BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Imunosupresi adalah

advertisement
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Imunosupresi adalah penurunan fungsi sistem imun. Imunodefisiensi adalah
sekumpulan gejala atau penyakit akibat adanya defek pada sistem imun. Integritas
sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
ancaman, bahaya yang berasal dari infeksi mikroorganisme patogen, autoimun
ataupun kanker. Immunosenescence adalah penurunan fungsi sistem imun yang
disebabkan oleh usia (Ponnappan dan Ponnappan, 2011).
Para ahli mencoba menyodorkan banyak teori untuk menjelaskan mengapa
manusia mengalami proses penuaan. Sacara umum teori tersebut dapat digolongkan
menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and
tear pada prinsipnya berusaha menjelaskan bahwa tubuh menjadi lemah dan lelah lalu
meninggal adalah akibat dari penggunaan dan kerusakan yang berlangsung terus
menerus, meliputi teori kerusakan DNA, glikoslasi dan radikal bebas. Teori program,
berkeyakinan bahwa tubuh memiliki jam biologis meliputi terbatasnya replikasi,
proses imun dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2011). Beberapa teori tentang
penuaan antara lain:
1. Teori Radikal Bebas
Pada tahun 1954 muncul teori radikal bebas yang memiliki argumen bahwa
penumpukan radikal bebas dalam tubuh menyebabkan penuaan dan kematian
8
2
makhluk hidup dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan. Radikal bebas
merupakan molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas
eksogen dan endogen dapat memicu serangkaian kerusakan pada struktur meolekular
yang pada akhirnya menyebabkan gangguan fungsi fisiologis (Winarsi, 2010).
2. Teori Proses Imun
Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh dikenal sebagai
immunosenescence. Situasi ini menyebabkan peningkatan kerentanan tubuh terhadap
penyakit menular dan kanker akibat kapasitas penurunan sistem kekebalan tubuh
untuk menanggapi rangsangan antigen, berubahnya lingkungan mikro sitokin serta
penurunan kemampuan kedua imunitas, yakni imunitas bawaan dan imunitas yang
didapat (Srinivasan dkk., 2005).
Teori ini juga menyatakan bahwa pada siklus kehidupan akan terjadi involusi
pada kelenjar timus. Timus ini adalah sumber dari sel T dewasa yang berperan
penting pada sistem imun. Pada penuaan, jumlah sel T tidak berkurang secara drastis
namun terjadi penuruan pada fungsinya (Pangkahila, 2011).
3. Teori Neuroendokrin
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,
sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan
hipofisis dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya.
Hormon
bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh pada usia muda,
namun seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan produksi hormon,
3
yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh (Goldman dan Klatz,
2007).
2.2 Sistem Imun
Sistem imun berfungsi mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbentuk dari
gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam melawan infeksi. Respons
imun terbentuk dari koordinasi dan komunikasi reaksi yang dikoordinasi sel-sel,
molekul-molekul dan bahan lainnya (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
Sistem Imun
spesifik
Nonspesifik
Fisik
 Kulit
 Selaput
lendir
 Silia
 Batuk
 bersin
Larut
Seluler
Biokimia:
 Asam lambung
 Lisozime
 Laktoferin
 Asam
neurominik
Humoral:
 Komplemen
 Mediator asal
lipid

 Fagosit
mononuklear
 Pomorfonuklear
 Sel NK
 Sel Mediator
 Basofil
 Sel mast
Humoral
seluler
Sel B
 IgA
 IgG
 IgM
IgE
 IgD
 Sitokin
Sel T







Th1
Th2
Ts/Tr/Th3
Tdth
CTL/Tc
NKT
Th7
sitokin
Gambar 2.1 Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Renggani, 2009)
4
Imunitas (kekebalan) merupakan terminologi yang digunakan untuk respons
spesifik dari sistem imun. Kekebalan terhadap infeksi, baik yang terbentuk mengikuti
paparan organisme penyebab maupun yang dapat dirangsang secara buatan dengan
imunisasi terutama untuk resiko paparan. Pada gambar 2.1 dengan jelas menerangkan
pembagian sistem imun. Sistem imunitas terdiri atas sistem imunitas alamiah atau
nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired)
(Kresno, 2013).
2.2.1 Sistem Imun Nonspesifik
a. Pertahanan fisik
Pertahanan fisik terdiri dari kulit yang utuh dan epitel lapisan mukus yang dalam
kondisi normal tidak dapat ditembus mikroorganisme patogen. Disamping itu, tubuh
melakukan gerakan yang dapat membuang mikroorganisme, seperti pada refleks
batuk, bersin dan muntah, bersama-sama dengan gerakan yang konstan seperti
bergetarnya silia pada traktus respiratorius dan peristaltik usus (Baratawidjaja dan
Renggani, 2009).
b. Pertahanan biokimia
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu ibu melindungi tubuh
terhadap berbagai kuman gram positif dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan
dinding bakteri. Air susu ibu mengandung laktosidase dan asam neuraminik yang
bersifat antibakteri terhadap E.coli dan asam dalam saluran pencernaan oleh enzim
proteolitik dan cairan empedu dalam usus halus dan oleh asiditas vagina. Zat kimia
5
ini membentuk lingkungan yang tidak nyaman untuk bakteri yang bukan flora normal
(Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
c. Pertahanan humoral
Sistem imun nonspesifik menggunakan berbagai molekul larut. Faktor larut
lainnya diproduksi ditempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran
melalui sirkulasi seperti komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid dan
sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α (Kresno, 2013).
d. Pertahanan Seluler
Fagosit, sel natural killer (NK), sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem
imun nonspesifik seluler. Sel-sel sistem imun tersebut dapat ditemukan dalam
sirkulasi atau jaringan. Fagositosis adalah garis pertahanan kedua tubuh terhadap
agen infeksius. Pertahanan ini terdiri dari proses penelanan dan pencernaan
mikroorganisme serta toksin setelah berhasil menembus tubuh (Baratawidjaja dan
Renggani, 2009).
2.2.2 Sistem Imun Spesifik
a. Humoral
Pemeran utama dalam sistem sel imun spesifik humoral adalah sel B atau
limfosit B. Sel B berasal dari sel multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang
oleh benda asing akan berpoliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel
plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepaskan dapat ditemukan di
dalam serum (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
6
b. Seluler
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel T berasal
dari sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam timus. Sel T
terdiri dari beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu CD4+ (Th1, Th2),
CD8+ ( CTL/Tc) dan T regulator (Th3). Fungsi sistem imun spesifik seluler adalah
pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit
dan
keganasan. Sel CD4+ mengaktifkan sel Th yang selanjutnya mengaktifkan makrofag
untuk
menghancurkan
mikroba.
Sel
CD8+
memusnahkan
sel
terinfeksi.
(Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
2.2.3 Sitokin
Sitokin merupakan protein pemberi sinyal intraseluler yang bekerja secara lokal
dengan parakrin atau autokrin dengan terikat pada reseptor yang memiliki afinitas dan
memacu reaktivitas sistem imun, baik pada imunitas spesifik atau nonspesifik.
Sitokin diproduksi oleh makrofag atau monosit, limfosit, sel-sel endotel, hepatosit,
sel-sel epitel keratinosit dan fibroblas. Sitokin jika dijumpai dalam sirkulasi, biasanya
terdapat dalam konsentrasi pikogram permililiter (pg/mL) (Kresno, 2013).
Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik dan spesifik untuk mengawali,
mempengaruhi dan meningkatkan respons nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh
sitokin disamping juga makrofag memproduksi sitokin-sitokin tersebut. IL-1, IL-6,
TNF-α, merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik (Baratawidjaja dan
Renggani, 2009). Inteleukin juga berperan dalam proliferasi sel-sel imun diantaranya
IL-1,IL-2 dan IL-6 (Kresno, 2013).
7
2.2.4 Leukosit
Leukosit merupakan sel darah yang memiliki nukleus dan tidak bewarna.
Bentuknya bulat dalam peredaran darah, tetapi berupa sel ameboid pleimorfik dalam
jaringan, atau pada substrat padat in vivo. Leukosit terdiri dari leukosit leukosit
granular atau leukosit nongranular. Leukosit granular terdiri dari eosinophil, basofil,
dan neutrofil. Leukosit nongranular terdiri dari dari limfosit dan monosit. Jumlah
leukosit adalah 4,3–10,8 x 109/L, dengan neutrofil 45–74%, limfosit 16–45%,
monosit 4–10%, eosinofil 0–7%, dan basofil 0–2% (Baratawidjaja dan Renggani,
2009).
Pelepasan zat kimia dan sitokin oleh jaringan yang rusak pada proses inflamasi
menyebabkan leukosit bergerak mendekati (kemotaksis positif) atau menjauhi
(kemotaksis negatif) sumber zat. Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap
organisme patogen secara fagositik sedangkan limfosit merupakan satu-satunya jenis
leukosit yang tidak memiliki fungsi fagositik (Kresno, 2013).
2.2.5 Limfosit
Sebanyak 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa
merupakan limfosit yang terdiri dari sel B dan sel T yang merupakan kunci
pengontrol sitem imun. Pada keadaan normal, sel limfosit hanya memberikan reaksi
terhadap zat asing tetapi tidak terhadap selnya sendiri. Limfosit berasal dari sel-sel
sumsum tulang merah, tetapi melanjutkan diferensiasi dan proliferasinya dalam organ
lain (Chaplin, 2009).
8
Sel T imatur (pada organ timus) ditandai dengan sel timus double negative (CD4dan CD8-) sedangkan sel T yang sudah matur akan bersirkulasi ke darah perifer
ditandai dengan double positive (CD4+ dan CD8+). Sel T yang naïve (imatur) akan
berkembang menjadi dua subset, yaitu sel Th1 dan Th2. Polarisasi ke arah sel Th1
atau Th2 bergantung pada berbagai faktor tanskripsi yang diaktivasi maupun
lingkungan mikro dan sitokin khususnya IL-12, IFN-γ dan IL-4. Keseimbangan
antara limfosit Th1 dan Th2 harus dalam keadaan seimbang untuk mempertahankan
inegritas sistem imun (Kresno, 2013).
Sel B bertanggung jawab atas pembentukan immunoglobulin (Ig) dan merupakan
5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Terdapat hubungan antara sel B dan sel T,
dimana sel Th2 dapat membantu produksi antigen oleh sel B (Kresno, 2013).
Sel NK adalah sel yang tidak mengekspresikan reseptor antigen di permukaan
sehingga dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa perlu disensitisasi
terlebih dahulu tanpa bergantung pada produk MHC (Kresno, 2013).
2.3 Hubungan Sistem Imun dan Penuaan
Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang
membahayakan tubuh manusia. Sistem imunitas tubuh berfungsi membantu
perbaikan DNA, mencegah infeksi organisme patogen serta menghasilkan antibodi
untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Fungsi sistem
imunitas tubuh menurun sesuai umur. Seiring bertambahnya usia manua lebih rentan
terhadap seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik.
9
Pada keadaan immunosenescence dapat terjadi penurunan fungsi pada sistem imun
nonspesifik dan dan spesifik (Srinivasan dkk., 2005).
2.3.1 Sistem Imun Nonspesifik dan Penuaan
Pada sistem imun nonspesifik, terjadi penurunan fungsi pertahanan epithelial
seperti kulit, paru, dan saluran gastrointestinal dan tubuh lebih rentan terhadap
berbagai penyakit infeksi. Granulosit, makrofag dan monosit secara jumlah relatif
sama, namun menunjukkan pergeseran fungsi. Pengamatan yang dilakukan pada
granulosit terutama neutrofil pada orang lanjut usia dan pada tikus tua terlihat adanya
penurunan signifikan fungsi utama granulosit, seperti penurunan kemotaksis dan
menurunnya kemampuan fagositosis. Fungsi Penurunan respons juga dialami oleh
neutrofil terhadap GM-CSF dan tejadi peningkatan apoptosis neutrofil seiring usia
(Ponnappan dan Ponnappan, 2011).
Makrofag adalah monosit yang berfungsi sebagai sensor patogen di jaringan.
Pada usia lanjut fungsi fagositosis makrofag juga menurun disertai penurunan
reseptor MHC-II di permukaan sel dan ditemukan ekspresi toll-like reseptor (TLR).
Adanya ekspresi TLR dipercaya dapat menginduksi sitokin proinflamasi (Ponnappan
dan Usha Ponnappan, 2011).
Sel NK merupakan mediator alamiah tubuh terhadap virus dan sel tumor. Sel NK
berfungsi untuk menjadi jembatan antara respons imun nonspesifik dan spesifik.
Adanya penurunan sel NK dipercaya sebagai salah satu patogenesis terjadinya kanker
(Solana dkk., 2006).
10
Terdapat juga pengaruh penuaan terhadap sel-sel dendritik. Orang tua
mempunyai jumlah sel-sel dendritik yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang
yang lebih muda meskipun sel-sel tersebut masih menunjukkan kemampuannya
sebagai antigen presenting cell dan dalam merangsang aktifasi dan proliferasi sel
limfosit T namun terjadi penurunan kemampuan sel-sel tersebut dalam memproses,
menyaji dan melakukan fagositosis terhadap antigen (Ponnappan dan Ponnappan,
2011).
2.3.2 Sistem Imun Spesifik dan Penuaan
Sistem imun spesifik diperankan oleh sel limfosit T dan limfosit B. Adanya
antigen akan merangsang respons imun spesifik. Pada mulanya akan mengaktifasi sel
limfosit T. Sekali sel limfosit T teraktifasi, sel tersebut akan melawan antigen dan
merangsang aktifasi sel limfosit B. Sel limfosit B yang teraktifasi akan merangsang
pembentukan antibodi yang akan melawan antigen tersebut. Masalah utama penuaan
pada sistem imun spesifik terletak pada kemampuan sel limfosit T dan limfosit B
untuk mengadakan pembelahan sel secara cepat. Sel limfosit B akan menghasilkan
antibodi bila terpapar antigen. Pada proses penuaan, terjadi keterlambatan respons
dalam memproduksi imunoglobulin. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respons
kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun
kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat
terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua (Srinivasan dkk., 2005).
11
2.3.3
Penuaan dan Gangguan Fungsi Imun
Gambar 2.2 Dasar Molekular Hubungan Penuaan Dan Sistem Imun
(Ponnappan dan Ponnappan, modified, 2011)
Immunosenescence adalah penurunan fungsi sistem imun yang disebabkan oleh
usia. Pada proses penuaan, terjadi pergeseran faktor transkripsi, stres oksidatif yang
menumpuk, ketidakmampuan DNA untuk memperbaiki diri, kerusakan telomer,
involusi timus serta perubahan sel T, Sel B dan APC mengakibatkan akumulasi dan
peningkatan NF-кB. Peningkatan NF-кB dihubungkan dengan inflamm-aging/oxiinlamm-aging yang akan menyebabkan apoptosis sel imun, peningkatan risiko infeksi
serta penurunan imunitas nonspesfik dan spesifik, seperti yang dijelaskan pada
gambar 2.2 (Ponnappan dan Ponnapan, 2011).
12
2.4
Imunomodulator
Imunomodulator adalah obat yang diharapkan memperbaiki dan mengembalikan
ketidakseimbangan sistem imun yang fungsinya terganggu atau menekan fungsinya
yang berlebihan. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up
regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation. Imunostimulan atau
imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan
imunostimulan yaitu bahan yang merangsang sistem imun (Carrillo-Vico dkk., 2013).
Bahan yang disebut imunostimulator yaitu hormon, timus, limfokin, interferon,
antibodi monoklonal, ekstrak leukosit, bahan asal bakteri dan jamur juga bahan
sintetik seperti levamisol, isoprinosin, muramil dipeptida dan lain-lain. Imunosupresi
merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik
terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai
penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti
autoimun atau autoinflamasi. Bahan yang berfungsi sebagai agen imunosupresi
seperti metotreksat, steroid (glukokortikoid dan kortikosteroid) dan lain-lain.
(Baratawidjaja dan Renggani, 2009).
2.5 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah nama jenis hormon yang merupakan senyawa regulator
seluruh sistem homeostasis tubuh organisme agar dapat bertahan menghadapi
perubahan lingkungan dan infeksi. Kortikosteroid dihasilkan dari korteks adrenal
kelenjar suprarenal yang terdiri dari hormon glukokortikoid dan mineralokortikoid.
13
Homon ini banyak fungsi metabolisme karbohidrat, keseimbangan cairan dan
elektrolit. Dapat memperbaiki gejala klinik penyakit tetapi bukan merupakan terapi
kausalis. Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulator. Hormon
ini menghambat transkripsi terhadap gen yang mengkode sitokin proinflamasi dengan
cara menurunkan aktivitas NF-кB sehingga, kortikosteroid akan menghambat sintesis
atau aksi sebagian besar sitokin proinflamasi (Rhen dan Cidlowski, 2005).
Gambar 2.3 Mekanisme Penghambatan NF- кB oleh Glukokortikoid
(Rhen dan Cidlowski, 2005)
Glukokortikoid, bermanfaat untuk menghambat NF-кB dan turunan-turunannya
(gambar 2.2). Terdapat tiga bukti yaitu: (1) Glukokortikoid meningkatkan mRNA IкB
(Inhibitor famili NF-кB), yang menyebabkan meningkatnya protein IкB dan
peningkatan sekuestrasi NF-кB di sitoplasma; (2) Reseptor glukokortikoid bersaing
14
dengan NF-кB untuk berikatan dengan kofaktor; (3) Reseptor glukokortikoid secara
langsung berikatan dengan subunit p65 NF-кB dan menghambat pengaktifannya
(Rhen dan Cidlowski, 2005).
Tabel 2.1
Efek Kortikosteroid dalam Transkripsi Gen (Barnes, 2006)
Kortikosteroid sintetik sebagai imunosupresan, mampu menghambat transkripsi
sejumlah sitokin, kemokin, molekul peptide, enzim inflamasi, peptida yang dapat
menurunkan jumlah ataupun kemotaksis sel radang seperti leukosit, limfosit dan
makrofag (Barnes, 2006).
Penghambatan terhadap proses inflamasi juga terlihat pada penghambatan NO,
COX-2 dan phospholipase A2 oleh kortikosteroid. Mekanime ini melalui
penghambatan NF-кB secara tidak langsung mempengaruhi kemotaksis leukosit dan
sistem imun nonspesifik (Kresno, 2013). Ekpresi iNOS dipengaruhi oleh infeksi
15
bakteri, LPS dan sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNF-α, IFNγ). Kortikosteroid
besama dengan IL-10, TGFβ berefek negatif terhadap ekspresi iNOS (Sukumaran
dkk., 2012).
Limfosit Th1 dan Th2 memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan perbedaan
sitokin yang dihasilkan. Sel Th2 memproduksi IL-10, sebaliknya sel Th1 tidak.
Fungsi IL-10 adalah dengan menghambat beberapa jenis sitokin (IL-1, TNF, kemokin
dan IL-12). Kortikosteroid melalui induksi IL-10 menghambat fungsi makrofag
karena menghambat ekspresi MHC II. Dampak akhir dari aktivitas IL-10 adalah
hambatan sistem imun nonspesifik maupun spesifik yang diperantarai sel T (Kresno,
2013).
Efek imunosupresi kortikosteroid pada sel-sel imun akibat terjadinya
penghambatan transkripsi gen untuk induksi pelepasan terutama oleh IL-1 dan IL-2.
IL-1 yang diroduksi oleh makrofag akan merangsang ekspresi IL-2 pada permukaan
limfosit T serta pembentukan IL-2. IL-2 dapat menginduksi proliferasi sel T terutama
berperan pada fase G1 ke fase S dari siklus sel. IL-2 juga berfungsi merangsang
proliferasi limfosit B dan produksi antibodi, serta
aktivitas Sel NK. Akibat
penghambatan terutama terhadap IL-1 dan IL-2 mengakibatkan limfopenia (Kresno,
2013).
Peningkatan annexin A1 sebagai efek glukokortikoid mampu menimbulkan efek
imunosupresi pada imunitas nonspesifik dengan cara mengganggu aktivitas dan
migrasi leukosit dan makrofag. Di sisi yang lain, efek imunosupresi glukokortokoid
ternyata menekan annexin A1 sehingga menurunkan proliferasi dan aktivasi sel T
16
serta menurunkan diferensiasi sel Th1 dan meningkatkan aktivitas dan diferensiasi sel
Th2 pada respon imun didapat (gambar 2.4).
Gambar 2.4 Efek Glukokortikoid Terhadap Sel-Sel Imun
(Perretti dan D'Acquisto, 2009)
Kortikosteroid sistemik yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang
terutama pada pasien asma dihubungkan dengan hipogammaglobulinemia (Aun dkk.,
2010). Penghambatan aktivitas sel B juga dapat diakibatkan penurunan IL-6, dimana
IL-6 merupakan faktor induksi utama pada diferensiasi sel fase terminal, juga
mempercepat pertumbuhan dan diferensiasi sel B (Kresno, 2013).
TNF-α merupakan mediator utama pada proses inflamasi akut diproduksi
terutama oleh makrofag, sel T, B, dan NK (Kresno, 2013). Metilprednisolon mampu
menghambat produksi maupun jalur pembentukan TNF-α. Metilprednisolon ternyata
juga mampu memperkuat TGF-β dengan cara meningkatkan ekspresi SMAD3 dan
17
menurunkan ekspresi SMAD7 yang merupakan inhibitor terhadap cascade SMAD,
dalam hal ini merupakan imunosupresan yang kuat dengan menekan proliferasi dan
maturasi sel T, B serta menekan aktivitas makrofag (Davis dkk., 2013). Hambatan
terhadap kemotaksis dan perlekatan makrofag juga diinhibisi oleh kortikosteroid
(Flaster dkk., 2007).
Kortikosteroid dosis tinggi dan yang dilepaskan selama inflamasi terlihat
meningkatkan apoptosis timosit yang dimediasi oleh induksi caspase-9 (Zen dkk.,
2011). Timus merupakan organ limfoid primer yang berfungsi dalam maturasi sel T.
Thymopoiesis dipengaruhi diantaranya oleh sitokin seperti IL-1, IL-3, IL-6, IL-7
macrophage-colony stimulating factor, granulocyte macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF). Sel T imatur ditandai dengan sel timus double negarive (CD4- dan
CD8-) sedangkan sel T yang sudah matur ditandai dengan double positive (CD4+ dan
CD8+). Double positive sel adalah paling sensitif terhadap reaksi glukokortikoid yang
menginduksi apoptosis melalui aksi TGF-β. Medula timus menghasilkan IL-6.
Timosit dalam proliferasi dan perkembangan membutuhkan IL-6 (Lynch, 2009).
Sedangkan kortikosteroid menurunkan ekpresi IL-6 (Barnes, 2006).
2.5.1 Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah derivat dari prednisolon yang mempunyai kelebihan
sebagai anti inflamasi yang sangat kuat dengan efek samping yang lebih sedikit bila
dibandingkan dengan steroid yang lain. Berbeda dengan kortikosteroid yang lain
yang memiliki efek kuat terhadap mineralokortikoid, efek
glukokortikoid
metilprednisolon lebih dominan. Metilprednisolon mempunyai waktu paruh 6-12 jam
18
di dalam darah, dan mempunyai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam setelah diberikan.
Metilprednisolon 4-48 mg per oral lazim digunakan pada kasus alergi dan inflamasi
kronik (Sinha dan Bagga, 2008). Adapun efek samping dan komplikasi pada
penggunaan
metilprednisolon
adalah
osteoporosis,
gangguan
pertumbuhan,
kelemahan otot, gangguan emosi dan penurunan fungsi sistem imun (Coutinho dan
Chapman, 2010).
2.6 Melatonin
2.6.1 Fisiologi Melatonin
Dalam kelenjar pineal, terdapat dua tipe sel yaitu pinealocytes, yang dibedakan
menjadi asidofil dan basofil yang berfungsi menghasilkan indolamin (terutama
melatonin) dan peptida, dan sel neuroglial (Al- Hussain, 2006). Melatonin atau yang
juga disebut N-acethyl-5-methoxytryptamine disintesis dari serotonin. Pada
biosintesis melatonin yang diilustrasikan pada gambar 2.5 tryptophan yang sedang
bersirkulasi diambil dan diubah menjadi 5- hydroxytryptophan oleh tryptophan
hydroxylase. 5-hydroxytryptophan kemudian didekarboksilasi menjadi serotonin.
Serotonin diubah menjadi melatonin melalui rangkaian proses yang melibatkan enzim
N-acetyl-transferase (NAT) sebagai pembatas sintesis melatonin dan enzim
hydroxyindole-O-methyl-transferase (HIOMT). Aktivasi kedua enzim ini ditentukan
oleh mRNA yang dipengaruhi oleh siklus siang malam (Sanchez dkk., 2015) .
19
Gambar 2.5 Biosintesis Melatonin (Sanchez dkk., 2015)
Melatonin berperan penting dalam sinkronisasi peristiwa biologis yang
dicetuskan oleh isyarat lingkungan eksternal. Supra chiasmatic nuclear (SCN) yang
terletak pada hipotalamus anterior berfungsi sebagai pacemaker yang mengatur
sekresi melatonin (gambar 2.6). Irama sekresi dipengaruhi oleh ransangan cahaya
dalam hal ini siklus terang dan gelap. Sekresi melatonin dirangsang oleh kegelapan
dan dihambat oleh cahaya (Doghramji, 2007).
Gambar 2.6 Pengaruh Cahaya Dalam Sekresi Melatonin (Dubocovich, 2007)
20
Informasi cahaya ditangkap oleh sel rod dan cone pada retina. Sepanjang hari,
SCN secara aktif memproduksi arousal signal yang mempertahankan kesadaran dan
menghambat dorongan untuk tidur. Fotoreseptor di mata terhubung melalui saluran
retinohypothalamic (RHT) ke SCN. Pada malam hari, sebagai respons pada keadaan
gelap, terjadi feedback loop pada SCN yang diawali dengan pengiriman sinyal untuk
memicu produksi hormon melatonin yang menghambat aktivitas SCN (gambar 2.7).
Jalur ini akan aktif pada saat gelap, karena aktivitas saraf ganglion cervical superior
dihambat oleh terang. Noradrenalin disekresikan oleh saraf terminal dari ganglion
cervical superior dan menstimulasi kelenjar pineal melalui reseptor B, yang akan
mensintesis cAMP untuk mengaktifkan NAT (Yonei dkk., 2009).
Gambar 2.7 Jalur Sintesis Melatonin (Yonei dkk., 2009)
Melatonin dapat memicu tidur dengan cara menekan wake promoting signal
atau neuronalfiring pada SCN. Pemicu tidur pada hypothalamic ventrolateral
preoptic nucleus dan aktivitas pemicu terjaga pada locus coeruleus, dorsal raphe, dan
21
tuberomammillary nuclei, sistem yang dapat mengatur sleep switchin. SCN dapat
mempengaruhi kedua subsistem ini melalui ventral subparaventricular zone menuju
ke hypothalamic dorsomedial nucleus, dimana berbagai fungsi sirkadian diregulasi.
Proyeksi dari dorsomedial nucleus menuju ventrolateral preoptic nucleus dapat
memicu tidur, sedangkan proyeksi menuju lateral hypothalamus berhubungan dengan
aktivitas yang terjadi dalam keadaan terjaga. Melatonin dapat mempengaruhi
switching mechanism ini dan mempercepat sleep onset melalui reseptor-reseptor yang
banyak terdapat pada SCN (Yonei dkk., 2009).
Gambar 2.8 Reseptor Melatonin (Slominski dkk., 2012)
Seperti pada gambar 2.8, melatonin mengakibatkan berbagai aktivitas biologi
melalui reseptor MT1 dan MT2 membran reseptor (G protein-coupled) atau melalui
reseptor nuklear (ROR/RZR). Di dalam sitosol, melatonin berinteraksi dengan
22
calmodulin. (Srinivasan dkk., 2005). MT3 hanya ditemukan pada hamster dan kelinci
(Slominski dkk., 2012). Reseptor MT1 dan atau MT2 ini ditemukan pada sistem
saraf pusat, hipofisis, duodenum, kolon, caecum, appendikx, epitel saluran kencing,
kelenjar paratiroid, kelenjar eksokrin pancreas, sel β pankreas, epitel kelenjar
mamme, miometrium, plasenta, epitel granulosa dan luteal, ginjal, ventrikel jantung,
aorta, koronaria, arteri serebral, lemak, trombosit serta sel-sel darah yang berperan
dalam sistem imun seperti pada limfosit, leukosit, dan monosit (Srinivasan dkk.,
2005; Slominski dkk., 2012).
Tabel 2.2
Distribusi Reseptor Melatonin Pada Berbagai Organ Tubuh
(Slominski dkk., 2012)
Kadar melatonin di kelenjar pineal dan darah mengikuti irama sirkadian. Saat
malam hari, sintesis melatonin meningkat. Pada manusia, kadar melatonin di plasma
23
mulai meningkat setelah 9.00 PM-11.00 PM dan mencapai puncak sekitar 2.00 AM
hingga 4.00 AM, lalu menurun di pagi hari. semakin menurun seiring dengan
pertambahan usia (Gambar 2.9). Nilai plasma melatonin malam hari paling tinggi
terdapat pada tahun pertama kehidupan, dan makin menurun saat dewasa (PandiPerumal et al., 2006).
Gambar 2.9 Kadar Melatonin Waktu Malam Dihubungkan dengan Usia
(Harrison dan Pierzynowski, 2008)
Sekitar 90% melatonin pada manusia diekskresi dari dalam tubuh melalui
hepar, dimana sel hepar membentuk 6-hydroxymelatonin sebagai sisa metabolisme
yang kemudian diubah menjadi 6-sulfatoxymelatonin dan glucuronide. Sejumlah
kecil melatonin akan dibuang melalui urin dan air liur (Buscemi dkk., 2004).
Pada tikus berumur 10 hari, puncak kadar melatonin pada malam hari adalah
mencapai hingga 120pg/ml kemudian berangsur menurun hingga 45-60 pg/ml pada
tikus 20-25 hari (Yu dan Retler, 1992).
24
2.6.2 Fungsi dan Manfaat Melatonin
Penelitian menunjukan bahwa melatonin membantu memperbaiki kualitas tidur
pada orang sehat. Melatonin digunakan pada kasus jet lag dan delayed sleep phase
syndrome. Pemberian melatonin terbukti membantu mengatasi gangguan tidur pada
anak yang memiliki gangguan neuropsikiatri, autisme, gangguan penglihatan,
epilepsi. Terapi sulih melatonin pada orang tua juga terbukti memperbaiki kualitas
tidur (Pangkahila dan Wong, 2015).
Melatonin merupakan sebuah antioksidan yang sangat kuat. Bahkan dalam dosis
kecil, melatonin mampu menetralisir radikal bebas dan menghambat terjadinya stres
oksidatif (Tan dkk., 2007; Espino dkk., 2012). Melatonin juga bekerja secara tidak
langsung dalam sistem imun dengan cara meningkatkan kapasitas total antioksidan
dan atau menurunkan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen spesies
(RNS). Melatonin juga melindungi mitokondria dengan cara memperbaiki fungsi
sistem antioksidan mitokondria dengan cara meningkatkan kadar glutation dan
aktivitas glutation reduktase serta menurunkan peroksidasi lipid pada berbagai
jaringan (Carrillo-Vico dkk., 2013).
2.6.3 Melatonin sebagai Imunomodulator
Studi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan bahwa
melatonin memiliki peran imunomodulator. Penghambatan sintesis melatonin
menurunkan sistem imun baik seluler dan sistem imun humoral pada tikus. Melatonin
juga telah dapat melindungi sel prekursor hematopoietik dari efek toksik dari agen
25
kemoterapi kanker. Pemberian melatonin telah terbukti melawan keadaan
imunodefisiensi sekunder (Pandi-Perumal dkk., 2006).
Penurunan produksi sejumlah hormon yang berhubungan dengan penuaan,
seperti melatonin, memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi bagi
imunodefisiensi terkait usia. Ketika mencapai usia 30-an hormon melatonin kadarnya
mulai menurun. Akibat penurunan kadar melatonin, terjadi ketidakseimbangan ROS
dan antioksidan endogen karena melatonin berfungsi sebagai antioksidan yang sangat
kuat. Sebagai konsekuensinya, terjadi penurunan fungsi sel imun (Espino dkk., 2012).
Pemberian melatonin baik pada tikus normal maupun tikus immunocompromise
terbukti menghasilkan respons antibodi yang tinggi baik pada penelitian in vitro dan
in vivo. Pada proses penuaan terjadi kehilangan sel timus hingga atrofi timus baik
secara struktural dan penurunan berat timus. Pemberian melatonin terbukti dapat
mencegah atrofi timus sehingga dapat memperbaiki sistem imun. Involusi timus oleh
melatonin dapat dicegah karena dapat mempertahankan jumlah sel-sel timus terhadap
apoptosis serta peningkatan proliferasi sel timus (Espino dkk., 2012).
Melatonin
telah
terbukti
menghambat
produksi
sitokin
proinflamasi,
menunjukkan indolamin yang dapat membantu untuk mengurangi peradangan akut
dan kronis. Melatonin mampu mengurangi kadar TNF-α dan IL-1β dan meningkatkan
IL-6 dan IL-10. Efek imunomodulator melatonin pada penuaan juga jelas dalam
sistem saraf pusat (SSP) yaitu melatonin meningkatkan respons otak serta
menghambat proses inflamasi pada otak yang diinduksi oleh LPS (Song dkk., 2015).
26
Kemampuan antioksidan melatonin yang poten serta produk metabolitnya
berperan pada aspek anti apoptosis sel-sel imun terkait usia. Melatonin juga mampu
menunda kerusakan yang disebabkan apoptosis di neutrofil dan limfosit tua akibat
proses degeneratif dan stres oksidatif (Espino dkk., 2012).
Melatonin mampu berperan sebagai anti inflamasi dengan cara menekan respons
radang dengan cara memblok signal NF-кB dan menghambat translokasi ke inti sel,
menghambat pengikatan NF-кB subunit p50 dan mensupresi signal STAT-1.
Melatonin juga mampu menurunkan TLR-3 yang dimediasi oleh TNF-α dan ekspresi
iNOS, menurunkan COX-2 serta menurunkan leukotrin yang dapat mempengaruhi
kemotaktis dan perlekatan neutrofil serta sel-sel radang yang lain Pada kasus asma,
melalui aktifasi respetor melatonin pada CD4+, melatonin mampu menurunkan IgE,
IL-4, dan IFN-γ (Carillo-Vicco dkk., 2013).
Menurut beberapa studi, ditemukan adanya peningkatan prevalensi penyakit
autoimun pada musim dingin akibat meningkatnya sistem imum yang distimulasi
oleh melatonin pada malam yang lebih panjang. Hal ini membuktikan adanya
hubungan melatonin dan pengaruh waktu malam yang lebih panjang sebagai signal
pada sistem imun. Pada orang dengan penyakit autoimun, ditemukan adanya kadar
melatonin yang lebih tinggi pada malam hari (Pandi-Perumal dkk., 2006). Pada
penelitian yang lain, disebutkan bahwa adanya penurunan sitokin proinflamasi pada
pasien dengan SLE namun, belum dapat dipastikan apakah pemberian melatonin pada
kondisi autoimun bermanfaat atau memberikan efek yang lebih buruk (Carrillo-Vico
dkk., 2013).
27
Pada studi in vitro, pemberian glukokortikoid, mengubah fungsi dan fisiologis
konsentrasi melatonin. Pemberian melatonin eksogen, ternyata mampu mengaktifasi
reseptor melatonin pada sel-sel imun, terutama limfosit sehingga mengaktifkan
sitokin-sitokin yang berperan dalam kontrol jumlah limfosit.
Gambar 2.10 Efek Aktivasi Sistem Imun Oleh Melatonin (Szczepanik, 2007)
Melatonin mampu merangsang sel APC, Sel T dan sel NK (gambar 2.10). Pada
penelitian tersebut terbukti bahwa melatonin melalui reseptor di permukaan sel
limfosit mampu merangsang pelepasan IFN-γ dan IL-2. CD4+, CD8+.. Sel APC yang
terangsang akan mengeluarkan IL-2, TNF-β, memperkuat dan meningkatkan MHC-II
makrofag secara autokrin maupun parakrin, memperkuat kemampuan fagositosis selsel fagosit dan merangsang IL-12. IL-12 juga akan memperkuat CD4+ dan
meningkatkan kemampuan proliferasi sel T. Sel Th1 akan menghasilkan IFN-γ. Sel
NK yang teraktivasi oleh melatonin juga menghasilkan IFN-γ yang penting dalam
28
menigkatkan ekpresi MHC, meningkatkan fagositosis maktofag dan merangsang
diferensiasi sel T dan sel B melalui aktifasi IL-6 dan IL-12. Pada monosit pemberian
melatonin meningkatkan ekpresi IL-1, IL-6 dan IL-12). Inteleukin yang terinduksi
oleh melatonin pada penelitian ini merupakan counterbalance imunosupression yang
akibat rangsangan stres yang terjadi akibat imunodefisiensi sekunder (KostoglouAthanassiou, 2013).
Pada penelitian ekperimental transplantasi ovarium dan pankreas pada tikus,
efek imunosupresif dari melatonin sangat terlihat dari adanya penghambatan langsung
pada jumlah sel Th1 serta efek inhibisi sitokin yang produksi oleh sel Th1 dan
peningkatan produksi IL-10. Pada kasus transplantasi melatonin mampu melindungi
sel normal dan berfungsi sebagai anti apoptosis terhadap sel normal dengan melalui
mekanisme antioksidan (Carrillo-Vico dkk., 2013).
Pada imunitas nonspesifik melatonin mampu menstimulasi aktivitas sel NK, sel
CD4+ dan CD8+ melalui jalur IFN-γ meningkatkan kapasitas kemotaksis leukosit, dan
meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag serta meningkatkan ekspresi MHC II
dan peningkatan produksi IL-1 dan TNF-α oleh makrofag. Melalui aktivasi IL-2 oleh
melatonin, maka akan meningkatkan ekspresi TNF-α dalam hal ini yang berperan
sebagai penginduksi molekul adhesi, sitokin, dan aktivasi neutrofil. Pada monosit,
melatonin juga mampu memperkuat produksi IL-6 dan IL-12 pada keadaan
suboptimal. Sehingga aktivasi IL-2 oleh melatonin memiliki peran penting sebagai
immunostimulant (Carrillo-Vico dkk., 2013).
29
Pada imunitas spesifik, melatonin ternyata mampu meningkatkan proliferasi sel
B dan sel T serta meningkatkan respons sel Th1 dan menurunkan sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 pada tikus tua. Melatonin meningkatkan produksi IL-2 dan IL-6
oleh limfosit dan serta meningkatkan ekspresi IL-2 dan IL-12 di makrofag (CarrilloVico dkk., 2013). Pada gambar 2.11 melatonin, dapat meningkatkan produksi IL-2
melalui reseptor melatonin MT1 pada membran sel melalui penurunan aktivitas
cAMP sehingga meningkatkan sekresi IL-2 serta melalui reseptor melatonin pada inti
RZR/ROR yang juga akan meningkatkan IL-2 (Carrillo-Vico dkk., 2003)
Gambar 2.11 Melatonin Melalui Reseptor Membran dan Reseptor Inti
Meningkatkan Ekspresi Sitokin IL-2 (Carrillo-Vico dkk., 2003)
30
Gambar 2.12 Mekanisme Autokrin IL-2 pada Sel T
(Boyman dan Jonathan Sprent 2012)
Seperti pada gambar 2.12, IL-2 yang dihasilkan oleh sel Th1, akan bekerja
secara autokrin dan parakrin dan mengaktifkan jalur JAK-STAT, jalur MAPK,
aktivasi jalur ERK dan ERK selanjutnya akan mengaktivasi produksi faktor-faktor
transkripsi seperti NF-кB, AP-1 dan sitokin-sitokin yang lain. (Chiossone dkk, 2007).
Melatonin meningkatkan sistem imun tidak hanya pada kemampuan
meningkatkan produksi sitokin, tapi juga pada aksi anti apoptosis dan antioksidan
pada berbagai kondisi dan berbagai organ (Carrillo-Vicco, 2013). Melatonin memiliki
kemampuan dalam meregulasi kematian sel baik anti apoptosis maupun proapoptosis
(Da-Silva-Ferreira dkk, 2010). Pada timus, melatonin akan merangsang IL-2 (gambar
31
2.11) dan bekerja secara autokrin pada limfosit serta bekerja secara parakrin terhadap
sel medula timus, pada sel timus juga terdapat resepor inti melatonin RORα untuk
meningkatkan proliferasi sel timus dan mencegah atrofi involusi timus (Lynch dkk,
2009).
Pada kerusakan sel akibat ROS melatonin menurunkan kerusakan DNA dan
menginhibisi pelepasan sitokrom c mitokondria dan menghambat caspase 3 (Zhang
dkk., 2013). Melatonin mampu menghalangi proses caspase-9 dan caspase-3 yang
dapat memodulasi kedua pembukaan permeabilitas mitokondria dan aktivasi protein
Bax yang proapoptotik (Espino dkk., 2012).
Kadar melatonin yang rendah ditemukan pada orang dengan infeksi HIV. Pada
penelitian yang melibatkan 77 orang terinfeksi HIV ditemukan kadar melatonin
rendah, sel Th1 yang rendah serta IL-12 yang rendah. Pada studi in vivo, pemberian
implan melatonin dapat meningkatkan sel Th2 (Pandi-Perumal dkk., 2006).
Download