kerjasama Antarnegara
3.6.1. Belum optimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan
dengan kerjasama sub regional, maupun regional.
Kerjasama-kerjasama bilateral, sub regional, maupun regional
memberikan suatu
peluang besar bagi
pengembangan kawasan
perbatasan. Kerjasama regional dan sub-regional yang ada saat ini
seperti ASEAN, Indonesia Malaysia Singapura–Growth Triangle (IMSGT), Indonesia Malaysia Thailand–Growth Triangle (IMT-GT), Australia
Indonesia
Development
Area
(AIDA),
maupun
Brunei
Indonesia
Malaysia Phillipines – East Asian Growth Area pada umumnya meliputi
provinsi-provinsi di wilayah perbatasan di Indonesia yang bertujuan
untuk meningkatkan kerjasama perdagangan dan investasi. Namun
demikian, tampaknya bentuk-bentuk kerjasama ini belum memiliki
keterkaitan
dengan
pembangunan
kawasaan
perbatasan
yang
tertinggal dan terisolir.
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
32
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia
Hal ini sebenarnya sangat penting, karena berkembangnya
kawasan perbatasan akan mendukung pertumbuhan ekonomi di
kawasan secara keseluruhan.
3.6.2. Belum optimalnya kerjasama antarnegara dalam
penanggulangan pelanggaran hukum di perbatasan
Kerjasama antarnegara untuk menanggulangi pelanggaran
hukum di kawasan perbatasan seperti illegal logging, illegal fishing,
penyelundupan kayu, pelanggaran batas negara, dan berbagai jenis
pelanggaran lainnya belum dilaksanakan secara optimal. Di beberapa
daerah kepulauan, misalnya Kepulauan Riau, di Sangihe dan Talaud,
perairan Kalimantan Timur, Papua dan NTB dan NTT, masih banyak
nelayan asing terutama dari Thailand dan Filipina yang melakukan
kegiatan penangkapan tanpa ijin karena ketidaktahuan batas laut
antara
kedua
negara.
Pembicaraan
bilateral
untuk
mengatasi
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan negara tetangga
perlu dilakukan, mengingat sumberdaya yang telah dicuri selama ini
merugikan negara dalam jumlah besar.
Buku Pertama
Kebijakan dan Strategi Umum Pengelolaan Kawasan Perbatasan
33
Download