1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Imunosupresi adalah penurunan fungsi sistem imun. Imunodefisiensi adalah sekumpulan gejala atau penyakit akibat adanya defek pada sistem imun. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman, bahaya yang berasal dari infeksi mikroorganisme patogen, autoimun ataupun kanker. Immunosenescence adalah penurunan fungsi sistem imun yang disebabkan oleh usia (Ponnappan dan Ponnappan, 2011). Para ahli mencoba menyodorkan banyak teori untuk menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Sacara umum teori tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear pada prinsipnya berusaha menjelaskan bahwa tubuh menjadi lemah dan lelah lalu meninggal adalah akibat dari penggunaan dan kerusakan yang berlangsung terus menerus, meliputi teori kerusakan DNA, glikoslasi dan radikal bebas. Teori program, berkeyakinan bahwa tubuh memiliki jam biologis meliputi terbatasnya replikasi, proses imun dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2011). Beberapa teori tentang penuaan antara lain: 1. Teori Radikal Bebas Pada tahun 1954 muncul teori radikal bebas yang memiliki argumen bahwa penumpukan radikal bebas dalam tubuh menyebabkan penuaan dan kematian 8 2 makhluk hidup dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas eksogen dan endogen dapat memicu serangkaian kerusakan pada struktur meolekular yang pada akhirnya menyebabkan gangguan fungsi fisiologis (Winarsi, 2010). 2. Teori Proses Imun Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh dikenal sebagai immunosenescence. Situasi ini menyebabkan peningkatan kerentanan tubuh terhadap penyakit menular dan kanker akibat kapasitas penurunan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi rangsangan antigen, berubahnya lingkungan mikro sitokin serta penurunan kemampuan kedua imunitas, yakni imunitas bawaan dan imunitas yang didapat (Srinivasan dkk., 2005). Teori ini juga menyatakan bahwa pada siklus kehidupan akan terjadi involusi pada kelenjar timus. Timus ini adalah sumber dari sel T dewasa yang berperan penting pada sistem imun. Pada penuaan, jumlah sel T tidak berkurang secara drastis namun terjadi penuruan pada fungsinya (Pangkahila, 2011). 3. Teori Neuroendokrin Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofisis dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh pada usia muda, namun seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan produksi hormon, 3 yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh (Goldman dan Klatz, 2007). 2.2 Sistem Imun Sistem imun berfungsi mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbentuk dari gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam melawan infeksi. Respons imun terbentuk dari koordinasi dan komunikasi reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). Sistem Imun spesifik Nonspesifik Fisik Kulit Selaput lendir Silia Batuk bersin Larut Seluler Biokimia: Asam lambung Lisozime Laktoferin Asam neurominik Humoral: Komplemen Mediator asal lipid Fagosit mononuklear Pomorfonuklear Sel NK Sel Mediator Basofil Sel mast Humoral seluler Sel B IgA IgG IgM IgE IgD Sitokin Sel T Th1 Th2 Ts/Tr/Th3 Tdth CTL/Tc NKT Th7 sitokin Gambar 2.1 Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Renggani, 2009) 4 Imunitas (kekebalan) merupakan terminologi yang digunakan untuk respons spesifik dari sistem imun. Kekebalan terhadap infeksi, baik yang terbentuk mengikuti paparan organisme penyebab maupun yang dapat dirangsang secara buatan dengan imunisasi terutama untuk resiko paparan. Pada gambar 2.1 dengan jelas menerangkan pembagian sistem imun. Sistem imunitas terdiri atas sistem imunitas alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Kresno, 2013). 2.2.1 Sistem Imun Nonspesifik a. Pertahanan fisik Pertahanan fisik terdiri dari kulit yang utuh dan epitel lapisan mukus yang dalam kondisi normal tidak dapat ditembus mikroorganisme patogen. Disamping itu, tubuh melakukan gerakan yang dapat membuang mikroorganisme, seperti pada refleks batuk, bersin dan muntah, bersama-sama dengan gerakan yang konstan seperti bergetarnya silia pada traktus respiratorius dan peristaltik usus (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). b. Pertahanan biokimia Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu ibu melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu ibu mengandung laktosidase dan asam neuraminik yang bersifat antibakteri terhadap E.coli dan asam dalam saluran pencernaan oleh enzim proteolitik dan cairan empedu dalam usus halus dan oleh asiditas vagina. Zat kimia 5 ini membentuk lingkungan yang tidak nyaman untuk bakteri yang bukan flora normal (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). c. Pertahanan humoral Sistem imun nonspesifik menggunakan berbagai molekul larut. Faktor larut lainnya diproduksi ditempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid dan sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α (Kresno, 2013). d. Pertahanan Seluler Fagosit, sel natural killer (NK), sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun nonspesifik seluler. Sel-sel sistem imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Fagositosis adalah garis pertahanan kedua tubuh terhadap agen infeksius. Pertahanan ini terdiri dari proses penelanan dan pencernaan mikroorganisme serta toksin setelah berhasil menembus tubuh (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). 2.2.2 Sistem Imun Spesifik a. Humoral Pemeran utama dalam sistem sel imun spesifik humoral adalah sel B atau limfosit B. Sel B berasal dari sel multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berpoliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepaskan dapat ditemukan di dalam serum (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). 6 b. Seluler Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel T berasal dari sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam timus. Sel T terdiri dari beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu CD4+ (Th1, Th2), CD8+ ( CTL/Tc) dan T regulator (Th3). Fungsi sistem imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel CD4+ mengaktifkan sel Th yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi. (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). 2.2.3 Sitokin Sitokin merupakan protein pemberi sinyal intraseluler yang bekerja secara lokal dengan parakrin atau autokrin dengan terikat pada reseptor yang memiliki afinitas dan memacu reaktivitas sistem imun, baik pada imunitas spesifik atau nonspesifik. Sitokin diproduksi oleh makrofag atau monosit, limfosit, sel-sel endotel, hepatosit, sel-sel epitel keratinosit dan fibroblas. Sitokin jika dijumpai dalam sirkulasi, biasanya terdapat dalam konsentrasi pikogram permililiter (pg/mL) (Kresno, 2013). Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik dan spesifik untuk mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respons nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh sitokin disamping juga makrofag memproduksi sitokin-sitokin tersebut. IL-1, IL-6, TNF-α, merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). Inteleukin juga berperan dalam proliferasi sel-sel imun diantaranya IL-1,IL-2 dan IL-6 (Kresno, 2013). 7 2.2.4 Leukosit Leukosit merupakan sel darah yang memiliki nukleus dan tidak bewarna. Bentuknya bulat dalam peredaran darah, tetapi berupa sel ameboid pleimorfik dalam jaringan, atau pada substrat padat in vivo. Leukosit terdiri dari leukosit leukosit granular atau leukosit nongranular. Leukosit granular terdiri dari eosinophil, basofil, dan neutrofil. Leukosit nongranular terdiri dari dari limfosit dan monosit. Jumlah leukosit adalah 4,3–10,8 x 109/L, dengan neutrofil 45–74%, limfosit 16–45%, monosit 4–10%, eosinofil 0–7%, dan basofil 0–2% (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). Pelepasan zat kimia dan sitokin oleh jaringan yang rusak pada proses inflamasi menyebabkan leukosit bergerak mendekati (kemotaksis positif) atau menjauhi (kemotaksis negatif) sumber zat. Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme patogen secara fagositik sedangkan limfosit merupakan satu-satunya jenis leukosit yang tidak memiliki fungsi fagositik (Kresno, 2013). 2.2.5 Limfosit Sebanyak 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa merupakan limfosit yang terdiri dari sel B dan sel T yang merupakan kunci pengontrol sitem imun. Pada keadaan normal, sel limfosit hanya memberikan reaksi terhadap zat asing tetapi tidak terhadap selnya sendiri. Limfosit berasal dari sel-sel sumsum tulang merah, tetapi melanjutkan diferensiasi dan proliferasinya dalam organ lain (Chaplin, 2009). 8 Sel T imatur (pada organ timus) ditandai dengan sel timus double negative (CD4dan CD8-) sedangkan sel T yang sudah matur akan bersirkulasi ke darah perifer ditandai dengan double positive (CD4+ dan CD8+). Sel T yang naïve (imatur) akan berkembang menjadi dua subset, yaitu sel Th1 dan Th2. Polarisasi ke arah sel Th1 atau Th2 bergantung pada berbagai faktor tanskripsi yang diaktivasi maupun lingkungan mikro dan sitokin khususnya IL-12, IFN-γ dan IL-4. Keseimbangan antara limfosit Th1 dan Th2 harus dalam keadaan seimbang untuk mempertahankan inegritas sistem imun (Kresno, 2013). Sel B bertanggung jawab atas pembentukan immunoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Terdapat hubungan antara sel B dan sel T, dimana sel Th2 dapat membantu produksi antigen oleh sel B (Kresno, 2013). Sel NK adalah sel yang tidak mengekspresikan reseptor antigen di permukaan sehingga dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa perlu disensitisasi terlebih dahulu tanpa bergantung pada produk MHC (Kresno, 2013). 2.3 Hubungan Sistem Imun dan Penuaan Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia. Sistem imunitas tubuh berfungsi membantu perbaikan DNA, mencegah infeksi organisme patogen serta menghasilkan antibodi untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Fungsi sistem imunitas tubuh menurun sesuai umur. Seiring bertambahnya usia manua lebih rentan terhadap seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik. 9 Pada keadaan immunosenescence dapat terjadi penurunan fungsi pada sistem imun nonspesifik dan dan spesifik (Srinivasan dkk., 2005). 2.3.1 Sistem Imun Nonspesifik dan Penuaan Pada sistem imun nonspesifik, terjadi penurunan fungsi pertahanan epithelial seperti kulit, paru, dan saluran gastrointestinal dan tubuh lebih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Granulosit, makrofag dan monosit secara jumlah relatif sama, namun menunjukkan pergeseran fungsi. Pengamatan yang dilakukan pada granulosit terutama neutrofil pada orang lanjut usia dan pada tikus tua terlihat adanya penurunan signifikan fungsi utama granulosit, seperti penurunan kemotaksis dan menurunnya kemampuan fagositosis. Fungsi Penurunan respons juga dialami oleh neutrofil terhadap GM-CSF dan tejadi peningkatan apoptosis neutrofil seiring usia (Ponnappan dan Ponnappan, 2011). Makrofag adalah monosit yang berfungsi sebagai sensor patogen di jaringan. Pada usia lanjut fungsi fagositosis makrofag juga menurun disertai penurunan reseptor MHC-II di permukaan sel dan ditemukan ekspresi toll-like reseptor (TLR). Adanya ekspresi TLR dipercaya dapat menginduksi sitokin proinflamasi (Ponnappan dan Usha Ponnappan, 2011). Sel NK merupakan mediator alamiah tubuh terhadap virus dan sel tumor. Sel NK berfungsi untuk menjadi jembatan antara respons imun nonspesifik dan spesifik. Adanya penurunan sel NK dipercaya sebagai salah satu patogenesis terjadinya kanker (Solana dkk., 2006). 10 Terdapat juga pengaruh penuaan terhadap sel-sel dendritik. Orang tua mempunyai jumlah sel-sel dendritik yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang lebih muda meskipun sel-sel tersebut masih menunjukkan kemampuannya sebagai antigen presenting cell dan dalam merangsang aktifasi dan proliferasi sel limfosit T namun terjadi penurunan kemampuan sel-sel tersebut dalam memproses, menyaji dan melakukan fagositosis terhadap antigen (Ponnappan dan Ponnappan, 2011). 2.3.2 Sistem Imun Spesifik dan Penuaan Sistem imun spesifik diperankan oleh sel limfosit T dan limfosit B. Adanya antigen akan merangsang respons imun spesifik. Pada mulanya akan mengaktifasi sel limfosit T. Sekali sel limfosit T teraktifasi, sel tersebut akan melawan antigen dan merangsang aktifasi sel limfosit B. Sel limfosit B yang teraktifasi akan merangsang pembentukan antibodi yang akan melawan antigen tersebut. Masalah utama penuaan pada sistem imun spesifik terletak pada kemampuan sel limfosit T dan limfosit B untuk mengadakan pembelahan sel secara cepat. Sel limfosit B akan menghasilkan antibodi bila terpapar antigen. Pada proses penuaan, terjadi keterlambatan respons dalam memproduksi imunoglobulin. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua (Srinivasan dkk., 2005). 11 2.3.3 Penuaan dan Gangguan Fungsi Imun Gambar 2.2 Dasar Molekular Hubungan Penuaan Dan Sistem Imun (Ponnappan dan Ponnappan, modified, 2011) Immunosenescence adalah penurunan fungsi sistem imun yang disebabkan oleh usia. Pada proses penuaan, terjadi pergeseran faktor transkripsi, stres oksidatif yang menumpuk, ketidakmampuan DNA untuk memperbaiki diri, kerusakan telomer, involusi timus serta perubahan sel T, Sel B dan APC mengakibatkan akumulasi dan peningkatan NF-кB. Peningkatan NF-кB dihubungkan dengan inflamm-aging/oxiinlamm-aging yang akan menyebabkan apoptosis sel imun, peningkatan risiko infeksi serta penurunan imunitas nonspesfik dan spesifik, seperti yang dijelaskan pada gambar 2.2 (Ponnappan dan Ponnapan, 2011). 12 2.4 Imunomodulator Imunomodulator adalah obat yang diharapkan memperbaiki dan mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun yang fungsinya terganggu atau menekan fungsinya yang berlebihan. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation. Imunostimulan atau imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan imunostimulan yaitu bahan yang merangsang sistem imun (Carrillo-Vico dkk., 2013). Bahan yang disebut imunostimulator yaitu hormon, timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, ekstrak leukosit, bahan asal bakteri dan jamur juga bahan sintetik seperti levamisol, isoprinosin, muramil dipeptida dan lain-lain. Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau autoinflamasi. Bahan yang berfungsi sebagai agen imunosupresi seperti metotreksat, steroid (glukokortikoid dan kortikosteroid) dan lain-lain. (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). 2.5 Kortikosteroid Kortikosteroid adalah nama jenis hormon yang merupakan senyawa regulator seluruh sistem homeostasis tubuh organisme agar dapat bertahan menghadapi perubahan lingkungan dan infeksi. Kortikosteroid dihasilkan dari korteks adrenal kelenjar suprarenal yang terdiri dari hormon glukokortikoid dan mineralokortikoid. 13 Homon ini banyak fungsi metabolisme karbohidrat, keseimbangan cairan dan elektrolit. Dapat memperbaiki gejala klinik penyakit tetapi bukan merupakan terapi kausalis. Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulator. Hormon ini menghambat transkripsi terhadap gen yang mengkode sitokin proinflamasi dengan cara menurunkan aktivitas NF-кB sehingga, kortikosteroid akan menghambat sintesis atau aksi sebagian besar sitokin proinflamasi (Rhen dan Cidlowski, 2005). Gambar 2.3 Mekanisme Penghambatan NF- кB oleh Glukokortikoid (Rhen dan Cidlowski, 2005) Glukokortikoid, bermanfaat untuk menghambat NF-кB dan turunan-turunannya (gambar 2.2). Terdapat tiga bukti yaitu: (1) Glukokortikoid meningkatkan mRNA IкB (Inhibitor famili NF-кB), yang menyebabkan meningkatnya protein IкB dan peningkatan sekuestrasi NF-кB di sitoplasma; (2) Reseptor glukokortikoid bersaing 14 dengan NF-кB untuk berikatan dengan kofaktor; (3) Reseptor glukokortikoid secara langsung berikatan dengan subunit p65 NF-кB dan menghambat pengaktifannya (Rhen dan Cidlowski, 2005). Tabel 2.1 Efek Kortikosteroid dalam Transkripsi Gen (Barnes, 2006) Kortikosteroid sintetik sebagai imunosupresan, mampu menghambat transkripsi sejumlah sitokin, kemokin, molekul peptide, enzim inflamasi, peptida yang dapat menurunkan jumlah ataupun kemotaksis sel radang seperti leukosit, limfosit dan makrofag (Barnes, 2006). Penghambatan terhadap proses inflamasi juga terlihat pada penghambatan NO, COX-2 dan phospholipase A2 oleh kortikosteroid. Mekanime ini melalui penghambatan NF-кB secara tidak langsung mempengaruhi kemotaksis leukosit dan sistem imun nonspesifik (Kresno, 2013). Ekpresi iNOS dipengaruhi oleh infeksi 15 bakteri, LPS dan sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNF-α, IFNγ). Kortikosteroid besama dengan IL-10, TGFβ berefek negatif terhadap ekspresi iNOS (Sukumaran dkk., 2012). Limfosit Th1 dan Th2 memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan perbedaan sitokin yang dihasilkan. Sel Th2 memproduksi IL-10, sebaliknya sel Th1 tidak. Fungsi IL-10 adalah dengan menghambat beberapa jenis sitokin (IL-1, TNF, kemokin dan IL-12). Kortikosteroid melalui induksi IL-10 menghambat fungsi makrofag karena menghambat ekspresi MHC II. Dampak akhir dari aktivitas IL-10 adalah hambatan sistem imun nonspesifik maupun spesifik yang diperantarai sel T (Kresno, 2013). Efek imunosupresi kortikosteroid pada sel-sel imun akibat terjadinya penghambatan transkripsi gen untuk induksi pelepasan terutama oleh IL-1 dan IL-2. IL-1 yang diroduksi oleh makrofag akan merangsang ekspresi IL-2 pada permukaan limfosit T serta pembentukan IL-2. IL-2 dapat menginduksi proliferasi sel T terutama berperan pada fase G1 ke fase S dari siklus sel. IL-2 juga berfungsi merangsang proliferasi limfosit B dan produksi antibodi, serta aktivitas Sel NK. Akibat penghambatan terutama terhadap IL-1 dan IL-2 mengakibatkan limfopenia (Kresno, 2013). Peningkatan annexin A1 sebagai efek glukokortikoid mampu menimbulkan efek imunosupresi pada imunitas nonspesifik dengan cara mengganggu aktivitas dan migrasi leukosit dan makrofag. Di sisi yang lain, efek imunosupresi glukokortokoid ternyata menekan annexin A1 sehingga menurunkan proliferasi dan aktivasi sel T 16 serta menurunkan diferensiasi sel Th1 dan meningkatkan aktivitas dan diferensiasi sel Th2 pada respon imun didapat (gambar 2.4). Gambar 2.4 Efek Glukokortikoid Terhadap Sel-Sel Imun (Perretti dan D'Acquisto, 2009) Kortikosteroid sistemik yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang terutama pada pasien asma dihubungkan dengan hipogammaglobulinemia (Aun dkk., 2010). Penghambatan aktivitas sel B juga dapat diakibatkan penurunan IL-6, dimana IL-6 merupakan faktor induksi utama pada diferensiasi sel fase terminal, juga mempercepat pertumbuhan dan diferensiasi sel B (Kresno, 2013). TNF-α merupakan mediator utama pada proses inflamasi akut diproduksi terutama oleh makrofag, sel T, B, dan NK (Kresno, 2013). Metilprednisolon mampu menghambat produksi maupun jalur pembentukan TNF-α. Metilprednisolon ternyata juga mampu memperkuat TGF-β dengan cara meningkatkan ekspresi SMAD3 dan 17 menurunkan ekspresi SMAD7 yang merupakan inhibitor terhadap cascade SMAD, dalam hal ini merupakan imunosupresan yang kuat dengan menekan proliferasi dan maturasi sel T, B serta menekan aktivitas makrofag (Davis dkk., 2013). Hambatan terhadap kemotaksis dan perlekatan makrofag juga diinhibisi oleh kortikosteroid (Flaster dkk., 2007). Kortikosteroid dosis tinggi dan yang dilepaskan selama inflamasi terlihat meningkatkan apoptosis timosit yang dimediasi oleh induksi caspase-9 (Zen dkk., 2011). Timus merupakan organ limfoid primer yang berfungsi dalam maturasi sel T. Thymopoiesis dipengaruhi diantaranya oleh sitokin seperti IL-1, IL-3, IL-6, IL-7 macrophage-colony stimulating factor, granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sel T imatur ditandai dengan sel timus double negarive (CD4- dan CD8-) sedangkan sel T yang sudah matur ditandai dengan double positive (CD4+ dan CD8+). Double positive sel adalah paling sensitif terhadap reaksi glukokortikoid yang menginduksi apoptosis melalui aksi TGF-β. Medula timus menghasilkan IL-6. Timosit dalam proliferasi dan perkembangan membutuhkan IL-6 (Lynch, 2009). Sedangkan kortikosteroid menurunkan ekpresi IL-6 (Barnes, 2006). 2.5.1 Metilprednisolon Metilprednisolon adalah derivat dari prednisolon yang mempunyai kelebihan sebagai anti inflamasi yang sangat kuat dengan efek samping yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan steroid yang lain. Berbeda dengan kortikosteroid yang lain yang memiliki efek kuat terhadap mineralokortikoid, efek glukokortikoid metilprednisolon lebih dominan. Metilprednisolon mempunyai waktu paruh 6-12 jam 18 di dalam darah, dan mempunyai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam setelah diberikan. Metilprednisolon 4-48 mg per oral lazim digunakan pada kasus alergi dan inflamasi kronik (Sinha dan Bagga, 2008). Adapun efek samping dan komplikasi pada penggunaan metilprednisolon adalah osteoporosis, gangguan pertumbuhan, kelemahan otot, gangguan emosi dan penurunan fungsi sistem imun (Coutinho dan Chapman, 2010). 2.6 Melatonin 2.6.1 Fisiologi Melatonin Dalam kelenjar pineal, terdapat dua tipe sel yaitu pinealocytes, yang dibedakan menjadi asidofil dan basofil yang berfungsi menghasilkan indolamin (terutama melatonin) dan peptida, dan sel neuroglial (Al- Hussain, 2006). Melatonin atau yang juga disebut N-acethyl-5-methoxytryptamine disintesis dari serotonin. Pada biosintesis melatonin yang diilustrasikan pada gambar 2.5 tryptophan yang sedang bersirkulasi diambil dan diubah menjadi 5- hydroxytryptophan oleh tryptophan hydroxylase. 5-hydroxytryptophan kemudian didekarboksilasi menjadi serotonin. Serotonin diubah menjadi melatonin melalui rangkaian proses yang melibatkan enzim N-acetyl-transferase (NAT) sebagai pembatas sintesis melatonin dan enzim hydroxyindole-O-methyl-transferase (HIOMT). Aktivasi kedua enzim ini ditentukan oleh mRNA yang dipengaruhi oleh siklus siang malam (Sanchez dkk., 2015) . 19 Gambar 2.5 Biosintesis Melatonin (Sanchez dkk., 2015) Melatonin berperan penting dalam sinkronisasi peristiwa biologis yang dicetuskan oleh isyarat lingkungan eksternal. Supra chiasmatic nuclear (SCN) yang terletak pada hipotalamus anterior berfungsi sebagai pacemaker yang mengatur sekresi melatonin (gambar 2.6). Irama sekresi dipengaruhi oleh ransangan cahaya dalam hal ini siklus terang dan gelap. Sekresi melatonin dirangsang oleh kegelapan dan dihambat oleh cahaya (Doghramji, 2007). Gambar 2.6 Pengaruh Cahaya Dalam Sekresi Melatonin (Dubocovich, 2007) 20 Informasi cahaya ditangkap oleh sel rod dan cone pada retina. Sepanjang hari, SCN secara aktif memproduksi arousal signal yang mempertahankan kesadaran dan menghambat dorongan untuk tidur. Fotoreseptor di mata terhubung melalui saluran retinohypothalamic (RHT) ke SCN. Pada malam hari, sebagai respons pada keadaan gelap, terjadi feedback loop pada SCN yang diawali dengan pengiriman sinyal untuk memicu produksi hormon melatonin yang menghambat aktivitas SCN (gambar 2.7). Jalur ini akan aktif pada saat gelap, karena aktivitas saraf ganglion cervical superior dihambat oleh terang. Noradrenalin disekresikan oleh saraf terminal dari ganglion cervical superior dan menstimulasi kelenjar pineal melalui reseptor B, yang akan mensintesis cAMP untuk mengaktifkan NAT (Yonei dkk., 2009). Gambar 2.7 Jalur Sintesis Melatonin (Yonei dkk., 2009) Melatonin dapat memicu tidur dengan cara menekan wake promoting signal atau neuronalfiring pada SCN. Pemicu tidur pada hypothalamic ventrolateral preoptic nucleus dan aktivitas pemicu terjaga pada locus coeruleus, dorsal raphe, dan 21 tuberomammillary nuclei, sistem yang dapat mengatur sleep switchin. SCN dapat mempengaruhi kedua subsistem ini melalui ventral subparaventricular zone menuju ke hypothalamic dorsomedial nucleus, dimana berbagai fungsi sirkadian diregulasi. Proyeksi dari dorsomedial nucleus menuju ventrolateral preoptic nucleus dapat memicu tidur, sedangkan proyeksi menuju lateral hypothalamus berhubungan dengan aktivitas yang terjadi dalam keadaan terjaga. Melatonin dapat mempengaruhi switching mechanism ini dan mempercepat sleep onset melalui reseptor-reseptor yang banyak terdapat pada SCN (Yonei dkk., 2009). Gambar 2.8 Reseptor Melatonin (Slominski dkk., 2012) Seperti pada gambar 2.8, melatonin mengakibatkan berbagai aktivitas biologi melalui reseptor MT1 dan MT2 membran reseptor (G protein-coupled) atau melalui reseptor nuklear (ROR/RZR). Di dalam sitosol, melatonin berinteraksi dengan 22 calmodulin. (Srinivasan dkk., 2005). MT3 hanya ditemukan pada hamster dan kelinci (Slominski dkk., 2012). Reseptor MT1 dan atau MT2 ini ditemukan pada sistem saraf pusat, hipofisis, duodenum, kolon, caecum, appendikx, epitel saluran kencing, kelenjar paratiroid, kelenjar eksokrin pancreas, sel β pankreas, epitel kelenjar mamme, miometrium, plasenta, epitel granulosa dan luteal, ginjal, ventrikel jantung, aorta, koronaria, arteri serebral, lemak, trombosit serta sel-sel darah yang berperan dalam sistem imun seperti pada limfosit, leukosit, dan monosit (Srinivasan dkk., 2005; Slominski dkk., 2012). Tabel 2.2 Distribusi Reseptor Melatonin Pada Berbagai Organ Tubuh (Slominski dkk., 2012) Kadar melatonin di kelenjar pineal dan darah mengikuti irama sirkadian. Saat malam hari, sintesis melatonin meningkat. Pada manusia, kadar melatonin di plasma 23 mulai meningkat setelah 9.00 PM-11.00 PM dan mencapai puncak sekitar 2.00 AM hingga 4.00 AM, lalu menurun di pagi hari. semakin menurun seiring dengan pertambahan usia (Gambar 2.9). Nilai plasma melatonin malam hari paling tinggi terdapat pada tahun pertama kehidupan, dan makin menurun saat dewasa (PandiPerumal et al., 2006). Gambar 2.9 Kadar Melatonin Waktu Malam Dihubungkan dengan Usia (Harrison dan Pierzynowski, 2008) Sekitar 90% melatonin pada manusia diekskresi dari dalam tubuh melalui hepar, dimana sel hepar membentuk 6-hydroxymelatonin sebagai sisa metabolisme yang kemudian diubah menjadi 6-sulfatoxymelatonin dan glucuronide. Sejumlah kecil melatonin akan dibuang melalui urin dan air liur (Buscemi dkk., 2004). Pada tikus berumur 10 hari, puncak kadar melatonin pada malam hari adalah mencapai hingga 120pg/ml kemudian berangsur menurun hingga 45-60 pg/ml pada tikus 20-25 hari (Yu dan Retler, 1992). 24 2.6.2 Fungsi dan Manfaat Melatonin Penelitian menunjukan bahwa melatonin membantu memperbaiki kualitas tidur pada orang sehat. Melatonin digunakan pada kasus jet lag dan delayed sleep phase syndrome. Pemberian melatonin terbukti membantu mengatasi gangguan tidur pada anak yang memiliki gangguan neuropsikiatri, autisme, gangguan penglihatan, epilepsi. Terapi sulih melatonin pada orang tua juga terbukti memperbaiki kualitas tidur (Pangkahila dan Wong, 2015). Melatonin merupakan sebuah antioksidan yang sangat kuat. Bahkan dalam dosis kecil, melatonin mampu menetralisir radikal bebas dan menghambat terjadinya stres oksidatif (Tan dkk., 2007; Espino dkk., 2012). Melatonin juga bekerja secara tidak langsung dalam sistem imun dengan cara meningkatkan kapasitas total antioksidan dan atau menurunkan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen spesies (RNS). Melatonin juga melindungi mitokondria dengan cara memperbaiki fungsi sistem antioksidan mitokondria dengan cara meningkatkan kadar glutation dan aktivitas glutation reduktase serta menurunkan peroksidasi lipid pada berbagai jaringan (Carrillo-Vico dkk., 2013). 2.6.3 Melatonin sebagai Imunomodulator Studi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan bahwa melatonin memiliki peran imunomodulator. Penghambatan sintesis melatonin menurunkan sistem imun baik seluler dan sistem imun humoral pada tikus. Melatonin juga telah dapat melindungi sel prekursor hematopoietik dari efek toksik dari agen 25 kemoterapi kanker. Pemberian melatonin telah terbukti melawan keadaan imunodefisiensi sekunder (Pandi-Perumal dkk., 2006). Penurunan produksi sejumlah hormon yang berhubungan dengan penuaan, seperti melatonin, memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi bagi imunodefisiensi terkait usia. Ketika mencapai usia 30-an hormon melatonin kadarnya mulai menurun. Akibat penurunan kadar melatonin, terjadi ketidakseimbangan ROS dan antioksidan endogen karena melatonin berfungsi sebagai antioksidan yang sangat kuat. Sebagai konsekuensinya, terjadi penurunan fungsi sel imun (Espino dkk., 2012). Pemberian melatonin baik pada tikus normal maupun tikus immunocompromise terbukti menghasilkan respons antibodi yang tinggi baik pada penelitian in vitro dan in vivo. Pada proses penuaan terjadi kehilangan sel timus hingga atrofi timus baik secara struktural dan penurunan berat timus. Pemberian melatonin terbukti dapat mencegah atrofi timus sehingga dapat memperbaiki sistem imun. Involusi timus oleh melatonin dapat dicegah karena dapat mempertahankan jumlah sel-sel timus terhadap apoptosis serta peningkatan proliferasi sel timus (Espino dkk., 2012). Melatonin telah terbukti menghambat produksi sitokin proinflamasi, menunjukkan indolamin yang dapat membantu untuk mengurangi peradangan akut dan kronis. Melatonin mampu mengurangi kadar TNF-α dan IL-1β dan meningkatkan IL-6 dan IL-10. Efek imunomodulator melatonin pada penuaan juga jelas dalam sistem saraf pusat (SSP) yaitu melatonin meningkatkan respons otak serta menghambat proses inflamasi pada otak yang diinduksi oleh LPS (Song dkk., 2015). 26 Kemampuan antioksidan melatonin yang poten serta produk metabolitnya berperan pada aspek anti apoptosis sel-sel imun terkait usia. Melatonin juga mampu menunda kerusakan yang disebabkan apoptosis di neutrofil dan limfosit tua akibat proses degeneratif dan stres oksidatif (Espino dkk., 2012). Melatonin mampu berperan sebagai anti inflamasi dengan cara menekan respons radang dengan cara memblok signal NF-кB dan menghambat translokasi ke inti sel, menghambat pengikatan NF-кB subunit p50 dan mensupresi signal STAT-1. Melatonin juga mampu menurunkan TLR-3 yang dimediasi oleh TNF-α dan ekspresi iNOS, menurunkan COX-2 serta menurunkan leukotrin yang dapat mempengaruhi kemotaktis dan perlekatan neutrofil serta sel-sel radang yang lain Pada kasus asma, melalui aktifasi respetor melatonin pada CD4+, melatonin mampu menurunkan IgE, IL-4, dan IFN-γ (Carillo-Vicco dkk., 2013). Menurut beberapa studi, ditemukan adanya peningkatan prevalensi penyakit autoimun pada musim dingin akibat meningkatnya sistem imum yang distimulasi oleh melatonin pada malam yang lebih panjang. Hal ini membuktikan adanya hubungan melatonin dan pengaruh waktu malam yang lebih panjang sebagai signal pada sistem imun. Pada orang dengan penyakit autoimun, ditemukan adanya kadar melatonin yang lebih tinggi pada malam hari (Pandi-Perumal dkk., 2006). Pada penelitian yang lain, disebutkan bahwa adanya penurunan sitokin proinflamasi pada pasien dengan SLE namun, belum dapat dipastikan apakah pemberian melatonin pada kondisi autoimun bermanfaat atau memberikan efek yang lebih buruk (Carrillo-Vico dkk., 2013). 27 Pada studi in vitro, pemberian glukokortikoid, mengubah fungsi dan fisiologis konsentrasi melatonin. Pemberian melatonin eksogen, ternyata mampu mengaktifasi reseptor melatonin pada sel-sel imun, terutama limfosit sehingga mengaktifkan sitokin-sitokin yang berperan dalam kontrol jumlah limfosit. Gambar 2.10 Efek Aktivasi Sistem Imun Oleh Melatonin (Szczepanik, 2007) Melatonin mampu merangsang sel APC, Sel T dan sel NK (gambar 2.10). Pada penelitian tersebut terbukti bahwa melatonin melalui reseptor di permukaan sel limfosit mampu merangsang pelepasan IFN-γ dan IL-2. CD4+, CD8+.. Sel APC yang terangsang akan mengeluarkan IL-2, TNF-β, memperkuat dan meningkatkan MHC-II makrofag secara autokrin maupun parakrin, memperkuat kemampuan fagositosis selsel fagosit dan merangsang IL-12. IL-12 juga akan memperkuat CD4+ dan meningkatkan kemampuan proliferasi sel T. Sel Th1 akan menghasilkan IFN-γ. Sel NK yang teraktivasi oleh melatonin juga menghasilkan IFN-γ yang penting dalam 28 menigkatkan ekpresi MHC, meningkatkan fagositosis maktofag dan merangsang diferensiasi sel T dan sel B melalui aktifasi IL-6 dan IL-12. Pada monosit pemberian melatonin meningkatkan ekpresi IL-1, IL-6 dan IL-12). Inteleukin yang terinduksi oleh melatonin pada penelitian ini merupakan counterbalance imunosupression yang akibat rangsangan stres yang terjadi akibat imunodefisiensi sekunder (KostoglouAthanassiou, 2013). Pada penelitian ekperimental transplantasi ovarium dan pankreas pada tikus, efek imunosupresif dari melatonin sangat terlihat dari adanya penghambatan langsung pada jumlah sel Th1 serta efek inhibisi sitokin yang produksi oleh sel Th1 dan peningkatan produksi IL-10. Pada kasus transplantasi melatonin mampu melindungi sel normal dan berfungsi sebagai anti apoptosis terhadap sel normal dengan melalui mekanisme antioksidan (Carrillo-Vico dkk., 2013). Pada imunitas nonspesifik melatonin mampu menstimulasi aktivitas sel NK, sel CD4+ dan CD8+ melalui jalur IFN-γ meningkatkan kapasitas kemotaksis leukosit, dan meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag serta meningkatkan ekspresi MHC II dan peningkatan produksi IL-1 dan TNF-α oleh makrofag. Melalui aktivasi IL-2 oleh melatonin, maka akan meningkatkan ekspresi TNF-α dalam hal ini yang berperan sebagai penginduksi molekul adhesi, sitokin, dan aktivasi neutrofil. Pada monosit, melatonin juga mampu memperkuat produksi IL-6 dan IL-12 pada keadaan suboptimal. Sehingga aktivasi IL-2 oleh melatonin memiliki peran penting sebagai immunostimulant (Carrillo-Vico dkk., 2013). 29 Pada imunitas spesifik, melatonin ternyata mampu meningkatkan proliferasi sel B dan sel T serta meningkatkan respons sel Th1 dan menurunkan sitokin yang dihasilkan oleh Th2 pada tikus tua. Melatonin meningkatkan produksi IL-2 dan IL-6 oleh limfosit dan serta meningkatkan ekspresi IL-2 dan IL-12 di makrofag (CarrilloVico dkk., 2013). Pada gambar 2.11 melatonin, dapat meningkatkan produksi IL-2 melalui reseptor melatonin MT1 pada membran sel melalui penurunan aktivitas cAMP sehingga meningkatkan sekresi IL-2 serta melalui reseptor melatonin pada inti RZR/ROR yang juga akan meningkatkan IL-2 (Carrillo-Vico dkk., 2003) Gambar 2.11 Melatonin Melalui Reseptor Membran dan Reseptor Inti Meningkatkan Ekspresi Sitokin IL-2 (Carrillo-Vico dkk., 2003) 30 Gambar 2.12 Mekanisme Autokrin IL-2 pada Sel T (Boyman dan Jonathan Sprent 2012) Seperti pada gambar 2.12, IL-2 yang dihasilkan oleh sel Th1, akan bekerja secara autokrin dan parakrin dan mengaktifkan jalur JAK-STAT, jalur MAPK, aktivasi jalur ERK dan ERK selanjutnya akan mengaktivasi produksi faktor-faktor transkripsi seperti NF-кB, AP-1 dan sitokin-sitokin yang lain. (Chiossone dkk, 2007). Melatonin meningkatkan sistem imun tidak hanya pada kemampuan meningkatkan produksi sitokin, tapi juga pada aksi anti apoptosis dan antioksidan pada berbagai kondisi dan berbagai organ (Carrillo-Vicco, 2013). Melatonin memiliki kemampuan dalam meregulasi kematian sel baik anti apoptosis maupun proapoptosis (Da-Silva-Ferreira dkk, 2010). Pada timus, melatonin akan merangsang IL-2 (gambar 31 2.11) dan bekerja secara autokrin pada limfosit serta bekerja secara parakrin terhadap sel medula timus, pada sel timus juga terdapat resepor inti melatonin RORα untuk meningkatkan proliferasi sel timus dan mencegah atrofi involusi timus (Lynch dkk, 2009). Pada kerusakan sel akibat ROS melatonin menurunkan kerusakan DNA dan menginhibisi pelepasan sitokrom c mitokondria dan menghambat caspase 3 (Zhang dkk., 2013). Melatonin mampu menghalangi proses caspase-9 dan caspase-3 yang dapat memodulasi kedua pembukaan permeabilitas mitokondria dan aktivasi protein Bax yang proapoptotik (Espino dkk., 2012). Kadar melatonin yang rendah ditemukan pada orang dengan infeksi HIV. Pada penelitian yang melibatkan 77 orang terinfeksi HIV ditemukan kadar melatonin rendah, sel Th1 yang rendah serta IL-12 yang rendah. Pada studi in vivo, pemberian implan melatonin dapat meningkatkan sel Th2 (Pandi-Perumal dkk., 2006).