BAB 2 - Library Binus

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2. 1.
Self-Control
2. 1. 1. Definisi Self-control
Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara
bagaimana seharusnya individu tersebut berpikir, merasa, atau berperilaku
(Muraven & Baumeister, 2000). Self-control merupakan kenderungan individu
untuk mempertimbangkan berbagai konsekuensi untuk perilaku tertentu (Wolfe &
Higgins, 2008). Dijelaskan kembali bahwa self-control adalah kemampuan
individu untuk menahan diri atau mengarahkan diri ke arah yang lebih baik ketika
dihadapkan dengan godaan-godaan (Hofmann, Baumeister, Förster, & Vohs,
2012).
Self-control dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk menahan dan
mengendalikan perilaku sosial yang tidak pantas (DeWall, Baumeister, Stillman,
& Gailliot, 2005). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian DeWall, Finkel, dan
Denson (2011) yang menyatakan bahwa kegagalan self-control dapat memberikan
kontribusi untuk tindakan yang paling agresif yang menyertakan kekerasan.
Ketika agresi mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu seseorang
mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang
merespon sesuai dengan standar pribadi atau standar sosial yang dapat menekan
perilaku agresif tersebut. Penjelasan lain juga menunjukkan bahwa individu yang
memiliki
sifat
pengendalian
diri
yang
6
rendah
lebih
mungkin
untuk
7
terlibat dalam perilaku kriminal, dan menyimpang dibandingkan dengan mereka
yang memiliki tingkat self-control yang tinggi (McMullen, 1999).
Self-control merupakan fungsi utama dari diri dan kunci penting untuk
kesuksesan dalam hidup. Dalam penelitian ditunjukan bahwa self-control yang
tinggi juga memiliki keterkaitan dengan penyesuaian diri yang lebih baik
(diantaranya berkurangnya psikopatologi, dan meningkatnya self-esteem),
berkontribusi terhadap keberhasilan dibidang akademis, mengurangi makan yang
berlebihan dan mengurangi penyalahgunaan alkohol, memiliki hubungan yang
lebih baik dan memiliki keterampilan interpersonal yang baik (Tangney,
baumeister, & Boone, 2004). Self-control memungkinkan manusia untuk hidup
dan bekerja bersama-sama dalam suatu sistem budaya yang dapat menguntungkan
berbagai pihak (DeWall, Baumeister, Stillman, & Gailliot, 2005), serta masih
banyak manfaat positif yang lainnya.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa self-control berkaitan
dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam
dirinya sehingga mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan yang
efektif sesuai dengan standar ideal, nilai-nilai moral dan harapan sosial.
2. 1. 2. Self-control dan Hubungan dengan Sesama
Self-control tidak hanya menentukan perilaku kriminal, tetapi juga
menentukan perkembangan ikatan sosial yang terjadi. Self-control yang randah
berkorelasi dengan perilaku kriminal dan dapat mengganggu ikatan sosial
(Wright, Caspi, Moffitt, & Silva, 1999). Individu dengan self-control yang rendah
cenderung memiliki hubungan sosial yang lemah atau rusak (Wright, Caspi,
Moffitt, & Silva, 1999). Dari hasil penelitiannya, Chapple (2005) menyimpulkan
bahwa self-control yang rendah menyebabkan penolakan dari rekan sesama (peer
8
rejection), hubungan dengan rekan atau kelompok yang menyimpang (deviant
peer) dan kenakalan (delinquency).
Pada penelitian Avakame (1998) dibuktikan bahwa pengaruh self-control
terhadap kekerasan fisik dan agresi psikologis pada partisipan memiliki
keterkaitan yang kuat dan signifikan secara statistik, hal ini menunjukkan bahwa
self-control yang lemah pada pria dan wanita akan meningkatkan kekerasan fisik
dan agresi psikologis. Pada penelitian ini juga dijelaskan bahwa kekerasan yang
dilakukan ketika dewasa dipengaruhi oleh kekerasan yang terjadi didalam
keluarga (Avakame, 1998).
Hal ini didukung oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa
partisipan yang tinggal didalam lingkungan keluarga yang positif, mereka
memiliki self-control yang lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka
yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis (Tangney, Baumeister, & Boone,
2004). Pada penelitian ini juga dijelaskan, self-control yang tinggi memiliki
keterkaitan yang erat dengan hubungan interpersonal yang positif. Pada
penelitiannya juga disebutkan bahwa dengan self-control yang baik maka akan
meningkatkan kemampuan seseorang dalam bergaul yang mengarah pada
hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Hal ini membuktikan bahwa selfcontrol berkorelasi positif dengan hubungan keluarga dan berkorelasi negatif
dengan konflik keluarga. Self-control yang tinggi akan berkorelasi dengan kualitas
hubungan yang lebih baik, meningkatkan empati, serta kesediaan untuk
memaafkan kesalahan orang lain (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004).
9
2. 2.
Agresivitas
2. 2. 1. Definisi Agresi
Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang atau
kelompok terhadap orang atau kelompok lain yang dilakukan secara sengaja
(Sarwono dan Meinarno, 2009). Kamus lengkap Psikologi mengartikan
aggression (agresi, penyerangan, serangan) sebagai tindakan permusuhan yang
ditujukan pada seseorang atau benda (Chaplin, 2008). Agresi manusia adalah
setiap perilaku yang diarahkan kepada individu lain yang dilakukan dengan
maksud untuk menyebabkan kerusakan (Anderson & Bushman, 2002). Jadi dapat
disimpulkan bahwa agresi merupakan tindakan melukai yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain yang dilakukan
secara sengaja.
Kekerasan dan agresi telah terjadi sejak zaman dahulu kala, misalnya saja
peperangan dan pembunuhan. Hal ini terjadi dikarenakan manusia cenderung
untuk membalas perbuatan orang lain dengan derajat agresi yang sama atau
dengan derajat yang lebih tinggi daripada yang diterimanya, hal ini sering juga
disebut dengan balas dendam (Sarwono dan Meinarno, 2009).
Pemicu yang umum dari agresi adalah ketika seseorang mengalami suatu
kondisi emosi tertentu, yang biasanya terlihat adalah emosi marah. Perasaan
marah berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam suatu bentuk
tertentu pada objek tertentu. Kemarahan dapat membuat seseorang kehilangan
kontrol diri dan berperilaku agresif (Sarwono dan Meinarno, 2009).
10
2. 2. 2. Faktor Penyebab Agresi
DeWall, Finkel, dan Denson (2011) menyebutkan bahwa kegagalan selfcontrol merupakan prediktor penting dari agresi. Dalam penelitiannya juga
disebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat menekan self-control akan
meningkatkan agresi, sedangkan faktor yang dapat memperkuat self-control
seharusnya akan menurunkan agresi. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan
perilaku agresi adalah frustasi dan provokasi (Baron, Branscombe & Byrne,
2008).
Frustasi menurut Baron, Branscombe dan Byrne (2008) adalah
terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan yang kerap kali menjadi
penyebab agresi, tetapi agresi tidak selalu muncul karena frustasi. Sumber umum
frustasi berasal dari kondisi kehidupan didalam masyarakat, seperti diantaranya
tidak memiliki pekerjaan, kurangnya teman yang baik, hubungan yang tidak baik
dengan keluarga, ataupun penindasan (Watson, deBortali-Tregerthan, & Frank,
1984). Sumber-sumber tersebutlah yang dapat menjadi penyebab dari agresi.
Provokasi juga dapat menjadi penyabab dari agresi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa provokasi memiliki peranan penting dalam menurunkan self-control yang
dapat mengakibatkan meningkatnya agresi pada individu (Denson, DeWall &
Finkel, 2012). Hal-hal tersebut diatas termasuk kedalam faktor sosial yang
menjadi penyebab agresi pada manusia.
Faktor lain yang dapat meningkatkan agresi adalah alkohol. Baron,
Branscombe, dan Byrne (2008) dalam bukunya menyatakan bahwa seseorang
akan menjadi lebih agresif ketika mereka mengkonsumsi alkohol. Pernyataan ini
didukung oleh fakta bahwa di Bar dan klub malam sering terjadi adegan
kekerasan. Dari penelitiannya, ditemukan bahwa orang yang mengkonsumsi
11
alkohol dapat berprilaku lebih agresif dan lebih mudah terpengaruh oleh
provokasi dibandingkan mereka yang tidak mengkonsumsi alkohol. Hal ini
dikarenakan alkohol dapat mengurangi kemampuan individu untuk memproses
beberapa jenis informasi (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Wolfe dan Higgins (2008) menunjukkan bahwa self-control
memiliki hubungan dengan perilaku minum-minuman keras pada mahasiswa.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bergaul dengan rekan-rekan yang
memiliki kebiasaan dalam minum-minuman keras memiliki hubungan yang
penting dengan perilaku minum-minuman keras pada seseorang. Hal ini
membuktikan bahwa antara agresi dengan hubungan interpersonal memiliki
hubungan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kontrol yang
buruk atas kemarahan mungkin relevan dengan agresi interpersonal, dan ada
beberapa temuan yang menjelaskan keterkaitan antara masalah kemarahan dengan
self-control yang buruk (Tangney, Baumeister, & Boone, 2004).
2. 3.
Teori I3 (I-cubed Theory)
Salah satu teori yang membahas mengenai self-control dan agresivitas
adalah Teori I3 atau biasa disebut I-cubed Theory (teori I pangkat tiga). Teori I3
merupakan pengembangan meta-theory berkaitan dengan agresi yang memiliki
penekanan kuat terhadap self-control (Denson, DeWall, & Finkel, 2012). I3 sendiri
merupakan singkatan dari tiga proses yang mendasari agresi antara lain: Instigation,
Impellance, dan Inhibition.
Tahap pertama dari Teori I3 adalah Instigation. Instigation menyangkut
keberadaan satu atau beberapa instigating triggers (pemicu) yang merupakan
keadaan yang menyebabkan kecenderungan dalam melakukan agresi. Instigation
merupakan faktor eksternal yang melibatkan proses sosial dalam memicu munculnya
12
perilaku agresif; seperti contohnya adalah provokasi dan social rejection (Slotter &
Finkel, 2011).
Tahap kedua Impellance menyangkut faktor resiko yang menentukan
kekuatan dorongan agresif yang dialami oleh individu melalui interaksinya dengan
instigating trigger (Slotter & Finkel, 2011). Impellance merupakan faktor internal
yang mengacu pada faktor disposisional atau situasional yang secara psikologis
mempersiapkan individu untuk mengalami dorongan kuat untuk berperilaku agresif
ketika menghadapi Instigator (penghasut, pemicu) tertentu dalam konteks tertentu
(misalnya, sifat agresivitas; hormon, motivasi; balas dendam) (Denson, DeWall, &
Finkel, 2012). Dengan kata lain, impellance mengacu pada faktor-faktor yang
meningkatkan peluang individu dalam memperbesar dorongan agresif (aggressive
urge) dalam menanggapi instigating triggers.
Tahap ketiga adalah Inhibition, mengacu pada faktor disposisional atau
situasional yang menentukan apakah individu akan mengesampingkan atau
mengabaikan dorongan agresif yang muncul dari trigger instigating, faktor
impellance, maupun interaksi antara keduanya. Inhibiting mengacu pada faktorfaktor yang meningkatkan kemungkinan bahwa individu akan mengontrol dorongan
agresif daripada mengikutinya. Inhibiting factors (dalam hal ini self-control)
menentukan batas antara dorongan agresif dengan perwujudan perilaku agresif. Jika
inhibiting factors (dalam hal ini self-control) lemah maka dorongan agresif yang
diperlukan tidak perlu sangat kuat untuk menghasilkan perilaku agresif. Jika
Inhibiting factors kuat maka dorongan agresif yang diperlukan harus kuat untuk
menghasilkan perilaku agresif (Slotter & Finkel, 2011).
13
Gambar 2.1. Gambaran Teori I3
Keterkaitan antara Instigation, Impellance, dan Inhibition terlihat jelas pada
Gambar 2.1. Gambaran teori I3. Sebagai contoh penerapan teori I3 dalam kehidupan
yaitu provokasi sebagai instigating triggers. Telah diketahui bahwa provokasi sangat
erat kaitannya dengan agresivitas. Penelitian Denson, DeWall dan Finkel (2012)
menunjukan bahwa provokasi dapat menjadi faktor penyebab meningkatnya agresi
pada individu. Dijelaskan juga bahwa provokasi dapat menurunkan tingkat selfcontrol individu yang mengakibatkan tingginya tingkat agresivitas.
Salah satu faktor disposisional yang dapat menguatkan (Impellance)
dorongan agresi adalah hormon. Dalam perspektif biologis dikatakan bahwa hormon
manusia, khususnya testosterone (yang paling banyak dimiliki oleh pria) sangat
berpengaruh terhadap tingkat agresivitas manusia (Anderson & Bushman, 2002). Hal
ini dibuktikan dengan penelitian Avakame (1998) dan María de la Paz Toldos
14
Romero (2011) yang menunjukan bahwa tingkat agresivitas pria lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat agresivitas pada wanita.
Ketika Instigation dan Impellance yang dimiliki sangat kuat, maka akan
menghasilkan dorongan agresif (aggressive urge) yang sangat kuat juga. Apabila
dorongan agresif yang kuat tidak diberengi dengan Inhibition yang kuat maka
kemungkinan besar akan menimbulkan perilaku agresi, sedangkan apabila dorongan
agresif yang kuat dibarengi dengan Inhibition (self-control) yang kuat sangat kecil
kemungkinannya untuk mengeluarkan perilaku agresi. Secara sederhana, keterkaitan
antara Instigation, Impellance dan Inhibition dapat dirumuskan sebagai berikut:
Instigation + Impellance > Inhibition = Perilaku Agresi
Instigation + Impellance < Inhibition ≠ Perilaku Agresi
2. 4.
Remaja
2. 4. 1. Remaja dan Self-control
Remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). Masa-masa remaja
ditandai dengan emosi yang mudah berubah atau cenderung untuk tidak dapat
mengendalikan dirinya sendiri. Akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut
emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, sebagian remaja telah
mampu untuk mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya (McMullen, 1999).
Dikatakan juga bahwa self-control merupakan prediktor yang kuat terhadap
penolakan dari rekan sesamanya pada awal masa remaja. Self-control juga
merupakan prediktor yang signifikan dari hubungannya dengan rekan atau
kelompok yang menyimpang, dan menunjukan bahwa individu dengan self-
15
control yang rendah akan dipilih dan bergabung kedalam kelompok sebaya yang
bermasalah (Chapple & Hope, 2003).
Dalam Chapple (2005) dikatakan bahwa anak-anak yang menyukai
tantangan dan reckless yang mengalami kesulitan dalam membuat dan menjaga
pertemanannya. Mereka yang seperti itu memiliki kecenderungan untuk
bergambung dengan anak-anak semasanya dan berakhir dengan membentuk
kelompok yang terdiri dari individu-individu dengan self-control yang rendah.
Seperti yang dijelaskan dalam Avakame (1998) individu yang memiliki selfcontrol yang rendah cenderung menyukai tantangan, aktif, physical dan biasanya
kasar. Orang-orang seperti itu cenderung kehilangan kesabaran mereka dengan
cepat dan mulai berargumen atas hal-hal yang kecil.
2. 4. 2. Remaja dan Agresivitas
Pada masa sekarang ini perhatian ditujukan pada tingginya tingkat
kekerasan yang dilakukan oleh remaja. Chapple (2005) menyatakan bahwa masa
kanak-kanak akhir dan masa awal remaja merupakan masa-masa kritis yang
berpengaruh terhadap kematangan (maturity), pembentukkan identitas, dan untuk
beberapa remaja cenderung untuk terlibat dalam kenakalan. Pada masa ini
merupakan masa yang sangat menentukan dimana pengaruh lingkungan dan
kekerabatan atau pertemanan dapat sangat mempengaruhi kenakalan yang
dilakukan. Oleh karena itu self-control sangat diperlukan oleh individu, karena
apabila individu ingin diterima di masyarakat mereka perlu menahan diri dari
perilaku kejahatan/perilaku agresif dan penyimpangan saat mereka memasuki
tahap kehidupan di mana perilaku ini kurang dapat diterima oleh norma-norma
sosial (McMullen, 1999).
16
Pada penelitian lain disebutkan bahwa perbedaan gender pada remaja
sangat berpengaruh terhadap perilaku physical aggression (María de la Paz
Toldos Romero, 2011). Dikatakan bahwa laki-laki lebih cenderung untuk
melakukan kekerasan fisik dibandingkan perempuan dalam konteks keduanya
sebagai aggressor. Ketika aggressor dan targetnya sama-sama pria, remaja lebih
cenderung untuk melekukan kekerasan fisik dibandingkan apabila targetnya
seorang perempuan. Begitu juga sebaliknya, ketika aggressor dan targetnya samasama perempuan maka diprediksikan bahwa remaja tersebut akan melakukan
kekerasan fisik dibandingkan ketika targetnya adalah pria (María de la Paz Toldos
Romero, 2011).
2. 5.
Kerangka Berpikir
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
17
Fenomena agresi telah berkembang dan menjadi masalah umum pada remaja.
Kenakalan remaja merupakan salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang
terjadi didalam masyarakat saat ini. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi
cenderung banyak menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan sosial lain,
sehingga kemungkinan besar akan mudah bertindak agresif.
Perilaku agresivitas itu sendiri ditentukan oleh dorongan agresivitas dan selfcontrol pada individu. Dorongan agresivitas dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
Instigation dan Impellance. Instigation merupakan faktor eksternal yang melibatkan
proses sosial dalam memicu dorongan agresif. Impellance merupakan faktor internal
yang membantu memperkuat Instigator dalam memunculkan perilaku agresivitas.
Apabila dorongan agresivitas yang dimiliki lebih kecil dibandingkan dengan
inhibition (dalam hal ini self-control), tidak akan memunculkan perilaku agresivitas.
Sebaliknya, apabila dorongan agresivitas yang dimiliki lebih besar dibandingkan
dengan inhibition yang dimiliki maka akan memunculkan perilaku agresivitas.
Perilaku agresivitas itu sendiri terdiri dari berbagai macam antara lain: physical
aggression, verbal aggression, anger dan hostility.
Download